Tuesday, September 1, 2015

Ayat - Ayat Cinta - Bab 3



3. Keributan Tengah Malam
Aku sampai di flat jam lima lebih seperempat. Siang yang melelahkan.
Ubun-ubun kepalaku rasanya mendidih. Cuaca benar-benar panas. Yang berangkat
talaqqi pada Syaikh Utsman hanya tiga orang. Aku, Mahmoud dan Hisyam. Syaikh
Utsman jangan ditanya. Disiplin beliau luar biasa. Meskipun cuma tiga yang hadir,
waktu talaqqi tetap seperti biasa. Jadi, kami bertiga membaca tiga kali lipat dari
biasanya. Jatah membaca Al-Qur’an sepuluh orang kami bagi bertiga. Untungnya
masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq ber-AC. Jika tidak, aku tak tahu seperti apa
menderitanya kami. Mungkin konsentrasi kami akan berantakan, dan kami tidak bisa
membaca seperti yang diharapkan.
Seperti mengerti keinginan kami, begitu selesai talaqqi, Amu Farhat, takmir
masjid yang baik hati itu membawakan empat gelas tamar hindi43 dingin. Bukan main
segarnya ketika minuman segar itu menyentuh lidah dan tenggorokan. Selesai minum
aku pulang. Mahmoud, Hisyam, Amu Farhat dan Syaikh Utsman meneruskan
perbincangan menunggu ashar.
Perjalanan pulang ternyata lebih panas dari berangkat. Antara pukul setengah
empat hingga pukul lima adalah puncak panas siang itu. Berada di dalam metro
rasanya seperti berada dalam oven. Kondisi itu nyaris membuatku lupa akan titipan
Maria. Aku teringat ketika keluar dari mahattah Hadayek Helwan. Ada dua toko alat
tulis. Kucari di sana. Dua-duanya kosong.. Aku melangkah ke Pyramid Com. Sebuah
rental komputer yang biasanya juga menjual disket. Malang! Rental itu tutup.
Terpaksa aku kembali ke mahattah dan naik metro ke Helwan. Di kota Helwan ada
pasar dan toko-toko cukup besar. Di sana kudapatkan juga disket itu. Aku beli empat.
Dua untuk Maria. Dan dua untuk diriku sendiri. Kusempatkan mampir ke masjid yang
berada tepat di sebelah barat mahattah Helwan untuk shalat ashar.
Terik matahari masih menyengat ketika aku keluar masjid untuk pulang. Di
tengah perjalanan aku melewati Universitas Helwan yang lengang. Hanya seorang
polisi berpakaian lusuh yang menjaga gerbangnya. Tampangnya mengenaskan.
Masih muda, tapi kurus kering. Seperti pohon pisang kering. Atau seperti dendeng di
Saudi kala musim haji. Mukanya tampak kering. Panas sahara seperti menghisap
habis darahnya. Ia pasti prajurit wajib militer yang biasa disebut duf’ah. Polisi paling
menderita karena bertugas dengan sangat terpaksa. Tanpa gaji memadai. Hanya
43 Air buah asam.
32
beberapa pound saja. Wajar jika tampangnya mengenaskan. Bisa jadi ia masih
berstatus mahasiswa. Karena memang seluruh laki-laki Mesir terkena wajib militer.
Seorang kumsari44
mendekat. Ia gemuk, kepalanya bulat penuh keringat. Perutnya
buncit seperti balon mau meletus. Beda sekali dengan polisi penjaga gerbang
universitas itu. Dunia ini memang penuh perbedaan-perbedaan dan hal-hal kontras
yang terkadang tidak mudah dimengerti. Metro terus melaju.
Sampai di flat, tenagaku nyaris habis. Kulepas sepatu dan kaos kaki lalu
masuk kamar. Sampai di kamar langsung kunyalakan kipas angin, kulepas tas, topi,
kaca mata hitam, dan kemeja putihku. Kuusap mukaku dengan tissu. Hitam. Banyak
debu menempel. Aku lalu beranjak ke ruang tengah, membuka lemari es, mencari
yang dingin-dingin untuk menyegarkan badan. Begitu membuka pintu lemari es
mataku membelalak berbinar. Ada sebotol ashir ashab.45 Dingin. Kutuangkan untuk
satu gelas. Sambil membawa gelas berisia ashir ashab aku berteriak,
“Siapa nih yang beli ashir ashab. Pengertian sekali. Syukran ya. Semoga
umurnya diberkahi Allah.”
Rudi keluar dari kamarnya dengan wajah ceria.
“Mas. Ashir ashab itu bukan kami yang beli.”
“Terus dapat dari mana?”
“Tadi diberi oleh Maria.”
“Apa? Diberi oleh Maria?”
“Iya. Katanya untuk Mas. Makanya masih utuh satu botol. Kami tidak
menyentuhnya sebelum dapat izin dari Mas. Sekarang kami boleh ikut mencicipi ‘kan
Mas?”
“Ah kamu ini ada-ada saja. Kalau ambil ya ambil saja. Yang penting aku
disisain. Pakai menunggu izin segala.”
“Masalahnya ini dari Maria, Mas. Sepertinya puteri Tuan Boutros itu perhatian
sekali sama Mas. Jangan-jangan dia jatuh hati sama Mas.”
“Hus jangan ngomong sembarangan! Mereka itu memang tetangga yang baik.
Sejak awal kita tinggal di sini mereka sudah baik sama kita. Bukan sekali ini mereka
memberi sesuatu pada kita.”
44 Kondektur.
45 Sari air tebu. (Minuman paling memasyarakat di Mesir saat musim panas).
33
“Tapi kenapa Maria bilang untuk Mas. Bukan untuk kita semua?”
“Lha ketahuan ‘kan? Kau cemburu, jangan-jangan kau yang jatuh cinta. Ya
udah nanti biar kusampaikan sama Maria dan Tuan Boutros ayahnya, kalau memberi
sesuatu biar yang disebut namamu hehehe.”
“Jangan Mas. Bukan itu maksudku?”
“Terus?”
“Tapi Maria sepertinya punya perhatian lebih pada Mas.”
Akh Rudi, kamu jangan berprasangka yang bukan-bukan. Kamu ‘kan tahu.
Maria berbuat begitu atas nama keluaganya, atas petunjuk ayahnya yang baik hati itu.
Dan karena kepala keluarga di rumah ini adalah aku, maka tiap kali memberi
makanan, minuman atau menyampaikan sesuatu ya selalu lewat aku, as a leader
here. Dia menyampaikan sesuatu atas nama keluarganya dan aku dianggap
representasi kalian semua. Jadi ini bukan hanya interaksi dua person saja, tapi dua
keluarga. Bahkan lebih besar dari itu, dua bangsa dan dua penganut keyakinan yang
berbeda. Inilah keharmonisan hidup sebagai umat manusia yang beradab di muka
bumi ini. Sudahlah kau jangan memikirkan hal yang terlalu jauh. Tugas kita di sini
adalah belajar. Kita belajar sebaik-baiknya. Di antaranya adalah belajar bertetangga
yang baik. Karena kita telah diberi, ya nanti kita gantian memberi sesuatu pada
mereka. Wa idza huyyitum bi tahiyyatin fa hayyu bi ahasana minha!46
“Saya mengerti, Mas. Afwan jika ucapan saya tadi ada yang kurang berkenan.”
“Udah jangan dipikir. Emm..bagaimana makalahmu? Sudah selesai?”
Alhamdulillah, Mas.”
“Kapan dipresentasikan?”
“Sabtu sore.”
“Di mana?”
“Di Wisma Nusantara.”
Ma’at taufiq.”47
Aku melangkah ke kamar sambil membawa segelas ashir ashab.
46 Dan jika kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan
itu dengan yang lebih baik daripadanya (QS. An-Nisaa’: 86)
47 Semoga sukses.
34
Kuselonjorkan kakiku di atas karpet. Punggungku kusandarkan ke pinggir tempat
tidur. Untung tembok apartemen ini tebal. Jendelanya rapat. Sehingga udara panas di
luar apartemen tidak mudah menembus masuk. Meskipun agak hangat tapi tidak
sepanas di luar. Dan dengan kipas angin sudah cukup membuat udara yang hangat
itu menjadi sejuk. Kuteguk ashir ashab. Perlahan. Dingin mengaliri tenggorokan. Oh
luar biasa nikmatnya. Di kawasan beriklim panas, seperti Mesir dan negara Timur
Tengah lainnya, air dingin memang sangat menyenangkan. Jika air dingin itu
membasahi tenggorokan yang kering rasanya seperti meneguk air sejuk dari surga,
tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Orang yang kehausan di tengah sahara yang
paling ia damba dan ia cinta adalah air dingin penawar dahaga. Tak ada yang lebih ia
cinta dari itu. Di sinilah baru bisa kurasakan betapa dahsyat doa baginda Nabi,
‘Ya Allah jadikanlah cintaku kepada-Mu melebihi cintaku pada harta, keluarga
dan air yang dingin’.
Beliau meminta agar cintanya kepada Allah melebihi cintanya pada air yang
dingin, yang sangat dicintai, disukai, dan diingini oleh siapa saja yang kehausan di
musim panas. Di daerah yang beriklim panas, cinta pada air yang sejuk dingin
dirasakan oleh siapa saja, oleh semua manusia. Jika cinta kepada Allah telah
melebihi cintanya seseorang yang sekarat kehausan di tengah sahara pada air dingin,
maka itu adalah cinta yang luar biasa. Sama saja dengan melebihi cinta pada nyawa
sendiri. Dan memang semestinya demikianlah cinta sejati kepada Allah Azza Wa
Jalla. Jika direnungkan benar-benar, baginda Nabi sejatinya telah mengajarkan idiom
cinta yang begitu indah.
Setelah keringat hilang, dan ubun-ubun kepala mulai dingin aku bangkit
hendak mengambil handuk. Aku harus mandi, badan rasanya tidak nyaman. Harus
dibersihkan dan disegarkan. Baru menyentuh handuk, handphone-ku memerik
singkat. Ada sms masuk. Kubuka. Dari Maria,
“Sudah pulang ya? Bagaimana dengan titipanku, dapat?”
Langsung kujawab,
“Dapat. Terima kasih atas ashir ashabnya.”
Kuletakkan handphone-ku di atas meja. Aku langsung bergegas mandi. Baru
menutup kamar mandi yang bersebelahan dengan kamarku, kudengar si handphone
memekik lagi. Maria pasti mengirim pesan balik. Ah, biar, nanti saja setelah mandi.
Kuputar kran wastafel. Aku ingin cuci tangan. Air mengalir. Kusentuh. Hangat sekali.
35
Berarti pipa-pipa yang berada di dalam tanah berpasir yang mengalirkan air dari
tandon raksasa itu telah panas. Aku jadi teringat saat umrah ke Saudi di puncak
musim panas tahun lalu. Baik siang atau pun malam, kalau hendak mandi harus
mendinginkan air dulu di ember besar. Sebab air yang keluar dari kran sangat panas.
Harus ditampung di ember besar dan ditunggu sampai dingin. Kulihat bath-tub penuh
dengan air. Alhamdulillah, teman-teman sangat pengertian dan cerdas. Aku bisa
langsung mandi tanpa menunggu air dingin. Ketika air menyiram seluruh tubuh rasa
segar itu susah diungkapkan dengan bahasa verbal. Habis mandi tenaga rasanya
pulih kembali.
Usai berganti pakaian kurebahkan diriku di atas kasur. Oh, alangkah
nikmatnya. Ini saatnya istirahat. Kunyalakan tape kecil di samping tempat tidur.
Enaknya adalah memutar murattal48 Syaikh Abu Bakar Asy-Syathiri. Suaranya yang
sangat lembut dan indah penuh penghayatan dalam membaca Al-Qur’an sering
membawa terbang imajinasiku ke tempat-tempat sejuk. Ke sebuah danau bening di
tengah hutan yang penuh buah-buahan. Kadang ke suasana senja yang indah di tepi
pantai Ageeba, pantai laut Mediterania yang menakjubkan di Mersa Mathruh. Bahkan
bisa membawaku ke dunia lain, dunia indah di dalam laut dengan ikan-ikan hias dan
bebatuan yang seperti permata-permata di surga. Dalam keadaan lelah selalu saja
suara Syaikh Abu Bakar Asy-Syathiri menjadi musik pengantar tidur yang paling
nikmat. Meski terkadang aku harus terlebih dahulu meneteskan air mata, kala
mendengar Syaikh Syathiri sesengukan menangis dalam bacaannya. Kunyalakan
murattal Syaikh Syatiri. Suaranya yang indah langsung mengelus-elus
syaraf-syarafku. Mataku mulai liyer-liyer hendak terpejam. Tiba-tiba handphone-ku
kembali memekik. Aku teringat sesuatu. Titipan Maria. Kubaca pesan Maria.
Ada tiga pesan:
“Buka jendela sekarang. Aku akan turunkan keranjang.” “Kau sedang
apa? Aku sudah turunkan keranjang. Lama sekali.” “Kenapa tidak ada
respons?”
Aduh, kasihan Maria. Dia tadi sudah lama membuka jendelanya dan
menurunkan keranjang.
Langsung kujawab,
“Afwan. Tadi saya langsung mandi. Jadi tiga pesanmu terakhir baru
48 Kaset yang merekam Al-Qur’an dibaca secara tartil.
36
kubuka setelah mandi. Afwan. Sekarang bisa kau turunkan keranjang.”
Kutunggu respons darinya. Tak lama pesannya masuk,
“O, begitu. Tak apa-apa. Ini kuturunkan keranjangnya.”
Aku bangkit dari tempat tidur. Mengambil dua disket dalam tas. Lalu menuju
jendela. Kubuka jendela. Hawa panas langsung masuk. Sebuah keranjang kecil
dijulurkan dengan tambang kecil putih dari atas. Ada uang sepuluh pound di
dalamnya. Kuletakkan dua disket itu dalam keranjang tanpa menyentuh uang sepuluh
pound itu sama sekali.
Kamar Maria memang tepat di atas kamarku, dan jendela kamarnya tepat di
atas jendela kamarku. Orang Mesir yang berada di atas lantai dua biasanya memiliki
keranjang kecil yang seringkali digunakan untuk suatu keperluan tanpa harus turun ke
bawah. Jika ibu-ibu Mesir belanja buah-buahan atau sayur-sayuran pada penjual
buah atau penjual sayur keliling, biasanya mereka menggunakan keranjang kecil itu,
tanpa harus turun dari rumah mereka yang berada di atas. Mereka cukup pesan
berapa kilo, setelah sepakat harganya mereka menurunkan keranjang kecil yang di
dalamnya sudah ada uang untuk membayar barang yang dipesannya. Tukang buah
atau tukang sayur akan mengisi keranjang itu dengan barang yang dipesan setelah
mengambil uangnya. Jika uangnya lebih, mereka akan mengembalikannya sekaligus
bersama barang yang dipesan. Barulah si ibu mengangkat keranjangnya seperti
orang menimba. Transaksi yang praktis. Pertama kali melihat aku heran. Yang aku
herankan adalah begitu amanah-nya penjual buah itu. Mereka tidak curang. Tidak
berusaha nakal. Maria atau ibunya juga biasa membeli sayur atau buah dengan cara
seperti itu.
Maria mengangkat keranjangnya. Aku menutup jendela. Tak lama kemudian
handphone-ku kembali bertulalit. Maria lagi,
“Harganya berapa? Uangnya kok tidak diambil, kenapa?”
Kujawab,
“Harganya zero, zero, zero pound. Jadi tak perlu dibayar.”
Ia menjawab,
“Jangan begitu. Itu tidak wajar.”
Kujawab,
37
“Harganya seperti biasa. Uangnya kau simpan saja.
Kalau kau buat Ruzz bil laban49 titip ya. Bolehkan?”
Ia menjawab,
“Baiklah kalau begitu. Dengan senang hati. Syukran!”
Kujawab,
Afwan.”
Klik. Handphone kunonaktifkan. Aku ingin tidur. Pada saat yang sama,
kudengar suara pintu terbuka. Lalu suara Hamdi mengucapkan salam. Kujawab lirih.
Alhamdulillah dia pulang. Dia nanti akan masak oseng-oseng wortel campur kofta.
Aku senang bahwa teman-teman satu rumah ini mengerti dengan kewajiban
masing-masing. Kewajiban memasak sesibuk apa pun adalah hal yang tidak boleh
ditinggalkan. Sepertinya remeh tapi sangat penting untuk sebuah tanggung jawab.
Masak tepat pada waktunya adalah bukti paling mudah sebuah rasa cinta sesama
saudara. Ya inilah persaudaraan. Hidup di negeri orang harus saling membantu dan
melengkapi. Tanpa orang lain mana mungkin kita bisa hidup dengan baik.
Sambil rebahan kunikmati suara Syaikh Syathiri membaca Al-Qur’an mengalun
indah. Maghrib masih lama. Dalam musim panas, siang lebih panjang dari malam.
Aku harus beristirahat. Nanti malam harus kembali memeras otak. Menerjemah untuk
biaya menyambung hidup. Ya, hidup ini—kata Syauqi, sang raja penyair
Arab—adalah keyakinan dan perjuangan. Dan perjuangan seorang mukmin
sejati—kata Imam Ahmad bin Hanbal—tidak akan berhenti kecuali ketika kedua
kakinya telah menginjak pintu surga.
* * *
Seperti biasa, usai shalat maghrib berjamaah di masjid kami berkumpul di
ruang tengah untuk makan bersama. Kali ini kami hanya berempat. Masih kurang
satu, yaitu Si Mishbah. Ia belum pulang. Ia masih di Wisma Nusantara yang menjadi
sentral kegiatan mahasiswa Indonesia. Gedung yang diwakafkan oleh Yayasan Abdi
Bangsa itu terletak di Rab’ah El-Adawea, Nasr City.
Hamdi baru pulang dari Masjid Indonesia. Ia banyak bercerita tentang
anak-anak para pejabat KBRI yang lucu-lucu dan manja-manja. Dibandingkan yang
ada di negara lain, KBRI di Cairo bisa dibilang termasuk yang beruntung. Komunitas
49 Ruzz bil laban: Bubur dari beras yang dibuat dengan susu. Setelah dingin dimasukkan dalam kulkas.
38
yang mereka urusi adalah mahasiswa Al Azhar. Kegiatan keislaman dan pengajian
antaribu-ibu KBRI juga berjalan lancar. Tiap Ramadhan ada tarawih bersama. Juga
ada pesantren kilat untuk putera-puteri mereka. Semuanya dipandu oleh mahasiswa
dan mahasiswi Al Azhar. Masalah yang dihadapi KBRI Cairo tidak serumit yang
dihadapi oleh KBRI di Saudi Arabia misalnya, yang setiap hari berurusan dengan TKI
atau TKW dengan setumpuk masalahnya yang sangat memuakkan. Misalnya, tidak
dibayar majikan, disiksa majikan, diperkosa majikan, diperlakukan seperti budak oleh
majikan, dihamili oleh sesama tenaga kerja dari Indonesia, ditangkap polisi karena
tidak punya izin tinggal resmi, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.
Masjid Indonesia yang dibangun oleh para pejabat KBRI bahkan telah memiliki
perpustakaan yang cukup mengasyikkan bagi putera-puteri mereka. Manajemen
masjidnya lumayan baik. Teks khutbah Jum’atnya dibukukan tiap tahun. Masjid
Indonesia bahkan biasa menjadi tempat rekreasi para mahasiswa yang ingin melepas
penat pikiran. Mereka yang mayoritasnya tinggal di Nasr City, jika merasa bosan bisa
main ke Dokki. Silaturrahmi ke rumah pejabat KBRI yang dikenal. Atau ke Masjid
Indonesia yang terletak di Mousadda Street. Pergi ke Dokki pada hari Jum’at sangat
tepat. Selain shalat Jum’at bersama dan bersilaturrahim dengan sesama orang
Indonesia, usai shalat Jum’at biasanya ada makan bersama di belakang masjid.
Makanan disediakan oleh para pejabat KBRI muslim secara bergiliran. Jika keadaan
ini terus bertahan niscaya sangat indah untuk dikisahkan dan dikenang.
Usai makan, aku melakukan rutinitasku di depan komputer.
Mengalihbahasakan kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Kali ini yang
aku garap adalah kitab klasik karya Ibnu Qayyim, yaitu kitab Miftah Daris Sa’adah.
Dua jilid besar. Kitab berat. Menggarap kitab ini benar-benar menguras pikiran dan
tenaga. Aku harus ekstra serius dan hati-hati pada saat Ibnu Qayyim membahas
masalah ilmu perbintangan, horoskop, pengaruh planet-planet, ramalan nasib, dan
lain sebagainya. Bahasa ilmu falak dan astronomi adalah bahasa yang tidak mudah.
Aku terpaksa membuka kamus klasik berkali-kali. Apalagi bahasa yang dipakai Ibnu
Qayyim adalah bahasa Arab klasik. Itu saja tidak cukup, harus juga didampingi
dengan kamus dan buku astronomi modern. Dan tatkala yang ditulis Ibnu Qayyim
telah terang maksudnya, aku bagaikan menemukan mutiara tidak ternilai harganya.
Ibnu Qayyim ternyata juga seorang astronom yang luar biasa.
Menerjemahkan sebuah kitab klasik terkadang terasa sangat menjemukan.
Namun ketika rasa jemu bisa teratasi kegiatan itu akan berubah menjadi sebuah
39
rekreasi yang sangat mengasyikkan. Andaikan Ibnu Rusyd masih hidup, aku ingin
bertanya, rasanya seperti apa ketika dia sedang menerjemahkan karya-karya
Aristoteles. Dan seperti apa rasanya ketika telah selesai semuanya?
Malam ini jadwalku sampai jam dua belas. Berhenti ketika shalat Isya. Akhir
bulan naskah harus sudah aku kirim ke Jakarta. Setelah itu ada dua buku yang siap
diterjemah. Buku kontemporer, bahasanya lebih mudah. Seorang teman pernah
mencibir diriku, bahwa menjadi penerjemah sama saja menjadi mesin pengalih
bahasa. Aku tak peduli dengan segala cibiran mereka. Aku merasa nikmat dengan
apa yang aku kerjakan. Aku bisa belajar menambah ilmu, mentransfer ilmu
pengetahuan dan berarti ikut serta mencerdaskan bangsa. Aku bisa berkarya, sekecil
apa pun bentuknya. Berdakwah, dengan kemampuan seadanya. Dan yang terpenting
aku bisa hidup mandiri dengan royalti yang aku terima. Tidak seperti mereka yang
bisanya mencibir saja. Menuruti kata orang tidak akan pernah ada habisnya. Kamu
tidak akan mungkin bisa memenuhi segala kesesuaian dengan hati semua manusia!
Kata-kata Imam Syafii mengingatkan diriku.
* * *
Pukul 22.00 waktu Cairo. Handphone-ku berdering. Ada sms masuk. Dari
Musthafa, teman Mesir satu kelas di pasca. Ia memberikan kabar gembira,
“Mabruk. Kamu lulus. Kamu bisa nulis tesis. Tadi sore pengumumannya
keluar.”
Aku merasa seperti ada hawa dingin turun dari langit. Menetes deras ke dalam
ubun-ubun kepalaku lalu menyebar ke seluruh tubuh. Seketika itu aku sujud syukur
dengan berlinang air mata. Aku merasa seperti dibelai-belai tangan Tuhan. Setelah
puas sujud syukurku aku mengungkapkan rasa gembiraku pada teman-teman satu
rumah. Mereka semua menyambut dengan riang gembira. Dengan tasbih, tahmid dan
istighfar. Dengan mata yang berbinar-binar. Kukatakan pada mereka,
“Malam ini juga kita syukuran. Kita beli firoh masywi50 dua. Lengkap dengan
ashir mangga. Kita makan nanti tengah malam, bersama-sama di sutuh sana.
Bagaimana. Eh ra’yukum51?”
“Kalau ini sih usul yang susah ditolak!” sahut Saiful senang. Siapa yang tidak
senang diajak makan ayam bakar gratis.
50 Ayam bakar.
51 Apa pendapat kalian.
40
Kukeluarkan uang lima puluh pound.
“Biar aku sama Saiful saja yang beli. Mas Fahri sama Hamdi di rumah saja.
Kalian masih capek ‘kan karena perjalanan tadi siang. Okay?” Rudi menawarkan diri.
Okay. Oh ya jangan cuma ashir mangga, beli juga tamar hindi ya? Jangan
lupa!” sahut Hamdi. Ia memang paling suka sama tamar hindi. Waktu musim dingin
saja ia mencari tamar hindi, apa tidak aneh.
“Beres bos,” seru Saiful.
Keduanya membuka pintu dan keluar.
“Mas aku buat sambal sama menanak sedikit nasi ya?” kata Hamdi.
“Sip. Kita buat bareng,” sambutku sambil mengacungkan kedua jempolku.
Memang, tanpa membuat sambal ala Indonesia kurang mantap. Ayam bakar Mesir
tidak pakai sambal. Padahal kami berempat adalah orang yang doyan sambal,
terutama Hamdi. Dia jebolan pesantren Lirboyo, harus pakai sambal.
Saat melangkah ke dapur aku teringat Mishbah. Tidak adil rasanya kami
berempat berpesta tampa mengikutsertakan dia. Namanya keluarga, ketika senang
harus dirasakan bersama. Aku tersenyum. Masalah yang mudah. Kutelpon Wisma.
Aku minta disambungkan pada Mishbah. Kuberitahukan padanya orang satu rumah
akan syukuran atas kelulusanku. Ia berteriak gembira,
“Mas apa aku pulang saja sekarang? Pakai taksi ‘kan cepat!”
“Kerjamu sudah selesai?” tanyaku.
“Belum sih sekarang aku lagi membuat estimasi dana sama Mas Khalid.”
“Kalau begitu kau selesaikan saja pekerjaanmu. Kalau kau pulang ke Hadayek
Helwan kau akan terlalu capek. Begini saja Akhi, kau ajak saja Mas Khalid istirahat ke
Babay atau ke mana terserah. Ajak makan firoh masywi. Pakai uangmu atau uangnya
Mas Khalid dulu. Nanti aku ganti. Jadi adil, bagaimana?”
“Kalau begitu siiip-lah Mas. Pokoknya alfu mabruk deh.” Suaranya terdengar
girang. Aku tersenyum. Ah, musim panas yang menyenangkan, meskipun
melelahkan.
Dalam segala musim, Tuhan selalu Penyayang.
Itu yang aku rasakan.
41
* * *
Tepat tengah malam kami pergi ke suthuh.52 Membawa tikar, nampan besar,
empat gelas plastik, ashir mangga, tamar hindi, dan dua bungkus firoh masywi yang
masih hangat dan sedap baunya.
Kami benar-benar berpesta. Dua ciduk nasi hangat digelar di atas nampan.
Sambal ditumpahkan. Lalu dua ayam bakar dikeluarkan dari bungkusnya. Tak lupa
acar dan lalapan timun. Satu ayam untuk dua orang.
“Sekali-kali kita jadi orang Mesir beneran, satu ayam untuk dua orang,”
komentar Rudi.
“Kalau ini bukan makan nasi lauk ayam. Ini makan ayam lauk nasi. Nasinya
dikit sekali. Mbok ditambah dikit,” sambung Saiful.
“Tujuannya memang kita makan ayam bakar. Nasi pelengkap saja untuk
melestarikan budaya Indonesia. Bagi yang mau tambah nasi ambil saja sendiri. Benar
nggak Mas?” sahut Hamdi.
“Sekarang bukan saatnya diskusi. Kalau mau diskusi besok Sabtu di Wisma
Nusantara. Rudi presentatornya. Bismillah, ayo jangan banyak cingcong langsung
kita ganyang saja!” ucapku sambil mencomot daging ayam di hadapanku. Serta merta
mereka melakukan hal yang sama. Kami makan sambil ngobrol, di belai udara malam
yang tidak dingin dan tidak panas. Semilir sejuk. Keindahan musim panas memang
pada waktu malam. Kala langit cerah. Bulan terang. Bintang-bintang gemerlapan.
Dan debu tidak berhamburan. Menikmati suasana alam di atas suthuh apartemen
sangat menyenangkan. Nun jauh di sana cahaya lampu-lampu rumah dan
gedung-gedung dekat sungai Nil tampak berkerlap-kerlip diterpa angin. Sayup-sayup
kami mendengar bunyi irama musik rakyat mengalun di kejauhan sana. Mungkin ada
yang sedang pesta. Alunan itu ditingkahi puja-puji syair sufi. Sangat khas senandung
malam di delta Nil.
Suasana nyaman ini akan jadi kenangan tiada terlupakan. Dan kelak ketika
kami sudah kembali ke Tanah Air, kami pasti akan merindukan suasana indah malam
musim panas di Mesir seperti ini.
Usai makan kami tidak langsung turun. Kami tetap bercengkerama ditemani
semilir angin dari sungai Nil dan satu botol air segar tamar hindi. Kami bercerita
52 Lantai apartemen paling atas dan menghadap langit (atap apartemen).
42
tentang malam-malam berkesan yang pernah kami lewati. Rudi Marpaung yang
berasal dari Medan menceritakan pengalamannya menginap bersama
teman-temannya ketika masih aliyah di Brastagi. Menyewa vila dan mengadakan
shalat tahajjud bersama dalam dinginnya malam. Suasana jadi semakin asyik ketika
Hamdi mengisahkan pengalamannya yang menegangkan selama tersesat di lereng
Gunung Lawu selama dua hari.
“Kami berempat belas. Dibagi dalam dua kelompok. Kami mencoba jalur baru.
Kelompok kami istirahat terlalu lama. Kami mengejar kelompok pertama. Sayang
kurang kompak. Kami bertiga tertinggal dan terlunta selama dua hari dalam hutan
Gunung Lawu. Hanya pertolongan dari Allah yang membuat kami tetap hidup.”
Sedangkan Saiful yang waktu SMP pernah diajak ayahnya ke Turki bercerita
tentang indahnya malam di teluk Borporus. Ia bercerita detil teluk Borporus. Lalu
mengajak kami membayangkan bagaimana Sultan Muhammad Al-Fatih merebut
Konstantinopel dengan memindahkan puluhan kapal di malam hari lewat daratan dan
menjadikan kapal itu jembatan untuk menembus benteng pertahanan Konstantinopel.
Di tengah asyiknya bercengkerama, tiba-tiba kami mendengar suara orang
ribut. Suara lelaki dan perempuan bersumpah serapah berbaur dengan suara jerit dan
tangis seorang perempuan. Suara itu datang dari bawah. Kami ke tepi suthuh dan
melihat ke bawah.
Benar, di gerbang apartemen kami melihat seorang gadis diseret oleh seorang
lelaki hitam dan ditendangi tanpa ampun oleh seorang perempuan. Gadis yang
diseret itu menjerit dan menangis. Sangat mengibakan. Gadis itu diseret sampai ke
jalan.
“Jika kau tidak mau mendengar kata-kata kami, jangan sekali-kali kau injak
rumah kami. Kami bukan keluargamu!” sengit perempuan yang menendangnya.
Kami kenal gadis itu. Kasihan benar dia. Malang nian nasibnya. Namanya
Noura. Nama yang indah dan cantik. Namun nasibnya selama ini tak seindah nama
dan paras wajahnya. Noura masih belia. Ia baru saja naik ke tingkat akhir Ma’had Al
Azhar puteri. Sekarang sedang libur musim panas. Tahun depan jika lulus dia baru
akan kuliah. Sudah berulang kali kami melihat Noura dizhalimi oleh keluarganya
sendiri. Ia jadi bulan-bulanan kekasaran ayahnya dan dua kakaknya. Entah kenapa
ibunya tidak membelanya. Kami heran dengan apa yang kami lihat. Dan malam ini
kami melihat hal yang membuat hati miris. Noura disiksa dan diseret tengah malam ke
43
jalan oleh ayah dan kakak perempuannya. Untung tidak musim dingin. Tidak bisa
dibayangkan jika ini terjadi pada puncak musim dingin.
Noura sesengukan di bawah tiang lampu merkuri. Ia duduk sambil mendekap
tiang lampu itu seolah mendekap ibunya. Apa yang kini dirasakan ibunya di dalam
rumah. Tidakkah ia melihat anaknya yang menangis tersedu dengan nada menyayat
hati. Tak ada tetangga yang keluar. Mungkin sedang lelap tidur. Atau sebenarnya
terjaga tapi telah merasa sudah sangat bosan dengan kejadian yang kerap berulang
itu. Ayah Noura yang bernama Bahadur itu memang keterlaluan. Bicaranya kasar dan
tidak bisa menghargai orang. Seluruh tetangga di apartemen ini dan masyarakat
sekitar jarang yang mau berurusan dengan Si Hitam Bahadur. Kulitnya memang hitam
meskipun tidak sehitam orang Sudan. Hanya kami yang mungkin masih sesekali
menyapa jika berjumpa. Itu pun kami terkadang merasa jengkel juga, sebab ketika
disapa ekspresi Bahadur tetap dingin seperti algojo kulit hitam yang berwajah batu.
Sejak kami tinggal di apartemen ini belum pernah Si Muka Dingin Bahadur tersenyum
pada kami. Kalau suara tawanya yang terbahak-bahak memang sering kami dengar.
Aku paling tidak tahan mendengar perempuan menangis. Kuajak temanteman
turun kembali ke flat. Mereka bertanya apa yang harus dilakukan untuk menolong
Noura. Aku diam belum menemukan jawaban. Aku masuk kamar, kubuka jendela,
angin malam semilir masuk. Noura masih terisak-isak di bawah tiang lampu. Aku dan
teman-teman tidak mungkin turun ke bawah menolong Noura. Meskipun dengan
sepatah kata untuk menghibur hatinya. Atau untuk memberitahukan padanya bahwa
sebenarnya ada yang peduli padanya. Tidak mungkin. Jika ada yang salah persepsi
urusannya bisa penjara. Apalagi Si Hitam Bahadur bisa melakukan apa saja tanpa
pertimbangan akal sehatnya.
Aku teringat Maria. Ia gadis yang baik hatinya. Rasa ibaku pada Noura
menggerakkan tanganku untuk mencoba mengirim sms pada Maria.
“Maria. Apa kau bangun. Kau dengar suara tangis di bawah sana?”
Kutunggu. Lima menit. Tak ada jawaban. Kuulangi lagi. Kutunggu lagi. Ada
jawaban.
“Ya aku bangun. Aku mendengarnya. Aku lihat dari jendela Noura
memeluk tiang lampu.” “Apa kau tidak kasihan padanya?” “Sangat
kasihan.” “Apa kau tidak tergerak untuk menolongnya.” “Tergerak. Tapi
itu tidak mungkin.” “Kenapa?”
44
“Si Hitam Bahadur bisa melakukan apa saja. Ayahku tidak mau
berurusan dengannya.” “Tidakkah kau bisa turun dan menyeka air
matanya. Kasihan Noura. Dia perlu seseorang yang menguatkan
hatinya.” “Itu tidak mungkin.” “Kau lebih memungkinkan daripada kami.”
“Sangat susah kulakukan!” Maria menolak. “Kumohon turunlah dan
usaplah air matanya. Aku paling tidak tahan jika ada perempuan
menangis. Aku tidak tahan. Kumohon. Andaikan aku halal baginya tentu
aku akan turun mengusap air matanya dan membawanya ke tempat
yang jauh dari linangan air mata selama-lamanya.” “Untuk yang ini
jangan paksa aku, Fahri! Aku tidak bisa!” “Kumohon, demi rasa cintamu
pada Al-Masih. Kumohon!” “Baiklah, demi cintaku pada Al-Masih akan
kucoba. Tapi kau harus tetap mengawasi dari jendelamu. Jika ada
apa-apa kau harus berbuat sesuatu.” “Jangan kuatir. Tuhan menyertai
orang yang berbuat kebajikan.”
Benar dugaanku. Sebenarnya banyak tetangga yang terbangun oleh
teriakan-teriakan Bahadur dan jeritan Noura. Tapi mereka tidak tahu harus berbuat
apa. Pernah seorang tetangga memanggil polisi, tapi Noura tidak mau ayahnya
diperkarakan, Noura malah mengaku dia yang salah dan ayahnya berhak marah. Mau
bagaimana? Noura sepertinya tidak mau dibela padahal apa yang dilakukan ayahnya
padanya telah melewati batas. Tuan Boutros, ayah Maria pernah menegur Si Hitam
Bahadur atas perlakuannya yang tidak baik pada anak bungsunya. Tapi apa yang
terjadi? Bahadur malah melontarkan sumpah serapah yang tidak enak didengar
telinga.
Dari jendela aku melihat Maria berjalan mendekati Noura. Ia memakai jubah
biru tua. Rambutnya yang hitam tergerai ditiup angin malam. Maria lalu duduk di
samping Noura. Ia kelihatannya berbicara pada Noura sambil mengeluselus
kepalanya. Noura masih memeluk tiang lampu. Maria terus berusaha. Akhirnya
kulihat Noura memeluk Maria dengan tersedu-sedu. Maria memperlakukan Noura
seolah adiknya sendiri. Sambil memeluk Noura Maria menengok ke arahku. Aku
menganggukkan kepala. Kulihat jam dinding, pukul dua empat puluh lima menit.
Teman-teman sudah terlelap. Mereka kekenyangan makan. Maria masih memeluk
Noura. Cukup lama mereka berpelukan. Maria melepaskan pelukannya. Tangan
kanannya memenjet handphone-nya dan meletakkan di telingannya.
Handphoneku menjerit. Maria bertanya,
45
“Sekarang apa yang harus kulakukan?”
“Tidak bisakah kau ajak dia ke kamarmu?”
“Aku kuatir Bahadur tahu.”
“Aku yakin dia sudah terlelap. Dan biasanya akan bangun sekitar jam sepuluh
pagi. Dia pekerja malam. Tadi jam setengah dua baru pulang terus membuat
keributan.”
“Baiklah akan kucoba.”
“Tunggu! Sekalian kau bujuk Noura menceritakan apa yang sebenarnya
dialaminya selama ini, agar kita semua para tetangga yang peduli pada nasibnya bisa
menolongnya dengan bijaksana.”
“Akan kucoba.”
Sebenarnya Maria bisa bicara langsung tanpa melalui handphone. Tapi dia
harus bersuara sedikit keras, dan itu akan mengganggu tetangga yang tidur. Maria
memang tidak seperti Mona dan Suzana, dua kakak perempuan Noura yang genit dan
keras bicaranya. Seringkali Mona atau Suzana memanggil orang di rumah mereka
dari bawah dengan suara keras. Tidak siang tidak malam. Padahal rumah mereka
hanya di lantai dua tapi suaranya seperti memanggil orang di lantai tujuh.
Kulihat Maria berhasil membujuk Noura untuk ikut dengannya dan berjalan
memasuki gerbang apartemen. Hatiku sedikit lega. Masih ada waktu satu jam
setengah sampai subuh tiba. Kupasang beker. Aku ingin melelapkan mata sebentar
saja.

No comments:

Post a Comment