Tuesday, September 1, 2015

Ayat - Ayat Cinta - Bab 2



2. Peristiwa di dalam Metro
 
Usai shalat, aku menyalami Syaikh Ahmad. Nama lengkapnya Syaikh Ahmad
Taqiyyuddin Abdul Majid. Imam muda yang selama ini sangat dekat denganku. Beliau
tidak pernah menyembunyikan senyumnya setiap kali berjumpa denganku. Beliau
masih muda, umurnya baru tiga puluh satu, dan baru setengah tahun yang lalu ia
meraih Magister Sejarah Islam dari Universitas Al Azhar. Anaknya baru satu, berumur
dua tahun. Kini beliau bekerja di Kementerian Urusan Wakaf sambil menempuh
program doktoralnya. Beliau juga menjadi dosen Sejarah Islam di Ma’had I’dadud
Du’at 17 yang dikelola oleh Jam’iyyah Syar’iyyah bekerjasama dengan Fakultas
Dakwah, Universitas Al Azhar. Di seluruh Mesir sampai sekarang ma’had ini baru ada
dua: di Ramsis dan di Hadayek Helwan.
Meskipun masih muda, namun kedalaman ilmu agama dan kefashihannya
membaca serta mentafsirkan Al-Qur’an membuat masyarakat memanggilnya
“Syaikh”. Kerendahan hati, dan komitmennya yang tinggi membela kebenaran
membuat sosoknya dicintai dan dihormati semua lapisan masyarakat Hadayek
Helwan dan sekitarnya. Yang menarik, dia dekat dengan kawula muda. Panggilan
‘Syaikh’ tidak membuatnya lantas merasa canggung untuk ikut sepak bola setiap
Jum’at pagi bersama anak-anak muda. Jika Maria adalah gadis Koptik yang aneh.
Aku merasa Syaikh Ahmad adalah ulama muda yang unik.
Akh18
Fahri, mau ke mana?” tanya Syaikh ramah dengan senyum menghiasi
wajahnya yang bersih. Jenggotnya tertata rapi. Kutatap wajah beliau sesaat.
Sejatinya Syaikh Ahmad memang tampan. Tak kalah dengan Kazem Saheer,
penyanyi tenar asal Irak yang digandrungi gadis-gadis remaja seantero Timur
Tengah. Nada suaranya juga indah berwibawa. Tak heran jika beliau disayangi
semua orang. Seandainya suara indah Kazem Saheer digunakan untuk membaca
Al-Qur’an seperti Syaikh Ahmad mungkin akan lain cerita belantika selebritis Mesir.
“Seperti biasa Syaikh, ke Shubra,” jawabku datar.
Beliau langsung paham aku mau ke mana dan mau apa. Sebab Syaikh Ahmad
dulu juga belajar qiraah sab’ah pada Syaikh Utsman di Shubra. Sesekali bahkan
masih datang ke sana.
“Cuacanya buruk. Sangat panas. Apa tidak sebaiknya istrirahat saja? Jarak
17 Sekolah Tinggi Juru Dakwah
18 Saudara.
13
yang akan kau tempuh itu tidak dekat. Pikirkan juga kesehatanmu, Akh,” lanjut beliau
sambil meletakkan tangan kanannya dipundak kiriku.
“Semestinya memang begitu Syaikh. Tapi saya harus komitmen dengan
jadwal. Jadwal adalah janji. Janji pada diri sendiri dan janji pada Syaikh Utsman untuk
datang.”
Masya Allah, semoga Allah menyertai langkahmu.”
“Amin,” sahutku pelan sambil melirik jam dinding di atas mihrab.
Waktunya sudah mepet.
“Syaikh, saya pamit dulu,” kataku sambil bangkit berdiri. Syaikh Ahmad ikut
berdiri. Kucangklong tas, kupakai topi dan kaca mata.
Syaikh Ahmad tersenyum melihat penampilanku.
“Dengan topi dan kaca mata hitammu itu kau seperti bintang film Hong Kong
saja. Tak tampak sedikit pun kau seorang mahasiswa pascasarjana Al Azhar yang
hafal Al-Qur’an.”
“Syaikh ini bisa saja,” sahutku sambil tersenyum, “mohon doanya.
Assalamu’alaikum.”
Wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh.”
Di luar masjid, terik matahari dan gelombang angin panas langsung
menyerang. Cepat-cepat kuayunkan kaki, berlari-lari kecil menuju mahathah metro
yang berada tiga puluh lima meter di hadapanku. Ups, sampai juga akhirnya. Aku
langsung menuju loket penjualan tiket.
Ya Kapten, wahid Shubra!19 seruku pada penjaga loket berkepala botak dan
gemuk. Wajahnya penuh keringat, meskipun tepat di belakangnya ada kipas angin
kecil berputar-putar. Ia tampak berkenan kusapa dengan kapten. Memang untuk
menyapa lelaki yang tidak dikenal cukup memakai ‘ya kapten’ bisa juga ‘ya basya’
atau kalau agak tua ‘ya ammu’. Jika kira-kira sudah haji memakai ‘ya haj’.”
Masyi ya Andonesy,”20 jawab penjaga loket sambil mengulurkan karcis kecil
warna kuning kepadaku. Ia mengambil uang satu pound yang kuberikan dan memberi
kembalian 20 piesters. Di pintu masuk karcis aku masukkan untuk membuka pintu
penghalang. Setelah melewati pintu penghalang karcis itu kuambil lagi. Sebab tanpa
19 Kapten, Shubra satu!
20 Baik, Orang Indonesia.
14
karcis itu saya tidak akan bisa keluar di Shubra nanti. Dan jika ada pemeriksaan di
dalam metro karcis itu harus aku tunjukkan. Jika tidak bisa menunjukkan, akan kena
denda. Biasanya sepuluh pound. Itu pun setelah dimaki-maki oleh petugas
pemeriksa.
Bagi penduduk Mesir, khususnya Cairo, metro bisa dikatakan transportasi
kebanggaan. Lumayan canggih. Mahattah bawah tanah yang ada di Attaba, Tahrir
dan Ramsis kelihatan modern dan canggih. Itu wajar. Sebab arsiteknya, semuanya
orang Perancis. Orang-orang Mesir sering menyombongkan diri begini,
‘Kalau Anda berada di mahattah metro Tahrir atau Ramsis itu sama saja Anda
berada di salah satu mahattah metro kota Paris.’
Benarkah?
Aku tidak tahu, sebab aku tidak pernah pergi ke Paris. Tapi aku pernah
membaca sebuah majalah, memang ada stasiun bawah tanah di kota Paris yang
dibuat bernuansa Mesir kuno. Dinding-dindingnya diukir dengan Hieroglyph,
huruf-huruf Mesir kuno. Beberapa sisinya dihiasi dengan patung-patung dan
simbol-simbol Mesir kuno, seperti tugu Alexandria, kunci pyramid yang sekilas tampak
seperti salib, patung Tutankhmoun, Tutmosis, Ramses III, Amenophis III, Cleopatra
dan lain sebagainya. Nuansa seperti itu sangat kental di mahattah metro Anwar
Sadat-Tahrir, yang berada tepat di jantung kota Cairo.
Sebuah metro biru kusam datang. Pintu-pintunya terbuka perlahan. Beberapa
orang turun. Setelah itu, barulah para penumpang yang menunggu naik. Aku masuk
gerbong nomor lima. Aku yakin sekali akan dapat tempat duduk. Dalam cuaca panas
seperti ini pasti penumpang sepi. Begitu sampai di dalam, aku langsung mengedarkan
pandangan mencari tempat duduk. Sayang, semua tempat duduk telah terisi. Bahkan
ada lima penumpang yang berdiri. Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin ini
terjadi? Di hari-hari biasa yang tidak panas saja seringkali ada tempat duduk kosong.
Aku mengerutkan kening.
Dapat tempat duduk adalah juga rizki. Jika tidak dapat tempat duduk berarti
belum rizkinya. Aku menggeser diri ke dekat pintu di mana ada kipas angin
berputar-putar di atasnya. Namun kipas itu nyaris tak berguna. Udara panas yang
diputar tetap saja panas. Metro melaju kencang. Udara yang masuk dari jendela juga
panas. Padang pasir seperti mendidih. Semua penumpang basah oleh air peluh.
15
Seorang pemuda berjenggot tipis yang berdiri tak jauh dari tempat aku berdiri
memandangi diriku dengan tersenyum. Aku membalas senyumnya. Ia mendekat dan
mengulurkan tangannya.
Ana akhukum21,
Ashraf,” ia memperkenalkan diri dengan sangat sopan. Ia
menggunakan kalimat ‘akhukum’ berarti ia sangat yakin aku seorang muslim seperti
dirinya.
Ana akhukum, Fahri,” jawabku.
Min Shin?”22
Orang Mesir terlalu susah membedakan orang Asia Tenggara dengan orang
China.
La. Ana Andonesy.”23
Kami pun lantas berbincang-bincang. Mula-mula aku memancingnya dengan
masalah bola. Orang Mesir paling suka berbicara masalah bola. Terutama
membicarakan persaingan tiga klub besar Mesir yaitu Ahli, Zamalek dan Ismaili. Ia
ternyata pendukung Zamalek. Dengan bangga ia berkata, “Syaikh Muhammad Jibril
juga pendukung setia Zamalek.” Aku hanya tersenyum. Aku tidak perlu
mempertanyakan lebih lanjut kebenaran kata-katanya. Tidak penting. Pendukung
fanatik sebuah klub akan mencari banyak data untuk mendukung klub
kesayangannya. Maka aku langsung menyambungnya dengan memuji kehebatan
beberapa pemain andalan Zamalek. Terutama Hosam Hasan. Ia tampak senang.
Tujuanku memang membuat dia merasa senang. Tak lebih. Aku merasa tak rugi
membaca buku-buku Syaikh Abbas As-Sisi tentang bagaimana caranya mengambil
hati orang lain. Pembicaraan terus melebar ke mana-mana. Ia sangat senang ketika
tahu bahwa aku mahasiswa pascasarjana Al Azhar. Lebih kaget ketika ia tahu aku
hendak ke Shubra untuk talaqqi pada Syaikh Utsman.
Ia berkata,
“Di Helwan saya belajar qiraah riwayat Imam Hafsh pada Syaikh Hasan yang
tak lain adalah murid Syaikh Utsman. Berkali-kali Syaikh Hasan memintaku untuk ikut
belajar qiraah sab’ah langsung pada Syaikh Utsman, tapi aku tak ada waktu. Aku
sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarga. Jadi, kau termasuk orang yang
21 Aku saudaramu
22 Dari China?
23 Tidak. Aku orang Indonesia.
16
beruntung, orang Indonesia.”
Metro terus berjalan. Tak terasa sudah sampai daerah Thakanat Maadi.
Akh Ashraf, kamu mau turun di mana?” tanyaku ketika metro perlahan
berhenti dan beberapa orang bersiap turun.
“Sayyeda Zaenab. Insya Allah.”
Pintu metro terbuka. Beberapa orang turun. Dua kursi kosong. Kalau mau, aku
bisa mengajak Ashraf mendudukinya. Namun ada seorang bapak setengah baya
masih berdiri. Dia memandang ke luar jendela, tidak melihat ada dua bangku kosong.
Kupersilakan dia duduk. Dia mengucapkan terima kasih. Kursi masih kosong satu.
Sangat dekat denganku. Kupersilakan Ashraf duduk. Dia tidak mau, malah
memaksaku duduk. Tiba-tiba mataku menangkap seorang perempuan berabaya biru
tua, dengan jilbab dan cadar biru muda naik dari pintu yang satu, bukan dari pintu
dekat yang ada di dekatku. Kuurungkan niat untuk duduk. Masih ada yang lebih
berhak. Perempuan bercadar itu kupanggil dengan lambaian tangan. Ia paham
maksudku. Ia mendekat dan duduk dengan mengucapkan, “Syukran!
Metro atau kereta listrik terus melaju.
Ashraf kembali mengajakku berbincang. Kali ini tentang Amerika. Ia geram
sekali pada Amerika. Seribu alasan ia beberkan. Kata-katanya menggebu seperti
Presiden Gamal Abdul Naser berorasi memberi semangat dunia Arab dalam perang
1967.
“Ayatollah Khomeini benar, Amerika itu setan! Setan harus dienyahkan!”
katanya berapi-api. Orang Mesir memang suka bicara. Kalau sudah bicara ia merasa
paling benar sendiri. Aku diam saja. Kubiarkan Ashraf berbicara sepuaspuasnya.
Hanya sesekali, pada saat yang tepat aku menyela. Sesekali aku menyapukan
pandangan melihat keadaan sekeliling. Juga ke luar jendela agar tahu metro sudah
melaju sampai di mana. Sekilas ujung mataku menangkap perempuan bercadar biru
mengeluarkan mushaf dari tasnya, dan membacanya dengan tanpa suara. Atau
mungkin dengan suara tapi sangat lirih sehingga aku tidak mendengarnya.
Orang-orang membaca Al-Qur’an di metro, di bis, di stasiun dan di terminal adalah
pemandangan yang tidak aneh di Cairo. Apalagi jika bulan puasa tiba.
Metro sampai di Maadi, kawasan elite di Cairo setelah Heliopolis, Dokki,
El-Zamalek dan Mohandesen. Sebagian orang malah mengatakan Maadi adalah
17
kawasan paling elite. Lebih elite dari Heliopolis. Tidak terlalu penting membandingkan
satu sama lain. Nama-nama itu semuanya nama kawasan elite. Masing-masing
punya kelebihan. Dokki terkenal sebagai tempatnya para diplomat tinggal.
Mohandesen tempatnya para pengusaha dan selebritis. Sedangkan Maadi mungkin
adalah kawasan yang paling teratur tata kotanya. Dirancang oleh kolonial Inggris.
Jalan-jalannya lebar. Setiap rumah ada tamannya. Dan dekat sungai Nil. Tinggal di
Maadi memiliki prestise sangat tinggi. Prestise-nya seumpama tinggal di Paris
dibandingkan dengan tinggal di kota-kota besar lainnya di Eropa. Itu keterangan yang
aku dapat dari Tuan Boutros, ayahnya Maria yang bekerja di sebuah bank swasta di
Maadi. Masalah prestise memang sangat subjektif. Orang yang tinggal di kawasan
agak kumuh Sayyeda Zaenab merasa lebih prestise dibandingkan dengan tinggal di
kawasan lain di Cairo. Alasan mereka karena dekat dengan makam Sayyeda Zaenab,
cucu Baginda Nabi Saw. Demikian juga yang tinggal di dekat masjid Amru bin Ash.
Mereka merasa lebih beruntung dan selalu bangga bisa tinggal di dekat masjid
pertama yang didirikan di benua Afrika itu.
Begitu pintu metro terbuka, beberapa penumpang turun. Lalu beberapa orang
naik-masuk. Mataku menangkap ada tiga orang bule masuk. Yang seorang
nenek-nenek. Ia memakai kaos dan celana pendek sampai lutut. Wajahnya tampak
pucat. Mungkin karena kepanasan. Ia diiringi seorang pemuda dan seorang
perempuan muda. Mungkin anaknya atau cucunya. Keduanya memakai ransel.
Pemuda bule itu memakai topi berbendera Amerika dan berkaca mata hitam. Ia juga
hanya berkaos sport putih dan celana pendek sampai lutut. Yang perempuan
memakai kaos ketat tanpa lengan, you can see. Dan bercelana pendek ketat. Semua
bagian tubuhnya menonjol. Lekak-lekuknya jelas. Bagian pusarnya kelihatan. Ia
seperti tidak berpakaian. Mereka berdua mengitarkan pandangan. Mencari tempat
duduk. Sayang, tak ada yang kosong. Beberapa orang justru berdiri termasuk diriku.
Aku tersenyum pada Ashraf sambil berkata,
“Ashraf kau mau titip pesan pada Presiden Amerika nggak?”
“Apa maksudmu?”
“Itu, mumpung ada orang Amerika. Minggu depan mereka mungkin sudah
kembali ke Amerika. Kau bisa titip pesan pada mereka agar presiden mereka tidak
bertindak bodoh seperti yang kau katakan tadi.”
Ashraf menoleh ke kanan dan memandang tiga bule itu dengan raut tidak
18
senang. Tiba-tiba ia berteriak,
Ya Amrikaniyyun, la’natullah ‘alaikum!”24
Kontan para penumpang yang mendengar perkataan Ashraf itu melongok ke
arah tiga bule yang baru masuk itu. Gerakan persis anak-anak ayam yang kaget atas
kedatangan musang di kandangnya. Kusisir wajah orang-orang Mesir. Rautraut
kurang simpati dan tidak senang. Apalagi pakaian perempuan muda Amerika itu bisa
dikatakan tidak sopan. Orang-orang Mesir memang menganggap Amerika sebagai
biang kerusakan di Timur Tengah. Orang-orang Mesir sangat marah pada Amerika
yang mencoba mengadu domba umat Islam dengan umat Kristen Koptik. Amerika
pernah menuduh pemerintah Mesir dan kaum muslimin berlaku semenamena pada
umat Koptik. Tentu saja tuduhan itu membuat gerah seluruh penduduk Mesir. Bapa
Shnouda, pemimpin tertinggi dan kharismatik umat Kristen Koptik serta merta
memberikan keterangan pers bahwa tuduhan Amerika dusta belaka. Sebuah tuduhan
yang bertujuan hendak menghancurkan sendi-sendi persaudaraan umat Islam dan
umat Koptik yang telah kuat mengakar berabad-abad lamanya di bumi Kinanah.25
Untung ketiga orang Amerika itu tidak bisa bahasa Arab. Mereka kelihatannya
tidak terpengaruh sama sekali dengan kata-kata yang diucapkan Ashraf. Memang,
kalau sedang jengkel orang Mesir bisa mengatakan apa saja. Di pasar Sayyeda
Zainab aku pernah melihat seorang penjual ikan marah-marah pada isterinya. Entah
karena apa. Ia menghujani isterinya dengan sumpah serapah yang sangat kasar dan
tidak nyaman di dengar telinga. Di antara kata-kata kasar yang kudengar adalah: Ya
bintal haram, ya syarmuthah, ya bintal khinzir...!26 Bulu romaku sampai berdiri. Ngeri
mendengarnya. Sang isteri juga tak mau kalah. Ia membalas dengan caci maki dan
serapah yang tak kalah keras dan kotornya. Dan sumpah serapah yang mengandung
laknat adalah termasuk paling kasar.
Telingaku paling tidak suka mendengar caci mencaci, apalagi umpatan
melaknat. Tak ada yang berhak melaknat manusia kecuali Tuhan. Manusia jelasjelas
telah dimuliakan oleh Tuhan. Tanpa membedakan siapa pun dia. Semua manusia
telah dimuliakan Tuhan sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an, Wa laqad karramna
banii Adam. Dan telah Kami muliakan anak keturunan Adam! Jika Tuhan telah
memuliakan manusia, kenapa masih ada manusia yang mencaci dan melaknat
24 Hai orang-orang Amerika, laknat Allah untuk kalian!
25 Kinanah: salah satu julukan untuk bumi Mesir.
26 Ya bintal haram (Hai anak haram/anak hasil perzinaan), Ya Syarmuthah (Hai pelacur), Ya bintal
khinzir (Hai anak babi).
19
sesama manusia? Apakah ia merasa lebih tinggi martabatnya daripada Tuhan?
Tindakan Ashraf melaknat tiga turis Amerika itu sangat aku sesalkan.
Tindakannya jauh dari etika Al-Qur’an, padahal dia tiap hari membaca Al-Qur’an. Ia
telah menamatkan qiraah riwayat Imam Hafsh. Namun ia berhenti pada cara
membacanya saja, tidak sampai pada penghayatan ruh kandungannya. Semoga
Allah memberikan petunjuk di hatinya.
Yang aku herankan, dalam kondisi panas seperti ini, kenapa bule-bule itu ada
di dalam metro. Seandainya mau bepergian kenapa tidak memakai limousin atau taksi
yang ber-AC. Dalam hati aku merasa kasihan pada mereka. Mereka seperti tersiksa.
Basah oleh keringat. Wajah dan kulit mereka kemerahan. Yang paling kasihan adalah
yang nenek-nenek. Beberapa kali ia menenggak air mineral. Mukanya tetap saja
pucat. Mereka tidak biasa kepanasan seperti ini. Aku jadi teringat Majidov, teman dari
Rusia. Ia sangat tidak tahan dengan panasnya Mesir. Ia tinggal di Madinatul Bu’uts,
atau biasa disebut Bu’uts saja. Yaitu asrama mahasiswa Al Azhar dari seluruh penjuru
dunia. Di Bu’uts tidak ada AC-nya. Jika musim panas tiba dia akan hengkang dari
Bu’uts dan menyewa flat bersama beberapa temannya di kawasan Rab’ah
El-Adawea. Mencari yang ada AC-nya.
Tapi tidak semua mahasiswa dari Rusia seperti Majidov. Banyak juga yang
tahan dengan musim panas.
Tak ada yang bergerak mempersilakan nenek bule itu untuk duduk. Ini yang
aku sesalkan. Beberapa lelaki muda atau setengah baya yang masih kuat tetap saja
tidak mau berdiri dari tempat duduk mereka. Biasanya, begitu melihat orang tua,
apalagi nenek-nenek, beberapa orang langsung berdiri menyilakan duduk. Tapi kali
ini tidak. Lelaki bule itu mengajak bicara seorang pemuda Mesir berbaju kotak-kotak
lengan pendek yang duduk di dekatnya. Sekilas di antara deru metro kutangkap
maksud perkataan si bule. Ia minta kepada pemuda Mesir itu memberi kesempatan
pada ibunya yang sudah tua untuk duduk. Mereka bertiga akan turun di Tahrir. Tapi
pemuda Mesir itu sama sekali tidak menanggapinya. Entah kenapa. Apa karena dia
tidak paham bahasa Inggris, atau karena ketidaksukaannya pada orang Amerika?
Aku tidak tahu.
Nenek bule itu kelihatannya tidak kuat lagi berdiri. Ia hendak duduk
menggelosor di lantai. Belum sampai nenek bule itu benar-benar menggelosor,
tiba-tiba perempuan bercadar yang tadi kupersilakan duduk itu berteriak mencegah,
20
Mom, wait! Please, sit down here!
Perempuan bercadar biru muda itu bangkit dari duduknya. Sang nenek
dituntun dua anaknya beranjak ke tempat duduk. Setelah si nenek duduk, perempuan
bule muda berdiri di samping perempuan bercadar. Aku melihat pemandangan yang
sangat kontras. Sama-sama perempuan. Yang satu auratnya tertutup rapat. Tak ada
bagian dari tubuhnnya yang membuat jantung lelaki berdesir. Yang satunya memakai
pakaian sangat ketat, semua lekak-lekuk tubuhnya kelihatan, ditambah basah
keringatnya bule itu nyaris seperti telanjang.
Thank you. It’s very kind of you!” Perempuan bule muda mengungkapkan rasa
terima kasih pada perempuan bercadar.
You’re welcome,” lirih perempuan bercadar. Bahasa Inggrisnya bagus. Sama
sekali tak kuduga. Keduanya lalu berkenalan dan berbincang-bincang. Perempuan
bercadar minta maaf atas perlakuan saudara seiman yang mungkin kurang ramah.
Ternyata lebih dari yang kunilai. Perempuan bercadar itu benarbenar berbicara
sefasih orang Inggris. Biasanya orang Mesir sangat susah berbahasa Inggris dengan
fasih. Kata ‘friend’ selalu mereka ucapan ‘bren’. Huruf ‘f’ jadi ‘b’. Aku sering geli
mendengarnya. Tapi perempuan bercadar ini sungguh fasih. Lebih fasih dari
pembaca berita Nile TV. Perempuan bule tersenyum dan berkata,
Oh not at all. It’s all right. Cuaca memang panas dan melelahkan. Semuanya
lelah. Dalam keadaan lelah terkadang susah untuk mengalah. Dan itu sangat
manusiawi.”
Busyit! Hei perempuan bercadar, apa yang kau lakukan!”
Pemuda berbaju kotak-kotak bangkit dengan muka merah. Ia berdiri tepat di
samping perempuan bercadar dan membentaknya dengan kasar. Rupanya ia
mendengar dan mengerti percakapan mereka berdua.
Perempuan bercadar kaget. Namun aku tidak bisa menangkap raut kagetnya
sebab mukanya tertutup cadar. Yang bisa kutangkap adalah gerakan kepalanya yang
terperangah, kedua matanya yang sedikit menciut, kulit putih antara dua matanya
sedikit mengkerut, alisnya seperti mau bertemu.
Hal a..ana khata’?” 27 Ucap perempuan bercadar tergagap. Ia memakai
27 Hal ana khata’ ? Maksudnya, apakah saya salah? Susunannya yang tepat adalah Hal ana
mukhthi’ah?
21
bahasa fusha 28 , bukan bahasa ‘amiyah. 29 Maksudnya bisa dipahami, tapi
susunannya janggal. Apakah mungkin karena dirinya terlalu kaget atas bentakan
pemuda Mesir itu.
Mendengar jawaban seperti itu si pemuda malah semakin naik pitam. Ia
kembali membentak dan memaki-maki secara kasar dengan bahasa ‘amiyah,
Yakhrab baitik!30
Kau telah menghina seluruh orang Mesir yang ada di metro
ini. Kau sungguh keterlaluan! Kelihatannya saja bercadar, sok alim, tapi sebetulnya
kau perempuan bangsat! Kau kira kami tidak tahu sopan-santun apa? Sengaja kami
mengacuhkan orang Amerika itu untuk sedikit memberi pelajaran. Ee..bukannya kau
mendukung kami. Kau malah mempersilakan setan-setan bule itu duduk. Dan seolah
paling baik, kau sok jadi pahlawan dengan memintakan maaf atas nama kami semua.
Kau ini siapa, heh?”
Pemuda itu sudah keterlaluan. Aku berharap ada yang bertindak. Ashraf dan
seorang lelaki setengah baya berpakaian abu-abu mendekati pemuda dan
perempuan bercadar. Aku sedikit lega.
“Kau memang sungguh kurang ajar perempuan! Kau membela bule-bule
Amerika yang telah membuat bencana di mana-mana. Di Afganistan. Di Palestina. Di
Irak dan di mana-mana. Mereka juga tiada henti-hentinya menggoyang negara kita.
Kau ini muslimah macam apa, hah!?” Ashraf marah sambil menuding-nuding
perempuan bercadar itu.
Aku kaget bukan main. Aku tak mengira Ashraf akan berkata sekasar itu.
Kelegaanku berubah jadi kekecewaan mendalam.
“Meski kau bercadar dan membawa mushaf ke mana-mana, nilaimu tak lebih
dari seorang syarmuthah!”31
umpat lelaki berpakaian abu-abu.
Ini sudah keterlaluan. Menuduh seorang perempuan baik-baik sehina pelacur
tidak bisa dibenarkan.
Aku membaca istighfar dan shalawat berkali-kali. Aku sangat kecewa pada
mereka. Perempuan bercadar itu diam seribu bahasa. Matanya berkaca-kaca.
Bentakan, cacian, tudingan dan umpatan yang ditujukan padanya memang sangat
28 Bahasa Arab yang fashih secara gramatikal, bukan bahasa pergaulan.
29 Bahasa Arab pergaulan, yang biasa digunakan dalam percakapan harian.
30 Yakhrab baitik! (Artinya secara bahasa semoga rumahmu roboh, biasanya digunakan untuk
mengumpat dalam bahasa Jawa senada dengan kata-kata: Bajingan! Dancouk! Dan sejenisnya).
31 Syarmuthah: Pelacur.
22
menyakitkan. Aku tak bisa diam. Kucopot topi yang menutupi kopiah putihku. Lalu aku
mendekati mereka sambil mencopot kaca mata hitamku.
Ya jama’ah, shalli ‘alan nabi, shalli ‘alan nabi!32 ucapku pada mereka sehalus
mungkin. Cara menurunkan amarah orang Mesir adalah dengan mengajak membaca
shalawat. Entah riwayatnya dulu bagaimana. Di mana-mana, di seluruh Mesir, jika
ada orang bertengkar atau marah, cara melerai dan meredamnya pertama-tama
adalah dengan mengajak membaca shalawat. Shalli ‘alan nabi, artinya bacalah
shalawat ke atas nabi. Cara ini biasanya sangat manjur.
Benar, mendengar ucapanku spontan mereka membaca shalawat. Juga para
penumpang metro lainnya yang mendengar. Orang Mesir tidak mau dikatakan orang
bakhil. Dan tiada yang lebih bakhil dari orang yang mendengar nama nabi, atau
diminta bershalawat tapi tidak mau mengucapkan shalawat. Begitu penjelasan Syaikh
Ahmad waktu kutanyakan ihwal cara aneh orang Mesir dalam meredam amarah.
Justru jika ada orang sedang marah lantas kita bilang padanya, La taghdhab! (yang
artinya: jangan marah!) terkadang malah akan membuat ia semakin marah.
Lalu aku menjelaskan pada mereka bahwa yang dilakukan perempuan
bercadar itu benar. Bukanya menghina orang Mesir, justru sebaliknya. Dan
umpatan-umpatan yang ditujukan padanya itu sangat tidak sopan dan tidak bisa
dibenarkan. Aku beberkan alasan-alasan kemanusiaan. Mereka bukannya sadar, tapi
malah kembali naik pitam. Si pemuda marah dan mencela diriku dengan sengit. Juga
si bapak berpakaian abu-abu. Sementara Ashraf bilang, “Orang Indonesia, sudahlah,
kau jangan ikut campur urusan kami!”
Aku kembali mengajak mereka membaca shalawat. Aku nyaris kehabisan
akal. Akhirnya kusitir beberapa hadits nabi untuk menyadarkan mereka. Tapi orang
Mesir seringkali muncul besar kepalanya dan merasa paling menang sendiri.
Pemuda Mesir malah menukas sengak, “Orang Indonesia, kau tahu apa sok
mengajari kami tentang Islam, heh! Belajar bahasa Arab saja baru kemarin sore. Juz
Amma entah hafal entah tidak. Sok pintar kamu! Sudah kau diam saja, belajar
baik-baik selama di sini dan jangan ikut campur urusan kami!”
Aku diam sesaat sambil berpikir bagaimana caranya menghadapi anak turun
Fir’aun yang sombong dan keras kepala ini. Aku melirik Ashraf. Mata kami bertatapan.
32 Wahai Jamaah (untuk menyapa orang banyak)! Bacalah shalawat ke atas nabi, bacalah shalawat ke
atas nabi!
23
Aku berharap dia berlaku adil. Dia telah berkenalan denganku tadi. Kami pernah
akrab meskipun cuma sesaat. Kupandangi dia dengan bahasa mata mencela. Ashraf
menundukkan kepalanya, lalu berkata,
“Kapten, kau tidak boleh berkata seperti itu. Orang Indonesia ini sudah
menyelesaikan licence-nya di Al Azhar. Sekarang dia sedang menempuh program
magisternya. Walau bagaimana pun, dia seorang Azhari. Kau tidak boleh
mengecilkan dia. Dia hafal Al-Qur’an. Dia murid Syaikh Utsman Abdul Fattah yang
terkenal itu.”
Pembelaan Ashraf ini sangat berarti bagiku. Pemuda berbaju kotak-kotak itu
melirik kepadaku lalu menunduk. Mungkin dia malu telah berlaku tidak sopan
kepadaku. Tetapi lelaki berpakaian abu-abu kelihatannya tidak mau menerima begitu
saja.
“Dari mana kau tahu? Apa kau teman satu kuliahnya?” tanyanya.
Ashraf tergagap, “Tidak. Aku tidak teman kuliahnya. Aku tahu saat berkenalan
dengannya tadi.”
“Kau terlalu mudah percaya. Bisa saja dia berbohong. Program magister di Al
Azhar tidak mudah. Jadi murid Syaikh Utsman juga tidak mudah.” Lelaki itu mencela
Ashraf. Dia lalu berpaling ke arahku dan berkata, “Hei orang Indonesia, kalau benar
kau S.2. di Al Azhar mana kartumu!?”
Lelaki itu membentak seperti polisi intel. Berurusan dengan orang awam Mesir
yang keras kepala memang harus sabar. Tapi jika mereka sudah tersentuh hatinya,
mereka akan bersikap ramah dan luar biasa bersahabat. Itulah salah satu
keistimewaan watak orang Mesir. Terpaksa kubuka tas cangklongku. Kuserahkan dua
kartu sekaligus. Kartu S.2. Al Azhar dan kartu keanggotaan talaqqi qiraah sab’ah dari
Syaikh Utsman. Tidak hanya itu, aku juga menyerahkan selembar tashdiq33 resmi
dari universitas. Tasdiq yang akan kugunakan untuk memperpanjang visa Sabtu
depan.
Lelaki setengah baya lalu meneliti dua kartu dan tashdiq yang masih gres itu
dengan seksama. Ia manggut-manggut, kemudian menyerahkannya pada pemuda
berbaju kotak-kotak yang keras kepala yang ada di sampingnya.
33 Tashdiq adalah surat keterangan resmi dari Universitas, bahwa pemiliknya benar-benar mahasiswa
pada fakultas, jurusan dan program tertentu di universitas itu. Tashdiq biasanya diperlukan untuk
urusan-urusan resmi. Misalnya perpanjangan visa belajar, pengambilan visa haji, meminta atau
memperpanjang beasiswa pada suatu lembaga dan lain sebagainya.
24
“Kebetulan saat ini saya sedang menuju masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk
talaqqi. Kalau ada yang mau ikut menjumpai Syaikh Utsman boleh menyertai saya.”
Ujarku tenang penuh kemenangan.
Kulihat wajah mereka tidak sepitam tadi. Sudah lebih mencair. Bahkan ada
gurat rasa malu pada wajah mereka. Jika kebenaran ada di depan mata, orang Mesir
mudah luluh hatinya.
“Maafkan kelancangan kami, Orang Indonesia. Tapi perempuan bercadar ini
tidak pantas dibela. Ia telah melakukan tindakan bodoh!” kata pemuda Mesir berbaju
kotak-kotak sambil menyerahkan kembali dua kartu dan tashdiq kepadaku.
Aku menghela nafas panjang. Metro melaju kencang menembus udara panas.
Sesekali debu masuk berhamburan.
“Terus terang, aku sangat kecewa pada kalian! Ternyata sifat kalian tidak
seperti yang digambarkan baginda Nabi. Beliau pernah bersabda bahwa orang-orang
Mesir sangat halus dan ramah, maka beliau memerintahkan kepada shahabatnya,
jika kelak membuka bumi Mesir hendaknya bersikap halus dan ramah. Tapi ternyata
kalian sangat kasar. Aku yakin kalian bukan asli orang Mesir. Mungkin kalian sejatinya
sebangsa Bani Israel. Orang Mesir asli itu seperti Syaikh Muhammad Mutawalli
Sya’rawi yang ramah dan pemurah,” ucapku datar. Aku yakin akan membuat hati
orang Mesir yang mendengarnya bagaikan tersengat aliran listrik.
“Maafkan kami, Orang Indonesia. Kami memang emosi tadi. Tapi jangan kau
katakan kami bukan orang Mesir. Jangan pula kau katakan kami ini sebangsa Bani
Israel. Kami asli Mesir. Kami satu moyang dengan Syaikh Sya’rawi rahimahullah,
lelaki setengah baya itu tidak terima. Syaikh Sya’rawi memang seorang ulama yang
sangat merakyat. Sangat dicintai orang Mesir. Hampir semua orang Mesir mengenal
dan mencintai beliau. Mereka sangat bangga memiliki seorang Sya’rawi yang
dihormati di seantero penjuru Arab.
“Yang aku tahu, selama ini, orang Mesir asli sangat memuliakan tamu. Orang
Mesir asli sangat ramah, pemurah, dan hatinya lembut penuh kasih sayang. Sifat
mereka seperti sifat Nabi Yusuf dan Nabi Ya’qub. Syaikh Sya’rawi, Syaikh Abdul
Halim Mahmud, Syaikh Muhammad Ghazali, Syaikh Muhammad Hasan, Syaikh
Kisyk, Syaikh Muhammad Jibril, Syaikh Athea Shaqr, Syaikh Ismail Diftar, Syaikh
Utsman dan ulama lainnya adalah contoh nyata orang Mesir asli yang berhati lembut,
sangat memuliakan tamu dan sangat memanusiakan manusia. Tapi apa yang baru
25
saja kalian lakukan?! Kalian sama sekali tidak memanusiakan manusia dan tidak
punya rasa hormat sedikit pun pada tamu kalian. Orang bule yang sudah
nenek-nenek itu adalah tamu kalian. Mereka bertiga tamu kalian. Tetapi kenapa kalian
malah melaknatnya. Dan ketika saudari kita yang bercadar ini berlaku sebagai
seorang muslimah sejati dan sebagai seorang Mesir yang ramah, kenapa malah
kalian cela habis-habisan!? Kalian bahkan menyumpahinya dengan perkataan kasar
yang sangat menusuk perasaan dan tidak layak diucapkan oleh mulut orang yang
beriman! ”
“Tapi Amerika sudah keterlaluan! Apa salah jika kami sedikit saja
mengungkapkan kejengkelan kami dengan memberi pelajaran sedikit saja pada
orang-orang Amerika itu?!” Lelaki setengah baya masih berusaha membenarkan
tindakannya. Aku tidak merasa aneh. Begitulah orang Mesir, selalu merasa benar.
Dan nanti akan luluh jika berhadapan dengan kebenaran yang seterang matahari.
“Kita semua tidak menyukai tindak kezhaliman yang dilakukan siapa saja.
Termasuk yang dilakukan Amerika. Tapi tindakan kalian seperti itu tidak benar dan
jauh dari tuntunan ajaran baginda Nabi yang indah.”
“Lalu kami harus berbuat apa dan bagaimana? Ini mumpung ada orang
Amerika. Mumpung ada kesempatan. Dengan sedikit pelajaran mereka akan tahu
bahwa kami tidak menyukai kezhaliman mereka. Biar nanti kalau pulang ke
negaranya mereka bercerita pada tetangganya bagaimana tidak sukanya kami pada
mereka!”
“Justru tindakan kalian yang tidak dewasa seperti anak-anak ini akan
menguatkan opini media massa Amerika yang selama ini beranggapan orang Islam
kasar dan tidak punya perikemanusiaan. Padahal baginda Rasul mengajarkan kita
menghormati tamu. Apakah kalian lupa, beliau bersabda, siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir maka hormatilah tamunya. Mereka bertiga adalah tamu di bumi
Kinanah ini. Harus dihormati sebaik-baiknya. Itu jika kalian merasa beriman kepada
Allah dan hari akhir. Jika tidak, ya terserah! Lakukanlah apa yang ingin kalian lakukan.
Tapi jangan sekali-kali kalian menamakan diri kalian bagian dari umat Islam. Sebab
tindakan kalian yang tidak menghormati tamu itu jauh dari ajaran Islam.”
Lelaki setengah baya itu diam. Pemuda berbaju kotak-kotak menunduk. Ashraf
membisu. Para penumpang yang lain, termasuk perempuan bercadar juga diam.
Metro terus berjalan dengan suara bergemuruh, sesekali mencericit.
26
“Coba kalian jawab pertanyaanku ini. Kenapa kalian berani menyakiti
Rasulullah?!” tanyaku sambil memandang ketiga orang Mesir bergantian. Mereka
agak terkejut mendengar pertanyaanku itu.
Akhi, mana mungkin kami berani menyakiti Rasulullah yang kami cintai,”
jawab Ashraf.
“Kenapa kalian kelak di hari akhir berani berseteru di hadapan Allah melawan
Rasulullah?” tanyaku lagi.
Akhi, kau melontarkan pertanyaan gila. Kita semua di hari akhir kelak
mengharap syafaat Rasulullah, bagaimana mungkin kami berani berseteru dengan
beliau di hadapan Allah!” jawab Ashraf.
“Tapi kalian telah melakukan tindakan sangat lancang. Kalian telah menyakiti
Rasulullah. Kalian telah menantang Rasulullah untuk berseteru di hadapan Allah
kelak di hari akhir!” ucapku tegas sedikit keras.
Lelaki setengah baya, Ashraf, pemuda berbaju kotak-kotak dan beberapa
penumpang metro yang mendengar ucapanku semuanya tersentak kaget.
“Apa maksudmu, Andonesy? Kau jangan bicara sembarangan!” jawab lelaki
setengah baya sedikit emosi.
“Paman, aku tidak berkata sembarangan. Aku akan sangat malu pada diriku
sendiri jika berkata dan bertindak sembarangan. Baiklah, biar aku jelaskan. Dan
setelah aku jelaskan kalian boleh menilai apakah aku berkata sembarangan atau
bukan. Harus kalian mengerti, bahwa ketiga orang bule ini selain tamu kalian mereka
sama dengan ahlu dzimmah. Tentu kalian tahu apa itu ahlu dzimmah. Disebut ahlu
dzimmah karena mereka berada dalam jaminan Allah, dalam jaminan Rasul-Nya, dan
dalam jaminan jamaah kaum muslimin. Ahlu dzimmah adalah semua orang non
muslim yang berada di dalam negara tempat kaum muslimin secara baik-baik, tidak
ilegal, dengan membayar jizyah dan mentaati peraturan yang ada dalam negara itu.
Hak mereka sama dengan hak kaum muslimin. Darah dan kehormatan mereka sama
dengan darah dan kehormatan kaum muslimin. Mereka harus dijaga dan dilindungi.
Tidak boleh disakiti sedikit pun. Dan kalian pasti tahu, tiga turis Amerika ini masuk ke
Mesir secara resmi. Mereka membayar visa. Kalau tidak percaya coba saja lihat
paspornya. Maka mereka hukumnya sama dengan ahlu dzimmah. Darah dan
kehormatan mereka harus kita lindungi. Itu yang diajarkan Rasulullah Saw. Tidakkah
kalian dengar sabda beliau, ‘Barangsiapa menyakiti orang zhimmi (ahlu zhimmah)
27
maka aku akan menjadi seterunya. Dan siapa yang aku menjadi seterunya dia pasti
kalah di hari kiamat.’34 Beliau juga memperingatkan, ‘Barangsiapa yang menyakiti
orang dzimmi, dia telah menyakiti diriku dan barangsiapa menyakiti diriku berarti dia
menyakiti Allah.’35 Begitulah Islam mengajarkan bagaimana memperlakukan non
muslim dan para tamu asing yang masuk secara resmi dan baik-baik di negara kaum
muslimin. Imam Ali bahkan berkata, ‘Begitu membayar jizyah, harta mereka menjadi
sama harus dijaganya dengan harta kita, darah mereka sama nilainya dengan darah
kita.’ Dan para turis itu telah membayar visa dan ongkos administrasi lainnya, sama
dengan membayar jizyah. Mereka menjadi tamu resmi, tidak ilegal, maka harta,
kehormatan dan darah mereka wajib kita jaga bersamasama. Jika tidak, jika kita
sampai menyakiti mereka, maka berarti kita telah menyakiti baginda Nabi, kita juga
telah menyakiti Allah. Kalau kita telah lancang berani menyakiti Allah dan Rasul-Nya,
maka siapakah diri kita ini? Masih pantaskan kita mengaku mengikuti ajaran baginda
Nabi?”
Lelaki setengah baya itu tampak berkaca-kaca. Ia beristighfar berkali-kali. Lalu
mendekati diriku. Memegang kepalaku dengan kedua tangannya dan mengecup
kepalaku sambil berkata, “Allah yaftah ‘alaik, ya bunayya! Allah yaftah ‘alaik!
Jazakallah khaira!36 Ia telah tersentuh. Hatinya telah lembut.
Setelah itu giliran Ashraf merangkulku.
“Senang sekali aku bertemu dengan orang sepertimu, Fahri!” katanya.
Aku tersenyum, ia pun tersenyum. Pemuda berbaju kotak-kotak lalu
mempersilakan pria bule yang berdiri di dekat neneknya untuk duduk di tempat
duduknya. Dua pemuda Mesir yang duduk di depan nenek bule berdiri dan
mempersilakan pada perempuan bercadar dan perempuan bule untuk duduk.
Begitulah.
Salah satu keindahan hidup di Mesir adalah penduduknya yang lembut
hatinya. Jika sudah tersentuh mereka akan memperlakukan kita seumpama raja.
Mereka terkadang keras kepala, tapi jika sudah jinak dan luluh mereka bisa
melakukan kebaikan seperti malaikat. Mereka kalau marah meledak-ledak tapi kalau
sudah reda benar-benar reda dan hilang tanpa bekas. Tak ada dendam di belakang
34 Diriwayatkan oleh Al-Khathib dengan sanad baik.
35 Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dengan sanad baik.
36 Semoga Allah membuka hatimu (menambahkan ilmumu) Anakku! Dan semoga Allah membalasmu
dengan kebaikan!
28
yang diingat sampai tujuh keturunan seperti orang Jawa. Mereka mudah menerima
kebenaran dari siapa saja.
Metro terus melaju. Tak terasa sudah sampai mahattah Mar Girgis. Ashraf
mendekatkan diri ke pintu. Ia bersiap-siap. Mahattah depan adalah El-Malik El-Saleh,
setelah itu Sayyeda Zeinab dan ia akan turun di sana. Aku menghitung masih ada
tujuh mahattah baru sampai di Ramsis. Setelah itu aku akan pindah metro jurusan
Shubra El-Khaima. Perjalanan masih jauh. Metro kembali berjalan. Pelan-pelan lalu
semakin kencang. Tak lama kemudian sampai di El-Malik El-Saleh. Metro berhenti.
Pintu dibuka. Beberapa orang turun. Lelaki setengah baya hendak turun. Sebelum
turun ia menyalami diriku dan mengucapkan terima kasih sambil mulutnya tiada henti
mendoakan diriku. Aku mengucapkan amin berkalikali. Topi dan kaca mata hitamku
kembali aku pakai. Tak jauh dariku, perempuan bercadar nampak asyik berbincang
dengan perempuan bule. Sedikit-sedikit telingaku menangkap isi perbincangan
mereka. Rupanya perempuan bercadar sedang menjelaskan semua yang tadi terjadi.
Kejengkelan orang-orang Mesir pada Amerika. Kekeliruan mereka serta
pembetulan-pembetulan yang aku lakukan. Perempuan bercadar juga menjelaskan
maksud dari hadits-hadits nabi yang tadi aku ucapkan dengan bahasa Inggris yang
fasih. Perempuan bule itu menganggukanggukkan kepala. Sampai di Sayyeda
Zeinab, Ashraf turun setelah terlebih dahulu melambaikan tangan padaku. Seorang
ibu yang duduk di samping nenek bule turun. Kursinya kosong. Aku bisa duduk di
sana kalau mau. Tapi kulihat seorang gadis kecil membawa tas belanja masuk.
Langsung kupersilakan dia duduk.
Metro kembali melaju. Perempuan bercadar dan perempuan bule masih
berbincang-bincang dengan akrabnya. Tapi kali ini aku tidak mendengar dengan jelas
apa yang mereka perbincangkan. Angin panas masuk melalui jendela. Aku
memandang ke luar. Rumah-rumah penduduk tampak kotak-kotak tak teratur seperti
kardus bertumpukan tak teratur. Metro masuk ke lorong bawah tanah. Suasana gelap
sesaat. Lalu lampu-lampu metro menyala. Tak lama kemudian metro sampai
mahattah Saad Zaghloul dan berhenti. Beberapa orang turun dan naik. Tiga bule itu
bersiap hendak turun, juga perempuan bercadar. Berarti mereka mau turun di Tahrir.
Perempuan bercadar masih bercakap dengan perempuan bule. Keduanya sangat
dekat denganku. Aku bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan.
Tentang asal mereka masing. Perempuan bercadar itu ternyata lahir di Jerman, dan
besar juga di Jerman. Namun ia berdarah Jerman, Turki dan Palestina. Sedangkan
29
perempuan bule lahir dan besar di Amerika. Ia berdarah Inggris dan Spanyol.
Keduanya bertukar kartu nama.
Perempuan bule tepat berada di depanku. Wajahnya masih menghadap
perempuan bercadar. Metro bercericit mengerem. Gerbong sedikit goyang. Tubuh
perempuan bule bergoyang. Saat itulah dia melihat diriku. Ia tersenyum sambil
mengulurkan tangannya kepadaku dan berkata,
Hai Indonesian, thank’s for everything. My name’s Alicia.”
“Oh, you’re welcome. My name is Fahri,” jawabku sambil menangkupkan
kedua tanganku di depan dada, aku tidak mungkin menjabat tangannya.
“Ini bukan berarti saya tidak menghormati Anda. Dalam ajaran Islam, seorang
lelaki tidak boleh bersalaman dan bersentuhan dengan perempuan selain isteri dan
mahramnya.” Aku menjelaskan agar dia tidak salah faham.
Alicia tersenyum dan berseloroh, “Oh, never mind. And this is my name card,
for you.” Ia memberikan kartu namanya.
Thank’s,” ujarku sambil menerima kartu namanya.
It’s a pleasure.”
Metro berhenti.
Alicia, neneknya dan saudaranya mendekati pintu hendak keluar. Perempuan
bercadar masih berdiri di tempatnya. Ia melihat ke arah orang-orang yang hendak
turun. Perlahan pintu dibuka. Ketika orang-orang mulai turun, perempuan bercadar itu
bergerak melangkah, ia menyempatkan untuk menyapaku,
Indonesian, thank you.”
Aku teringat dia orang Jerman. Aku iseng menjawab dengan bahasa Jerman,
Bitte!”
Agaknya perempuan bercadar itu kaget mendengar jawabanku dengan
bahasa Jerman. Ia urung melangkah ke pintu. Ia malah menatap diriku dengan sorat
mata penuh tanda tanya.
Sprechen Sie Deutsch?”37 tanyanya dengan bahasa Jerman. Ia mungkin ingin
langsung meyakinkan dirinya bahwa apa yang tadi ia dengarkan dariku benar-benar
bahasa Jerman. Bahwa aku bisa berbahasa Jerman. Bahwa ia tidak salah dengar.
37 Kau berbicara bahasa Jerman
30
Ja, ein wenig.38
Alhamdulillah!” jawabku tenang. Kalau sekadar bercakap
dengan bahasa Jerman insya Allah tidak terlalu susah. Kalau aku disuruh membuat
tesis dengan bahasa Jerman baru menyerah.
Sind Sie Herr Fahri?”39
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Ia bertanya seperti itu. Berarti ia
benar-benar mendengarkan dengan baik pendebatanku dengan tiga orang Mesir tadi
sehingga tahu namaku. Atau dia mendengarkan aku berkenalan dengan Alicia.
Ja. Mein name ist Fahri.”40 Jawabku.
Mein name ist Aisha,” sahutnya sambil menyerahkan kartu nama. Ia lalu
menyodorkan buku notes kecil dan pulpen.
Bitte, schreiben Sie ihren namen!”41 katanya.
Kuterima buku notes kecil dan pulpen itu. Aku paham maksud Aisha, tentu
tidak sekadar nama tapi dilengkapi dengan alamat atau nomor telpon. Masinis metro
membunyikan tanda alarm bahwa sebentar lagi pintu metro akan ditutup dan metro
akan meneruskan perjalanan. Aku hanya menuliskan nama dan nomor
handphone-ku. Lalu kuserahkan kembali padanya. Aisha langsung bergegas turun
sambil berkata,
Danke, auf wiedersehn!”42
Auf wiedersehn!” jawabku.
Metro kembali berjalan. Ada tempat kosong. Saatnya aku duduk. Sudah
separuh perjalanan lebih. Sudah setengah dua lebih lima menit. Waktu masih cukup.
Insya Allah sampai di hadapan Syaikh Utsman tepat pada waktunya. Kalaupun
terlambat hanya beberapa menit saja. Masih dalam batas yang bisa dimaafkan.
Dengan duduk aku merasa lebih tenang. Ini saatnya aku mengulang dan memperbaiki
hafalan Al-Qur’an yang akan aku setorkan pada Syaikh Utsman.
38 Ya. Sedikit-sedikit.
39 Apakah Anda tuan Fahri.
40 Ya nama saya Fahri.
41 Maaf, bisa tuliskan nama Anda.
42 Terima kasih, sampai bertemu lagi.
31



No comments:

Post a Comment