2.
Peristiwa di dalam Metro
Usai
shalat, aku menyalami Syaikh Ahmad. Nama lengkapnya Syaikh Ahmad
Taqiyyuddin
Abdul Majid. Imam muda yang selama ini sangat dekat denganku. Beliau
tidak
pernah menyembunyikan senyumnya setiap kali berjumpa denganku. Beliau
masih
muda, umurnya baru tiga puluh satu, dan baru setengah tahun yang lalu ia
meraih
Magister Sejarah Islam dari Universitas Al Azhar. Anaknya baru satu, berumur
dua
tahun. Kini beliau bekerja di Kementerian Urusan Wakaf sambil menempuh
program
doktoralnya. Beliau juga menjadi dosen Sejarah Islam di Ma’had I’dadud
Du’at 17 yang dikelola oleh Jam’iyyah Syar’iyyah bekerjasama
dengan Fakultas
Dakwah,
Universitas Al Azhar. Di seluruh Mesir sampai sekarang ma’had ini baru ada
dua: di
Ramsis dan di Hadayek Helwan.
Meskipun
masih muda, namun kedalaman ilmu agama dan kefashihannya
membaca
serta mentafsirkan Al-Qur’an membuat masyarakat memanggilnya
“Syaikh”.
Kerendahan hati, dan komitmennya yang tinggi membela kebenaran
membuat
sosoknya dicintai dan dihormati semua lapisan masyarakat Hadayek
Helwan
dan sekitarnya. Yang menarik, dia dekat dengan kawula muda. Panggilan
‘Syaikh’
tidak membuatnya lantas merasa canggung untuk ikut sepak bola setiap
Jum’at
pagi bersama anak-anak muda. Jika Maria adalah gadis Koptik yang aneh.
Aku
merasa Syaikh Ahmad adalah ulama muda yang unik.
“Akh18
Fahri,
mau ke mana?” tanya Syaikh ramah dengan senyum menghiasi
wajahnya
yang bersih. Jenggotnya tertata rapi. Kutatap wajah beliau sesaat.
Sejatinya
Syaikh Ahmad memang tampan. Tak kalah dengan Kazem Saheer,
penyanyi
tenar asal Irak yang digandrungi gadis-gadis remaja seantero Timur
Tengah.
Nada suaranya juga indah berwibawa. Tak heran jika beliau disayangi
semua
orang. Seandainya suara indah Kazem Saheer digunakan untuk membaca
Al-Qur’an
seperti Syaikh Ahmad mungkin akan lain cerita belantika selebritis Mesir.
“Seperti
biasa Syaikh, ke Shubra,” jawabku datar.
Beliau
langsung paham aku mau ke mana dan mau apa. Sebab Syaikh Ahmad
dulu juga
belajar qiraah sab’ah
pada Syaikh Utsman di Shubra. Sesekali bahkan
masih
datang ke sana.
“Cuacanya
buruk. Sangat panas. Apa tidak sebaiknya istrirahat saja? Jarak
17 Sekolah Tinggi Juru Dakwah
18 Saudara.
13
yang akan
kau tempuh itu tidak dekat. Pikirkan juga kesehatanmu, Akh,” lanjut
beliau
sambil
meletakkan tangan kanannya dipundak kiriku.
“Semestinya
memang begitu Syaikh. Tapi saya harus komitmen dengan
jadwal.
Jadwal adalah janji. Janji pada diri sendiri dan janji pada Syaikh Utsman untuk
datang.”
“Masya
Allah, semoga Allah menyertai langkahmu.”
“Amin,”
sahutku pelan sambil melirik jam dinding di atas mihrab.
Waktunya
sudah mepet.
“Syaikh,
saya pamit dulu,” kataku sambil bangkit berdiri. Syaikh Ahmad ikut
berdiri.
Kucangklong tas, kupakai topi dan kaca mata.
Syaikh
Ahmad tersenyum melihat penampilanku.
“Dengan
topi dan kaca mata hitammu itu kau seperti bintang film Hong Kong
saja. Tak
tampak sedikit pun kau seorang mahasiswa pascasarjana Al Azhar yang
hafal
Al-Qur’an.”
“Syaikh
ini bisa saja,” sahutku sambil tersenyum, “mohon doanya.
Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam
warahmatullah wa barakatuh.”
Di luar
masjid, terik matahari dan gelombang angin panas langsung
menyerang.
Cepat-cepat kuayunkan kaki, berlari-lari kecil menuju mahathah metro
yang
berada tiga puluh lima meter di hadapanku. Ups, sampai juga akhirnya. Aku
langsung
menuju loket penjualan tiket.
“Ya
Kapten, wahid Shubra!”19 seruku pada penjaga loket berkepala botak dan
gemuk.
Wajahnya penuh keringat, meskipun tepat di belakangnya ada kipas angin
kecil
berputar-putar. Ia tampak berkenan kusapa dengan kapten. Memang untuk
menyapa
lelaki yang tidak dikenal cukup memakai ‘ya kapten’ bisa juga ‘ya basya’
atau
kalau agak tua ‘ya ammu’. Jika kira-kira sudah haji memakai ‘ya haj’.”
“Masyi
ya Andonesy,”20 jawab
penjaga loket sambil mengulurkan karcis kecil
warna
kuning kepadaku. Ia mengambil uang satu pound yang kuberikan dan memberi
kembalian
20 piesters. Di pintu masuk karcis aku masukkan untuk membuka pintu
penghalang.
Setelah melewati pintu penghalang karcis itu kuambil lagi. Sebab tanpa
19 Kapten, Shubra satu!
20 Baik, Orang Indonesia.
14
karcis
itu saya tidak akan bisa keluar di Shubra nanti. Dan jika ada pemeriksaan di
dalam metro
karcis itu harus aku tunjukkan. Jika tidak bisa menunjukkan, akan kena
denda.
Biasanya sepuluh pound. Itu pun setelah dimaki-maki oleh petugas
pemeriksa.
Bagi
penduduk Mesir, khususnya Cairo, metro bisa dikatakan transportasi
kebanggaan.
Lumayan canggih. Mahattah bawah tanah yang ada di Attaba, Tahrir
dan
Ramsis kelihatan modern dan canggih. Itu wajar. Sebab arsiteknya, semuanya
orang
Perancis. Orang-orang Mesir sering menyombongkan diri begini,
‘Kalau
Anda berada di mahattah metro Tahrir atau Ramsis itu sama saja Anda
berada di
salah satu mahattah metro kota Paris.’
Benarkah?
Aku tidak
tahu, sebab aku tidak pernah pergi ke Paris. Tapi aku pernah
membaca
sebuah majalah, memang ada stasiun bawah tanah di kota Paris yang
dibuat
bernuansa Mesir kuno. Dinding-dindingnya diukir dengan Hieroglyph,
huruf-huruf
Mesir kuno. Beberapa sisinya dihiasi dengan patung-patung dan
simbol-simbol
Mesir kuno, seperti tugu Alexandria, kunci pyramid yang sekilas tampak
seperti
salib, patung Tutankhmoun, Tutmosis, Ramses III, Amenophis III, Cleopatra
dan lain
sebagainya. Nuansa seperti itu sangat kental di mahattah metro Anwar
Sadat-Tahrir,
yang berada tepat di jantung kota Cairo.
Sebuah metro
biru kusam datang. Pintu-pintunya terbuka perlahan. Beberapa
orang
turun. Setelah itu, barulah para penumpang yang menunggu naik. Aku masuk
gerbong
nomor lima. Aku yakin sekali akan dapat tempat duduk. Dalam cuaca panas
seperti
ini pasti penumpang sepi. Begitu sampai di dalam, aku langsung mengedarkan
pandangan
mencari tempat duduk. Sayang, semua tempat duduk telah terisi. Bahkan
ada lima
penumpang yang berdiri. Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin ini
terjadi?
Di hari-hari biasa yang tidak panas saja seringkali ada tempat duduk kosong.
Aku
mengerutkan kening.
Dapat
tempat duduk adalah juga rizki. Jika tidak dapat tempat duduk berarti
belum
rizkinya. Aku menggeser diri ke dekat pintu di mana ada kipas angin
berputar-putar
di atasnya. Namun kipas itu nyaris tak berguna. Udara panas yang
diputar
tetap saja panas. Metro melaju kencang. Udara yang masuk dari jendela
juga
panas.
Padang pasir seperti mendidih. Semua penumpang basah oleh air peluh.
15
Seorang
pemuda berjenggot tipis yang berdiri tak jauh dari tempat aku berdiri
memandangi
diriku dengan tersenyum. Aku membalas senyumnya. Ia mendekat dan
mengulurkan
tangannya.
“Ana
akhukum21,
Ashraf,”
ia memperkenalkan diri dengan sangat sopan. Ia
menggunakan
kalimat ‘akhukum’ berarti ia sangat yakin aku seorang muslim seperti
dirinya.
“Ana
akhukum, Fahri,” jawabku.
“Min
Shin?”22
Orang Mesir
terlalu susah membedakan orang Asia Tenggara dengan orang
China.
“La.
Ana Andonesy.”23
Kami pun
lantas berbincang-bincang. Mula-mula aku memancingnya dengan
masalah
bola. Orang Mesir paling suka berbicara masalah bola. Terutama
membicarakan
persaingan tiga klub besar Mesir yaitu Ahli, Zamalek dan Ismaili. Ia
ternyata
pendukung Zamalek. Dengan bangga ia berkata, “Syaikh Muhammad Jibril
juga
pendukung setia Zamalek.” Aku hanya tersenyum. Aku tidak perlu
mempertanyakan
lebih lanjut kebenaran kata-katanya. Tidak penting. Pendukung
fanatik
sebuah klub akan mencari banyak data untuk mendukung klub
kesayangannya.
Maka aku langsung menyambungnya dengan memuji kehebatan
beberapa
pemain andalan Zamalek. Terutama Hosam Hasan. Ia tampak senang.
Tujuanku
memang membuat dia merasa senang. Tak lebih. Aku merasa tak rugi
membaca
buku-buku Syaikh Abbas As-Sisi tentang bagaimana caranya mengambil
hati
orang lain. Pembicaraan terus melebar ke mana-mana. Ia sangat senang ketika
tahu
bahwa aku mahasiswa pascasarjana Al Azhar. Lebih kaget ketika ia tahu aku
hendak ke
Shubra untuk talaqqi pada Syaikh Utsman.
Ia
berkata,
“Di
Helwan saya belajar qiraah riwayat Imam Hafsh pada Syaikh Hasan yang
tak lain
adalah murid Syaikh Utsman. Berkali-kali Syaikh Hasan memintaku untuk ikut
belajar qiraah sab’ah langsung pada Syaikh Utsman, tapi aku tak ada waktu. Aku
sudah
terlalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarga. Jadi, kau termasuk orang yang
21 Aku saudaramu
22 Dari China?
23 Tidak. Aku orang Indonesia.
16
beruntung,
orang Indonesia.”
Metro terus berjalan. Tak terasa sudah sampai daerah Thakanat Maadi.
“Akh Ashraf,
kamu mau turun di mana?” tanyaku ketika metro perlahan
berhenti
dan beberapa orang bersiap turun.
“Sayyeda
Zaenab. Insya Allah.”
Pintu metro
terbuka. Beberapa orang turun. Dua kursi kosong. Kalau mau, aku
bisa
mengajak Ashraf mendudukinya. Namun ada seorang bapak setengah baya
masih
berdiri. Dia memandang ke luar jendela, tidak melihat ada dua bangku kosong.
Kupersilakan
dia duduk. Dia mengucapkan terima kasih. Kursi masih kosong satu.
Sangat
dekat denganku. Kupersilakan Ashraf duduk. Dia tidak mau, malah
memaksaku
duduk. Tiba-tiba mataku menangkap seorang perempuan berabaya biru
tua,
dengan jilbab dan cadar biru muda naik dari pintu yang satu, bukan dari pintu
dekat
yang ada di dekatku. Kuurungkan niat untuk duduk. Masih ada yang lebih
berhak.
Perempuan bercadar itu kupanggil dengan lambaian tangan. Ia paham
maksudku.
Ia mendekat dan duduk dengan mengucapkan, “Syukran!”
Metro atau kereta listrik terus melaju.
Ashraf
kembali mengajakku berbincang. Kali ini tentang Amerika. Ia geram
sekali
pada Amerika. Seribu alasan ia beberkan. Kata-katanya menggebu seperti
Presiden
Gamal Abdul Naser berorasi memberi semangat dunia Arab dalam perang
1967.
“Ayatollah
Khomeini benar, Amerika itu setan! Setan harus dienyahkan!”
katanya
berapi-api. Orang Mesir memang suka bicara. Kalau sudah bicara ia merasa
paling
benar sendiri. Aku diam saja. Kubiarkan Ashraf berbicara sepuaspuasnya.
Hanya
sesekali, pada saat yang tepat aku menyela. Sesekali aku menyapukan
pandangan
melihat keadaan sekeliling. Juga ke luar jendela agar tahu metro sudah
melaju
sampai di mana. Sekilas ujung mataku menangkap perempuan bercadar biru
mengeluarkan
mushaf dari tasnya, dan membacanya dengan tanpa suara. Atau
mungkin
dengan suara tapi sangat lirih sehingga aku tidak mendengarnya.
Orang-orang
membaca Al-Qur’an di metro, di bis, di stasiun dan di terminal adalah
pemandangan
yang tidak aneh di Cairo. Apalagi jika bulan puasa tiba.
Metro sampai di Maadi, kawasan elite di Cairo setelah Heliopolis, Dokki,
El-Zamalek
dan Mohandesen. Sebagian orang malah mengatakan Maadi adalah
17
kawasan
paling elite. Lebih elite dari Heliopolis. Tidak terlalu penting membandingkan
satu sama
lain. Nama-nama itu semuanya nama kawasan elite. Masing-masing
punya
kelebihan. Dokki terkenal sebagai tempatnya para diplomat tinggal.
Mohandesen
tempatnya para pengusaha dan selebritis. Sedangkan Maadi mungkin
adalah
kawasan yang paling teratur tata kotanya. Dirancang oleh kolonial Inggris.
Jalan-jalannya
lebar. Setiap rumah ada tamannya. Dan dekat sungai Nil. Tinggal di
Maadi
memiliki prestise sangat tinggi. Prestise-nya seumpama tinggal di
Paris
dibandingkan
dengan tinggal di kota-kota besar lainnya di Eropa. Itu keterangan yang
aku dapat
dari Tuan Boutros, ayahnya Maria yang bekerja di sebuah bank swasta di
Maadi.
Masalah prestise memang sangat subjektif. Orang yang tinggal di kawasan
agak
kumuh Sayyeda Zaenab merasa lebih prestise dibandingkan dengan tinggal
di
kawasan
lain di Cairo. Alasan mereka karena dekat dengan makam Sayyeda Zaenab,
cucu
Baginda Nabi Saw. Demikian juga yang tinggal di dekat masjid Amru bin Ash.
Mereka
merasa lebih beruntung dan selalu bangga bisa tinggal di dekat masjid
pertama
yang didirikan di benua Afrika itu.
Begitu
pintu metro terbuka, beberapa penumpang turun. Lalu beberapa orang
naik-masuk.
Mataku menangkap ada tiga orang bule masuk. Yang seorang
nenek-nenek.
Ia memakai kaos dan celana pendek sampai lutut. Wajahnya tampak
pucat.
Mungkin karena kepanasan. Ia diiringi seorang pemuda dan seorang
perempuan
muda. Mungkin anaknya atau cucunya. Keduanya memakai ransel.
Pemuda
bule itu memakai topi berbendera Amerika dan berkaca mata hitam. Ia juga
hanya
berkaos sport putih dan celana pendek sampai lutut. Yang perempuan
memakai
kaos ketat tanpa lengan, you can see. Dan bercelana pendek ketat. Semua
bagian
tubuhnya menonjol. Lekak-lekuknya jelas. Bagian pusarnya kelihatan. Ia
seperti
tidak berpakaian. Mereka berdua mengitarkan pandangan. Mencari tempat
duduk.
Sayang, tak ada yang kosong. Beberapa orang justru berdiri termasuk diriku.
Aku
tersenyum pada Ashraf sambil berkata,
“Ashraf
kau mau titip pesan pada Presiden Amerika nggak?”
“Apa
maksudmu?”
“Itu,
mumpung ada orang Amerika. Minggu depan mereka mungkin sudah
kembali
ke Amerika. Kau bisa titip pesan pada mereka agar presiden mereka tidak
bertindak
bodoh seperti yang kau katakan tadi.”
Ashraf
menoleh ke kanan dan memandang tiga bule itu dengan raut tidak
18
senang.
Tiba-tiba ia berteriak,
“Ya Amrikaniyyun, la’natullah ‘alaikum!”24
Kontan
para penumpang yang mendengar perkataan Ashraf itu melongok ke
arah tiga
bule yang baru masuk itu. Gerakan persis anak-anak ayam yang kaget atas
kedatangan
musang di kandangnya. Kusisir wajah orang-orang Mesir. Rautraut
kurang
simpati dan tidak senang. Apalagi pakaian perempuan muda Amerika itu bisa
dikatakan
tidak sopan. Orang-orang Mesir memang menganggap Amerika sebagai
biang
kerusakan di Timur Tengah. Orang-orang Mesir sangat marah pada Amerika
yang
mencoba mengadu domba umat Islam dengan umat Kristen Koptik. Amerika
pernah
menuduh pemerintah Mesir dan kaum muslimin berlaku semenamena pada
umat
Koptik. Tentu saja tuduhan itu membuat gerah seluruh penduduk Mesir. Bapa
Shnouda,
pemimpin tertinggi dan kharismatik umat Kristen Koptik serta merta
memberikan
keterangan pers bahwa tuduhan Amerika dusta belaka. Sebuah tuduhan
yang
bertujuan hendak menghancurkan sendi-sendi persaudaraan umat Islam dan
umat
Koptik yang telah kuat mengakar berabad-abad lamanya di bumi Kinanah.25
Untung
ketiga orang Amerika itu tidak bisa bahasa Arab. Mereka kelihatannya
tidak
terpengaruh sama sekali dengan kata-kata yang diucapkan Ashraf. Memang,
kalau
sedang jengkel orang Mesir bisa mengatakan apa saja. Di pasar Sayyeda
Zainab
aku pernah melihat seorang penjual ikan marah-marah pada isterinya. Entah
karena
apa. Ia menghujani isterinya dengan sumpah serapah yang sangat kasar dan
tidak
nyaman di dengar telinga. Di antara kata-kata kasar yang kudengar adalah: Ya
bintal
haram, ya syarmuthah, ya bintal khinzir...!26 Bulu romaku sampai berdiri. Ngeri
mendengarnya.
Sang isteri juga tak mau kalah. Ia membalas dengan caci maki dan
serapah
yang tak kalah keras dan kotornya. Dan sumpah serapah yang mengandung
laknat
adalah termasuk paling kasar.
Telingaku
paling tidak suka mendengar caci mencaci, apalagi umpatan
melaknat.
Tak ada yang berhak melaknat manusia kecuali Tuhan. Manusia jelasjelas
telah
dimuliakan oleh Tuhan. Tanpa membedakan siapa pun dia. Semua manusia
telah
dimuliakan Tuhan sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an, Wa laqad karramna
banii
Adam. Dan telah Kami muliakan anak keturunan Adam! Jika Tuhan telah
memuliakan
manusia, kenapa masih ada manusia yang mencaci dan melaknat
24 Hai orang-orang Amerika, laknat Allah untuk kalian!
25 Kinanah: salah satu julukan untuk bumi Mesir.
26 Ya bintal haram (Hai anak haram/anak hasil perzinaan), Ya
Syarmuthah (Hai pelacur), Ya bintal
khinzir
(Hai anak babi).
19
sesama
manusia? Apakah ia merasa lebih tinggi martabatnya daripada Tuhan?
Tindakan
Ashraf melaknat tiga turis Amerika itu sangat aku sesalkan.
Tindakannya
jauh dari etika Al-Qur’an, padahal dia tiap hari membaca Al-Qur’an. Ia
telah
menamatkan qiraah riwayat Imam Hafsh. Namun ia berhenti pada cara
membacanya
saja, tidak sampai pada penghayatan ruh kandungannya. Semoga
Allah
memberikan petunjuk di hatinya.
Yang aku
herankan, dalam kondisi panas seperti ini, kenapa bule-bule itu ada
di dalam metro.
Seandainya mau bepergian kenapa tidak memakai limousin atau taksi
yang
ber-AC. Dalam hati aku merasa kasihan pada mereka. Mereka seperti tersiksa.
Basah
oleh keringat. Wajah dan kulit mereka kemerahan. Yang paling kasihan adalah
yang
nenek-nenek. Beberapa kali ia menenggak air mineral. Mukanya tetap saja
pucat.
Mereka tidak biasa kepanasan seperti ini. Aku jadi teringat Majidov, teman dari
Rusia. Ia
sangat tidak tahan dengan panasnya Mesir. Ia tinggal di Madinatul Bu’uts,
atau
biasa disebut Bu’uts
saja. Yaitu asrama mahasiswa Al Azhar dari seluruh penjuru
dunia. Di
Bu’uts tidak ada AC-nya. Jika musim panas tiba dia akan hengkang dari
Bu’uts dan menyewa flat bersama beberapa
temannya di kawasan Rab’ah
El-Adawea.
Mencari yang ada AC-nya.
Tapi
tidak semua mahasiswa dari Rusia seperti Majidov. Banyak juga yang
tahan
dengan musim panas.
Tak ada
yang bergerak mempersilakan nenek bule itu untuk duduk. Ini yang
aku
sesalkan. Beberapa lelaki muda atau setengah baya yang masih kuat tetap saja
tidak mau
berdiri dari tempat duduk mereka. Biasanya, begitu melihat orang tua,
apalagi
nenek-nenek, beberapa orang langsung berdiri menyilakan duduk. Tapi kali
ini
tidak. Lelaki bule itu mengajak bicara seorang pemuda Mesir berbaju kotak-kotak
lengan
pendek yang duduk di dekatnya. Sekilas di antara deru metro kutangkap
maksud
perkataan si bule. Ia minta kepada pemuda Mesir itu memberi kesempatan
pada
ibunya yang sudah tua untuk duduk. Mereka bertiga akan turun di Tahrir. Tapi
pemuda
Mesir itu sama sekali tidak menanggapinya. Entah kenapa. Apa karena dia
tidak
paham bahasa Inggris, atau karena ketidaksukaannya pada orang Amerika?
Aku tidak
tahu.
Nenek
bule itu kelihatannya tidak kuat lagi berdiri. Ia hendak duduk
menggelosor
di lantai. Belum sampai nenek bule itu benar-benar menggelosor,
tiba-tiba
perempuan bercadar yang tadi kupersilakan duduk itu berteriak mencegah,
20
“Mom,
wait! Please, sit down here!”
Perempuan
bercadar biru muda itu bangkit dari duduknya. Sang nenek
dituntun
dua anaknya beranjak ke tempat duduk. Setelah si nenek duduk, perempuan
bule muda
berdiri di samping perempuan bercadar. Aku melihat pemandangan yang
sangat
kontras. Sama-sama perempuan. Yang satu auratnya tertutup rapat. Tak ada
bagian
dari tubuhnnya yang membuat jantung lelaki berdesir. Yang satunya memakai
pakaian
sangat ketat, semua lekak-lekuk tubuhnya kelihatan, ditambah basah
keringatnya
bule itu nyaris seperti telanjang.
“Thank you. It’s very kind of
you!” Perempuan bule muda mengungkapkan rasa
terima
kasih pada perempuan bercadar.
“You’re welcome,” lirih perempuan bercadar.
Bahasa Inggrisnya bagus. Sama
sekali
tak kuduga. Keduanya lalu berkenalan dan berbincang-bincang. Perempuan
bercadar
minta maaf atas perlakuan saudara seiman yang mungkin kurang ramah.
Ternyata
lebih dari yang kunilai. Perempuan bercadar itu benarbenar berbicara
sefasih
orang Inggris. Biasanya orang Mesir sangat susah berbahasa Inggris dengan
fasih.
Kata ‘friend’ selalu mereka ucapan ‘bren’. Huruf ‘f’ jadi ‘b’. Aku sering geli
mendengarnya.
Tapi perempuan bercadar ini sungguh fasih. Lebih fasih dari
pembaca
berita Nile TV. Perempuan bule tersenyum dan berkata,
“Oh not at all. It’s all
right. Cuaca memang panas dan melelahkan. Semuanya
lelah.
Dalam keadaan lelah terkadang susah untuk mengalah. Dan itu sangat
manusiawi.”
“Busyit!
Hei perempuan bercadar, apa yang kau lakukan!”
Pemuda
berbaju kotak-kotak bangkit dengan muka merah. Ia berdiri tepat di
samping
perempuan bercadar dan membentaknya dengan kasar. Rupanya ia
mendengar
dan mengerti percakapan mereka berdua.
Perempuan
bercadar kaget. Namun aku tidak bisa menangkap raut kagetnya
sebab
mukanya tertutup cadar. Yang bisa kutangkap adalah gerakan kepalanya yang
terperangah,
kedua matanya yang sedikit menciut, kulit putih antara dua matanya
sedikit
mengkerut, alisnya seperti mau bertemu.
“Hal a..ana khata’?” 27 Ucap
perempuan bercadar tergagap. Ia memakai
27 Hal ana khata’ ? Maksudnya, apakah saya salah? Susunannya yang tepat adalah Hal
ana
mukhthi’ah?
21
bahasa fusha
28 , bukan bahasa ‘amiyah. 29 Maksudnya bisa
dipahami, tapi
susunannya
janggal. Apakah mungkin karena dirinya terlalu kaget atas bentakan
pemuda
Mesir itu.
Mendengar
jawaban seperti itu si pemuda malah semakin naik pitam. Ia
kembali
membentak dan memaki-maki secara kasar dengan bahasa ‘amiyah,
“Yakhrab
baitik!30
Kau telah
menghina seluruh orang Mesir yang ada di metro
ini. Kau
sungguh keterlaluan! Kelihatannya saja bercadar, sok alim, tapi sebetulnya
kau
perempuan bangsat! Kau kira kami tidak tahu sopan-santun apa? Sengaja kami
mengacuhkan
orang Amerika itu untuk sedikit memberi pelajaran. Ee..bukannya kau
mendukung
kami. Kau malah mempersilakan setan-setan bule itu duduk. Dan seolah
paling
baik, kau sok jadi pahlawan dengan memintakan maaf atas nama kami semua.
Kau ini
siapa, heh?”
Pemuda
itu sudah keterlaluan. Aku berharap ada yang bertindak. Ashraf dan
seorang
lelaki setengah baya berpakaian abu-abu mendekati pemuda dan
perempuan
bercadar. Aku sedikit lega.
“Kau
memang sungguh kurang ajar perempuan! Kau membela bule-bule
Amerika
yang telah membuat bencana di mana-mana. Di Afganistan. Di Palestina. Di
Irak dan
di mana-mana. Mereka juga tiada henti-hentinya menggoyang negara kita.
Kau ini
muslimah macam apa, hah!?” Ashraf marah sambil menuding-nuding
perempuan
bercadar itu.
Aku kaget
bukan main. Aku tak mengira Ashraf akan berkata sekasar itu.
Kelegaanku
berubah jadi kekecewaan mendalam.
“Meski
kau bercadar dan membawa mushaf ke mana-mana, nilaimu tak lebih
dari
seorang syarmuthah!”31
umpat
lelaki berpakaian abu-abu.
Ini sudah
keterlaluan. Menuduh seorang perempuan baik-baik sehina pelacur
tidak
bisa dibenarkan.
Aku
membaca istighfar dan shalawat berkali-kali. Aku sangat kecewa pada
mereka.
Perempuan bercadar itu diam seribu bahasa. Matanya berkaca-kaca.
Bentakan,
cacian, tudingan dan umpatan yang ditujukan padanya memang sangat
28 Bahasa Arab yang fashih secara gramatikal, bukan bahasa pergaulan.
29 Bahasa Arab pergaulan, yang biasa digunakan dalam percakapan
harian.
30 Yakhrab baitik! (Artinya secara bahasa semoga rumahmu roboh,
biasanya digunakan untuk
mengumpat
dalam bahasa Jawa senada dengan kata-kata: Bajingan! Dancouk! Dan sejenisnya).
31 Syarmuthah: Pelacur.
22
menyakitkan.
Aku tak bisa diam. Kucopot topi yang menutupi kopiah putihku. Lalu aku
mendekati
mereka sambil mencopot kaca mata hitamku.
“Ya jama’ah, shalli ‘alan
nabi, shalli ‘alan nabi!”32 ucapku pada mereka sehalus
mungkin.
Cara menurunkan amarah orang Mesir adalah dengan mengajak membaca
shalawat.
Entah riwayatnya dulu bagaimana. Di mana-mana, di seluruh Mesir, jika
ada orang
bertengkar atau marah, cara melerai dan meredamnya pertama-tama
adalah
dengan mengajak membaca shalawat. Shalli ‘alan nabi, artinya
bacalah
shalawat
ke atas nabi. Cara ini biasanya sangat manjur.
Benar,
mendengar ucapanku spontan mereka membaca shalawat. Juga para
penumpang
metro lainnya yang mendengar. Orang Mesir tidak mau dikatakan orang
bakhil.
Dan tiada yang lebih bakhil dari orang yang mendengar nama nabi, atau
diminta
bershalawat tapi tidak mau mengucapkan shalawat. Begitu penjelasan Syaikh
Ahmad
waktu kutanyakan ihwal cara aneh orang Mesir dalam meredam amarah.
Justru
jika ada orang sedang marah lantas kita bilang padanya, La taghdhab! (yang
artinya:
jangan marah!) terkadang malah akan membuat ia semakin marah.
Lalu aku
menjelaskan pada mereka bahwa yang dilakukan perempuan
bercadar
itu benar. Bukanya menghina orang Mesir, justru sebaliknya. Dan
umpatan-umpatan
yang ditujukan padanya itu sangat tidak sopan dan tidak bisa
dibenarkan.
Aku beberkan alasan-alasan kemanusiaan. Mereka bukannya sadar, tapi
malah
kembali naik pitam. Si pemuda marah dan mencela diriku dengan sengit. Juga
si bapak
berpakaian abu-abu. Sementara Ashraf bilang, “Orang Indonesia, sudahlah,
kau
jangan ikut campur urusan kami!”
Aku
kembali mengajak mereka membaca shalawat. Aku nyaris kehabisan
akal.
Akhirnya kusitir beberapa hadits nabi untuk menyadarkan mereka. Tapi orang
Mesir
seringkali muncul besar kepalanya dan merasa paling menang sendiri.
Pemuda
Mesir malah menukas sengak, “Orang Indonesia, kau tahu apa sok
mengajari
kami tentang Islam, heh! Belajar bahasa Arab saja baru kemarin sore. Juz
Amma
entah hafal entah tidak. Sok pintar kamu! Sudah kau diam saja, belajar
baik-baik
selama di sini dan jangan ikut campur urusan kami!”
Aku diam
sesaat sambil berpikir bagaimana caranya menghadapi anak turun
Fir’aun
yang sombong dan keras kepala ini. Aku melirik Ashraf. Mata kami bertatapan.
32 Wahai Jamaah (untuk menyapa orang banyak)! Bacalah shalawat ke
atas nabi, bacalah shalawat ke
atas
nabi!
23
Aku
berharap dia berlaku adil. Dia telah berkenalan denganku tadi. Kami pernah
akrab
meskipun cuma sesaat. Kupandangi dia dengan bahasa mata mencela. Ashraf
menundukkan
kepalanya, lalu berkata,
“Kapten,
kau tidak boleh berkata seperti itu. Orang Indonesia ini sudah
menyelesaikan
licence-nya di Al Azhar. Sekarang dia sedang menempuh program
magisternya.
Walau bagaimana pun, dia seorang Azhari. Kau tidak boleh
mengecilkan
dia. Dia hafal Al-Qur’an. Dia murid Syaikh Utsman Abdul Fattah yang
terkenal
itu.”
Pembelaan
Ashraf ini sangat berarti bagiku. Pemuda berbaju kotak-kotak itu
melirik
kepadaku lalu menunduk. Mungkin dia malu telah berlaku tidak sopan
kepadaku.
Tetapi lelaki berpakaian abu-abu kelihatannya tidak mau menerima begitu
saja.
“Dari
mana kau tahu? Apa kau teman satu kuliahnya?” tanyanya.
Ashraf
tergagap, “Tidak. Aku tidak teman kuliahnya. Aku tahu saat berkenalan
dengannya
tadi.”
“Kau
terlalu mudah percaya. Bisa saja dia berbohong. Program magister di Al
Azhar
tidak mudah. Jadi murid Syaikh Utsman juga tidak mudah.” Lelaki itu mencela
Ashraf.
Dia lalu berpaling ke arahku dan berkata, “Hei orang Indonesia, kalau benar
kau S.2.
di Al Azhar mana kartumu!?”
Lelaki
itu membentak seperti polisi intel. Berurusan dengan orang awam Mesir
yang
keras kepala memang harus sabar. Tapi jika mereka sudah tersentuh hatinya,
mereka
akan bersikap ramah dan luar biasa bersahabat. Itulah salah satu
keistimewaan
watak orang Mesir. Terpaksa kubuka tas cangklongku. Kuserahkan dua
kartu
sekaligus. Kartu S.2. Al Azhar dan kartu keanggotaan talaqqi qiraah sab’ah dari
Syaikh
Utsman. Tidak hanya itu, aku juga menyerahkan selembar tashdiq33 resmi
dari
universitas. Tasdiq yang akan kugunakan untuk memperpanjang visa Sabtu
depan.
Lelaki
setengah baya lalu meneliti dua kartu dan tashdiq yang masih gres itu
dengan
seksama. Ia manggut-manggut, kemudian menyerahkannya pada pemuda
berbaju
kotak-kotak yang keras kepala yang ada di sampingnya.
33 Tashdiq adalah surat keterangan resmi dari Universitas, bahwa
pemiliknya benar-benar mahasiswa
pada
fakultas, jurusan dan program tertentu di universitas itu. Tashdiq biasanya
diperlukan untuk
urusan-urusan
resmi. Misalnya perpanjangan visa belajar, pengambilan visa haji, meminta atau
memperpanjang
beasiswa pada suatu lembaga dan lain sebagainya.
24
“Kebetulan
saat ini saya sedang menuju masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk
talaqqi. Kalau ada yang mau ikut menjumpai Syaikh Utsman boleh menyertai
saya.”
Ujarku
tenang penuh kemenangan.
Kulihat
wajah mereka tidak sepitam tadi. Sudah lebih mencair. Bahkan ada
gurat
rasa malu pada wajah mereka. Jika kebenaran ada di depan mata, orang Mesir
mudah
luluh hatinya.
“Maafkan
kelancangan kami, Orang Indonesia. Tapi perempuan bercadar ini
tidak
pantas dibela. Ia telah melakukan tindakan bodoh!” kata pemuda Mesir berbaju
kotak-kotak
sambil menyerahkan kembali dua kartu dan tashdiq kepadaku.
Aku
menghela nafas panjang. Metro melaju kencang menembus udara panas.
Sesekali
debu masuk berhamburan.
“Terus
terang, aku sangat kecewa pada kalian! Ternyata sifat kalian tidak
seperti
yang digambarkan baginda Nabi. Beliau pernah bersabda bahwa orang-orang
Mesir
sangat halus dan ramah, maka beliau memerintahkan kepada shahabatnya,
jika
kelak membuka bumi Mesir hendaknya bersikap halus dan ramah. Tapi ternyata
kalian
sangat kasar. Aku yakin kalian bukan asli orang Mesir. Mungkin kalian sejatinya
sebangsa
Bani Israel. Orang Mesir asli itu seperti Syaikh Muhammad Mutawalli
Sya’rawi
yang ramah dan pemurah,” ucapku datar. Aku yakin akan membuat hati
orang
Mesir yang mendengarnya bagaikan tersengat aliran listrik.
“Maafkan
kami, Orang Indonesia. Kami memang emosi tadi. Tapi jangan kau
katakan
kami bukan orang Mesir. Jangan pula kau katakan kami ini sebangsa Bani
Israel.
Kami asli Mesir. Kami satu moyang dengan Syaikh Sya’rawi rahimahullah,”
lelaki
setengah baya itu tidak terima. Syaikh Sya’rawi memang seorang ulama yang
sangat
merakyat. Sangat dicintai orang Mesir. Hampir semua orang Mesir mengenal
dan
mencintai beliau. Mereka sangat bangga memiliki seorang Sya’rawi yang
dihormati
di seantero penjuru Arab.
“Yang aku
tahu, selama ini, orang Mesir asli sangat memuliakan tamu. Orang
Mesir
asli sangat ramah, pemurah, dan hatinya lembut penuh kasih sayang. Sifat
mereka
seperti sifat Nabi Yusuf dan Nabi Ya’qub. Syaikh Sya’rawi, Syaikh Abdul
Halim
Mahmud, Syaikh Muhammad Ghazali, Syaikh Muhammad Hasan, Syaikh
Kisyk,
Syaikh Muhammad Jibril, Syaikh Athea Shaqr, Syaikh Ismail Diftar, Syaikh
Utsman
dan ulama lainnya adalah contoh nyata orang Mesir asli yang berhati lembut,
sangat
memuliakan tamu dan sangat memanusiakan manusia. Tapi apa yang baru
25
saja
kalian lakukan?! Kalian sama sekali tidak memanusiakan manusia dan tidak
punya
rasa hormat sedikit pun pada tamu kalian. Orang bule yang sudah
nenek-nenek
itu adalah tamu kalian. Mereka bertiga tamu kalian. Tetapi kenapa kalian
malah
melaknatnya. Dan ketika saudari kita yang bercadar ini berlaku sebagai
seorang
muslimah sejati dan sebagai seorang Mesir yang ramah, kenapa malah
kalian
cela habis-habisan!? Kalian bahkan menyumpahinya dengan perkataan kasar
yang
sangat menusuk perasaan dan tidak layak diucapkan oleh mulut orang yang
beriman! ”
“Tapi
Amerika sudah keterlaluan! Apa salah jika kami sedikit saja
mengungkapkan
kejengkelan kami dengan memberi pelajaran sedikit saja pada
orang-orang
Amerika itu?!” Lelaki setengah baya masih berusaha membenarkan
tindakannya.
Aku tidak merasa aneh. Begitulah orang Mesir, selalu merasa benar.
Dan nanti
akan luluh jika berhadapan dengan kebenaran yang seterang matahari.
“Kita
semua tidak menyukai tindak kezhaliman yang dilakukan siapa saja.
Termasuk
yang dilakukan Amerika. Tapi tindakan kalian seperti itu tidak benar dan
jauh dari
tuntunan ajaran baginda Nabi yang indah.”
“Lalu
kami harus berbuat apa dan bagaimana? Ini mumpung ada orang
Amerika. Mumpung
ada kesempatan. Dengan sedikit pelajaran mereka akan tahu
bahwa
kami tidak menyukai kezhaliman mereka. Biar nanti kalau pulang ke
negaranya
mereka bercerita pada tetangganya bagaimana tidak sukanya kami pada
mereka!”
“Justru
tindakan kalian yang tidak dewasa seperti anak-anak ini akan
menguatkan
opini media massa Amerika yang selama ini beranggapan orang Islam
kasar dan
tidak punya perikemanusiaan. Padahal baginda Rasul mengajarkan kita
menghormati
tamu. Apakah kalian lupa, beliau bersabda, siapa yang beriman kepada
Allah dan
hari akhir maka hormatilah tamunya. Mereka bertiga adalah tamu di bumi
Kinanah
ini. Harus dihormati sebaik-baiknya. Itu jika kalian merasa beriman kepada
Allah dan
hari akhir. Jika tidak, ya terserah! Lakukanlah apa yang ingin kalian lakukan.
Tapi
jangan sekali-kali kalian menamakan diri kalian bagian dari umat Islam. Sebab
tindakan
kalian yang tidak menghormati tamu itu jauh dari ajaran Islam.”
Lelaki
setengah baya itu diam. Pemuda berbaju kotak-kotak menunduk. Ashraf
membisu.
Para penumpang yang lain, termasuk perempuan bercadar juga diam.
Metro terus berjalan dengan suara bergemuruh, sesekali mencericit.
26
“Coba
kalian jawab pertanyaanku ini. Kenapa kalian berani menyakiti
Rasulullah?!”
tanyaku sambil memandang ketiga orang Mesir bergantian. Mereka
agak
terkejut mendengar pertanyaanku itu.
“Akhi,
mana mungkin kami berani menyakiti Rasulullah yang kami cintai,”
jawab
Ashraf.
“Kenapa
kalian kelak di hari akhir berani berseteru di hadapan Allah melawan
Rasulullah?”
tanyaku lagi.
“Akhi,
kau melontarkan pertanyaan gila. Kita semua di hari akhir kelak
mengharap
syafaat Rasulullah, bagaimana mungkin kami berani berseteru dengan
beliau di
hadapan Allah!” jawab Ashraf.
“Tapi
kalian telah melakukan tindakan sangat lancang. Kalian telah menyakiti
Rasulullah.
Kalian telah menantang Rasulullah untuk berseteru di hadapan Allah
kelak di
hari akhir!” ucapku tegas sedikit keras.
Lelaki
setengah baya, Ashraf, pemuda berbaju kotak-kotak dan beberapa
penumpang
metro yang mendengar ucapanku semuanya tersentak kaget.
“Apa
maksudmu, Andonesy? Kau jangan bicara sembarangan!” jawab lelaki
setengah
baya sedikit emosi.
“Paman,
aku tidak berkata sembarangan. Aku akan sangat malu pada diriku
sendiri
jika berkata dan bertindak sembarangan. Baiklah, biar aku jelaskan. Dan
setelah
aku jelaskan kalian boleh menilai apakah aku berkata sembarangan atau
bukan.
Harus kalian mengerti, bahwa ketiga orang bule ini selain tamu kalian mereka
sama
dengan ahlu dzimmah. Tentu kalian tahu apa itu ahlu dzimmah.
Disebut ahlu
dzimmah karena mereka berada dalam jaminan Allah, dalam jaminan Rasul-Nya,
dan
dalam
jaminan jamaah kaum muslimin. Ahlu dzimmah adalah semua orang non
muslim
yang berada di dalam negara tempat kaum muslimin secara baik-baik, tidak
ilegal,
dengan membayar jizyah dan mentaati peraturan yang ada dalam negara itu.
Hak
mereka sama dengan hak kaum muslimin. Darah dan kehormatan mereka sama
dengan
darah dan kehormatan kaum muslimin. Mereka harus dijaga dan dilindungi.
Tidak
boleh disakiti sedikit pun. Dan kalian pasti tahu, tiga turis Amerika ini masuk
ke
Mesir
secara resmi. Mereka membayar visa. Kalau tidak percaya coba saja lihat
paspornya.
Maka mereka hukumnya sama dengan ahlu dzimmah. Darah dan
kehormatan
mereka harus kita lindungi. Itu yang diajarkan Rasulullah Saw. Tidakkah
kalian
dengar sabda beliau, ‘Barangsiapa
menyakiti orang zhimmi (ahlu zhimmah)
27
maka aku
akan menjadi seterunya. Dan siapa yang aku menjadi seterunya dia pasti
kalah di hari kiamat.’34 Beliau juga memperingatkan, ‘Barangsiapa yang menyakiti
orang
dzimmi, dia telah menyakiti diriku dan barangsiapa menyakiti diriku berarti dia
menyakiti Allah.’35 Begitulah Islam mengajarkan bagaimana memperlakukan non
muslim
dan para tamu asing yang masuk secara resmi dan baik-baik di negara kaum
muslimin.
Imam Ali bahkan berkata, ‘Begitu membayar jizyah, harta mereka menjadi
sama
harus dijaganya dengan harta kita, darah mereka sama nilainya dengan darah
kita.’ Dan para turis itu telah membayar
visa dan ongkos administrasi lainnya, sama
dengan
membayar jizyah. Mereka menjadi tamu resmi, tidak ilegal, maka harta,
kehormatan
dan darah mereka wajib kita jaga bersamasama. Jika tidak, jika kita
sampai
menyakiti mereka, maka berarti kita telah menyakiti baginda Nabi, kita juga
telah
menyakiti Allah. Kalau kita telah lancang berani menyakiti Allah dan Rasul-Nya,
maka
siapakah diri kita ini? Masih pantaskan kita mengaku mengikuti ajaran baginda
Nabi?”
Lelaki
setengah baya itu tampak berkaca-kaca. Ia beristighfar berkali-kali. Lalu
mendekati
diriku. Memegang kepalaku dengan kedua tangannya dan mengecup
kepalaku
sambil berkata, “Allah
yaftah ‘alaik, ya bunayya! Allah yaftah ‘alaik!
Jazakallah
khaira!”36 Ia telah tersentuh. Hatinya telah lembut.
Setelah
itu giliran Ashraf merangkulku.
“Senang
sekali aku bertemu dengan orang sepertimu, Fahri!” katanya.
Aku
tersenyum, ia pun tersenyum. Pemuda berbaju kotak-kotak lalu
mempersilakan
pria bule yang berdiri di dekat neneknya untuk duduk di tempat
duduknya.
Dua pemuda Mesir yang duduk di depan nenek bule berdiri dan
mempersilakan
pada perempuan bercadar dan perempuan bule untuk duduk.
Begitulah.
Salah
satu keindahan hidup di Mesir adalah penduduknya yang lembut
hatinya.
Jika sudah tersentuh mereka akan memperlakukan kita seumpama raja.
Mereka
terkadang keras kepala, tapi jika sudah jinak dan luluh mereka bisa
melakukan
kebaikan seperti malaikat. Mereka kalau marah meledak-ledak tapi kalau
sudah
reda benar-benar reda dan hilang tanpa bekas. Tak ada dendam di belakang
34 Diriwayatkan oleh Al-Khathib dengan sanad baik.
35 Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dengan sanad baik.
36 Semoga Allah membuka hatimu (menambahkan ilmumu) Anakku! Dan
semoga Allah membalasmu
dengan
kebaikan!
28
yang
diingat sampai tujuh keturunan seperti orang Jawa. Mereka mudah menerima
kebenaran
dari siapa saja.
Metro terus melaju. Tak terasa sudah sampai mahattah Mar Girgis.
Ashraf
mendekatkan
diri ke pintu. Ia bersiap-siap. Mahattah depan adalah El-Malik El-Saleh,
setelah
itu Sayyeda Zeinab dan ia akan turun di sana. Aku menghitung masih ada
tujuh mahattah
baru sampai di Ramsis. Setelah itu aku akan pindah metro jurusan
Shubra
El-Khaima. Perjalanan masih jauh. Metro kembali berjalan. Pelan-pelan
lalu
semakin
kencang. Tak lama kemudian sampai di El-Malik El-Saleh. Metro berhenti.
Pintu
dibuka. Beberapa orang turun. Lelaki setengah baya hendak turun. Sebelum
turun ia
menyalami diriku dan mengucapkan terima kasih sambil mulutnya tiada henti
mendoakan
diriku. Aku mengucapkan amin berkalikali. Topi dan kaca mata hitamku
kembali
aku pakai. Tak jauh dariku, perempuan bercadar nampak asyik berbincang
dengan
perempuan bule. Sedikit-sedikit telingaku menangkap isi perbincangan
mereka.
Rupanya perempuan bercadar sedang menjelaskan semua yang tadi terjadi.
Kejengkelan
orang-orang Mesir pada Amerika. Kekeliruan mereka serta
pembetulan-pembetulan
yang aku lakukan. Perempuan bercadar juga menjelaskan
maksud
dari hadits-hadits nabi yang tadi aku ucapkan dengan bahasa Inggris yang
fasih.
Perempuan bule itu menganggukanggukkan kepala. Sampai di Sayyeda
Zeinab,
Ashraf turun setelah terlebih dahulu melambaikan tangan padaku. Seorang
ibu yang
duduk di samping nenek bule turun. Kursinya kosong. Aku bisa duduk di
sana
kalau mau. Tapi kulihat seorang gadis kecil membawa tas belanja masuk.
Langsung
kupersilakan dia duduk.
Metro kembali melaju. Perempuan bercadar dan perempuan bule masih
berbincang-bincang
dengan akrabnya. Tapi kali ini aku tidak mendengar dengan jelas
apa yang
mereka perbincangkan. Angin panas masuk melalui jendela. Aku
memandang
ke luar. Rumah-rumah penduduk tampak kotak-kotak tak teratur seperti
kardus
bertumpukan tak teratur. Metro masuk ke lorong bawah tanah. Suasana
gelap
sesaat.
Lalu lampu-lampu metro menyala. Tak lama kemudian metro sampai
mahattah Saad Zaghloul dan berhenti. Beberapa orang turun dan naik. Tiga
bule itu
bersiap
hendak turun, juga perempuan bercadar. Berarti mereka mau turun di Tahrir.
Perempuan
bercadar masih bercakap dengan perempuan bule. Keduanya sangat
dekat
denganku. Aku bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan.
Tentang
asal mereka masing. Perempuan bercadar itu ternyata lahir di Jerman, dan
besar
juga di Jerman. Namun ia berdarah Jerman, Turki dan Palestina. Sedangkan
29
perempuan
bule lahir dan besar di Amerika. Ia berdarah Inggris dan Spanyol.
Keduanya
bertukar kartu nama.
Perempuan
bule tepat berada di depanku. Wajahnya masih menghadap
perempuan
bercadar. Metro bercericit mengerem. Gerbong sedikit goyang. Tubuh
perempuan
bule bergoyang. Saat itulah dia melihat diriku. Ia tersenyum sambil
mengulurkan
tangannya kepadaku dan berkata,
“Hai Indonesian, thank’s for
everything. My name’s Alicia.”
“Oh, you’re welcome. My name is Fahri,” jawabku sambil menangkupkan
kedua
tanganku di depan dada, aku tidak mungkin menjabat tangannya.
“Ini
bukan berarti saya tidak menghormati Anda. Dalam ajaran Islam, seorang
lelaki
tidak boleh bersalaman dan bersentuhan dengan perempuan selain isteri dan
mahramnya.”
Aku menjelaskan agar dia tidak salah faham.
Alicia
tersenyum dan berseloroh, “Oh, never mind. And this is my name card,
for you.” Ia memberikan kartu namanya.
“Thank’s,” ujarku sambil menerima kartu namanya.
“It’s a pleasure.”
Metro berhenti.
Alicia,
neneknya dan saudaranya mendekati pintu hendak keluar. Perempuan
bercadar
masih berdiri di tempatnya. Ia melihat ke arah orang-orang yang hendak
turun. Perlahan
pintu dibuka. Ketika orang-orang mulai turun, perempuan bercadar itu
bergerak
melangkah, ia menyempatkan untuk menyapaku,
“Indonesian,
thank you.”
Aku
teringat dia orang Jerman. Aku iseng menjawab dengan bahasa Jerman,
“Bitte!”
Agaknya
perempuan bercadar itu kaget mendengar jawabanku dengan
bahasa
Jerman. Ia urung melangkah ke pintu. Ia malah menatap diriku dengan sorat
mata
penuh tanda tanya.
“Sprechen
Sie Deutsch?”37 tanyanya
dengan bahasa Jerman. Ia mungkin ingin
langsung
meyakinkan dirinya bahwa apa yang tadi ia dengarkan dariku benar-benar
bahasa
Jerman. Bahwa aku bisa berbahasa Jerman. Bahwa ia tidak salah dengar.
37 Kau berbicara bahasa Jerman
30
“Ja,
ein wenig.38
Alhamdulillah!” jawabku tenang.
Kalau sekadar bercakap
dengan
bahasa Jerman insya Allah tidak terlalu susah. Kalau aku disuruh membuat
tesis
dengan bahasa Jerman baru menyerah.
“Sind
Sie Herr Fahri?”39
Aku
tersenyum mendengar pertanyaannya. Ia bertanya seperti itu. Berarti ia
benar-benar
mendengarkan dengan baik pendebatanku dengan tiga orang Mesir tadi
sehingga
tahu namaku. Atau dia mendengarkan aku berkenalan dengan Alicia.
“Ja.
Mein name ist Fahri.”40 Jawabku.
“Mein
name ist Aisha,” sahutnya sambil menyerahkan kartu nama. Ia lalu
menyodorkan
buku notes kecil dan pulpen.
“Bitte,
schreiben Sie ihren namen!”41 katanya.
Kuterima
buku notes kecil dan pulpen itu. Aku paham maksud Aisha, tentu
tidak
sekadar nama tapi dilengkapi dengan alamat atau nomor telpon. Masinis metro
membunyikan
tanda alarm bahwa sebentar lagi pintu metro akan ditutup dan metro
akan
meneruskan perjalanan. Aku hanya menuliskan nama dan nomor
handphone-ku. Lalu kuserahkan kembali padanya. Aisha langsung bergegas
turun
sambil
berkata,
“Danke,
auf wiedersehn!”42
“Auf
wiedersehn!” jawabku.
Metro kembali berjalan. Ada tempat kosong. Saatnya aku duduk. Sudah
separuh
perjalanan lebih. Sudah setengah dua lebih lima menit. Waktu masih cukup.
Insya
Allah sampai di hadapan Syaikh Utsman tepat pada waktunya. Kalaupun
terlambat
hanya beberapa menit saja. Masih dalam batas yang bisa dimaafkan.
Dengan
duduk aku merasa lebih tenang. Ini saatnya aku mengulang dan memperbaiki
hafalan
Al-Qur’an yang akan aku setorkan pada Syaikh Utsman.
38 Ya. Sedikit-sedikit.
39 Apakah Anda tuan Fahri.
40 Ya nama saya Fahri.
41 Maaf, bisa tuliskan nama Anda.
42 Terima kasih, sampai bertemu lagi.
31
No comments:
Post a Comment