1. Gadis
Mesir Itu Bernama Maria
Tengah
hari ini, kota Cairo seakan membara. Matahari berpijar di tengah petala
langit.
Seumpama lidah api yang menjulur dan menjilat-jilat bumi. Tanah dan pasir
menguapkan
bau neraka. Hembusan angin sahara disertai debu yang
bergulung-gulung
menambah panas udara semakin tinggi dari detik ke detik.
Penduduknya,
banyak yang berlindung dalam flat yang ada dalam apartemen-apartemen
berbentuk
kubus dengan pintu, jendela dan tirai tertutup rapat.
Memang,
istirahat di dalam flat sambil menghidupkan pendingin ruangan jauh
lebih
nyaman daripada berjalan ke luar rumah, meski sekadar untuk shalat berjamaah
di
masjid. Panggilan azan zhuhur dari ribuan menara yang bertebaran di seantero
kota
hanya mampu menggugah dan menggerakkan hati mereka yang benar-benar
tebal
imannya. Mereka yang memiliki tekad beribadah sesempurna mungkin dalam
segala
musim dan cuaca, seperti karang yang tegak berdiri dalam deburan ombak,
terpaan
badai, dan sengatan matahari. Ia tetap teguh berdiri seperti yang dititahkan
Tuhan
sambil bertasbih tak kenal kesah. Atau, seperti matahari yang telah jutaan
tahun
membakar tubuhnya untuk memberikan penerangan ke bumi dan seantero
mayapada.
Ia tiada pernah mengeluh, tiada pernah mengerang sedetik pun
menjalankan
titah Tuhan.
Awal-awal
Agustus memang puncak musim panas.
Dalam
kondisi sangat tidak nyaman seperti ini, aku sendiri sebenarnya sangat
malas
keluar. Ramalan cuaca mengumumkan: empat puluh satu derajat celcius! Apa
tidak
gila!? Mahasiswa Asia Tenggara yang tidak tahan panas, biasanya sudah
mimisan, hidungnya mengeluarkan darah. Teman satu flat yang langganan mimisan
di puncak
musim panas adalah Saiful. Tiga hari ini, memasuki pukul sebelas siang
sampai
pukul tujuh petang, darah selalu merembes dari hidungnya. Padahal ia tidak
keluar
flat sama sekali. Ia hanya diam di dalam kamarnya sambil terus menyalakan
kipas
angin. Sesekali ia kungkum, mendinginkan badan di kamar mandi.
Dengan
tekad bulat, setelah mengusir segala rasa aras-arasen1 aku bersiap
untuk
keluar. Tepat pukul dua siang aku harus sudah berada di Masjid Abu Bakar
Ash-Shidiq
yang terletak di Shubra El-Khaima, ujung utara Cairo, untuk talaqqi2 pada
1 Rasa malas melakukan sesuatu.
2 Belajar langsung face to face dengan seorang syaikh atau ulama.
2
Syaikh
Utsman Abdul Fattah. Pada ulama besar ini aku belajar qiraah sab’ah3
dan
ushul
tafsir4. Beliau adalah murid Syaikh Mahmoud Khushari, ulama legendaris yang
mendapat
julukan Syaikhul
Maqari’ Wal Huffadh Fi Mashr atau Guru
Besarnya Para
Pembaca
dan Penghafal Al-Qur’an
di Mesir.
Jadwalku
mengaji pada Syaikh yang terkenal sangat disiplin itu seminggu dua
kali.
Setiap Ahad dan Rabu. Beliau selalu datang tepat waktu. Tak kenal kata absen.
Tak kenal
cuaca dan musim. Selama tidak sakit dan tidak ada uzur yang teramat
penting,
beliau pasti datang. Sangat tidak enak jika aku absen hanya karena alasan
panasnya
suhu udara. Sebab beliau tidak sembarang menerima murid untuk talaqqi
qiraah sab’ah. Siapa saja yang ingin
belajar qiraah sab’ah
terlebih dahulu akan beliau
uji
hafalan Al-Qur’an tiga puluh juz dengan qiraah bebas. Boleh Imam Warasy.
Boleh
Imam
Hafsh. Atau lainnya. Tahun ini beliau hanya menerima sepuluh orang murid.
Aku
termasuk sepuluh orang yang beruntung itu. Lebih beruntung lagi, beliau sangat
mengenalku.
Itu karena, di samping sejak tahun pertama kuliah aku sudah
menyetorkan
hafalan Al-Qur’an pada beliau di serambi masjid Al Azhar, juga karena di
antara
sepuluh orang yang terpilih itu ternyata hanya diriku seorang yang bukan orang
Mesir.
Aku satusatunya orang asing, sekaligus satu-satunya yang dari Indonesia. Tak
heran
jika beliau meng-anakemas-kan diriku. Dan teman-teman dari Mesir tidak ada
yang
merasa iri dalam masalah ini. Mereka semua simpati padaku. Itulah sebabnya,
jika aku
absen pasti akan langsung ditelpon oleh Syaikh Utsman dan teman-teman.
Mereka
akan bertanya kenapa tidak datang? Apa sakit? Apa ada halangan dan lain
sebagainya.
Maka aku harus tetap berusaha datang selama masih mampu
menempuh
perjalanan sampai ke Shubra, meskipun panas membara dan badai debu
bergulung-gulung
di luar sana. Meskipun jarak yang ditempuh sekitar lima puluh kilo
meter
lebih jauhnya.
Kuambil
mushaf tercinta.
Kucium
penuh takzim. Lalu kumasukkan ke dalam saku depan tas cangklong
hijau
tua. Meskipun butut, ini adalah tas bersejarah yang setia menemani diriku
menuntut
ilmu sejak di Madrasah Aliyah sampai saat ini, saat menempuh S.2. di
universitas
tertua di dunia, di delta Nil ini. Aku mengambil satu botol kecil berisi air
putih di
kulkas. Kumasukkan dalam plastik hitam lalu kumasukkan dalam tas. Aku
selalu
membiasakan diri membawa air putih jika bepergian, selain sangat berguna
3 Membaca Al-Qur’an dengan riwayat tujuh Imam
4 Ilmu tafsir paling pokok.
3
juga
merupakan salah satu bentuk penghematan yang sangat terasa. Apalagi selama
menempuh
perjalanan jauh dari Hadayek Helwan sampai Shubra El-Khaima dengan
metro5, tidak akan ada yang menjual
minuman.
Aku
sedikit ragu mau membuka pintu. Hatiku ketar-ketir. Angin sahara
terdengar
mendesau-desau. Keras dan kacau. Tak bisa dibayangkan betapa
kacaunya
di luar sana. Panas disertai gulungan debu yang berterbangan. Suasana
yang jauh
dari nyaman. Namun niat harus dibulatkan. Bismillah tawakkaltu ‘ala Allah6,
pelan-pelan
kubuka pintu apartemen. Dan...
Wuss!
Angin
sahara menampar mukaku dengan kasar. Debu bergumpal-gumpal
bercampur
pasir menari-nari di mana-mana. Kututup kembali pintu apartemen.
Rasanya
aku melupakan sesuatu.
“Mas
Fahri, udaranya terlalu panas. Cuacanya buruk. Apa tidak sebaiknya
istirahat
saja di rumah?” saran Saiful yang baru keluar dari kamar mandi. Darah yang
merembes
dari hidungnya telah ia bersihkan.
“Insya
Allah tidak akan terjadi apa-apa. Aku sangat tidak enak pada Syaikh
Utsman
jika tidak datang. Beliau saja yang sudah berumur tujuh puluh lima tahun
selalu
datang. Tepat waktu lagi. Tak kenal cuaca panas atau dingin. Padahal rumah
beliau
dari masjid tak kurang dari dua kilo,” tukasku sambil bergegas masuk kamar
kembali,
mengambil topi dan kaca mata hitam.
“Allah
yubarik fik7, Mas,” ujarnya serak. Tangan kanannya mengusapkan sapu
tangan
pada hidungnya. Mungkin darahnya merembes lagi.
“Wa
iyyakum!8” balasku sambil
memakai kaca mata hitam dan memakai topi
menutupi
kopiah putih yang telah menempel di kepalaku.
“Sudah
bawa air putih, Mas?”
Aku
mengangguk.
“Saif,
Rudi minta dibangunkan pukul setengah dua. Tadi malam dia lembur
bikin
makalah. Kelihatannya dia baru tidur jam setengah sepuluh tadi. Terus tolong
nanti
bilang sama dia untuk beli gula, dan minyak goreng. Hari ini dia yang piket
5 Kereta listrik, disebut juga trem
6 Dengan menyebut nama Allah, aku berserah diri kepada Allah
7 Semoga Allah melimpahkan berkah padamu.
8 Dan semoga melimpahkan (berkah-Nya) pada kalian semua.
4
belanja.
Oh ya, hampir lupa, nanti sore yang piket masak Hamdi. Dia paling suka
masak
oseng-oseng wortel campur kofta9. Kebetulan wortel dan koftanya habis.
Bilang
sama Rudi sekalian.”
Sebagai
yang dipercaya untuk jadi kepala keluarga—meskipun tanpa seorang
ibu rumah
tangga—aku harus jeli memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan
anggota.
Dalam flat ini kami hidup berlima; aku, Saiful, Rudi, Hamdi dan Mishbah.
Kebetulan
aku yang paling tua, dan paling lama di Mesir. Secara akademis aku juga
yang
paling tinggi. Aku tinggal menunggu pengumuman untuk menulis tesis master di
Al Azhar.
Yang lain masih program
S.1.
Saiful dan Rudi baru tingkat tiga, mau masuk tingkat empat. Sedangkan Misbah
dan Hamdi
sedang menunggu pengumuman kelulusan untuk memperoleh gelar Lc.
atau Licence.
Mereka semua telah menempuh ujian akhir tahun pada akhir Mei
sampai
awal Juni yang lalu. Awal-awal Agustus biasanya pengumuman keluar.
Namun
sampai hari ini, pengumuman belum juga keluar.
Dan hari
ini, kebetulan yang ada di flat hanya tiga orang, yaitu aku, Saiful dan
Rudi.
Adapun Hamdi sudah dua hari ini punya kegiatan di Dokki, tepatnya di Masjid
Indonesia
Cairo. Ia diminta untuk memberikan pelatihan kepemimpinan pada remaja
masjid
yang semuanya adalah putera-puteri para pejabat KBRI. Siang ini katanya
selesai,
dan nanti sore dia pulang. Sedangkan Mishbah sedang berada di Rab’ah
El-Adawea,
Nasr City. Katanya ia harus menginap di Wisma Nusantara, di tempatnya
Mas
Khalid, untuk merancang draft pelatihan ekonomi Islam bersama Profesor
Maulana
Husein Shahata, pertengahan September depan. Masing-masing penghuni
flat ini
punya kesibukan. Aku sendiri yang sudah tidak aktif di organisasi manapun,
juga
mempunyai jadwal dan kesibukan. Membaca bahan untuk tesis, talaqqi qiraah
sab’ah, menerjemah, dan diskusi intern
dengan teman-teman mahasiswa Indonesia
yang
sedang menempuh S.2. dan S.3. di Cairo.
Urusan-urusan
kecil seperti belanja, memasak dan membuang sampah, jika
tidak
diatur dengan bijak dan baik akan menjadi masalah. Dan akan mengganggu
keharmonisan.
Kami berlima sudah seperti saudara kandung. Saling mencintai,
mengasihi
dan mengerti. Semua punya hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada
yang
diistimewakan. Semboyan kami, baiti jannati. Rumahku adalah surgaku.
Tempat
yang kami
tinggali ini harus benar-benar menjadi tempat yang menyenangkan. Dan
9 Daging yang telah dicincang halus dengan mesin.
5
sebagai
yang paling tua aku bertanggung jawab untuk membawa mereka pada
suasana
yang mereka inginkan.
Aku
melangkah ke pintu.
“Saif.
Jangan lupa pesanku tadi!” kembali aku mengingatkan sebelum
membuka
pintu.
“Insya
Allah, Mas.”
Di luar
sana angin terdengar mendesau-desau. Benar kata Saiful, cuaca
sebetulnya
kurang baik.
Ah, kalau
tidak ingat bahwa kelak akan ada hari yang lebih panas dari hari ini
dan lebih
gawat dari hari ini. Hari ketika manusia digiring di padang Mahsyar dengan
matahari
hanya satu jengkal di atas ubun-ubun kepala. Kalau tidak ingat, bahwa
keberadaanku
di kota seribu menara ini adalah amanat. Dan amanat akan
dipertanggungjawabkan
dengan pasti. Kalau tak ingat, bahwa masa muda yang
sedang
aku jalani ini akan dipertanyakan kelak. Kalau tak ingat, bahwa tidak semua
orang
diberi nikmat belajar di bumi para nabi ini. Kalau tidak ingat, bahwa aku
belajar
di sini
dengan menjual satu-satunya sawah warisan dari kakek. Kalau tidak ingat
bahwa aku
dilepas dengan linangan air mata dan selaksa doa dari ibu, ayah dan
sanak
saudara. Kalau tak ingat bahwa jadwal adalah janji yang harus ditepati. Kalau
tak ingat
itu semua, shalat zhuhur di kamar saja lalu tidur nyantai menyalakan kipas
dan
mendengarkan lantunan lagu El-Himl El-Arabi atau El-Hubb El-Haqiqi, atau
untaian
shalawatnya Emad Rami dari Syiria itu, tentu rasanya nyaman sekali. Apalagi
jika
diselingi minum ashir10
mangga
yang sudah didinginkan satu minggu di dalam
kulkas
atau makan buah semangka yang sudah dua hari didinginkan. Masya Allah,
alangkah
segarnya.
Kubuka
pintu apartemen perlahan.
Wuss!
Angin
sahara kembali menerpa wajahku. Aku melangkah keluar lalu menuruni
tangga
satu per satu. Flat kami ada di tingkat tiga. Gedung apartemen ini hanya enam
tingkat
dan tidak punya lift. Sampai di halaman apartemen, jilatan panas matahari
seakan
menembus topi hitam dan kopiah putih yang menempel di kepalaku.
Seandainya
tidak memakai kaca mata hitam, sinarnya yang benderang akan terasa
10 Juice
6
perih
menyilaukan mata.
Kulangkahkan
kaki ke jalan.
“Psst..psst...Fahri!
Fahri!”
Kuhentikan
langkah. Telingaku menangkap ada suara memanggil-manggil
namaku
dari atas. Suara yang sudah kukenal. Kupicingkan mataku mencari asal
suara. Di
tingkat empat. Tepat di atas kamarku. Seorang gadis Mesir berwajah bersih
membuka jendela
kamarnya sambil tersenyum. Matanya yang bening menatapku
penuh
binar.
“Hei
Fahri, panas-panas begini keluar, mau ke mana?”
“Shubra.”
“Talaqqi
Al-Qur’an ya?”
Aku
mengangguk.
“Pulangnya
kapan?”
“Jam
lima, insya Allah.”
“Bisa
nitip?”
“Nitip
apa?”
“Belikan
disket. Dua. Aku malas sekali keluar.”
“Baik, insya
Allah.”
Aku
membalikkan badan dan melangkah.
“Fahri, istanna
suwayya!11”
“Fi eh
kaman?12”
Aku urung
melangkah.
“Uangnya.”
“Sudah,
nanti saja, gampang.”
“Syukran
Fahri.”13
“Afwan.”
11 Tunggu sebentar.
12 Ada apa lagi?
13 Terima kasih.
7
Aku
cepat-cepat melangkah ke jalan menuju masjid untuk shalat zhuhur.
Panasnya
bukan main.
Gadis
Mesir itu, namanya Maria. Ia juga senang dipanggil Maryam. Dua nama
yang
menurutnya sama saja. Dia puteri sulung Tuan Boutros Rafael Girgis. Berasal
dari
keluarga besar Girgis. Sebuah keluarga Kristen Koptik yang sangat taat. Bisa
dikatakan,
keluarga Maria adalah tetangga kami paling akrab. Ya, paling akrab. Flat
atau
rumah mereka berada tepat di atas flat kami. Indahnya, mereka sangat sopan
dan
menghormati kami mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Al Azhar.
Maria
gadis yang unik.
Ia
seorang Kristen Koptik atau dalam bahasa asli Mesirnya qibthi, namun ia
suka pada
Al-Qur’an. Ia bahkan hafal beberapa surat Al-Qur’an. Di antaranya surat
Maryam.
Sebuah surat yang membuat dirinya merasa bangga. Aku mengetahui hal itu
pada
suatu kesempatan berbincang dengannya di dalam metro. Kami tak sengaja
berjumpa.
Ia pulang kuliah dari Cairo University, sedangkan aku juga pulang kuliah
dari Al
Azhar University. Kami duduk satu bangku. Suatu kebetulan.
“Hei
namamu Fahri, iya ‘kan?”
“Benar.”
“Kau
pasti tahu namaku, iya ‘kan?”
“Iya. Aku
tahu. Namamu Maria. Puteri Tuan Boutros Girgis.”
“Kau
benar.”
“Apa
bedanya Maria dengan Maryam?”
“Maria
atau Maryam sama saja. Seperti David dengan Daud. Yang jelas
namaku
tertulis dalam kitab sucimu. Kitab yang paling banyak dibaca umat manusia di
dunia
sepanjang sejarah. Bahkan jadi nama sebuah surat. Surat kesembilan belas,
yaitu
surat Maryam. Hebat bukan?”
“Hei,
bagaimana kau mengatakan Al-Qur’an adalah kitab suci paling banyak
dibaca
umat manusia sepanjang sejarah? Dari mana kamu tahu itu?” selidikku penuh
rasa
kaget dan penasaran.
“Jangan
kaget kalau aku berkata begitu. Ini namanya objektif. Memang
kenyataannya
demikian. Charles Francis Potter mengatakan seperti itu. Bahkan jujur
kukatakan,
‘Al-Qur’an jauh lebih dimuliakan dan dihargai daripada kitab suci lainnya.
8
Ia lebih
dihargai daripada Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Pendeta J. Shillidy
dalam
bukunya The Lord Jesus in The Koran memberikan kesaksian seperti itu.
Dan
pada
kenyataannya tak ada buku atau kitab di dunia ini yang dibaca dan dihafal oleh
jutaan
manusia setiap detik melebihi Al-Qur’an. Di Mesir saja ada sekitar sepuluh ribu
Ma’had Al Azhar. Siswanya ratusan ribu
bahkan jutaan anak. Mereka semua sedang
menghafalkan
Al-Qur’an. Karena mereka tak akan lulus dari Ma’had Al Azhar kecuali
harus
hafal Al-Qur’an. Aku saja, yang seorang Koptik suka kok menghafal Al-Qur’an.
Bahasanya
indah dan enak dilantunkan,” cerocosnya santai tanpa ada keraguan.
“Kau juga
suka menghafal Al-Qur’an? Apa aku tidak salah dengar?” heranku.
“Ada yang
aneh?”
Aku diam
tidak menjawab.
“Aku
hafal surat Maryam dan surat Al-Maidah di luar kepala.”
“Benarkah?”
“Kau tidak
percaya? Coba kau simak baik-baik!”
Maria
lalu melantunkan surat Maryam yang ia hafal. Anehnya ia terlebih dahulu
membaca ta’awudz14 dan basmalah. Ia tahu adab
dan tata cara membaca Al-Qur’an.
Jadilah
perjalanan dari Mahattah 15 Anwar Sadat Tahrir sampai Tura El-Esmen
kuhabiskan
untuk menyimak seorang Maria membaca surat Maryam dari awal sampai
akhir.
Nyaris tak ada satu huruf pun yang ia lupa. Bacaannya cukup baik meskipun
tidak
sebaik mahasiswi Al Azhar. Dari Tura El-Esmen hingga Hadayek Helwan Maria
mengajak
berbincang ke mana-mana. Aku tak menghiraukan tatapan orang-orang
Mesir
yang heran aku akrab dengan Maria.
Itulah
Maria, gadis paling aneh yang pernah kukenal. Meskipun aku sudah
cukup
banyak tahu tentang dirinya, baik melalui ceritanya sendiri saat tak sengaja
bertemu
di metro, atau melalui cerita ayahnya yang ramah. Tapi aku masih
menganggapnya
aneh. Bahkan misterius. Ia gadis yang sangat cerdas. Nilai ujian
akhir
Sekolah Lanjutan Atasnya adalah terbaik kedua tingkat nasional Mesir. Ia masuk
Fakultas
Komunikasi, Universitas Cairo. Dan tiap tingkat selalu meraih predikat
mumtaz atau cumlaude. Ia selalu terbaik di fakultasnya. Ia pernah
ditawari jadi
reporter
Ahram, koran terkemuka di Mesir. Tapi ia tolak. Ia lebih memilih jadi penulis
bebas. Ia
memang gadis Koptik yang aneh. Menurut pengakuannya sendiri, ia paling
14 Yaitu membaca A’udzubillahi minasy syaithaanir rajiim.
15 Stasiun, terminal.
9
suka dengar
suara azan, tapi pergi ke gereja tidak pernah ia tinggalkan. Sekali lagi, ia
memang
gadis Koptik yang aneh. Aku tidak tahu jalan pikirannya.
Selama
ini, aku hanya mendengar dari bibirnya yang tipis itu hal-hal yang
positif
tentang Islam. Dalam hal etika berbicara dan bergaul ia terkadang lebih Islami
daripada
gadis-gadis Mesir yang mengaku muslimah. Jarang sekali kudengar ia
tertawa
cekikikan. Ia lebih suka tersenyum saja. Pakaiannya longgar, sopan dan
rapat.
Selalu berlengan panjang dengan bawahan panjang sampai tumit. Hanya saja,
ia tidak
memakai jilbab. Tapi itu jauh lebih sopan ketimbang gadisgadis Mesir
seusianya
yang berpakaian ketat dan bercelana ketat, dan tidak jarang bagian
perutnya
sedikit terbuka. Padahal mereka banyak yang mengaku muslimah. Maria
suka pada
Al-Qur’an. Ia sangat mengaguminya, meskipun ia tidak pernah mengaku
muslimah.
Penghormatannya pada Al-Qur’an bahkan melebihi beberapa intelektual
muslim.
Ia pernah
cerita, suatu kali ia ikut diskusi tentang aspek kebahasaan AlQur’an
di Fakultas
Sastra Universitas Cairo. Pemakalahnya adalah seorang doktor filsafat
jebolan
Sorbonne Perancis. Maria merasa risih sekali dengan kepongahan doktor itu
yang
mengatakan Al-Qur’an tidak sakral karena dilihat dari aspek kebahasaan ada
ketidakberesan.
Doktor itu mencontohkan dalam Al-Qur’an ada rangkaian huruf yang
tidak
diketahui maknanya. Yaitu, alif laam miim, alif laam ra, haa miim, yaa siin,
thaaha nuun, kaf ha ya ‘ain shaad, dan sejenisnya.
Maria
berkata padaku,
“Fahri,
aku geli sekali mendengar perkataan doktor dari Sorbonne itu. Dia itu
orang
Arab, juga muslim, tapi bagaimana bisa mengatakan hal yang stupid begitu.
Aku saja
yang Koptik bisa merasakan betapa indahnya Al-Qur’an dengan alif laam
miim-nya. Kurasa rangkaian huruf-huruf seperti alif laam miim, alif
laam ra, haa miim,
yaa siin, nuun, kaf ha ya ‘ain shaad adalah rumus-rumus Tuhan yang dahsyat
maknanya.
Susah diungkapkan maknanya, tapi keagungannya bisa ditangkap oleh
mereka
yang memiliki cita rasa bahasa Arab yang tinggi. Jika susunan itu dianggap
sebagai
suatu ketidakberesan, orang-orang kafir Quraisy yang sangat tidak suka
pada
Al-Qur’an dan memusuhinya sejak dahulu tentu akan mengambil kesempatan
adanya
ketidakberesan itu untuk menghancurkan Al-Qur’an. Dan tentu mereka sudah
mencela
bahasa Al-Qur’an habis-habisan sepanjang sejarah. Namun kenyataannya,
justru
sebaliknya. Mereka mengakui keindahan bahasanya yang luar biasa. Mereka
menganggap
bahasa AlQur’an bukan bahasa manusia biasa tapi bahasa yang datang
10
dari
langit. Jadi kukira doktor itu benar-benar stupid. Tidak semestinya
seorang doktor
sekelas
dia mengatakan hal seperti itu.”
Aku lalu
menjelaskan kepada Maria segala hal berkaitan dengan alim laam
miim dalam Al-Qur’an. Lengkap dengan segala rahasia yang digali oleh
para ulama
dan ahli
tafsir. Maknanya, hikmahnya, dan pengaruhnya dalam jiwa. Juga
kuterangkan
bahwa pendapat Maria yang mengatakan huruf-huruf itu tak lain adalah
rumus-rumus
Tuhan yang maha dahsyat maknanya, dan hanya Tuhan yang tahu
persis
maknanya, ternyata merupakan pendapat yang dicenderungi mayoritas ulama
tafsir.
Maria girang sekali mendengarnya.
“Wah
pendapat yang terlintas begitu saja dalam benak kok bisa sama dengan
pendapat
mayoritas ulama tafsir ya?” komentarnya sambil tersenyum bangga.
Aku ikut
tersenyum.
Di dunia
ini memang banyak sekali rahasia Tuhan yang tidak bisa dimengerti
oleh
manusia lemah seperti diriku. Termasuk kenapa ada gadis seperti Maria. Dan
aku pun
tidak merasa perlu untuk bertanya padanya kenapa tidak mengikuti ajaran
Al-Qur’an.
Pertanyaan itu kurasa sangat tidak tepat ditujukan pada gadis cerdas
seperti
Maria. Dia pasti punya alasan atas pilihannya. Inilah yang membuatku
menganggap
Maria adalah gadis aneh dan misterius. Di dunia ini banyak sekali
hal-hal
misterius. Masalah hidayah dan iman adalah masalah misterius. Sebab hanya
Allah
saja yang berhak menentukan siapa-siapa yang patut diberi hidayah. Abu Thalib
adalah
paman nabi yang mati-matian membela dakwah nabi. Cinta nabi pada beliau
sama
dengan cinta nabi pada ayah kandungnya sendiri. Tapi masalah hidayah hanya
Allah
yang berhak menentukan. Nabi tidak bisa berbuat apa-apa atas nasib sang
paman
yang amat dicintainya itu. Juga hidayah untuk Maria. Hanya Allah yang berhak
memberikannya.
Mungkin,
sejak azan berkumandang Maria telah membuka daun jendela
kayunya.
Dari balik kaca ia melihat ke bawah, menunggu aku keluar. Begitu aku
tampak
keluar menuju halaman apartemen, ia membuka jendela kacanya, dan
memanggil
dengan suara setengah berbisik. Ia tahu persis bahwa aku dua kali tiap
dalam satu
minggu keluar untuk talaqqi Al-Qur’an. Tiap hari Ahad dan Rabu.
Berangkat
setelah azan zhuhur berkumandang dan pulang habis Ashar. Dan ini hari
Rabu.
Seringkali ia titip sesuatu padaku. Biasanya tidak terlalu merepotkan. Seperti
titip
membelikan disket, memfotocopykan sesuatu, membelikan tinta print, dan
11
sejenisnya
yang mudah kutunaikan. Banyak toko alat tulis, tempat foto copy dan toko
perlengkapan
komputer di Hadayek Helwan. Jika tidak ada di sana, biasanya di
Shubra
El-Khaima ada.
Suhu
udara benar-benar panas. Wajar saja Maria malas keluar. Toko alat tulis
yang juga
menjual disket hanya berjarak lima puluh meter dari apartemen. Namun ia
lebih
memilih titip dan menunggu sampai aku pulang nanti. Ini memang puncak musim
panas. Laporan
cuaca meramalkan akan berlangsung sampai minggu depan,
rata-rata
39 sampai 41 derajat celcius. Ini baru di Cairo. Di Mesir bagian selatan
dan
Sudan
entah berapa suhunya. Tentu lebih menggila. Ubun-ubunku terasa mendidih.
Panggilan
iqamat16
terdengar
bersahut-sahutan. Panggilan mulia itu sangat
menentramkan
hati. Pintu-pintu meraih kebahagiaan dan kesejahteraan masih
terbuka
lebar-lebar. Kupercepat langkah. Tiga puluh meter di depan adalah Masjid
Al-Fath
Al-Islami. Masjid kesayangan. Masjid penuh kenangan tak terlupakan. Masjid
tempat
aku mencurahkan suka dan deritaku selama belajar di sini. Tempat aku
menitipkan
rahasia kerinduanku yang memuncak, tujuh tahun sudah aku berpisah
dengan
ayah ibu. Tempat aku mengadu pada Yang Maha Pemberi rizki saat berada
dalam
keadaan kritis kehabisan uang. Saat hutang pada teman-teman menumpuk
dan belum
terbayarkan. Saat uang honor terjemahan terlambat datang.
Tempat
aku menata hati, merancang strategi, mempertebal azam dan keteguhan
jiwa
dalam perjuangan panjang.
Begitu
masuk masjid...
Wusss!
Hembusan
udara sejuk yang dipancarkan lima AC dalam masjid menyambut
ramah. Alhamdulillah.
Nikmat rasanya jika sudah berada di dalam masjid. Puluhan
orang
sudah berjajar rapi dalam shaf shalat jamaah. Kuletakkan topi dan tas
cangklongku
di bawah tiang dekat aku berdiri di barisan shaf kedua. Kedamaian
menjalari
seluruh syaraf dan gelegak jiwa begitu kuangkat takbir. Udara sejuk yang
berhembus
terasa mengelus-elus leher dan mukaku. Juga mengusap keringat yang
tadi
mengalir deras. Aku merasa tenteram dalam elusan kasih sayang Tuhan Yang
Mahapenyayang.
Dia terasa begitu dekat, lebih dekat dari urat leher, lebih dekat dari
jantung
yang berdetak.
16 Tanda bahwa shalat berjamaah segera didirikan.
12
No comments:
Post a Comment