8. Getaran Cinta
Setelah shalat shubuh aku tidak langsung pulang, tapi menemui
Syaikh
Ahmad. Kukabarkan pada beliau kelulusanku dan rencanaku membuat
proposal
tesis. Imam muda berhati lembut itu mengecup kepalaku
berkali-kali. Begitulah cara
orang Arab memberikan tanda penghormatan yang tinggi. Penghormatan
orang yang
dianggap sangat dekat. Dari bibirnya keluar ucapan selamat dan doa
tiada henti.
Beliau bahkan menawarkan agar jika naskah proposal selesai kususun
diserahkan
terlebih dahulu padanya untuk dilihat bahasanya. Jika ada gaya
bahasa yang
mungkin kurang tepat beliau akan mentashihnya. Aku sangat senang
mendengarnya.
Barulah aku jelaskan padanya kisah derita Noura panjang lebar dan
mendetail seperti
yang aku lihat dan aku ketahui. Beliau menitikkan air mata
mendengarnya.
“Di Mesir ini, banyak sekali orang mengakui muslim tapi akhlaknya
tidak
muslim. Mengaku Islam tapi sangat jauh dari cahaya Islam.
Bagaimana mungkin
seorang ayah yang mengaku umat Muhammad bisa begitu kejam pada
anaknya,
pada seorang gadis yang semestinya dia lindungi dan dia sayangi.
Fahri,
menghantarkan kesejukan ruh Islam ke dalam hati semua pemeluknya
memang tidak
semudah membalik kedua telapak tangan. Tapi kita tidak boleh
berpangku tangan,
apalagi berputus asa. Sebisa kita, kita harus terus berusaha,”
kata Syaikh Ahmad
sambil menarik nafas.
“Tidak hanya di Mesir saja Syaikh, di Indonesia juga ada. Bahkan
di Indonesia
lebih parah. Ada lelaki yang meniduri anak gadisnya dengan paksa.
Lebih parah lagi
ada yang tega menjual isteri dan anak gadisnya pada lelaki hidung
belang. Setan
memang ada di mana-mana. Dengan segala tipu dayanya, setan selalu
berusaha
membutakan hati manusia sehingga mereka beranggapan tindakan yang
keji menjadi
terpuji.”
“Laa haula wa laa quwwata illa billah!” ucap Syaikh Ahmad
sambil
memejamkan mata. Beliau lalu menepuk pundakku dan mengatakan
dirinya akan
terjun langsung membantu Noura secepatnya. Sebelum musim masuk
sekolah tiba
derita Noura harus diakhiri. Syaikh Ahmad berterima kasih atas
segala yang telah
kami lakukan. Beliau meminta agar jam sembilan nanti aku
mengantarkan beliau
menemui Noura di Nasr City. Beliau hendak mengambil Noura dan
menempatkannya
di tempat yang aman. Menurut beliau jika sampai nanti ayahnya tahu
Noura berada di
tempat mahasiswi Indonesia akan membuat masalah. Kasihan para
mahasiswi jika
93
terganggu belajarnya. Noura harus secepatnya dipindahkan ke tempat
yang tepat.
Kami sepakat untuk bertemu di depan mahattah Hadayek
Helwan.
Aku segera pulang dan menelpon Nurul, memberitahukan rencana
Syaikh
Ahmad. Aku minta padanya untuk tidak pergi. Sekitar pukul sepuluh,
kami insya Allah,
sampai. Tepat pukul sembilan aku sampai di tempat yang dijanjikan.
Syaikh Ahmad
telah menunggu di dalam mobil Fiat tuanya. Seorang wanita berjilbab
panjang duduk
di samping beliau. Syaikh Ahmad memang hidup sederhana meskipun
kata
masyarakat beliau orang berada. Isteri beliau seorang dokter yang
membuka praktek
di Helwan dan membantu orang tidak mampu dengan membuka praktek di
klinik
masjid. Syaikh Ahmad mengemudikan mobilnya dengan kecepatan
sedang.
Pukul sepuluh lebih sepuluh kami sampai di kediaman Nurul dan
kawankawannya
yang berada di tingkat enam. Para mahasiswi itu dipeluk oleh
isteri Syaikh
Ahmad dengan penuh kehangatan. Ketika memeluk Noura, isteri Syaikh
Ahmad
menangis tersedu-sedu. Berkali-kali ia mencium pipi gadis innocent
itu. Syaikh
Ahmad menjelaskan maksud kedatangan dia dan isterinya. Semuanya
mengerti
termasuk Noura. Noura akan dibawa ikut serta ke kampung halaman
Syaikh Ahmad.
Ke rumah orang tua Syaikh Ahmad di desa Tafahna El-Ashraf,
Zaqaziq. Noura
menurut. Setelahlah Noura siap terjadilah perpisahan yang
mengharukan. Nurul dan
teman-temannya terisak dan bergantian memeluk Noura. Noura juga
menangis
sambil mengucapkan terima kasih tak terhingga. Nurul bilang pada
Noura, “Noura kau
juga harus mengucapkan terima kasih tiada terhingga pada Akh Fahri.”
Noura menatapku sekilas dengan mata berkaca lalu menunduk dan
dengan
suara lirih dia menyampaikan rasa terima kasih dari hati yang
terdalam. Kalau dia
adikku pasti sudah kupeluk dengan penuh rasa sayang. Aku hanya
mengangguk dan
membesarkan hatinya bahwa Syaikh Ahmad dan isterinya akan
membukakan jalan
yang baik baginya. Mereka berdua orang-orang yang baik dan berhati
lembut. Agar
tidak mencurigakan, Noura diminta Syaikh Ahmad memakai cadar.
Nurul dan
teman-temannya diminta tidak turun ke bawah. Cukup melihat dari
jendela saja. Kami
berempat turun. Syaikh Ahmad masuk mobil diikuti isteri dan Noura.
Aku
mengucapkan salam dan selamat jalan. Kali ini Noura memandang
diriku agak lama.
Aku tidak tahu apa yang ada di dalam hatinya. Aku terus berdoa
semoga ia terbebas
dari derita yang membelenggunya. Aku kembali ke Hadayek Helwan
dengan hati
lega. Syaikh Ahmad akan mengurus segalanya.
* * *
94
Sampai di rumah aku langsung melihat jadwal. Aku harus talaqqi ke
Shubra.
Aku mencela diriku sendiri kenapa setelah dari Rab’ah El-Adawea
tadi tidak langsung
ke Shubra saja. Namanya juga lupa. Telpon berdering. Nurul
menelpon menanyakan
bagaimana dengan uang yang telah aku berikan padanya. Padahal
Noura hanya
beberapa hari tinggal di rumahnya dan uang yang aku berikan
padanya nyaris belum
digunakan untuk apa-apa. Aku bilang tidak usah dipikirkan dan
dikembalikan, terserah
mau diapakan yang penting untuk kebaikan. Nurul dan teman-temannya
orang yang
jujur dan amanah. Keuangan negara tidak akan bocor jika ditangani
oleh orang-orang
seperti mereka. Aku salut padanya. Tiba-tiba aku teringat ledekan
Si Rudi kemarin,
‘Jangan-jangan dia orangnya!.... Congratulation Mas. She is the
star, she is the true
coise, she will be a good wife!’.
Ah, tidak mungkin! Kutepis jauh-jauh pikiran yang hendak masuk.
Memiliki
isteri shalihah adalah dambaan. Tapi..ah, aku ini punguk dan dia
adalah bulan. Aku ini
gembel kotor dan dia adalah bidadari tanpa noda. Aku melangkah
mengambil air
wudhu. Tadi pagi aku baru membaca seperempat juz, aku harus
menyelesaikan
wiridku. Nanti habis zhuhur aku harus ke Shubra. Syaikh Utsman
kurang berkenan
jika ada hafalan yang salah, meskipun satu huruf saja.
Aku membukal mushaf. Handphone-ku berdering. Ternyata
Aisha. Dia
mengingatkan janji bertemu dengan Alicia di National Library. Aku
mengucapkan
terima kasih telah diingatkan. Dan siang itu aku kembali menantang
panas sahara
untuk mengaji Al-Qur’an di Shubra yang jauhnya kira-kira lima
puluh kilo dari
apartemenku. Hadayek Helwan tempat aku tinggal ada di ujung
selatan kota Cairo
sementara Shubra ada di ujung utara. Menjelang maghrib aku baru
pulang dengan
ubun-ubun kepala seperti kering tanpa ada darah mengalir di sana,
telah menguap
sepanjang siang. Aku benar-benar capek. Satu hari ini melakukan
perjalanan hampir
sejauh seratur kilo meter. Pagi bolak-balik Hadayek Helwan-Nasr
City. Habis zhuhur
bolak-balik Hadayek Helwan-Shubra.
Ba’da shalat maghrib aku merasa kepalaku tak bisa diangkat. Terasa
berat dan
sakit. Aku panggil Saiful, aku minta padanya untuk mengompres
kepalaku. Saifu
menempelkan telapak tangannya ke keningku, “Panas sekali Mas.”
Ia lantas bergegas memenuhi permintaanku. Saiful duduk disampingku
sambil
memijat kedua kakiku. Dia tahu persis apa yang kulakukan seharian
ini. Hamdi ikut
serta memijat-mijat. Teman-teman memang sangat baik dan perhatian.
Kami sudah
seperti saudara kandung. Seandainya Mishbah dan Rudi datang
keduanya pasti juga
95
ikut menunggui atau membelikan buah yang kusuka. Mishbah kembali
ke Wisma
untuk urusan pelatihannya. Dan Rudi pergi ke sekretariat Kelompok
Studi Walisongo
atau KSW dia mewakili Himpunan Mahasiswa Medan atau HMM untuk
membicarakan
kerjasama mengadakan tour ke tempat-tempat bersejarah di Mesir.
Bel berbunyi. Yousef mencari aku. Hamdi membawanya masuk ke
kamarku.
Yousef menyentuh tanganku. Ia ragu mengatakan sesuatu. Ia
tersenyum dan
mendoakan semoga tidak apa-apa dan segera pulih lalu kembali ke
rumahnya. Tak
lama kemudian bel kembali berbunyi. Hamdi beranjak membukanya.
Hamdi
melongok di pintu kamar dan bilang, “Tuan Boutros sekeluarga Mas.
Bagaimana?
Apa mereka boleh masuk kemari?”
Kalau kepalaku tidak seberat ini aku pasti keluar menemui mereka.
Aku
mengisyaratkan pada Hamdi agar mempersilakan mereka masuk. Pak
Boutros
masuk membawa satu botol madu. Madame Nahed membawa
peralatan dokternya.
Dan Maria membawa nampan entah apa isinya. Tuan Boutros menyentuh
pipiku.
“Panas. Nahed, coba kau periksa!” katanya pada isterinya.
Madame Nahed
meminta izin padaku untuk memeriksanya. Sambil memasang
tekanan darah di lengan kananku, dia menanyakan apa yang
kurasakan. Kujelaskan
semua dengan pelan. Saiful memberitahukan diriku melakukan
perjalanan panjang di
tengah terik siang, dari pagi sampai sore.
“Agaknya kau terlalu memforsir dirimu. Banyak-banyaklah istirahat.
Ada gejala
heat stroke.
Kau harus minum yang banyak dan makan buah-buahan yang segar.
Istirahatlah dulu, jangan bepergian menantang matahari!” kata Madame
Nahed
lembut.
“Heat stroke itu apa, Madame?” tanya Saiful.
“Heat stroke adalah sengatan panas, yaitu penyakit yang
terjadi akibat
penumpukan panas yang berlebihan di dalam badan yang ditimbulkan
oleh keadaan
cuaca panas. Tapi tidak usah kuatir baru gejala,” jawab Madame Nadia.
Dia lalu
menulis resep dan minta puteranya Yousef untuk keluar membelinya.
“Cepat ya.
Sama ashir mangga!”
“Yousef, sebentar!” ujarku. Kepalaku semakin berat. “Tolong Saif
ambilkan
uang di dompetku. Ada di lemari. Saiful mengambil uang seratus pound
dan
menyerahkan pada Yousef. Tapi Tuan Boutros mencegahnya. Aku tidak
bisa berbuat
96
apa-apa. Yousef keluar. Maria mendekat.
“Fathi, ini aku buatkan ruz billaban untukmu,” lirih Maria.
“Lha untuk kami mana? Masak untuk Akh Fahri saja,” sahut
Hamid.
“Maksudku juga untuk kalian,” ucap Maria agak tersipu. Maria
meletakkan
nampan berisi ruz billaban di atas meja belajarku. Saat itu
kulihat dia memandang dua
lembar kertas karton besar yang menempel di depan meja belajar.
“Oi Farhi, apa ini? Rancangan hidupmu? Sepuluh tahun ke depan. Dan
planning tahun ini,” katanya setengah kaget.
“Maria, jangan kau baca! Aib!” Madame Nahed mengingatkan.
“Biarkan. Nggak apa-apa!” kataku.
Yang kutempel memang arah hidup sepuluh tahun ke depan.
Target-target
yang harus kudapat dan apa yang harus kulakukan. Lalu peta hidup
satu tahun ini. Ku
tempel di depan tempat belajar untuk penyemangat. Dan memang
kutulis dengan
bahasa Arab.
“Wow. Targetmu dua tahun lagi selesai master. Empat tahun
berikutnya
selesai doktor dan telah menerjemah lima puluh buku serta memiliki
karya minimal
lima belas karya. Dan empat tahun berikutnya atau sepuluh tahun
dari sekarang
targetmu adalah guru besar. Fantastik. Hai Fahri kapan rencanamu
kawin. Kenapa
tidak kau tulis dalam peta hidupmu?” celoteh Maria. Madame Nahed
geleng-geleng
kepala.
“Baca yang teliti!” lirihku.
Maria membaca dengan teliti, tak lama kemudian ia berkata, “Okey
aku setuju.
Ketika kau menulis tesis magister. Ya, untuk menemani perjuanganmu
yang
melelahkan!”
“Berarti sudah dekat. Mungkin tahun ini mungkin tahun depan.
Karena dia
sudah lulus ujian dan sudah diminta universitas membuat proposal
tesis.” sahut
Saiful. Serta merta Tuan Boutros, Madame Nahed, dan Maria
mengucapkan selamat.
Mereka senang mendengar aku mulai menulis tesis. Madame Nahed
menanyakan
apa aku sudah ada calon. Kepalaku nyut-nyut. Kupaksakan untuk
tersenyum. Lalu
aku bergurau, “Kebetulan tidak ada gadis yang mau dekat denganku.
Tak ada yang
mau mengenalku dan baik denganku. Yang baik padaku malah Maria.
Bagaimana
Madame,
kalau calonnya Maria?”
97
Madame Nahed
tersenyum, “Boleh saja. Tapi kusarankan tidak sama dia, dia
gadis yang kaku. Beda dengan dirimu yang kulihat bisa romantis,
bisa membuat
kejutan-kejutan yang menyenangkan. Kemarin dalam perjalanan pulang
kami
mendapat cerita yang banyak tentang dirimu dari Rudi. Dia
bercerita tentang
kesan-kesannya padamu. Dia juga menjelaskan sesungguhnya yang
merancang dan
membelikan hadiah ulang tahun untukku dan untuk Yousef itu kamu.
Aku takut kau
kecewa dapat Maria. Dia gadis manja dan kaku. Saya tak tahu dia
bisa romantis apa
tidak. Dia itu gadis yang tidak pernah jatuh cinta. Tak suka
dikunjungi teman lelaki.
Tak suka diajak pergi kencan. Kau harus mendapatkan gadis yang
bisa mengimbangi
kelembutan hatimu dan kekuatan visimu mengarungi hidup. Kulihat
kau pemuda yang
sangat berkarakter dan kuat memegang prinsip namun penuh
toleransi. Kau jangan
sembarangan memilih pasangan hidup, itu saran dari Madame.”
“Terima kasih Madame atas sarannya, doakan saja.” jawabku.
Kulirik Maria.
Sesaat mukanya merona tapi ia segera dapat menguasai dirinya.
“Fahri, kenapa sih kau buat peta hidup ke depan segala, bukankah
hidup ini
enaknya mengalir bagaikan air?” tanya Maria.
Kepalaku sebenarnya semakin nyut-nyut tapi aku selalu tidak bisa
membiarkan
kecewa orang yang bertanya padaku.
“Maaf, setiap orang berbeda dalam memandang hidup ini dan berbeda
caranya
dalam menempuh hidup ini. Peta masa depan itu saya buat terus
terang saja
berangkat dari semangat spiritual ayat suci Al-Qur’an yang saya
yakini. Dalam surat
Ar Ra’ad ayat sebelas Allah berfirman, Sesungguhnya Allah tidak
akan merubah
nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya. Jadi nasib saya,
masa depan saya, mau jadi apa saya, sayalah yang menentukan.
Sukses dan
gagalnya saya, sayalah yang menciptakan. Saya sendirilah yang
mengaristeki apa
yang akan saya raih dalam hidup ini.”
Belum selesai aku bicara Maria menyela, “Kalau begitu di mana
takdir Tuhan?”
“Takdir Tuhan ada di ujung usaha manusia. Tuhan Mahaadil, Dia akan
memberikan sesuatu kepada umat-Nya sesuai dengan kadar usaha dan
ikhtiarnya.
Dan agar saya tidak tersesat atau melangkah tidak tentu arah dalam
berikhtiar dan
berusaha maka saya membuat peta masa depan saya. Saya suka dengan
kata-kata
bertenaga Thomas Carlyle: ‘Seseorang dengan tujuan yang jelas
akan membuat
kemajuan walaupun melewati jalan yang sulit. Seseorang yang tanpa
tujuan, tidak
98
akan membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan yang mulus!’ Peta hidup ini saya
buat untuk mempertegas arah tujuan hidupku sepuluh tahun ke depan.
Ini bagian dari
usaha dan ikhtiar dan setelah itu semuanya saya serahkan
sepenuhnya kepada
Tuhan.”
Maria mengangguk-anggukkan kepala.
“Apa kubilang, Fahri seorang visioner yang tegas. Tidak seperti
dirimu Maria,
hidup manja tanpa visi. Kau ini sudah berada di jalan yang mulus.
Dikaruniai otak
yang cerdas, hidup berkecukupan, disayang keluarga. Tapi kau tidak
akan membuat
kemajuan tanpa visi yang jelas.” sahut Madame Nahed.
Aku tidak enak mendengarnya. Aku tidak tahu seperti apa wajah
Maria,
mungkin memerah karena malu mendapat teguran dari ibunya yang
ceplas-ceplos
seperti itu. Aku memejamkan kepala merasakan rasa nyeri di dalam
tempurung
kepalaku.
Tuan Boutros menanyakan kemana Rudi dan Mishbah, keduanya tidak
kelihatan. Hamdi menjelaskan dengan rinci. Pembicaraan lalu
beralih kepada Hamdi
dan Saiful. Aku mendengarkan dengan mata terpejam. Tangan Saiful
masih memijit
kakiku. Tak lama kemudian Yousef datang membawa obat dan satu
botol ashir
mangga. Madame Nahed memberikan petunjuk cara meminum
obatnya. Berapa hari
sekali. Dia berpesan agar aku istirahat dulu sampai pulih kembali.
Mereka lalu
pamitan. Saat mau pergi Maria berkata,
“Syukran Fahri, aku mendapatkan ilmu yang mahal sekali.
Benar kata pepatah
dekat dengan penjual minyak akan mendapatkan wanginya.”
Setelah mereka kembali ke flatnya, aku makan ruz billaban pemberian
Maria.
Enak. Lalu minum obat dan bersiap tidur. Aku telah meminta Hamdi
menyetel beker
jam tiga. Aku bersyukur memiliki teman-teman yang baik dan
tetangga yang baik.
Saiful memijat-mijat diriku sampai aku terlelap. Dalam tidur aku
mendengar Maria
menangis. Air matanya membasahi kakiku. Jam tiga aku terbangun.
Heran dengan
mimpiku. Sebelum tidur aku sudah baca shalawat dan doa. Aku tak
tahu mimpi itu
tafsirnya apa. Kalau Ibnu Sirin masih hidup tentu aku tanyakan
padanya. Aku
beristighfar berkali-kali memohon ampunan kepada Allah jika
guyonanku pada
Madame Nahed
tadi tidak semestinya aku lakukan. Janganjangan menyakiti hati
Maria. Aku bangkit. Kepalaku terasa lebih ringan. Aku tadi memang
kepanasan dan
kelelahan. Ya Allah, kulihat Saiful tidur di karpet. Ia begitu
setia menunggui aku. Ana
99
uhibbuka fillah ya Akhi!76 Aku harus shalat Isya. Malam terasa sunyi. Aku teringat
ayah bunda di kampung sana, di tanah air tercinta. Terbayang mata
bening bunda.
selalu saja kurindu
abad-abad terus berlalu
berjuta kali berganti baju
nun jauh di sana mata bening menatapku haru
penuh rindu
mata bundaku
yang selalu kurindu
Dalam sujud kumenangis kepada Tuhan, memohonkan rahmat kesejahteraan
tiada berpenghabisan untuk bunda, bunda, bunda dan ayahanda
tercinta. Usai shalat
Isya dan Witir aku tidur lagi. Aku bermimpi lagi. Bertemu ayah
ibu, berpelukan dan
menangis haru.
* * *
Pagi hari aku merasa segar kembali. Aku melihat jadwal. Ada janji di
National
Library. Kalau tak ada janji sebenarnya aku ingin istirahat saja.
Kasihan tubuh ini,
kepanasan setiap hari. Tapi janji harus ditepati. Meskipun harus
merangkak akan aku
jalani. Janjinya jam sebelas. Aku harus berangkat jam sepuluh
masih ada tiga jam.
Lumayan untuk mengejar terjemahan.
Pukul sepuluh aku berangkat. Matahari sudah mulai menyengat.
Sampai di
halaman Maria memanggil namaku dari jendelanya. Ia mengingatkan
agar aku tidak
pergi. Kukatakan padanya aku ada janji. Aku harus menepatinya meskipun
untuk itu
aku harus mati. Untung aku dapat tempat duduk. Lebih baik daripada
berdiri. Di
tengah perjalanan seorang pemuda Mesir memakai jubah lusuh naik.
Ia membawa
karung. Entah apa isinya. Sampai di dalam metro membuka
karungnya.
Mengeluarkan boneka panda. Ia menawarkan pada penumpang barang
dagangannya. Boneka dan mainan anak-anak. Ia menawarkan dari ujung
ke ujung. Ia
bilang harga promosi jauh lebih murah dari yang di toko resmi. Tak
ada yang beli. Ia
mendekatiku dan menawatkan boneka panda itu padaku. Kukatakan
padanya aku
belum punya anak. Penjual mainan itu menjawab,
76 Aku mencintaimu karena Allah, Saudaraku!
100
“Belilah, kudoakan kau mendapatkan isteri yang shalihah dan cantik
seperti
bidadari dan memiliki anak yang shalih shalihah, juga kudoakan
umurmu berkah
rizkimu melimpah sehingga kau dan anak cucumu tidak akan perlu
berjualan di jalan
seperti diriku. Belilah untuk penyemangat hidupku!”
Siapa yang tidak terenyuh mendengar kata-kata penuh muatan doa
seperti itu.
Hatiku luluh. Aku akhirnya membeli boneka panda dan pistol air.
Cuma sepuluh
pound. Boneka enam pound dan pistol airnya empat pound. Pemuda itu
tampak
berbinar matanya, ia mengucapkan terima kasih. Setelah aku membeli
ada seorang
ibu setengah baya tertarik dan membeli.
Aku memandangi boneka panda warna coklat dan putih di tanganku.
Boneka
yang cantik. Kepada siapa akan kuberikan? Aku tersenyum sendiri.
Biar nanti
kugantung di atas tempat tidur. Pemuda itu masih di dalam metro
ia belum turun.
Mungkin turun di mahatah depan. Keringatnya bercucuran. Aku
teringat masa kecilku
ketika aku masih SD. Kami keluarga susah. Kakek hanya mewariskan
sepetak sawah,
kira-kira luasnya setengah bahu. Dibagi dua dengan adil untuk ayah
dan paman. Ayah
tidak sekolah, dia hanya sampai kelas tiga sekolah SR. Hanya bisa
baca dan menulis
saja. Demikian juga dengan ibu. Lain dengan paman. Dia
disekolahkan oleh kakek
dengan bantuan ayah sampai SPG. Dia jadi guru. Karena paman sudah
disekolahkan
maka rumah kakek diberikan kepada ayah. Selama paman sekolah
ayahlah yang
menggarap sawah untuk membiayai paman. Dan paman sangat
pengertian,
sebenarnya dia tidak minta apaapa. Apa yang dia punya sudah cukup.
Dia kebetulan
mendapatkan isteri teman sekolahnya, anak penilik sekolah jadi
lebih tercukupi. Tapi
ayah tetap meminta kepada paman agar sawah sepetak itu dibagi dua.
Paman tidak
boleh menolaknya. Akhirnya yang kami punya adalah rumah
peninggalan kakek yang
sangat sederhana dan sawah seperempat bahu. Apa yang bisa
diharapkan dari
sawah setengah bahu. Ayah tetap menggarap sawah itu dengan menanam
padi.
Hasilnya di makan sendiri. Untuk keperluan lain ibu jualan
gorengan di pasar dan
ayah jualan tape77dengan berkeliling dari kampung ke
kampung. Jika hari minggu aku
diajak ayah ikut serta. Berjalan berkilo-kilo. Jika telah dekat
dengan rumah penduduk
ayah akan berteriak, ‘Pe tape! Pe tape! Pe tape!’
Jika ayah lelah maka akulah yang bergantian berteriak menawarkan
tape. Jika
ada yang beli hati senangnya bukan main. Rasa lelah seperti hilang
begitu saja.
Apalagi jika ada yang memborong sampai belasan bungkus, kami akan
merasa
77 Makanan dibuat dari singkong rebus yang telah di beri ragi.
Sangat mirip dengan payem Bandung.
101
menjadi orang paling beruntung di dunia. Mataku basah mengingat
itu semua.
Pukul sebelas kurang lima menit aku sampai di National Library.
Aku langsung
menuju kafetaria. Alicia dan Aisha sudah ada di sana. Alicia
tersenyum padaku entah
Aisha aku tidak tahu sebab ia bercadar. Mereka telah memesan
minuman. Aku pesan
segelas karikade dingin. Alicia menyerahkan dua lembar
kertas berisi pertanyaannya.
Kubaca sekilas. Pertanyaan yang sangat serius. Aku menjanjikan
akan menyerahkan
jawabannya hari Sabtu, di tempat dan waktu yang sama. Alicia
setuju. Kami lalu
berbincang-bincang. Alicia banyak bertanya tentang studiku. Aisha
bercerita tentang
pamannya yang senang sekali mendapatkan salam dariku, dan mengirim
salam balik,
juga dua keponakannya yang masih ingat padaku. Katanya si Amena
menyebutku
“Ammu Fahri Al Andonesy!”78 Aisha juga bertanya apakah aku
telah berkeluarga?
Setelah selesai master apa yang akan aku kerjakan di Indonesia?
Apakah aku akan
melanjutkan S3? Aku menjawab apa yang bisa kujawab. Sebelum
berpisah aku
teringat boneka dan pistol air yang aku beli di dalam metro.
Kutitipkan pada Aisha
untuk keponakannya, Si Amena dan Hasan yang lucu dan menggemaskan.
Melihat
boneka panda yang cantik mata Aisha membesar dan berkata, “Wow
cantik sekali,
Amena pasti senang menerimanya dan dia akan terus mengingat
pamannya dari
Indonesia.”
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Sudah setengah tahun aku tidak
bertemu dua jundi kecil itu. Amena mungkin sudah hafal juz dua
puluh sembilan. Dan
Si Hasan sudah bisa membaca tulisan. Aku tidak tahu sama sekali
bahwa boneka
panda yang aku beli tanpa sengaja itu suatu saat nanti akan membawaku
ke kaki
langit cinta yang tiada tara indahnya. Kaki langit cinta
orang-orang yang bercinta
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
78 Paman Fahri dari Indonesia.
Ayat - Ayat Cinta - Bab 9
No comments:
Post a Comment