Tuesday, September 1, 2015

Ayat - Ayat Cinta - Bab 9











9. Merancang Peta Hidup

Dari National Library aku langsung pulang. Di dalam metro aku memaksakan
diri membaca dengan seksama pertanyaan-pertanyaan yang diajukan nona Alicia dari
Amerika itu. Rasa penasaran mengalahkan perut lapar belum sarapan dan badan
yang terasa meriang. Lembar pertama berisi pertanyaan tentang bagaimana Islam
memperlakukan wanita. Tentang beberapa hadits yang dianggap merendahkan
wanita. Tentang poligami, warisan dan lain sebagainya. Pertanyaanpertanyaan yang
tidak asing namun terus menerus ditanyakan. Pertanyaan yang seringkali memang
dipakai oleh mereka yang tidak bertanggung jawab untuk mendiskreditkan Islam. Di
Barat masalah poligami dalam Islam dipertanyakan. Mereka menganggap poligami
merendahkan wanita. Mereka lebih memilih anak puterinya berhubungan di luar nikah
dan kumpul kebo dengan ratusan lelaki bahkan yang telah beristeri sekalipun
daripada hidup berkeluarga secara resmi secara poligami. Menurut mereka pelacur
yang memuaskan nafsu biologisnya secara bebas dengan siapa saja yang ia suka
lebih baik dan lebih terhormat daripada perempuan yang hidup berkeluarga baik-baik
dengan cara poligami.
Untuk semua pertanyaan tentang bagaimana Islam memperlakukan
perempuan aku sudah membayangkan semua jawaban yang aku akan tulis, lengkap
dengan sejarah perlakuan manusia terhadap perempuan. Sejak zaman Yunani kuno
sampai zaman postmo. Aku ingat bahwa para pendeta di Roma sebelum Islam
datang, pernah sepakat untuk menganggap perempuan adalah makhluk yang najis
dan boneka perangkap setan. Mereka bahkan mempertanyakan, perempuan
sebetulnya manusia apa bukan? Punya ruh apa tidak? Sementara Baginda Nabi
sangat memuliakan makhluk yang bernama perempuan, beliau pernah bersabda
bahwa siapa memiliki anak perempuan dan mendidiknya dengan baik maka dia
masuk surga.
Aku tinggal meringkas jawaban yang telah banyak ditulis para sejarawan,
cendekiawan dan ulama Mesir. Pertanyaan yang berkaitan dengan perempuan aku
anggap selesai. Nanti malam akan aku jawab lengkap dengan data dan dalil-dalil
utama dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hadits yang ditanyakan Alicia yang mengatakan
katanya Nabi pernah bersabda perempuan adalah perangkap setan adalah bukan
hadits. Itu adalah perkataan seorang Sufi namanya Basyir Al Hafi. Sebagaimana
dijelaskan dengan seksama dalam kitab Kasyful Khafa. Itu adalah pendapat pribadi
Basyir Al Hafi yang kemungkinan besar terpengaruh oleh perkataan para pendeta
103
Roma. Itu bukan hadits tapi disiarkan oleh orang-orang yang tidak memahami hadits
sebagai hadits. Bagaimana mungkin Islam akan menghinakan perempuan sebagai
perangkap setan padahal dalam Al-Qur’an jelas sekali penegasan yang
berulang-ulang bahwa penciptaan perempuan sebagai pasangan hidup kaum lelaki
adalah termasuk tanda-tanda kebesaran Tuhan. Dalam surat Ar Ruum ayat dua puluh
satu Allah berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Jika perempuan adalah perangkap setan atau panah setan bagaimana
mungkin baginda nabi menyuruh memperlakukan perempuan dengan baik. Bahkan
beliau bersabda dalam hadits yang shahih, “Orang pilihan di antara kalian adalah
yang paling berbuat baik kepada perempuan (isteri)nya.” 79
Baginda nabi juga
menyuruh umatnya untuk mengutamakan ibunya daripada ayahnya. Ibu disebut nabi
tiga kali. Ibumu, ibumu, ibumu, baru ayahmu!.
Pada lembaran kedua, Alicia bertanya bagaimana Islam memperlakukan
nonmuslim? Bagaimana Islam memandang Nasrani dan Yahudi? Apa sebetulnya
yang terjadi antara umat Islam dan umat Koptik di Mesir, sebab media massa Amerika
memandang umat Islam berlaku tidak adil? Bagaimana pandangan Islam terhadap
perbudakan? Dan lain sebagainya.
Aku teringat sebuah buku yang menjawab semua pertanyaan Alicia ini. Buku
apa, dan siapa penulisnya? Aku terus mengingat-ingat. Otakku terus berputar, dan
akhirnya ketemu juga. Buku itu ditulis oleh Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi yang
pernah menjadi sekretaris Grand Syaikh Al Azhar, Syaikh Abdul Halim Mahmud. Aku
merasa sebaiknya menerjemahkan buku berjudul Limadza yakhaafunal Islam80
itu ke
dalam bahasa Inggris untuk menjawab pertanyaan Alicia. Supaya Alicia dan
orang-orang Barat tahu jawabannya dengan jelas dan gamblang. Supaya mereka
lebih tahu begaimana sebenarnya Islam memuliakan manusia.
Untuk pertanyaan, apa sebetulnya yang terjadi antara umat Islam dan umat
Koptik di Mesir, yang paling tepat sebenarnya, biarlah umat koptik Mesir sendiri yang
79 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, beliau berkata: Hadits hasan shahih. Juga diriwayatkan
oleh Imam Ibnu Majah, Imam Baihaqi dan Thabrani.
80 Kenapa mereka takut kepada Islam?
104
menjawabnya. Dan Pope Shenouda pemimpin tertinggi umat kristen koptik Mesir
sudah membantah semua tuduhan yang bertujuan tidak baik itu. Pope Shenouda
tidak akan bisa melupakan masa kecilnya. Dia adalah anak yatim di sebuah pelosok
desa Mesir yang disusui oleh seorang wanita muslimah. Dan wanita muslimah itu
sama sekali tidak memaksa Shenouda untuk mengikuti keyakinannya. Wanita
muslimah itu mengalirkan air susunya ke tubuh si kecil Snouda murni karena
panggilan Ilahi untuk menolong bayi tetangganya yang membutuhkan air susunya.
Adakah toleransi melebihi apa yang dilakukan ibu susu Pope Shenouda yang
muslimah itu?
Dalam sejarah pemerintahan Mesir, pada tanggal 10 Mei 1911 ada laporan
kolonial Inggris ke London yang menjelaskan hasil sensus di Mesir. Dari sensus
penduduk waktu itu jumlah umat Islam 92 persen, umat kristen koptik hanya 2 persen,
selebihnya Yahudi dan lain sebagainya. Pada waktu itu jumlah pegawai yang bekerja
di kementerian seluruhnya 17.569 orang. Dengan komposisi 9.514 orang dari kaum
muslimin yang berarti 54,69 persen, dan selebihnya dari kaum koptik, yaitu 8.055
orang dan berarti, 45,31 persen. Bagaimana mungkin jumlah umat koptik yang cuma
2 persen itu mendapatkan jatah 45,31 persen di departemen-departemen
kementerian. Dan umat Islam mesir tidak pernah mempesoalkan komposisi yang
sangat menganakemaskan umat kristen koptik ini. Apakah tidak wajar jika para
pendeta koptik ebih dahulu bersuara lantang menolak tuduhan Amerika sebelum Al
Azhar bersuara?
Ulama-ulama besar dan terkemuka Mesir tidak pernah menyapa umat kristen
koptik sebagai orang lain. Mereka dianggap dan disapa sebagai ‘ikhwan’ sebagai
saudara. Saudara setanah air, sekampung halaman, sepermainan waktu kecil, bukan
saudara dalam keyakinan dan keimanan. Syaikh Yusuf Qaradhawi menyapa umat
koptik dengan ‘ikhwanuna al Aqbath’, saudara-saudara kita umat koptik. Sebuah
sapaan yang telah diajarkan oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an mengakui adanya
persaudaraan di luar keimanan dan keyakinan. Dalam sejarah nabi-nabi, kaum nabi
Nuh adalah kaum yang mendustakan para rasul. Mereka tidak mau seiman dengan
nabi Nuh. Meskipun demikian, Al-Qur’an menyebut Nuh adalah saudara mereka.
Tertera dalam surat Asy Syuara ayat 105 dan 106: ‘Kaum Nuh telah mendustakan
para rasul. Ketika saudara mereka (Nuh) berkata pada mereka, ‘Mengapa kamu tidak
bertakwa?’ Apakah ajaran yang indah dan sangat humanis seperti ini masih juga
dianggap tidak adil? Kalau tidak adil juga maka seperti apakah keadilan itu? Apakah
105
seperti ajaran Yahudi yang menganggap orang yang bukan Yahudi adalah budak
mereka. Atau ajaran yang diyakini ratu Isabela yang memancung jutaan umat Islam di
Spayol karena tidak mau mengikuti keyakinannya?
Aku merasa isi buku Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi harus dibaca masyarakat
Amerika, Eropa, dan belahan dunia lainnya yang masih sering tidak bisa memahami
ruh ajaran Islam. Termasuk juga masyarakat Indonesia. Tapi aku bimbang, apakah
aku punya waktu yang cukup untuk menerjemahkan buku itu. Kontrak terjemahan
harus segera aku tuntaskan. Jakarta sedang menunggu naskah yang aku kerjakan.
Proposal tesis juga harus segera kuajukan ke universitas. Dan kondisi kesehatan
yang sedikit terganggu.
* * *
Metro yang kutumpangi sampai di Hadayek Helwan pukul dua. Panas
sengatan matahari semakin kurang ajar dan kurang ajar. Aku keluar mahattah dengan
memakai langkah cepat. Di perempatan jalan dekat rental dan toko peralatan
komputer Pyramid Com, aku mendengar seseorang memanggil namaku. Suara yang
tidak terlalu asing. Aku menengok ke kanan, ke arah Pyramid Com. Seorang gadis
Mesir sambil memegang payung berjalan cepat ke arahku. Aku terus saja berjalan tak
begitu mempedulikan dirinya. Sebab udara panas menyengat muka.
“Hai Fahri, tunggu, baru pulang ya? Kepanasan? Ini pakai saja payungku nanti
kau sakit lagi?”
Gadis Mesir berpipi lesung kalau tersenyum itu telah berhasil mengejar
langkahku. Ia berjalan sejajar denganku dan menawarkan payungnya padaku.
“Sudahlah Maria, kau jangan berlaku begitu!” sahutku sambil mempercepat
langkah. Maria terus berusaha mengimbangi kecepatan langkahku. Ia berusaha
memayungi diriku dari sengatan matahari. Beberapa orang Mesir yang berpapasan
dengan kami melihat kami dengan pandangan heran. Maria melakukan sesuatu yang
tidak biasanya dilakukan gadis Mesir. Juga tidak akan pernah ada lelaki di Mesir
memakai payung untuk melindungi dari sengatan matahari.
“Maria, please, hormatilah aku. Jangan bersikap seperti itu!”
Maria menarik payungnya dan menggunakan untuk melindungi dirinya. Aku
heran sendiri dengan perlakuan puteri Tuan Boutros ini padaku. Mamanya bilang
Maria tidak suka didatangi teman-teman lelakinya. Juga tidak suka pergi atau kencan
106
dengan mereka. Tidak suka menerima telpon dari mereka. Tidak bisa mesra katanya,
tapi kenapa dia bersikap sedemikian perhatian padaku. Aku merasa ia seolah-olah
menunggu kepulanganku di jalan yang pasti kulewati.
“Janji sama siapa Fahri, kalau aku boleh tahu?” tanyanya. Aku mempercepat
langkah. Jarak apartemen dan mahattah metro sekitar seratus dua puluh lima meter.
“Sama teman. Kau panas-panas begini ke Pyramid Com ada apa? Kau ‘kan
paling malas keluar di tengah panas yang menggila seperti ini?” tanyaku tanpa
memandang kepadanya. Itu tidak mungkin kulakukan kecuali terpaksa misalnya
ketika berjumpa begitu saja. Atau reflek menengok karena dia memanggil namaku.
“Terpaksa. Tinta printku habis. Padahal aku harus ngeprint banyak saat ini.
Sialnya stok Pyramid Com juga habis. Aku mau ke Helwan malas sekali?” jawabnya
dengan nada kecewa.
“Kebetulan tintaku masih penuh. Baru beli. Pakai saja milikku.”
“Terima kasih Fahri. Kebetulan sekali kalau begitu. Aku perlu sekali. Kalau aku
tahu itu aku tidak akan capek-capek begini.”
“Kelihatannya kau sangat sibuk minggu dan banyak tugas minggu ini, Maria?”
“Iya, sejak empat hari kemarin aku sibuk mengedit kumpulan tulisanku yang
tersebar di beberapa media selama satu tahun ini. Hari ini juga harus aku print. Sebab
habis maghrib nanti akan diambil Wafa untuk dimintakan kata pengantar pada Anis
Mansour, lalu diterbitkan. Setelah itu sampai kuliah aktif kembali aku kosong. Ada apa
kau tanya seperti itu. Ada yang bisa aku bantu?”
“Ya. Kalau kau berkenan. Aku perlu bantuanmu.”
“Apa itu? Kalau aku mampu, dengan senang hati.”
Aku lalu menjelaskan pertemuanku dengan Alicia dan segala pertanyaannya.
Aku menjelaskan keinginanku menyampaikan isi buku yang ditulis Prof. Dr. Abdul
Wadud Shalabi. Tapi kelihatannya aku tidak punya waktu yang cukup. Buku itu
setebal 143 halaman. Dan Maria bahasa Inggrisnya sangat bagus. Selama di sekolah
menengah ia kursus di British Council, dan pernah terpilih pertukaran pelajar ke
Skotlandia selama setengah tahun.
“Kapan dead linenya?”
“Jawaban harus aku sampaikan pada Alicia hari Sabtu depan. Kalau bisa
107
malam Jum’at sudah selesai diterjemahkan sehingga aku juga ada kesempatan
membacanya?”
“Baiklah. Nanti berikan buku itu padaku. Aku berjanji Kamis pagi selesai.”
Thank’s, Maria.”
Forget it.”
Tak terasa kami telah sampai di halaman apartemen. Aku mempercepat
langkah. Aku tidak mau naik tangga di belakang Maria. Aku harus di depan, aku
teringat kisah nabi Musa dan dua gadis muda pencari air. Nabi Musa tidak mau
berjalan di belakang keduanya demi menjaga pandangan dan menjaga kebersihan
jiwa.
Sampai di dalam flat, Saiful menyambutku dengan segelas ashir mangga. Aku
langsung meminumnya. Rasa segar menjalar ke seluruh tubuh. Aku langsung masuk
kamar dan menyalakan kipas angin. Maria mengirim sms agar tinta dan buku yang
hendak diterjemah segera kusiapkan. Lima menit lagi ia akan menurunkan keranjang.
Aku langsung mencari buku itu di rak. Ketemu. Jendela kubuka. Angin panas masuk
serta merta. Maria telah menunggu dengan keranjang kecilnya. Tinta dan buku
kumasukkan ke dalamnya. Dan ia mengangkatnya. Aku langsung shalat dan istirahat
sampai ashar tiba.
* * *
Mishbah pulang dari Nasr City jam enam sore. Ketika aku sedang asyik
membaca beberapa buku untuk menjawab pertanyaan Alicia. Ia membawa pesan dari
Nurul yang secara tidak sengaja bertemu di depan Wisma agar aku menelpon dia
sebelum maghrib tiba. Kembali Rudi menggodaku, “Tidak salah lagi. Pasti ada
sesuatu. She is the true coise!” Aku beristighfar dalam hati. Semoga Allah melindungi
dari godaan setan yang terkutuk yang menyesatkan manusia dengan berbagai
macam cara. Dalam hati aku menegaskan, aku tidak akan menelponnya.
Setengah tujuh telpon berdering. Dari Nurul. Ia minta padaku agar ke rumah
Ustadz Jalal, katanya Ustadz Jalal ingin minta tolong dan membicarakan sesuatu
yang penting padaku. Kukatakan minggu ini aku tidak bisa. Ia bilang tidak apa-apa,
tapi minta diusahakan kalau ada kesempatan langsung ke sana. Ustadz Jalal masih
ada hubungan kerabat dengan Nurul, meskipun agak jauh. Mereka bertemu di ayah
kakek alias buyut. Sudah lama aku tidak bertemu Ustadz Jalal. Beliau dosen Fakultas
108
Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga yang mengambil S3 di Sudan, dan selama menulis
disertasi doktoralnya beliau tinggal di Kairo bersama isteri dan ketiga anaknya. Aku
akrab dengan beliau dimulai sejak kami umrah bersama dua tahun yang lalu. Kami
mengarungi laut merah untuk mencapai Jeddah dengan kapal Wadi Nile. Saat itu
beliau baru setengah tahun di Cairo. Anak beliau baru dua. Anaknya yang bungsu
lahir di Cairo tujuh bulan yang lalu. Apa yang beliau inginkan dariku? Apakah beliau
akan meminta tolong untuk ikut mentakhrij hadits lagi? Aku tak tahu pasti. Jawabnya
adalah ketika aku bertemu dengannya. Sebenarnya yang membuatku sedikit heran,
kenapa Ustadz Jalal tidak langsung menelponku, kenapa berputar lewat Nurul. Benar,
rumahnya tidak ada telponnya, tapi dia tentunya bisa menelpon lewat Minatel yang
tersebar di setiap sudut kota Cairo. Keadaan dan jalan berpikir seseorang terkadang
memang susah dimengerti.
Usai mengangkat telpon aku tidak meneruskan pekerjaanku sebelumnya, yaitu
membaca. Tapi aku merasa perlu meninjau kembali planning bulan ini. Utamanya
adalah minggu yang sedang aku jalani ini. Aku melihat jadwal keluar rumah. Ada lima
kegiatan. Kurasa harus aku pangkas semua. Aku harus istirahat dan mengejar
terjemahan. Pengajian ibu-ibu KBRI hari Selasa. Pembanding dalam diskusi yang
diadakan FORDIAN, Forum Studi Ilmu Al-Qur’an, di Buuts, hari Rabu pagi. Pergi ke
warnet. Dan rapat Dewan Asaatidz Pesantren Virtual, di mahattah Shurthah, Nasr
City, Kamis malam Jum’at. Semuanya harus aku batalkan. Yang perlu pengganti
harus aku carikan ganti. Bahkan untuk talaqqi pada Syaikh Utsman hari Rabu aku
ingin izin, sekali ini. Aku benar-benar ingin di rumah minggu ini, menghindari
perjalanan panjang yang membuat ubun-ubun terasa mendidih.
Sore itu juga aku telpon takmir masjid Indonesia yang mengurusi pengajian
ibu-ibu KBRI agar mengganti jadwalku dan memundurkan satu bulan ke belakang.
Pada koordinator FORDIAN aku minta diganti, kutawarkan sebuah nama. Pada Gus
Ochie El-Anwari sang penggagas rapat Dewan Asaatidz aku minta izin, aku
sampaikan beberapa ide dan pokok pikiran yang mengganjal di kepala. Setelah
semua beres aku merasa lega. Langsung kusambung dengan menulis jawaban atas
pertanyaan Alicia seputar Islam dan Perempuan. Aku hanya istirahat untuk shalat,
makan malam, dan minum air putih. Tekadku bulat harus tuntas malam ini. Tak ada
bedanya dengan membuat karya ilmiah. Jawaban dengan bahasa Inggris itu selesai
juga. Tepat pukul tiga malam. Dengan bahasa Inggris. Setebal empat puluh satu
halaman spasi satu Microsoft Word, Times New Roman, Font 12. Seandainya tidak
109
memakai bahasa Inggris kurasa pukul satu malam sudah selesai. Beberapa kali aku
harus membuka kamus Al Maurid untuk sebuah kosa kata yang aku kurang yakin
ketepatannya.
Sejak itu aku tidak keluar rumah kecuali untuk shalat berjamaah. Waktuku
habis di dalam kamar, di depan komputer. Aktifitasku adalah menerjemah,
menyelesaikan proposal, sesekali makan, ke kamar mandi dan tidur. Hari Selasa sore
Maria memberi tahu buku Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi telah selesai ia terjemahkan
ke dalam bahasa Inggris. Hanya saja ia tidak berani menerjemahkan hadits dan ayat
suci Al-Qur’an takut salah. Maria memberikan disket berisi terjemahannya.
Kekurangannya kutambal. Jawabanku dan hasil terjemahan Maria langsung aku print
dan ketika shalat shubuh aku berikan kepada Syaikh Ahmad untuk diperiksa.
Kebetulan bahasa Inggris beliau bagus tidak seperti Imam masjid lainnya. Beliau
bahkan pernah diutus oleh Al Azhar ke Australia untuk menjadi Imam di masjid Malik
Faishal yang terletak di Common Wealth Street, Surry Hills, Sidney selama satu
tahun. Aku jelaskan pada beliau pertemuanku dengan Miss. Alicia dari Amerika dan
kapan jawaban itu harus aku serahkan. Aku ingin beliau mengoreksi dengan
seksama. Beliau sangat senang dengan apa yang aku lakukan. Beliau menjanjikan
malam Jum’at ba’da shalat Isya bisa aku ambil sehingga bisa diedit lagi dan diprint
ulang.
Kekejaman pada diri sendiri untuk bekerja keras menampakkan hasilnya. Hari
Jum’at terjemahan selesai. Tinggal menunggu diedit saja. Proposal tesis juga selesai,
siap untuk diajukan ke tim penilai. Jika layak nanti pihak fakultas akan mencarikan
promotor yang sesuai. Dan jawaban untuk semua pertanyaan Alicia yang telah
dikoreksi dan diberi tambahan Syaikh Ahmad sudah aku print, aku fotocopy dan aku
jilid jadi empat. Untuk Alicia, untuk Aisha, untuk Maria, dan untuk arsip pribadiku. Aku
menatap peta hidup bulan ini. Aku tersenyum penuh rasa syukur. Kukatakan pada
diriku sendiri, “Man jadda wajad!”81
Aku merasa bersyukur kepada Allah yang mengilhamkan untuk merubah
strategi perangku minggu ini. Memang terkadang kita harus kejam pada diri sendiri.
Dan sedikit tegas pada orang lain. Aktifitas yang penting tetapi tidak terlalu penting
bisa dibuang atau di-pending.
* * *
81 Pepatah Arab terkenal, artinya: “Siapa bersungguh-sungguh dia mendapat!”
110
Ketika aku mengambil naskah yang dikoreksi Syaikh Ahmad, beliau bercerita
sedikit tentang Noura. Gadis innocent itu senang di Tafahna. Kebetulan satu hari
sebelumnya, Ummu Aiman, isteri Syaikh Ahmad menjenguk ke sana. Syaikh Ahmad
sedang melacak sebenarnya siapa Si Muka Dingin Bahadur itu. Apakah benar
ayahnya atau bukan? Syaikh Ahmad mendapatkan informasi Noura dilahirkan di klinik
bersalin Heliopolis. Bagaimana sejarahnya Noura bisa terlahir di klinik elite di
kawasan elite itu? Syaikh Ahmad sedang menyelidikinya dengan bantuan Ridha
Shahata, sepupunya yang menjadi staf intelijen Dewan Keamanan Negara atau yang
disebut “Mabahits Amn Daulah”. Aku yakin tak lama lagi Noura kembali hidupnya
yang penuh ketenteraman. Sebelum aku pulang beliau menyerahkan sepucuk surat
kepadaku, beliau bilang, “Surat ini yang membawa Ummu Aiman, dari Noura, katanya
ucapan terima kasih padamu!”
Inilah untuk pertama kalinya aku mendapatkan surat dari orang Mesir. Asli.
Dari gadis Mesir lagi. Meskipun cuma ucapan terima kasih. Aku penasaran ingin tahu
kata-kata apa yang ditulis oleh gadis innocent itu. Seperti apa tulisannya. Ingin
rasanya kubuka seketika itu, tapi pada Syaikh Ahmad aku merasa malu. Kumasukkan
surat itu begitu saja ke dalam saku.


Ayat - Ayat Cinta - Bab 10

No comments:

Post a Comment