9. Merancang Peta Hidup
Dari National Library aku langsung pulang. Di dalam metro aku
memaksakan
diri membaca dengan seksama pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
nona Alicia dari
Amerika itu. Rasa penasaran mengalahkan perut lapar belum sarapan
dan badan
yang terasa meriang. Lembar pertama berisi pertanyaan tentang
bagaimana Islam
memperlakukan wanita. Tentang beberapa hadits yang dianggap
merendahkan
wanita. Tentang poligami, warisan dan lain sebagainya.
Pertanyaanpertanyaan yang
tidak asing namun terus menerus ditanyakan. Pertanyaan yang
seringkali memang
dipakai oleh mereka yang tidak bertanggung jawab untuk
mendiskreditkan Islam. Di
Barat masalah poligami dalam Islam dipertanyakan. Mereka
menganggap poligami
merendahkan wanita. Mereka lebih memilih anak puterinya
berhubungan di luar nikah
dan kumpul kebo dengan ratusan lelaki bahkan yang telah beristeri
sekalipun
daripada hidup berkeluarga secara resmi secara poligami. Menurut
mereka pelacur
yang memuaskan nafsu biologisnya secara bebas dengan siapa saja
yang ia suka
lebih baik dan lebih terhormat daripada perempuan yang hidup
berkeluarga baik-baik
dengan cara poligami.
Untuk semua pertanyaan tentang bagaimana Islam memperlakukan
perempuan aku sudah membayangkan semua jawaban yang aku akan
tulis, lengkap
dengan sejarah perlakuan manusia terhadap perempuan. Sejak zaman
Yunani kuno
sampai zaman postmo. Aku ingat bahwa para pendeta di Roma sebelum
Islam
datang, pernah sepakat untuk menganggap perempuan adalah makhluk
yang najis
dan boneka perangkap setan. Mereka bahkan mempertanyakan,
perempuan
sebetulnya manusia apa bukan? Punya ruh apa tidak? Sementara
Baginda Nabi
sangat memuliakan makhluk yang bernama perempuan, beliau pernah
bersabda
bahwa siapa memiliki anak perempuan dan mendidiknya dengan baik
maka dia
masuk surga.
Aku tinggal meringkas jawaban yang telah banyak ditulis para
sejarawan,
cendekiawan dan ulama Mesir. Pertanyaan yang berkaitan dengan
perempuan aku
anggap selesai. Nanti malam akan aku jawab lengkap dengan data dan
dalil-dalil
utama dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hadits yang ditanyakan Alicia
yang mengatakan
katanya Nabi pernah bersabda perempuan adalah perangkap setan
adalah bukan
hadits. Itu adalah perkataan seorang Sufi namanya Basyir Al Hafi.
Sebagaimana
dijelaskan dengan seksama dalam kitab Kasyful Khafa. Itu
adalah pendapat pribadi
Basyir Al Hafi yang kemungkinan besar terpengaruh oleh perkataan
para pendeta
103
Roma. Itu bukan hadits tapi disiarkan oleh orang-orang yang tidak
memahami hadits
sebagai hadits. Bagaimana mungkin Islam akan menghinakan perempuan
sebagai
perangkap setan padahal dalam Al-Qur’an jelas sekali penegasan yang
berulang-ulang bahwa penciptaan perempuan sebagai pasangan hidup
kaum lelaki
adalah termasuk tanda-tanda kebesaran Tuhan. Dalam surat Ar Ruum
ayat dua puluh
satu Allah berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang.Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir.”
Jika perempuan adalah perangkap setan atau panah setan bagaimana
mungkin baginda nabi menyuruh memperlakukan perempuan dengan baik.
Bahkan
beliau bersabda dalam hadits yang shahih, “Orang pilihan di
antara kalian adalah
yang paling berbuat baik kepada perempuan (isteri)nya.” 79
Baginda nabi juga
menyuruh umatnya untuk mengutamakan ibunya daripada ayahnya. Ibu
disebut nabi
tiga kali. Ibumu, ibumu, ibumu, baru ayahmu!.
Pada lembaran kedua, Alicia bertanya bagaimana Islam memperlakukan
nonmuslim? Bagaimana Islam memandang Nasrani dan Yahudi? Apa
sebetulnya
yang terjadi antara umat Islam dan umat Koptik di Mesir, sebab
media massa Amerika
memandang umat Islam berlaku tidak adil? Bagaimana pandangan Islam
terhadap
perbudakan? Dan lain sebagainya.
Aku teringat sebuah buku yang menjawab semua pertanyaan Alicia
ini. Buku
apa, dan siapa penulisnya? Aku terus mengingat-ingat. Otakku terus
berputar, dan
akhirnya ketemu juga. Buku itu ditulis oleh Prof. Dr. Abdul Wadud
Shalabi yang
pernah menjadi sekretaris Grand Syaikh Al Azhar, Syaikh Abdul Halim
Mahmud. Aku
merasa sebaiknya menerjemahkan buku berjudul Limadza
yakhaafunal Islam80
itu ke
dalam bahasa Inggris untuk menjawab pertanyaan Alicia. Supaya
Alicia dan
orang-orang Barat tahu jawabannya dengan jelas dan gamblang.
Supaya mereka
lebih tahu begaimana sebenarnya Islam memuliakan manusia.
Untuk pertanyaan, apa sebetulnya yang terjadi antara umat Islam
dan umat
Koptik di Mesir, yang paling tepat sebenarnya, biarlah umat koptik
Mesir sendiri yang
79 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, beliau berkata:
Hadits hasan shahih. Juga diriwayatkan
oleh Imam Ibnu Majah, Imam Baihaqi dan Thabrani.
80 Kenapa mereka takut kepada Islam?
104
menjawabnya. Dan Pope Shenouda pemimpin tertinggi umat kristen
koptik Mesir
sudah membantah semua tuduhan yang bertujuan tidak baik itu. Pope
Shenouda
tidak akan bisa melupakan masa kecilnya. Dia adalah anak yatim di
sebuah pelosok
desa Mesir yang disusui oleh seorang wanita muslimah. Dan wanita
muslimah itu
sama sekali tidak memaksa Shenouda untuk mengikuti keyakinannya.
Wanita
muslimah itu mengalirkan air susunya ke tubuh si kecil Snouda
murni karena
panggilan Ilahi untuk menolong bayi tetangganya yang membutuhkan
air susunya.
Adakah toleransi melebihi apa yang dilakukan ibu susu Pope
Shenouda yang
muslimah itu?
Dalam sejarah pemerintahan Mesir, pada tanggal 10 Mei 1911 ada
laporan
kolonial Inggris ke London yang menjelaskan hasil sensus di Mesir.
Dari sensus
penduduk waktu itu jumlah umat Islam 92 persen, umat kristen
koptik hanya 2 persen,
selebihnya Yahudi dan lain sebagainya. Pada waktu itu jumlah
pegawai yang bekerja
di kementerian seluruhnya 17.569 orang. Dengan komposisi 9.514
orang dari kaum
muslimin yang berarti 54,69 persen, dan selebihnya dari kaum
koptik, yaitu 8.055
orang dan berarti, 45,31 persen. Bagaimana mungkin jumlah umat
koptik yang cuma
2 persen itu mendapatkan jatah 45,31 persen di
departemen-departemen
kementerian. Dan umat Islam mesir tidak pernah mempesoalkan
komposisi yang
sangat menganakemaskan umat kristen koptik ini. Apakah tidak wajar
jika para
pendeta koptik ebih dahulu bersuara lantang menolak tuduhan
Amerika sebelum Al
Azhar bersuara?
Ulama-ulama besar dan terkemuka Mesir tidak pernah menyapa umat
kristen
koptik sebagai orang lain. Mereka dianggap dan disapa sebagai
‘ikhwan’ sebagai
saudara. Saudara setanah air, sekampung halaman, sepermainan waktu
kecil, bukan
saudara dalam keyakinan dan keimanan. Syaikh Yusuf Qaradhawi
menyapa umat
koptik dengan ‘ikhwanuna al Aqbath’, saudara-saudara kita
umat koptik. Sebuah
sapaan yang telah diajarkan oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an mengakui
adanya
persaudaraan di luar keimanan dan keyakinan. Dalam sejarah
nabi-nabi, kaum nabi
Nuh adalah kaum yang mendustakan para rasul. Mereka tidak mau
seiman dengan
nabi Nuh. Meskipun demikian, Al-Qur’an menyebut Nuh adalah saudara
mereka.
Tertera dalam surat Asy Syuara ayat 105 dan 106: ‘Kaum Nuh
telah mendustakan
para rasul. Ketika saudara mereka (Nuh) berkata pada mereka,
‘Mengapa kamu tidak
bertakwa?’ Apakah
ajaran yang indah dan sangat humanis seperti ini masih juga
dianggap tidak adil? Kalau tidak adil juga maka seperti apakah
keadilan itu? Apakah
105
seperti ajaran Yahudi yang menganggap orang yang bukan Yahudi
adalah budak
mereka. Atau ajaran yang diyakini ratu Isabela yang memancung
jutaan umat Islam di
Spayol karena tidak mau mengikuti keyakinannya?
Aku merasa isi buku Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi harus dibaca
masyarakat
Amerika, Eropa, dan belahan dunia lainnya yang masih sering tidak
bisa memahami
ruh ajaran Islam. Termasuk juga masyarakat Indonesia. Tapi aku
bimbang, apakah
aku punya waktu yang cukup untuk menerjemahkan buku itu. Kontrak
terjemahan
harus segera aku tuntaskan. Jakarta sedang menunggu naskah yang
aku kerjakan.
Proposal tesis juga harus segera kuajukan ke universitas. Dan
kondisi kesehatan
yang sedikit terganggu.
* * *
Metro yang
kutumpangi sampai di Hadayek Helwan pukul dua. Panas
sengatan matahari semakin kurang ajar dan kurang ajar. Aku keluar mahattah
dengan
memakai langkah cepat. Di perempatan jalan dekat rental dan toko
peralatan
komputer Pyramid Com, aku mendengar seseorang memanggil
namaku. Suara yang
tidak terlalu asing. Aku menengok ke kanan, ke arah Pyramid Com.
Seorang gadis
Mesir sambil memegang payung berjalan cepat ke arahku. Aku terus
saja berjalan tak
begitu mempedulikan dirinya. Sebab udara panas menyengat muka.
“Hai Fahri, tunggu, baru pulang ya? Kepanasan? Ini pakai saja
payungku nanti
kau sakit lagi?”
Gadis Mesir berpipi lesung kalau tersenyum itu telah berhasil
mengejar
langkahku. Ia berjalan sejajar denganku dan menawarkan payungnya
padaku.
“Sudahlah Maria, kau jangan berlaku begitu!” sahutku sambil
mempercepat
langkah. Maria terus berusaha mengimbangi kecepatan langkahku. Ia
berusaha
memayungi diriku dari sengatan matahari. Beberapa orang Mesir yang
berpapasan
dengan kami melihat kami dengan pandangan heran. Maria melakukan
sesuatu yang
tidak biasanya dilakukan gadis Mesir. Juga tidak akan pernah ada
lelaki di Mesir
memakai payung untuk melindungi dari sengatan matahari.
“Maria, please, hormatilah aku. Jangan bersikap seperti itu!”
Maria menarik payungnya dan menggunakan untuk melindungi dirinya.
Aku
heran sendiri dengan perlakuan puteri Tuan Boutros ini padaku.
Mamanya bilang
Maria tidak suka didatangi teman-teman lelakinya. Juga tidak suka
pergi atau kencan
106
dengan mereka. Tidak suka menerima telpon dari mereka. Tidak bisa
mesra katanya,
tapi kenapa dia bersikap sedemikian perhatian padaku. Aku merasa
ia seolah-olah
menunggu kepulanganku di jalan yang pasti kulewati.
“Janji sama siapa Fahri, kalau aku boleh tahu?” tanyanya. Aku mempercepat
langkah. Jarak apartemen dan mahattah metro sekitar seratus
dua puluh lima meter.
“Sama teman. Kau panas-panas begini ke Pyramid Com ada apa?
Kau ‘kan
paling malas keluar di tengah panas yang menggila seperti ini?”
tanyaku tanpa
memandang kepadanya. Itu tidak mungkin kulakukan kecuali terpaksa
misalnya
ketika berjumpa begitu saja. Atau reflek menengok karena dia
memanggil namaku.
“Terpaksa. Tinta printku habis. Padahal aku harus ngeprint
banyak saat ini.
Sialnya stok Pyramid Com juga habis. Aku mau ke Helwan
malas sekali?” jawabnya
dengan nada kecewa.
“Kebetulan tintaku masih penuh. Baru beli. Pakai saja milikku.”
“Terima kasih Fahri. Kebetulan sekali kalau begitu. Aku perlu
sekali. Kalau aku
tahu itu aku tidak akan capek-capek begini.”
“Kelihatannya kau sangat sibuk minggu dan banyak tugas minggu ini,
Maria?”
“Iya, sejak empat hari kemarin aku sibuk mengedit kumpulan
tulisanku yang
tersebar di beberapa media selama satu tahun ini. Hari ini juga
harus aku print. Sebab
habis maghrib nanti akan diambil Wafa untuk dimintakan kata
pengantar pada Anis
Mansour, lalu diterbitkan. Setelah itu sampai kuliah aktif kembali
aku kosong. Ada apa
kau tanya seperti itu. Ada yang bisa aku bantu?”
“Ya. Kalau kau berkenan. Aku perlu bantuanmu.”
“Apa itu? Kalau aku mampu, dengan senang hati.”
Aku lalu menjelaskan pertemuanku dengan Alicia dan segala
pertanyaannya.
Aku menjelaskan keinginanku menyampaikan isi buku yang ditulis
Prof. Dr. Abdul
Wadud Shalabi. Tapi kelihatannya aku tidak punya waktu yang cukup.
Buku itu
setebal 143 halaman. Dan Maria bahasa Inggrisnya sangat bagus.
Selama di sekolah
menengah ia kursus di British Council, dan pernah terpilih
pertukaran pelajar ke
Skotlandia selama setengah tahun.
“Kapan dead linenya?”
“Jawaban harus aku sampaikan pada Alicia hari Sabtu depan. Kalau
bisa
107
malam Jum’at sudah selesai diterjemahkan sehingga aku juga ada
kesempatan
membacanya?”
“Baiklah. Nanti berikan buku itu padaku. Aku berjanji Kamis pagi
selesai.”
“Thank’s, Maria.”
“Forget it.”
Tak terasa kami telah sampai di halaman apartemen. Aku mempercepat
langkah. Aku tidak mau naik tangga di belakang Maria. Aku harus di
depan, aku
teringat kisah nabi Musa dan dua gadis muda pencari air. Nabi Musa
tidak mau
berjalan di belakang keduanya demi menjaga pandangan dan menjaga
kebersihan
jiwa.
Sampai di dalam flat, Saiful menyambutku dengan segelas ashir mangga.
Aku
langsung meminumnya. Rasa segar menjalar ke seluruh tubuh. Aku
langsung masuk
kamar dan menyalakan kipas angin. Maria mengirim sms agar
tinta dan buku yang
hendak diterjemah segera kusiapkan. Lima menit lagi ia akan
menurunkan keranjang.
Aku langsung mencari buku itu di rak. Ketemu. Jendela kubuka.
Angin panas masuk
serta merta. Maria telah menunggu dengan keranjang kecilnya. Tinta
dan buku
kumasukkan ke dalamnya. Dan ia mengangkatnya. Aku langsung shalat
dan istirahat
sampai ashar tiba.
* * *
Mishbah pulang dari Nasr City jam enam sore. Ketika aku sedang
asyik
membaca beberapa buku untuk menjawab pertanyaan Alicia. Ia membawa
pesan dari
Nurul yang secara tidak sengaja bertemu di depan Wisma agar aku
menelpon dia
sebelum maghrib tiba. Kembali Rudi menggodaku, “Tidak salah lagi.
Pasti ada
sesuatu. She is the true coise!” Aku beristighfar dalam
hati. Semoga Allah melindungi
dari godaan setan yang terkutuk yang menyesatkan manusia dengan
berbagai
macam cara. Dalam hati aku menegaskan, aku tidak akan menelponnya.
Setengah tujuh telpon berdering. Dari Nurul. Ia minta padaku agar
ke rumah
Ustadz Jalal, katanya Ustadz Jalal ingin minta tolong dan
membicarakan sesuatu
yang penting padaku. Kukatakan minggu ini aku tidak bisa. Ia
bilang tidak apa-apa,
tapi minta diusahakan kalau ada kesempatan langsung ke sana.
Ustadz Jalal masih
ada hubungan kerabat dengan Nurul, meskipun agak jauh. Mereka
bertemu di ayah
kakek alias buyut. Sudah lama aku tidak bertemu Ustadz Jalal.
Beliau dosen Fakultas
108
Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga yang mengambil S3 di Sudan, dan
selama menulis
disertasi doktoralnya beliau tinggal di Kairo bersama isteri dan
ketiga anaknya. Aku
akrab dengan beliau dimulai sejak kami umrah bersama dua tahun
yang lalu. Kami
mengarungi laut merah untuk mencapai Jeddah dengan kapal Wadi
Nile. Saat itu
beliau baru setengah tahun di Cairo. Anak beliau baru dua. Anaknya
yang bungsu
lahir di Cairo tujuh bulan yang lalu. Apa yang beliau inginkan
dariku? Apakah beliau
akan meminta tolong untuk ikut mentakhrij hadits lagi? Aku
tak tahu pasti. Jawabnya
adalah ketika aku bertemu dengannya. Sebenarnya yang membuatku
sedikit heran,
kenapa Ustadz Jalal tidak langsung menelponku, kenapa berputar
lewat Nurul. Benar,
rumahnya tidak ada telponnya, tapi dia tentunya bisa menelpon
lewat Minatel yang
tersebar di setiap sudut kota Cairo. Keadaan dan jalan berpikir
seseorang terkadang
memang susah dimengerti.
Usai mengangkat telpon aku tidak meneruskan pekerjaanku
sebelumnya, yaitu
membaca. Tapi aku merasa perlu meninjau kembali planning bulan
ini. Utamanya
adalah minggu yang sedang aku jalani ini. Aku melihat jadwal
keluar rumah. Ada lima
kegiatan. Kurasa harus aku pangkas semua. Aku harus istirahat dan
mengejar
terjemahan. Pengajian ibu-ibu KBRI hari Selasa. Pembanding dalam
diskusi yang
diadakan FORDIAN, Forum Studi Ilmu Al-Qur’an, di Buuts, hari Rabu
pagi. Pergi ke
warnet. Dan rapat Dewan Asaatidz Pesantren Virtual, di mahattah
Shurthah, Nasr
City, Kamis malam Jum’at. Semuanya harus aku batalkan. Yang perlu
pengganti
harus aku carikan ganti. Bahkan untuk talaqqi pada Syaikh
Utsman hari Rabu aku
ingin izin, sekali ini. Aku benar-benar ingin di rumah minggu ini,
menghindari
perjalanan panjang yang membuat ubun-ubun terasa mendidih.
Sore itu juga aku telpon takmir masjid Indonesia yang mengurusi
pengajian
ibu-ibu KBRI agar mengganti jadwalku dan memundurkan satu bulan ke
belakang.
Pada koordinator FORDIAN aku minta diganti, kutawarkan sebuah
nama. Pada Gus
Ochie El-Anwari sang penggagas rapat Dewan Asaatidz aku minta
izin, aku
sampaikan beberapa ide dan pokok pikiran yang mengganjal di
kepala. Setelah
semua beres aku merasa lega. Langsung kusambung dengan menulis
jawaban atas
pertanyaan Alicia seputar Islam dan Perempuan. Aku hanya istirahat
untuk shalat,
makan malam, dan minum air putih. Tekadku bulat harus tuntas malam
ini. Tak ada
bedanya dengan membuat karya ilmiah. Jawaban dengan bahasa Inggris
itu selesai
juga. Tepat pukul tiga malam. Dengan bahasa Inggris. Setebal empat
puluh satu
halaman spasi satu Microsoft Word, Times New Roman, Font 12.
Seandainya tidak
109
memakai bahasa Inggris kurasa pukul satu malam sudah selesai.
Beberapa kali aku
harus membuka kamus Al Maurid untuk sebuah kosa kata yang aku
kurang yakin
ketepatannya.
Sejak itu aku tidak keluar rumah kecuali untuk shalat berjamaah.
Waktuku
habis di dalam kamar, di depan komputer. Aktifitasku adalah
menerjemah,
menyelesaikan proposal, sesekali makan, ke kamar mandi dan tidur.
Hari Selasa sore
Maria memberi tahu buku Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi telah
selesai ia terjemahkan
ke dalam bahasa Inggris. Hanya saja ia tidak berani menerjemahkan
hadits dan ayat
suci Al-Qur’an takut salah. Maria memberikan disket berisi
terjemahannya.
Kekurangannya kutambal. Jawabanku dan hasil terjemahan Maria
langsung aku print
dan ketika shalat shubuh aku berikan kepada Syaikh Ahmad untuk
diperiksa.
Kebetulan bahasa Inggris beliau bagus tidak seperti Imam masjid
lainnya. Beliau
bahkan pernah diutus oleh Al Azhar ke Australia untuk menjadi Imam
di masjid Malik
Faishal yang terletak di Common Wealth Street, Surry Hills, Sidney
selama satu
tahun. Aku jelaskan pada beliau pertemuanku dengan Miss. Alicia
dari Amerika dan
kapan jawaban itu harus aku serahkan. Aku ingin beliau mengoreksi
dengan
seksama. Beliau sangat senang dengan apa yang aku lakukan. Beliau
menjanjikan
malam Jum’at ba’da shalat Isya bisa aku ambil sehingga bisa diedit
lagi dan diprint
ulang.
Kekejaman pada diri sendiri untuk bekerja keras menampakkan hasilnya.
Hari
Jum’at terjemahan selesai. Tinggal menunggu diedit saja. Proposal
tesis juga selesai,
siap untuk diajukan ke tim penilai. Jika layak nanti pihak
fakultas akan mencarikan
promotor yang sesuai. Dan jawaban untuk semua pertanyaan Alicia
yang telah
dikoreksi dan diberi tambahan Syaikh Ahmad sudah aku print,
aku fotocopy dan aku
jilid jadi empat. Untuk Alicia, untuk Aisha, untuk Maria, dan
untuk arsip pribadiku. Aku
menatap peta hidup bulan ini. Aku tersenyum penuh rasa syukur.
Kukatakan pada
diriku sendiri, “Man jadda wajad!”81
Aku merasa bersyukur kepada Allah yang mengilhamkan untuk merubah
strategi perangku minggu ini. Memang terkadang kita harus kejam
pada diri sendiri.
Dan sedikit tegas pada orang lain. Aktifitas yang penting tetapi
tidak terlalu penting
bisa dibuang atau di-pending.
* * *
81 Pepatah Arab terkenal, artinya: “Siapa bersungguh-sungguh dia
mendapat!”
110
Ketika aku mengambil naskah yang dikoreksi Syaikh Ahmad, beliau
bercerita
sedikit tentang Noura. Gadis innocent itu senang di Tafahna.
Kebetulan satu hari
sebelumnya, Ummu Aiman, isteri Syaikh Ahmad menjenguk ke sana.
Syaikh Ahmad
sedang melacak sebenarnya siapa Si Muka Dingin Bahadur itu. Apakah
benar
ayahnya atau bukan? Syaikh Ahmad mendapatkan informasi Noura
dilahirkan di klinik
bersalin Heliopolis. Bagaimana sejarahnya Noura bisa terlahir di
klinik elite di
kawasan elite itu? Syaikh Ahmad sedang menyelidikinya dengan
bantuan Ridha
Shahata, sepupunya yang menjadi staf intelijen Dewan Keamanan
Negara atau yang
disebut “Mabahits Amn Daulah”. Aku yakin tak lama lagi Noura
kembali hidupnya
yang penuh ketenteraman. Sebelum aku pulang beliau menyerahkan
sepucuk surat
kepadaku, beliau bilang, “Surat ini yang membawa Ummu Aiman, dari
Noura, katanya
ucapan terima kasih padamu!”
Inilah untuk pertama kalinya aku mendapatkan surat dari orang
Mesir. Asli.
Dari gadis Mesir lagi. Meskipun cuma ucapan terima kasih. Aku
penasaran ingin tahu
kata-kata apa yang ditulis oleh gadis innocent itu. Seperti
apa tulisannya. Ingin
rasanya kubuka seketika itu, tapi pada Syaikh Ahmad aku merasa
malu. Kumasukkan
surat itu begitu saja ke dalam saku.
Ayat - Ayat Cinta - Bab 10
No comments:
Post a Comment