Saturday, September 5, 2015

BLIND DATE - EPILOG

Epilog
SATU bulan setelah semua keluargaku kembali ke Indonesia dengan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya dariku dan Reilley, aku menghabiskan waktuku
dengan suamiku di Wilmington. Jauh dari segala hiruk-pikuk yang sudah
mengelilingi kami selama beberapa bulan belakangan ini.
Aku dan Reilley sedang menyisiri pantai di depan rumah, yang baru beberapa
hari ini menjadi rumahku juga. Aku mengajukan permintaan ke kantor agar
ditransfer ke Wilmington setelah menikah karena aku tidak mungkin meminta
Reilley menjual rumah ini dan tinggal bersamaku di Winston. Linnell sempat
ngamuk setengah mati ketika mendengar permintaanku, tetapi dia mengerti ketika
aku jelaskan bahwa dalam budaya Asia tugas seorang istri adalah ikut suami.
Aku langsung merasa nyaman dengan Wilmington. Sekarang aku mengerti
daya tarik kota kecil ini. Perlahan-lahan aku juga mulai menyukai rumah Reilley,
meskipun aku harus menggunakan stool jika ingin masak atau menggunakan
wastafel. Reilley selalu tertawa setiap kali melihatku sedang berdiri di atas stool itu.
Udara bulan Oktober yang mulai agak dingin mengelilingi kami, tetapi aku
hampir tidak merasakannya karena senantiasa ada dalam pelukan hangat Reilley.
Aku tidak menyangka kisah pencarian suami melalui jasa blind date berakhir dengan
tidak terlalu blind date karena aku sudah kenal Reilley sebelumnya.
How are you adjusting being married to me?” tanya Reilley kepadaku.
I‟m adjusting well enough,” ucapku. “Kamu bagaimana? Sudah bosan dengan
saya belum?” candaku.
Reilley tertawa dan mengeratkan pelukannya. “Nggak sampai lima puluh tahun
ke depan atau mungkin lebih,” bisiknya.
“Hanya lima puluh tahun?” tanyaku, sambil mengerlingkan mataku kepadanya.
Reilley menatapku dan menjawab, “Ya... karena pada saat itu kamu bakaln
sudah hampir delapan puluh tahun, dan kemungkinan besar baumu jadi aneh.
Kayak permen obat batuk dan Counterpain.”
“Mengapa kamu pikir saya baunya akan seperti itu?”
Well... saya nggak tahu juga. Suatu hari saya melihat seorang nenek di grocery
store, di satu tangan dia memegang sekantong permen obat batuk dan kotak
Counterpain di tangan yang satunya.”
“Apakah kamu bertemu dia di sini, di Wilmington?”
Reilley mengangguk. “Mengapa?” tanyanya, ketika melihat ekspresi wajahku.
“Saya pernah melihat dia juga sebelumnya. Rambutnya disanggul dan dia pakai
cardigan warna biru kalau nggak salah,” ucapku.
“Ya,” balas Reilley antusias.
“Saya bertemu dia beberapa kali, dan saya berpikir mengapa dia selalu
sendirian saja.” Tiba-tiba aku teringat akan nenek itu, dan aku merasa kasihan
kepadanya.
“Mungkin suaminya baru meninggal,” ucap Reilley pelan.
“Ya, mungkin. Dia seharusnya menikah lagi supaya nggak sendirian seperti itu,
ya nggak?”
Well, mungkin dia nggak mau menikah lagi. Mungkin dia terlalu cinta kepada
suaminya sehingga sulit baginya bisa jatuh cinta dengan orang lain lagi.”
Kupertimbangkan komentar Reilley. Sejujurnya, kalau misalnya Reilley tiba-tiba
terkena serangan jantung dan meninggal, amiti-amit... amit-amit... jangan sampai
deh... tetapi kalau saja hal itu terjadi, aku yakin aku juga tidak akan menikah lagi.
Tidak ada orang yang dapat menggantikan posisinya di dalam hatiku pada saat ini
dan sampai kapan pun juga.
“Apakah dia punya anak, ya?” gumamku.
“Mungkin ada. But maybe all her kids lived out of state and doesn‟t have much time to
come and see her.”
Oh, that‟s a terrible thing to do to a parent,” geramku.
Not to burst your bubble, but you are doing it right now to your parents,” ucap
Reilley pelan, sambil tertawa. Ketika melihatku mengerling, Reilley langsung
terdiam.
“Saya nggak menelantarkan orangtua,” omelku.
“Saya nggak bilang kamu beigtu. Hey look, saya juga melakukan hal yang sama
dengan orangtua saya, oke. Setidak-tidaknya kamu masih bisa dimaafkan karena
kamu tinggal beribu-ribu mil jauhnya dari mereka. Bagaimana saya? Saya hanya
tinggal empat jam perjalanan bermobil dari mereka, tetapi saya jarang bertemu
mereka,” jelas Reilley.
Aku menimbang-nimbang kata-kata Reilley ini. “Ya, kita betul-betul perlu lebih
sering bertemu orangtua kamu. Maybe we can invite them to stay over or something. Kita
bisa jemput mereka dari Winston dan mengantar mereka pulang nantinya.
Bagaimana menurut kamu?”
That sounds like a good idea,” ucap Reilley. “Kita juga bisa melakukan hal yang
sama untuk orangtua kamu. Mungkin kita bisa ke Jakarta kalau liburan.
Bagaimana?”
“Kamu ingin pergi ke Jakarta?” tanyaku bingung.
“Ya.... Saya ingin melihat negara tempat kamu grew up. Lihat rumah kamu,
teman-teman kamu, sekolah kamu, bahkan kebun yang pernah kamu ceritakan ke
saya.”
“Kamu ingin pergi ke Jakarta?” tanyaku sekali lagi.
Okay, is it just me or do I get the feeling that you don‟t want me to go to Jakarta?
Reilley terdengar sedikit jengkel.
Fine. We can go to Jakarta. Akan tetapi, saya peringatkan Jakarta itu nggak
seperti kota-kota lain yang pernah kamu kunjungi.”
Reilley mengangkat bahunya. “Nggak mungkinlah lebih parah dari Tokyo.”
“Ooohhh... kalau kamu pikir Tokyo parah, saya nggak tahu deh apa yang kamu
akan katakan tentang Jakarta.”
It can‟t be that bad if the people are as nice as you,” balas Reilley, sambil tersenyum.
Aku hanya menggeleng sambil tersenyum kepada suamiku ini. “Saya akan coba
bicara dengannya kalau saya bertemu dia lagi. Siapa tahu mungkin kita bisa jadi
teman,” lanjutku.
“Siapa?”
“Ratu Elizabeth.” Ketika kulihat Reilley tidak juga memahami nadaku yang
sarkasme, aku berkata dengan jengkel, “Nenek-nenek permen obat batuk itu, of
course.”
Tanpa kusangka-sangka Reilley menatap langit, dan tertawa terbahak-bahak.
Aku sudah berhenti melangkah, dan menatapnya sambil menjejak-jejakkan kakiku
ke atas pasir dengan tidak sabaran menunggu hingga dia menjelaskan alasan atas
reaksinya itu.
Tiba-tiba Reilley mengangkat tubuhku dan memutarku sambil berteriak, “I love
this woman!
Beberapa orang yang sedang berjalan langsung berhenti dan menonton
kelakuan gila Reilley.
“Reilley, turunkan saya!” perintahku.
Reilley berhenti memutarku. “Apakah saya pernah bilang ke kamu bahwa kamu
perempuan paling baik, paling pintar, dan paling seksi yang pernah saya temui?”
tanya Reilley.
All the time,” balasku datar, meskipun hatiku cukup berbunga-bunga. Reilley
memang tidak pernah lupa mengingatkanku tentang betapa baik, pintar, dan
seksinya aku. Tidak peduli berapa kali dia sudah mengatakannya, jantungku masih
tetap akan berhenti sesaat setiap kali mendengarnya.
Reilley sengaja tidak memedulikan nadaku dan berbisik, “Katakan kamu cinta
kepada saya juga, baru kamu saya turunkan.”
I love you,” bisikku.
“Apa?” Reilley mendekatkan telinganya pada bibirku.
I said I love you,” geramku.
“Saya nggak bisa dengar, kamu perlu bicara lebih keras.”
I love you, goddamn it! Now put me down!” teriakku.
She loves me too!” teriak Reilley, dan mulai memutarku lagi sambil tertawa
dengan keras. Aku mendengar orang-orang di sekitar kami juga mulai tertawa. Mau
tidak mau aku pun tertawa.
Kupeluk tubuh Reilley seerat-eratnya. Aku betul-betul mencintai dan dicintai
oleh laki-laki gila, yang sekarang sedang memutar-mutar tubuhku sambil
meneriakkan kepada seluruh Wilmington bahwa dia mencintaiku, dan aku tidak

bisa berhenti tersenyum serta tertawa karenanya.__



BACA NOVEL KARYA ALIAZALEA LAINNYA DISINI

No comments:

Post a Comment