11
Belajar Bahasa Indonesia
KUTATAP
tubuh tinggi besar, yang masih tertidur di atas sofa. Tiba-tiba seorang
laki-laki
mengenakan jas putih dokter dengan rambut ubanan dan langkah sigap
sudah
memasuki ruangan diikuti suster. Setelah dia cukup dekat, aku bisa membaca
nama
yang disulam pada jas putihnya. Roland Smith, M.D.
“Ahhh... our sleeping beauty is
awake,” ucap dokter itu, dengan suara yang
menggelegar.
Aku sebenarnya ingin sekali menutup telingaku dengan kedua
tanganku,
tetapi karena tangan kananku sedang digenggam oleh Didi dan tangan
kiriku
oleh Dokter Smith aku pun hanya bisa meringis saja.
“Is she going to be alright?” tanya Didi khawatir.
“Apakah
Anda merasa pusing atau penglihatan agak kabur?” tanya Dokter
Smith
kepadaku, masih dengan suara yang terlalu keras.
Aku
menggeleng. “Hanya capek saja,” ucapku pelan.
“Ya.
Itu biasa setelah tidur terlalu lama,” jelas Dokter Smith. Aku jadi
bertanyatanya,
sudah
berapa lama aku tidak sadarkan diri. “Badan Anda akan terasa sedikit
kaku
beberapa hari karena memar di seluruh tubuh Anda, tetapi tidak ada tulang
yang
patah,” lanjut Dokter Smith. Memar? Tubuhku ada memarnya? Bagian mana?
Aku
mulai bertanya-tanya dalam hati.
“Apa
kakak saya sudah diperbolehkan pulang?” tanya Didi lagi.
“Saya
rasa akan lebih baik bila dia menginap satu malam lagi, hanya untuk
memastikan
dia betul-betul baik-baik saja. Kadang-kadang ada efek yang agak
terlambat
datangnya setelah benturan di kepala, seperti yang dialaminya. Kami
hanya
ingin memastikan dia tidak mengalami hal-hal seperti itu sebelum kami
memperbolehkannya
pulang.”
Kulihat
Didi mengangguk. Aku menyentuh infus yang menempel pada hidungku,
dan
Didi langsung bertanya, “Apakah dia masih perlu oksigen itu?”
“Apakah
Anda mengalami masalah pernapasan?” tanya Dokter Smith
kepadaku.
Aku menggeleng, dan Dokter Smith langsung memerintahkan suster
agar
mencabut selang oksigen itu secepatnya.
“Shift saya akan habis dalam beberapa menit, tetapi Marge akan
mengurus
Anda
sampai saya kembali besok pagi, oke,” ucap Dokter Smith, sambil menunjuk
suster
yang kini sedang tersenyum kepadaku.
“Don‟t worry about a thing, dear,” Marge mencoba meyakinkanku.
Aku
mengangguk, dan Dokter Smith berlalu diikuti Marge.
“Aku
lupa ingin tanya sesuatu ke Dokter Smith. I‟ll be right back, okay,” ucap
Didi,
kemudian menghilang keluar dari kamar dan menutup pintu di belakangnya.
Ketika
ruangan sudah kosong kembali, aku baru menyadari Reilley sedang
berdiri
di samping sofa sambil menatapku tidak pasti.
“Hi.” Aku rasanya ingin menendang diriku setelah mengucapkan kata
itu. Ada
banyak
sekali yang ingin aku katakan kepadanya, tetapi satu-satunya kata yang aku
bisa
ucapkan hanya „hi‟?
Tiba-tiba
Reilley sudah berdiri di samping tempat tidur sambil memegangi
tanganku.
Aku mencoba membalas dengan meremas tangan Reilley, tetapi ototototku
masih
terlalu kaku.
“I‟m sorry,” ucapku akhirnya.
“Ssshhh... just rest. We can talk
about it later,” balas Reilley, kemudian mencium
tanganku.
“Stay?” pintaku.
“I‟ll be here.” Reilley lalu mencium keningku, dan aku pun kembali ke alam
bawah
sadar.
*
* *
Ketika
aku terbangun lagi, sinar matahari sudah tidak bersinar di luar sana.
Kamarku
kelihatan agak redup hanya dengan penerangan sebuah lampu tidur, yang
terletak
di atas meja kecil di samping sofa. Sudah tidak ada selang yag menempel
pada
hidungku, dan tidak ada jarum yang menusuk pergelangan tanganku. Marge
rupanya
telah mengangkat semua itu ketika aku masih tidur. Kulihat Reilley sedang
tidur
sambil duduk dengan mengistirahatkan kepalanya di atas kasur. Kuangkat
tanganku
perlahan-lahan, dan membelai rambutnya. Satu kali... dua kali... tiga kali...
Reilley
mulai bergerak di bawah belaianku. Pada belaian keempat, Reilley
mengangkat
kepalanya dan menatapku.
“Hey,” ucapnya, dengan nada sedikit mengantuk.
Baru
pada saat itu aku sadari, Reilley kelihatan sangat lelah. Ada garis hitam di
bawah
matanya, dan kerutan-kerutan di keningnya kelihatan lebih dalam daripada
yang
aku ingat. Dia kelihatan lima tahun lebih tua hanya dalam waktu dua bulan.
Reilley
meraih tanganku, mendekatkannya pada hidungnya dan menarik napas
dalam-dalam
sambil menutup matanya.
“God, I miss that smell,” bisiknya.
“Kamu
kelihatan lelah,” ujarku pelan. Reilley membuka matanya ketika mendengar
nada
khawatirku.
“Sudah
dua bulan belakangan ini saya nggak bisa tidur,” kata Reilley. Aku
hanya
menatap Reilley, mencoba tersenyum. “There
was this girl. Kami baru dating
sebulan
ketika saya tahu bahwa saya nggak akan pernah bisa hidup tanpa dia. Jadi,
dia
saya lamar pada Hari Valentine‟s, thinking that I may be able to get
a yes on such a
romantic day.” Reilley mengedipkan matanya kepadaku. Aku hanya bisa
tersenyum.
“But she didn‟t take the proposal
so well. She just kept quiet like a deer caught in the
headlight. So I had to improvise.
I told her to take all the time in the world to think about it,
even though I feel like shaking
some sense into her right then and there.”
Reilley
melanjutkan
ceritanya dengan lebih serius. Aku sebetulnya sudah ingin tertawa,
tetapi
Reilley langsung mengerlingkan matanya begitu melihat senyumku sehingga
aku
terpaksa menggigit bibir bawahku.
“Anyway, my patience paid off,
because our relationship... blossomed (Reilley
meringis
ketika
mengatakan kata ini. Aku tahu, kata „berkembang‟
terkesan lebih pas
diucapkan
oleh wanita, bukan laki-laki semaskulin Reilley) selama seminggu setelah
itu,
tetapi tiba-tiba nggak ada hujan nggak ada badai dia berhenti menjawab telepon.
Waktu
itu saya sedang ada di San Fransisco karena ada pekerjaan, so I can‟t just bolt.
Malam
sebelum saya seharusnya pulang, dia telepon saya dan memberitahu dia
akan
datang ke rumah saya, bukan kebalikannya seperti yang saya sudah rencanakan
sebelumnya.”
Reilley terdengar sangat sedih dan kecewa ketika mengatakan ini
semua.
Aku mencoba bangun dari posisi tidur, ingin memeluknya dan mengusir
semua
kesedihan serta kekecewaan itu. Ketika Reilley melihat apa yang aku coba
lakukan,
dia justru bangun dari kursinya dan duduk di atas tempat tidur agar bisa
lebih
dekat denganku.
“Saya
sudah terbiasa pulang ke rumahnya, sampai-sampai saya hampir
menganggap
rumahnya sebagai rumah saya daripada rumah saya sendiri. Saya rasa
dia
juga tahu itu. Oleh karena itu, saya pikir permintaannya agak sedikit aneh,
tetapi
saya
ikut saja. Semakin saya pikirkan tentang itu, saya berkesimpulan mungkin...
hanya
mungkin... dia berencana menerima lamaran saya. Saya mencoba menyimpan
semua
kebahagiaan itu di bawah penampilan yang sok cool,
tentunya. But when I saw
her coming out of her car looking
like a very sexy Greek goddess....”
Aku
mencoba memotong kalimat Reilley, dan menegurnya agar tidak
menggangguku
dengan menyebutku seksi atau mengibaratkanku seperti Dewi
Yunani,
tetapi Reilley mengangkat tangannya memintaku memberinya kesempatan
agar
dapat menyelesaikan ceritanya. Aku pun menutup mulutku kembali.
“As I was saying... she looked like
a Greek goddess... and I just lost it. I grabbed her
before she had a chance to take a
breath and kissed the living hell out of her. She didn‟t protest
either, so I thought it was a good
sign.” Aku berusaha agar pipiku tidak memerah
karena
mengingat ciuman Reilley hari itu, yang menurutku adalah ciuman
terdahsyat
yang pernah aku rasakan sepanjang hidupku.
“Dia
bilang dia perlu bicara. Jadi, kami duduk. Dia melemparkan bomnya ke
saya.
She literally made me from the
happiest man alive in one minute to the most miserable
in the next. Saya terlalu kaget ketika mendengar kata-katanya. Jadi, saya
hanya
duduk
diam seperti orang idiot. The
next thing I knew she was gone.”
Reilley sedang
menundukkan
kepalanya, sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya.
“Reilley,”
ucapku. Nadaku antara memohon dan mencoba terdengar simpatik.
“My life without you was hell. Selama sebulan saya coba menghapus kamu dari
pikiran
saya, tetapi nggak bisa. Hal-hal kecil yang bikin saya gila, like how you would
always sleep on the furthest side
of the bed but ended up snuggled up to me anyway, atau
cara
kamu menggigit bibir bawah kalau kamu lagi gugup. Hell I even missed seeing
your hair all mussed up in the morning
but still manage to look so hot.
Pokoknya...”
kulihat
Reilley menarik napas, baru kemudian berkata, “I missed you,” sambil
menatapku.
Reilley menyentuh wajahku dengan jari-jarinya.
“By April, I can‟t even think
straight anymore. I just want to hear your voice so bad that
I would pick my phone up, dial
your number and hang-up before it starts ringing, several
times a day. I could‟ve showed up
at your door one day and demand you to take me back, but
I know that... that‟s not what you
want. You‟re the kind of person who when you said you
can‟t marry someone, you must have
meant it or you wouldn‟t be saying it. I want to respect
your decision, so I left you
alone. Even though it was killing me, but I left you alone.”
Mendengar
semua penjelasannya aku tahu Reilley mengenalku luar-dalam,
mungkin
lebih daripada aku mengenal diriku sendiri. Selama dua bulan aku
mengharap
Reilley menghubungiku, tetapi di dalam hati kecilku aku tahu yang aku
inginkan
adalah agar Reilley menghormati keputusanku untuk tidak menikahinya.
“Then that day. I was supposed to
be flying out to Nice to join my family like I always do
every year, but at the last minute
I bailed. I have no idea why, but I just felt... wrong, like I‟m
missing something. So instead of
checking-in I just sat there at the departure area for two
hours.” Reilley tertawa sedih ketika mengatakan ini.
“Kemudian,
saya lihat kamu. Awalnya saya nggak yakin dan berpikir saya
berhalusinasi,
tetapi saya ikuti kamu sampai keluar dari gedung terminal, dan
hanya
untuk memastikan saya panggil nama kamu. Kamu tetap jalan saja. Jadi, saya
pikir
saya pasti sudah salah orang. Saya panggil nama kamu again and again, lalu
tiba-tiba
kamu berhenti dan menoleh.” Reilley menggeleng, seolah-olah dia sedang
mencoba
mengusir bayang-bayang yang menghantui pikirannya.
“Kamu
kelihatan seperti baru melihat hantu. Muka kamu pucat... shock
kayaknya.
Saya nggak tahu mengapa kamu ada di situ, tetapi dalam hati saya
berharap
kamu datang mencari saya. Anywa,
you didn‟t look too happy to see me. Jadi,
saya
tahu kamu datang bukan untuk saya. Tahu-tahu kamu tertawa, dan saya jadi
yakin
kamu memang datang mencari saya. Lalu...”
Reilley
tersedak, dia seakan-akan sedang bersusah payah menahan emosinya.
Kugenggam
jari-jarinya, kudekatkan pada hidungku, dan kuambil napas dalamdalam.
Aromanya
jauh lebih wangi daripada yang aku ingat.
“The moment that car came at you, saya nggak bisa lihat apa-apa selain ketakutan
saya
sendiri. Ketakutan kehilangan kamu lagi. I
would‟ve tried to pull you out of the
way, tetapi saya terlalu jauh dan mobil itu menabrak kamu sehingga
kamu jatuh ke
aspal.
I swear I thought you were dead. I
went to pull the driver out of his car, he was about
80, a crazy old grandpa who is
senile enough that he probably didn‟t know that he was
speeding, and I wanted to hit him,
But then someone screamed that you were alive and I
just... I just...”
Kutarik
Reilley ke dalam pelukanku. Aku tidak peduli posisi tubuh Reilley
menjadi
kurang nyaman. “I‟m so sorry, Reilley,” ucapku pelan. “Saya coba
menghubungi
telepon selular kamu hari itu selama berjam-jam, tetapi saya selalu
mendengar
nada voicemail.”
Reilley
melepaskan pelukannya, dan menatapku. “Kamu telepon saya?”
tanyanya,
dengan suara tidak percaya.
Aku
mengangguk. “Saya bahkan mengirim text
untuk memberitahu saya perlu
bicara
dengan kamu secepatnya, tetapi kamu nggak pernah telepon saya balik.”
Reilley
menundukkan kepalanya, kemudian dia tiba-tiba tertawa sekencangkencangnya
sambil
menggeleng-geleng. Aku hanya bisa menatapnya bingung,
tetapi
lama-kelamaan aku tersenyum karena menyadari betapa aku merindukan
suara
tawa itu.
“Kamu
kok tertawa?” tanyaku, sambil tersenyum.
“Hahaha...
Saya nggak bawa telepon selular hari itu. Ketinggalan di rumah, itu
sebabnya
kamu mendengar nada voicemail melulu. Hahaha... I
can‟t believe it. Pada
hari
ketika kamu memutuskan bicara dengan saya adalah hari di mana saya nggak
bawa
telepon.”
“Kamu
lupa membawa telepon?” tanyaku bingung. Reilley tidak pernah lupa
membawa
telepon selularnya. Dia pernah berkata, benda itu adalah hal kedua
terpenting
baginya setelah diriku.
“Saya
tahu, pasti menurutmu aneh, kan? Saya nggak tahu bagaimana itu bisa
terjadi.
Saya bahkan nggak menyadari hal itu sampai saya ingin menelepon 911
untuk
menolong kamu.”
Aku
mengangguk. Tanpa kusangka-sangka Reilley kemudian menatapku tajam.
“Mengapa
kamu nggak menunggu saya sebelum bertemu Brandon? Semua ini
nggak
akan terjadi kalau kamu nggak pergi menemui dia.”
“Dari
mana kamu tahu soal itu?”
“Adik
kamu cerita semuanya kepada saya. Did
you hoenstly believe that I was
going to leave you and that I
didn‟t love you?”
Aku
meringis mendengar pertanyaan Reilley. Tampaknya Didi sudah menceritakan
segala
sesuatunya kepada Reilley. Tiba-tiba Reilley meremas lengan atasku
dengan
kedua tangannya, dan berkata dengan tajam, “Promise me that you would
never ever think like that ever
again.”
Aku
hanya bisa menatap Reilley dengan mulut ternganga. “Promise me,” ucap
Reilley
lagi.
“I promise,” balasku lemah. Mendengar kepastian itu, Reilley baru
melepaskan
pegangannya
pada lenganku. Kemudian kuberanikan diri untuk mengatakan katakata
yang
aku sudah ingin katakan kepadanya. Aku tidak peduli apakah dia
merasakan
hal yang sama. Dia harus tahu bagaimana perasaanku kepadanya.
“I love you,” ucapku perlahan-lahan.
Reilley
kelihatan terkejut mendengar kata-kata itu, tetapi kemudian dia
membalas,
“Your love for me is nothing
compares to how much I love you.”
“I know, but I think I can keep up,” candaku.
“Taht would be impossible because I
love you so... so... so much. So much so that I‟m
willing to meet with that psycho
ex-boyfriend of yours to tell him that if he ever bother you
again with that trash talk of his,
I will swing my fist at his face again. Kali
ini saya nggak
akan
berhenti sampai dia mati.” Reilley terdengar cukup geram ketika mengucapkan
kata-kata
ini.
“Oh... please don‟t do that,” pintaku, sambil tertawa.
“You don‟t want me to kill him?” tanya Reilley bingung.
“Oh... You have no idea how much I
want you to kill him, tetapi bagaimana kalau
kamu
kirim orang lain saja untuk melakukannya. Saya hanya nggak mau kamu
menyentuh
bagian mana pun dari diri orang nggak bermutu itu,” balasku.
“Well... wel... look at you going
all Sicilian on me.”
“Sicilian?”
“Ya.
Kamu nggak ada belas kasihan.”
“Saya
nggak ada belas kasihan?”
“Oh... yeah, which makes you look
so much hotter.”
“Oke,
kamu harus berhenti menggunakan kata hot
dan seksi untuk menggambarkan
saya
deh.”
“Mengapa?”
“Kata-kata
itu bikin saya merasa nggak nyaman,” protesku.
“Bagaimana
kalau saya katakan, kamu juga wanita paling pintar yang pernah
saya
temui?”
“You think so?” tanyaku agak terkejut.
“Mengapa
kamu kelihatan kaget?”
“Well, I have never been the smart
one in the family. So I don‟t know whether I should
believe you or not.”
“Well, believe it. It‟s not your
fault that your sister is freakishly smart.”
“Hey...!” teriakku, meskipun dengan nada bercanda.
Reilley
tertawa melihat reaksiku. “Hei, omong-omong, dari mana kamu tahu
saya
akan ada di RDU hari itu?” lanjutnya.
RDU
adalah kode airport Raleigh. “Saya telepon kantor kamu dan asisten kamu,
Michael,
memberitahu saya,” jelasku.
“Oh,”
kata Reilley.
“Omong-omong,
kamu nggak pernah cerita ke saya kalau kamu punya asisten.”
“Dia
masih baru. Saya naik jabatan jadi head
programmer bulan April kemarin.
Itulah
sebabnya saya dapat asisten.”
“Kamu
naik jabatan?”
Reilley
mengangguk. “Hal itu berarti waktu travel
saya bisa dikurangi, dan saya
bisa
relaks sedikit.”
“That would be a nice change. Mungkin kamu akan bisa menghabiskan lebih
banyak
waktu kamu di Wilmington,” usulku.
Reilley
sedang menatapku, dia kelihatan agak ragu. Aku tahu ada sesuatu yang
ingin
dia tanyakan. Jadi, aku hanya diam menunggu. Kemudian, Reilley menarik
napas
dan meraih kedua tanganku. “Saya tahu ini mungkin bukan saat yang tepat,
but I don‟t think I can stand the
suspense any longer,” ucapnya perlahan-lahan.
“What are you talking about?” tanyaku hati-hati.
Reilley
mengeratkan genggamannya dan menatapku, lalu berkata, “Kalau saya
melamar
kamu sekarang, apakah kamu akan menjawab ya? Atau kamu masih perlu
waktu
untuk berpikir lagi?”
“Saya
nggak perlu waktu untuk berpikir lagi,” jawabku, sambil tersenyum.
“Is that a yes?” Reilley mulai tersenyum.
“Menurut
kamu?” balasku, sambil nyengir. Reilley langsung menarikku ke
dalam
pelukannya, kemudian mulai menciumi wajahku. Reilley mencium bibirku
sedalam-dalamnya,
dan tidak melepaskannya selama beberapa menit.
Aku
harus memohon kepadanya agar berhenti, dan memberiku kesempatan
bernapas
lagi.
“Thank you,” bisik Reilley.
Pada
saat itulah aku menyadari Reilley benar-benar mencintaiku. Aku tidak
tahu
mengapa Reilley bisa tergila-gila kepadaku, tetapi aku tidak akan menanyakan
hal
itu. Ibuku selalu berkata, lebih baik digila-gilai daripada menggila-gilai
orang
yang
kita cintai. Aku hanya berharap Reilley akan tetap mencintaiku sampai aku tua
dan
keriput karena aku tahu aku akan masih mencintainya hingga aku mati.
Saat
itulah aku dapat mengerti arti mimpiku ketika Reilley memintaku lari
bersamanya
menuju garis 10-yard pada saat aku dikejar Brandon. Aku sadar
sekarang,
garis 10-yard itu menggambarkan kebahagiaanku dengan Reilley. Itu
sebabnya
mengapa aku harus mencapai garis itu dengan berlari bersama-sama
Reilley,
bukan dipanggul olehnya karena akulah yang harus melepaskan diriku dari
Brandon.
Apa pun yang dilakukan Reilley, kalau Brandon masih memiliki pengaruh
begitu
besar terhadap diriku, maka hubunganku dengannya akan mati di jalan. Aku
akan
memastikan hal itu tidak terjadi lagi.
“You really need to get some sleep.
You look terrible,” ucapku, sambil sekali lagi
menyentuh
wajahnya.
“Apa
saya kelihatan sejelek itu?” tanya Reilley, sambil membelai wajahku.
Aku
tersenyum. “As bad as you might look, which is
not as bad as other people. You
can still pull-off a photo shoot
or two,” candaku.
“Well, menurut saya kamu kelihatan fantastic untuk
orang yang tidur selama
empat
hari berturut-turut,” balas Reilley.
“Empat
hari? Saya sudah tidak sadarkan diri selama empat hari?” teriakku
terkejut.
Reilley
mengangkat bahunya, “Kepala kamu terbentur cukup keras.”
“Saya
ada di mana sih?” tanyaku, sambil melihat ke sekelilingku.
“Kamu
masih ada di Raleigh, tetpai saya bisa bawa kamu pulang begitu Dokter
Smith
bilang oke.”
Aku
mengangguk. “Saya minta maaf karena kamu nggak bisa berlibur bersama
keluarga
kamu.”
Reilley
mengibaskan tangannya, “Don‟t
worry about it. This is the best vacation tha
tI have since I was ten.”
“Kamu
lebih memilih menunggui orang sakit, dan tidur di sofa yang terlalu
kecil
untuk kamu di dalam kamar yang berbau alkohol daripada ada di Nice?”
tanyaku
ragu.
“Ah...
kamu lupa poin yang paling penting.”
“Apa
itu?”
“That I get to spend all of those
time being close to you.”
Aku
tidak bisa mengeluarkan kata-kata untuk membalas Reilley. Aku hanya
bisa
menatapnya sambil tersenyum tersipu-sipu. Kemudian pintu kamar terbuka,
dan
Didi masuk dengan membawa beberapa kantong plastik. Aku langsung bisa
mencium
bau burger. Tiba-tiba aku merasa lapar.
“Sudah
bangun, ya?” ucap Didi. Ia kemudian meletakkan semua bawannya di
atas
sofa, lalu berjalan ke arahku dan mencium pipiku.
“Bawa
apa, Di?” tanyaku.
Didi
langsung berjalan setengah berlari menuju sofa, “Aku beli chicken teriyaki
dari
Subway, cheeseburger, Big Mac, sop krim, dan tacos
dari Taco Bell. Untuk
minumnya
aku beli pepsi, mountain dew, dan ice lemon tea,” jawabnya.
“Aduh,
semua kamu borong?” candaku.
“Habis
aku pikir Mbak pasti kelaparan. Mbak sudah nggak makan empat hari.
Lagi
pula, cowok Mbak ini kalau makan nggak kira-kira. Untungnya aku masih
kebagian
makanan begitu dia selesai makan.” Sambil bicara Didi mengeluarkan
semua
isi plastik itu, dan meletakkannya di atas meja makan untuk pasien. Dia
kemudian
mendorong meja itu ke hadapanku.
“Hey, Ry,” ucap Didi kepada Reilley, yang kini sedang menatap adikku
dengan
tatapan
jenaka. Aku menatap Reilley bingung. Sejak kapan adikku memanggil
Reilley
dengan Ry? Reilley menggeleng kepadaku, menandakan dia akan
menjelaskan
semuanya nanti.
“Oh...
ya, Mbak ingin kumur dulu? Mbak belum sikat gigi selama empat hari
lho,”
ucap Didi cuek. Aku langsung menutup mulutku karena malu. Reilley kan
baru
saja menciumiku. Bagaimana dia bisa melakukannya, dan tidak jatuh pingsan.
Melihat
reaksiku Didi hanya tertawa, sedangkan Reilley menatapku bingung
karena
dia tidak memahami apa yang sedang kami bicarakan. “Kumur saja dulu
deh,”
jawabku. “Mungkin pakai Listerine,” tambahku. Didi tersenyum, kemudian
mengisi
gelas dengan air dan membawa gelas itu kepadaku. Ia juga membawakan
aku
satu botol Listerine citrus berukuran kecil dan satu baskom.
Aku
langsung melakukan aktivitas higienis-ku dengan wajah agak memerah
karena
malu. Setelah aku selesai dengan itu semua, Reilley mengangkat baskom dan
menumpahkan
isinya ke wastafel. Dia bahkan menyempatkan diri mencuci baskom
itu
sebelum kembali duduk di hadapanku.
“Jadi,
Mbak ingin yang mana?” tanya Didi. Aku memfokuskan perhatianku
pada
semua makanan yang ada di hadapanku. “Memang aku boleh ya makan
makanan
seperti ini?” tanyaku ragu.
“Boleh
kok, kata Marge nggak apa-apa.” Tanpa menunggu persetujuanku, Didi
langsung
memasukkan sedotan pada masing-masing tutup ketiga gelas plastik yang
ada
di hadapanku.
Aku
lalu memilih membuka tutup mangkuk plastik yang berisi sop krim. Didi
menyerahkan
sendok plastik untukku, kemudian meletakkan napkin pada
dadaku.
“Scoot over, dude, I also want to
sit on the bed!” perintah Didi kepada Reilley. Aku
agak
terkejut ketika Reilley mengikuti perintah itu dan bergeser sedikit.
“So, have you told her?” tanya Didi, sambil mengambil cheeseburger dan mulai
membuka
pembungkus kertasnya.
“Yeah, I told her,” balas Reilley, yang sedang melahap Big Mac.
“Dia
bilang apa?”
“Dia
bilang dia cinta saya.” Wajah Reilley kelihatan memerah ketika
mengatakan
ini.
“Oh,
ya?” Didi langsung menatapku dengan mata berbinar-binar, sambil
mengunyah.
Aku hanya bisa menggeleng-geleng melihat kelakuan adikku ini.
Kumasukkan
suapan pertama sop krim itu, dan harus menutup mukaku. Ini adalah
sop
krim terenak yang pernah aku rasakan. Tanpa menunggu lagi, aku langsung
menghabiskan
sop itu. Didi dan Reilley menatapku sambil tertawa.
“Masih
lapar?” tanya Reilley kepadaku.
Aku
mengangguk sambil membuka bungkus taco, dan mulai memakannya.
Kami
semua lalu makan dalam diam.
“Saya
melamar dia... lagi,” lanjut Reilley, Didi langsung terbatuk-batuk. Aku
buru-buru
menyodorkan salah satu gelas yang ada di hadapanku kepadanya. Didi
minum
sambil mengerlingkan matanya kepada Reilley.
“Dude, what part of the word „wait
a day or two‟ do you not understand?” omel
Didi
pada
Reilley, setelah dia sudah dapat mengontrol batuknya.
“It doesn‟t matter, dia bilang ya,” balas Reilley bangga.
“You said yes?” teriak Didi, dan langsung meremas pahaku. Didi baru
melepaskannya
ketika melihatku meringis. “Sori, sori... lupa... lupa,” ucapnya
meminta
maaf. Rupanya salah satu bagian yang memar adalah pahaku. “Jadi, kapan
menikahnya?”
tanya Didi antusias.
“Di,
aku baru dilamar hari ini. Kita perlu ada acara perkenalan, lalu lamaran,
dan
baru nikah. Lagi pula, Reilley perlu bertemu Ibu dan Bapak dulu.... Omongomong,
kamu
nggak bilang ke mereka kan kalau aku masuk rumah sakit?” tanyaku
khawatir.
“Tadinya
aku sudah akan telepon mereka, tetapi kata dokter Mbak nggak kritis.
Jadi,
aku nggak jadi telepon. Honestly, kalau Mbak waktu itu kritis, Ibu dan Bapak
pasti
sudah di sini,” jelas Didi.
Aku
langsung mengembuskan napas lega. Aku betul-betul tidak ingin membuat
orangtuaku
panik. Tiba-tiba kudengar Reilley terkikik, aku dan Didi langsung
menatapnya
bingung.
“I‟m sorry, but I found your
conversation quite fascinating.
Kalian tadi bicara tentan
gapa
sih?” tanya Reilley, di antara tawanya.
“Nothing important,” balasku.
“Saya
sudah meminta beberapa kali ke adik kamu untuk mengajari saya bahasa
Indonesia,
tetapi dia menolak,” ucap Reilley, sambil menunjuk Didi.
Didi
hanya melirikkan matanya kepadaku sambil tersenyum. Didi yang sudah
memakain
habis cheeseburger tiba-tiba turun dari tempat tidur, dan mengambil
sesuatu
dari dalam tasnya. Dia kembali beberapa menit kemudian membawa
agendanya.
Dia duduk kembali di atas tempat tidur, dan menuliskan sesuatu di
dalam
agendanya. Setelah itu, ia merobek kertas itu dan menunjukkannya kepada
Reilley.
“Bisa
kamu baca itu keras-keras?” pinta Didi.
Reilley
meletakkan Big Mac di atas meja, dan meraih kertas itu. “Apa ini?”
tanyanya
bingung.
“Kamu
bilang mau belajar bahasa Indonesia. Nah, ini pelajaran pertama kamu,”
balas
didi, dengan sedikit memaksa.
“Oh...
oke,” jawab Reilley, yang kemudian memicingkan matanya. Aku menatap
Didi
penuh tanda tanya, tetapi Didi malah justru mengedipkan matanya kepadaku.
Kucoba
mengintip apa yang ditulis Didi di selembar kertas itu, tetapi Didi
menahanku.
Meskipun penasaran, aku terus memakan taco
dan menunggu.
“Ekyu...
shinta... kemyu.... Benar nggak saya mengucapkannya?”
“Mengerti
nggak, Mbak?” tanya Didi kepadaku. Aku menggeleng.
“Coba
sekali lagi, Ry. Pandang Titania ketika kamu mengucapkan itu,” pinta
Didi.
Reilley lalu menatapku, dan mengulangi kata-kata itu.
Memahami
apa yang Reilley baru katakan, mau tidak mau aku tertawa
terbahak-bahak.
“Saya
tadi berkata apa sih?” tanya Reilley penasaran.
“‟Aku cinta kamu,‟ basically means I love you in
Indonesian,” jelasku.
“Oh,”
ucap Reilley, dan mengulangi tiga kata itu dengan pengucapan yang lebih
sempurna.
“Aku
juga cinta kepada kamu,” balasku, sambil menatap Reilley.
“Oke,
itu kedengaran beda. Kalau yang itu maksudnya apa?” tanya Reilley,
ingin
tahu.
“I just said that I love you too,” jawabku.
“Oh, really?” Reilley kedengaran sangat tertarik. “Teach me more Indonesian
words,” pintanya.
“Apa
yang kamu mau tahu?” tanyaku.
“Ini
orang pasti benar-benar cinta kepadamu, Mbak, sampai mau belajar bahasa
kita.
Aku kayaknya nggak pernah deh lihat orang sebegitu relanya belajar bahasa
Indonesia.
Kita saja suka malas belajar bahasa kita sendiri,” komentar Didi.
“Kayaknya
dia memang suka segala sesuatu tentang budaya Asia deh,” balasku.
“Oke,
kalian baru omong apa tentang saya?” tanya Reilley.
“Nothing,” balasku dan Didi bersamaan, lalu kami pun tertawa
terbahak-bahak.
Aku
baru berhenti tertawa ketika kulihat Reilley sedang memicingkan matanya
curiga.
*
* *
Empat
bulan kemudian.
“Kamu
sudah siap?” tanyaku kepada Reilley.
“Yeah, I think so,” jawab Reilley.
“Jangan
panik oke, you‟ll be fine. Kamu kan sudah sering mengobrol dengan
mereka
melalui telepon. Ini nggak beda dari itu kok.” Aku mencoba sebisa mungkin
menenangkan
Reilley.
“Oke,”
balas Reilley, sambil sekali lagi merapikan kaus yang dikenakannya.
Kami
sedang berdirid i lokasi kedatangan Airport Raleigh, menunggu sampai
orangtuaku
menginjakkan kaki mereka untuk pertama kalinya di North Carolina.
Tidak
lama kemudian kulihat bapak dan ibuku berjalan bersama-sama. Bapakku
mendorong
trolley, yang berisi dua kopor besar. Mereka kelihatan lebih tua dari
terakhir
kali aku melihat mereka.
“They‟re here,” bisikku kepada Reilley.
Reilley
yang sudah berkali-kali melihat foto orangtuaku langsung bisa
mengenali
mereka. Lagi pula, mereka adalah satu-satunya orang Asia yang keluar
dari
pesawatan yang baru saja mendarat dari Detroit, Michigan.
Aku
langsung berlari memeluk mereka. Bapak memelukku selama lima menit
tanpa
mau melepaskanku. Ibu hanya mengangkat bahunya dan menunggu
gilirannya
dengan sabar. Setelah Bapak melepaskanku, Ibu kemudian memelukku.
“Bagaimana,
Ta? Baik-baik saja?” tanyanya.
“Baik,
Bu,” jawabku. “Penerbangannya bagaimana?” tanyaku.
Ibu
melepaskan pelukannya, lalu berkata, “Ya, enak sekali. Kalau pergi ke
Amerika
seperti ini lagi sih Ibu mau. Nggak capek.” Ibuku kemudian tertawa. Aku
harus
berterima kasih kepada calon suamiku, yang memaksa membayari tiket
pesawat
Business Class orangtuaku. Aku ingat betul argumentasi di antara kami dua
bulan
yang lalu, yang jelas-jelas akhirnya dimenangi oleh Reilley.
“Reilley,
kamu nggak perlu membayari tiket mereka. Saya bisa bayar sendiri,”
ucapku.
“Saya
memang ingin membayari,” balas Reilley.
“Mereka
orangtua saya. Tanggung jawab saya.”
“Sebentar
lagi mereka juga akan jadi orangtua saya, dan saya hanya mau
memastikan
mereka mendapatkan akomodasi yang terbaik.”
“They will be fine with Coach
tickets, kamu nggak usah menghabiskan uang kamu
untuk
beli tiket Business Class,” jelasku. Meskipun aku tahu Business Class memang
lebih
baik daripada kelas ekonomi, aku tidak mau Reilley harus membayar 7000
dolar
hanya untuk dua tiket pesawat Jakarta – Raleigh bolak-balik.
“Titania,
ini penerbangan tiga puluh jam. Mereka sudah enam puluh tahun, dan
ini
ungkapan rasa syukur saya karena mereka mengizinkan kamu menikah dengan
saya
tanpa pernah bertemu saya sebelumnya. I
want to do this for them, so deal with it.”
“Apa
maksud kamu dengan „mereka nggak pernah bertemu kamu
sebelumnya‟? Mereka sudah pernah melihat...” Aku tidak bisa menyelesaikan
kalimatku
karena Reilley sudah memotong.
“Foto
saya. Ya, saya tahu. You told me so many times. Mereka kan nggak pernah
bertemu
saya langsung. Besides it‟s not my money we‟re
spending, but our money.”
“Kita
masih belum menikah. Jadi, secara hukum itu masih uang kamu,”
bantahku.
“Coba
saya tanya ini ke kamu. Apa kamu akan membiarkan orangtua saya travel
dari
Raleigh ke Jakarta tanpa akomodasi yang terbaik kalau kamu memang mampu
membayarnya?”
“Tentu
saja saya akan memastikan mereka mendapatkan akomodasi yang
terbaik,
yang bisa saya pikirkan.”
Reilley
menatapku dengan senyum penuh kemenangan. “Aggghhh... fine you can
pay for thos damn tickets,” geramku.
“Hello, Bapak, nice to finally meet
you. I‟m Francis.” Kudengar suara Reilley di
belakangku,
dan ucapannya itu membuatku tersadar dari lamunan. Ketika aku
berputar,
aku melihat dia sedang berjabat tangan dengan Bapak, yang kini kelihatan
superkecil
dan sangat Asia berdiri di sampingnya. Aku agak terkejut karena dia
menggunakan
nama Francis, yang terdengar sangat formal, ketika berkenalan
dengan
orangtuaku.
“Ya,
sama-sama,” balas Bapak.
Aku
hampir saja tersedak, mencoba menahan tawaku ketika melihat Reilley
sedang
mengerlingkan matanya kepadaku penuh dengan tanda tanya. Aku dan
Didi
tidak mengajarkan apa arti kata “sama-sama” kepada Reilley.
“Reilley,
ini ibu saya,” ucapku.
Reilley
langsung berjalan ke arah Ibu dan menjabat tangannya. “Hello, Ib. Apa
kabar?”
ucapnya dengan fasih.
Ibuku
langsung membalas dengan menggunakan bahasa Indonesia, “Wahhh,
sudah
bisa bahasa Indonesia, ya?”
Sekali
lagi Reilley menatapku bingung. “Ibu saya kaget karena kamu bisa bicara
bahasa
Indonesia dengan fasih,” jelasku.
“Oh...
Terima kasih. Still learning,” ucap Reilley.
Ibu
dan Bapak tertawa mendengar kata-kata Reilley. Kami lalu berjalan menuju
pelataran
parkir. Reilley langsung mengambil alih tugas mendorong trolley, dan
mengajak
bicara Bapak sehingga aku bisa berbicara lebih leluasa dengan Ibu.
“Persiapannya
sudah selesai, Ta?” tanya Ibu.
“Sudah,
pokoknya Ibu dan Bapak nggak usah khawatir. Keluarga Reilley
banyak
membantu. Didi juga, selama summer
kemarin. Dia harusnya datang besok
pagi
dari D.C.,” jelasku.
“Reilley
kelihatannya baik,” komentar Ibu, sambil memperhatikan punggung
Reilley.
“Dia
cinta kepadaku,” ucapku, sambil tersenyum.
Ibuku
mengangguk, kemudian tertawa terbahak-bahak disusul olehku. Bapak
dan
Reilley menolehkan kepala mereka, ingin mengetahui apa yang membuat kami
tertawa.
“We‟re just talking about the
wedding!” teriakku kepada Reilley, yang kemudian
tersenyum
dan kembali bercakap-cakap dengan Bapak.
*
* *
Seminggu
kemudian, aku pun resmi menjadi Mrs.
O‟Reilley. Tentu saja aku
menangis
dan harus di-makeup lagi sebelum resepsi, yang diadakan di sebuah taman
terbuka
di daerah Winston. Selain orangtuaku dan adikku, beberapa bude, pakde,
om,
tante, dan sepupuku ikut datang dari Jakarta menghadiri pernikahan kami.
Ternyata
keluarga Reilley juga tidak kalah besarnya dengan keluargaku. Walaupun
rencananya
kami hanya ingin mengadakan pesta kecil dengan hanya mengundang
keluarga
dan teman-teman dekat saja, akhirnya tamu kami tetap meledak hingga
mencapai
dua ratus orang. Upacara pernikahan kami tetap terasa resmi dan sakral
karena
kami dikelilingi oleh orang-orang yang kami cintai dan mencintai kami.
Aku
harus membiasakan diri setiap kali mendengar Reilley memperkenalkanku.
“This is my wife, Titania,” itulah kata-kata yang diucapkannya dengan bangga. Aku
harus
menahan diri agar tidak loncat ke pelukannya, dan menciuminya sampai dia
minta ampun.BLIND DATE - EPILOG
No comments:
Post a Comment