10
Kehabisan Waktu
HARI
Minggu sore aku memasuki apartemenku sambil mengucapkan, “Home sweet
home,” kemudian mengempaskan tubuh ke sofa. Aku sudah tidak
memiliki energi
lagi
untuk melakukan apa pun. Aku berpikir untuk meminta izin sakit besok agar
bisa
mencerna semua yang terjadi padaku akhir minggu ini. Bibirku terasa agak
sedikit
bengkak karena habis diciumi dan menciumi Reilley. Mau tidak mau aku
tertawa
mengingat apa saja yang telah kami lakukan dua puluh empat jam yang
lalu.
“Titania
O‟Reilley,” ucapku pelan. “Mrs.
O‟Reilley,” ucapku lagi. Aku harus
mengaku
bahwa kedua nama itu terdengar cocok untukku.
Kutatap
cincin berlian yang sekarang melingkari jari manis tangan kiriku. Aku
masih
tidak percaya bahwa Reilley telah melamarku. Kucoba mengingat-ingat
kejadian
tadi malam sambil tersenyum.
Setelah
makan siang, akud an Reilley pergi menuju pusat kota Wilmington. Aku
harus
mengakui kota ini memang menarik. Jalanan utama tidak sebesar di Winston,
tetapi
ada banyak toko kecil yang berderet di sisi kiri dan kanan jalan, membuatnya
kelihatan
menarik dan mengundang. Reilley membawaku ke dermaga, dan kami
menghabiskan
sore itu sambil duduk-duduk dan menikmati suasana yang damai.
“Saya
suka di sini,” ucapku perlahan.
“I was hoping that you would say
that,” balas Reilley. Aku sedang menutup mata,
jadi
tidak bisa melihat ekspresi wajah Reilley.
Reilley
lalu meraih tangan kiriku dan mengenakan sesuatu yang dingin pada
jari
manisku. Kubuka mataku untuk melihat apa yang Reilley sedang lakukan, dan
hanya
bisa ternganga ketika melihat cincin berlian yang sudah melingkari jariku.
“Kamu
nggak usah kasih jawaban sekarang. Saya hanya ingin kamu tahu kalau
saya
serius dengan kamu, dan I
wish to wake up everyday seeing your face beside me.
Saya
ingin menikahi kamu, punya anak dari kamu, dan hidup bersama-sama kamu
seumur
hidup saya,” ucap Reilley, tanpa melepaskan genggamannya pada
tanganku.
Aku
masih tidak bisa berkata-kata. Perlahan-lahan kualihkan tatapanku dari
cincin
itu ke wajah Reilley, yang sedang menatapku sambil tersenyum. Untungnya
dermaga
itu sudah kosong karena matahari sebentar lagi akan tenggelam. Jadi, tidak
ada
orang yang bisa menyaksikan lamaran ini. Hal itu justru membuat apa yang
sedang
terjadi terasa lebih asli dan khidmat.
“Reilley,”
bisikku. Jantungku berdetak lebih cepat, dan kurasakan seluruh
tubuhku
tiba-tiba menjadi panas.
“Ssshhh... take all the time that
you need to consider it. Saya nggak ingin
mendesak
kamu.
Saya akan ada di sini sampai kamu siap, oke? Saya nggak akan ke manamana.”
Reilley
lalu memelukku dan mencium keningku. Aku ingin melebur dalam
pelukannya.
Setelah
matahari terbenam sepenuhnya, Reilley menuntunku pergi ke salah satu
restoran
khas Wilmington untuk makan malam. Aku betul-betul tidak bisa berpikir
dengan
jernih, aku masih shock. Sebisa mungkin aku mencoba bertingkah biasa saja,
seakan-akan
tidak ada kejadian heboh yang pernah kualami sepanjang hidupku.
Tidak
setiap hari seorang wanita dilamar laki-laki yang memang diinginkannya.
Kata-kata
itu membuatku terdiam seketika. Apakah aku betul-betul menginginkan
Reilley?
Aku tahu, secara fisik aku sangat tertarik dengannya. Aku sangat menyukai
segala
hal tentang dirinya. Dia memiliki pekerjaan yang bagus dan mapan. Dia
sudah
punya rumah, dan dia sangat mencintai keluarganya. Keluarganya pun
kelihatannya
menyukaiku. Dia sangat perhatian kepadaku, dan selalu mempertimbangkan
keadaan
serta perasaanku dalam situasi apa pun. Lalu seperti ada petasan
yang
meledak sangat dekat dengan diriku, aku pun terlonjak dari kursiku. Reilley
terlihat
khawatir ketika menanyakan, apakah aku tidak apa-apa. Aku
meyakinkannya
bahwa aku hanya perlu pergi ke toilet sebentar. Meskipun Reilley
menatapku
dengan curiga, dia tetap membiarkanku pergi.
Di
dalam toilet aku baru bisa berpikir, C-I-N-T-A. Lima huruf itu muncul ketika
aku
mencoba menggambarkan perasaanku yang sebenarnya kepada Reilley. Aku
mencintai
Reilley. Bagaimana bisa, ya? Aku baru mengenalnya selama enam
minggu.
Selama ini aku selalu terheran-heran melihat orang-orang yang
menyebarkan
undangan perkawinan hanya setelah mengenal pasangan mereka
selama
satu bulan, tetapi kini aku mengerti bagaimana fenomena seperti ini bisa
terjadi.
*
* *
Sekali
lagi kupandangi jariku, yang tiba-tiba terasa lebih berat daripada dua hari
yang
lalu. Tiba-tiba aku menginginkan pelukan Reilley, yang selalu bisa
menenangkanku.
Aku tidak habis-habisnya menganalisis permintaan Reilley sejak
dia
menanyakannya, terutama setelaha ku menyadari bahwa aku mencintainya.
Kalau
begitu, mengapa seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatiku? Kalau aku
menerima
lamaran Reilley, jelas-jelas aku bisa membuktikan kepada Brandon bahwa
dia
salah. Aku telah menemukan laki-laki lain, yang menginginkanku dan ingin
menikahiku.
Hah!!! Aku tidak tahu mengapa aku memikirkan Brandon pada saat
ini.
Otakku mulai berputar dengan bunyi klik...
klik... klik... dan KLIK. Ya... ampun,
itu
dia. Brandon. Aku harus bertatap muka dengannya untuk memberitahukan
berita
ini.
Buru-buru
kurogoh telepon selularku dari dalam tas, dan langsung menekan
nomor
telepon selular Brandon. Aku telah menghapus segala sesuatu yang
berhubungan
dengannya, termasuk nomor teleponnya. Aku agak terkejut ketika
menyadari,
ternyata aku masih ingat nomor itu dengan sempurna. Aku berharap dia
masih
menggunakan nomor yang sama. Kudengar nada sambung. Aku menunggu
beberapa
saat, kemudian kudengar nama Brandon mengucapkan namaku.
“Hei,
Brandon. Apa kabar?”
“Aku
baik-baik saja,” jawab Brandon, dengan nada bingung. Aku yakin, dalam
hati
Brandon sedang bertanya-tanya ada apa aku meneleponnya.
“Baguslah
kalau begitu. Apakah kamu masih tinggal di Memphis?”
“Masih.
Ada apa?” Brandon terdengar curiga.
Aku
mengakhiri basa-basiku, dan langsung ke topik utama. “Aku hanya ingin
tanya,
apakah kamu ada rencana berkunjung ke Winston dalam waktu dekat?”
“Nggak
sih. Ada apa?” tanyanya, semakin curiga.
Aku
mencoba mengontrol emosiku agar suaraku tidak terdengar terlalu
gembira.
“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan ke kamu, dan aku nggak bisa
omong
lewat telepon,” ucapku semanis mungkin.
“Oh,
ya?” Tiba-tiba Brandon terdengar bersemangat.
“Ya,”
balasku.
Kudengar
suara kertas yang sedang dibolak-balik, seolah-olah Brandon sedang
melihat
agendanya. “Saya bisa ada di sana hari Sabtu siang, bagaimana?” tanyanya.
“That‟s perfect.” Aku tahu Reilley tidak akan ada di North Carolina pada akhir
minggu
itu. Jadi, dia tidak akan memergoki pertemuanku dengan Brandon.
“Kamu
ingin kita bertemu di mana?”
Aku
langsung memberikan nama restoran favorit Brandon di Winston. Aku
selalu
berpikir itu restoran favorit “kami” ketika aku bersamanya, tetapi kini aku
menyadari
betapa aku sangat tidak menyukai makanan yang dihidangkan di
restoran
itu.
“Apakah
kamu ingin aku jemput?” Aku hampir saja tertawa ketika mendengar
Brandon
menanyakan hal ini. Ini baru pertama kalinya dia menawarkan
menjemputku.
Biasanya kalau ada date denganku, Brandon akan memintaku
menemuinya
di restoran saja. Hanya pada saat-saat terakhir hubungan kami saja
Brandon
rela menjemputku, yang kin aku tahu hanya sebagai salah satu cara
menutupi
rasa bersalahnya kepadaku karena perselingkuhannya.
“Aku
bertemu kamu saja di sana langsung. Sekitar pukul 12.00, bagaimana?”
Brandon
langsung menyetujui jadwal itu. Aku lalu menutup telepon sebelum aku
mulai
tertawa terbahak-bahak di depannya, dan merusak semua rencanaku.
“Hahaha...
biar tahu rasa nih orang,” ucapku.
*
* *
Aku
tidak bisa tidur selama beberapa hari, menunggu hingga hari Sabtu tiba.
Semakin
hari aku semakin yakin, satu-satunya jawaban yang harus aku berikan
kepada
Reilley, kalau dia melamar lagi adalah, “Yes”. Setiap malam, di mana pun
dia
berada, dia akan meneleponku hanya untuk menanyakan apa yang aku lakukan
hari
itu. Dia meminta maaf tidak bisa pergi menemuiku hingga minggu depan
karena
dia akan berada di San Fransisco. Meskipun aku merindukannya, aku bukan
tipe
perempuan yang merengek-rengek meminta agar pacarnya cepat pulang. Aku
hanya
memintanya menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Dia tidak
menyinggung
satu patah kata pun tentang cincin yang sekarang melingkari jariku
dan
lamarannya. Aku yakin dia sedang berusaha menepati janjinya, dan
memberikanku
waktu untuk mempertimbangkan ini semua. Aku sangat bersyukur
atas
toleransi itu.
Satu-satunya
orang yang tahu hubunganku dengan Reilley sudah pada tahap
yang
sangat serius adalah Sandra. Mau tidak mau aku terpaksa memberitahukan
alasan
meminta MBD membatalkan semua kencan buta yang sudah dijadwalkannya
untukku,
meskipun aku masih ada sekitar dua minggu lagi sampai kontrakku habis.
Sandra
mengucapkan selamat kepadaku, dan berharap agar aku mengirimkan
undangan
pernikahanku secepatnya. Didi memang terdengar curiga ketika
mendengar
laporanku yang biasa-biasa saja tentang kunjunganku ke Wilmington.
Untuk
pertama kalinya aku bisa menyembunyikan apa yang sebetulnya terjadi
darinya.
Aku berjanji, aku akan memberitahunya setelah aku berbicara dengan
Brandon,
dan juga Reilley.
Untungnya
hari Sabtu akhirnya tiba juga. Aku sengaja datang agak terlambat ke
restoran
untuk membuat Brandon menunggu. Aku kini yang memegang kendali,
dan
aku berniat menggunakan keadaan ini dengan semaksimal mungkin. Kulihat
Brandon
sudah duduk di meja tempat kami biasa duduk di restoran ini. Aku
menyentuh
jari manis tangan kiriku untuk memastikan bahwa cincin Reilley, benda
yang
menandai diriku sebagai miliknya, masih melingkar di sana. Brandon berdiri
dari
kursinya ketika melihatku. Aku pun mendekat dan sengaja mencium pipinya.
Brandon
kelihatan agak terkejut, tetapi dia membalas ciumanku dengan antusias.
“You look good, babe,” ucap Brandon. Aku sengaja tidak membetulkan kata yang
digunakannya
untuk memanggilku. Tatapan Brandon penuh dengan kerinduan yan
gtidak
mapmu dibendungnya lagi.
“I feel good,” jawabku, sambil tersenyum.
Waiter kemudian tiba, dan kami memesan makanan dan minuman
masingmasing.
“Pekerjaan
kamu bagaimana?” tanyaku.
“Baik-baik
saja,” jawab Brandon. Lalu, “It‟s
so good to hear your voice again.”
Ketika
melihat aku hanya tersenyum, Brandon melanjutkan, “Jadi, apa yang
perlu
kamu bicarakan kepadaku?”
Aku
sudah menunggu hingga dia mengajukan pertanyaan ini. Sebelum aku
menjawab,
waiter sudah kembali dengan minuman pesanan kami. Aku pun minum
seteguk
sebelum menjawab.
“Kamu
masih ingat apa yang kamu katakan kepadaku ketika aku
mengembalikan
barang-barang kamu yang masih ketinggalan di apartemenku?”
Brandon
menatapku bingung, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa.
“Kamu
berkata... „Kamu lihat saja, tidak akan ada laki-laki yang akan mau
dengan
kamu. Tidak akan ada laki-laki yang bisa tahan berhubungan dengan
kamu‟.”
“Aku
berkata begitu?” Brandon kelihatan terkejut.
“Yes, you did,” ucapku tenang.
Aku
hampir saja tertawa ketika melihat wajah Brandon, yang kelihatan sangat
bersalah.
“Kamu nggak usah kelihatan bersalah begitu. Aku nggak akan mengomeli
kamu
soal itu. Aku sebetulnya mau mengucapkan terima kasih kepada kamu.”
Kini
Brandon kelihatan terkejut, penasaran, dan bingung.
“Selama
sembilan bulan, aku sudah mencoba membuktikan kamu salah.
Memang
aku memerlukan waktu lebih lama daripada yang aku rencanakan, tetapi
nggak
apa-apa.”
“Maksud
kamu?”
“I‟m engaged, Brandon,” ucapku, smabil mengangkat tangan kiriku dan
menunjukkan
cincin berlian Reilley.
Mata
Brandon hampir saja keluar ketika melihat cincin empat karat itu. “He is a
great guy. Dia bukan seorang pengacara, tapi dia ada pekerjaan yang
cukup mapan.”
Melihat
Brandon tidak bereaksi, aku melanjutkan, “Yang paling penting adalah dia
menyayangi
aku, dan dia ingin menghabiskan seluruh hidupnya... dengan aku.”
Brandon
masih tidak bisa mengeluarkan kata-kata ketika makanan kami tiba.
Aku
langsung menyerang salad salmon bakarku. Brandon tidak menyentuh
makanannya,
dia justru mengerlingkan matanya kepadaku.
“Apakah
ini alasannya mengapa kamu ingin bicara kepadaku langsung? Untuk
memamerkan
pertunangan kamu?” Suara Brandon terdengar sedikit bergetar.
Aku
menelan suapanku sebelum menjawab, “Nggak, kan aku sudah katakan.
I‟m here to thank you.” Dalam hati aku sedang bersorak gembira. Aku betul-betul
telah
membalas penghinaan Brandon terhadapku sembilan bulan yang lalu itu.
“Thank me my ass,” omelnya. Beberapa orang sudah mulai melirik ke arah meja
kami.
“Brandon,
kamu harus tenang. Orang-orang mulai memperhatikan kita,”
ucapku
pelan. Seperti yang sudah aku perkirakan, Brandon meledak.
“Aku
nggak peduli orang memperhatikan kita. Apakah kamu sudah tidur
dengan
dia? Oh... aku yakin kamu sudah hamil beberapa bulan ya, itu sebabnya
mengapa
dia melamar kamu!” teriak Brandon.
“Brandon...,”
aku mencoba menenangkannya, tetapi Brandon seolah-olah tidak
mendengar
dan berlanjut dengan kemarahannya.
“Aku
nggak percaya kamu bersedia tidur dengan dia, tetapi nggak dengan
aku,”
ucapnya.
“Aku
tidak tidur dengan dia!” teriakku. Aku tidak terima segala tuduhan yang
dilayangkan
Brandon kepadaku. Kuletakkan garpu yang aku pegang agar tidak
melemparkannya
kepada Brandon.
Brandon
terdiam, kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Aku kini yakin,
pikirannya
sudah tidak stabil. Ada apa juga dia tertawa kalau tidak ada yang lucu?
“Ohhh... that guy is so much
smoother than I am. I give him that,” ujar
Brandon,
sambil
mencoba mengontrol tawanya.
“Maksud
kamu?” tanyaku bingung.
“Apakah
kamu nggak bisa lihat, Titania. Dia hanya ingin ML saja dengan kamu.
Itu
sebabnya dia melamar kamu. Pakai cincin mahal segala lagi.” Brandon
menunjuk
cincin dari Reilley.
“Dia
nggak hanya ingin ML dengan aku,” omelku.
“Has he said that he loves you?”
“Of course...” Tiba-tiba aku teringat, Reilley tidak pernah mengatakan kata
cinta
kepadaku.
Tentu saja dia mengatakan dia ingin menikahiku dan hidup denganku
selama-lamanya,
tetapi tidak kata cinta.
Melihatku
tiba-tiba terdiam, Brandon berkata, “Dia belum bilang apa-apa
tentang
itu, kan?” tanya Brandon, dengan penuh kemenangan.
“Dia
nggak perlu omong. Aku tahu dia mencintaiku.” Aku mencoba terdengar
meyakinkan,
tetapi aku tahu hatiku mulai bertanya-tanya.
“Kamu
yakin?”
Aku
hanya mengerlingkan mataku kepada Brandon. “Jangan nikah dengan dia,
aku
tahu tipe laki-laki seperti dia. Dia cuma salah satu dari banyak laki-laki yang
terobsesi
dengan perempuan Asia. Mereka hanya ingin mencicipi saja, dan begitu
mereka
sudah tahu bagaimana rasanya mereka akan meninggalkan kamu tanpa
permisi
lagi,” ucap Brandon pelan.
Ini
tidak mungkin. Reilley tidak seperti yang Brandon gambarkan, tetapi tanpa
sadar
aku mulai menganalisis tindakan-tindakan Reilley yang memang kelihatan
sangat
tertarik dengan budaya dan kebiasaanku sebagai orang Asia. Aku tetap
mencoba
membela Reilley.
“Dari
mana kamu tahu tentang itu?”
“Karena
aku laki-laki. Percaya kepadaku soal yang satu ini. Memang kamu
sudah
tahu dia selama berapa lama sih?”
“Beberapa
bulan,” jawabku.
“Beberapa
bulan? Jelas-jelas dia hanya ingin ML saja dengan kamu, that‟s it.”
“Shut up, Brandon,” ucapku datar.
“Oke...
oke... coba aku ganti kalimatnya. Aku sudah kenal kamu selama tiga
tahun,
dan aku nggak yakin aku ingin dan bisa menikah dengan kamu. Dia baru
kenal
kamu selama beberapa bulan, dia bakalan kabur sebelum bulan madunya
kelar.”
“No, he won‟t,” bantahku.
“Mau
taruhan?” Mata Brandon terlihat berbinar-binar. “Menurut aku, kamu
jangan
menikah dengan laki-laki yang baru kamu kenal selama beberapa bulan saja.
Kamu
nggak tahu apa-apa tentang dia.”
“Aku
tahu semua hal yang perlu aku tahu tentang dia,” balasku.
“Oh, yeah? Do you know his social
security number?” tantangnya, ketika melihatku
tersedak
Brandon tersenyum lebar.
Shit! teriakku dalam hati. Jangankan nomor jaminan sosial, aku bahkan
tidak
tahu
nama ibu Reilley.
“Apakah
dia tinggal di Winston?” Kudengar Brandon bertanya.
“No, he doesn‟t,” jawabku. “We
try to meet as often as possible when he‟s around.”
“Aha...
dia sudah merencanakan semuanya dengan baik kelihatannya. Aku
yakin
dia juga pacaran dengan orang lain selain kamu.”
“Enak
saja kamu ngomong.”
“Buka
mata kamu, Titania. Dia itu laki-laki. Kalau dia nggak bisa dapat seks dari
kamu,
dia akan mendapatkannya dari orang lain.”
“Not all men are jerks like you, Brandon,” geramku.
“Are you sure about that?”
Kalau
Brandon enanyakan hal itu dua puluh empat jam yang lalu, aku akan
langsung
menjawab dengan, “Of course I‟m sure,” tanpa perlu berpikir panjang lagi,
tetapi
sekarang aku mulai mempertanyakan keyakinanku itu. Aku betul-betul tidak
merencanakan
hubunganku dengan Reilley dibedah dan dianalisis Brandon. Aku
hanya
menemuinya untuk mengibarkan bendera kemenanganku di hadapannya,
tetapi
sekarang aku hanya bisa duduk diam dan menatap Brandon yang sedang
tersenyum
penuh kemenangan. Bagaimana mungkin posisi kami berganti hanya
dalam
hitungan menit?
“Saya
sudah mengatakan apa yang perlu dikatakan, sekarang I‟m gonna go,”
ucapku,
sambil mengeluarkan uang dua puluh dolar dari dalam dompetku dan
melemparkannya
ke atas meja.
“Oh come on, babe. Kamu nggak harus pergi.” Brandon menarik pergelangan
tanganku.
“I‟m not your babe. Sekarang lepaskan tangan aku,” desisku. Brandon
melepaskanku
dan aku pun bergegas ke luar restoran.
*
* *
Malam
itu aku tidak mengangkat telepon ketika Reilley meneleponku, juga ketika
dia
meneleponku pada hari-hari berikutnya. Meskipun aku tahu aku tidak
seharusnya
mendengarkan kata-kata Brandon, entah mengapa aku tidak bisa
menghapuskannya
dari kepalaku. Kata-katanya terngiang-ngiang di telingaku.
“Apa kamu nggak bisa lihat,
Titania. Dia hanya ingin ML saja dengan kamu. Itu
sebabnya dia melamar kamu. Pakai
cincin mahal segala lagi.” Pisau baru saja
menyayat
hatiku.
“Has he said that he loves you?” Pisau itu sekarang sudah menusuk.
“Dia cuma salah satu dari banyak
laki-laki yang terobsesi dengan perempuan Asia.
Mereka hanya ingin mencicipi saja,
dan begitu mereka sudah tahu bagaimana rasanya
mereka akan meninggalkan kamu
tanpa permisi lagi.” Sebuah kampak sudah melayang.
“Aku sudah kenal kamu selama tiga
tahun, dan aku bahkan masih nggak yakin aku ingin
menikah dengan kamu. Dia baru
kenal kamu selama beberapa bulan, dia bakalan kabur
sebelum bulan madunya kelar.” Kudengar bunyi gergaji listrik baru saja dinyalakan.
“Buka mata kamu, Titania. Dia itu
laki-laki. Kalau dia nggak bisa dapat seks dari kamu,
dia akan mendapatkannya dari orang
lain.” Aku sudah mati karena jantungku
berhenti
berdetak.
Aku
betul-betul sedang berlaku tidak adil terhadap Reilley, dan aku tahu aku
harus
meluruskan ini semua sebelum semuanya menjadi lebih parah lagi. Reilley
berkata
dia harus pergi ke New York pada akhir bulan ini. Jadi, aku harus
meneleponnya
sekarang untuk bertemu dengannya. Aku tahu Reilley akan tiba dari
San
Fransisco pada hari Kamis. Jadi, pada Rabu malam aku pun meneleponnya.
“Titania, are you okay? Kamu nggak angkat telepon dariku.” Meskipun Reilley
berbicara
dengan tenang, aku bisa mendengar kekhawatiran di balik suaranya.
“I‟m fine. Hei, kamu keberatan nggak kalau saya datang ke Wilmington
untuk
bertemu
kamu besok?” Aku mencoba membuat suaraku terdengar gembira.
“Tentu
saja nggak, tetapi apakah itu nggak terlalu jauh untuk kamu? Saya bisa
pergi
ke rumah kamu langsung dari Raleigh.”
Aku
hampir saja menangis mendengar Reilley mengatakan ini. Seperti biasa, dia
selalu
penuh perhatian. Dia jelas-jelas tidak mau aku harus menempuh jarak empat
setengah
jam, yang berarti sembilan jam bolak-balik hanya untuk menemuinya.
“No no... it‟s okay. Saya ingin sekalian melihat Wilmington lagi, “jawabku.
“Well, okay,” ucap Reilley ragu.
“Pukul
beratap kamu sampai di rumah?”
“Sekitar
pukul empat,” jawab Reilley.
“Okay then. I will see you at four
tomorrow,” ucapku, lalu menutup telepon itu.
Aku
terpaksa meminta izin pulang lebih cepat dari kantor besok.
*
* *
Keesokan
harinya, ketika aku baru saja melangkah ke luar mobil Reilley bergegas
menuju
ke arahku. Tanpa mempedulikan reaksiku, dia langsung memelukku dan
mencium
bibirku.
“I‟m sorry. I don‟t mean to kiss
you like that, but I‟ve been missing you for the past
week,” ucap Reilley, setelah dia melepaskan bibirku.
Aku
hanya mengangguk.
“Kamu
sudah makan?” tanyanya, sambil menarikku masuk ke dalam
rumahnya.
“Sudah,”
jawabku pendek. “Kamu?” tanyaku.
“Sudah,
saya makan burger tadi di jalan.”
Sekali
lagi aku hanya mengangguk.
“Reilley... we need to talk,” ucapku, akhirnya memberanikan diri mengatakan apa
yang
perlu aku katakan.
“So talk,” balas Reilley cuek.
“Can we sit somewhere?” tanyaku.
Mendengar
nada seriusku, Reilley langsung menarikku ke arah meja makan. Dia
baru
melepaskan tangan kiriku ketika duduk.
Aku
menarik napas dalam sebelum berkata, “Sori... ya, saya nggak angkat
telepon
dari kamu selama seminggu ini,” ucapku.
“Ya,
saya agak khawatir jangan-jangan telepon kamu rusak atau ada apa
begitu,”
balas Reilley.
“Telepon
saya nggak rusak. Saya hanya perlu waktu untuk berpikir.”
“Berpikir?
Tentang kita?” tanya Reilley hati-hati.
Aku
mengangguk. Seperti bisa menebak kata-kataku selanjutnya, Reilley
langsung
nyerocos, “Look. Saya kan sudah berkata, kamu nggak usah khawatir soal
itu.
Kamu lupakan saja omongan saya if
that would make you feel any better. Saya
nggak...”
Reilley
terdiam ketika melihatku mengangkat tangan. Aku lalu mengeluarkan
kotak
cincin yang terbuat dari beludru warna hitam dari dalam tasku.
“Saya
ke sini untuk mengembalikan ini ke kamu.” Kudorong kotak beludru itu
ke
hadapan Reilley. “I can‟t marry you, Reilley.” Aku tidak berani menatapnya.
Ketika
selang beberapa detik dan Reilley masih belum mengatakan apa-apa, aku
terpaksa
mengangkat wajahku. Apa yang kulihat pada wajah Reilley langsung
membuat
jantungku berhenti berdetak. Dia sedang menatapku dari balik bulu
matanya.
Ada kemarahan, kekecewaan, dan pertanyaan di tatapannya itu.
“I see,” ucap Reilley pendek.
Aku
lalu mengangguk. “I‟m sorry that you have wasted so
much of your time and
energy on me.” Kutarik tasku dari pangkuanku, dan berdiri. Reilley hanya
mengangkat
kepalanya dan menatapku, tetapi dia tidak berdiri.
“Saya
akan kirimkan barang-barang kamu. Bye,
Reilley,” ucapku, dan tanpa
menunggu
jawaban aku langsung bergegas ke luar ruangan itu menuju mobil.
Lima
belas menit kemudian, aku sudah berada di I-40 menuju Winston dengan
air
mata yang sudah membasahi seluruh wajahku. Dadaku rasanya mau meledak.
Mengetahui
bahwa aku sebaiknya tidak berada di belakang setir dengan keadaan
seperti
ini, aku pun menghentikan mobilku di bahu jalan dan menangis sepuasnya.
Aku
baru menyadari kemudian, salju sedang turun dengan cukup lebat. Aku
melihat
ke sekelilingku, dan permukaan jalan raya itu sudah putih semua. Dari
gelagatnya
kelihatannya North Carolina akan tertutup oleh salju tebal sebelum
tengah
malam, dan aku harus sudah berada di rumah sebelum hal itu terjadi. Buruburu
kuhidupkan
mesin mobil, dan dengan ban berdecit aku kembali ke jalan raya.
Dalam
kondisi seperti itulah aku meninggalkan Wilmington, Reilley, dan hatiku di
sana.
*
* *
Bulan
Maret pun tiba, dan untuk pertama kalinya kota Winston-Salem betul-betul
mati
total. Dengan salju setebal hampir 80 sentimeter, orang-orang Winston
disarankan
hanya keluar rumah kalau memang betul-betul perlu saja. Untungnya
aku
telah membeli makanan sebanyak-banyaknya sehingga aku tidak perlu keluar
rumah
sama sekali. Aku bisa mendengar bunyi angin yang bertiup dengan kencang
di
luar. Ketika aku mengintip ke luar melalui jendela, aku tidak bisa melihat
apa-apa
kecuali
putih. Kantorku sempat ditutup selama dua hari, hal yang sangat aku
syukuri
karena aku yakin mobilku tidak akan mampu menembus salju setinggi itu.
Menurut
Didi, keadaan di Washington, D.C. bahkan lebih parah. Dia tidak bisa
keluar
rumah sama sekali selama dua hari karena salju telah mengubur mobilnya
hingga
atap. Reilley sama sekali tidak mencoba menghubungiku.
Seminggu
kemudian, Didi memberitahuku dia tidak bisa mengunjungiku untuk
liburan
musim semi. Meskipun akhirnya badai salju sudah berlalu, dia tidak berani
membawa
mobil dari Washington, D.C. menuju Winston sendirian dengan keadaan
jalan
yang belum betul-betul normal. Di satu sisi aku merasa sangat kecewa dengan
berita
ini karena aku sangat mengharapkan kedatangannya untuk menghiburku,
tetapi
di sisi lain aku sangat berterima kasih kepada Tuhan atas kejadian ini karena
aku
belum siap menghadapi serangan pertanyaan yang pasti akan datang darinya.
Didi
masih belum tahu apa yang telah terjadi antara aku dan Reilley. Aku selalu
menghindar
setiap kali dia menanyakan tentang itu.
Suatu
hari, tanpa ada hujan atau badai, aku teringat satu bait lagu Burung Camar
yang
didendangkan Vina Panduwinata.
Tiba-tiba kusadari lagu burung
camar tadi
Hanya kisah sedih nada duka, hati
yang terluka,
Tiada teman, berbagi derita,
Bahkan untuk berbagi cerita.
Tanpa
kusadari aku sudah menangis tersedu-sedu sambil memegangi dadaku
yang
tiba-tiba terasa sakit sekali.
Bulan
Maret berganti ke bulan April, dan April ke Mei. Aku mulai merasa
seperti
zombie. Orang-orang di kantorku pun mulai mengomentari wajahku yang
kelihatan
lelah dan tidak pernah lagi tersenyum. Tidak seperti waktu bulan Januari,
di
mana aku tidak habis-habisnya tersenyum kepada semua orang. Linnell, bosku,
mengumpamakan
wajahku yang sekarang seperti bumi yang tidak lagi terkena sinar
matahari,
semuanya gelap. Aku tertawa sedih ketika mendengar ini karena
sejujurnya
aku memang merasa seperti telah kehilangan matahariku. Sebagai
seorang
profesional, aku tidak pernah membiarkan kehidupan pribadiku
memengaruhi
pekerjaanku sehingga Linnell tidak memiliki alasan menegurku. Aku
mulai
menyesali keputusanku tentang Reilley. Beberapa kali aku mencoba menekan
nomor
teleponnya yang masih terdaftar di deretan nama “Hunny Bunny” di
phonebook telepon selularku, tetapi pada detik terakhir aku menekan CANCEL
sebelum
panggilan itu tersambung.
Lebih
parahnya lagi, akibat keputusan tergoblok yang pernah aku ambil
sepanjang
hidupku pada bulan Februari itu, kini Brandon mengira dia memiliki hak
mengganggu
hidupku lagi. Akhirnya, baru dengan ancaman aku akan
melaporkannya
ke polisi kalau dia tidak juga berhenti menggangguku, Brandon
menghentikan
aksi terornya.
Tanggal
4 Mei pukul setengah enam pagi, aku menelepon Didi untuk
mengucapkan
selamat ulang tahunnya yang ke-27. “Mbak, Reilley bagaimana
kabarnya?”
tanya Didi, setelah kami membahas segala sesuatu yang perlu dibahas,
tetapi
tetap menghindari topik ini.
Aku
terdiam seribu bahasa. Sudah dua bulan lebih aku tidak bertemu dengan
Reilley.
Lebih dari apa pun juga, aku merindukan suaranya yang selalu penuh
dengan
kehangatan. Selama satu bulan pertama setelah aku memutuskan hubungan
dengannya,
aku tetap membiarkan peralatan mandinya berada di dalam kamar
mandi,
bersebelahan dengan peralatan mandiku. Kubiarkan handuk Reilley
tergantung
tanpa disentuh. Beberapa bajunya masih tersimpan di lemari. Bahkan
botol
cologne-nya yang masih setengah penuh kubiarkan berada di atas meja
dandanku.
Aku tidak mampu menyingkirkan benda-benda itu. Benda-benda yang
mengingatkanku
bahwa Reilley benar-benar pernah hadir di dalam hidupku.
Memasuki
bulan kedua aku mencoba memberanikan diri, dan mulai
menyingkirkan
benda-benda itu. Baru saja aku mengangkat botol shampoo-nya, aku
langsung
tidak bisa bernapas. Aku harus duduk di atas toilet dan memegangi
dadaku,
berusaha tetap menjaga utuh hatiku yang sudah retak ini. Aku tahu, aku
sebaiknya
memenuhi janjiku untuk mengirimkan benda-benda itu kembali kepada
Reilley,
tetapi aku masih juga belum sanggup melakukannya.
“I don‟t want to talk about it,” ucapku, menjawab pertanyaan Didi.
“Mbak
ada apa sih dengan dia? Kok tiba-tiba saja Mbak berhenti bicara tentang
dia,
padahal aku dengar Mbak excited
banget ketika baru balik dari Wilmington?”
Nada
Didi terdengar agak menuduh.
“Aku
nggak ingin membicarakan tentan gdia, oke.” Nadaku terdengar tajam.
“Dia
berbuat apa denganmu sih, Mbak? Dia nggak macam-macam, kan?” Kini
Didi
terdengar agak waswas.
“Kamu
kok omong begitu?”
“Habis...
Mbak nggak mau menjelaskan ke aku duduk permasalahnnya. Jadi, ya
aku
hanya bisa menebak, kan?”
“Di,
just let it go, okay,” pintaku. Kudengar Didi terdiam. “You‟re not gonna let it
go, are you?”
“No. Mbak, kamu sudah diam saja selama dua bulan lebih tentang
ini. Mbak
sudah
jarang tertawa lagi. Setiap kali aku telepon, Mbak selalu kedengaran capek.
Mbak
selalu menghindar setiap kali aku bertanya soal Reilley. Setidak-tidaknya,
ketika
Mbak putus dengan Brandon, Mbak masih bisa marah-marah, tetapi ini...
Mbak
hanya diam saja. Aku tahu Mbak sudah putus dengan Reilley, dan aku yakin
Mbak
yang memutus dia. Yang aku nggak tahu, „mengapa‟
Mbak memutus dia?”
“Kamu
tahu dari mana aku putus dengan Reilley?”
“Mbak,
aku ini calon doktor jurusan psikologi. Segoblok apakah Mbak pikir aku
ini
kalau sampai nggak bisa mengenali gelagat orang yang sedang patah hati?”
Aku
terdiam mendengar pernyataan Didi. Aku pikir aku sudah berhasil
membohongi
adikku, tetapi ternyata dia hanya berdiam diri dan menelan semua
alasanku
karena dia sedang menunggu hingga aku siap menceritakan kejadian
sebenarnya.
Mendengarku terdiam, Didi bertanya lagi, “You wanna talk to me about
it?”
Hanya
dengan kata-kata itu, meluncurlah tetesan air mata pertama dari sudut
mataku.
“Dia
berencana mau memutus aku. Jadi, sebelum dia bisa memutus aku, aku
lebih
dulu memutus dia,” ucapku perlahan-lahan.
“Oke...
dari mana Mbak tahu dia bakal memutus Mbak?” Aku tahu Didi
mendengar
suaraku yang tersedak mencoba menahan tangis, tetapi dia tidak
mengatakan
apa-apa.
“Dari
semua gelagatnya yang selalu manis dan perhatian kepadaku,” jawabku.
“Mbak,
kayaknya Mbak harus menjelaskan ke aku deh. Mengapa laki-laki yang
perhatian
kepada Mbak, dan selalu baik kepada Mbak mengindikasikan mereka
akan
memutus hubungan?”
“Brandon
selingkuh setelah lebih perhatian dan lebih manis terhadapku!”
teriakku.
“What in the hell... Mbak kok bisa-bisanya membandingkan Reilley dengan lakilaki
supersinting
kayak Brandon sih?” Didi berteriak marah.
“Karena
itu benar, Di. Brandon berkata kepadaku bahwa Reilley nggak akan
menikahiku
setelah dia memuaskan rasa penasarannya tentang aku.”
“That is the most ass backward
thing I have ever heard,” geram Didi. “Wait a minute,
Mbak
bilang Brandon berkata ke Mbak.... Sejak kapan Mbak omong dengan dia
lagi?”
Kuseka
air mataku dengan tisu, kemudian menceritakan semuanya kepada Didi.
Mulai
dari lamaran Reilley, pertemuanku dengan Brandon, hingga hari aku pergi
menemui
Reilley di Wilmington dan mengembalikan cincin itu. Didi tidak berkatakata
selama
beberapa menit, dan aku jadi khawatir saluran teleponku tiba-tiba
terputus.
“Di,
kamu masih di situ, kan?” tanyaku.
“Masih.
Sorry, aku hanya sedang terkesima dengan kakakku yang pintar ini.
mengapa
kok dia selalu jadi goblok bila dekat-dekat dengan mantan pacar
brengseknya
itu.”
“Aku
nggak goblok,” omelku. Aku tidak akan tinggal diam kalau ada orang
yang
mengatakan aku goblok. Tidak ada orang yang boleh menggunakan kata itu
untuk
menggambarkan diriku, kecuali diriku sendiri.
“Oh,
ya? Jadi, mengapa Mbak memutus Reilley?” tantang Didi.
Aku
langsung terdiam.
“Mbak
sudah bicara dengan dia sejak dari Wilmington?” tanya Didi. Dengan
susah
payah dia mencoba menggunakan nada sehalus mungkin denganku.
“Belum.
Dia nggak telepon aku juga.”
“Ya,
iyalah dia nggak telepon, Mbak. Laki-laki mana juga yang bakal menelepon
begitu
lamarannya ditolak?”
Sekali
lagi aku hanya terdiam.
“Mbak
cinta kan dengan Reilley?”
“Ya.
Aku sebetulnya ingin bilang perasaanku ke dia, tetapi dia nggak pernah
mengatakan
cinta kepadaku. Jadi, ya sudah.”
“Sejak
kapan sih Mbak jadi begini sentimentilnya hanya gara-gara satu kata itu?
Bukannya
selama ini Mbak bilang ke aku kalau kata cinta itu sudah terlalu
dibesarbesarkan?
Lagi
pula juga, dia sudah melamar Mbak. Apakah itu belum cukup bukti
bahwa
dia cinta kepada Mbak.”
“I don‟t know. I serously don‟t
know, okay!” teriakku frustrasi.
“Oke...
oke...,” balas Didi, agak terkejut mendengar teriakanku.
“Aku
harus bagaimana, Di?”
“Kalau
Mbak memang terobsesi banget mendengar kata cinta dari dia, aku
sarankan
Mbak tanya dia. Telepon dia sekarang juga dan tanya,” perintah Didi.
“Kalau
misalnya dia nggak mau bicara dengan aku, bagaimana?”
“Ya...
kan masih ada e-mail, text message, surat, kirim kurir, samper dia di
rumahnya
kek, di kantornya kek. Pokoknya, terserah deh,” balas Didi tidak sabaran.
Aku
memikirkan saran Didi beberapa detik, kemudian loncat dari tempat tidur.
“Di,
sudah dulu ya,” ucapku, dan tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung
memutuskan
sambungan itu.
Dengan
tangan gemetaran aku menekan nomor telepon Reilley. Aku berjalan
bolak-balik
di samping tempat tidur, menunggu hingga ada nada sambung. Setelah
lima
deringan aku mendengar suara Reilley.
“You have reached Francis O‟Reilley‟s
cell number. I‟m sorry that I‟m unable to pick up
your call right now. Please leave
a message and I will get back to you as soon as I can.”
“Damn it!” teriakku. Kulirik jam yang ada di telepon selularku. Sudah
pukul
setengah
tujuh. Aku harus mandi dan berangkat kerja.
Satu
setengah jam kemudian, aku sudah tiba di kantor tanpa menyadari
bagaimana
aku bisa sampai di sana. Aku sudah mencoba menghubungi nomor
Reilley
sebanyak empat kali, dan setiap kali voicemail-nya yang menjawab. Apakah
mungkin
Reilley sedang berada di luar Amerika, dan tidak membawa teleponnya
sehingga
semua panggilan akan langsung masuk ke voicemail? Aku menimbangnimbang
untuk
menelepon kantor Reilley di Raleigh. Selama mengenal Reilley, aku
tidak
pernah mengganggu orang di kantornya. Aku akhirnya memutuskan untuk
memberinya
waktu, mungkin dia memang sedang sibuk dan tidak bisa mengangkat
telepon.
Kutarik napas dalam, dan menumpukan perhatianku pada pekerjaanku.
Pukul
sembilan aku mencoba menghubungi nomor telepon selular Reilley lagi,
tetapi
kembali hanya voicemail-nya yang menjawab. Pukul sepuluh telepon selularku
bergetar.
Jantungku langsung berhenti berdetak selama beberapa detik, kemudian
kuberanikan
diri melirik ke layar dan menggeram.
“Di,
aku sedang coba menghubungi dia, tapi belum terhubung. Nanti begitu aku
bisa
terhubung dengan Reilley, aku langsung kasih tahu kamu, ya,” ucapku,
sebelum
Didi bisa mengatakan apa-apa.
“Oke,”
balas Didi, sambil cekikikan dan menutup telepon. Pikiranku sudah
terlalu
galau untuk menanyakan mengapa dia cekikikan.
Aku
menimbang-nimbang telepon selularku dengan tangan kanan, lalu tanpa
aku
sadari aku mulai menuliskan pesan untuk Reilley.
Reilley, I really need to talk to you.
Would you call me as soon as you read
this message. Titania.
Aku
lalu mengirimkan pesan itu dan mencoba mengontrol napasku, yang tibatiba
memburu.
Pukul 12.00, aku masih belum juga mendapat kabar apa-apa dari
Reilley.
Aduh, ini orang ke mana sih? Setidak-tidaknya, dia kan bisa telepon aku
balik
atau kirim text message kalau memang dia nggak mau omong denganku,
omelku
dalam hati. Pukul satu siang, aku baru kembali dari makan siang ketika aku
akhirnya
memutuskan menelepon kantor Reilley. Aku sudah tidak mampu
menunggu
lagi. Kukeluarkan kartu nama Reilley dari dalam agendaku.
Kutekan
nomor itu perlahan-lahan untuk memastikan aku tidak salah tekan
atau
salah lihat, lalu kuletakkan telepon di telinga. Tidak lama kemudian aku
mendengar
nada sambung, dan seorang wanita yang menyebut dirinya sebagai
Wanda
menyambutku dengan ramah.
“Can I please be connected to
Francis O‟Reilley,” ucpaku, kemudian menahan
napas.
“Mr. O‟Reilley‟s is not in today,
but I can connect you to his assistant. Would that be
okay?” balas Wanda.
Asisten?
Reilley tidak pernah berkata kepadaku dia punya asisten. Tampaknya
jabatan
Reilley di perusahaan ini jauh lebih tinggi daripada apa yang telah
diungkapkannya
kepadaku.
“Yes, that would be fine,” jawabku.
“Hold, please.” Beberapa detik kemudian, aku mendengar suara laki-laki di
ujung
saluran
telepon.
“Yes, I‟m supposed to be connected
to Mr. Francis O‟Reilley‟s assistant?”
“Yes. I am Mr. O‟Reilley‟s
assistant. I‟m Michael, how can I help you?”
Michael
terdengar
ramah.
“Ya.
Bisa kasih tahu bagaimana saya dapat menghubunginya? Saya sudah
mencoba
menghubungi telepon selularnya sejak pagi, tetapi tidak pernah diangkat.
“Wah,
saya nggak tahu bagaimana itu bisa terjadi, teleponnya biasanya tetap
hidup
sampai dia naik ke pesawat.”
“Is he going somewhere?”
“Well, he‟s technically on his
vacatio, Ma‟am, but he always leaves his cell on just incase
we need to reach him.”
Aku
mengembuskan napas kesal. Tampaknya aku harus menunda bertemu
dengan
Reilley hingga dia kembali dari cutinya. “Apakah Anda tahu kapan dia akan
kembali?”
“Pesawatnya
berangkat dari Raleigh pukul 16.00 hari ini. Dia baru akan kembali
sekitar
bulan Juli.”
“Bulan
Juli?!” teriakku terkejut.
“Ya,
Mr. O‟Reilley selalu mengambil cuti delapan minggu untuk pergi ke
Nice
setiap
tahun, Ma‟am.”
“Did you say Nice?” Aku langsung teringat, Reilley pernah mengatakan dia dan
keluarganya
selalu pergi ke Nice setiap musim panas. Sekarang kan masih awal
bulan
Mei. Musim panas baru akan dimulai pada bulan Juni.
“Yes, Ma‟am,” jawab Michael. Aku langsung melirik jam tanganku, yang kini
telah
menunjukkan pukul setengah dua. Aku langsung panik.
“Dia
mengambil penerbangan apa?”
“Dia
akan terbang ke JFK dengan Delta, lalu melanjutkan penerbangannya
dengan
Air France ke Paris lalu Nice.”
“Apa
nomor penerbangannya?”
Kudengar
suara keyboard yang sedang ditekan, kemudian Michael memberikan
nomor
penerbangan itu. Aku hanya sempat mengucapkan terima kasih sebelum
menutup
telepon. Tanpa mematikan komputer, aku langsung pergi menemui bosku
dan
meminta izin keluar karena ada keadaan darurat. Melihat wajah panikku,
Linnell
tidak bertanya-tanya lagi dan langsung membolehkanku pergi.
Aku
berlari sekuat tenaga menuruni tangga menuju lantai dasar, lalu aku berlari
lagi
menuju mobil. Kuhidupkan mesin, dan tanpa menunggu lagi aku langsung
tancap
gas. Aku hanya ada waktu dua jam lebih sedikit untuk mengejar
penerbangan
itu. Aku sudah kehabisan waktu.
“Tunggu,
Reilley, tunggu... please tunggu sampai aku datang!” ucapku pelan.
BLIND DATE - PART 11
No comments:
Post a Comment