9
Undangan
SETELAH
hari itu, akhirnya Reilley secara tidak resmi tinggal di apartemenku kalau
dia
sedang berada di North Carolina. Meskipun aku masih tetap berkencan dengan
orang
lain bila Reilley kebetulan sedang tidak ada bersamaku, Reilley tidak pernah
menanyakan
hal itu sehingga aku berkesimpulan dia juga melakukan hal yang
sama.
Aku kadang bertanya-tanya dalam hati, bagaimana dia bisa meluangkan
waktunya
untuk berkencan dengan orang lain di sela-sela pekerjaannya dan
kebersamaannya
denganku. Setelah satu bulan menghabiskan waktu dengannya,
aku
mulai merasakan hubunganku dengannya sudah menjurus ke arah yang lebih
serius
dibandingkan dengan hanya kencan biasa. Namun demikian, mengingat
Reilley
tidak mengatakan apa-apa yang bisa mengkonfirmasikan perasaanku, aku
pun
memutuskan untuk diam.
Pada
awal bulan Februari, Reilley membuat kejutan dengan memintaku
menghabiskan
akhir minggu untuk merayakan hari Valentine
dengannya di
Wilmington.
Dia bahkan rela datang menjemputku Jumat malam, dan mengantarku
pulang
hari Minggu. Aku tahu, ini tindakan wajar bagi laki-laki yang ingin
mengenalku
lebih jauh, dan untuk menunjukkan siapa dirinya sebenarnya.
Orangtuaku
selalu berkata, kalau kita ingin menilai seseorang tempat terbaik
untuk
melakukannya adalah dari rumahnya. Mobil atau pakaian tidak bisa
dijadikan
patokan karena itu hal pertama yang bisa dilihat oleh orang lain, dan
kebanyakan
orang biasanya akan mengutamakan penampilan luar mereka terlebih
dahulu.
Aku tidak tahu mengapa Reilley tiba-tiba mengundangku melihat
rumahnya.
Apakah dia memang sudah betul-betul serius denganku?
Ketika
kutanyakan hal ini kepadanya, jawabannya hanya, “Kita sudah dating
selama
sebulan. Kamu tahu segala sesuatunya tentang saya. Saya menghabiskan
hampir
setiap malam di apartemen kamu. Kamu sudah bertemu keluarga saya, dan
sekarang
saya ingin kamu melihat rumah saya.”
Kami
sedang duduk santai di sofa, di apartemenku pada hari Minggu siang.
Reilley
sedang memijat kakiku yang terjulur ke atas pangkuannya. Satu hal lagi
yang
tidak pernah dilakukan Brandon. Biasanya aku yang akan kebagian memijat
daripada
dipijat.
“Seperti
yang kamu bilang, kita kan baru dating
selama sebulan.” Aku tetap
bersikeras
menunjukkan keputusannya mengundangku ke Wilmington masih
terlalu
dini.
“Kita
sudah dating „secara serius‟ selama sebulan.”
Reilley mengganti pilihan
kata-katanya
dengan memberikan penekanan pada kata “serius”.
“Apakah
kita sebegitu seriusnya?”
“Kalau
saya nggak superserius dengan kamu, saya mungkin sudah ML dengan
kamu
pertama kali saya tidur di tempat tidur kamu.”
“WHAAATTTTT?!” teriakku, sambil berusaha duduk tegak. Usaha yang snagat
sulit
dilakukan karena kedua kakiku masih ada di pangkuan Reilley.
“Sori,
saya seharusnya nggak kasih tahu kamu soal itu, tetapi saya nggak tahu
bagaimana
lagi caranya meyakinkan kamu,” ucap Reilley.
“Kamu
pernah ML dengan perempuan hanya setelah date
pertama?” Kutarik
kakiku
dari pangkuan Reilley, dan duduk bersila di atas sofa.
Reilley
kemudian terlihat serius ketika menjelaskan maksudnya. “Beberapa dari
mereka
bahkan cukup antusias soal itu. Sori, saya seharusnya nggak menyalahkan
mereka.”
“You bet your ass you shouldn‟t,” omelku.
“Okay, if it‟s any comfort to you I
haven‟t done that in a while now.”
Melihat
ekspresiku yang sedang mengerlingkan mata, Reilley menyumpah,
“Shit... that came out wrong.” Dia terdiam sejenak sambil menghadapku, keningnya
berkerut
karena sedang berpikir keras. Aku menunggunya memberikan penjelasan.
“Yang
saya ingin katakan, sebenarnya saya jarang dating karena
susah untuk
meet women dengan jam kerja saya,” lanjutnya.
“I don‟t believe that,” ucapku datar.
“Well, believe it.”
“Reilley, have you looked in the
mirror lately?”
“What does that have anything to do
with this?”
“It has everything to do with this. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya.
Kamu
ini „hot‟ dengan huruf besar untuk „H‟-nya.
Perempuan bakal dating bahkan
tidur
dengan kamu tanpa perlu kamu minta,” jelasku.
“Kalau
saya bertemu dengan mereka di bar mungkin,” gerutu Reilley pelan,
tetapi
aku bisa mendengarnya.
“Kamu
pernah tidur dengan perempuan yang kamu temui di bar?!” teriakku
terkejut.
“Ya,
nggaklah.” Reilley terdengar betul-betul tersinggung. “Apakah kamu
bersedia
tidur dengan laki-laki yang kamu temui di bar?”
“Jelas-jelas
nggak,” balasku, tidak kalah tersinggungnya.
Kulihat
Reilley menatapku sambil memicingkan matanya, kemudian dia loncat
dari
sofa dan menyumpah sekeras-kerasnya. “HOLY
SHIT! Kamu masih perawan!”
Aku
menatap Reilley bingung, kemudian berkata, “Tentu saja saya masih
perawan.
Itu nggak ada hubungannya dengan diskusi kita.” Aku tidak pernah
menyembunyikan
status keperawananku kepada siapa pun. Aku bangga menjadi
wanita
yang akan mengeksplorasi kemampuan seksualnya hanya dengan suaminya
kelak.
“Oh...
apa kamu ingin saya beri tahukan fakta mengapa itu sangat berhubungan
dengan
diskusi kita ini?” Tanpa menunggu jawaban dariku, Reilley melanjutkan
dengan
berapi-api. Kedua tangannya melayang ke mana-mana, dan dia berjalan
bolak-balik
di hadapanku. “Kita sudah tidur sama-sama selama sebulan. Saya sudah
menciumi
kamu seperti orang gila, dan kamu juga menciumi saya balik. Satu hal
lagi...
tanpa sepengetahuan kamu, saya sudah memimpikan kamu naked semenjak
pertama
kali kita tidur sama-sama.”
Aku
hanya bisa megap-megap seperti ikan maskoki ketika mendengar kata-kata
Reilley.
“Kamu mau tahu apa yang saya mimpikan pada malam ketika saya
menyebut
nama kamu?” tanyanya.
Untungnya
Reilley sudah berhenti bergerak sehingga aku bisa memfokuskan
perhatianku
pada wajahnya. Aku mengangguk.
“We were having sex,” teriaknya. ”Great
sex. Mind blowing sex like you wouldn‟t
believe,” sambungnya.
Ketika
aku masih juga tidak bereaksi, Reilley melanjutkan. “It doesn‟t help that
when I woke up your backside is
practically up against my hard dick.”
Aku
menarik napas terkejut, dan harus menutup mulutku dengan tangan. Aku
tahu
bahwa wajar sekali bagi laki-laki ketika bangun tidur alat genitalnya
memperlihatkan
seperti sedang terangsang, tetapi akut idak tahu bagaimana harus
bereaksi
jika penyebab dari keadaan itu adalah diriku. Perlahan-lahan aku mulai
ingat
apa yang Reilley katakan pagi itu. Aku langsung merasa kasihan kepadanya,
ternyata
ia telah “menderita” karenaku.
“Sebetulnya,
saya bangun lebih cepat pagi itu. Akhirnya jadi telat karena saya
harus
mandi lebih lama... dengan air dingin.” Reilley lalu duduk di hadapanku, dan
menggenggam
wajahku di antara kedua telapak tangannya. “Nah, sekarang apakah
kamu
mengerti mengapa status... keperawanan kamu sangat berhubungan dengan
diskusi
ini ataupun diskusi lainnya nanti?” Meskipun Reilley mengalami masalah
ketika
mengatakan kata “keperawanan”, suaranya cukup stabil dan halus.
Aku
harus menelan ludah, baru kemudian mengangguk. Reilley melepaskan
genggamannya
pada wajahku, dan menyandarkan tubuhnya pada bantal sofa.
“Apakah
ini berarti kamu nggak akan tidur satu tempat tidur dengan saya
lagi?”
candaku.
“Saya...
saya nggak tahu. Apakah kamu keberatan kalau kita tetap tidur
bersama-sama?”
Reilley menatapku ragu.
Aku
mengangguk. “Selama memang itu saja yang kita rencana akan lakukan.”
“Bukan
itu yang saya rencanakan, tetapi itulah yang saya akan lakukan,” tegas
Reilley.
Sekali
lagi aku mengangguk. Reilley lalu mengernyit. Aku tahu dia ingin
menanyakan
sesuatu kepadaku, tetapi tidak tahu bagaimaan mengungkapkannya.
“What do you want to ask me,
Reilley?” tanyaku.
“I don‟t think I should be asking
this. Kayaknya nggak sopan, dan kamu nggak
usah
merasa perlu...,” Reilley mencoba menjelaskan.
“Apa
pertanyaannya?” potongku.
“Keputusan
kamu tidak ML, sampai kamu menikah. Apakah itu karena
budaya?
Agama atau...?” Reilley tidak bisa menyelesaikan pertanyaannya.
Ini
bukan yang pertama kalinya aku harus menjelaskan prinsipku. Aku menarik
napas
panjang sebelum memulai. “Sebetulnya, ada beberapa alasan mengapa saya
kuat
memegang prinsip itu. Dalam budaya Asia memang tabu ML di luar nikah,
tetapi
banyak orang masih melakukannya. Dari sudut agama, saya rasa setiap
agama
menganjurkan supaya hubungan seksual dilakukan setelah pernikahan, dan
lebih
baik jika tidak dipertontonkan kepada orang ramai.” Kukedipkan mata
kananku
ketika mengatakan hal ini.
“Bagi
saya,” lanjutku, “pendapat keluarga saya mengenai hubungan seksual
antara
laki-laki dan perempuan bisa dibilang agak kolot. Orangtua saya nggak
pernah
benar-benar membahas tentang itu, tetapi kami memiliki pemahaman yang
sama
tentang hal tersebut.”
Reilley
mendengarkan penjelasanku dengan seksama. “Apakah kamu nggak
pernah
penasaran tentang seks? Maksud saya, seks adalah kebutuhan manusia yang
paling
dasar,” komentarnya.
Aku
tertawa. “Saya berbohong kalau berkata saya tidak penasaran tentang itu,
tetapi
ada banyak cara untuk menjawab rasa penasaran itu.”
“Contohnya?”
“Are you seriously asking me this
question?”
“Ya.
Saya kehilangan keperjakaan saya ketika berumur enam belas tahun
dengan
seorang cewek bernama Tara. Dia seorang senior dan „hot‟ sekali. Kami
nggak
bisa lepas satu sama lain selama sebulan penuh. Dengan berbagai tawaran
hormon
dan obat vitalitas yang merajalela, we
can‟t keep our hands off each other for
long. Jadi, saya nggak mengerti bagaimana kamu bisa tetap menjadi
perawan sampai
selama
ini.”
Mau
tidak mau aku tertawa. “Kok hanya sebulan?” tanyaku penasaran.
“Dia
lulus dan pindah ke luar kota. Saya nggak pernah bertemu dengannya lagi
setelah
itu.” Reilley tersenyum ketika menjawab pertanyaanku. “Anyway, back to you.
Bagaimana
kamu... memuaskan rasa penasaran kamu?”
“Kamu
pernah tahu buku yang berjudul Kama
Sutra?”
“Kamu
belajar tentang seks dari Kama
Sutra?” Reilley terlihat terkejut, bahkan
tidak
percaya.
“Oke...
mengapa sih setiap kali saya bilang ke laki-laki bahwa saya tahu
tentang...
tentang... sastra untuk orang dewasa, mereka selalu memandang saya
seperti
ini? Reaksi Brandon juga sama seperti kamu. Eh, bukannya kamu ada di sana
ketika
saya bertengkar dengan Brandon? Kami kan membicarakan tentang statusku
sebagai
perawan, tetpai mengapa kamu kelihatan kaget ketika saya
menyinggungnya
lagi beberapa menit yang lalu?”
“Saya
memang ada di sana, tetapi saya nggak bisa mendengar semuanya. Lagi
pula,
saya ingin memberikan kamu sedikit privacy. Kamu ingat kan saya seharusnya
nggak
ada di sana?”
“Oh,
benar juga.” Penjelasan Reilley memang masuk akal.
“Untuk
menjawab pertanyaan kamu yang pertama. Saya kaget karena...
karena...”
“Karena
saya orang Asia dan masih perawan, dan seorang perawan seharusnya
buta
tentang hal-hal seperti ini. Apakah itu yang akan kamu katakan?” Aku
mencoba
membendung kejengkelanku. Ternyata bukan hanya Brandon yang
berpendapat
seperti itu, Reilley juga.
“Di
antaranya,” ucap Reilley dengan hati-hati.
“Ada
alasan lainnya?” Suaraku sudah semakin meninggi.
“Well... you also look so sweet dan pendiam. Saya nggak yakin bila perempuan
seperti
kamu akan menikmati hal-hal seperti itu.”
“Eh,
saya kasih tahu ya tentang kami, para perempuan yang „sweet‟ dan
„pendiam‟,” aku sengaja memberikan penekanan pada dua kata sifat itu, “sekali-kali
kami
juga menikmati sesuatu yang romantis dan sedikit edgy.”
“Saya
pernah menonton film Kama Sutra, nggak ada yang romantis tentangnya
sama
sekali. Itu cerita tragedi,” komentar Reilley.
“Saya
juga pernah menonton film itu, dan menurut saya itu romantis,” balasku.
“Kalau
kamu pikir bahwa film itu romantis, kamu jelas-jelas punya opini
tentang
romantisme yang agak nggak wajar.”
“Oke.
Menurut kamu apa yang menjadikan sebuah cerita itu romantis?”
tantangku.
“Oh,
coba saya pikir... mungkin sebuah cerita yang nggak berakhir dengan
KEMATIANi,
salah satu karakter utamanya,” jawab Reilley, sambil menekankan
kata
„KEMATIAN‟.
“Jadi,
bisa saya simpulkan kamu bukan fansnya Romeo
and Juliet, ya?” Kalau
sampai
Didi tahu aku sedang membela Shakespeare, dia mungkin akan tertawa
sampai
keluar air mata. Didi tahu, pemahamanku tentang romantisme jauh berbeda
dengan
norma umum. Ketika aku berkata bahwa Maria dan Kapten Von Trapp
adalah
pasangan paling romantis yang pernah aku lihat, Didi tidak bisa berhenti
tertawa
selama berhari-hari.
“Hell, no. Itu cerita paling goblok yang pernah ditulis. Hanya perempuan
saja
yang
akan berpendapat bahwa cerita itu romantis.
“Kamu
sadar kan Shakespeare itu laki-laki?”
“Saya
juga yakin dia gay,” balas Reilley.
“Shakespeare
bukan gay. Dia laki-laki yang sangat sweet
dan tahu cara
melelehkan
hati wanita,” bantahku.
“Dia
tahu cara membuat mereka menangis sampai seember,” gerutu Reilley.
“Oke,
kok kita berdebat tentang ini sih?”
Reilley
terdiam sejenak, kemudian berkata,” I
seriously have no idea.” Dia
kemudian
tertawa terbahak-bahak. Mau tidak mau aku pun tertawa setelah
menyadari
hal ini.
“Kita
tadi sedang bicara tentang apa sih? Kok tahu-tahu akhirnya kita diskusi
tentang
ini?” tanya Reilley, setelah tawanya reda.
Aku
mencoba berpikir sejenak, “I
have no idea,” ucapku akhirnya, yang langsung
disambut
tawa kami berdua lagi. Aku lalu menyandarkan tubuhku di dadanya.
Reilley
langsung mengangkat tangannya untuk memeluk bahuku dan mencium
keningku.
“Apakah
kamu ada alasan tertentu, mengapa kamu nggak mau pergi ke
Wilmington?”
bisiknya.
Aku
menarik napas panjang, dan menggeleng.
“Apakah
kamu nggak ingin melihat rumah saya?” bisik Reilley lagi.
Aku
sebetulnya sangat ingin melihat rumahnya. Aku hanya khawatir
bagaimana
menghabiskan waktu dua hari dua malam bersamanya di rumahnya itu.
Sekali
lagi aku menggeleng.
“Is it me then?” Suara Reilley terdengar putus asa. Aku bisa merasakan tubuh
Reilley
menegang menunggu jawabanku.
“It‟s not you,” jawabku, dan aku bisa merasakan Reilley mengembuskan napas
lega.
“Saya
ingin kamu pergi ke Wilmington dan melihat rumah saya karena saya
cinta
rumah itu. Ukurannya kecil, putih, dan dekat pantai. Itu satu-satunya tempat
di
mana saya bisa merasa damai. I
just want to share that with you.”
Setelah
mendengar penjelasan seperti itu tentunya aku tidak mampu menolak
undangannya,
meskipun aku tetap merasa belum siap. Mengundang laki-laki
menginap
di rumahku masih tergolong tidak berbahaya karena mereka berada di
daerah
kekuasaanku, tetapi menginap di rumah laki-laki yang baru aku kenal
selama
satu bulan membuat perasaanku tidak nyaman. Satu bulan? Baru selama
itukah
aku mengenal Reilley? Mengapa aku merasa seperti sudah mengenalnya
selama
bertahun-tahun? Aku mencoba mencari penjelasan atas keraguanku
menerima
undangan Reilley, tetapi aku tidak bisa menemukan alasan yang masuk
akal.
*
* *
Pada
hari Sabtu (akhirnya aku mengambil keputusan berangkat hari Sabtu pagi
bukan
Jumat malam, dengan begitu aku hanya akan menginap satu malam di
rumah
Reilley), tanggal 14 Februari, pukul sebelas siang aku melangkahkan kaki
memasuki
sebuah rumah pinggir pantai paling cantik, yang aku pernah lihat
sepanjang
hidupku. Seperti pada umumnya rumah yang berada di tepi pantai,
rumah
ini juga merupakan rumah panggung satu lantai dengan teras berpagar yang
berlantaikan
kayu. Ada ayunan yang bisa diduduki dua orang di satu sisi teras itu,
dan
dua kursi serta sebuah meja yang terbuat dari kayu bercat putih di sisi
lainnya.
Udara
yang meskipun dingin segar berembus dari pantai. Aku menarik napas
dalam-dalam.
Ketika
aku melangkah masuk ke dalam rumah itu aku melihat ruang TV ada di
sebelah
kanan, dengan sofa putih yang kelihatan sangat nyaman diduduki. TV
plasma
berukuran super-besar menempel pada dinding, di bawahnya ada DVD-CD
player berteknologi tinggi. Di sebelah kiri ada meja makan untuk enam
orang, yang
terbuat
dari kayu bercat putih dan ditutupi taplak yang terbuat dari karung goni
berwarna
putih pudar dengan garis-garis biru. Di sebelah ruang makan itu ada
dapur
terkomplet yang aku pernah lihat. Ada microwave/oven, kompor dengan
empat
tungku yang dilengkapi dengan panggangan, dua bak cuci piring, sebuah
pencuci
piring otomatis, dan lemari es dua pintu. Segala sesuatunya dalam rumah
itu
berwarna putih dan biru tua.
Reilley
mengajakku melihat kamar tidur utama, yang memiliki tempat tidur
terbuat
dari kayu antik berwarna cokelat tua dengan empat buah tiang di setiap
sudutnya.
Satu sisi kamar itu terbuat dari kaca dengan sebuah pintu geser menuju
ke
teras terbuka, yang memiliki tangga untuk turun langsung ke pantai. Aku
melongokkan
kepalaku ke dalam kamar mandi, ada dua wastafel dan bathtub yang
cukup
untuk empat orang. Ada juga shower
superbesar melengkapi satu sisi kamar
mandi
itu.
Reilley
meletakkan tasku di atas sebuah meja, di sebelahnya aku melihat pintu
menuju
sebuah lemari walk-in. Aku baru menyadari bahwa semua lantai rumah
tersebut
terbuat dari ubin tanah liat, tetapi kamar tidur ini terbuat dari lantai kayu.
Aku
lalu berjalan menuju pintu kaca.
“This is beautiful,” ucapku, sambil mendorong pintu geser itu ke kiri dan
melangkah
ke luar ke teras.
Kuletakkan
tanganku di atas pagar teras dan menarik napas dalam.
“I‟m glad you like it.” Reilley langsung melingkarkan lengan kirinya pada
pinggangku.
“Kamu
sudah berapa lama punya rumah ini?” Mataku menyapu pantai yang
kelihatan
sepi. Hanya ada beberapa orang yang sedang berjalan-jalan karena udara
masih
terlalu dingin untuk berenang.
“Saya
membelinya dua tahun lalu dari sepasang kakek-nenek yang
memutuskan
pindah ke Florida karena mereka nggak tahan lagi cuaca yang dingin.”
“Sepi
dan damai sekali di sini. Apa selalu seperti ini?”
“Biasanya
ramai kalau musim panas waktu liburan sekolah dan cuacanya tidak
terlalu
dingin, tetapi biasanya ya memang seperti ini sepanjang tahun.”
Kusandarkan
kepalaku pada dada Reilley, dan menutup mataku. Kurasakan
Reilley
mengeratkan pelukannya, dan meletakkan dagunya di atas kepalaku.
“Kamu
sedang berpikir apa?” tanyanya.
“Aku
sedang berpikir, sekarang aku tahu mengapa orang punya rumah pantai.
Tempat
ini cocok untuk bersantai dan melarikan diri dari kesibukan.”
“Kedengarannya
puitis sekali.”
Aku
tertawa. “Mungkin udara pantai sudah mengacaukan otakku.” Reilley pun
tertawa
mendengar balasanku. Kami lalu terdiam, dan menikmati keheningan
ditemani
bunyi deburan ombak yang teratur serta teriakan burung camar yang
tinggi
melayang.
Tiba-tiba
aku teringat lagu Burung Camar, yang didendangkan Vina
Panduwinata.
Aku mencoba mengingat liriknya.
Burung camar, tinggi melayang
Bersahutan di balik awan
Aku
tidak bisa ingat lagi kata-katanya selain dua baris itu. Tiba-tiba Reilley
bertanya,
“Kamu sedang nyanyi apa?”
“Aku
nyanyi?” Aku membuka mataku kembali. Aku tidak menyadari kalau aku
sudah
mengeluarkan suara ketika menyanyikan lirik lagu itu.
“You were humming. Lagu apa?”
“Lagu
lama penyanyi Indonesia. Lagunya tentang burung camar,” jelasku.
“Saya
nggak pernah dengar kamu omong dalam bahasa Indonesia sebelumnya.
Bisa
kamu nyanyikan lagu itu untuk saya?”
“Kamu
sudah pernah dengar saya berbicara dalam bahasa Indonesia kalau saya
mengobrol
dengan adik saya di telepon. Saya nggak bisa menyanyikan lagu itu
untuk
kamu, saya nggak ingat liriknya,” balasku.
“Saya
nggak pernah bisa menangkap kata-katanya kalau kamu sedang
mengobrol
dengan adik kamu. Kamu omongnya terlalu cepat, dan kadang-kadang
dicampur
dengan bahasa Inggris. Saya selalu berpikir, bagaimana kamu bisa gontaganti
bahasa
segampang itu,” ucap Reilley.
“Well, saya juga nggak mengerti kalau kamu sudah mulai omong dalam
bahasa
Prancis.
Jadi, kita impas,” ujarku, mengganggu Reilley. Aku tahu Reilley ingin sekali
belajar
bahasa Indonesia agar dia bisa memahami percakapanku dengan Didi, tetapi
aku
selalu menolak mengajarinya karena aku tidak mau dia tahu bahwa biasanya
topik
utama pembicaraanku dengan Didi adalah dirinya.
“Suatu
hari nanti saya akan telepon adik kamu dan minta dia mengajari saya
lewat
telepon,” gerutu Reilley.
“Kamu
sudah lapar belum?” tanyaku, sengaja mengganti topik.
Reilley
mengembuskan napasnya sebelum menjawab, “Starving,” sambil
menundukkan
kepalanya, dan mulai menciumi leherku. Setelah mengenal Reilley
selama
enam minggu ini, aku tahu dia agak sedikit terobsesi dengan leherku.
Menurut
dia, leherku bagian dari tubuhku yang paling seksi, selain bibirku
tentunya.
Saat
itulah kulihat seseorang melambaikan tangannya kepada Reilley, kemudian
bergegas
mendekati kami. Ada sesuatu yang familiar dengan wajah orang itu. Aku
tahu,
aku pernah bertemu dengannya sebelum ini. Di mana, ya? Aku langsung
menyikut
Reilley agar menghentikan apa yang sedang dilakukannya. Aku tidak
akan
pernah terbiasa dengan kebiasaan orang-orang Barat untuk mempertontonkan
hubungan
cinta mereka kepada semua orang.
“Someone‟s coming,” bisikku.
“So?” Bibir Reilley masih menempel pada leherku.
“So you need to stop. Ini nggak sopan,” jelasku.
“Kata
siapa?”
“Kata
siapa,” geramku.
“Kalau
saya berhenti, would you allow me to explore your
neck further later?”
Aku
tidak percaya kami sedang bernegosiasi tentang ini. “Fine.”
Reilley
pun mengangkat bibirnya dari leherku, dan mengalihkan perhatiannya
kepada
laki-laki yang sedang berjalan mendekati.
“Hey, man, I don‟t know you‟re back,” ucap laki-laki itu, sambil menaiki tangga.
“Just for the weekend. Jack, this
is Titania.” Reilley memperkenalkan diriku kepada
temannya
itu.
“Hello, I‟m Jack,” ujar laki-laki itu, sambil mengulurkan tangannya.
“Titania,”
balasku, dan menjabat tangan Jack yang kelihatan seperti panda.
PANDA!!!
“Oh, my God.” Tanpa aku sadari, aku sudah mengucapkan kata-kata itu.
Khawatir
bahwa genggaman tangannya terlalu keras, Jack langsung melepaskan
tanganku.
“Titania, ada apa?” tanya Reilley khawatir.
Aku
tidak menghiraukan Reilley, dan mengajukan pertanyaanku kepada Jack.
“Apakah
kamu pernah menonjok orang di restoran di Winston sekitar sembilan
bulan
yang lalu?”
Kulihat
Jack memicingkan matanya sebelum menjawab, “Ya, pernah. Itu
tonjokan
yang paling pantas saya berikan sepanjang hidup saya.”
Kulihat
Reilley menatapku bingung. Kemudian tiba-tiba dia berkata, “Nggak
mungkin...
kamu....”
“Feisty little lady,” ucap Reilley dan Jack bersamaan, kemudian tertawa
terbahakbahak.
Kini
giliranku yang menatap mereka berdua dengan bingung. Mengapa mereka
tertawa?
“Bagaimana
bisa sih saya nggak mengenali kamu sebelumnya.” Reilley
mengatakan
hal ini dengan wajah terkesima sambil menggeleng.
“Rambutnya
lebih pendek sekarang,” ucap Jack.
“Dia
pakai kacamata hitam hari itu,” lanjut Reilley. “Dia juga kelihatan lebih
kecil
hari itu,” sambung Reilley.
“Dia
nggak pakai sepatu hak waktu itu,” balas Jack.
“Oke,
kalain berdua sedang membicarakan apa sih?” tanyaku, mulai sedikit
jengkel
karena mereka jelas-jelas sedang membicarakan diriku, seakan-akan aku
tidak
berada di situ. Reilley menatapku sambil tersenyum.
“She still feisty I give you that,” ucap Jack lagi.
“Yep,” balas Reilley.
“Apakah
laki-laki itu masih mengganggu kamu lagi setelah hari itu?” tanya Jack
kepadaku.
“Sayangnya,
ya,” balasku pendek karena masih terlalu kesal untuk mengatakan
apa-apa
lagi.
“She kicked him in the balls the
second time,” sambar Reilley.
“Oh,
ya?” Jack terdengar kagum sambil menatapku. “Baguslah. Dia pantas
menerimanya,”
lanjutnya.
“Apa
maksud kamu ketika berkata kamu tidak mengenali saya sebelumnya?”
tanyaku
kepada Reilley.
“Aku
laki-laki yang menanyakan, apakah kamu baik-baik saja,” jawab Reilley
enteng.
“WHAAATTTT?”
“Hei,
aku musti pulang nih. Istriku menunggu untuk makan siang sama-sama.
I‟ll see you both of you around,” ucap Jack, sambil menepuk bahu Reilley. Mungkin ini
hanya
perasaanku saja, tetapi kelihatannya dia mengedipkan mata kanannya
kepada
Reilley.
“Nice to meet you... again,” ujar Jack kepadaku, kemudian menuruni tangga dan
berjalan
menuju arah kanan.
Begitu
Jack hilang dari pandangan, aku langsung menarik Reilley masuk ke
dalam
rumah.
“Kamu
laki-laki yang pakai topi baseball?” teriakku. Ternyata ketika Reilley
mengatakan,
“It was my pleasure,” setelah membantuku mengganti ban mobilku
memoriku
langsung bisa mengingat kembali kata-kata yang diucapkan Jack, “It was
our pleasure,” setelah membantuku mengatasi Brandon hari itu. Tidak
disangkasangka
ternyata
aku sebetulnya telah bertemu dengan Reilley sembilan bulan yang
lalu.
“Topi
baseball? Saya nggak ingat kalau saya pakai topi hari itu,” balas
Reilley
sambil
nyengir.
“Saya
ingat,” omelku. “Saya ingat Jack karena dia mengingatkan saya pada
seekor
panda. Berkaitan dengan kamu, karena saya nggak bisa lihat wajah kamu,
maka
saya hanya ingat kamu pakai topi baseball
Wake Forest,” lanjutku.
“Menurut
kamu, Jack mirip panda?” Reilley kelihatan sangat terhibur dengan
arah
percakapan ini.
“Ya,
matanya dalam dan dia agak... tunggu sebentar, are you trying to distract
me?”
“Is it working?” Reilley menarikku ke dalam pelukannya. Punggungku
bersandar
pada dadanya.
“Nggak!!!
Saya perlu... ahhh....” Reilley sudah menenggelamkan wajahnya di
leherku,
dan aku tidak bisa berpikir lagi.
“Kamu
perlu apa?” Tangan kanannya sudah menyentuh payudaraku.
“Saya...
ahhh....” Reilley sedang mengelus payudaraku. Tanganku kemudian
naik
dan menarik kepala Reillely lebih membungkuk. Kusandarkan kepalaku pada
bahunya
dan kudekatkan bibir Reilley pada bibirku.
Reilley
menggeram, dan memutar tubuhku sehingga dadaku menempel pada
dadanya.
Aku tidak tahu bagaimana kami sampai di kamar, tahu-tahu aku sudah
ada
di atas tempat tidur dan tubuh Reilley sedang menekan seluruh tubuhku di atas
kasur.
“Titania,”
ucapnya pelan, dan perlahan-lahan tangannya masuk ke balik sweaterku.
Salah
satu dari kami biasanya langsung berhenti sampai di situ saja, tetapi tidak
hari
ini. Tangan Reilley terus naik melewati perutku, sementara lidahnya sedang
mengeksplorasi
mulutku. Otakku berteriak aku harus berhenti, tetapi bukan
menghentikan
Reilley aku justru menarik kepala Reilley ke arahku agar aku bisa
menciumnya
lebih dalam. Tangan Reilley meraba punggungku, dan melepaskan
kait
BH-ku.
“I need to touch you,” bisik Reilley. Aku hanya mendesah. Tanpa ada kain sehelai
pun
di antara telapak tangannya dan kulitku, aku bisa merasakan efek penuh
sentuhan
kulitnya yang agak kasar pada kulitku. Sentuhan itu membuatku sulit
bernapas.
Tidak ada laki-laki mana pun yang pernah aku perbolehkan
menyentuhku
seperti ini, bahkan Brandon pun tidak.
“Oh, my God,” ucapku, dan menarik sweater
Reilley. Aku mulai mengeksplorasi
punggungnya
di balik sweater itu. Aku bisa merasakan otot-otot yang menegang
beberapa
detik, kemudian relaks dan menerima sentuhanku. Punggung Reilley
terasa
halus di bawah telapak tanganku. Kemudian aku menarik tanganku dan
pindah
ke dada Reilley. Lalu pada satu detik aku bisa merasakan tangan Reilley
sedang
mencoba membuka kancing celana jeans-ku, dan pada detik selanjutnya
Reilley
sudah menghilang dari hadapanku. Meninggalkanku dengan napas yang
memburu,
dan otak yang terlalu beku untuk memikirkan apa yang sedang terjadi.
Perlahan-lahan
aku bangun dari posisi tidurku, dan melihat Reilley sedang
berdiri
dengan napas terengah-engah sekitar lima meter dariku. Dia sedang
menatapku
sambil mengerutkan dahinya.
“Sori,
saya seharusnya berhenti,” ucapku pelan.
“Nggak,
saya yang seharusnya berhenti,” balas Reilley pendek. Ekspresi di
wajahnya
terlihat antara marah, bingung, dan penasaran.
Aku
ingin menghapus ekspresi itu dari wajahnya dengan pelukanku. Aku lalu
melangkah
turun dari tempat tidur, dan berjalan ke arahnya. Akan tetapi, ketika aku
berjalan
satu langkah mendekatinya, Reilley mundur selangkah juga. Aku tahu
mungkin
Reilley hanya sedang mencoba mengontrol emosinya. Oleh karena itu, dia
tidak
bisa terlalu dekat denganku pada saat ini, tetapi tindakannya tetap membuat
perutku
tiba-tiba mual. Dia membuatku merasa seolah-olah ini semua salahku,
akulah
penyebab mengapa dia begini.
“I‟ll just get out of your way then,” ucapku, lalu berjalan menuju kamar mandi.
Reilley
tidak mencoba menarikku ke pelukannya, dan menjelaskan ini semua bukan
salahku
seperti yang aku harapkan. Dia membiarkanku melangkah pergi.
Kukunci
pintu kamar mandi, duduk di atas toilet, dan menenggelamkan
wajahku
di kedua telapak tanganku. Aku sudah siap menangis. Bagaimana
mungkin
hari yang dimulai dengan sangat menjanjikan menjadi seperti ini? Kami
bahkan
belum berada di rumah ini selama stau jam, dan kami sudah melalui situasi
yang
tidak mengenakkan. Selama enam minggu bersamanya, inilah pertama kalinya
kami
bertengkar. Ini bahkan tidak bisa dikategorikan sebagai suatu pertengkaran
karena
tidak ada satu pun dari kami yang berteriak-teriak. Kalau begitu, mengapa
ini
justru membuat hatiku menjadi semakin gelisah?
Aku
lalu menyadari, ternyata Reilley telah menanggalkan kait BH-ku dan
kancing
celana jeans-ku. Buru-buru kupasang kembali kait dan kancing itu, dan
berdiri
mencuci mukaku di wastafel. Karena wastafel itu lebih tinggi daripada
wastafel
yang ada di apartemenku, aku terpaksa berjinjit agar bisa membungkukkan
tubuhku
di atasnya ketika mencuci muka tanpa membasahi bajuku. Setelah
mengusap
wajahku dengan handuk, aku lalu merapikan wajahku di depan cermin.
Sudah
biasa bagi orang yang sedang pacaran bertengkar, kucoba meyakinkan
diriku.
Kutegakkan bahuku, dan melangkah ke luar kamar mandi. Kulihat Reilley
sudah
menghilang dari kamar tidur. Aku pun berjalan ke luar kamar, dan melihat
Reilley
sedang berdiri di dapur. Perlahan-lahan aku mendekatinya. Reilley kelihatan
serius
sambil menatap karton telur yang ada di hadapannya, seakan-akan dia tidak
mendengar
langkahku.
“Kamu
nggak bisa menggodok telur dengan mata kamu, Reilley,” komentarku,
seceria
mungkin.
Kulihat
Reilley tersentak karena kaget. Aku berpura-pura tidak melihat
reaksinya
itu, dan mengambil karton telur dari hadapannya.
“Kita
bisa bikin omelet,” ucapku, masih dengan nada ceria.
“Sure,” balas Reilley. Dia kelihatan terkejut mendengar nadaku yang
ceria.
“Apakah
ada makanan lain yang bisa dimakan dengan telur?” Kupaksa mataku
menatapnya.
“Kayaknya...
saya nggak tahu juga... Sudah lama saya nggak ada di rumah,”
ucapnya
tergagap. Reilley lalu berjalan menuju lemari es.
“Apa
yang kamu punya di dalam sana?” tanyaku.
“Mentega,
keju, tomat, susu, tunggu... lupakan susunya, soalnya sudah
kadaluarsa
beberapa hari yang lalu. Itu saja,” jawab Reilley, sambil melemparkan
botol
susu yang masih setengah penuh ke dalam tempat sampah.
Aku
mulai menurunkan wajan dari gantungannya di atas kompor. Sekali lagi
aku
harus berjinjit untuk mencapainya. Kompor itu juga lebih tinggi daripada
kompor
normal.
“Kasih
ke saya semua itu,” ucapku, dan mulai membuka-buka lemari mencari
mangkuk
besar yang bisa digunakan untuk mengocok telur. Kutemukan mangkuk
yang
tepat pada lemari di atas tempat cuci piring. Reilley mengeluarkan mentega,
keju,
dan beberapa buah tomat dari lemari es. Ia meletakkannya semua itu di
sebelah
kompor.
“Kompor
kamu kok tinggi sekali, ya?” tanyaku, sambil mulai memecahkan
beberapa
buah telur ke dalam mangkuk.
“Apakah
terlalu tinggi untuk kamu?” Reilley terdengar khawatir.
“Sedikit.
Ini kan rumah kamu. Mungkin kamu merasa seperti raksasa di rumah
saya.”
Tanpa
kusangka-sangka, Reilley lalu mengeluarkan sebuah stool setinggi 30
sentimeter
dari lemari yang tersembunyi di sudut dapur.
“Apakah
ini bisa membantu?”
“Yes,” ucapku, lalu mengambil stool itu
dari genggamannya. Aku
meletakkannya
di atas lantai, dan naik ke atasnya. Aku langsung merasa lebih
nyaman
karena sekarang kompor itu berada satu level dengan perutku.
“Apa
lagi yang kamu perlukan?” tanya Reilley.
“Saya
perlu pemarut keju, pisau, dan talenan,” balasku.
Dalam
sekejap mata ketiga benda itu sudah ada di sampingku.
“Ada
yang bisa saya bantu?” Seperti biasa Reilley selalu mencoba membantuku
memasak.
“Kamu
bisa memarut kejunya ke dalam mangkuk telur, sementara saya
memotong
tomat.”
Reilley
langsung memarut keju cheddar itu, dan aku pun mulai memotong tomat.
Kami
bekerja dalam diam.
“Apakah
ini cukup?” tanya Reilley, setelah beberapa menit.
Aku
melirik dan mengangguk. “Oke, biar saya yang kerjakan itu. Bisa tolong
ambil
piring dan susun tomat ini di atasnya?”
“Sure.” Reilley lalu berjalan menuju salah satu lemari, dan
mengeluarkan dua
buah
piring. Dia juga mengeluarkan dua buah garpu dari dalam laci.
Sekali
lagi kuaduk telur bercampur keju, kemudian menaburkan garam dan
merica
di atasnya. Kupotong sebongkah mentega dan memasukkannya ke dalam
wajam,
lalu memanaskan wajan itu. Perlahan-lahan aku mulai menuangkan telur ke
atas
wajan itu. Aroma keju dan telur langsung menyelimuti dapur.
“That smells good,” ucap Reilley. Mau tidak mau aku langsung tertawa. Reilley
ikut
tertawa bersamaku, dan cair sudah bongkahan es yang membatasi kami.
Aku
membalik omelet itu untuk memastikan semua bagiannya telah matang
dengan
sempurna. Seperti juga diriku, Reilley kurang suka makan makanan yang
setengah
matang. Kami selalu makan makanan yang benar-benar matang atau welldone.
Aku
lalu memotong telur itu menjadi dua bagian. Seperti biasa, bagian Reilley
kubuat
lebih besar daripada bagianku. Aku tidak tahu di mana dia menyimpan
semua
makanan itu karena meskipun makannya banyak, dia tidak pernah kelihatan
gendut.
Sedangkan aku, hanya makan sedikit saja langsung harus sit-up lima puluh
kali
kalau tidak mau perutku semakin buncit. Dunia ini memang tidak adil.
Reilley
lalu mengangkat kedua piring itu ke meja makan.
“Why don‟t you sit down. Saya ambilkan kamu minuman,” ucapnya, sambil
menatapku
tajam ketika aku mencoba protes.
Aku
duduk di kursi makan. Reilley meletakkan piring di hadapanku dengan
satu
garpu dan satu serbet berwarna biru. Dia melakukan hal yang sama dengan
piring
dan peralatan makan untuknya, kemudian berjalan menuju lemari es.
“Oke,
kita ada heineken, absolute vodka, dan jus apel. Kamu mau yang mana?!”
teriaknya.
“Jus
saja. Jangan pakai es,” jawabku.
Tiga
puluh detik kemudian Reilley menggenggam botol jus apel di tangan
kanannya,
dan satu gelas tinggi di tangan kirinya. Dia mengantongi satu botol
heineken di kantong celana jeans-nya.
“Thank you,” ucapku, ketika Reilley menuangkan jus apel untukku.
“No... thank you,” balas Reilley, sambil duduk di kursi makan dan membuka
botol
birnya.
“Hari
ini rencananya kita ingin melakukan apa?” tanyaku dan memasukkan
satu
suap telur ke dalam mulutku.
“Mmmhhh... I‟m thinking that we
should drive to town and look around. They used to
shoot....”
“Dawson‟s Creek di Wilmington. Ya, saya tahu,” potongku.
“Ya.
Saya rasa semua orang tahu tentang itu, ya.” Reilley terdengar kecewa.
“Sebetulnya,
saya nggak tahu sama sekali tentang itu sampai adik saya kasih
tahu
ke saya.”
“Apakah
kamu pernah menonton seri itu?” Reilley terdengar sedikit bersemangat.
“Nggak
sama sekali. Saya masih sibuk nonton Beverly
Hills 90210 saat itu,”
jelasku.
Reilley
tertawa, “Oh, saya ingat seri itu. Saya selalu berpendapat Brenda „hot‟.”
Aku
pun tertawa. “You like slutty girls huh?” candaku.
“Brenda wasn‟t slutty. Nah, kalau Kelly berbeda. Dia merebut Dylan dari
Brenda.”
“Kamu
masih ingat itu?” Aku tidak menyangka laki-laki seperti Reilley suka
menonton
serial TV semacam itu.
Reilley
tersenyum tersipu-sipu. “Kadang-kadang otak saya suka menyimpan
informasi
yang nggak mutu.”
“Informasi
nggak mutu lains eperti apa lagi yang ada di otak kamu?” tanyaku
penasaran.
“Kamu
betul-betul mau dengar?” tanya Reilley bingung.
“Ya.
Siapa tahu informasi itu bisa berguna suatu hari nanti,” jelasku.
Reilley
terlihat serius sebelum mengatakan, “Kamu tahu lagu Goo Goo Dolls
yang
berjudul Black Balloon?”
“Saya
tahu beberapa lagu Goo Goo Dolls, tetapi saya nggak tahu judulnya.
Mungkin
saya bisa mengenali lagunya kalau kamu nyanyikan untuk saya,”
jawabku.
“Seperti
ini lho... Baby‟s black balloon makes her
fly. I almost fell into that hole in your
life.” Reilley hanya perlu menyanyikan dua baris, dan aku bisa
langsung mengenali
lagu
itu.
“Oh,
yang itu judulnya Black Balloon?” tanyaku kepadanya.
Reilley
mengangguk. “Apa kamu tahu maksud lagu itu?” sambungnya.
“Tentang
seorang cewek, kan?” tanyaku ragu. Kulihat Reilley menggeleng.
“Kalau
begitu, tentang apa dong?” lanjutku.
“Lagu
itu tentang bagaimana rasanya saat menggunakan narkoba,” jawab
Reilley.
“No, it‟s not,” bantahku. “Kamu pasti mengarang deh.” Mana mungkin ada
orang
menulis lagu hits, yang mengakui mereka pernah menggunakan obat-obatan
terlarang?
Kemudian aku ingat, ada band dari Afrika Selatan yang menulis lagu
tentang
bagaimana rasanya kalau sedang ML.
Reilley
mengangkat bahunya. “John Rzeznik yang bilang sendiri kok.”
“John who?”
”Rzeznik,”
ulang Reilley. “Dia lead singer Goo Goo Dolls,” lanjut Reilley ketika
melihat
muka bingungnya.
“Oh, the hot dude,” ucapku.
“Menurut
kamu John Rzeznik „hot‟?” Kini giliran Reilley yang terlihat bingung.
“Superhot. Dia itu... mmmhhh.... Nggak tahu deh... misterius mungkin.
Dia
seolah-olah
tahu sesuatu yang kita nggak tahu. Saya suka sekali bibirnya.” Aku
sengaja
mengucapkan ini untuk melihat reaksi Reilley, yang sekarang sedang
menatapku
seakan-akan aku baru saja mengatkaan bahwa Gollum, karakter
antagonis
di film The Lord of the Rings, kelihatan cute.
“Bibirnya?”
Reilley meletakkan garpu di atas meja.
“Ya,
bibirnya. Kayaknya enak dicium, dan rambutnya...” Aku mencoba
menahan
tawaku.
“Rambutnya?”
Mata Reilley sudah membelalak.
“Kamu
nggak akan mengerti betapa „hot‟-nya dia karena kamu laki-laki,”
balasku
cuek.
“You‟re right. I don‟t. Saya bisa mengerti kalau misalnya kamu bilang...
mmmmhhh...
siapa tuh orang Inggris yang main di film bareng Kiera Knightley?”
Reilley
mengetuk-ngetuk kepalanya dengan jari telunjuknya, mencoba mengingatingat.
“Film
Kiera Knightley kan ada banyak. Kamu harus lebih spesifik,” ucapku.
“It was a medieval movie,” lanjut Reilley.
“King Arthur?” tebakku.
“Ya,
itu dia!” teriak Reilley antusias. “Kamu ingat siapa pemeran utama lakilakinya?”
“Clive
Owen,” jawabku.
“Ya,
benar banget,” Reilley mengkonfirmasi jawabanku. “Nah, kalau kamu
bilang
dia „hot‟, saya bisa mengerti.”
“Menurut
saya, Clive Owen memang hot, tetapi berbeda tipenya dari penyanyi
Goo
Goo Dolls,” jelasku.
“Ada
tipe yang beda-beda?”
“Tentu
saja ada. Kami para wanita kan sebetulnya nggak terlalu berbeda dengan
laki-laki.”
Aku menggunakan kata-kata yang sering diutarakan oleh profesorku di
kelas
Women‟s Studies. Profesor itu mungkin akan tertawa terbahak-bahak bila
mengetahui
aku telah mengutip kata-katanya. Pada tahun pertama di universitas,
kami
semua diwajibkan mengambil kelas yang berhubungan dengan unsur-unsur
kemanusiaan.
Entah bagaimana aku berakhir di kelas itu. Setelah dua minggu aku
harus
mengajukan permintaan pertukaran kelas karena pikiranku tidak sejalan
dengan
profesor itu. Menurut aku, laki-laki dan perempuan adalah dua spesies yang
sangat
berbeda, yang tidak seharusnya berbagi planet.
Kulihat
Reilley masih menungguku menyelesaikan argumentasiku. “Oke,
pertimbangkanlah
seperti ini. Apakah menurut kamu Jennifer Lopez hot?” tanyaku
kepada
Reilley.
“Duuuh... do you need to ask?” balas Reilley sarkasme.
Tanpa
menghiraukan nada Reilley, aku melanjutkan, “Oke... sekarang apakah
menurut
kamu Catherine Zeta-Jones hot?”
“Catherine
Zeta-Jones yang mana, ya?” tanyanya.
“Istri
Michael Douglas. Dia main di Zorro,” ucapku, tidak sabaran.
“Oh,
dia. Ya, dia „hot‟,” kata Reilley.
“Nah,
bagaimana kamu bisa menjelaskan itu? Dua wanita yang nggak ada
mirip-miripnya
sama sekali.”
“Tentu
saja mereka nggak mirip. Jennifer
Lopez is more feisty kind of hot whereas
that Zorro lady is more
sophisticated hot,” jelas Reilley.
“Kedua-duanya
hot, kan?” desakku.
Dari
wajahnya aku dapat melihat, Reilley mulai memahami argumentasiku.
“Mengerti
kan maksud saya?” ucapku, penuh kemenangan.
Reilley
mengangkat garpu sambil menggerutu. Seperti juga laki-laki pada
umumnya,
Reilley menolak mengakui kekalahannya. Aku mengangkat garpu
sambil
mencobao menahan senyum.
“Telur
saya sudah dingin deh,” omelnya, sambil menatapku. “And why are you
looking at me like that for?”
“I wasn‟t looking at you like
anything,” balasku, dan memasukkan sesuap telur ke
mulutku
untuk mencegah diriku agar tidak terbahak-bahak.
Kulihat
Reilley menyapu bersih piringnya, meskipun sambil menggerutu. Aku
belum
pernah melihat Reilley ngambek, dan ternyata dia betul-betu lucu kalau itu
sampai
kejadian.
“Jadi,
apa lagi yang ada di Wilmington selain tempat di mana dulu film
Dawson‟s Creek shooting?” Aku mencoba mencari topik baru agar Reilley tidak
terlihat
terlalu jengkel lagi. Ternyata aku berhasil karena wajahnya langsung ceria
dalam
hitungan detik.
“Well, it has it‟s charms. Semu aorang sangat bersahabat, dan sebetulnya mereka
kenal
satu sama lain. I would take you around town once
you finish your lunch,” ujar
Reilley,
sambil tersenyum dan mengangkat piring gelasnya menuju dapur.
“Saya
sudah selesai,” ucapku, setelah memasukkan potongan terakhir telurku
dan mengangkat piring gelas menuju dapur juga.BLIND DATE - PART 10
No comments:
Post a Comment