8
Reilley vs Brandon
HELLO moto... moto... moto... aku terbangun karena mendengar deringan telepon
selularku.
Aku meraba-raba di atas tempat tidur mencari telepon itu. Tanpa melihat
ke
layarnya aku langsung menjawab telepon itu.
“Hello,” ucapku. Suaraku masih serak.
“Hei...
sori membangunkan kamu. Kamu kan minta aku telepon begitu
mendarat.”
Begitu mendengar suara itu kantukku langsung hilang.
“Kamu
telat nggak?” tanyaku, terdengar agak khawatir karena dia terlambat
setengah
jam berangkat dari rumahku.
“Nggak,”
jawab Reilley, kemudian tertawa. Samar-samar aku mendengar suara
perempuan
mengumumkan sesuatu melalui speaker. Reilley sudah sampai di New
York
dengan selamat, pikirku.
“Kamu
ngebut, ya?”
“Sedikit.”
Reilley tertawa terkekeh-kekeh.
Mau
tidak mau aku tertawa juga mendengarnya. Ia sudah sangat ceria pada
pukul
delapan pagi. “Have a safe drive to the city,
okay.” Aku berusaha terdengar ceria
juga.
Kudengar
Reilley tertawa. “I will. Ketemu kamu hari Minggu, ya,” ucapnya.
Kemudian
disusul dengan, “Holy shit.”
Aku
langsung bangun dari posisi tidurku. “Reilley, ada apa?” tanyaku khawatir.
“Dingin
banget di sini, gila,” jawabnya sambil tertawa, aku pun tertawa. Aku
bisa
mendengar bunyi klakson dan kesibukan airport JFK.
“Ketemu
kamu hari Minggu,” ucapku.
“Apa
kamu bilang?!” teriak Reilley.
“Aku
bilang ketemu kamu hari Minggu!” teriakku.
“Ya,
sampai bertemu nanti!” jawabnya, juga dengan berteriak. Setelah itu,
sambungan
itu terpupus.
Kuletakkan
telepon selular itu di atas tempat tidur dan mengusap mataku,
mencoba
mengusir kantuk yang masih tersisa. Tiba-tiba telepon selular itu berbunyi
lagi.
Kulirik nama yang sedang berkedip-kedip di layar.
“Ada
apa, Di?” ucapku pada adikku.
“Dia
sudah pergi, kan?” sahut Didi.
Dalam
hati aku menggeram. Tentu saja Didi mau tahu segala sesuatu tentang
apa
yang terjadi selepas pukul sembilan malam kemarin ketika aku menutup
telepon
darinya. “Sudah. Barusan dia telepon, katanya baru saja sampai di JFK,”
jawabku
pasrah.
“Aaa... nnnddd?” Meskipun aku tidak sedang bertatap muka dengannya, aku
tahu
Didi pasti baru saja memutar bola matanya karena tidak sabaran.
“Kamu
kok tumben sih sudah bangun jam segini? Biasanya kamu tidur sampai
siang
kalau hari Sabtu,” gerutuku.
“Aku
nggak bisa tidur tadi malam memikirkan Mbak dan Reilley,” balas Didi,
nadanya
seolah-olah informasi itu sudah cukup memberikan penjelasan. “Jadi,
bagaimana?”
desaknya lagi.
“Aku
tidur bersama dia,” ucapku. “Maksud aku satu tempat tidur,” lanjutku.
Aku
menelentangkan tubuh dan menatap langit-langit kamar yang berwarna biru.
“Oh... my... gawd,” teriak Didi.
Lalu
aku menceritakan kejadian semalam, di mana Reilley menarikku ke dalam
pelukannya
ketika masih tidur dan tidak melepaskanku lagi. Aku pun akhirnya
tertidur
dalam posisi itu dan terbangun beberapa jam kemudian oleh sinar lampu
yang
berasal dari kamar mandi. Aku menyadari Reilley sudah tidak ada di atas
tempat
tidur. Aku memutar tubuh dan melihatnya sedang mengenakan pakaian di
dalam
gelap hanya dengan bantuan sinar lampu kamar mandi, yang pintunya
dibiarkan
setengah terbuka.
“Pukul
berapa sekarang?” tanyaku kepadanya, dengan suara masih mengantuk.
Reilley
kelihatan terkejut ketika mendengar suaraku, kemudian dia berkata,
“Apakah
saya membangunkan kamu?” Nadanya penuh meminta maaf.
“Nggak
kok,” jawabku, kemudian bangun dari tempat tidur dan menyalakan
lampu
kamar. Aku harus memicingkan mata dan membiasakan dengan sinar lampu
yang
tiba-tiba menerangi kamar. Jam beker menunjukkan pukul tiga pagi.
“Kamu
telat,” teriakku. “Sori, aku lupa menyetel alarmnya,” lanjutku mencoba
meminta
maaf.
Reilley
sedang memasukkan lengannya ke dalam sweater
berwarna hitam
dengan
leher berbentuk V. Dia mengenakan kemeja putih dengan garis-garis biru di
balik
sweater itu. Dia berhenti sesaat dan menatapku.
“Don‟t worry about it,” ucapnya. Ia menampilkan senyumnya, yang seakan-akan
lebih
mematikan karena sekarang kami sedang berada di kamar tidur dengan
penerangan
lampu agak kekuning-kuningan sehingga membuat suasana jadi terasa
agak
sedikit sensual.
“Apakah
kamu ada rencana hari Minggu malam?” tanyanya, sambil berjalan
menuju
tempat tidur. Ia duduk di atasnya, dan mengeluarkan sepasang kaus kaki
berwarna
hitam dari suka celananya.
Aku
mencoba berpikir, apakah aku ada rencana pada hari Minggu malam.
“Kayaknya
nggak ada,” jawabku akhirnya.
“Good. Saya berencana akan mengajak kamu dating lagi.”
“Oh... well... actualy that would
be nice,” ucapku terbata-bata. Reilley tersenyum
melihat
reaksiku.
“Kamu
pilih restorannya. Pesawat saya mendarat sekitar pukul empat di
Raleigh.
Saya akan sampai di sini sekitar pukul enam.” Reilley tidak menatapku
ketika
mengatakan itu semua, perhatiannya fokus pada kegiatannya memakai kaus
kaki.
Mengetahui
bahwa dia harus menempuh jarak dua jam lagi untuk bertemu
denganku,
aku merasa tidak tega. “Apakah kamu yakin ingin bertemu saya lagi?”
Sepasang
mata birunya langsung menatapku. Dia kemudian bangun dari
tempat
tidur dan berjalan ke arahku. Meskipun langkahnya perlahan, aku merasa
agak
sedikit terancam sehingga aku harus mundur selangkah. Melihat langkah
mundurku,
Reilley berhenti melangkah dan berdiri diam sambil menatapku.
“I don‟t know about you, but I like
what we did last night. So I am looking forward to
doing that again,” ucapnya.
Apakah
yang kami lakukan tadi malam? pikirku dalam hati. Seingatku kami
hanya
mengobrol, lalu aku membuatkan dia makan malam. Setelah itu, dia tidur
dengan
aku di dalam pelukannya. Mau tidak mau aku langsung mengalihkan
perhatian
pada tubuhku. Ternyata aku masih memakai piama, yang aku kenakan
tadi
malam, dan pakaian dalamku pun masih lengkap. Phewww... itu
berarti kami
tidak
melakukan apa-apa.
Baru
kemudian aku menyadari, Reilley telah salah mengartikan pertanyaanku
sebagai
suatu penolakan. Mau tidak mau aku tertawa. Reilley menatapku bingung,
dia
kelihatan agak jengkel dengan reaksiku.
“Ada
apa kamu tertawa?” tanyanya datar.
“Saya
nggak pernah bertemu laki-laki seganteng kamu, yang nggak yakin
akan...
akan kemampuannya untuk... untuk dazzle
perempuan dan menyetujui apa
pun
yang dia katakan,” jawabku, di antara tawaku.
“Kelihatannya
ada seorang perempuan yang jaid pengecualian.”
Mendengarnya
menggerutu karenaku, membuat tawaku yang tadinya sudah
cukup
reda muncul kembali. “Kamu nih memang lucu,” ucapku kemudian.
Reilley
menatapku sambil mengernyit. Melihat bahwa dia betul-betul
tersinggung
dengan reaksiku, aku pun berjalan ke arahnya dan memeluknya. Tubuh
Reilley
langsung menjadi sedikit kaku karena terkejut.
“Saya
bertanya soal itu karena saya pikir kamu mungkin capek setelah
penerbangan,
tetapi kalau kamu memang ingin bertemu I
would definitely love to have
you around,” ucapku pelan.
Pelan-pelan
kurasakan tangan Reilley membalas pelukanku. Mungkin ini hanya
perasaanku
saja, tetapi aku merasa Reilley sedang menghirup aromaku sedalamdalamnya.
Aku
pun melakukan hal yang sama.
“Boleh
nggak saya kasih usul untuk date
ini?” Kulonggarkan pelukanku pada
tubuh
Reilley, dan mengangkat kepalaku untuk menatap wajahnya.
“Boleh.”
“Aku
usul kita makan di rumah. Saya akan masak sesuatu untuk kamu.”
“Kamu
mau masak?” tanya Reilley, nadanya terdengar ragu.
Mendengar
nada tidak percayanya, aku melepaskan pelukanku. “Saya yakinkan
masakan
saya nggak....” Aku mencoba membela diri, tetapi Reilley sudah
memotongku.
“Bukan
itu maksud saya,” geramnya.
Kutatap
wajahnya dengan bingung. Aku harus betul-betul melihat ke atas
karena
kami berdiri terlalu dekat. “Jadi, apa dong maksud kamu?” tantangku.
“I was thinking that it was the
most romantic thing anyone has ever done for me,”
ucapnya
dalam satu tarikan napas.
Aku
menatapnya dengan mata melebar. Aku yakin, kalau Didi mendengar katakata
Reilley
mungkin dia akan tidak habis-habisnya tertawa. Menurut Didi, aku
orang
yang paling tidak romantis di seluruh dunia. Aku juga tidak pernah
memikirkan
diriku sebagai orang yang romantis. Jadi, pernyataan Reilley sempat
membuatku
sedikit limbung.
“Saya
buatkan kamu sandwich untuk dimakan di jalan,” ucapku, sambil
melepaskan
diri dari pelukan Reilley.
Aku
baru saja berjalan satu langkah ketika pergelangan tanganku ditarik oleh
Reilley,
dan yang aku rasakan selanjutnya adalah sengatan listrik di sekujur
tubuhku.
Bibir Reilley sudah mencium bibirku, lidahnya bergerak menyapu bagian
dalam
bibirku. Tampaknya dia tidak peduli bahwa aku baru bangun tidur, aroma
mulutku
mungkin tidak segar dan penampilanku pun acak-acakan. Aku hanya bisa
berpegang
pada kedua lengannya dengan sekuat tenaga untuk mencegah agar
diriku
tidak menggelongsor ke lantai. Aku bereaksi membalas ciuman ganas itu.
Merasakan
bahwa aku sedang membalas ciumannya dengan antusias. Reilley
menyisirkan
jari-jarinya pada rambutku. Kemudian tiba-tiba Reilley berhenti
menciumku
dan menggenggam bagian atas kedua lenganku, lalu mendorongku
menjauhinya.
Aku
menatapnya bingung sambil mencoba menarik napas. Apakah dia sedang
menolakku?
Nggak mungkin. Satu hal yang aku kuasai adalah memberikan ciuman
yang
dahsyat, dan aku yakin aku masih memiliki keahlian itu. Jadi, kenapa dia
berkelakuan
seperti ini?
Melihat
perubahan pada wajahku, Reilley langsung berkata, “Kamu sebaiknya
menyiapkan
sandwich itu. I need to keep my hands off of you
and I can‟t do that if I‟m
kissing you.” Reilley mengucapkan kata-kata ini dengan cepat sambil
menatapku
tajam.
Suaranya terdengar sedikit serak. Butuh beberapa detik bagiku untuk
mencerna
maksudnya. Dia tidak menolakku. Dia hanya ingin menjagaku.
Memastikan
agar tidak ada satu pun dari kami yang melampaui batas.
“Is tuna okay?” tanyaku pelan.
“Tuna‟s fine,” geram Reilley. Dia masih menatapku tajam, dan ada sedikit
tatapan
bersalah.
Buru-buru
aku keluar dari kamar tidur, dan melangkah menuju dapur. Tidak
lama
kemudian roti sandwich siap. Kudengar bunyi pintu kamar dibuka, dan Reilley
berjalan
ke luar dengan membawa tas kanvas yang tadi malam dibawanya.
“Kamu
mau susu atau orange juice?”
“Orange juice,” jawab Reilley, sambil berjalan ke arahku.
Aku
mengambil satu botol jus jeruk yang ada di dalam lemari es, dan
memberikan
botol serta roti itu kepada Reilley.
“Kamu
sebaiknya berangkat, sekarang sudah pukul 3.30.” Kudorong Reilley
menuju
pintu keluar. Kuambil botol jus dan roti dari genggamannya ketika dia
berlutut
mengenakan sepatunya.
Setelah
Reilley siap, aku membuka pintu dan menuju mobilnya yang ternyata
diparkir
bersebelahan dengan mobilku. Aku baru menyadari bahwa aku tidak
mengenakan
jaket ketika angin dingin menyerangku, dan aku menggigil.
“Titania, you‟ll freeze to death!” teriak Reilley.
“I‟m fine,” ucapku, tetapi gigiku sudah bergemeletuk.
Reilley
buru-buru membuka pintu mobilnya, melemparkan tas ke bangku
belakang
dan mengambil roti serta jus dari tanganku sebelum meletakkannya di
dashboard. Dia kemudian menghidupkan mesin mobilnya dan menutup pintu.
Reilley
memeluk dan menarikku masuk kembali ke apartemen. “Are you okay?”
tanyanya
khawatir.
Aku
mengangguk.
“Thanks untuk... untuk semuanya.” Reilley kelihatannya akan mengucapkan
kata
lain, tetapi dia tidak bisa menemukan kata yang tepat.
“Telepon
saya begitu kamu mendarat di New York, ya,” pintaku.
Reilley
mengangguk. “Jadi kita bertemu hari Minggu?” tanyanya, sambil
tersenyum.
Aku
mengangguk. Reilley diam sambil menatapku, dia tampaknya sedang
mempertimbangkan
apakah dia akan menciumku lagi atau tidak. Aku menjijitkan
kedua
kakiku, dan menciup pipinya. “Bye,” ucapku.
Reilley
sempat terlihat terkejut oleh ciuman itu. Dia mengangguk, kemudian
berjalan
menuju mobilnya dengan sedikit limbung. Dalam hati aku tertawa ketika
menyadari
bahwa tindakan-tindakan kami telah membuat kami berdua satu sama
lain
menjadi limbung. Kulihat Reilley melambaikan tangannya, kemudian mundur
dari
tempat parkir dan berlalu. Aku kembali masuk ke dalam apartemen dan
mengunci
pintu.
*
* *
“Jadi,
begitulah ceritanya,” ucapku pada Didi, yang langsung tidak bisa berkatakata.
“Mbak...
kayaknya Mbak harus buru-buru nikah dengan dia deh sebelum dia
diambil
orang lain. Dia sweet banget kepada Mbak.”
“I know... aku nggak pernah bertemu laki-laki yang model begini. Aku nggak
tahu
harus bagaimana.”
“Ya,
juga sih. Menurut aku, you
are doing just fine. Kalau ini terjadi padaku,
mungkin
aku sudah ambil langkah yang salah dan membuat dia kabur.” Didi lalu
tertawa
dengan leluconnya sendiri, yang disusul oleh tawaku.
“Denganku
juga belum pasti dia nggak akan kabur. Nanti deh kita lihat. Kalau
misalnya
dia nggak datang hari Minggu nanti, itu berarti dia kabur,” jawabku.
“Nggaklah...
aku yakin dia nggak akan kabur. Kalau dia memang berniat kabur,
dia
nggak bakal susah-susah telepon Mbak begitu sampai di JFK.”
Aku
harus mengakui logika Didi, dan tersenyum bahagia. “Kira-kira aku harus
masak
apa ya, Di, untuk dia?” tanyaku.
Kami
mengobrol panjang-lebar tentang menu untuk kencanku pada hari
Minggu
malam dengan Reilley. Dia mengusulkan sebaiknya aku memasak makanan
yang
mudah tetapi enak, dan tidak membuat kencan ini terkesal terlalu formal.
“So none of those dinner for two
kind of shit,” kata Didi.
Aku
tertawa mendengarnya. “Jadi, casual
dinner saja, ya?”
“Yep,” jawabnya. “Reilley sudah bisa dikategorikan sebagai HOT, kan?” pancing
Didi.
“Definitely,” sahutku, kemudian tertawa. Aku lalu terdiam sesaat.
Tiba-tiba saja
muncul
suatu pemikiran di benakku. “Di...,” ucapku ragu.
“What?”
“Eh,
nggak jadi deh.”
“Apaan
sih?” Didi terdengar penasaran.
“Aku
hanya... hanya...”
“Cuma
cumi, buruan deh omongnya,” omel Didi.
“Aku
bingung. Apakah dengan aku dating
dengan Reilley, itu berarti aku harus
berhenti
dating dengan laki-laki lain?”
“What??! Mbak sudah gila??! Mbak sudah bayar dua ribu dolar. Kontrak
Mbak
masih
ada satu bulan lebih kan dengan MBD. Ya, iyalah Mbak harus dating dengan
orang
lain juga. Jangan mau rugilah!” teriak Didi.
“Maksudku...
apa itu nggak terkesan agak... agak kayak... kayak melacurkan diri
nggak
sih?” Aku tidak bisa menemukan kata lain, yang bisa menggambarkan
kelakuan
seperti itu.
Tanpa
kusangka-sangka Didi malah tertawa.
“Kok
kamu malah tertawa sih? Ini urusan serius lho,” gerutuku.
Didi
berusaha berhenti tertawa, dan berkata, “Aku sudah lama nggak dengar
kata
„pelacur‟, biasanya kita kan hanya pakai kata „perek‟. Aenh saja aku
dengarnya.”
“Ya,
bodo deh, tetapi kamu mengerti kan maksud aku?”
“Ya,
pastilah aku mengerti... Menurut aku sih, Mbak tetap saja dating dengan
orang
lain. Aku yakin Reilley juga nggak berhenti dating kok.
Dia kan juga sudah
bayar
dua ribu dolar seperti Mbak.”
“Tapi...”
Aku mencoba menjelaskan posisiku kepada Didi. Aku tidak pernah
berpacaran
dengan dua laki-laki sekaligus, dan aku tidak tahu bagaimana caranya
membagi
waktu.
“Begini
saja, Mbak. Ini kan masih tahap awal. Mbak lihat saja
perkembangannya.
Siapa tahu setelah Mbak sudah kenal dia lebih jauh ternyata
Mbak
nggak terlalu suka kepada dia. Seperti perumpamaan, „Ikan yang sudah
ditangkap
jangan dibuang lagi ke laut hanya karena mengharapkan ikan yang lebih
besar‟. Mbak mengerti maksudku, kan?”
“Hah?”
Itulah satu-satunya kata yang bisa aku keluarkan dari mulutku ketika
mendengar
Didi mengucapkan perumpamaan itu.
“Ya...
maksudku...” Didi terdengar tersipu-sipu.
“Kayaknya
perumpamaan itu hanya berlaku kalau kita sedang mencari laki-laki
berduit
deh, bukan untuk situasi aku ini,” potongku.
“Ya,
bodo deh. Pokoknya, Mbak mengerti kan maksudku?” tanya Didi.
Mau
tidak mau aku tertawa karena aku baru saja mengucapkan kata-kata yang
sama
kepada Didi beberapa menit yang lalu.
“Paham...
paham,” balasku.
“Jadi,
kapan Mbak bakal kasih tahu Ibu dan Bapak kalau Mbak membayar dua
ribu
dolar untuk jasa blind date supaya bisa dapat suami?” tanya Didi, tiba-tiba
mengganti
topik.
“Nggak
bakalan,” jawabku ketus. Aku tidak mau orangtuaku tahu bahw aaku
menggunakan
jasa agen profesional hanya untuk mendapatkan suami. Sudah cukup
memalukan
adikku tahu tentang ini. Kalau sampai orangtuaku tahu, entah apa yan
gakan
mereka pikirkan tentang aku? Kemungkinan mereka akan berpikir anaknya
sudah
setengah gila.
Andaikan
saja aku berkata jujur tentang alasan mengapa aku putus dengan
Brandon,
mungkin mereka akan lebih mengerti. Aku tidak ingin membebankan
pikiran
mereka dengan kejadian yang menimpaku. Aku meminta Didi bersumpah
agar
tidak menceritakan kejadian sebenarnya kepada orangtuaku. Aku tahu,
orangtuaku
hanya menunggu waktu yang tepat kapan aku akan menjelaskan alasan
sebenarnya
aku yang tadinya memuji-muji Brandon setengah mati setiap kali
mereka
menelepon tiba-tiba berhenti menyebutkan namanya sama sekali.
*
* *
Hari
Sabtu berlalu lebih lambat daripada biasanya. Aku tahu alasan utamanya
karena
aku sudah tidak sabar menunggu hari Minggu tiba. Sesekali aku menyentuh
bibir
dengan jari-jariku untuk meyakinkan Reilley memang telah menciumku pagi
itu.
Aku mencoba mengingat-ingat “rasa” Reilley di mulutku. Aku ingat napasnya
berbau
Listerine citrus. Selama ini aku tidak pernah begitu terobsesi oleh ciuman
pertamaku
dengan laki-laki mana pun. Jadi, mengapa sekarang aku terobsesi oleh
ciuman
Reilley? Hah... itu mungkin karena aku terobsesi oleh Reilley sehingga aku
jadi
terobsesi oleh segala sesuatu yang berhubungan dengannya. I‟m going crazy,
omelku
kepada diriku sendiri.
Kegilaanku
semakin menjadi ketika aku melangkah ke kamar mandi dan
menemukan
baju tidur Reilley, yang masih ada di atas toilet. Kaus putih, celana
piama
abu-abu, dan boxer briefs putih bersih. Handuknya tergantung di sebelah
handukku,
sikat gigi listrik dan pisau cukurnya ada di atas wastafel, dan peralatan
mandinya
masih ada bersama-sama dengan peralatan mandiku di samping bathtub.
Karena
terburu-buru kelihatannya Reilley terlupa telah meninggalkan barangbarang
ini
di kamar mandi. Kuangkat kaus Reilley, dan secara refleks langsung
membawanya
ke hidungku dan menghirup aromanya. Seperti yang sudah aku
perkirakan,
aroma Reilley masih menempel di situ. Sebenarnya, seluruh kamar
mandi
dipenuhi aroma Reilley. Buru-buru kuangkat celana piama dan celana
dalamnya
dari atas toilet, kemudian menyambar handuknya dan membawanya ke
luar
kamar mandi serta melemparkannya ke dalam keranjang batu kotor. Semua
barang
milik Reilley itu harus dicuci secepatnya supaya bisa mencegahku
menciuminya
setiap saat.
Setelah
aku bisa sedikit menenangkan diri, baru aku menelepon Sandra untuk
memberikan
laporan kencanku dengan Reilley.
“Jadi,
bagaimana?” tanya Sandra antusias, tetapi dari nadanya aku bisa
mendeteksi
adanya rasa waswas.
“It was good,” jawabku, seceria mungkin.
“Just good?” Sandra terdengar ragu.
“Very good, actually,” balasku.
“Oh,
ya? Jadi, kita sudah menemukan pemenangnya?” teriak Sandra. Aku bisa
membayangkan,
dia pasti mengempaskan diri di kursi kerjanya dengan wajah lega.
“I wouldn‟t go that far,” ucapku di antara tawaku. “But he is definitely close.”
“Of course.”
“Oh... Sandra, saya perlu kasih usulan tentang restoran,” ucapku, kemudian
menceritakan
pengalaman makanku di restoran Prancis.
Sandra
tertawa geli mendengar komentarku, tetapi dia memastikan MBD tidak
akan
menggunakan restoran itu untuk kencanku berikutnya.
“Omong-omong
tentang dating, date Anda selanjutnya hari Jumat. Namanya
Suresh.
Dia orang Asia, hampir 190 sentimeter, dan pekerjaannya di retail. Anda
akan
bertemu dengannya di B. Christopher‟s Steakhouse di Burlington pukul tujuh
malam.
Would this schedule works for you?” tanya Sandra.
Aku
agak tergagap ketika menjawab pertanyaan itu.
“Yes, that would be fine,” ucapku akhirnya, dengan nada datar.
“Okay, great. Saya akan konfirmasi balik ke Suresh kalau begitu.”
Sebelum
aku kehilangan keberanianku, aku bertanya, “Hei, Sandra, saya ada
pertanyaan.”
“Sure. Fire away.”
“Apakah
klien-klien kamu akan terus dating
dengan orang lain, meskipun
mereka
sudah menemukan orang yan gtepat? Atau setidak-tidaknya mendekati
orang
yang mereka inginkan?”
Sandra
terdiam sejenak sebelum menjawab. “Setiap klien saya berbeda-beda.
Beberapa
dari mereka akan terus dating
dengan orang lain, tetapi ada juga yang
berhenti
sama sekali. Mereka memilih untuk memanfaatkan waktu bersama orang
yang
tepat, yang sudah mereka temukan.”
“Mana
yang lebih efektif? Maksud saya, seberapa besar kemungkinannya
mereka
menikah kalau mereka membuat pilihan tersebut?”
“Dua-duanya
cukup efektif.” Sandra terdengar ragu. Aku tahu mungkin dalam
peraturan
perusahaannya, MBD menetapkan para agen blind
date tidak boleh
memberikan
pendapat yang akan menyebabkan klien mereka menjadi bias dalam
situasi
apa pun. Hal ini juga mungkin untuk mencegah adanya tuntutan hukum,
yang
dilayangkan oleh klien yang frustrasi karena tidak berhasil mendapatkan
pasangan
yang ideal karena mengikuti nasihat agen mereka.
“Mana
yan glebih efektif?” aku mengulang pertanyaanku. Aku tahu, aku sedang
berlaku
tidak adil dengan memojokkan Sandra seperti itu. Akan tetapi, aku betulbetul
memerlukan
masukan dari orang lain selain adikku.
Kudengar
Sandra menarik napas sebelum berkata, “Anda betul-betul ingin
mendengar
opini saya?”
“Ya.”
“Saya
rasa, begitu Anda yakin dialah orang yang tepat untuk Anda, sebaiknya
Anda
berhenti mencari. Manfaatkanlah waktu Anda untuk membuat hubungan
dengan
orang tersebut berjalan mulus.”
“Bagaimana
kita bisa tahu kita sudah menemukan orang yang tepat?” tanyaku
ragu.
“Oh,
percaya kepada saya, Anda akan tahu nanti jawabannya,” balas Sandra.
Aku
menutup mataku, dan memohon kepada Tuhan agar perasaanku tentang
Reilley
tidak meleset. Sekarang yang harus aku lakukan adalah memastikan, apakah
Reilley
memang laki-laki yang terbaik untukku.
*
* *
Hari
Minggu pun tiba, aku sudah keluar rumah sebelum pukul sembilan pagi untuk
membeli
semua keperluan makan malam. Sepanjang hari aku tidak bisa berhenti
tersenyum,
dan jantungku berdetak lebih cepat daripada biasanya. Beberapa kali
aku
harus menenangkan diri agar tidak terkena serangan jantung. Apakah bisa
orang
meninggal akibat serangan jantung karena kebahagiaan yang meluap-luap?
Aku
kurang tahu soal itu, dan aku tidak peduli. Aku hanya tahu bahwa 24 jam
terakhir
ini merupakan waktu paling membahagiakan dalam hidupku selama
delapan
bulan ini.
Begitu
tiba di rumah aku segera membumbui daging sapi yang telah aku beli,
kemudian
memasukkannya ke dalam lemari es. Setelah itu, aku mempersiapkan
segala
sesuatu yang aku perlukan untuk membuat tiramisu. Pukul dua siang
semuanya
sudah siap. Kutinggalkan tiramisu di dalam lemari es agar sudah dingin
ketika
disajikan. Aku lalu membereskan apartemen agar kelihatan lebih rapi,
termasuk
mengganti seprai tempat tidur. Aku lalu membawa seprai dan beberapa
pakaian
kotor, sekaligus juga baju dan handuk Reilley, untuk dicuci dan
dikeringkan.
Ketika
aku baru saja melangkah masuk ke apartemen lagi sambil membawa
keranjang
berisi pakaian dan seprai yang sudah kering, kudengar telepon selularku
berbunyi.
Buru-buru kuletakkan keranjang cucian di lantai, dan lari ke meja makan
untuk
menjawab panggilan itu. Kulihat yang menelepon adalah „Hunny Bunny‟. Aku
tersenyum
kepada diriku sendiri karena lupa menukar nama itu dari phonebook.
“Reilley?”
Meskipun aku tahu itu adalah Reilley, entah mengapa aku merasa
aku
harus memastikannya.
“Yeah, it‟s me. Saya baru mendarat di Raleigh. I‟m heading to Winston right now.
I‟ll see you at six,” ucap Reilley. “Do
you want me to bring anything?”
“Nothing. Just you,” jawabku.
Aku
baru menyadari implikasi kata-kataku ketika kudengar Reilley berkata, “I
like how that sounds.” Sebelum aku bisa menjelaskan maksudku, Reilley berkata, “See
you in a bit,” kemudian menutup telepon itu.
“Okay. Drive safe,” balasku, yang disambut oleh nada tut... tut... tut.
“Damn it,” gerutuku. Aku harus betul-betul memperhatikan kata-kata yang
keluar
dari mulutku kalau aku sedang berbicara dengan Reilley. Aku tidak mau dia
mengira
aku sudah menyukai dia, meskipun memang seperti itu kenyataannya. Aku
tidak
mau dia tahu tentang perasaanku. Tidak sekarang. Mungkin nanti, setelah aku
tahu
seberapa sukanya dia kepadaku.
Aku
lihat jam baru menunjukkan pukul 16.15, aku buru-buru mandi. Setelah
mandi
aku kenakan jeans dan sweater dengan leher V, yang terbuat dari katun
berwarna
krem. Rambutku kutarik ke belakang dengan bandana agar tidak
menggangguku
malam ini. Setelah semuanya aku yakin sempurna bagiku, barulah
kukenakan
kacamata. Sekarang aku sudah lebih percaya diri mengenakan kacamata
ini
karena kata-kata Reilley dua malam yang lalu. Aku menggeleng karena percaya
dengan
kata-kata itu, yang kemungkinan besar hanyalah gombal.
Aku
sedang mengeluarkan daging steak
dari dalam lemari es ketika kudengar
pintu
apartemen diketuk. Buru-buru kubuka pintu itu, dan harus menahan napas
ketika
melihat Reilley berdiri di luar dengan senyumnya yang lebar. Dia memeluk
satu
botol coca-cola satu setengah liter. Aku mengambil botol itu darinya, dan
mempersilakannya
masuk. Aku menarik napas dalam-dalam dan menikmati wangi
cologne, yang masuk ke dalam hidungku. Reilley langsung membuka
sepatunya
ketika
memasuki apartemen.
“Mudah-mudahan
kamu lapar, soalnya saya bikin steak,” ujarku, sembari
berjalan
kembali menuju dapur. Kuletakkan botol Coca-Cola di atas meja makan.
*
* *
“Saya
kelaparan,” balas Reilley, dan mengikutiku menuju dapur. Dia sudah
melepaskan
jaketnya dan kini hanya mengenakan kaus putih lengan panjang yang
dilapisi
dengan kaus tim American Football The New York
Giants.
“Kamu
ingin steak-mu dipanggang matang atau setengah matang?” tanyaku,
sambil
melemparkan sepotong daging besar ke atas panggangan.
“Well-done, please,” jawabnya. “Kamu perlu bantuan?”
“Kamu
bisa nggak memanaskan jagung manis tanpa menyebabkan apartemen
kebakaran?”
candaku.
Reilley
tertawa sebelum menjawab, “Bisa.”
Dia
membuka kaleng jagung manis dan menuangkan isinya ke dalam panci
kecil,
kemudian menyalakan kompor.
“That smells good, by the way,” ucapnya, sambil menunjuk daging yang ada di
atas
panggangan.
Aku
hanya tersenyum. “Jagungnya perlu kamu aduk. Ada spatula kayu di
dalam
laci, kamu bisa pakai itu.”
Reilley
mengikuti saranku. Memasak bersama Reilley di dapur membuat
pikiranku
kembali terobsesi oleh keseksian tubuhnya.
“Training-nya bagaimana?” tanyaku, untuk mengalihkan pikiranku.
“Brutal.
Mereka ingin saya kembali ke sana akhir bulan ini.”
“Mengapa
brutal?” Kulihat jagung manis di panci sudah mendidih. “Kayaknya
jagungnya
sudah siap. Bisa tolong jaga steak-nya sebentar, saya akan mengangkat
jagungnya?”
pintaku.
“Sure. Saya harus apa?” Reilley terlihat agak kikuk.
“Just make sure that it doesn‟t
burn completely black. Kamu mau steak yang lezat
kan,
bukan steak gosong,” balasku, sambil mengangkat panci rberisi jagung dan
menuangkan
seluruh isinya ke dalam saringan yang sudah aku siapkan di dalam
bak
cuci piring.
“Jadi,
mengapa training-nya brutal?” Aku mengulang pertanyaanku, yang
belum
sempat terjawab.
“Oh...
bos-bos besar di perusahaan ingin meng-upgrade
sistem mereka, tetapi
para
pegawai kelihatannya nggak setuju. Mereka bersikeras sistem yang sekarang
digunakan
cukup memadai untuk melakukan pekerjaan mereka. But that is the point.
This new system is trying to make
it can do better than just being „quite sufficient‟, it has the
ability to be „efficient‟ as well,” jelas Reilley.
“Apakah
para pegawainya sudah tua?”
Reilley
terdiam sejenak, seolah-olah dia sedang mencoba mengingat-ingat
orang-orang
yang ada di training-nya. “Nggak, kebanyakan dari mereka masih
sekitar
30-an. Mengapa?”
“Well, itu agak aneh. Biasanya generasi yang lebih tualah yang nggak
suka
perubahan
karena mereka memerlukan waktu lebih lama untuk mempelajari dan
memahami
informasi baru,” komentarku, sambil memindahkan jagung manis ke
dalam
mangkuk.
“Ya...
nih, saya juga nggak tahu ada apa dengan orang-orang itu. Anyway, saya
akan
mengadakan beberapa follow-up untuk memastikan sistem yang baru betulbetul
bekerja,”
balas Reilley.
Aku
lalu berbalik badan, menghadap kembali ke kompor. “Mungkin mereka
hanya
perlu untuk menyesuaikan diri. Saya yakin lambat-laun mereka akan
menyukai
sistem yang baru itu,” ucapku, sambil tersenyum untuk memberikan
dukungan
kepada Reilley.
Reilley
juga ikut tersenyum.
“Steak-nya bagaimana?” tanyaku.
“It‟s doing great. Belum ada yang teriak dia kegosongan,” balas Reilley, sambil
nyengir.
Kami
kemudian tertawa terbahak-bahak. Tidak lama kemudian, aku
mengangkat
daging steak itu dan meletakkannya di atas piring. Setelah itu,
kuletakkan
daging steak dengan ukuran yang lebih kecil di atas panggangan
untukku
sendiri.
“Ini
punya kamu.” Kuberikan piring berisi daging sapi potongan besar kepada
Reilley,
dan mengangkat mangkuk berisi jagung serta meletakkannya di atas meja
makan.
“Wow, this looks sooo...
goooooo...d,” puji Reilley, sambil menghirup aroma
daging
panggang
itu.
Ini
sudah kedua kalinya. Reilley mengomentari steak buatanku,
aku jadi merasa
agak
risi. Brandon jelas-jelas tidak pernah memuji makanan buatanku. “Kamu mulai
saja
duluan. Steak saya masih perlu beberapa menit lagi. Saya nggak mau tamu saya
kelaparan.”
“Naahhh... I can handle it. Saya tunggu kamu saja. Boleh saya ambil es dari
freezer?”
“Go ahead,” ucapku, lalu membalik daging di atas panggangan. Aku
mengeluarkan
dua gelas tinggi dari dalam lemari, dan meletakkannya di sebelah
kulkas
agar Reilley bisa mengisinya dengan es batu.
sSetelah
memenuhi kedua gelas itu dengan es batu, Reilley membawanya ke
meja
makan dan menuangkan coca-cola ke dalamnya. Kuangkat steak dan
meletakkannya
di atas piring, lalu berjalan menuju meja makan.
“Let‟s eat!” ajakku, dan mengangkat garpu-pisauku.
Setengah
jam kemudian piring Reilley sudah bersih, dan mangkuk berisi jagung
manis
pun sudah ludes olehnya.
“This is the best steak I have ever
eaten my whole life,” ucap Reilley.
Aku
tertawa, kemudian berjalan menuju lemari es untuk mengeluarkan
tiramisu.
“Itu
apa?” tanya Reilley ingin tahu, sambil perlahan-lahan berjalan ke arahku.
“Tiramisu,”
jawabku.
“No... waaa...yyy. Kamu bisa bikin tiramisu?”
Aku
mengangguk, dan mulai memotong tiramisu. “Kamu suka tiramisu?”
“Are you kidding me? Itu kue favorit saya,” balas Reilley. Dia kemudian menatap
tiramisu,
seolah-olah kue itu pemberian Tuhan yang paling sempurna.
“Errr...
apa kamu mau makan langsung dari pyrex-nya?” Kalau bukan karena
ada
tamu, aku dan Didi biasanya memang makan tiramisu buatanku langsung dari
tempatnya.
“Oh, really? Can I?” Kalau Reilley berumur lima tahun, aku yakin dia sudah
meloncat-loncat
kegirangan. Mengingat usianya yang tidak lagi anak-anak, kini
reaksi
kegembiraannya dia ekspresikan dengan menatapku dan matanya berbinarbinar.
“C‟mon,” ucapku, sambil membawa pyrex itu menuju meja makan. “Oh,
bisa
tolong
ambilkan sendok?”
Aku
sudah duduk di meja makan ketika Reilley memberikan sendok kepadaku,
kemudian
dia duduk di hadapanku. “Dig
in,” ujarku.
Reilley
langsung menenggelamkan sendoknya ke dalam tiramisu, dan
memasukkan
sesendok besar ke dalam mulutnya.
“Kue
ini rasanya lebih enak daripada seks,” desahnya.
Aku
tertawa melihat ekspresi wajahnya, yang terlihat sangat puas dan bahagia.
Mirip
wajah laki-laki yang baru mendapatkan seks terbaik yang pernah dialaminya.
Aku
tidak tahu bagaimana mungkin aku bisa menggambarkan hal seperti itu,
mengingat
aku masih perawan. Dalam imajinasiku, seseorang yang bahagia ekspresi
wajahnya
pastilah tidak jauh berbeda dengan Reilley saat ini.
Mengingat
jejak Reilley, aku pun menenggelamkan sendokku dan memasukkan
satu
sendok besar ke dalam mulutku. Jujur saja, ini memang tiramisu terenak yang
aku
pernah buat. Mungkin karena aku membuatnya dengan penuh rasa cinta.
Cinta?
Pernyataan itu hampir saja membuatku tersedak. Dari mana aku bisa
mendapatkan
ide itu? Aku baru saja mengenal Reilley. Ini baru kencan kedua kami.
Aku
tidak mungkin jatuh cinta dengan seorang laki-laki pada kencan kedua.
Jari
Reilley, yang kini sedang menyentuh sudut bibirku, membangunkanku dari
lamunan.
“You got cream right here,” ucap Reilley. Ia mengusap sudut bibirku dengan
ibu
jarinya, kemudian memasukkan ibu jari itu ke dalam mulutnya.
Aku
hanya bisa menatapnya dengan mata terbelalak dan mulut terbuka. Apa
yang
baru saja dia lakukan merupakan hal paling romantis dan seksi yang pernah
dilakukan
laki-laki terhadapku. Reilley, yang menyadair bahwa aku belum berkatakata
selama
beberapa menit, menegurku, “Titania, kamu nggak apa-apa?”
“Yes,” ucapku, nada suaraku agak meninggi. “I‟m glad you like my tiramisu,”
lanjutku.
“Hell... Saya suka masakan kamu, apartemen kamu, senyum kamu, the way that
glasses somehow makes you look
more sexy, which is impossible because you are the sexiest
woman I have ever met, I even love
how you smell. Saya suka semuanya tentang kamu,”
jawab
Reilley. Kemudian seolah-olah baru menyadari apa yang dia telah katakan,
dengan
susah payah dia berkata lagi, “Maksud saya... saya hanya...”
Aku
mungkin akan mencoba membantunya agar tidak merasa seperti anak kecil
yang
baru saja tertangkap basah mengambil mangga tetangga, kalau aku sendiri
tidak
sedang mencoba mencerna apa yang baru diungkapkannya kepadaku.
“Sori,”
ucap Reilley akhirnya, sambil meraih tanganku. “Aku nggak bermaksud
membuat
kamu takut.”
“Nggak...
nggak... nggak apa-apa. Saya hanya agak... kaget. Itu saja.”
“Yakin?”
Reilley terdengar ragu.
Aku
mengangguk.
Reilley
tersenyum, dan mulai menyantap tiramisu lagi. Kami makan dalam
diam.
Aku tidak tahu harus berkata apa, sedangkan aku yakin Reilley tidak berani
berkata-kata
lagi karena takut akan mengucapkan kata-kata yang salah. Mencoba
membuat
suasana jadi lebih santai, aku berkata, “Apakah kamu berencana
menginap
di sini atau kamu akan pulang ke Wilmington?”
Kulihat
Reilley menelan ludah sebelum menjawab, “Itu tergantung kamu.”
“Maksud
kamu?” tanyaku bingung.
“Apakah
kamu akan mengambil semua selimutnya?” Wajah Reilley terlihat
serius
sampai kedua alisnya terangkat.
“Did I do that?” tanyaku, sambil tertawa.
“You sure did,” balas Reilley dengan jenaka. Dia kelihatannya juga sedang
berusaha
mencairkan es, yang tiba-tiba muncul di antara kami berdua.
“Saya
janji nggak akan mengambil semua selimutnya,” ucapku, sambil
tersenyum.
“kalau
begitu, saya akan menginap di sini malam ini.”
Aku
mengangguk, dalam hati bersyukur aku sudah menyempatkan diri
mengganti
seprai. Kami lalu menumpahkan perhatian kembali kepada tiramisu.
“Reilley,”
ujarku tiba-tiba, tanpa menatap Reilley.
“Ya?”
Aku bisa merasakan bahwa Reilley sedang menatapku, tetapi aku
menolak
membalas tatapan itu dan memfokuskan perhatian pada sendokku.
Aku
merasa agak canggung menanyakan pertanyaan yang sempat membuatku
penasaran,
tetapi kuberanikan diri. “Errr... saya hanya penasaran. Kamu mimpi apa
sih
dua malam yang lalu ketika kamu tidur di sini?” Aku tidak tahu mengapa aku
menanyakan
ini, tetapi aku memang penasaran. Mimpi apakah yang menyebabkan
Reilley
menyebutkan namaku dua kali di dalam tidurnya?
Ketika
Reilley tidak menjawab juga, kutatap wajahnya.
“Pipi
kamu mengapa jadi merah begitu?” tanyaku.
“Nggak
ah,” balas Reilley, nadanya terdengar sedikit tajam.
“Sekarang
malam semakin merah.” Aku tidak mau kalah.
“Kacamata
kamu membuat kamu melihat yang nggak-nggak,” omel Reilley.
“Kamu
memimpikan saya, ya?” Aku tidak memberi Reilley kesempatan
menghindar
dariku.
“Lho,
kok omong begitu?”
“Kamu
menyebut nama saya.” Reilley menggeram. Ketika Reilley tidak juga
mengatakan
apa-apa, kutambahkan, “Dua kali.”
Reilley
menutup mulutnya rapat-rapat. Dari gerakan mulutnya aku tahu dia
sedang
menggigit-gigit bagian dalam bibirnya. Dia kelihatan sangat bersalah.
“Kamu
menarik saya ke pelukan kamu dan nggak melepaskan lagi,” lanjutku.
“I did that?” Reilley berteriak terkejut sambil menatapku.
“Ya.
Saya coba melepaskan diri beberapa kali, tetapi kamu kelihatannya capek
sekali
dan saya nggak ingin membangunkan kamu... well,
akhirnya saya jadi
ketiduran
setelah beberapa menit... di atas tempat tidur... di dalam pelukan kamu.”
Reilley
menatapku dengan mata terbelalak. Melihat reaksinya, aku curiga dia
sudah
salah paham. “Saya harap kamu nggak berpikir saya sengaja dekat-dekat
dengan
kamu,” ucapku tegas.
“Nggak.
Tentu saja nggak, meskipun ketika saya bangun saya memang
bertanya-tanya
bagaimana bisa kamu kok ada di pelukan saya.”
“Well, sekarang kamu sudah tahu.” Aku terdiam, kemudian mengulang
pertanyaanku.
“So were you?”
“Were I what?”
“Kamu
mimpi saya, ya?” balasku, tidak sabaran.
Semula
Reilley seolah-olah tidak akan mengatakan apa-apa, tetapi akhirnya satu
kata
keluar dari mulutnya. “Yes.”
“Oh,
ya? What were you dreaming about?” Aku jadi semakin penasaran, mengapa
dia
harus malu mengakui dia bermimpi tentangku.
“Banyak
hal,” balasnya datar.
“Contohnya?”
desakku.
“Kita
bisa nggak, nggak membahas tentang ini lagi?” gerutunya.
Aku
masih menunggu beberapa saat sebelum akhirnya menyerah. Tampaknya
Reilley
betul-betul tidak akan menceritakan mimpinya kepadaku.
“Pukul
berapa kamu harus sampai di kantor besok?” tanyaku, mengganti topik.
“Pukul
berapa kamu harus berangkat kerja?” Reilley terlihat mengembuskan
napas
lega dengan pergantian topik ini.
“Setengah
delapan.”
“Saya
berangkat bersama-sama kamu.”
Aku
mengangguk, kemudian meletakkan sendok di atas meja karena perutku
rasanya
sudah siap meledak.
“Apakah
kamu mau tiramisu lagi?” tanya Reilley.
“Nggak.
Perut saya sudah nggak bisa mencerna apa-apa lagi.”
Aku
tertawa ketika Reilley tersenyum senang, dan menyapu bersih tiramisu.
Setelah
semuanya ludes, ia mengangkat piring dan gelas kotor serta pyrex ke bak
cuci
piring.
“Kamu
tinggalkan saja semuanya di situ. Besok pagi akan saya cuci,” ucapku.
“Biar
saya saja. Kamu sudah masak, saya yang cuci.” Reilley kemudian mulai
mencuci
semua peralatan makan itu satu per satu.
Dia
kelihatan sedikit aneh berada di dapurku yang kecil itu. Sekali lagi aku bisa
melihat
perbedaan antara Brandon dan Reilley yang sangat kontras. Brandon tidak
pernah
membantuku sama sekali di dapur. Dia bahkan tidak pernah menawarkan
bantuannya.
Brandon tipe laki-laki yang berpendapat dapur merupakan area yang
hanya
boleh dimasuki wanita. Brandon juga selalu serius, bahkan hampir tidak
pernah
tersenyum. Aku mencoba mengingat-ingat terakhir kali kami bercanda, dana
ku
tidak bisa mengingatnya sama sekali. Sedangkan Reilley, dia bersiul-siul sambil
mencuci
piring. Dia kelihatan ceria, jenaka, dan tanpa beban. Kami pun baru saja
bercanda
beberapa menit yang lalu.
“Ada
lagi yang perlu dicuci?” Kudengar suara Reilley bertanya, dan aku harus
berpijak
kembali ke bumi.
“Nggak
ada.” Aku lalu beranjak menuju ruang TV, dan mengempaskan diriku
ke
atas sofa.
Reilley
menyusul, dan duduk di sebelahku.
“Kamu
kelihatan capek,” komentarku.
“I‟m okay, tetapi rasanya aku perlu andi, kalau kamu nggak keberatan.”
“Tentu
saja nggak. Anggap saja rumah sendiri,” ucapku. Reilley menatapku
sambil
tersenyum.
“You gonna regret saying that,” ucapnya.
“Saying what?” tanyaku bingung.
“Inviting me to make myself at home
in your apartment,” balas Reilley pendek.
Aku
terpaksa tertawa melihat reaksi Reilley. “Saya grew up di Indonesia, Reilley.
Kami
diajarkan untuk sopan kepada tamu,” jelasku.
“Jadi,
kamu akan ngomong seperti itu kepada semua orang?” Reilley terlihat
bingung.
“Kira-kira
begitulah.”
Reilley
menatapku, seolah-olah aku orang paling aneh yang dia pernah temui.
“Kamu
pasti berpikir saya sudah gila, ya?” tanyaku.
“Well... nggak gila, hanya sedikit beda,” jelas Reilley.
“Kalau
kamu pikir saya berbeda, tunggu sampai kamu bertemu orangtua saya.
Mereka
jauh lebih parah. Semua tamu yang datang ke rumah saya nggak pernah
pulang
dengan tangan kosong. Ibu saya selalu membawakan mereka makanan atau
hasil
kebun kami.”
“Hasil
kebun seperti apa?” Kini Reilley terlihat sedikit penasaran.
“Seringnya
sih pisang atau jambu batu. Kadang-kadang kalau lagi musim
mereka
akan kasih nangka atau kelapa.”
“Orangtua
kamu punya buah-buahan itu di kebun mereka?” Sekarang Reilley
sudah
betul-betul penasaran.
“Ya.
Bapak saya memang punya bakat menanam. Dia bisa menanam apa saja
yang
dia mau.”
“WOW. That‟s... well... he sounds
like a really cool dad.”
“He is,” ujarku.
“Would love to meet the guy someday,” balas Reilley, yang kemudian menguap.
“Kita
lihat saja nanti. Kalau kamu sudah dating
dengan saya cukup lama,
mungkin
kamu bisa ketemu bapak saya,” candaku, kemudian berdiri dan menarik
Reilley.
“Ayo, kamu perlu istirahat.”
Reilley
berjalan bersamaku menuju kamar tidur. “Ya, itu mungkin ide yang
bagus.
Dating dengan anaknya hanya untuk bertemu bapaknya. He would luuuvvv
that idea,” balasnya dengan jenaka.
Aku
tertawa. Kulepaskan genggaman tangan Reilley ketika kami masuk ke
kamar
tidur. “Ini baju dan handuk kamu. Sudah saya cuci. Peralatan mandi kamu
masih
ada di kamar mandi where you left them.”
“Oh,
makasih, ya.... Sori karena sudah meninggalkan barang-barang saya di
mana-mana.
Saya agak terburu-buru waktu itu sampai lupa.”
“Nggak
apa-apa. Kamu sebaiknya mandi, sudah hampir pukul sepuluh. Saya
perlu
tidur sebentar lagi,” ucapku, dan melangkah ke luar kamar tidur.
BLIND
DATE - PART 9
No comments:
Post a Comment