Saturday, September 5, 2015

BLIND DATE - PART 7

7
Di Antara Hot dan Warm

AKU sampai lebih dulu di apartemen, dan aku tahu kalau aku sudah setengah gila
karena mengundang laki-laki tidak dikenal datang ke apartemenku. Lebih gilanya
lagi, aku tidak tahu mengapa aku mengundangnya. Aku hanya tahu, aku ingin
mengenal Reilley lebih jauh. Tentu saja aku tidak bisa melakukannya kalau berada
di dalam restoran penuh orang yang bisa mendengar percakapan kami.
Aku sedang mencoba membereskan ruang TV atau ruang tamu di apartemen
agar kelihatan sedikit lebih rapi. Sejujurnya, aku belum sempat membersihkannya
setelah Didi pergi sekitar seminggu yang lalu. Ketika aku asyik dengan pekerjaanku,
kudengar pintu diketuk. Sekadar untuk berjaga-jaga, aku berteriak, “Who is it?
It‟s Reilley.”
Buru-buru kubuka pintu dan mempersilakannya masuk.
“Kamu harus lepas sepatu,” ucapku ketika melihat Reilley akan melangkah
masuk ke apartemen dengan masih mengenakan sepatunya.
Selama beberapa detik Reilley menatapku bingung, kemudian melepaskan
sepatunya satu per satu.
“Apakah sekarang saya boleh masuk?” tanyanya, dengan wajah yang kini
terlihat sangat terhibur oleh kelakuanku.
“Boleh,” sahutku, sambil berjalan ke dapur. “Kamu mau minum atau makan
sesuatu?”
No, I‟m fine,” jawab Reilley.
Aku hampir saja menjatuhkan botol mountain dew, yang sedang aku pegang.
Terkejut karena suara itu terdengar persis di belakang telingaku.
Jeeezzz... jangan mengagetkan orang begitu deh,” omelku, sambil mengusapusap
dadaku.
“Oh, sori. Didn‟t mean to scare you,” ucapnya, sambil tersenyum.
Aku buru-buru menuangkan satu gelas penuh mountain dew, dan berjalan
kembali menuju ruang TV. Reilley mengikutiku.
Aku duduk di satu ujung sofa, dan tanpa menunggu hingga dipersilakan dia
pun duduk di ujung satu lagi. Dia melepaskan jaket kulit yang dikenakannya, dan
sempat terlihat bingung di mana dia harus meletakkannya. Kuletakkan gelas berisi
soda di atas meja, dan mengambil jaket itu darinya untuk digantung di dalam lemari
dekat pintu masuk.
Aku sedang melipat kedua kakiku di atas sofa ketika Reilley berkata,
“Apartemen kamu nyaman.”
Aku mengangguk sambil mulai mendaftarkan pertanyaan-pertanyaan yang
ingin aku tanyakan kepadanya di dalam kepalaku. Menyadari bahwa aku sedang
mempersiapkan diri untuk menginterogasinya, Reilley menunggu. Dia
menyandarkan tubuhnya yan gbesar di bantal-bantal sofa. Tubuhnya
menghadapku, salah satu kakinya terlipat di atas sofa. Sejujurnya, dia kelihatan
cukup nyaman dengan sekelilingnya.
Kuangkat gelas berisi soda, dan setelah minum satu teguk aku pun mulai
dengan sesi tanya-jawabku. “Seingat saya, kamu bilang kamu nggak tinggal di
Winston, betul?”
Reilley mengangguk.
“Jadi, kamu tinggal di mana?” lanjutku. Aku yakin Sandra pasti sudah
memberitahuku dari mana Reilley berasal, tetapi aku tidak bisa mengingatnya.
“Saya ada rumah di Wilmington, tetapi sudah lama saya tidak tinggal di sana.”
“Mengapa?”
“Pekerjaan saya mengharuskan saya selalu travel. Don‟t get me wrong, I love my
job, it‟s just that I wish it would allow me more free time.”
“Kamu computer programmer, kan?”
Yep.”
“Kamu nggak kelihatan seperti computer programmer pada umumnya,” ucapku.
“Oh, ya?” Kini wajah Reilley penuh senyum.
“Kamu terlalu atletis untuk seseorang yang mata pencahariannya duduk di
depan komputer sepanjang hari, kamu suka nonton football...”
“Saya dulu juga main di tim football Wake Forest University,” Reilley memotong
kalimatku.
“Oh?” Aku terkejut. Hla itu tampak terlihat dengan jelas dari tubuhnya yang
kelihatan superatletis dan tanpa lemak satu ons pun.
“Jangan tersinggung ya, tetapi kamu juga nggak kelihatan seperti seorang
financial analyst,” sambung Reilley.
“Maksud kamu?” Aku terdengar sedikit tersinggung, tetapi Reilley
menganggap reaksiku lucu dan tertawa.
“Kamu terlalu hot untuk mengerjakan pekerjaan seserius itu.” Hanya dengan
kata-kata itu, Reilley telah memadamkan semua kemarahan yang baru akan muncul
ke permukaan. “Oh... ya, saya nggak tahu kamu pakai kacamata.” Reilley menunjuk
ke kacamata yang kupakai.
Otomatis aku langsung melepas kacamata itu, dan meletakkannya di atas meja.
Setidak-tidaknya sekarang aku sudah tahu bagaimana wajah date-ku, dan Reilley
duduk cukup dekat denganku sehingga aku tidak mengalami kesulitan membaca
ekspresi wajahnya.
“Hei, mengapa dilepas?”
Aku mengangkat bahu. “Saya nggak memerlukannya lagi. Saya bisa melihat
kamu cukup jelas,” jelasku.
“Saya suka kacamata itu di kamu. Bikin kamu kelihatan tambah seksi.” Reilley
mengatakannya betul-betul sebagai pujian, bukan untuk menggodaku. Hanya
dalam hitungan detik kurasakan semua darah yang ada di tubuhku naik ke wajah,
dan akan membuat wajahku kelihatan seperti tomat.
“Jadi, seberapa sering kamu harus travel untuk pekerjaan kamu?”
Melihatku tidak bereaksi dengan komentarnya, dan justru mengganti topik
pembicaraan, Reilley kelihatan sedikit kecewa. Walaupun begitu, dia segera
mengatur ekspresi wajahnya dan menjawab pertanyaanku.
“Saya biasanya ada di luar delapan bulan dalam satu tahun.”
“Delapan bulan?!” teriakku terkejut. Aku tidak pernah mendengar ada orang
yang bersedia travel sebegitu banyaknya karena pekerjaannya, kecuali mereka sales
representative. “Lho, bukankah kamu programmer? Bukankah mereka seharusnya
hanya duduk di belakang meja sehari penuh dan... mendesain program komputer?”
Well, yes. Itu memang yang dikerjakan computer programmer pada umumnya.
Selain hal itu, saya juga melakukan aplikasi dan training program-program
tersebut,” jelas Reilley.
Penjelasannya memang masuk akal. Hal ini membuatku semakin penasaran.
“Biasanya kamu pergi ke mana saja?”
“Kebanyakan sih di Continental U.S. dan Kanda, tetapi kadang-kadang saya
harus pergi ke Eropa atau Asia kalau memang ada masalah yang serius.”
“Memang nggak ada ahli-ahli lain yang bisa menyelesaikan masalah-masalah
itu?”
“Ada. Malahan cukup banyak.”
“Apakah mereka harus travel sesering kamu?”
Reilley menggeleng.
“Itu agak nggak adil, kan? Mengapa kamu nggak menolak saja kalau disuruh
travel lagi?” ucapku.
Well, saya nggak bisa.”
“Mengapa?”
“Karena banyak dari program itu saya yang mendesain. Jadi, saya merasa
bertanggung jawab atas performa mereka.” Reilley menutup pembahasan kami.
Awalnya aku hanya menatapnya, mencoba memahami kata-katanya. Aku tahu,
Reilley tampaknya sedang menyembunyikan sesuatu tentang pekerjaannya itu.
“Kamu nggak melakukan sesuatu yang ilegal, kan?” Nadaku terdengar sedikit
tajam daripada yang aku rencanakan.
Reilley tertawa melihat ekspresiku yang serius. “Saya pastikan semuanya legallegal
saja.”
Aku mengangguk. “Kamu biasanya membuat program apa?”
“Program yang biasanya digunakan dalam dunia finansial.” Reilley lalu
menyebutkan salah satu software, yang kini aku gunakan di kantor untuk melakukan
perhitungan pinjaman kepada nasabah.
“Kamu yang mendesain software itu?!” teriakku terkejut.
Reilley terlihat terkejut dengan keantusiasanku. “Melihat reaksi kamu, saya
simpulkan kamu suka software itu?”
I love it. Sangat user friendly,” jawabku, masih mencoba menutupi kekagumanku
kepada Reilley.
Ketika melihat Reilley akan mengatakan sesuatu, buru-buru aku potong dengan
pertanyaan lagi.
“Siapa yang memaksa kamu join dengan MBD?”
Tentunya aku tidak bisa mengelabui Reilley. Dia tahu taktikku untuk
menghindari pertanyaannya, tetapi dia tidak memaksa, malah justru mengalah dan
menjawab pertanyaanku. “Mengapa kami pikir harus ada yang memaksa saya?”
You‟re seriously asking me that question?” Kubuat nadaku agar terkesan
menggurui.
Reilley mengangkat alisnya dan menunggu.
“Kamu punya pekerjaan yang mapan, punya rumah sendiri, penghasilan kamu
kelihatannya cukup sehingga kamu bisa beli mobil Eropa yang cukup mahal, kamu
nggak merokok, nggak kelihatan kesepian karena kamu punya teman untuk hang
out dan nonton sports, dan kamu hot,” jelasku.
“Menurut kamu saya hot?” Reilley betul-betul terlihat terkejut.
Aku memutar bola mataku sebelum melanjutkan, “Saya yakin kamu nggak
punya masalah untuk menemukan perempuan dengan upayamu sendiri. Jadi, lakilaki
normal mana yang akan menghabiskan dua ribu dolar untuk bertemu dengan
perempuan kalau mereka bisa melakukannya sendiri, kecuali kalau ada yang
memaksa mereka?”
Reilley terlihat menimbang-nimbang pertanyaanku, kemudian berkata, “Kamu
ingat Christine, adikku?”
“Dia memaksa kamu untuk join MBD?”
Reilley mengangguk pasrah. “Dia pakai bawa-bawa my mom dan Mary segala.
Rupanya dia melihat company itu dipromosikan di Oprah beberapa bulan yang lalu,
kalau nggak salah.”
Mau tidak mau aku tersenyum. Sepertinya orang-orang yang mengambil
jurusan psikologi memiliki kecenderungan menyukai Oprah.
Dates kamu bagaimana sejauh ini?” tanyaku.
“Lumayan, tetapi nggak ada yang semenarik kamu.”
Terakhir kali laki-laki yang mengatakan bahwa aku “hot”, seksi, dan menarik,
dia akhirnya selingkuh dengan asistennya. Seperti ada embusan angin yang
menyapu tubuhku, aku menggigil.
“Saya lebih memilih jadi nggak „hot, nggak seksi dan membosankan,” gerutuku.
“Kamu seharusnya belajar menerima pujian dengan senyuman dan kata terima
kasih, Titania,” tegur Reilley.
“Ha... ha, saya mungkin akan mengikuti saran kamu kalau saja tidak karena
orang terakhir yang mengatakan hal yang sama adalah pacar saya selama tiga
tahun. Saya memergoki dia sedang ML dengan asistennya di kantornya pada suatu
malam ketika saya memutuskan untuk datang membawakannya makan malam,”
balasku sarkasme.
Oh, my God. I‟m sorry I didn‟t know,” ucap Reilley, sambil bergeser di atas sofa
dan mendekatiku.
Not as sorry as I am,” gumamku. Aku tahu, aku tidak sepatutnya mengatakan
ini semua kepada Reilley, tetapi kehadirannya seolah-olah telah menenangkanku
dan membuatku memercayainya. “Sori, saya seharusnya nggak menumpahkan
nonsense seperti ini ke kamu.”
“Itu bukan nonsense.” Suara Reilley menenangkanku. Tanpa kusangka-sangka
dia kemudian menarikku ke pelukannya. Setelah itu, ia menyandarkan tubuhnya ke
sofa sambil masih memelukku.
Aku sempat terkejut dengan tindakannya, tetapi aku lebih terkejut lagi dengan
reaksiku yang menerimanya dengan sepenuh hati. Sekali lagi aku bisa mencium
aroma Reilley yang maskulin. Kulitnya terasa hangat di bawah pipiku. Kutarik
napas dalam-dalam mencoba mengingat hal-hal yang ada di sekelilingku pada detik
ini, dan menyimpannya di dalam memoriku agar bisa mengingatnya kembali di
kemudian hari.
I‟m guessing it was Brandon who did this to you?
Aku mengangguk. Aku sudah tidak terkejut lagi ketika Reilley menyebutkan
nama Brandon. Reilley tampaknya memiliki memori yan gcukup kuat dalam
mengingat nama orang.
“Saya seharusnya menghajar dia habis-habisan,” geram Reilley.
“Ya. Seharusnya,” balasku, kemudian tertawa. Reilley pun tertawa bersamaku.
“Oh... ya, aku harus mengatakan ke kamu bahwa aku sangat menikmati bagian
di mana kamu berkata ke dia untuk grow up.”
Aku tertawa ketika mengingat kejadian malam itu. Aku ingat, Reilley sudah
menghilang ketika aku meneriakkan kata-kata itu. Kutarik tubuhku dari
pelukannya, dan menatapnya curiga. “Dari mana kamu tahu tentang itu, kamu kan
nggak ada di situ?”
Reilley terlihat salah tingkah ketika menjawab. “Saya... saya... well you see.... Saya
nggak yakin bagaimana dia akan bereaksi. Jadi, saya menunggu saja to make sure... to
make sure bahwa kamu baik-baik saja.”
Were you there the whole time?” tanyaku terkejut. Aku bisa merasakan wajahku
mulai memerah.
“Ya. Saya berdiri di belakang an Expedition. Jadi, kamu nggak bisa melihat saya,”
jelas Reilley.
Tentu saja aku nggak akan bisa melihatnya di belakang sebuah Expedition,
sebuah SUV dengan ukuran supertinggi dan besar.
“Sekarang, kamu mau nggak dating dengan saya?” Reilley terdengar serius
kembali.
“Tentu saja saya mau. Are you kidding me? Saya belum bertemu dengan orang
yang mendekati kamu kepintarannya atau gantengnya dalam waktu lima bulan ini.
Kontrak saya dengan MBD sudah hampir habis, dan Sandra bakal membunuh saya
kalau sekali lagi saya hanya mengkategorikan kamu sebagai „warm‟ dan bukannya
hot!” teriakku frustrasi.
“Sandra itu siapa?”
“Agen saya di MBD,” jawabku.
“Agen saya bernama Kim. Dia baik. Dia berkata kepada saya bahwa kamu
kemungkinan besar adalah kandidat terbaik untuk saya,” ucap Reilley.
“Sandra juga berkata hal yang sama tentang kamu,” balasku.
So what do you think?” tanya Reilley.
About what?
About us.”
“What about us?” tanyaku bingung.
Reilley memutar bola matanya. “Apakah kamu mau lanjut dating dengan saya?
Apa saya ada di zona „hot atau hanya „warm?”
Aku memikirkan jawabanku dengan saksama. “Kamu jelas-jelas lebih dari
warm, tapi saya masih belum bisa bilang kamu „hot. Saya perlu waktu untuk lebih
mengenal kamu.”
“Cukup adil,” balas Reilley.
Tiba-tiba kudengar suara perut Reilley berbunyi dengan cukup keras.
“Kamu lapar, ya?” tanyaku, sambil menatap wajahnya yang sedang tersenyum
malu.
“Sedikit. Kamu ingat kan tadi saya nggak sempat menghabiskan lunch saya?”
“Oh... ya. Kamu seharusnya kasih tahu saya tadi. Jadi, saya bisa masak sesuatu
untuk kamu.” Buru-buru aku bangun dari sofa dan berjalan ke dapur.
Kubuka lemari es dan memeriksa sisa makanan apa yang ada di situ. Ada sisa
lasagna yang aku buat tiga hari yang lalu, ada nasi goreng yang kubuat tadi pagi,
dan salad kentang sisa tadi malam.
“Oke, kamu mau lasagna, salad kentang, atau nasi goreng?!”
Kudengar langkah Reilley berjalan ke arahku. “Kayaknya saya bisa makan
semuanya deh, soalnya lapar banget,” jawab Reilley.
Aku tertawa dan mengeluarkan piring berisi tiga potong besar lasagna dan
semangkuk besar salad kentang dari lemari es. Kulepaskan plastik yang menutupi
piring dan mangkuk itu, kemudian memasukkan lasagna ke dalam microwave untuk
dihangatkan. Kuaduk salad kentang dengan dua spatula kayu, kemudian
menambahkan sedikit merica di atasnya.Aku lalu mengambil dua piring makan dari
dalam lemari dan membagi salad kentang itu menjadi dua. Dengan sengaja aku
membuat porsi Reilley lebih banyak dibandingkan porsiku. Dari sudut mataku
kulihat Reilley sedang memperhatikanku dengan saksama. Aku langsung merasa
risi.
“Sori, ya. Kamu hanya mendapatkan makanan sisa. Saya bisa sih memasakkan
kamu sesuatu, tetapi mendengar suara perut kamu kelihatannya lebih baik saya
kasih kamu makan sekarang sebelum kami mulai menyerang tetangga saya,”
candaku, yang diikuti suara tawa Reilley.
Kudengar bunyi bip... bip... bip... yang menandakan lasagna sudah siap
dikeluarkan dari dalam micromave. Aku mengangkat satu potong dan meletakkannya
pada piringku, kemudian mendorong dua potong lagi ke piring Reilley.
“Bisa tolong bawa piring-piring ini ke meja makan, saya akan bawa gelas dan
peralatan makannya.” Reilley langsung mengangkat kedua piring itu, dan berjalan
menuju meja makan.
Kuambil satu gelas tinggi, dua set garpu, dan pisau dari dalam laci. Setelah itu,
kubuka kulkas dan mengambil botol mountain dew yang tadi masih tersisa, dan
membawanya ke meja makan. Aku berjalan menuju ruang TV untuk mengambil
gelas berisi soda. Meja makanku bisa diduduki enam orang, dan Reilley memilih
duduk di ujung sementara aku duduk di sebelahnya.
Go ahead.” Dengan tanganku kupersilakan Reilley makan.
Tanpa pikir panjang lagi, Reilley langsung memakan lasagna dan salad kentang
yang aku hidangkan sampai bersih tidak bersisa.
That was the best food I have ever tasted in a very long time,” ucapnya bersungguhsungguh.
“Kamu nggak suka otak sapi yang tadi siang?” candaku.
“Makanan itu rasanya kayak dog food,” gerutu Reilley.
“Penampilannya juga kayak dog food.”
Yeah, no kidding. You sure can pick your food.” Reilley kemudian tertawa ketika
melihat ekspresi di wajahku yang terlihat agak tersinggung. “Apakah kamu yang
bikin lasagna dan salad kentang yang barusan saya makan?” sambung Reilley.
“Aku mengangguk. “Kamu suka masak, ya?” lanjutnya.
“Ya. Dulu saya suka masak untuk Br...” Aku menghentikan kata-kataku yang
baru saja akan mengatakan “Brandon”. Kucoba memperbaikinya sebelum Reilley
sadar. “Untuk adik saya. Dia tikus percobaan saya.”
Sekali lagi aku tidak bisa mengelabui Reilley. Dari wajahnya dia tahu bahwa aku
baru saja hampir salah bicara, tetapi dia tidak menanyakan hal itu.
“Apakah kamu sudah kenyang? Atau kamu mau saya panaskan nasi
gorengnya?”
“Nggak... nggak.... Saya sudah kenyang. Thanks for the...” Reilley kemudian
melirik ke jam tangannya sebelum berkata, “Well... for that food.”
Aku pun melirik ke jam yang ada di dapur. Ternyata sudah pukul lima sore.
Oh, my God. Sudah pukul lima!” teriakku.
Reilley mengangguk, kemudian menguap.
“Sori, ya. Kamu pasti capek banget.” Aku mencoba meminta maaf. “Apakah
kamu akan menyetir balik ke Wilmington setelah ini, atau kamu akan tinggal
bersama orangtua kamu di Winston?”
“Saya sebetulnya berencana ingin tidur di sini beberapa jam, kalau kamu nggak
keberatan. Orangtua saya sedang ada di Prancis bulan ini. Jadi, rumah mereka
kosong. I don‟t feel like going there with nobody‟s home.”
Aku hampir saja meneriakkan, “Di sini maksud kamu „apartemen saya?!”
ketika mendengarnya mengatakan itu, tetapi kata-kata selanjutnya lebih menarik
perhatianku untuk diungkapkan. “Mengapa mereka ada di Prancis?” tanyaku
bingung.
“Oh... mereka punya rumah di Nice. Mereka selalu pergi ke sana setiap bulan
Januari,” jawab Reilley cuek.
“Orangtua kamu punya rumah di Nice?” Bahkan orangtuaku yang
kehidupannya jauh di atas rata-rata tidak memiliki rumah di Nice atau bahkan di
luar Indonesia.
Reilley mengangguk. “Di situlah saya belajar bahasa Prancis. Sayangnya nggak
sebaik Marcus atau Christine. Saya sudah sepuluh tahun ketika kami mulai berlibur
ke sana setiap musim panas. Mereka baru enam tahun, otak mereka bisa menyerap
informasi lebih cepat.”
“Mereka kelihatannya dekat sekali.”
“Siapa?” tanya Reilley.
“Marcus dan Christine.”
“Oh, memang. Mereka selalu bikin aku dan Mary kesal karena itu. Mereka tidak
bisa dipisahkan. Suatu keajaiban sampai Christine bisa punya pacar, padahal dia
tinggal bersama Marcus. Dia sangat protektif theradap my mom dan Mary, tapi
paling parah terhadap Christine.” Reilley menjelaskan semua itu sambil tersenyum
dengan tatapn mata yang tiba-tiba menjauh, seakan-akan dia sedang mengingat
sesuatu yang lucu. Aku dapat melihat bahwa dia mencintai keluarganya sedalam
aku mencintai keluargaku.
“Kelihatannya Christine juga begitu terhadap Marcus.”
Reilley mengangguk, “Itu sebabnya mengapa Christine sekarang mengambil
gelar Masters di Chapel Hill, padahal dia diterima di Columbia. Supaya dia bisa
dekat dengan Marcus.”
Columbia adalah salah satu universitas swasta terbaik di U.S. yang rankingnya
cukup jauh di atas University of North Carolina Chapel Hill atau biasa disebut
Chapel Hill saja. Itu sebabnya aku agak terkejut dengan pilihannya ini. “Dia
diterima di Columbia?” tanyaku. Aku selalu berpikir adikku adalah orang terpintar
yang pernah aku temui, tetapi kelihatannya dia kalah pintar dengan Christine.
Reilley mengangguk. “Mereka memang suka bikin kesal, tetapi mereka berdua
memang pintar.”
Aku tertawa mendengar komentar Reilley. Kemudian kulihat Reilley menguap
dan aku tidak tega menolak permintaannya, yang kini terlihat tidak berdosa itu.
Why don‟t you go ahead and crash on my bed. I‟ll clean up over here,” ucapku. Aku
mengangkat piring kotor, lalu membawanya ke tempat cuci piring.
“Saya tidur di sofa kamu saja. I‟ll be fine,” balas Reilley, sambil mengangkat
piring dan gelasnya sebelum mengikutiku.
“Reilley, kamu kan tingginya lebih dari 190 sentimeter. Badanmu bakalan sakit
kalau tidur di sofa. Lagi pula, saya mau nonton TV dan saya nggak bisa nonton TV
kalau kamu tidur di sofa.”
Well... kalau begitu... makasih ya,” ucap Reilley, kemudian menguap lagi.
“Terima kasih kembali. Sana pergi tidur!” Aku lalu mendorong Reilley keluar
dari dapur. “Masuk lewat pintu itu untuk ke kamar tidur saya. Kamar mandinya
juga di dalam sana,” jelasku, sambil menunjuk ke arah pintu kamar tidurku.
“Apakah kamu perlu pakaian ganti?”
“Nggak perlu. Saya sudah bawa sendiri.” Reilley kemudian keluar sebentar dari
apartemen dan kembali beberapa menit kemudian sambil menenteng tas yang
terbuat dari kanvas hitam. Dia lalu tersenyum kepadaku, kemudian menghilang ke
dalam kamar tidurku.
Pelan-pelan kucuci piring dan gelas yang tadi kami gunakan. Ketika aku
mematikan keran air, aku bisa mendengar shower di kamar mandi sedang
dihidupkan. Pelan-pelan kulongokkan kepalaku ke dalam kamar tidur. Dari jendela
kamar tidur yang terbuka kulihat matahari sebentar lagi akan terbenam, dan hari
akan menjadi gelap. Buru-buru kututup kerai jendelaku dan kunyalakan lampu.
Kulihat ada kaus berwarna putih dengan celana piama berwarna abu-abu
terbentang di atas tempat tidurku yang berukuran Queen. Aku sedang
membereskan tempat tidur ketika Reilley keluar dari kamar mandi hanya
mengenakan celana dalam boxer briefs berwarna putih bersih, dan handuk ukuran
sedang berwarna putih tergantung di lehernya.
Aku menarik napas terkejut. Reilley juga kelihatan terkejut.
“Sori. Saya akan biarkan kamu tidur,” ucapku, buru-buru keluar dari kamar
tidur dan menarik pintu kamar hingga tertutup.
Ketika sudah berdiri di ruang tamu baru aku bisa bernapas lagi. Aku mencoba
menenangkan dan mengingatkan diriku berkali-kali bahwa ini bukan pertama
kalinya aku melihat laki-laki hanya bercelana dalam. Aku bahkan pernah melihat
laki-laki dengan tubuh yang lebih bidang daripada Reilley, yang bertelanjang dada.
Jadi, mengapa aku harus panik? Satu-satunya jawaban yang keluar dari otakku
adalah bahwa terakhir kali aku melihat laki-laki bertelanjang dada sekitar sembilan
bulan yang lalu, dan laki-laki itu Brandon. Satu-satunya orang yang aku coba
lupakan selama sembilan bulan ini.
Aku kemudian duduk di sofa dan menyalakan TV, mencoba mencari channel
yang bisa menarik perhatianku. Aku hampir saja loncat dari sofa ketika mendengar
pintu kamar tidur dibuka.
“Titania, saya boleh buka jendela kamar tidur sedikit nggak?” Suara Reilley
terdengar agak ragu.
“Errr... boleh. Apa heater-nya terlalu panas untukmu? Saya bisa turunkan
suhunya,” balasku, setelah terdiam beberapa saat dan hanya menatap tubuhnya
yang kini telah tertutup kaus dan celana piama. Rasa kecewa karena tidak bisa
melihatnya bertelanjang dada lagi muncul di kepalaku.
Nooo... the heater is fine. Saya hanya perlu udara segar kalau tidur.”
Aku mengangguk.
“Pukul berapa kamu ingin dibangunkan?”
“Sekitar pukul dua pagi kalau kamu masih terjaga. Nggak usah repot-repot,
saya bisa pasang alarm.”
“Pukul dua pagi?” tanyaku terkejut. Dia ingin tidur di apartemenku, di atas
tempat tidurku semalaman? Sekali lagi aku harus menenangkan diriku. Ini bukan
pertama kalinya ada laki-laki yang menginap di rumahku. Brandon sering
menginap di rumahku ketika dia datang berkunjung ke D.C. Dia juga pernah
berkunjung ke apartemen ini dan menginap karena terlalu lelah untuk menempuh
jarak 30 menit pulang ke apartemennya.
Sambil pelan-pelan mendekatiku di sofa, Reilley menjelaskan situasinya.
“Pesawat saya ke New York berangkat besok pukul enam pagi dari Raleigh. Jadi,
saya sebaiknya berangkat sekitar pukul setengah tiga dari sini supaya nggak
terlambat.”
Meskipun aku berterima kasih atas informasi tersebut, kelihatannya Reilley
tidak menyadari alasan sebenarnya mengapa aku berteriak beberapa detik yang
lalu.
“Berapa lama kamu akan ada di New York?”
“Selama weekend ini saja, untuk memberi training. Saya akan kembali Minggu
sore,” jelasnya, sambil duduk di sofa dan menguap. Melihat Reilley seperti inil, aku
jadi ingat pendapatku tentangnya ketika pertama kali bertemu dengannya di Fresh
Market. Tiba-tiba aku ingin menyanyikan lagu “Ninabobo” untuknya.
“Oke,” ucapku, lalu mengulurkan tanganku kepada Reilley, yang juga
mengulurkan tangannya kepadaku. Aku kemudian menuntunnya menuju kamar
tidur.
Kulepaskan genggamanku pada tangannya, dan berjalan menuju jendela untuk
membukanya sedikit agar ada udara segar yang masuk. Ketika aku berbalik badan,
kulihat Reilley sedang menatap tempat tidur sambil mengerutkan keningnya.
“Apa ada masalah dengan tempat tidur?” tanyaku ragu.
“Kamu selalu tidur di sebelah kanan,” ucap Reilley, kemudian menatapku. Aku
mengangguk. “Biar saya tidur di sebelah kiri, just in case kamu ingin tidur sebelum
saya bangun.” Reilley kemudian berjalan menuju sisi kiri tempat tidur dan
menyingkapkan selimut, kemudian naik ke atas tempat tidur dan perlahan-lahan
membaringkan tubuhnya.
Ahhh... this is a good bed,” gumam Reilley. Dia kemudian memutar kepalanya
dan mencium bantal yang menopang kepalanya. “And it smells like you,” ucapnya
ceria, kemudian tersenyum padaku.
Aku hampir saja menangis ketika mendengar Reilley mengatakan kata-kata itu.
Dia benar-benar penuh perhatian dan tenggang rasa. Bahkan Brandon tidak pernah
peduli di sisi mana aku tidur, aku yang biasanya harus mengalah dan tidur di sisi
sebelah kiri kalau dia sedang menginap. Aku memiliki “aroma”, begitu tadi
katanya? Aku tidak pernah tahu tentang itu. Brandon jelas-jelas tidak pernah
mengomentari “aroma”-ku.
I hope it‟s not a bad smell,” balasku, sambil melangkah mematikan lampu kamar.
Not at all. I love this smell. Been dreaming about it for the past few weeks actually.
Reilley kelihatan malu ketika mengatakannya.
Meskipun hatiku tiba-tiba berdebar-debar dengan kencang, aku berhasil
mengucapkan selamat malam mematikan lampu, dan meninggalkan kamar tidur
dengan selamat.
Satu detik setelah aku melangkah kembali ke ruang tamu, telepon selularku
berbunyi. Aku buru-buru berjalan menuju ruang kerja, yang terletak berseberangan
dengan kamar tidur. Ternyata Didi yang meneleponku.
“Mbak... gimana date-nya?” Seperti biasa Didi terdengar antusias.
Aku mengempaskan tubuh ke atas kursi. “Kamu nggak bakalan percaya deh
dengan ceritaku.”
What happened?” Tiba-tiba Didi terdengar khawatir.
“Aku bilang ke kamu kalau date aku namanya Francis, kan?”
“Ya...,” jawaban Didi terdengar menggantung.
“Mau tahu nama lengkapnya siapa? Francis Winslow OReilley,” ucapku,
menjawab pertanyaanku sendiri.
Didi terdiam beberapa saat, masih belum bisa mengerti teka-tekiku. Kemudian
dia menarik napas dan berteriak, “Nooo fucking way... Date Mbak itu Rielley? Lakilaki
sialan yang nggak pernah telepon itu?”
“Ya,” jawabku.
“Yang nomornya juga nggak bisa dihubungi?”
Yep.”
“Yang mobilnya Volvo SUV?”
“Mm-ehm.”
“Yang matanya superbiru dan ganteng abis?”
Aku sempat tertawa sebelum menjawab, “He-eh... itu dia.”
“Gilaaa... kok bisa sih?” teriak Didi.
“Aku saja bingung,” jawabku.
“Terus bagaimana, cerita dong,” pinta Didi. Aku bisa mendengar bunyi keran
air yang dinyalakan melalui speaker telepon. Kemungkinan besar Didi sedang
membuat makanan tengah malam favoritnya, yaitu mie instan.
“Kami ngobrol panjang-lebar,” ucapku.
“He-eh,” jawab Didi.
“Dia cerita tentang keluarganya,” lanjutku.
“Oke,” jawab Didi lagi.
“Pekerjaan dia, bla bla bla...”
Well that‟s a start.” Kudengar bunyi keran air dimatikan, dan aku yakin Didi
sedang mengangkat panci ke atas kompor.
“Sekarang dia sedang tidur di atas tempat tidurku,” ucapku tenang. Pada saat
itu juga aku bisa mendengar bunyi KLONTANG... yang cukup keras diikuti dengan
makian Didi sebelum dia berteriak, “He is doing whaaattt?!
“Sedang tidur di atas tempat tidurku,” ulangku, sambil tersenyum. Aku tahu
seharusnya aku tidak mengganggu adikku ini, tetapi terkadang aku hanya ingin
melihat atau mendengar reaksinya atas kata-kataku.
“Mbak nggak... maksud aku... aduh bagaimana omongnya ya. You know...
nggak...” Untuk pertama kalinya adikku tidak bisa berkata-kata.
“Nggaklah. Kamu gila. Mbak bisa digoreng Ibu dan Bapak,” potongku karena
tidak tega mendengar Didi terbata-bata.
“Oh... phewww... tentu saja nggak. Aku nggak tahu mengapa aku berpikir
begitu.”
“Dia harus terbang besok pagi ke New York dari Raleigh. Jadi, daripada pulang
ke Wilmington, dia menginap di sini,” jelasku.
“Dia tinggal di Wilmington? That‟s a nice town to live in.”
“Kamu tahu dari mana? Kamu kan nggak pernah ke sana?” Aku mendengar
bunyi plop... plop... plop... Kelihatannya Didi sedang membersihkan tumpahan air
dari pancinya dengan menggunakan napkin dapur bukan kain pel.
Dawson‟s Creek-lah. Mereka kan shooting di situ,” jawab Didi seakan-akan dia
sedang mengemukakan fakta yang semua orang harus tahu, yakni tentang serial
anak ABG tahun 90-an itu.
“Aduuuhhh, adikku yang calon doktor ini kok otaknya penuh informasi nggak
berguna kayak begini sih?” candaku.
Didi tertawa kencang. Kemudian kudengar Didi menarik sesuatu yang
terdengar seperti kantong kripik.
“Kamu nggak jadi makan mie?” tanyaku.
“Nggak... gara-gara Mbak, aku nggak mood lagi bikin mie,” omel Didi. Selang
beberapa detik dia berkata, “Mbak kok tahu sih kalau aku lagi ingin masak mie?”
Aku tertawa sebelum menjawab, “Memang ada makanan lain yang kamu bakal
makan selain mie kalau di rumah?”
“Hehehe... benar juga,” ucap Didi tersipu-sipu. Kemudian kudengar bunyi
krauk... krauk... krauk... dan aku tahu Didi sudah berhasil membuka kantong
keripiknya dan sedang melahap isinya dengan membabi buta.
“Dia kerjanya apa, Mbak?” Suara Didi terdengar jelas ketika menanyakan ini.
Tampaknya dia mendengarkan nasihatku agar tidak berbicara ketika mulutnya
penuh dengan makanan.
Aku lalu menceritakan segala sesuatunya tentang Reilley kepada Didi, yang
mendengarkan dengan saksama.
“Mbak bakal tidur dengan dia?” Didi terdiam setelah menanyakan pertanyaan
ini, kemudian baru melanjutkan, “Maksudku bukan tidur begitu. Maksudku tidur
betulan.”
“Nggaklah. Mbak tunggu saja sampai dia bangun baru Mbak tidur.”
“Oh... ya sudah.” Ketika Didi mengucapkan ini dia terdengar kecewa, tetapi aku
tidak berani menanyakan alasan di balik kekecewaannya itu.
Ketika aku selesai berbicara dengannya jam sudah menunjukkan pukul
sembilan malam. Perlahan-lahan aku bangun dari kursi dan berjalan ke luar ruang
kerja. Aku harus mandi. Sayangnya semua bajuku ada di kamar tidur, dan satusatunya
kamar mandi di apartemen ada di dalam kamar tidur. Mau tidak mau aku
berjalan ke sana. Perlahan-lahan kubuka pintu kamar tidur. Semuanya cukup gelap
kecuali penerangan dari sinar lampu jalan yang masuk melalui sela-sela kerai.
Udara di dalam kamar tidur terasa lebih dingin dibandingkan di ruang tamu karena
jendela yang terbuka. Aku berjalan menuju lemari pakaian dan menyalakan
lampunya. Aku melirik ke arah tempat tidur untuk meyakinkan sinar lampu tidak
mengganggu tidur Reilley. Aku tidak melihat ada gerakan apa pun. Aku juga tidak
mendengar suara mendengkur. Rupanya Reilley tipe orang yang tidur seperti orang
mati.
Kuambil piyama tidurku dan celana dalam, kemudian aku mematikan lampu
dan berjalan menuju kamar tidur. Kunyalakan lampu kamar mandi dan buru-buru
masuk. Tidak lama kemudian aku sudah ada di dalam bathtub, dan air panas pun
mengucur dari shower membasahi seluruh tubuhku. Ketika aku akan mengambil
sabun, aku baru menyadari ada beberapa botol alat mandi yang bukan milikku.
Botol-botol itu semuanya produk laki-laki dengan brand designer terkenal. Aku
yakin satu botol produk itu bisa untuk membeli empat botol produk yang aku
gunakan. Kuambil botol shampo-ku dan menuangkannya sedikit pada telapak
tanganku sebelum mulai mengusapnya pada rambutku. Aku lalu mengambil botol
sabunku, menuangkan beberapa tetes pada sponge, kemudian mengusapkannya ke
seluruh tubuh.
Selama melakukan itu semua, aku tidak bisa mengalihkan mataku dari produkproduk
mandi khusus untuk laki-laki yang terletak bersebelahan dengan produk
mandiku. Aku kemudian membilas bersih rambut dan tubuhku beberapa kali untuk
memastikan tidak ada busa sabun dan shampo yang masih tersisa. Setelah kulitku
bersih aku berdiri di bawah shower dan menikmati siraman air panas, yang cukup
bisa membuatku terasa nyaman. Rasa keingintahuan semakin mendorongku untuk
melakukannya. Akhirnya, aku menyerah untuk melawan rasa itu dan mengangkat
salah satu botol, membuka tutupnya, dan menghirup aromanya. Saat itu aku yakin,
aku baru saja meninggal dan masuk ke surga. Aroma yang keluar dari botol itu
adalah aroma Reilley. Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri di bawah shower
dengan air yang masih mengalir sambil menciumi botol itu. Aku baru tersadar
ketika air yang tadinya panas kini mulai menjadi dingin, dan aku harus cepat-cepat
keluar dari bawah siraman air itu kalau tidak mau masuk angin.
Kuletakkan botol shampo Reilley dan mematikan shower, kemudian melangkah
turun dari bathtub. Kukeringkan semua bagian tubuh dengan handuk, kemudian
menyapukan lotion berbau melati pada seluruh tubuh dan mengenakan pakaian
tidur. Kukeringkan rambut dengan hair dryer, kemudian melangkah ke luar kamar
mandi. Kumatikan lampu dan berjalan sepelan mungkin menuju pintu kamar. Saat
itulah aku mendengar suara Reilley memanggil namaku. Suara itu terdengar cukup
jelas sehingga aku berpikir bahwa dia terbangun.
“Sori aku membuatmu terbangun,” bisikku, dan berjalan menuju Reilley. Ketika
aku berada sekitar satu meter darinya, aku menyadari Reilley masih tertidur lelap.
Lho kok? ucapku dalam hati. Aku lalu menggeleng, berpikir bahwa aku pasti salah
dengar dan sekali lagi berjalan sepelan mungkin menuju pintu.
Baru saja aku berjalan satu langkah, aku mendengar suara Reilley lagi
memanggil namaku. “Titania,” ucapnya dengan sangat jelas.
Penasaran aku lalu beranjak ke atas tempat tidur untuk memastikan apakah dia
masih terlelap atau tidak. Aku menahan berat tubuhku dengan kedua lenganku.
“Reilley kamu masih tidur?” bisikku. Wajahku hanya sekitar lima puluh
sentimeter dari wajahnya.
Tiba-tiba tangan Reilley terangkat dan memelukku dengan paksa.
“Hhhmmppp.” Adalah satu-satunya kata yang keluar dari mulutku karena tiba-tiba
aku sudah terbaring di atas tempat tidur dalam posisi yang agak janggal. Bagian
atas tubuhku ada di tempat tidur, sedangkan kedua kakiku masih tergantung keluar
dari tempat tidur. Sekarang aku yakin Reilley barusan mengigau. Aku berusaha
melepaskan diri tanpa membangunkannya. Kudorong tubuhku untuk menjauhinya,
tetapi Reilley justru menarikku lebih erat. Kucoba menggulingkan tubuhku, yang
juga tidak membuahkan hasil. Kini posisiku malah jadi tengkurap di atas dada
Reilley. Hanya tinggal pergelangan kakiku yang masih menjulur keluar dari atas
tempat tidur.
Aku berdiam diri selama beberapa detik untuk mempertimbangkan langkah
yang akan aku lakukan. Bahkan dalam tidur aroma Reilley masih cukup kuat. Aku
bisa merasakan denyut jantungnya di bawah pipiku. Kututup mataku untuk
menghirup aroma Rielley dalam-dalam. Memasukkannya ke dalam semua indraku
dan menguncinya di dalam memoriku. Kutarik napas panjang. Satu kali... dua kali...

tiga kali... empat kali....


Blind Date - Part 8

No comments:

Post a Comment