7
Di Antara Hot dan Warm
AKU
sampai lebih dulu di apartemen, dan aku tahu kalau aku sudah setengah gila
karena
mengundang laki-laki tidak dikenal datang ke apartemenku. Lebih gilanya
lagi,
aku tidak tahu mengapa aku mengundangnya. Aku hanya tahu, aku ingin
mengenal
Reilley lebih jauh. Tentu saja aku tidak bisa melakukannya kalau berada
di
dalam restoran penuh orang yang bisa mendengar percakapan kami.
Aku
sedang mencoba membereskan ruang TV atau ruang tamu di apartemen
agar
kelihatan sedikit lebih rapi. Sejujurnya, aku belum sempat membersihkannya
setelah
Didi pergi sekitar seminggu yang lalu. Ketika aku asyik dengan pekerjaanku,
kudengar
pintu diketuk. Sekadar untuk berjaga-jaga, aku berteriak, “Who is it?”
“It‟s Reilley.”
Buru-buru
kubuka pintu dan mempersilakannya masuk.
“Kamu
harus lepas sepatu,” ucapku ketika melihat Reilley akan melangkah
masuk
ke apartemen dengan masih mengenakan sepatunya.
Selama
beberapa detik Reilley menatapku bingung, kemudian melepaskan
sepatunya
satu per satu.
“Apakah
sekarang saya boleh masuk?” tanyanya, dengan wajah yang kini
terlihat
sangat terhibur oleh kelakuanku.
“Boleh,”
sahutku, sambil berjalan ke dapur. “Kamu mau minum atau makan
sesuatu?”
“No, I‟m fine,” jawab Reilley.
Aku
hampir saja menjatuhkan botol mountain
dew, yang sedang aku pegang.
Terkejut
karena suara itu terdengar persis di belakang telingaku.
“Jeeezzz... jangan mengagetkan orang begitu deh,” omelku, sambil
mengusapusap
dadaku.
“Oh,
sori. Didn‟t mean to scare you,” ucapnya, sambil tersenyum.
Aku
buru-buru menuangkan satu gelas penuh mountain
dew, dan berjalan
kembali
menuju ruang TV. Reilley mengikutiku.
Aku
duduk di satu ujung sofa, dan tanpa menunggu hingga dipersilakan dia
pun
duduk di ujung satu lagi. Dia melepaskan jaket kulit yang dikenakannya, dan
sempat
terlihat bingung di mana dia harus meletakkannya. Kuletakkan gelas berisi
soda
di atas meja, dan mengambil jaket itu darinya untuk digantung di dalam lemari
dekat
pintu masuk.
Aku
sedang melipat kedua kakiku di atas sofa ketika Reilley berkata,
“Apartemen
kamu nyaman.”
Aku
mengangguk sambil mulai mendaftarkan pertanyaan-pertanyaan yang
ingin
aku tanyakan kepadanya di dalam kepalaku. Menyadari bahwa aku sedang
mempersiapkan
diri untuk menginterogasinya, Reilley menunggu. Dia
menyandarkan
tubuhnya yan gbesar di bantal-bantal sofa. Tubuhnya
menghadapku,
salah satu kakinya terlipat di atas sofa. Sejujurnya, dia kelihatan
cukup
nyaman dengan sekelilingnya.
Kuangkat
gelas berisi soda, dan setelah minum satu teguk aku pun mulai
dengan
sesi tanya-jawabku. “Seingat saya, kamu bilang kamu nggak tinggal di
Winston,
betul?”
Reilley
mengangguk.
“Jadi,
kamu tinggal di mana?” lanjutku. Aku yakin Sandra pasti sudah
memberitahuku
dari mana Reilley berasal, tetapi aku tidak bisa mengingatnya.
“Saya
ada rumah di Wilmington, tetapi sudah lama saya tidak tinggal di sana.”
“Mengapa?”
“Pekerjaan
saya mengharuskan saya selalu travel. Don‟t get me wrong, I love my
job, it‟s just that I wish it
would allow me more free time.”
“Kamu
computer programmer, kan?”
“Yep.”
“Kamu
nggak kelihatan seperti computer
programmer pada umumnya,” ucapku.
“Oh,
ya?” Kini wajah Reilley penuh senyum.
“Kamu
terlalu atletis untuk seseorang yang mata pencahariannya duduk di
depan
komputer sepanjang hari, kamu suka nonton football...”
“Saya
dulu juga main di tim football Wake Forest University,” Reilley memotong
kalimatku.
“Oh?”
Aku terkejut. Hla itu tampak terlihat dengan jelas dari tubuhnya yang
kelihatan
superatletis dan tanpa lemak satu ons pun.
“Jangan
tersinggung ya, tetapi kamu juga nggak kelihatan seperti seorang
financial analyst,” sambung Reilley.
“Maksud
kamu?” Aku terdengar sedikit tersinggung, tetapi Reilley
menganggap
reaksiku lucu dan tertawa.
“Kamu
terlalu hot untuk mengerjakan pekerjaan seserius itu.” Hanya dengan
kata-kata
itu, Reilley telah memadamkan semua kemarahan yang baru akan muncul
ke
permukaan. “Oh... ya, saya nggak tahu kamu pakai kacamata.” Reilley menunjuk
ke
kacamata yang kupakai.
Otomatis
aku langsung melepas kacamata itu, dan meletakkannya di atas meja.
Setidak-tidaknya
sekarang aku sudah tahu bagaimana wajah date-ku, dan Reilley
duduk
cukup dekat denganku sehingga aku tidak mengalami kesulitan membaca
ekspresi
wajahnya.
“Hei,
mengapa dilepas?”
Aku
mengangkat bahu. “Saya nggak memerlukannya lagi. Saya bisa melihat
kamu
cukup jelas,” jelasku.
“Saya
suka kacamata itu di kamu. Bikin kamu kelihatan tambah seksi.” Reilley
mengatakannya
betul-betul sebagai pujian, bukan untuk menggodaku. Hanya
dalam
hitungan detik kurasakan semua darah yang ada di tubuhku naik ke wajah,
dan
akan membuat wajahku kelihatan seperti tomat.
“Jadi,
seberapa sering kamu harus travel
untuk pekerjaan kamu?”
Melihatku
tidak bereaksi dengan komentarnya, dan justru mengganti topik
pembicaraan,
Reilley kelihatan sedikit kecewa. Walaupun begitu, dia segera
mengatur
ekspresi wajahnya dan menjawab pertanyaanku.
“Saya
biasanya ada di luar delapan bulan dalam satu tahun.”
“Delapan
bulan?!” teriakku terkejut. Aku tidak pernah mendengar ada orang
yang
bersedia travel sebegitu banyaknya karena pekerjaannya, kecuali mereka sales
representative. “Lho, bukankah kamu programmer? Bukankah mereka seharusnya
hanya
duduk di belakang meja sehari penuh dan... mendesain program komputer?”
“Well, yes. Itu memang yang dikerjakan computer programmer pada
umumnya.
Selain
hal itu, saya juga melakukan aplikasi dan training program-program
tersebut,”
jelas Reilley.
Penjelasannya
memang masuk akal. Hal ini membuatku semakin penasaran.
“Biasanya
kamu pergi ke mana saja?”
“Kebanyakan
sih di Continental U.S. dan Kanda, tetapi kadang-kadang saya
harus
pergi ke Eropa atau Asia kalau memang ada masalah yang serius.”
“Memang
nggak ada ahli-ahli lain yang bisa menyelesaikan masalah-masalah
itu?”
“Ada.
Malahan cukup banyak.”
“Apakah
mereka harus travel sesering kamu?”
Reilley
menggeleng.
“Itu
agak nggak adil, kan? Mengapa kamu nggak menolak saja kalau disuruh
travel lagi?” ucapku.
“Well, saya nggak bisa.”
“Mengapa?”
“Karena
banyak dari program itu saya yang mendesain. Jadi, saya merasa
bertanggung
jawab atas performa mereka.” Reilley menutup pembahasan kami.
Awalnya
aku hanya menatapnya, mencoba memahami kata-katanya. Aku tahu,
Reilley
tampaknya sedang menyembunyikan sesuatu tentang pekerjaannya itu.
“Kamu
nggak melakukan sesuatu yang ilegal, kan?” Nadaku terdengar sedikit
tajam
daripada yang aku rencanakan.
Reilley
tertawa melihat ekspresiku yang serius. “Saya pastikan semuanya legallegal
saja.”
Aku
mengangguk. “Kamu biasanya membuat program apa?”
“Program
yang biasanya digunakan dalam dunia finansial.” Reilley lalu
menyebutkan
salah satu software, yang kini aku gunakan di kantor untuk melakukan
perhitungan
pinjaman kepada nasabah.
“Kamu
yang mendesain software itu?!” teriakku terkejut.
Reilley
terlihat terkejut dengan keantusiasanku. “Melihat reaksi kamu, saya
simpulkan
kamu suka software itu?”
“I love it. Sangat user
friendly,” jawabku, masih mencoba menutupi
kekagumanku
kepada
Reilley.
Ketika
melihat Reilley akan mengatakan sesuatu, buru-buru aku potong dengan
pertanyaan
lagi.
“Siapa
yang memaksa kamu join dengan MBD?”
Tentunya
aku tidak bisa mengelabui Reilley. Dia tahu taktikku untuk
menghindari
pertanyaannya, tetapi dia tidak memaksa, malah justru mengalah dan
menjawab
pertanyaanku. “Mengapa kami pikir harus ada yang memaksa saya?”
“You‟re seriously asking me that
question?” Kubuat nadaku agar terkesan
menggurui.
Reilley
mengangkat alisnya dan menunggu.
“Kamu
punya pekerjaan yang mapan, punya rumah sendiri, penghasilan kamu
kelihatannya
cukup sehingga kamu bisa beli mobil Eropa yang cukup mahal, kamu
nggak
merokok, nggak kelihatan kesepian karena kamu punya teman untuk hang
out dan nonton sports, dan kamu hot,” jelasku.
“Menurut
kamu saya hot?” Reilley betul-betul terlihat terkejut.
Aku
memutar bola mataku sebelum melanjutkan, “Saya yakin kamu nggak
punya
masalah untuk menemukan perempuan dengan upayamu sendiri. Jadi, lakilaki
normal
mana yang akan menghabiskan dua ribu dolar untuk bertemu dengan
perempuan
kalau mereka bisa melakukannya sendiri, kecuali kalau ada yang
memaksa
mereka?”
Reilley
terlihat menimbang-nimbang pertanyaanku, kemudian berkata, “Kamu
ingat
Christine, adikku?”
“Dia
memaksa kamu untuk join MBD?”
Reilley
mengangguk pasrah. “Dia pakai bawa-bawa my
mom dan Mary segala.
Rupanya
dia melihat company itu dipromosikan di Oprah
beberapa bulan yang lalu,
kalau
nggak salah.”
Mau
tidak mau aku tersenyum. Sepertinya orang-orang yang mengambil
jurusan
psikologi memiliki kecenderungan menyukai Oprah.
“Dates kamu bagaimana sejauh ini?” tanyaku.
“Lumayan,
tetapi nggak ada yang semenarik kamu.”
Terakhir
kali laki-laki yang mengatakan bahwa aku “hot”, seksi, dan
menarik,
dia
akhirnya selingkuh dengan asistennya. Seperti ada embusan angin yang
menyapu
tubuhku, aku menggigil.
“Saya
lebih memilih jadi nggak „hot‟, nggak seksi dan membosankan,” gerutuku.
“Kamu
seharusnya belajar menerima pujian dengan senyuman dan kata terima
kasih,
Titania,” tegur Reilley.
“Ha...
ha, saya mungkin akan mengikuti saran kamu kalau saja tidak karena
orang
terakhir yang mengatakan hal yang sama adalah pacar saya selama tiga
tahun.
Saya memergoki dia sedang ML dengan asistennya di kantornya pada suatu
malam
ketika saya memutuskan untuk datang membawakannya makan malam,”
balasku
sarkasme.
“Oh, my God. I‟m sorry I didn‟t
know,” ucap Reilley, sambil bergeser di atas
sofa
dan
mendekatiku.
“Not as sorry as I am,” gumamku. Aku tahu, aku tidak sepatutnya mengatakan
ini
semua kepada Reilley, tetapi kehadirannya seolah-olah telah menenangkanku
dan
membuatku memercayainya. “Sori, saya seharusnya nggak menumpahkan
nonsense seperti ini ke kamu.”
“Itu
bukan nonsense.” Suara Reilley menenangkanku. Tanpa kusangka-sangka
dia
kemudian menarikku ke pelukannya. Setelah itu, ia menyandarkan tubuhnya ke
sofa
sambil masih memelukku.
Aku
sempat terkejut dengan tindakannya, tetapi aku lebih terkejut lagi dengan
reaksiku
yang menerimanya dengan sepenuh hati. Sekali lagi aku bisa mencium
aroma
Reilley yang maskulin. Kulitnya terasa hangat di bawah pipiku. Kutarik
napas
dalam-dalam mencoba mengingat hal-hal yang ada di sekelilingku pada detik
ini,
dan menyimpannya di dalam memoriku agar bisa mengingatnya kembali di
kemudian
hari.
“I‟m guessing it was Brandon who
did this to you?”
Aku
mengangguk. Aku sudah tidak terkejut lagi ketika Reilley menyebutkan
nama
Brandon. Reilley tampaknya memiliki memori yan gcukup kuat dalam
mengingat
nama orang.
“Saya
seharusnya menghajar dia habis-habisan,” geram Reilley.
“Ya.
Seharusnya,” balasku, kemudian tertawa. Reilley pun tertawa bersamaku.
“Oh...
ya, aku harus mengatakan ke kamu bahwa aku sangat menikmati bagian
di
mana kamu berkata ke dia untuk grow
up.”
Aku
tertawa ketika mengingat kejadian malam itu. Aku ingat, Reilley sudah
menghilang
ketika aku meneriakkan kata-kata itu. Kutarik tubuhku dari
pelukannya,
dan menatapnya curiga. “Dari mana kamu tahu tentang itu, kamu kan
nggak
ada di situ?”
Reilley
terlihat salah tingkah ketika menjawab. “Saya... saya... well you see.... Saya
nggak
yakin bagaimana dia akan bereaksi. Jadi, saya menunggu saja to make sure... to
make sure bahwa kamu baik-baik saja.”
“Were you there the whole time?” tanyaku terkejut. Aku bisa merasakan wajahku
mulai
memerah.
“Ya.
Saya berdiri di belakang an
Expedition. Jadi, kamu nggak bisa melihat saya,”
jelas
Reilley.
Tentu
saja aku nggak akan bisa melihatnya di belakang sebuah Expedition,
sebuah
SUV dengan ukuran supertinggi dan besar.
“Sekarang,
kamu mau nggak dating dengan saya?” Reilley terdengar serius
kembali.
“Tentu
saja saya mau. Are you kidding me? Saya belum bertemu dengan orang
yang
mendekati kamu kepintarannya atau gantengnya dalam waktu lima bulan ini.
Kontrak
saya dengan MBD sudah hampir habis, dan Sandra bakal membunuh saya
kalau
sekali lagi saya hanya mengkategorikan kamu sebagai „warm‟ dan bukannya
„hot‟!” teriakku frustrasi.
“Sandra
itu siapa?”
“Agen
saya di MBD,” jawabku.
“Agen
saya bernama Kim. Dia baik. Dia berkata kepada saya bahwa kamu
kemungkinan
besar adalah kandidat terbaik untuk saya,” ucap Reilley.
“Sandra
juga berkata hal yang sama tentang kamu,” balasku.
“So what do you think?” tanya Reilley.
“About what?”
“About us.”
“What about us?” tanyaku bingung.
Reilley
memutar bola matanya. “Apakah kamu mau lanjut dating dengan
saya?
Apa
saya ada di zona „hot‟ atau hanya „warm‟?”
Aku
memikirkan jawabanku dengan saksama. “Kamu jelas-jelas lebih dari
„warm‟, tapi saya masih belum bisa bilang kamu „hot‟. Saya perlu waktu untuk lebih
mengenal
kamu.”
“Cukup
adil,” balas Reilley.
Tiba-tiba
kudengar suara perut Reilley berbunyi dengan cukup keras.
“Kamu
lapar, ya?” tanyaku, sambil menatap wajahnya yang sedang tersenyum
malu.
“Sedikit.
Kamu ingat kan tadi saya nggak sempat menghabiskan lunch saya?”
“Oh...
ya. Kamu seharusnya kasih tahu saya tadi. Jadi, saya bisa masak sesuatu
untuk
kamu.” Buru-buru aku bangun dari sofa dan berjalan ke dapur.
Kubuka
lemari es dan memeriksa sisa makanan apa yang ada di situ. Ada sisa
lasagna yang aku buat tiga hari yang lalu, ada nasi goreng yang kubuat
tadi pagi,
dan
salad kentang sisa tadi malam.
“Oke,
kamu mau lasagna, salad kentang, atau nasi goreng?!”
Kudengar
langkah Reilley berjalan ke arahku. “Kayaknya saya bisa makan
semuanya
deh, soalnya lapar banget,” jawab Reilley.
Aku
tertawa dan mengeluarkan piring berisi tiga potong besar lasagna dan
semangkuk
besar salad kentang dari lemari es. Kulepaskan plastik yang menutupi
piring
dan mangkuk itu, kemudian memasukkan lasagna
ke dalam microwave untuk
dihangatkan.
Kuaduk salad kentang dengan dua spatula kayu, kemudian
menambahkan
sedikit merica di atasnya.Aku lalu mengambil dua piring makan dari
dalam
lemari dan membagi salad kentang itu menjadi dua. Dengan sengaja aku
membuat
porsi Reilley lebih banyak dibandingkan porsiku. Dari sudut mataku
kulihat
Reilley sedang memperhatikanku dengan saksama. Aku langsung merasa
risi.
“Sori,
ya. Kamu hanya mendapatkan makanan sisa. Saya bisa sih memasakkan
kamu
sesuatu, tetapi mendengar suara perut kamu kelihatannya lebih baik saya
kasih
kamu makan sekarang sebelum kami mulai menyerang tetangga saya,”
candaku,
yang diikuti suara tawa Reilley.
Kudengar
bunyi bip... bip... bip... yang menandakan lasagna
sudah siap
dikeluarkan
dari dalam micromave. Aku mengangkat satu potong dan meletakkannya
pada
piringku, kemudian mendorong dua potong lagi ke piring Reilley.
“Bisa
tolong bawa piring-piring ini ke meja makan, saya akan bawa gelas dan
peralatan
makannya.” Reilley langsung mengangkat kedua piring itu, dan berjalan
menuju
meja makan.
Kuambil
satu gelas tinggi, dua set garpu, dan pisau dari dalam laci. Setelah itu,
kubuka
kulkas dan mengambil botol mountain
dew yang tadi masih tersisa, dan
membawanya
ke meja makan. Aku berjalan menuju ruang TV untuk mengambil
gelas
berisi soda. Meja makanku bisa diduduki enam orang, dan Reilley memilih
duduk
di ujung sementara aku duduk di sebelahnya.
“Go ahead.” Dengan tanganku kupersilakan Reilley makan.
Tanpa
pikir panjang lagi, Reilley langsung memakan lasagna dan
salad kentang
yang
aku hidangkan sampai bersih tidak bersisa.
“That was the best food I have ever
tasted in a very long time,” ucapnya
bersungguhsungguh.
“Kamu
nggak suka otak sapi yang tadi siang?” candaku.
“Makanan
itu rasanya kayak dog food,” gerutu Reilley.
“Penampilannya
juga kayak dog food.”
“Yeah, no kidding. You sure can
pick your food.” Reilley kemudian tertawa ketika
melihat
ekspresi di wajahku yang terlihat agak tersinggung. “Apakah kamu yang
bikin
lasagna dan salad kentang yang barusan saya makan?” sambung Reilley.
“Aku
mengangguk. “Kamu suka masak, ya?” lanjutnya.
“Ya.
Dulu saya suka masak untuk Br...” Aku menghentikan kata-kataku yang
baru
saja akan mengatakan “Brandon”. Kucoba memperbaikinya sebelum Reilley
sadar.
“Untuk adik saya. Dia tikus percobaan saya.”
Sekali
lagi aku tidak bisa mengelabui Reilley. Dari wajahnya dia tahu bahwa aku
baru
saja hampir salah bicara, tetapi dia tidak menanyakan hal itu.
“Apakah
kamu sudah kenyang? Atau kamu mau saya panaskan nasi
gorengnya?”
“Nggak...
nggak.... Saya sudah kenyang. Thanks
for the...” Reilley kemudian
melirik
ke jam tangannya sebelum berkata, “Well...
for that food.”
Aku
pun melirik ke jam yang ada di dapur. Ternyata sudah pukul lima sore.
“Oh, my God. Sudah pukul lima!” teriakku.
Reilley
mengangguk, kemudian menguap.
“Sori,
ya. Kamu pasti capek banget.” Aku mencoba meminta maaf. “Apakah
kamu
akan menyetir balik ke Wilmington setelah ini, atau kamu akan tinggal
bersama
orangtua kamu di Winston?”
“Saya
sebetulnya berencana ingin tidur di sini beberapa jam, kalau kamu nggak
keberatan.
Orangtua saya sedang ada di Prancis bulan ini. Jadi, rumah mereka
kosong.
I don‟t feel like going there with
nobody‟s home.”
Aku
hampir saja meneriakkan, “‟Di sini‟ maksud kamu „apartemen saya‟?!”
ketika
mendengarnya mengatakan itu, tetapi kata-kata selanjutnya lebih menarik
perhatianku
untuk diungkapkan. “Mengapa mereka ada di Prancis?” tanyaku
bingung.
“Oh...
mereka punya rumah di Nice. Mereka selalu pergi ke sana setiap bulan
Januari,”
jawab Reilley cuek.
“Orangtua
kamu punya rumah di Nice?” Bahkan orangtuaku yang
kehidupannya
jauh di atas rata-rata tidak memiliki rumah di Nice atau bahkan di
luar
Indonesia.
Reilley
mengangguk. “Di situlah saya belajar bahasa Prancis. Sayangnya nggak
sebaik
Marcus atau Christine. Saya sudah sepuluh tahun ketika kami mulai berlibur
ke
sana setiap musim panas. Mereka baru enam tahun, otak mereka bisa menyerap
informasi
lebih cepat.”
“Mereka
kelihatannya dekat sekali.”
“Siapa?”
tanya Reilley.
“Marcus
dan Christine.”
“Oh,
memang. Mereka selalu bikin aku dan Mary kesal karena itu. Mereka tidak
bisa
dipisahkan. Suatu keajaiban sampai Christine bisa punya pacar, padahal dia
tinggal
bersama Marcus. Dia sangat protektif theradap my mom dan
Mary, tapi
paling
parah terhadap Christine.” Reilley menjelaskan semua itu sambil tersenyum
dengan
tatapn mata yang tiba-tiba menjauh, seakan-akan dia sedang mengingat
sesuatu
yang lucu. Aku dapat melihat bahwa dia mencintai keluarganya sedalam
aku
mencintai keluargaku.
“Kelihatannya
Christine juga begitu terhadap Marcus.”
Reilley
mengangguk, “Itu sebabnya mengapa Christine sekarang mengambil
gelar
Master‟s di Chapel Hill, padahal dia diterima di Columbia. Supaya dia
bisa
dekat
dengan Marcus.”
Columbia
adalah salah satu universitas swasta terbaik di U.S. yang rankingnya
cukup
jauh di atas University of North Carolina Chapel Hill atau biasa disebut
Chapel
Hill saja. Itu sebabnya aku agak terkejut dengan pilihannya ini. “Dia
diterima
di Columbia?” tanyaku. Aku selalu berpikir adikku adalah orang terpintar
yang
pernah aku temui, tetapi kelihatannya dia kalah pintar dengan Christine.
Reilley
mengangguk. “Mereka memang suka bikin kesal, tetapi mereka berdua
memang
pintar.”
Aku
tertawa mendengar komentar Reilley. Kemudian kulihat Reilley menguap
dan
aku tidak tega menolak permintaannya, yang kini terlihat tidak berdosa itu.
“Why don‟t you go ahead and crash
on my bed. I‟ll clean up over here,”
ucapku. Aku
mengangkat
piring kotor, lalu membawanya ke tempat cuci piring.
“Saya
tidur di sofa kamu saja. I‟ll
be fine,” balas Reilley, sambil mengangkat
piring
dan gelasnya sebelum mengikutiku.
“Reilley,
kamu kan tingginya lebih dari 190 sentimeter. Badanmu bakalan sakit
kalau
tidur di sofa. Lagi pula, saya mau nonton TV dan saya nggak bisa nonton TV
kalau
kamu tidur di sofa.”
“Well... kalau begitu... makasih ya,” ucap Reilley, kemudian menguap
lagi.
“Terima
kasih kembali. Sana pergi tidur!” Aku lalu mendorong Reilley keluar
dari
dapur. “Masuk lewat pintu itu untuk ke kamar tidur saya. Kamar mandinya
juga
di dalam sana,” jelasku, sambil menunjuk ke arah pintu kamar tidurku.
“Apakah
kamu perlu pakaian ganti?”
“Nggak
perlu. Saya sudah bawa sendiri.” Reilley kemudian keluar sebentar dari
apartemen
dan kembali beberapa menit kemudian sambil menenteng tas yang
terbuat
dari kanvas hitam. Dia lalu tersenyum kepadaku, kemudian menghilang ke
dalam
kamar tidurku.
Pelan-pelan
kucuci piring dan gelas yang tadi kami gunakan. Ketika aku
mematikan
keran air, aku bisa mendengar shower
di kamar mandi sedang
dihidupkan.
Pelan-pelan kulongokkan kepalaku ke dalam kamar tidur. Dari jendela
kamar
tidur yang terbuka kulihat matahari sebentar lagi akan terbenam, dan hari
akan
menjadi gelap. Buru-buru kututup kerai jendelaku dan kunyalakan lampu.
Kulihat
ada kaus berwarna putih dengan celana piama berwarna abu-abu
terbentang
di atas tempat tidurku yang berukuran Queen. Aku sedang
membereskan
tempat tidur ketika Reilley keluar dari kamar mandi hanya
mengenakan
celana dalam boxer briefs berwarna putih bersih, dan handuk ukuran
sedang
berwarna putih tergantung di lehernya.
Aku
menarik napas terkejut. Reilley juga kelihatan terkejut.
“Sori.
Saya akan biarkan kamu tidur,” ucapku, buru-buru keluar dari kamar
tidur
dan menarik pintu kamar hingga tertutup.
Ketika
sudah berdiri di ruang tamu baru aku bisa bernapas lagi. Aku mencoba
menenangkan
dan mengingatkan diriku berkali-kali bahwa ini bukan pertama
kalinya
aku melihat laki-laki hanya bercelana dalam. Aku bahkan pernah melihat
laki-laki
dengan tubuh yang lebih bidang daripada Reilley, yang bertelanjang dada.
Jadi,
mengapa aku harus panik? Satu-satunya jawaban yang keluar dari otakku
adalah
bahwa terakhir kali aku melihat laki-laki bertelanjang dada sekitar sembilan
bulan
yang lalu, dan laki-laki itu Brandon. Satu-satunya orang yang aku coba
lupakan
selama sembilan bulan ini.
Aku
kemudian duduk di sofa dan menyalakan TV, mencoba mencari channel
yang
bisa menarik perhatianku. Aku hampir saja loncat dari sofa ketika mendengar
pintu
kamar tidur dibuka.
“Titania,
saya boleh buka jendela kamar tidur sedikit nggak?” Suara Reilley
terdengar
agak ragu.
“Errr...
boleh. Apa heater-nya terlalu panas untukmu? Saya bisa turunkan
suhunya,”
balasku, setelah terdiam beberapa saat dan hanya menatap tubuhnya
yang
kini telah tertutup kaus dan celana piama. Rasa kecewa karena tidak bisa
melihatnya
bertelanjang dada lagi muncul di kepalaku.
“Nooo... the heater is fine. Saya hanya perlu udara segar kalau tidur.”
Aku
mengangguk.
“Pukul
berapa kamu ingin dibangunkan?”
“Sekitar
pukul dua pagi kalau kamu masih terjaga. Nggak usah repot-repot,
saya
bisa pasang alarm.”
“Pukul
dua pagi?” tanyaku terkejut. Dia ingin tidur di apartemenku, di atas
tempat
tidurku semalaman? Sekali lagi aku harus menenangkan diriku. Ini bukan
pertama
kalinya ada laki-laki yang menginap di rumahku. Brandon sering
menginap
di rumahku ketika dia datang berkunjung ke D.C. Dia juga pernah
berkunjung
ke apartemen ini dan menginap karena terlalu lelah untuk menempuh
jarak
30 menit pulang ke apartemennya.
Sambil
pelan-pelan mendekatiku di sofa, Reilley menjelaskan situasinya.
“Pesawat
saya ke New York berangkat besok pukul enam pagi dari Raleigh. Jadi,
saya
sebaiknya berangkat sekitar pukul setengah tiga dari sini supaya nggak
terlambat.”
Meskipun
aku berterima kasih atas informasi tersebut, kelihatannya Reilley
tidak
menyadari alasan sebenarnya mengapa aku berteriak beberapa detik yang
lalu.
“Berapa
lama kamu akan ada di New York?”
“Selama
weekend ini saja, untuk memberi training. Saya akan kembali Minggu
sore,”
jelasnya, sambil duduk di sofa dan menguap. Melihat Reilley seperti inil, aku
jadi
ingat pendapatku tentangnya ketika pertama kali bertemu dengannya di Fresh
Market. Tiba-tiba aku ingin menyanyikan lagu “Ninabobo” untuknya.
“Oke,”
ucapku, lalu mengulurkan tanganku kepada Reilley, yang juga
mengulurkan
tangannya kepadaku. Aku kemudian menuntunnya menuju kamar
tidur.
Kulepaskan
genggamanku pada tangannya, dan berjalan menuju jendela untuk
membukanya
sedikit agar ada udara segar yang masuk. Ketika aku berbalik badan,
kulihat
Reilley sedang menatap tempat tidur sambil mengerutkan keningnya.
“Apa
ada masalah dengan tempat tidur?” tanyaku ragu.
“Kamu
selalu tidur di sebelah kanan,” ucap Reilley, kemudian menatapku. Aku
mengangguk.
“Biar saya tidur di sebelah kiri, just
in case kamu ingin tidur sebelum
saya
bangun.” Reilley kemudian berjalan menuju sisi kiri tempat tidur dan
menyingkapkan
selimut, kemudian naik ke atas tempat tidur dan perlahan-lahan
membaringkan
tubuhnya.
“Ahhh... this is a good bed,” gumam Reilley. Dia kemudian memutar kepalanya
dan
mencium bantal yang menopang kepalanya. “And
it smells like you,” ucapnya
ceria,
kemudian tersenyum padaku.
Aku
hampir saja menangis ketika mendengar Reilley mengatakan kata-kata itu.
Dia
benar-benar penuh perhatian dan tenggang rasa. Bahkan Brandon tidak pernah
peduli
di sisi mana aku tidur, aku yang biasanya harus mengalah dan tidur di sisi
sebelah
kiri kalau dia sedang menginap. Aku memiliki “aroma”, begitu tadi
katanya?
Aku tidak pernah tahu tentang itu. Brandon jelas-jelas tidak pernah
mengomentari
“aroma”-ku.
“I hope it‟s not a bad smell,” balasku, sambil melangkah mematikan lampu kamar.
“Not at all. I love this smell.
Been dreaming about it for the past few weeks actually.”
Reilley
kelihatan malu ketika mengatakannya.
Meskipun
hatiku tiba-tiba berdebar-debar dengan kencang, aku berhasil
mengucapkan
selamat malam mematikan lampu, dan meninggalkan kamar tidur
dengan
selamat.
Satu
detik setelah aku melangkah kembali ke ruang tamu, telepon selularku
berbunyi.
Aku buru-buru berjalan menuju ruang kerja, yang terletak berseberangan
dengan
kamar tidur. Ternyata Didi yang meneleponku.
“Mbak...
gimana date-nya?” Seperti biasa Didi terdengar antusias.
Aku
mengempaskan tubuh ke atas kursi. “Kamu nggak bakalan percaya deh
dengan
ceritaku.”
“What happened?” Tiba-tiba Didi terdengar khawatir.
“Aku
bilang ke kamu kalau date aku namanya Francis, kan?”
“Ya...,”
jawaban Didi terdengar menggantung.
“Mau
tahu nama lengkapnya siapa? Francis Winslow O‟Reilley,”
ucapku,
menjawab
pertanyaanku sendiri.
Didi
terdiam beberapa saat, masih belum bisa mengerti teka-tekiku. Kemudian
dia
menarik napas dan berteriak, “Nooo
fucking way... Date Mbak itu Rielley? Lakilaki
sialan
yang nggak pernah telepon itu?”
“Ya,”
jawabku.
“Yang
nomornya juga nggak bisa dihubungi?”
“Yep.”
“Yang
mobilnya Volvo SUV?”
“Mm-ehm.”
“Yang
matanya superbiru dan ganteng abis?”
Aku
sempat tertawa sebelum menjawab, “He-eh... itu dia.”
“Gilaaa...
kok bisa sih?” teriak Didi.
“Aku
saja bingung,” jawabku.
“Terus
bagaimana, cerita dong,” pinta Didi. Aku bisa mendengar bunyi keran
air
yang dinyalakan melalui speaker
telepon. Kemungkinan besar Didi sedang
membuat
makanan tengah malam favoritnya, yaitu mie instan.
“Kami
ngobrol panjang-lebar,” ucapku.
“He-eh,”
jawab Didi.
“Dia
cerita tentang keluarganya,” lanjutku.
“Oke,”
jawab Didi lagi.
“Pekerjaan
dia, bla bla bla...”
“Well that‟s a start.” Kudengar bunyi keran air dimatikan, dan aku yakin Didi
sedang
mengangkat panci ke atas kompor.
“Sekarang
dia sedang tidur di atas tempat tidurku,” ucapku tenang. Pada saat
itu
juga aku bisa mendengar bunyi KLONTANG... yang cukup keras diikuti dengan
makian
Didi sebelum dia berteriak, “He
is doing whaaattt?!”
“Sedang
tidur di atas tempat tidurku,” ulangku, sambil tersenyum. Aku tahu
seharusnya
aku tidak mengganggu adikku ini, tetapi terkadang aku hanya ingin
melihat
atau mendengar reaksinya atas kata-kataku.
“Mbak
nggak... maksud aku... aduh bagaimana omongnya ya. You know...
nggak...”
Untuk pertama kalinya adikku tidak bisa berkata-kata.
“Nggaklah.
Kamu gila. Mbak bisa digoreng Ibu dan Bapak,” potongku karena
tidak
tega mendengar Didi terbata-bata.
“Oh...
phewww... tentu saja nggak. Aku nggak tahu mengapa aku berpikir
begitu.”
“Dia
harus terbang besok pagi ke New York dari Raleigh. Jadi, daripada pulang
ke
Wilmington, dia menginap di sini,” jelasku.
“Dia
tinggal di Wilmington? That‟s
a nice town to live in.”
“Kamu
tahu dari mana? Kamu kan nggak pernah ke sana?” Aku mendengar
bunyi
plop... plop... plop... Kelihatannya Didi sedang membersihkan tumpahan air
dari
pancinya dengan menggunakan napkin
dapur bukan kain pel.
“Dawson‟s Creek-lah. Mereka kan shooting
di situ,” jawab Didi seakan-akan dia
sedang
mengemukakan fakta yang semua orang harus tahu, yakni tentang serial
anak
ABG tahun 90-an itu.
“Aduuuhhh,
adikku yang calon doktor ini kok otaknya penuh informasi nggak
berguna
kayak begini sih?” candaku.
Didi
tertawa kencang. Kemudian kudengar Didi menarik sesuatu yang
terdengar
seperti kantong kripik.
“Kamu
nggak jadi makan mie?” tanyaku.
“Nggak...
gara-gara Mbak, aku nggak mood
lagi bikin mie,” omel Didi. Selang
beberapa
detik dia berkata, “Mbak kok tahu sih kalau aku lagi ingin masak mie?”
Aku
tertawa sebelum menjawab, “Memang ada makanan lain yang kamu bakal
makan
selain mie kalau di rumah?”
“Hehehe...
benar juga,” ucap Didi tersipu-sipu. Kemudian kudengar bunyi
krauk... krauk... krauk... dan aku tahu Didi sudah berhasil membuka kantong
keripiknya
dan sedang melahap isinya dengan membabi buta.
“Dia
kerjanya apa, Mbak?” Suara Didi terdengar jelas ketika menanyakan ini.
Tampaknya
dia mendengarkan nasihatku agar tidak berbicara ketika mulutnya
penuh
dengan makanan.
Aku
lalu menceritakan segala sesuatunya tentang Reilley kepada Didi, yang
mendengarkan
dengan saksama.
“Mbak
bakal tidur dengan dia?” Didi terdiam setelah menanyakan pertanyaan
ini,
kemudian baru melanjutkan, “Maksudku bukan tidur begitu. Maksudku tidur
betulan.”
“Nggaklah.
Mbak tunggu saja sampai dia bangun baru Mbak tidur.”
“Oh...
ya sudah.” Ketika Didi mengucapkan ini dia terdengar kecewa, tetapi aku
tidak
berani menanyakan alasan di balik kekecewaannya itu.
Ketika
aku selesai berbicara dengannya jam sudah menunjukkan pukul
sembilan
malam. Perlahan-lahan aku bangun dari kursi dan berjalan ke luar ruang
kerja.
Aku harus mandi. Sayangnya semua bajuku ada di kamar tidur, dan satusatunya
kamar
mandi di apartemen ada di dalam kamar tidur. Mau tidak mau aku
berjalan
ke sana. Perlahan-lahan kubuka pintu kamar tidur. Semuanya cukup gelap
kecuali
penerangan dari sinar lampu jalan yang masuk melalui sela-sela kerai.
Udara
di dalam kamar tidur terasa lebih dingin dibandingkan di ruang tamu karena
jendela
yang terbuka. Aku berjalan menuju lemari pakaian dan menyalakan
lampunya.
Aku melirik ke arah tempat tidur untuk meyakinkan sinar lampu tidak
mengganggu
tidur Reilley. Aku tidak melihat ada gerakan apa pun. Aku juga tidak
mendengar
suara mendengkur. Rupanya Reilley tipe orang yang tidur seperti orang
mati.
Kuambil
piyama tidurku dan celana dalam, kemudian aku mematikan lampu
dan
berjalan menuju kamar tidur. Kunyalakan lampu kamar mandi dan buru-buru
masuk.
Tidak lama kemudian aku sudah ada di dalam bathtub, dan
air panas pun
mengucur
dari shower membasahi seluruh tubuhku. Ketika aku akan mengambil
sabun,
aku baru menyadari ada beberapa botol alat mandi yang bukan milikku.
Botol-botol
itu semuanya produk laki-laki dengan brand
designer terkenal. Aku
yakin
satu botol produk itu bisa untuk membeli empat botol produk yang aku
gunakan.
Kuambil botol shampo-ku dan menuangkannya sedikit pada telapak
tanganku
sebelum mulai mengusapnya pada rambutku. Aku lalu mengambil botol
sabunku,
menuangkan beberapa tetes pada sponge, kemudian mengusapkannya ke
seluruh
tubuh.
Selama
melakukan itu semua, aku tidak bisa mengalihkan mataku dari produkproduk
mandi
khusus untuk laki-laki yang terletak bersebelahan dengan produk
mandiku.
Aku kemudian membilas bersih rambut dan tubuhku beberapa kali untuk
memastikan
tidak ada busa sabun dan shampo yang masih tersisa. Setelah kulitku
bersih
aku berdiri di bawah shower dan menikmati siraman air panas, yang cukup
bisa
membuatku terasa nyaman. Rasa keingintahuan semakin mendorongku untuk
melakukannya.
Akhirnya, aku menyerah untuk melawan rasa itu dan mengangkat
salah
satu botol, membuka tutupnya, dan menghirup aromanya. Saat itu aku yakin,
aku
baru saja meninggal dan masuk ke surga. Aroma yang keluar dari botol itu
adalah
aroma Reilley. Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri di bawah shower
dengan
air yang masih mengalir sambil menciumi botol itu. Aku baru tersadar
ketika
air yang tadinya panas kini mulai menjadi dingin, dan aku harus cepat-cepat
keluar
dari bawah siraman air itu kalau tidak mau masuk angin.
Kuletakkan
botol shampo Reilley dan mematikan shower, kemudian melangkah
turun
dari bathtub. Kukeringkan semua bagian tubuh dengan handuk, kemudian
menyapukan
lotion berbau melati pada seluruh tubuh dan mengenakan pakaian
tidur.
Kukeringkan rambut dengan hair
dryer, kemudian melangkah ke luar kamar
mandi.
Kumatikan lampu dan berjalan sepelan mungkin menuju pintu kamar. Saat
itulah
aku mendengar suara Reilley memanggil namaku. Suara itu terdengar cukup
jelas
sehingga aku berpikir bahwa dia terbangun.
“Sori
aku membuatmu terbangun,” bisikku, dan berjalan menuju Reilley. Ketika
aku
berada sekitar satu meter darinya, aku menyadari Reilley masih tertidur lelap.
Lho
kok? ucapku dalam hati. Aku lalu menggeleng, berpikir bahwa aku pasti salah
dengar
dan sekali lagi berjalan sepelan mungkin menuju pintu.
Baru
saja aku berjalan satu langkah, aku mendengar suara Reilley lagi
memanggil
namaku. “Titania,” ucapnya dengan sangat jelas.
Penasaran
aku lalu beranjak ke atas tempat tidur untuk memastikan apakah dia
masih
terlelap atau tidak. Aku menahan berat tubuhku dengan kedua lenganku.
“Reilley
kamu masih tidur?” bisikku. Wajahku hanya sekitar lima puluh
sentimeter
dari wajahnya.
Tiba-tiba
tangan Reilley terangkat dan memelukku dengan paksa.
“Hhhmmppp.”
Adalah satu-satunya kata yang keluar dari mulutku karena tiba-tiba
aku
sudah terbaring di atas tempat tidur dalam posisi yang agak janggal. Bagian
atas
tubuhku ada di tempat tidur, sedangkan kedua kakiku masih tergantung keluar
dari
tempat tidur. Sekarang aku yakin Reilley barusan mengigau. Aku berusaha
melepaskan
diri tanpa membangunkannya. Kudorong tubuhku untuk menjauhinya,
tetapi
Reilley justru menarikku lebih erat. Kucoba menggulingkan tubuhku, yang
juga
tidak membuahkan hasil. Kini posisiku malah jadi tengkurap di atas dada
Reilley.
Hanya tinggal pergelangan kakiku yang masih menjulur keluar dari atas
tempat
tidur.
Aku
berdiam diri selama beberapa detik untuk mempertimbangkan langkah
yang
akan aku lakukan. Bahkan dalam tidur aroma Reilley masih cukup kuat. Aku
bisa
merasakan denyut jantungnya di bawah pipiku. Kututup mataku untuk
menghirup
aroma Rielley dalam-dalam. Memasukkannya ke dalam semua indraku
dan
menguncinya di dalam memoriku. Kutarik napas panjang. Satu kali... dua kali...
tiga
kali... empat kali....
Blind Date - Part 8
No comments:
Post a Comment