6
Spekulasi dan Otak Anak Sapi
DALAM
perjalanan pulang menuju apartemen, Didi tidak habis-habisnya memuji
Reilley
dan keluarganya.
“Ya...
ampun, Mbaaa...k, dia perfect banget buat kamu. Terang saja kamu suka
banget
kepadanya. He is nice. Aku pikir tipe laki-laki seperti dia sudah punah,
ternyata
aku salah. Kamu benar, matanya... Oh,
my God... lebih biru dari Laut Pasifik.
Nggak
adil banget deh, kok laki-laki bisa punya mata seseksi dia.”
“kok
kayaknya kamu lebih excited bertemu dia sih dibandingkan aku?” tanyaku,
agak
bingung melihat reaksi Didi yang menggebu-gebu.
“Terang
saja aku excited. Aku nggak percaya Mbak sudah membuang waktu tiga
tahun
hidup bersama Brandon, cowok sialan dan nggak tahu diri itu, kalau ternyata
ada
Reilley di dunia ini. Aku yakin ini kismet.”
“Kismet?”
tanyaku ragu.
Didi
seakan-akan tidak mendengar atau tidak mau menghiraukan keraguanku,
dan
melanjutkan usahanya meyakinkanku. “Ya, kismet. Jodoh... jodoh... Mbak
dengan
Reilley tuh jodoh. Mbak lihat deh faktanya. Mbak bertemu dia setelah putus
dari
Brandon, lalu Mbak sudah bertemu dia berkali-kali setelah itu. Kayaknya
memang
Tuhan menunjuk dia untuk Mbak.”
Aku
terpaksa tertawa mendengar penjelasan Didi. “Keluarga dia juga suka
dengan
Mbak deh. Apalagi si Marcus. Untung saja tuh anak superberondong, kalau
nggak,
waaa... hhh... dia nggak tahu sudah aku kerjai.”
“Yeah, he‟s cute,” balasku, ketika sadar Marcus memang tipe cowok yang Didi
suka.
Tinggi, besar, gaul, dan atletis.
“Cute? Dia superganteng, lagi!” teriak Didi. “Well, anyway... setidak-tidaknya
Mbak
sudah punya nomor teleponnya sekarang. Jadi, Mbak bisa telepon dia.”
“Aku
nggak punya nomor telepon Marcus,” balasku bingung.
“Aduuu...
hhh bukan Marcus, Mbaaa...k,” Didi terdengar gemas. “Maksudku
Reilley.
Dia tadi kan telepon Mbak. Jadi, nomor teleponnya pasti tercatat kan di cell
Mbak.
Bagaimana kalau Mbak telepon dan ajak dia makan di rumah Tahun Baru
nanti?”
katanya dalam satu tarikan napas.
Aku
harus menahan diri untuk tidak mengakui bahwa aku tidak bisa
melakukannya
karena nomor telepon Reilley “private”. Didi melihat ekspresi
wajahku,
“What?” tanyanya curiga.
Aku
menelan ludah sebelum menjawab, “Nomor telepon Reilley “private”, aku
nggak
bisa telepon dia balik.” Aku menunggu ledakan kemarahan Didi sampai di
telingaku.
Ternyata
yang keluar dari mulut Didi hanya, “Oh... ya nggak apa-apa. Aku lihat
Mbak
tadi ngobrol dengan dia. pastinya Mbak sempat minta nomor teleponnya
dong.
Kartu namanya kek... atau apa gitu.”
Aku
memahami logika berpikir Didi. Pada dasarnya untuk siutasi lain mungkin
hipotesisnya
bisa berlaku, tetapi tidak untuk kali ini. Melihatku tidak juga menjawab
Didi
mengerlingkan matanya, “Mbak minta nomor telepon dia, kan?”
Aku
menggeleng.
“Kartu
nama?”
Aku
menggeleng sekali lagi.
“Oh maaa... nnnn this sucks,” omel Didi, dan sekali lagi aku bisa melihat mengapa
banyak
orang menyangka adikku ini masih SMA. Sewaktu dia mengatakan katakata
barusan,
dia terdengar seperti Bart Simpson. Aku seakan-akan jadi bisa
mendengar
lagu yang selalu terlantun pada awal setiap seri The Simpsons di TV. The
Simpsooo...ns tut... tut... tut...
tut... tut... tut... tut... tut... tut... tut...tutu...tut....
*
* *
Bulan
Januari pun tiba, dan Didi harus kembali ke Washington D.C. untuk
melanjutkan
risetnya. Aku kembali sendirian di Winston-Salem. Sandra dan timnya
di
MBD, yang dulu masih cukup optimis dapat menemukan pasangan ideal
untukku
dalam waktu kurang dari enam bulan kini mulai terdengar khawatir
karena
aku belum juga menemukan satu date
pun yang “HOT”, tetapi seperti biaya
Sandra
dan timnya tetap pantang menyerah. Kembali aku sudah mulai tenggelam
dengan
kencan-kencan butaku selanjutnya, yang selalu diakhiri dengan
kekecewaan.
Sejujurnya, semua date-ku yang tampaknya salah alamat ini mulai
membuatku
khawatir, apakah semua ini sebanding dengan uang dua ribu dolar
yang
telah kukeluarkan lima bulan yang lalu? Apakah pada akhir bulan keenam aku
akan
berakhir dengan tabungan yang sudah berkurang dua ribu dolar, kilometer
mobil
yang jebol karena semua perjalanan luar kota yang harus aku tempuh,
setidak-tidaknya
seminggu sekali untuk menemui date-ku, dan masih tanpa prospek
suami?
Kalau
saja Reilley mau meneleponku, aku tidak akan mengalami kekhawatiran
seperti
ini. Sepanjang tanggal 25 Desember hingga 3 Januari, aku dan Didi selalu
melonjak
dari kursi setiap kali mendengar telepon selularku berbunyi. Didi akan
menatapku
penuh harap, dan kecewa ketika melihatku menggeleng sebagai tanda
bahwa
telepon itu bukan dari Reilley. Sering kali wajah kecewa adikku itu
membuatku
tertawa karena seolah-olah justru dia yang menaruh banyak harapan
terhadap
Reilley. Sejujurnya, aku pun merasakan hal yan gsama. Oleh karena itu,
aku
juga merasa kecewa karena Reilley belum meneleponku lagi.
Suatu
malam, aku sedang mengganti-ganti channel
TV ketika kutemukan acara
yang
membahas tentang Scott Peterson, suami pembunuh istri yang sedang hamil
besar
agar bisa menikahi pacarnya. Acara itu membahas tentang beberapa indikasi
yang
bisa kita kenali pada orang yang selingkuh. Bagi wanita yang mungkin jadi
selingkuhan
seorang laki-laki tetapi tidak tahu-menahu soal itu, beberapa ciri
kebiasaan
laki-laki seperti itu bisa dikenali. Pertama, laki-laki itu akan datang dan
pergi
dengan tiba-tiba. Kedua, hidupnya terkesan misterius dan penuh rahasia.
Ketiga,
laki-laki itu biasanya yang menghubungi kita, tetapi kita tidak bisa
menghubungi
dia.
Entah
mengapa, pikiranku langsung tertuju kepada Reilley dengan sifat
timbultenggelamnya.
Aku
bertemu dengannya secara tiba-tiba di Fresh Market ketika dia
menegurku
untuk menanyakan bahan salad, padahal pada saat itu ada beberapa
orang
yang cukup berdekatan denganku yang bisa dia tanya. Seperti disulap dia
muncul
sebulan kemudian ketika aku mengalami masalah dengan mobilku, dan
tanpa
diminta dia segera membantuku. Kemudian lagi-lagi seperti dia telah
menguntitku,
Reilley menolongku di pelataran parkir Embassy Suites. Kalau aku ini
selingkuhannya,
mengapa dia berani memperkenalkanku kepada keluarganya?
jangan-jangan
mereka bukan keluarganya betulan? Oh,
my God! Apakah Reilley
seorang
penjahat yang buron dan sedang dikejar polisi?
Jadi,
selama beberapa hari aku sama sekali tidak bersemangat melakukan apaapa.
Ada
kabut kesedihan dan kekecewaan yang menyelimutiku dengan tebal,
membuatku
sulit bernapas. Aku harus mengusir semua perasaan itu dan bersiapsiap
untuk
kencan selanjutnya dengan Francis, seorang computer programmer berusia
32
tahun. Dia berkulit putih dengan tinggi 190 sentimeter. Seingatku dia laki-laki
tertinggi
yang pernah aku temui sepanjang sejarah kencan butaku ini. Ketika
mendengar
deskripsi tentang dirinya, aku merasa agak ragu. Sebagai seorang
computer programmer tentunya Francis akan kelihatan seperti kutu buku dengan
tubuh
yang kurus kering kerontang, kulit yang pucat karena kurang terkena sinar
matahari,
dan berkacamata tebal. Pokoknya, jauhs ekali dari tipe laki-laki yang
biasanya
aku pacari. Belum lagi karena namanya... Francis, nama yang menurutku
sudah
ketinggalan zaman. Aku cukup penasaran terhadapnya karena Sandra
mengatakan,
“I think he‟s the best candidate so
far.” Mau tidak mau aku harus memberi
kesempatan
kepada diriku untuk mengenal Francis karena siapa tahu ternyata
memang
ada kecocokan di antara kami berdua.
Hari
ini aku harus mengenakan jaket wol karena suhu di Winston mencapai 32
derajat
Fahrenheit, yang berarti 0 derajat Celsius. Aku tidak pernah mengalami
cuaca
sedingin ini sejak aku meninggalkan Washington D.C. tiga tahun yang lalu.
Aku
memasuki pelataran parkir restoran tepat pukul 12.45. Hari ini aku hanya
bekerja
setengah hari karena aku sudah bekerja overtime
dari hari Senin sampai
Kamis.
Francis bersedia menemuiku di Winston, hal yan gaku sangat syukuri karena
aku
tidak akan berani mengemudikan mobil ke luar kota dengan salju setebal ini.
Untuk
memastikan bahwa dandananku masih sempurna seperti ketika aku
meninggalkan
rumah, kusempatkan mematut wajahku di kaca beberapa detik
sebelum
keluar dari mobil.
Untuk
pertama kalinya aku terpaksa mengenakan kacamata minusku ketika
keluar
rumah karena ada iritasi di mata kananku. Mengikuti saran dokter, aku
melepas
lensa kontak dan mengenakan kacamataku selama satu minggu sampai
iritasi
di mataku reda. Setelah selalu mengenakan lensa kontak setiap kali keluar
rumah
selama empat tahun terakhir ini, aku merasa agak tidak nyaman ketika harus
mengenakan
kacamataku kembali. Salah satu alasan mengapa aku tidak pernah
mengenakan
kacamata ketika keluar rumah karena menurut Brandon aku kelihatan
seperti
dorky, bukan penampilan yang ingin aku perlihatkan sebagai seorang
financial analyst yang sukses.
Tadinya
aku sempat berencana tidak akan menghiraukan saran dokter dan tetap
mengenakan
lensa kontak, tetapi mengingat betapa gatalnya mataku ketika harus
melepaskan
lensa kontak itu beberapa jam kemudian, aku memutuskan
membatalkan
ide itu. Pilihan lain yang bisa aku pertimbangkan adalah tidak
mengenakan
lensa kontak dan juga tidak mengenakan kacamata, tetapi semuanya
akan
terlihat kabur. Aku lebih memilih bisa melihat ekspresi wajah date-ku selama
kencan
daripada takut kelihatan seperti dorky.
Dengan
langkah sedikit canggung aku memasuki restoran dan langsung
disambut
Maitre d‟ restoran, yang berbicara dalam bahasa Prancis. Buru-buru
kuinformasikan
siapa diriku kepadanya dalam bahasa Inggris. Untungnya Maitre d‟
itu
kelihatan mengerti bahwa aku tidak bisa berbahasa Prancis sehingga dia
melanjutkan
percakapan dalam bahasa Inggris.
“Oh, great... you‟re here. Your
date is already here,” ucapnya antusias. Aku terpaksa
melirik
jam tanganku untuk memastikan aku tidak terlambat. Jam tanganku
menunjukkan
pukul 12.55. Mmmhhh... kelihatannya date-ku ini tipe laki-laki yang
memilih
lebih baik datang lebih cepat daripada terlambat.
“This way please,” ucap Maitre
d‟ itu lagi, dan mengantarkanku melewati
beberapa
meja yang sudah terisi.
Kami
berjalan menuju meja yan gterletak di samping jendela, di mana seorang
laki-laki
berambut cokelat sedang duduk menyandar pada kursi. Tubuhnya yang
berkemeja
biru terlihat santai. Aku sampai di meja yang sudah dipesan. Maitre d‟ itu
menyapa
date-ku, yang duduk membelakangiku dalam bahasa Prancis. Aku agak
terkejut
ketika mendengar suara date-ku, yang membalas sapaan itu dalam bahasa
Prancis
yang fasih. Pada detik itu aku merasa bahwa aku sedang berada di Paris
daripada
di Winston-Salem, North Carolina. Aku merasa sedikit kagum dan mulai
penasaran
dengan date-ku ini. Aku masih belum bisa melihat wajahnya, tetapi
kemudian
dia memutar tubuhnya dan berdiri. Seketika aku langsung seperti terkena
serangan
jantung.
“Hello, Titania,” ucapnya, sambil tersenyum.
“Reilley?”
Suaraku terdengar ragu.
“Oh... you two know each other?” tanya Maitre
d‟, yang kini sedang menatap kami
berdua
dengan mata melebar.
Kemudian
kudengar Reilley berkata-kata dalam bahasa Prancis lagi sambil
melirik
ke arahku dengan jenaka. Maitre
d‟ itu tertawa dan mengangguk, kemudian
meninggalkan
meja kami dengan penuh senyum.
Reilley
kemudian mempersilakanku duduk di kursi yang terletak di
hadapannya.
Aku hanya menuruti kemauannya karena masih terlalu terkejut
menyadari
date-ku adalah Reilley. Aku juga agak jengkel karena tahu Reilley
dan
Maitre d‟ itu baru saja membicarakan aku, tetapi aku tidak bisa
memahaminya
karena
tidak mengerti bahasa Prancis.
Reilley
kembali duduk, dan menatapku sambil tersenyum. “Kamu perlu
mengambil
napas, muka kamu sudah biru,” ucapnya, masih jenaka.
Aku
lalu menarik napas, dan merasakan otakku mulai berfungsi kembali
dengan
bantuan oksigen. Sayangnya, dengan pemikiran yang lebih jernih aku bisa
melihat
situasi ini apa adanya. “What
game are you playing at?” desisku.
Reilley
menatapku bingung ketika mendengar pertanyaan dan nada bicaraku.
“Game? What game?”
“Apakah
kamu sedang punya affair? Apakah saya ini selingkuhan kamu?
Apakah
orangtua kamu tahu apa yang sedang kamu lakukan?”
Wajah
Reilley terlihat semakin bingung, tetapi aku sudah tidak bisa
menghentikan
ketakutanku kalau-kalau Reilley sedang membohongiku. Aku juga
tidak
bisa menghentikan kemarahanku karena dia tidak pernah meneleponku balik.
Terlebih-lebih
aku tidak bisa menghentikan kekecewaanku akrena sudah terlanjur
menyukainya.
Sekali lagi aku terjatuh ke dalam perangkap laki-laki buaya darat
seperti
Brandon.
“Ibu
kamu kelihatannya wanita baik-baik. Dia akan sangat kecewa kepada
kamu
kalau sampai tahu kejadian ini, atau jangan-jangan dia bukan ibu kamu?
Apakah
mereka bahkan juga bukan keluarga kamu? Kamu sebaiknya punya alasan
dan
penjelasan yang masuk akal, kalau tidak... sumpah aku akan telepon polisi.”
Reilley
menatapku dengan mulut ternganga. Aku tidak tahu mengapa aku
membawa-bawa
polisi dalam argumentasiku. Jelas-jelas kalau polisi datang dan
menanyakan
tuduhanku terhadap Reilley, paling-paling aku hanya bisa menjawab
laki-laki
satu ini telah “menggantung” perasaanku selama empat bulan. Aku yakin
para
polisi itu akan menatapku seakan-akan aku ini pasien yan gbaru kabur dari
rumah
sakit jiwa.
Tanpa
kusangka-sangka Reilley kemudian tertawa sekencang-kencangnya.
Seluruh
tubuhnya bergoyang, dan dia terus tertawa.
Melihatnya
tertawa aku sudah siap mengangkat buku menu yang tadi
ditinggalkan
Maitre d‟, dan melemparkannya ke wajah Reilley. Bagaimana mungkin
dia
menganggap semua pertanyaanku sebagai lelucon yang superlucu dan patut
ditertawakan?
Aku tidak pernah seserius ini dalam hidupku, dan aku tidak pernah
semarah
ini kepada laki-lai mana pun dibandingkan kemarahanku kepada Reilley
pada
saat ini. Bahkan kemarahanku pada Brandon tidak ada apa-apanya
dibandingkan
ini.
Aku
semakin merasa tidak nyaman karena beberapa orang mulai menatapku
perasaan.
Karena Reilley tidak juga berhenti tertawa, akhirnya aku terpaksa berkata,
“Apa
sih yang lucu?”
“Kamu,”
jawab Reilley singkat, kemudian tertawa lagi. Aku menyandarkan
tubuh
ke kursi dan menunggu. Salah seorang waiter
datang dan menanyakan
pesanan
kami dalam bahasa Prancis, tetapi aku memintanya kembali saja beberapa
menit
lagi. Aku mengingatkan diriku sendiri untuk tidak lupa berpesan kepada
Sandra
agar tidak lagi mengatur kencanku di restoran ini. Aku merasa seperti orang
paling
tolol karena semua orang berbicara dalam bahasa yang tidak aku pahami.
Tak
lama kemudian Reilley mulai bisa mengontrol tawanya dan menatapku,
meskipun
dia masih tersenyum lebar.
“Mengapa
kamu kira aku sedang selingkuh?” tanyanya.
“Karena
kamu penuh dengan rahasia,” jawabku, tanpa berpikir lagi.
“Aku
nggak punya rahasia.” Reilley menyatakannya dengan tenang, dan dari
matanya
kelihatannya dia memang mengatakan yang sebenarnya.
Waiter yang tadi, yang bernama Pierre, kembali lagi untuk menanyakan
pesanan
kami.
Aku buru-buru menunjuk beberapa tulisan berbahasa Prancis yang ada di
menu,
tanpa tahu apa yang aku tunjuk. Seperti Maitre
d‟ tadi, Reilley juga berbicara
dalam
bahasa Prancis dengan Pierre. Mereka kelihatannya sedang berdiskusi
panjang-lebar
mengenami semua makanan yang dihidangkan di restoran ini. Pierre
kemudian
menanyakan sesuatu kepada Reilley, yang menatapku selama beberapa
detik.
Reilley kemudian tersenyum kepada Pierre sambil menggeleng. Setelah itu,
mereka
berdua tertawa.
Aku
sudah siap mencekik mereka berdua. Untungnya kemudian Reilley
menunjuk
salah satu makanan yang ada di buku menu, kemudian tersenyum
kepada
Pierre lagi. Aku baca makanan itu bernama lunettes d‟agneau,
entah apa
artinya.
Pierre mengulangi pesanan kami, kemudian berlalu sambil tersenyum.
Mungkin
ini hanya imajinasiku saja, tetapi kelihatannya ada sesuatu yang
menggelikannya
di balik senyuman itu, dan aku yakin akulah penyebab yang
membuatnya
merasa geli.
“Mengapa
sih dia menatap aku seperti begitu? Kamu omong apa dengan dia?”
desisku.
Reilley
hanya menggeleng sambil tetap tersenyum. “Nothing important,”
jawabny
apendek.
Mengatahui
bahwa aku tidak akan mungkin bisa mengorek informasi apa-apa
dari
Reilley tentang percakapan mereka, aku pun mengganti topik pembicaraan dan
menyerang
Reilley dari sisi lain.
“Apakah
nama kamu memang Reilley?” Nadaku terdengar curiga.
Reilley
terlihat ragu sebelum menjawab, “Yes. Itu bukan nama yang dipakai oleh
keluarga
atau rekan kerja saya, tetapi nama saya memang Reilley.”
Melihat
tatapanku yang tidak percaya, Reilley mengeluarkan dompetnya dan
menunjukkan
SIM-nya kepadaku, kemudian berkata, “Nama lengkap saya Francis
Winslow
O‟Reilley, tetapi ketika kuliah teman-teman memanggil saya dengan
nama
keluarga.
Lambat laun „O‟ pada O‟Reilley mulai nggak dipakai lagi, dan akhirnya
teman-teman
lebih familiar memanggil saya Reilley saja. Nama itu stuck dengan
saya.”
Aku
perhatikan nama dan foto yang ada di SIM Negara Bagian North Carolina
itu.
Kelihatannya semua cukup valid. Aku mengembalikan SIM itu kepadanya. Aku
juga
tidak bisa berargumentasi tentang pergantian namanya itu. Aku sempat
berpacaran
dengan laki-laki bernama Chris Wheeler. Di rumah, tempat dia tinggal
bersama
delapan temannya, dia dipanggil Will, kependekan dari Wheeler.
“Hanya
sebagai informasi, semua orang yang bertemu kamu Christmas kemarin
memang
keluarga saya. My real mom and dad, my brother
and two sisters. Saya yakin
my mom... akan kena serangan jantung kalau dia tahu saya sudah
mempermainkan
perempuan.”
“Oh,”
ucapku. Aku tidak tahu bagaimana harus menyikapi penjelasan Reilley
ini.
Untung
saja minuman kami tiba. Aku buru-buru menyambar gelas yang berisi
pepsi,
dan meminumnya sampai habis untuk menenangkan pikiranku. Reilley
hanya
menatapku sambil mengerutkan keningnya, kemudian dia memanggil Pierre
lagi
dan memintanya mengisi gelasku yang kosong.
“Jadi,
apakah kamu ingin saya panggil Francis?” tanyaku ragu, setelah Pierre
sekali
lagi berlalu dan gelasku sudah penuh lagi.
“Oh, no... pelase don‟t. Call me
Reilley, please,” ucap Reilley buru-buru. “Oh... ya,
sepanjang
yang saya tahu, saya nggak pernah menikah. Kecuali kalau ada orang
iseng
yang memberi saya obat bius, membawa saya ke Las Vegas, menikah di sana,
dan
mengembalikan saya ke tempat tidur sebelum saya sadar. Jadi, boleh dong
kalau
saya simpulkan bahwa hubungan yang ingin saya jalin dengan kamu nggak
bisa
dikategorikan sebagai perselingkuhan,” lanjutnya.
“Hubungan
macam apa yang kita bicarakan di sini?” tanyaku hati-hati.
“Dating, kalau bisa yang serius.”
Aku
masih tetap menatapnya curiga, lalu aku terpaksa menanyakan pertanyaan
terahirku.
“Kalau kamu memang serius, mengapa kamu belum memberi nomor
teleponmu
ke saya?”
“Kamu
mau nomor telepon saya?” Reilley kelihatan kaget.
“Ya...
iyalah, kalau nggak untuk apa juga saya tanya.” Sebenarnya, aku malu
juga
setelah mengatakan kalimat itu. Aku benar-benar tidak percaya, aku bisa
mengatakan
hal itu. Secara tidak langsung, aku baru saja memohon kepada Reilley
untuk
memberikan nomor teleponnya kepadaku. Aku tidak pernah melakukan hal
seperti
itu sepanjang hidupku. “Forget
I said that,” lanjutku buru-buru.
Pada
saat itu pesanan kami tiba, dan aku menatap pesananku dengan mata
melebar.
Karena tadi terlalu kesal aku hanya asal tunjuk saja, suatu hal yang sangat
aku
sesali sekarang. Makanan yang ada di hadapanku tampilannya seperti makanan
yang
sepatutnya tidak dimakan manusia. Yuck....
“Jadi,
kamu nggak mau nomor telepon saya?” tanya Reilley, sambil dengan
luwesnya
bergerak menukar piring yang ada di hadapanku dengan piringnya yang
jelas-jelas
kelihatan lebih bisa membangkitkan selera makanku.
“Eh...
eh... kamu mau apa?” tanyaku bingung, dan memegangi piring
pesananku
yang sudah setengah terangkat.
“Kamu
pesan makanan yang salah. Kamu nggak akan bisa menelan makanan
ini.
Percaya kepada saya,” jelas Reilley, sambil menunjuk pesananku dengan
gerakan
kepalanya karena kedua tangannya sedang memegangi piring. “Now let
go!” perintahnya.
Aku
melepaskan genggamanku pada piring dan membiarkan Reilley
menukarnya
dengan piringnya.
“Memang
itu apa sih?” tanyaku, setelah Reilley meletakkan makanan
pesanannya
di hadapanku. Aku menunjuk pada makanan pesananku, yang kini
berada
di hadapannya.
“Ini
tête de veau vinaigrette,” jawab Reilley pendek.
Aku
menunggu sampai Reilley menjelaskannya dalam bahasa Inggris. Aku
mulai
menyesal karena tidak pernah belajar bahasa Prancis ketika kuliah.
“‟Tête de veau‟ artinya kepala anak sapi, tapi bisa juga diterjemahkan otak
sapi.
Nah,
itulah makanan yang kamu pesan tadi,” lanjutnya.
Menu
yang kupesan otak anak sapi? Mulutku langsung terbuka, dan aku tidak
bisa
melepaskan tatapanku dari wajah Reilley yang sedang tersenyum. Dia
kelihatannya
cukup terhibur melihat tingkah lakuku.
“Kamu
sebaiknya makan lunch kamu sebelum dingin,” ucapnya, sambil
menunjuk
lamb chop yang ada di hadapanku dengan garpu.
Kulihat
Reilley memasukkan sesuap makanan di hadapannya ke dalam
mulutnya.
Dia tidak terlihat ada masalah dengan makanan itu sama sekali.
Kupotong
dagingku dan memasukkannya ke dalam mulutku. Sejujurnya, ini adalah
steak daging kambing terenak yang pernah aku makan.
“Bagaimana
makanan kamu?” tanya Reilley.
Aku
menelan makanan yang ada di dalam mulutku, dan menjawab, “Enak.”
Aku
terdiam sesaat dan minum pepsi. “Saya nggak tahu ternyata kamu bisa bahasa
Prancis.”
Reilley
mengangkat bahunya. “Saya cukup bisa bahasa Prancis sekadar untuk
memahami
menu restoran ini sehingga nggak asal tunjuk.”
Aku
mengangguk. Aku tahu Reilley sedang meledekku. Aku memperhatikan
Reilley
lebih saksama. Kini aku mulai menyadari, ternyata Reilley bukan berasal
dari
keluarga biasa-biasa saja. Kecenderungannya dia bahkan berasal dari keluarga
kelas
atas. Hal ini bisa dilihat dari cara dia membawa diri, berbicara, berpakaian,
makan,
bahkan dari cara dia menaburkan lada di atas makanannya. Aku jadi
semakin
penasaran terhadapnya.
“Kamu
belajar bahasa Prancis di mana?” Meskipun aku agak kesal dengannya,
aku
tetap tertarik dengan laki-laki satu ini.
“Here and there,” jawabnya. Ia kemudian mengangkat gelas anggur merahnya,
menandakan
bahwa dia tidak lagi ingin memperpanjang topik ini.
Aku
pun terdiam dan memfokuskan perhatian pada makananku.
“Saya
minta maaf karena nggak memberi nomor telepon saya ke kamu. Saya
nggak
pernah terpikir kamu cukup tertarik kepada saya, dan ingin menelepon
saya,”
tiba-tiba Reilley berkata. Dia terdengar tulus.
Aku
menatapnya sambil memicingkan mataku. “You
need to do better than that.
That‟s the lamest excuse for not
calling that I have ever heard,”
balasku datar.
Reilley
menatapku, sekali lagi wajahnya terlihat terhibur mendengar jawabanku.
Seolah-olah
memahami ekspresi wajahku yang aku yakin terlihat marah, dia
menatapku
tidak percaya. “Kamu pikir saya menghindari kamu?” Pisau yang
dipegangnya
tergantung di antara piring dan mulutnya.
Aku
harus mengontrol ekspresi wajahku agar terlihat tidak peduli, dan
menjawab,
“Nooo...,” ucapku pendek, dan mengalihkan tatapanku pada piring
makananku.
“You did!!! Kamu betul-betul berpikir saya menghindar dari kamu.” Mendengar
nadanya,
aku kembali menatapnya. Reilley menggeleng, kemudian menatapku
tajam.
Aku
hanya mengerlingkan mata, kemudian berkata, “Hanya sebagai informasi
saja...”
aku sengaja mengulang katka-kata yang tadi diucapkannya untuk
membuatnya
kesal, “saya coba telepon kamu, tetapi nomornya „private‟. Jadi, nggak
bisa
tersambung,” jelasku, sambil menusukkan garpu dengan gemas ke sepotong
daging.
“Kamu
telepon saya?” Reilley kelihatan betul-betul terkejut. “Kapan?” Dia
memasukkan
suapan yang tadi sempat tertunda ke mulutnya.
Aku
menelan makananku sebelum menjawab, “Beberapa hari setelah
Christmas.” Aku tidak tahu mengapa aku mengakui ini semua. Aku bahkan
tidak
pernah
menceritakannya kepada Didi karena takut diomeli atau malahan justru
dikomporinya.
Kulihat
Reilley sedang bersusah payah menelan makanannya. Setelah itu, dia
minum
satu teguk, dan berkata, “Kamu... telepon... saya?” Sambil mengusap
mulutnya
dengan serbet. Nadanya masih tidak percaya.
“Would you stop saying that? Ya, saya telepon kamu, dan saya merasa seperti
orang
goblok. Meskipun saya tahu nomor itu nggak akan terhubung, saya tetap
mencoba,”
geramku, sambil mulai memotong daging steak. Aku mencoba sebisa
mungkin
melonggarkan genggamanku pada garpu dan pisau.
“Kesinikan
telepon selular kamu,” ucap Reilley tiba-tiba.
Kedua
tanganku yang sedang memotong daging terhenti seketika. “Apa? Untuk
apa?”
Kini giliranku menatapnya terkejut.
“Just give it to me, please.”
Kuletakkan
pisau dan garpu sepelan mungkin di sisi kiri dan kanan piring,
kemudian
merogoh telepon selular dari dalam tas, dan meletakkannya ke dalam
genggaman
tangan Reilley. Dengan ahlinya dia langsung menekan beberapa tombol,
lalu
mengembalikan telepon selular itu kepadaku.
“Saya
sudah memasukkan nomor saya ke memori telepon kamu. Bisa tolong
kamu
telepon nomor itu, hanya untuk memastikan nomornya benar,” pintanya.
Aku
mengangguk, dan mulai mencari-cari nama Reilley pada phonebook telepon
selularku,
tetapi aku tidak bisa menemukannya. Aku coba mencari di deretan huruf
“F”
untuk “Francis”, tetapi juga tidak membuahkan hasil. “Kamu simpan di mana
sih?”
“Di
deretan huruf „H‟.”
Aku
menatap Reilley penuh tanda tanya. “Untuk „Hunny Bunny‟,”
ucapnya,
tanpa
ekspresi.
Aku
menatapnya tidak percaya. Aku pikir dia hanya bercanda, tetapi ternyata di
deretan
huruf “H” aku memang menemukan nomor untuk “Hunny Bunny”.
Tidak
mau
kalah dengan tantangan Reilley, aku pun menelepon nomor itu. Kutempelkan
telepon
di daun telingaku, dan menunggu. Kudengar nada sambung. Tiba-tiba
kudengar
lagu Goo Goo Dolls terlantun. Meskipun pelan, tetap terdengar dengan
jelas
di dalam restoran yang cukup tenang walaupun penuh dengan orang.
Kulihat
Reilley merogoh kantong celananya, dan mengeluarkan Blackberry. Dia
sempat
tersenyum sebelum menekan satu tombol, menempelkan Blackberry itu ke
daun
telinganya, dan berkata, “Nah, sekarang kamu punya nomor telepon saya.”
Aku
mendengar suara itu dari speaker
telepon selularku, bukan suara Reilley
sendiri.
Aku menatap Reilley, seolah-olah dia makhluk planet yang superaneh.
Sejujurnya,
Reilley laki-laki paling “nyentrik” yang pernah aku temui. Aku lalu
menutup
telepon, begitu juga Reilley. Reilley menatapku, dan aku pun menatapnya.
Tidak
ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami, tetapi sebuah pengertian
terlintas
di antara kami berdua. Saat itu juga tubuhku terasa panas, seolah-olah
darahku
tiba-tiba mendidih. Aku tidak lagi sedang berada di restoran, melainkan di
suatu
ruangan tanpa nama dan tanpa batas. Ruangan itu diterangi lampu-lampu
gemerlap
bagaikan di stadion sepak bola sebelum Liverpool bertanding dengan
Chelsea.
Kudengar riuh rendah suara beribu-ribu orang berteriak-teriak.
Suara
Sandra, agen kencan butaku dari MBD, “I‟m
guessing we found a HOT one
for you?”
Kudengar
suara ibuku yang berkat,a “Tita... Reilley cocok sekali untuk kamu.
Ibu
dan Bapak setuju kalau kamu memilih dia.”
Lalu
kudengar suara Didi, yang berteriak dengan gemas, “Apa Mbak buta?!
Mbak
perlu bukti apa lagi?! Go
and get him or I swear I‟m gonna kick your ass when I see
you again!”
Selainkan
tiga suara yang aku kenal itu, selebihnya hanya meneriakkan nama
Reilley
berulang-ulang. “Reilley!!! Reilley!!! Reilley!!!” Bagaikan dia seorang
quarterback, yang sedang berdiri sambil membawa bola menuju touchdown.
Aku
tidak tahu sudah berapa lama aku terdiam, tetapi tiba-tiba kudengar Reilley
berkata
dengan pelan. “What are you thinking?”
Aku
menggeleng. Aku tidak mungkin menceritakan apa yang ada di pikiranku.
Kalau
dia sampai tahu, aku yakin dia akan menghilang dalam sekejap mata.
Melihat
tatapan mataku yang kosong, Reilley mulai kelihatan khawatir. “Look.
You don‟t have to put my number
under „Hunny Bunny‟ if you don‟t like it. Kamu
ubah
saja.
Saya hanya bercanda. Bad joke, on my part. Here, kasih ke aku telepon kamu
nanti
aku ubah nama untuk nomor tadi,” ucapnya cepat, nadanya terdengar sedikit
kecewa.
Ketika melihatku tidak juga bereaksi, kudengar dia menyumpah. Meskipun
pelan,
aku bisa mendengarnya.
“Apa
kamu baru saja menyumpah?” tanyaku, sambil menaikkan daguku
sedikit.
Reilley
awalnya hanya menatapku, tetapi kemudian dia mengangguk. “Yes,”
ucapnya,
kemudian menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil menyisiri rambut
gelapnya
dengan jari-jari tangan kanannya. Aku hampir tertawa melihat ekspresi
wajahnya,
yang kelihatan sangat bersalah karena telah mengucapkan kata serapah
itu.
“Aku
sangka kamu nggak pernah menyumpah?” tanyaku, sambil memasukkan
telepon
selular kembali ke tasku.
Reilley
mengembuskan napasnya, sebelum menjawab, “I don‟t. Cuma
suka
kelepasan
kalau lagi stres.” Kemudian Reilley menatapku dengan mata melebar.
“Eh,
bagaimana kamu bisa tahu kalau aku nggak pernah menyumpah?”
“Kamu
mengomeli Brandon ketika dia menyumpah saat kalian... errr... ketika
terakhir
kali kamu ketemu dia,” akhirnya aku berkata.
“Oh.
Saya bahkan nggak ingat,” balas Reilley. Dia kelihatannya bisa menerima
penjelasanku,
walaupun wajahnya masih kelihatan bingung.
“Bisa
dimengerti, soalnya kalian terlalu sibuk memukul satu sama lain
ketimbang
memperhatikan hal lainnya.” Mau tidak mau aku tersenyum mengingat
kejadian
malam itu. Tiba-tiba aku teringat topik pembicaraan kami sebelum Reilley
mengalihkannya.
“Memang
saya bikin kamu stres, ya?” tanyaku, sembari mulai mengangkat
pisau
dan garpu lagi dari meja, berniat meneruskan makan siangku.
Reilley
terlihat menarik napas. “Nggak. Bukan kamu. Saya yang bikin diri saya
sendiri
stres,” jawabnya.
“Lho
kok begitu?” Perlahan-lahan kupotong steak
di piringku.
Reilley
mengerlingkan matanya kepadaku. Seketika aku sadar, bulu mata
Reilley
lebih lentik daripada bulu mataku. Digabung dengan mata birunya,
wajahnya
tampak benar-benar sempurna. Aku masih menatap Reilley, menunggu
hingga
dia menjelaskan alasan mengapa dia stres.
“Saya
nggak pernah coba mendekati perempuan seperti kamu sebelumnya. Jadi,
saya
nggak tahu apa yang harus saya kerjakan.”
“Perempuan
seperti saya? Memang saya seperti apa?” tanyaku bingung.
“Tipe
perempuan yang sangat serius, sangat sukses, dan sangat mandiri,” jawab
Reilley
jujur.
Aku
tidak bisa berkata-kata. Aku tidak tahu bahwa seperti itulah image orang
tentang
diriku.
“Satu
hal lagi, kamu orang Asia,” tambah Reilley.
Aku
tidak tahu, apakah aku harus tersinggung atau tidak ketika Reilley
menyebut
rasku. Sejujurnya, isu ras bukanlah hal yang baru untukku. Banyak
temanku
di bangku kuliah, yang mengatakan bahwa bangsa Asia adalah bangsa
yang
patut ditakuti karena mereka selalu ada di mana-mana. Selain itu, ada juga
yang
memandang orang Asia sebagai spesies yang sangat menarik karena terlihat
berbeda
dengan mereka. Pendapat ini tentunya biasanya diutarakan oleh orangorang
non-Asia.
Menurutku, Asia atau non-Asia tidak ada bedanya. Bukan ras yang
menentukan
siapa kita, tetapi cara kita membawa dirilah yang menentukan siapa
kita.
Akhirnya,
aku memutuskan memberi Reilley kesempatan menjelaskan
pendapatnya.
“Apakah ada yang salah karena saya orang Asia?” tanyaku, dengan
hati-hati.
“Salah
seorang teman saya mengatakan orang Asia sangat berbeda dengan
kami,
orang Barat. Kebanyakan dari kalian selalu kelihatan serius... bahkan sedikit
bikin
orang jadi segan. Kalian jarang berhubungan dengan orang di luar lingkaran
kalian
sendiri.”
Aku
mengangguk, dan menunggu, karena tampaknya Reilley belum selesai
dengan
penjelasannya. Mungkin karena melihat wajahku yang tidak kelihatan
tersinggung,
Reilley melanjutkan, “Teman saya yang lain mengingatkan saya harus
sangat
berhati-hati dengan orang Asia karena budaya kalian lebih halus daripada
budaya
kami. Jadi, itu sebabnya mengapa saya nggak pernah memberi kamu nomor
telepon
saya. Saya nggak mau kelihatan memaksa.”
Reilley
kemudian terdiam, dan menatapku penuh harap. Aku pun terdiam
mencoba
mencerna penjelasannya, yang terdengar cukup masuk akal. Dalam hati
aku
menyumpahi acara TV, yang aku tonton beberapa hari yang lalu. Gara-gara
acara
itu aku jadi berspekulasi bahwa Reilley adalah kembaran Scott Peterson, si
“Penjagal
Istri”. Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah kepada Reilley karena telah
berprasangka
buruk terhadapnya.
“Apakah
saat ini kamu segan terhadap saya?” tanyaku, sepelan mungkin.
“Nggak...
nggak juga. Nggak saat ini karena kamu kelihatan terlalu bingung dan
menggemaskan.
Beberapa kali saya bertemu kamu, jujur saja saya agak segan
terhadap
kamu.”
“Apa?”
Aku tidak percaya Reilley mengatakan aku menggemaskan. Tidak
pernah
ada orang yang menggunakan kata itu untuk melihatku. Lebih-lebih lagi,
aku
tidak percaya ternyata aku telah membuat laki-laki berbadan tinggi besar ini
segan
terhadapku.
“Kamu
kelihatannya siap menguliti saya hidup-hidup ketika saya tanya tentang
lettuce ke kamu,” Reilley menjelaskan.
Aku
mencoba mengingat-ingat ekspresi wajahku ketika pertama kali bertemu
Reilley.
Aku hanya berhasil mengingat bahwa aku tidak bisa berkata-kata selama
beberapa
detik karena tatapanku terpaku pada mata birunya. Mata biru yang
sekarang
sedang menatapku dengan agak khawatir. Akhirnya, aku memutuskan
mendorong
piringku yang masih setengah penuh ke tengah meja. Pikiranku terlalu
penuh
untuk mencerna makanan. Reilley juga sudah berhenti makan, dan
menyingkirkan
piringnya ke tepi meja.
“Kamu
nggak menghabiskan lunch kamu?” tanya Reilley, sambil menunjuk
piringku.
“Saya
nggak bisa makan sekarang. Ada terlalu banyak pertanyaan yang ingin
saya
tanyakan ke kamu,” balasku.
“Contohnya?”
“Kamu
sudah berapa lama jadi klien MBD?” tanyaku.
“Sejak
1 Januari,” jawab Reilley.
“Kamu
baru join tahun ini?!” aku terpekik.
Reilley
mengangguk. Dia kelihatan siap menanyakan sesuatu, tetapi aku potong,
“Apakah
kamu tahu, sayalah date kamu sebelum kamu bertemu saya?”
Reilley
tersenyum simpul, dan berkata, “Feeling
saya mengatakan itu kamu.
Deskripsi
yang diutarakan MBD kepada saya cocok sekali dengan kamu.”
Aku
mengangkat alis kananku, dan Reilley melanjutkan penjelasannya. “MBD
memberitahu
date saya bernama Titania, ras Asia, financial analyst, sedikit lebih
tinggi
dari 160 sentimeter, umur 27, I
mean 28 years old... Omong-omong, mengapa
kamu
nggak bilang ketika bertemu saya kalau Christmas itu hari ulang tahun
kamu?”
“Nggak
sempat. Tunggu sebentar, kamu tahu itu dari mana?” tanyaku curiga.
Setahuku
informasi yang biasanya diberikan MBD kepadaku tentang date-ku
hanyalah
informasi mendasar seperti nama (tanpa nama akhir), umur (tanpa tanggal
lahir),
penampilan fisik (misalnya, ketinggian), pekerjaan (bukan di mana tempat
bekerja),
dan ras. Bagaimana mungkin dia bisa tahu tanggal lahirku?
“Agen
saya di MBD keterlepasan. Tentu saja dia nggak sengaja, mereka terlalu
profesional
untuk blak-blakan memberitahu ke saya.” Reilley mencoba membela
agen
kencan butanya, yang membuatku bertanya-tanya. Jangan-jangan dia ada
hubungan
istimewa dengan orang itu, di luar hubungan antara agen dan klien. Tibatiba
muncul
perasaan cemburu di benakku. Buru-buru kumarahi diriku sendiri, dan
mencoba
membuang jauh-jauh perasaan yang tidak masuk akal itu.
Aku
tidak tahu, ternyata aku sudah terdiam lebih lama daripada yang Reilley
harapkan.
Aku baru bisa kembali fokus ketika kudengar Reilley menggerutu.
“Kamu
harusnya memberitahu saya kalau hari itu adalah hari ultah kamu,”
ucapnya.
“Memang
mengapa?” tanyaku bingung.
“Karena
saya ingin mengenal kamu lebih jauh.” Cara Reilley mengatakannya
seakan-akan
itu adalah penjelasan yang paling masuk akal.
Aku
menarik napas putus asa. Masih ada sejuta pertanyaan di dalam kepalaku,
tetapi
aku tidak bisa mengungkapkannya. Setiap kali aku akan menanyakan
sesuatu,
Reilley akan membuatku bingung dan tidak bisa bernapas oleh jawabanjawabannya.
“Saya...
saya nggak... maksud saya...,” ucapku terbata-bata.
“God. Saya nggak percaya ternyata mereka benar.” Kudengar Reilley
menggumam.
“Mereka
siapa?” tanyaku pelan.
“My brother and sisters. Mereka berkata, saya akan screw this one up really bad.
Mereka
berkata, saya sebaiknya melupakan saja semua ini.”
“Date ini?” Aku mencoba bersusah payah mengikuti jalan pikiran
Reilley, yang
seakan-akan
meloncat-loncat.
“Oh, screw this whole blind date
shit,” geram Reilley.
Aku
sempat terkejut dengan sumpah serapah itu. Kelihatannya sekarang dia
sudah
betul-betul stres, dan aku tidak tahu bagaimana mengatasi keadaan ini.
Sebelum
aku menyadari apa yang telah aku lakukan, tanganku sudah melambai
untuk
menarik perhatian Pierre.
Reilley
yang melihatku melambai menatapku bingung. “Apa yang kamu
lakukan?”
“Saya
ingin minta bill,” jawabku singkat.
“You‟re leaving?” tanyanya, semakin bingung.
“No. We are,” balasku. Reilley masih tetap menatapku bingung, tetapi
kemudian
dia
mengangguk. Aku berharap aku tidak salah menilai Reilley. Dia tipe pria
baikbaik,
yang
tidak akan menginterpretasikan kata-kataku sebagai suatu undangan
untuk
melakukan hal yang tidka-tidak.
“How is everything?” tanya Pierre, yang tiba-tiba sudah berdiri di samping meja
kami.
Seperti memahami bahwa aku tidak mengerti bahasa Prancis, Pierre
menggunakan
bahasa Inggris. Dia kelihatan bingung melihat kedua piring kami
yang
masih setengah penuh.
Aku
tersenyum ramah kepadanya. “It
was delicious. Bisa kami minta bill-nya?”
pintaku,
sebelum Pierre berkata-kata lagi.
Pierre
kemudian berlalu. Reilley tetap menatapku bingung, tetapi dia tidak
mengatakan
apa-apa. Pierre kembali beberapa menit kemudian dengan membawa
dua
tagihan. Seperti juga restoran-restoran lainnya yang telah direkomendasi MBD,
restoran
Prancis ini juga tahu bahwa kami harus membayar tagihan kami masingmasing.
Kulihat
Reilley mengeluarkan tiga lembar uang 50 dolar, dan berkata, “Ini untuk
bill kami berdua. Keep
the change,” ucapnya, lalu ia berdiri.
Aku
hanya menatapnya penuh tanda tanya, tetapi dia tidak menghiraukanku.
Buru-buru
kuangkat tasku dan melangkah ke luar restoran. Reilley berada tepat di
belakangku.
Aku
baru berhenti berjalan ketika kami sudah berada di luar restoran. “Kamu
tahu
Crowne Park apartment, di daerah Country
Club?”
“Yes,” jawab Reilley ragu.
“Good. Saya tinggal di situ. Kamu bisa bertemu saya di sana, atau
kamu bisa
mengikuti
mobil saya.” Nadaku terdengar sedikit memerintah, tetapi aku tidak
peduli.
Aku harus mendapatkan jawaban atas semua pertanyaanku.
“Saya
bertemu kamu di sana saja. Nomor apartemennya berapa?”
Kuberikan
nomor apartemenku. Reilley tidak mencatatnya, dan dia tidak
memintaku
untuk mengulangnya. Aku kemudian melangkah menuju mobilku.
Kulihat
Reilley ragu sesaat, tetapi kemudian dia pun berjalan menuju Volvo SUV
berwarna
perak yang diparkir cukup jauh dari mobilku.
BLIND DATE - PART 7
No comments:
Post a Comment