5
Sushi dan Interogasi
KEESOKAN
paginya, aku terbangun karena terkejut. Aku harus menenangkan diri
selama
beberapa menit, kemudian duduk di atas tempat tidur. Matahari sudah
masuk
dari jendela kamar, yang tirainya kubiarkan tidak tertutup tadi malam.
Kulirik
jam yang ada di telepon selularku. Sembilan lewat lima pagi. Aku baru tidur
kurang
dari lima jam.
“Weird dream,” gerutuku, lalu beranjak berdiri. Aku berjalan menuju kamar
mandi
tanpa memperhatikan langkahku, dan akhirnya menabrak keranjang pakaian
kotor
yang terletak di samping pintu. Kata-kata sumpah serapah keluar dari
mulutku.
Sambil menahan sakit, aku terpaksa meloncat dengan satu kaki memasuki
kamar
mandi. Kukenakan kacamata minusku, dan duduk di atas toilet memeriksa
keadaan
jempol kakiku. Bagian yang tadi tertabrak keranjang terlihat sedikit memar,
tetapi
tidak mengeluarkan darah. Setelah rasa sakit agak reda aku pun berdiri, dan
setelah
mendorong kacamata ke atas kepala, kubasuh wajah dengan air dingin.
Ketika
kuangkah wajahku dengan air yang masih menetes, aku langsung
berhadapan
dengan wajah yang kelihatan stres. Ada lingkaran hitam di bawah mata
dan
kulitku terlihat kusam.
Kuseka
mukaku dengan handuk dan mengenakan kacamata kembali, kemudian
berjalan
menuju dapur untuk membuat sarapan. Aku malas masak sehingga hanya
mengeluarkan
susu dari dalam lemari es dan menarik kotak sereal dari atas lemari
es.
Kutuangkan sereal itu ke dalam mangkuk, kemudian kusiram dengan susu.
Setelah
meletakkan susu dan sereal pada tempatnya, aku duduk di meja makan.
Aku
melipat kaki, lalu memasukkan satu sendok sereal ke dalam mulutku. Pelanpelan
kukunyah
sarapanku.
Aku
mencoba mengingat kembali mimpiku. Aku sedang berlari sekuat tenaga
karena
ada seseorang yang sedang mengejarku, tetapi aku tidak bisa melihat wajah
orang
itu. Kusadari kemudian, di hadapanku ada bukit yang cukup terjal. Aku
yakin,
aku tidak akan bisa mengalahkan orang yang sedang mengejarku jika aku
menaiki
bukit itu, tetapi aku tidak punya pilihan lain. Aku menoleh ke belakang dan
melihat
orang yang mengejarku sudah semakin dekat ketika tiba-tiba aku terjatuh
karena
telah menabrak sebuah dinding, sesuatu yang tidak mungkin karena di bukit
tentu
tidak ada dinding. Ketika aku melihat penyebab mengapa aku jatuh, aku baru
sadar
ternyata aku bukan menabrak dinding melainkan seseorang bertubuh tinggi
tegap
dan dada bidang. Ia sedang menatapku dari balik mata birunya.
Aku
berkata, “Reilley, kamu harus bantu aku. Ada yang mengejarku dan aku
nggak
tahu itu siapa.”
Reilley
di dalam mimpiku awalnya hanya menatapku bingung, tetapi kemudian
dia
berkata, “Nggak usah khawatir, aku bisa urus dia.”
“Oh...
ya, bagaimana caranya?”
Reilley
kemudian mengangkat tubuhku, dan memanggulku. Tahu-tahu aku
sudah
berhadapan dengan bokongnya, yang mengenakan celana ketat berwarna
biru.
“Reilley,
kamu mau apa sih?!” teriakku panik.
“Aku
harus bawa kamu melewati garis 10-yard untuk touchdown,”
jawabnya
santai,
dan mulai berlari menuruni bukit.
Touchdown? Memangnya aku ini bola? Kami bahkan tidak sedang berada di
lapangan
football.
Tiba-tiba
suasana berubah, dan aku ada di lapangan football
milik University of
Florida,
yang dikelilingi oleh lautan orang dengan baju berwarna biru dan oranye,
warna
khas “The Gators”. Kulihat ada beberapa orang dengan kaus football dan
celana
ketat biru sedang mengejarku, atau lebih tepatnya mengejar Reilley yang
sedang
memanggulku. Salah seorang di antara mereka adalah Brandon, tetapi dia
masih
mengenakan kostum Zorro walaupun tanpa topeng. Brandon berteriak, “Mau
ke
mana, Titania?! Mau lari?! Kamu nggak bisa lari dari aku!”
Aku
berteriak kepada Reilley, memintanya berlari lebih cepat dan
menjauhkanku
dari Brandon. Reilley menjawab teriakanku, “Aku sedang berusaha
sekuat
tenaga, kamu harus bantu aku!”
“Bagaimana
caranya?”
“Aku
akan menurunkan kamu, nah kamu harus lari bareng aku, oke?”
“Oke,”
balasku.
“Aku
hitung sampai tiga. Begitu aku bilang tiga kamu harus sudah lari.”
“Oke.”
“Satu...
dua... tiga.” Reilley menurunkanku, dan aku berlari sekuat tenaga di
sampingnya
menuju garis 10-yard. Tangannya menggenggam tanganku. Anehnya,
bukan
semakin dekat, garis itu terlihat semakin menjauh.
“Reilley,
aku nggak bisa lari lagi.” Lariku mulai berkurang kecepatannya.
“Kamu
harus bisa. Kalau kamu mau berhasil, kamu harus coba,” bujuk Reilley.
Dia
tersenyum kepadaku.
Aku
sudah siap melebarkan langkahku ketika tiba-tiba ada yang menarikku.
“Reiiii...
lleeeyyy...!” teriakku. Tanganku mencoba menggapainya, tetapi tidak
mendapatkan
apa pun kecuali udara kosong.
Kemudian
aku terbangun.
Sekali
lagi aku menggerutu, “Weird dream.” Mimpi itu betul-betul tidak masuk
akal.
Aku bahkan tidak tahu-menahu tentang permainan football atau warna
seragam
masing-masing universitas. Aku kebetulan saja mengenali seragam
University
of Florida karena sempat melihat pertandingan mereka di TV melawan
University
of Alabama beberapa waktu yang lalu. Kalau dipikir-pikir mimpi itu
bahkan
nggak ada hubungannya dengan kejadian tadi malam. Aneh. Lebih anehnya
lagi,
dalam mimpiku Brandon dan Reilley berbicara dalam bahasa Indonesia,
padahal
jelas-jelas mereka tidak paham atau tidak tahu apa-apa tentang bahasa itu.
Jangan-jangan
aku sudah jadi kurang waras. Aku tahu sumber kegilaanku ini tidak
lain
dan tidak bukan berasal dari laki-laki bejat bernama Brandon, yang menolak
menerima
kenyataan aku sudah tidak menginginkannya sama sekali. Entah dia
dapat
ide dari maa untuk meyakinkan dirinya bahwa aku masih mencintainya.
Ingin
rasanya aku membunuhnya tadi malam.
*
* *
Kemarin
malam, setelah aku beranjak dari sisi Reilley, aku menarik napas dalamdalam.
Lalu
aku berbalik menghadapi Brandon untuk yang kedua kalinya malam
itu.
Aku harus membuatnya mengerti bahwa aku tidak lagi mencintainya, dan aku
ingin
dia meninggalkanku supaya aku bisa menjalankan hidupku dengan damai.
Kuhentikan
langkahku agak jauh dari Brandon. “Bagaimana keadaan bibir
kamu?”
tanyaku dari tempatku berdiri. Aku berusaha sebisa mungkin tidak
menghampiri
Brandon pada saat itu juga untuk mengurus lukanya. Meskipun aku
masih
peduli padanya, aku tidak mau memberinya sinyal yang salah. Dia sudah
bukan
lagi pacarku, dia sudah bukan tanggung jawabku lagi.
“Sudah
nggak berdarah lagi sih,” ucap Brandon. “Aku masih nggak percaya
kamu
menendang aku.”
“Kamu
pantas ditendang,” balasku, sambil menatapnya serius. Melihat
reaksiku,
Brandon hanya terdiam.
“Laki-laki
itu siapa sih?” tanyanya.
Semula
aku ingin berpura-pura tidak memahami siapa yang Brandon maksud,
tetapi
aku sedang malas main tebak-tebakan malam ini.
“Teman,”
balasku pendek. Pikiranku kembali kepada laki-laki bermata biru,
yang
tampaknya telah menjadi lebih dari sekadar teman. Laki-laki itu sudah
menjadi
malaikat penyelamatku, yang akan muncul tiba-tiba tanpa aku minta bila
aku
sedang membutuhkannya.
“Well, teman kamu itu harus belajar nggak mencampuri urusan orang
lain.”
Brandon
menggerutu sambil menatapku dengan memicingkan matanya.
”I agree,” balasku, meskipun dalam hati aku tidak setuju sama sekali.
Aku tidak
keberatan
bertemu dengan Reilley lagi. Kalaupun itu berarti aku harus berada
dalam
keadaan darurat lagi, aku tetap rela.
Aku
memaksa pikiranku kembali kepada Brandon. Aku terdan sesaat
memikirkan
apa yang akan aku katakan selanjutnya. “Aku ingin kamu mengerti,
aku
nggak mau kejadian barusan terulang lagi. Kamu paham, kan?”
Brandon
menggeleng. Aku menarik napas putus asa. Keras kepala sekali lakilaki
ini.
Aku baru saja akan mengatakan sesuatu, tetapi tiba-tiba kata-kata meluncur
dari
mulut Brandon. Aku langsung diam mendengarkannya.
“Aku
minta maaf soal kejadian barusan. Percaya atau nggak, rencanaku malam
ini
sebetulnya hanya ingin bicara dengan kamu dan minta maaf. Begitu aku melihat
kamu,
rasa kangenku terhadap kamu selama beberapa bulan ini seolah terobati.
Hidupku
berantakan tanpa kamu.”
Mendengar
pengakuan Brandon, hatiku sedikit luluh. Setidak-tidaknya kini aku
tahu
dia lebih membutuhkanku daripada aku membutuhkannya.
Perlahan-lahan
aku berjalan mendekatinya. “Aku ingin kamu tahu, aku sudah
memaafkan
kamu. Aku bahkan sudah nggak pernah memikirkan kejadian dulu itu
lagi.”
Untuk
pertam akalinya aku menyadari ternyata aku memang sudah memaafkan
Brandon
atas perbuatannya. Mungkin itu sebabnya mengapa aku sudah bisa
melanjutkan
hidupku.
“Oh
ya? Kamu bersedia memaafkan aku setelah aku menyakiti kamu seperti
itu?”
Brandon terlihat betul-betul terkejut.
Aku
tertawa melihat ekspresinya. Kuhentikan langkahku sekitar satu meter
darinya,
kemudian mengangguk. “Hanya saja, rasanya aku nggak akan pernah bisa
lupa
sama sekali kejadian dulu itu. Jarang-jarang kan perempuan bisa memergoki
pacarnya
sedang making love dengan selingkuhannya, padahal dia bilang sedang
lembur.”
Suasana
hening selama beberapa detik. “Kalau aku memohon, mencium kaki
kamu,
dan berjanji nggak pernah mengulang perbuatanku lagi, apakah kamu mau
menerima
aku balik?” tanya Brandon, dengan wajah penuh harap.
“Kamu
serius?”
“Superserius,”
jawab Brandon, dengan penuh keyakinan.
“Nggak,”
jawabku pendek.
“Mengapa?”
Wajah Brandon terlihat kecewa.
Aku
menggigit bibir bawahku, senewen. Ini adalah kebiasaanku dan Didi
apabila
kamu berdua merasa tidak nyaman.
“Kamu
tahu kan kita nggak pernah benar-benar cocok satu sama lain.” Kumulai
penjelasanku.
“You‟re too much for me. Kamu memang pintar, sukses, dan ganteng.
Semakin
kamu sukses, your... needs would increase as
well. The needs that I can never
fulfill, setidak-tidaknya nggak sekarang.”
Brandon
tidak berkata-kata, tetapi dari wajahnya kelihatannya dia memahami
ketika
aku mengatakan kata “needs”, yang kumaksudkan adalah “sexual needs”.
Kuangkat
kepalaku ketika melihat banyak orang lalu-lalang di lobi hotel. Kulirik
jam
tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 24.30. Tampaknya pesta
Halloween
sudah selesai karena aku melihat beberapa orang berjalan menuju
pelataran
parkir.
Mengingat
aku tidak ingin terlihat bersama Brandon oleh orang kantorku, aku
berkata,
“Kamu sebaiknya pulang dan minta orang mengurus muka kamu yang
babak
belur.”
Aku
lalu berbalik badan dan berjalan menuju mobil. Aku tahu Reilley sudah
menghilang.
Dalam hati aku menyumpah. Meskipun memang aku berkata bahwa
aku
bisa mengatasi Brandon sendiri, aku berharap dia tidak mendengarkan katakataku
dan
tetap menungguku.
“Jadi,
itu saja jawaban kamu? Kamu akan meninggalkan aku begitu saja?!”
teriak
Brandon.
Aku
berputar balik, dan berjalan maju beberapa langkah. “Bukan aku yang
meninggalkan
kamu, tetapi kamu yang meninggalkan aku. Ingat itu!” teriakku, lalu
memutar
tubuhku lagi dan berjalan menuju mobil.
“Kamu
tahu kan, kamu nggak akan bis ahidup tanpa aku. Aku hanya perlu
menunggu
sampai kamu mau mengakui itu!” teriak Brandon lagi, masih tidak mau
kalah.
Kalimat
terakhir yang diucapkan Brandon telah mengubah pendapatku
tentangnya,
yang selama beberapa menit tadi merasa kasihan kepadanya. Ternyata
dia
masih juga laki-laki kurang ajar dan tidak tahu diuntung, yang aku tinggalkan
lima
bulan lalu. Dia tidak berhak menerima simpatiku sama sekali.
“You need to grow up, Brandon,” balasku, dan melambaikan tanganku tanpa
menatapnya
lagi. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa hidup, terus akan hidup
dan
bahkan lebih baik tanpanya.
*
* *
Sekali
lagi kutatap sarapanku, yang baru setengah termakan. Kulirik jam yang
tergantung
di dinding dapur. Pukul sepuluh pagi. Kumakan habis sarapanku,
kemudian
mencuci mangkuk dan sendok. Kusempatkan menelepon orangtuaku.
Aku
bertanya kapan mereka akan datang berkunjung lagi ke Amerika? Ibuku
menjawab
bahwa sebaiknya aku saja yang pulang ke Indonesia karena dia sudah
tidak
sanggup terbang 27 jam hanya untuk bertemu denganku dan Didi. Aku
bahkan
sempat mengiming-imingi tiket pesawat Business
Class kepadanya, tetapi
ibuku
tetap bersikeras tidak akan pernah terbang ke Amerika lagi. Kecuali bila
situasinya
memang darurat.
Kemudian
ibuku bertanya, apakah aku sudah bertemu dengan orang baru. Aku
tahu
yang dimaksud ibuku adalah pacar baru. Aku berusaha menghindar, dan
hanya
mengatakan aku masih terlalu sibuk untuk melakukan itu. Walaupun begitu,
aku
berjanji sebisa mungkin meluangkan waktu agar bisa “shopping” calon suami.
“Pokoknya,
Ta, jangan lupa. Kerja sih boleh saja, tetapi jangan sampai lupa cari
suami,
ya,” pesan Ibu kepadaku.
“Ya,
Bu,” jawabku.
Satu
jam kemudian aku menutup telepon dengan perasaan lebih lega karena
orangtuaku
kelihatannya baik-baik saja. Biasanya hari Sabtu aku habiskan pergi ke
toko
buku dan membaca-baca majalah edisi terbaru, tetapi hari ini aku merasa malas
keluar
rumah. Kulihat keranjang pakaian kotor yang sudah cukup penuh, tetapi
belum
berlimpah. Aku pun memutuskan mencuci pakaian. Sembari menunggu
hingga
cucian kelar, aku mandi. Setelah mandi kutata rapi tempat tidur, kurapikan
lemari
pakaian, kusedot karpet dengan vacuum
cleaner sampai dua kali untuk
memastikan
karpet sudah superbersih. Bahkan setelah pakaian kering kusetrika
semuanya
dengan rapi, kemudian memasukkannya ke dalam lemari.
Kulirik
lagi jam, yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Aku lalu beranjak
ke
dapur untuk membuat makan siang. Setelah selesai makan siang, aku memeriksa
telepon
selularku untuk memastikan tidak ada text
message atau telepon yan gtidak
terdengar
olehku. Tidak ada pesan ataupun missed
call. Selanjutnya, aku menyalakan
TV.
Kuganti channel beberapa kali, mencari acara yang bisa menyita waktu dan
pikiranku
untuk beberapa jam. Aku memilih film komedi romantis yang dibintangi
Drew
Barrymore, yang baru saja mulai. Aku lalu duduk menikmati film itu selama
tiga
jam. Ketika film itu berakhir, hari sudah gelap. Kunyalakan beberapa lampu di
dalam
apartemen. Jam dinding sudah menunjukkan pukul enam sore.
“Kok
dia belum telepon sih?!” akhirnya aku berteriak frustrasi. Aku agak
terkejut
dengan teriakanku karena pada saat itu aku baru menyadari alasan
mengapa
sepanjang hari ini aku merasa resah dan tidak bisa diam. Tanpa aku
sadari,
aku menunggu telepon dari Reilley. Aku ingin mengetahui, berapa utangku
untuk
mengganti biaya dry cleaning sweater Armani-nya.
Tolol,
tolol, tolol! Aku mengomeli diriku sendiri. Tentu saja dia tidak akan
meneleponku
hari ini. Dia mungkin belum sempat membawa sweater itu untuk
didry
clean. Oleh sebab itu, dia belum bisa meneleponku untuk memberitahu
jumlah
tagihannya.
Muncul keragu-raguan di hatiku dia tidak akan meneleponku sama
sekali,
meskipun sweater itu sudah di-dry
clean. Hal ini disebabkan karena dua
alasan.
Pertama, dia tidak menganggap kejadian tadi malam merupakan
kesalahanku.
Oleh karena itu, aku tidak bertanggung jawab atas sweater itu. Kedua,
dia
tidak mau berhubungan denganku dan mantan pacarku yang sinting. Rasanya
alasan
kedua lebih masuk akal.
*
* *
Satu
bulan pun berlalu, dan Natal akan tiba dua minggu lagi. Aku sudah berkencan
dengan
delapan laki-laki dalam kurusn waktu itu, dan tidak satu pun dari mereka
yang
mampu menarik perhatianku. Baru belakangan aku menyadari alasannya,
ternyata
karena aku membandingkan mereka semua dengan Reilley. Laki-laki yang
ini
terlalu pendek, yang itu terlalu tinggi. Laki-laki ini matanya memang biru,
tetapi
tidak
sebiru Reilley. Laki-laki itu aromanya mirip dengan Reilley, tetapi tidak
betulbetul
sama.
Laki-laki ini rambutnya cokelat dan mirip dengan Reilley, tetapi rambut
Reilley
lebih mengilat dan sedikit merah kalau terkena sinar. Laki-laki itu suaranya
mirip
Reilley, tetapi jelas-jelas wajahnya jauh sekali dari Reilley... dan
berlanjutlah
semua
alasanku untuk menemukan kesalahan pada setiap date-ku. Lebih parahnya
lagi,
aku selalu menahan napas setiap kali melihat ada Volvo SUV berwarna perak.
Aku
betul-betul sudah terobsesi oleh Reilley.
Aku
tidak tahu bagaimana Sandra masih bisa terdengar ceria setiap kali
meneleponku
untuk menanyakan tentang kencanku dengan laki-laki, yang telah
dicarikan
MBD untukku. Apakah dia tidak bosan mendengar komentarku, “Ya, dia
memang
baik, tetapi kayaknya dia bukan laki-laki yang tepat untuk saya”? Mau
tidak
mau aku harus mengakui kekagumanku terhadap Sandra dan semua staff
MBD,
yang pantang menyerah mencarikan laki-laki yang tepat untukku. Di dalam
hati
kecilku aku tahu, laki-laki yang tepat untukku adalah laki-laki bule berbadan
tinggi
besar, bermata biru, memiliki aroma yang membuatku tergila-gila, dan
mobilnya
Volvo SUV berwarna perak. Laki-laki yang seakan-akan menghilang dari
permukaan
bumi sebulan yang lalu.
Selama
dua minggu pertama aku masih mengharapkan telepon darinya.
Terkadang
aku duduk menatap telepon selularku, dan berharap benda itu
berdering.
Tanpa sadar sering aku bergumam, “Ring...
ring... ring... c‟mon just ring.”
Ketika
telepon itu tidak berdering juga aku memaki-makinya, “Dasar telepon
goblok,
bunyi saja nggak bisa.”
Untungnya
kegilaanku dapat teratasi setelah Didi datang mengunjungiku
dengan
membawa pacarnya bernama Vincent, yang terlihat seperti seorang kutu
buku
pada umumnya. Didi biasanya leibh menyukai laki-laki yan ggaul untuk
mengimbangi
gen kutu bukunya itu. Oleh sebab itu, aku sedikit terkejut ketika
melihat
Vincent. Hanya satu jam bersama Vincent dan Didi, aku langsung tahu
perasaan
Vincent terhadap adikku lebih dalam dibandingkan perasaan adikku
terhadap
laki-laki itu. Vincent selalu menatap Didi bagaikan dia berlian paling
berharga.
Vincent hanya tinggal selama seminggu, kemudian dia kembali ke D.C.
Aku
pun mulai menginterogasi adikku.
“Kamu
dan Vincent serius?” tanyaku, sambil menyiapkan makan malam untuk
kami
berdua.
Didi,
yang sedang menyiapkan salad, menjawab, “Mmmhhh... belum tahu juga
sih,
memang ada apa?”
“Nggak.
Kayaknya dia sudah cinta mati kepada kamu deh.” Aku membalik dua
daging
sapi sirloin seperempat kilo yang ada di atas panggangan.
Adikku
berhenti menuangkan bumbu salad ke dalam mangkuk dan menatapku.
“Kok
Mbak bilang begitu?”
“Dia
terus-menerus menatap kamu seperti kamu ini matahari dia.” Kuangkat
sepotong
daging yang sudah setengah matang. Aku tahu Didi tidak pernah mau
makan
daging yang terlalu well-done.
Didi
tertawa mendengar komentarku dan meneruskan membuat salad sambil
menyanyikan
lirik lagu Nelly Furtado, yang bergema dari speaker stereo.
“Omong-omong,
aku sudah lama nggak dengar kabar tentang Reilley. Kamu
masih
belum bertemu lagi dengan dia?” tanya Didi tiba-tiba.
Aduhhh...
mengapa... oh... mengapa arah pembicaraan kami jadi ke situ? Sudah
selama
dua minggu ini aku cukup berhasil mengusir Reilley dari pikiranku.
“I guess he‟s fine. Aku belum bertemu dia lagi tuh,” ucapku pelan. Aku
mengangkat
steak dari panggangan, kemudian meletakkannya di atas piring.
Didi
sudah duduk di kursi makan dan menungguku. Dengan mulut penuh dia
berkata,
“Menurut kamu... dia mengapa timbul... tenggelam begitu, ya?” Kata-kata
Didi
terputus-putus karena dia mencoba berbicara sambil mengunyah.
“Telan
dulu daging di mulutmu baru omong, bisa nggak sih?” pintaku, sambil
mencoba
menahan tawa melihat kelakuannya.
Didi
tersenyum, lalu mengunyah daging yang ada di dalam mulutnya. “Steak ini
enak
lho, Mbak. Makasih, ya,” ucapnya, kini dengan lebih sempurna karena daging
yang
tadi dikunyahnya sudah ditelan.
“Enak,
ya? Bagus deh. Aku dapat resep dari Cooking
Channel, cara bikin steak
yang
enak tapi gampang.”
Hanya
dengan begitu aku bisa mengalihkan pembicaraan ke topik yang lebih
aman
dan tidak membuat jantungku berdebar-debar.
*
* *
Hari
Natal pun tiba, berarti aku sudah resmi berumur 28 tahun. Orangtuaku
meneleponku
pukul enam pagi, mereka memberi ucapan selamat sambil
menyanyikan
lagu “Selamat Ulang Tahun” untukku. Ini tradisi yang telah kami
lakukan
sejak aku SD. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku dan Didi beranjak ke
luar
rumah. Kami memutuskan merayakan ulang tahunku di salah satu restoran
Jepang
yang ada di Winston, dan makan sushi sebanyak-banyaknya. Pelayan di
restoran
ini sudah cukup mengenalku, dan mempersilakan kami duduk di meja
favoritku
di tengah ruangan.
Restoran
terlihat cukup padat dengan orang-orang yang baru pulang dari
menghadiri
misa pagi di gereja. Kuliaht meja terbesar restoran itu, yang terletak di
pinggir
ruangan, sudah terisi oleh satu keluarga besar. Sepasang oma dan opa,
dengan
rambut yang sudah hampir putih semua, tampaknya adalah orangtua
mereka.
Seorang wanita berambut cokelat gelap sepunggung sedang memasukkan
sepotong
sushi ke dalam mulut anak kecil, yang duduk di sampingnya. Seorang
wanita
berambut pendek, yang parasnya hampir sama dengan wanita yan gtadi,
duduk
di sebelahnya. Di depan mereka ada empat orang lagi duduk
membelakangiku.
Salah seorang dari mereka berambut pirang, dan selebihnya
berambut
cokelat gelap. Dari raut wajah dan suara-suara mereka yang berbicara
satu
sama lain, tampaknya mereka sedang membahas topik tentang American football
dan
betapa seksinya Paris Hilton.
Tiba-tiba
salah seorang laki-laki di antara mereka berdiri, dan aku langsung
bertatapan
dengan wajah malaikat pelindungku. Aku harus mengedipkan mataku
berkali-kali
untuk memastikan aku tidak sedang berhalusinasi. Aku benar-benar
tidak
sedang bermimpi karena wajah itu kini sedang tersenyum lebar ke arahku.
“Titania!”
teriak Reilley. Dia betul-betul terlihat gembira bertemu denganku.
“Reilley,”
balasku, masih dengan suara agak tersedak.
Dia
kemudian maju beberapa langkah dengan penuh semangat, sebelum
berhenti
persis di depanku dan kelihatan ragu. Aku baru sadar percakapan seru
yang
tadi terdengar di meja mereka kini sunyi. Delapan pasang mata dengan
berbagai
warna, tetapi kebanyakan biru, sedang menatapku penuh rasa ingin tahu.
“Have you eaten?” tanyanya akhirnya, setelah beberapa detik hanya menatapku
sambil
mengerutkan kening.
“Just about,” jawabku. Kulihat Didi berdiri di sampingku dengan tatapan
penuh
arti.
“Why don‟t you join us?” Reilley terdengar antusias. Kulihat Reilley mengangguk
kepada
Didi.
Sebelum
aku bisa menolak, kulihat tiga laki-laki yang tadi duduk bersamanya
melambaikan
tangan kepada waiter untuk meminta ekstra kursi. Hanya dalam
hitungan
detik, meja mereka semakin padat dengan dua kursi tambahan.
Tampaknya
aku tidak memiliki pilihan, selain menerima tawaran itu.
Aku
duduk bersebelahan dengan Reilley, sedangkan Didi duduk di sebelahku.
Dua
laki-laki, yang tadi duduk di kursi yang sekarang kami duduki, sudah
menyingkir
ke kedua ujung meja. Aku dan Didi lalu memesan makanan dan
minuman
kami. Kini sembilan pasang mata menatapku dan Didi, tetapi aku sadar
bahwa
fokus tatapan mereka adalah aku. Situasi ini sangat membuatku tidak
nyaman,
apalagi aku menyadari aku duduk terlalu dekat dengan Reilley sehingga
bahu
kami hampir bersentuhan. Bagaimana mungkin aku bisa menerima tawaran
duduk
dan makan siang dengan orang-orang tidak aku kenal ini? Oh, ya... aku
lupa...
aku tergila-gila kepada laki-laki yang duduk di sebelahku, yang kini
tampaknya
sedang mengirimkan aliran listrik kepadaku setiap beberapa detik.
Zzzzzzttt... zzzzttttttt....
zzzzttttt....
“Hi, I‟m Marcus,” ucap laki-laki yang duduk di ujung meja sebelah kiriku
dengan
tiba-tiba, kemudian membungkuk dan mengulurkan tangannya menyalamiku.
Ketika
dia melakukan itu, kudengar beberapa orang berteriak pada saat yang
bersamaan.
“Watch it, you‟re tipping the soy
sauce bottle.”
“She‟s taken you idiot.”
“And look how smoooooth that boy
is, it‟s a wonder why he has no girlfriend.”
Aku
yang baru setengah berdiri terdiam kaget, dan memutuskan duduk
kembali
di kursi serta menarik lagi tanganku yang sudah setengah terjulur ke arah
Marcus.
“Hei,
kami dikenalkan dong. Apakah kamu terlalu malu mengakui kami semua
sebagai
keluarga kamu?” Wanita yang tadi sedang menyuapi anaknya berkata
sambil
melemparkan senyumnya kepadaku.
Reilley
memberikan tatapan gemas kepadanya sebelum menjawab, “Titania, ini
keluarga
saya. Mom and dad,” ucapnya, sambil menunjuk kepada sepasang manula
yang
sedang tersenyum ramah kepadaku. “My
younger sister, Christine,” ia mnunjuk
wanita
berambut pendek, yang mengangguk. “And
her boyfriend, Matt,” sambil
menunjuk
kepada laki-laki berambut pirang yang duduk di sebelah Didi. ”My older
sister Mary, her husband Alex, and
my nephew Joseph.”
Reilley
menarik napas, kemudian melanjutkan, “Ini adik laki-laki saya, si
pembuat
onar, Marcus.”
“Hey,” teriak Marcus tersinggung, diikuti gelak tawa smua orang
yang duduk di
meja
itu.
“Nice to meet you all. Saya Titania dan ini adik saya Adriana, ucapku
memperkenalkan
diri. Aku tidak menatap Didi ketika sedang memperkenalkan diri
karena
dari sudut mataku aku bisa melihat wajahnya tampak sangat terhibur.
Rasanya
aku harus mempersiapkan diri diinterogasi Didi setibanya di apartemen
nanti.
Ini tentu saja bukan prospek yang aku tunggu-tunggu.
Ketika
makanan kami tiba, aku menyempatkan diri memperhatikan
sekelilingku.
Kulihat wajah semua anggota keluarga Reilley jauh di atas rata-rata,
bahkan
bisa dibilang wajah Reilley paling biasa saja dibandingkan mereka semua.
Untungnya
mereka sedang sibuk dengan percakapan atau makanan masing-masing
sehingga
memberikanku waktu beberapa menit untuk bernapas.
“Bagaimana
kabarmu? Maksudku sejak terakhir kali aku bertemu kamu,” tanya
Reilley
pelan.
“Saya
baik-baik saja,” jawabku pendek, sambil memasukkan sebagian california
roll ke dalam mulutku.
“Apakah
Brandon masih suka mengganggu kamu setelah malam itu?” lanjut
Reilley,
masih dengan suara pelan.
Mau
tidak mau aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Ternyata dia masih
betul-betul
ingat kepadaku.
“Nggak,
dia sudah nggak pernah mengganggu saya lagi,” jawabku.
“Baguslah.
Aku agak khawatir soal itu,” lanjutnya, kemudian kembali pada
makan
siangnya, meninggalkanku dengan mulut agak menganga dan hati
berbunga-bunga.
Dia mengkhawatirkanku? Aku ada di pikirannya?
“Any more flat tires?” tanya Reilley lagi, setelah beberapa detik.
“Nggak.”
Aku mencoba menyembunyikan ekspresi wajahku yang bisa
memperlihatkan
bahwa aku merasa ge-er dengan perhatiannya.
“Hidung
kamu bagaimana?” lanjutku.
Reilley
menyentuh hidungnya sedikit, dan berkata, “Baik-baik saja,” sambil
kemudian
tersenyum lebar.
“Kamu
kenal kakak saya di mana?” tanya Marcus tiba-tiba, yang diikuti dengan
teriakan,
“Oowww, that hurts dude!” Kulihat Reilley sedang menghunjamkan tatapan
tajam
ke arah Marcus, yang sedang meringis kesakitan.
“Bagaimana
kalau kita biarkan mereka makan dulu sebelum kamu interogasi.”
Ibu
Reilley menolongku. Aku memandangnya dengan tatapan penuh terima kasih.
“Bagaimana
pihak rumah sakit memperlakukan kamu?!” teriak Alex dari ujung
meja
kepada Marcus.
“Seperti
sampah, that‟s all I could say,” balas Marcus. “Saya kasih tahu saja, ya.
Kalau
kamu memutuskan untuk kuliah, jangan pernah mau masuk kedokteran,”
lanjutnya.
Ia menatap Didi, yang mengerlingkan matanya kepadaku dengan
bingung.
Aku
harus menahan tawa. Didi memang berwajah dan bergaya masih seperti
anak
SMA. Dengan mukanya yang bulat dan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi,
aku
tidak bisa menyalahkan orang yang menyangka dia baru saja merayakan ulang
tahunnya
yang ke-16.
“Kamu
tahun keberapa sih?” tanya Marcus lagi kepada Didi.
“Tahun
keempat,” balas Didi sopan. Kulihat ibu Reilley menggeleng-geleng
melihat
kelakuan anaknya, yang seakan-akan tidak menghiraukan kata-katanya
untuk
membiarkan kami makan dulu sebelum bertanya-tanya.
“A senior. Kamu sekolah di mana?” kata Marcus, semakin antusias.
“George Washington.”
Kulihat
Marcus mengerutkan keningnya. “Itu bukan di Winston, ya? Aku nggak
pernah
mendengar ada George Washington High School di sini.”
“It‟s in Washington D.C.” Aku bisa merasakan Didi mulai terhibur dengan main
tebak-tebakan
ini.
“D.C.?!” teriak Marcus terkejut.
“Dia
sudah kuliah, blo‟on. George Washington University, paham?” Kudengar
Christine
mengomentari dengan nada sarkasme. “Aku nggak tahu deh bagaimana
kamu
bisa diterima kuliah kedokteran kalau kamu se-blo‟on ini,”
lanjutnya.
Marcus
mengerlingkan matanya kepada Christine, yang membalas dengan
kerlingan
matanya juga.
“Jadi,
kamu bakal lulus tahun depan dong?” Kudengar suara Mary.
“Mungkin
belum. Saya masih mengerjakan disertasi saya. Mudah-mudahan
saya
akan lulus secepatnya.” Didi menjawab pertanyaan itu dengan penuh senyum.
Aku
tahu, dia selalu menganggap kejadian di mana seseorang menyangka dia masih
mengambil
S1 dan bukannya S3 sebagai hiburan yang tidak akan pernah dia
lewatkan.
Kulihat
orang-orang yang ada di sekelilingku tampak bingung, kemudian
ekspresi
wajah mereka berganti dengan kekaguman setelah mereka betul-betul
memahami
maksud Didi.
”You‟re doing your PhD in what
area, dear?” Ibu Reilley bertanya, sambil
memandang
Didi dengan tatapan keibuan.
Aku
tersenyum bangga melihat Didi mencoba menjelaskan kepada Reilley dan
keluarganya
tentang bidang yang ditekuninya. Tidak lama kemudian, Didi sudah
terlibat
dalam pembahasan yang panjang lebar mengenai teori-teori psikologi
dengan
Christine, yang ternyata sedang mengambil S2 Jurusan Psikologi. Aku sama
sekali
tidak paham apa yang mereka bicarakan.
“Makanan
kamu bagaimana?” tanya Reilley, dengan suara pelan sehingga
hanya
aku yang bisa mendengarnya.
“Good,” jawabku, sambil memasukkan unagi terakhir
ke dalam mulutku. Setelah
menelan
dan meminum teh hijau seteguk, aku memberanikan diri menanyakan
pertanyaan
yang sudah berputar-putar di kepalaku selama satu jam terakhir.
“Berapa
utang saya kepada kamu untuk biaya dry
cleaning?”
Sebenarnya,
yang ingin aku tanyakan adalah “Kenapa kamu belum telepon
aku?”
Reilley
menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatapku bingung.
“Untuk
sweater kamu,” lanjutku. Reilley masih menatapku bingung. Aku
terpaksa
menambahkan, “Sweater kamu yang supermahal, yang kena darah itu lho?”
“Oh...
sweater itu. I told you not to worry about it. Kalau nggak salah, sweater
itu
sudah
aku kirim ke Goodwill. Aku bahkan nggak ingat.”
“Kamu
kasih sweater Armani ke Goodwill?” Nadaku meninggi karena terkejut.
Untung
saja Marcus sedang ke toilet sehingga dia tidak mendengar ucapanku.
Orang
tolol mana yang akan menyumbangkan sweater
Armani-nya ke organisasi
yang
menerima sumbangan pakaian. Walaupun sweater
itu sudah terkena darah,
tetap
saja itu sweater Armani.
“Sweater itu sudah tua. Lagi pula, bahannya bikin aku gatal. Hari itu
aku pakai
karena
aku kehabisan pakaian.”
“Oh,”
ucapku ragu.
“Itu
sweater cadangan yang aku simpan di mobil, buat jaga-jaga saja kalau
aku
perlu,”
jelas Reilley lagi.
Aku
mengangguk menerima penjelasannya itu, meskipun aku tetap bingung
bagaimana
mungkin seseorang bisa memiliki sweater
Armani dan tidak
mengenakannya
sesering mungkin.
“Omong-omong,
mau dengar nggak apa yang terjadi padaku waktu aku pergi
kunjungan
ke rumah sakit jiwa?” Kudengar suara Christine. Kualihkan perhatianku
kepada
adik perempuan Reilley itu.
“Were you about to commit yourself?” Alex bertanya dengan nada jenaka, yan
gdiikuti
suara tawa kami semua. Setahuku orang yang akan “commit”, atau
memasukkan
dirinya ke rumah sakit jiwa, hanyalah orang-orang yang betul-betul
merasa
kesehatan mental mereka tidak stabil.
“Mau
dengar atau nggak nih?” omel Christine.
“Mau...
mau...,” ucap Reilley. Aku menoleh dan menatap Reilley, yang sedang
tersenyum
kepadaku.
“Jadi
kan dengar ceritaku? Oke, aku mulai, ya. Profesor Duncan adalah orang
paling
gila yang pernah aku temui sepanjang hidupku. Dia mengajak kami bertemu
salah
satu pasiennya, namanya Jim. Ia agak kurang waras karena percaya dirinya
sudah
meninggal.” Christine memulai ceritanya.
Kulihat
Didi dan Mary saling tatap, kemudian tersenyum. Kelihatannya aku
tidak
perlu khawatir keluarga Reilley tidak akan cocok dengan keluargaku. Oke,
Titania,
stop. Aku mencoba mengontrol imajinasiku yang mengawang-awang dan
kembali
memfokuskan pikiranku pada suara Christine.
“Ada
beberapa suster yang mencoba menjelaskan kepada Jim bahwa dia masih
hidup.
Kalau dia sudah meninggal maka mereka nggak akan bisa melihat atau
menyentuhnya.
Nah, Prof. Duncan berkata ke kami untuk mengobservasi selama
dia
menangani masalah ini. He
went up to Jim, took one of Jim‟s arm, and then slash it
with a scalpel. Gila nggak tuh?” Suara Christine semakin meninggi karena
antusias.
Aku
pun melipat kedua tanganku di atas meja, tertarik dengan cerita itu dan
menunggu
Christine melanjutkan ceritanya.
Tiba-tiba
kudengar suara Marcus, yang baru kembali dari toilet. “Sedang
bicarakan
apa sih?” Dia kemudian duduk kembali di kursinya.
“Aku
sedang cerita tentang kunjunganku ke RSJ,” jawab Christine, tidak
sabaran.
“Oh...
itu cerita gila. ITiba-tiba kudengar suara Marcus, yang baru kembali dari
toilet.
“Sedang bicarakan apa sih?” Dia kemudian duduk kembali di kursinya.
“Aku
sedang cerita tentang kunjunganku ke RSJ,” jawab Christine, tidak
sabaran.
“Oh...
itu cerita gila. You guys would love it,” ucap Marcus, sambil tertawa.
“Marcus... you mind? Aku lagi cerita nih.” Christine kelihatannya sudah siap
ngambek.
Marcus
mengangkat tangannya tanda menyerah. Kulihat semua orang di meja
itu,
kecuali aku dan Didi, saling pandang dengan senyuman yang tertahan dan
tatapan
penuh pengertian. Rupanya hal yang cukup biasa bagi Christine dan
Marcus
bertengkar, dan Marcus-lah yang biasanya akan mengalah.
Setelah
yakin Marcus tidak akan mengeluarkan kata-kata yang akan
mengganggunya,
Christine melanjutkan ceritanya.
“Jim
memperhatikan lengannya yang sudah berdarah. Nggak banyak memang.
Perhatiannya
kemudian beralih ke Prof. Duncan, lalu ke para suster sebelum
akhirnya
ke kami, para mahasiswa yan gsedang memandangi dia dengan mulut
ternganga
tentunya. Bukannya menyadari dia masih hidup, Jim malahan mulai
berteriak-teriak
„Orang mati bisa berdarah, orang mati bisa berdarah‟ sambil lari-lari
keliling
ruangan.” Christine mengakhiri ceritanya sambil tertawa keras, dan kami
pun
ikut tertawa bersamanya.
“Ada
yang mau dessert nggak?” Kudengar suara Alex bertanya, setelah suara
tawa
reda.
Aku
sudah terlalu kenyang sehingga menolak tawarannya, begitu juga semua
orang
yang duduk di meja itu. Alex kemudian berdiri dan menuju toilet.
“So where are you from, dear?” tanya ibu Reilley kepadaku. Kulihat ayahnya juga
sedang
menatapku ingin tahu.
“Saya
dari Indonesia,” jawabku sopan. Aku sedang menunggu mereka
melanjutkan
pertanyaannya dengan, “Itu di mana ya?” Aku sudah terbiasa dengan
orang-orang
Amerika yang tidak mengetahui letak Indonesia di peta dunia, suatu
fakta
yang sangat aku sayangkan. Kemudian aku cukup terkejut ketika ayah Reilley
berkata,
“Oh, apakah Aceh sudah pulih dari tsunami?”
Aku
harus mengontrol ekspresi wajahku agar tidak terlihat terlalu terkejut
sebelum
menjawab, “Pemerintah Indonesia sedang berusaha sebaik mungkin
melakukan
pemulihan di sana-sini, tetapi masih ada banyak hal yang harus
dikerjakan.”
Kedua
orangtua Reilley mengangguk penuh pengertian. “Kamu tinggal di mana
di
Indonesia, apakah dekat dengan Aceh?” tanya Reilley kepadaku. Kini Marcus
pun
terlihat tertarik dengan percakapan kami.
“Saya
tinggal di Jakarta, dan untungnya itu cukup jauh dari Aceh,” jelasku.
Hingga
hari ini aku sangat bersyukur bahwa aku tinggal di Jakarta, bukan di Aceh.
Aku
tidak bisa membayangkan, apa jadinya hidupku kalau saja aku kehilangan
orang-orang
yang aku cintai hanya dalam sekejap mata seperti yang terjadi pada
banyak
orang di Aceh pada akhir tahun 2004.
“I‟m glad to hear it. Apakah orangtua kamu ada di sini atau mereka masih di
Jakarta?”
tanya ibu Reilley lagi. Ini mungkin hanya imajinasiku saja, tetapi aku
merasa
ia sedang menginterogasiku untuk melihat apakah aku calon istri yang
sesuai
untuk anaknya. Calon istri? Hah!!! Pacaran saja belum.
“Mereka
masih di Jakarta,” jawabku, sambil tersenyum.
“Seberapa
sering kamu pulang ke Jakarta?”
“Sekali
setiap empat sampai lima tahun.”
“Lima
tahun sekali?” teriak ibu Reilley. “Orangtua kamu pasti kangen dan ingin
sekali
bertemu kamu, ya. I know I would.”
“Not all parents are as whiny as
you are, Mom,” Marcus berkata, yang diikuti
dengan
bunyi “whack” dan kata, “Owww...
Mooom,” ketika tangan ibunya
bersentuhan
keras dengan belakang kepalanya.
“Honestly, I should have stopped
with your brother if I‟ve known that you and your
twin sister will be so out of
control,” omel ibu Reilley.
Pada
saat itu barulah aku sadar bahwa Christine dan Marcus ternyata anak
kembar.
Aku seharusnya sudah bisa menebak sebelumnya karena mereka memang
terlihat
sangat mirip dan sepantar, dan cara mereka berinteraksi terlihat lebih dekat
daripada
kakak-beradik pada umumnya. Mereka kelihatan lebih bisa memahami
satu
sama lain tanpa harus mengeluarkan kata-kata. Sekali lagi aku tersenyum
melihat
semua interaksi dalam keluarga Reilley; mereka terlihat seperti satu
keluarga
yang utuh dan bahagia, seperti keluargaku.
Dari
sudut mataku kulihat Alex baru kembali dari toilet, kemudian aku melihat
Mary
berdiri sambil menggendong Joseph yang sudah tertidur. “We‟re heading out.
Kami
mau menghindari traffic ke Atlanta,” ucap Mary.
“Mary
nggak tinggal di Winston?” tanyaku kepada Reilley.
“Nggak
ada dari kami yang tinggal di sini. Hanya orangtua saya saja,” jawab
Reilley.
Sebetulnya,
aku ingin menanyakan di mana Reilley tinggal ketika Marcus
menepuk
bahu Reilley. “Nice seeing you again, Big Man,
but we gotta split. Aku ada
shift pagi besok.”
Di
sudut lain kulihat Christine sedang memeluk dan mencium kedua
orangtuanya.
“Promise me you‟ll call more often,
you don‟t see your family enough,” ucap
ibu
Reilley,
sambil memegang wajah Christine di antara kedua telapak tangannya.
“Aku
bertemu Marcus setiap hari,” balas Christine cuek.
“Dia
saudara kembar kamu, itu nggak bisa dihitung.” Kudengar ibu Reilley
mengomentari.
Marcus
dan Christine tertawa terkekeh-kekeh. Didi menarik tanganku dan
menanyakan
tentang tagihan makanan kami.
Aku
mencoba menarik perhatian salah seorang pelayan untuk menanyakan bon
makanan
kami. Reilley, yang melihatku sedang melambaikan tangan, kemudian
bertanya,
“Kamu perlu sesuatu?”
“Saya
ingin minta tagihan makanan saya,” balasku, sambil tetap melambaikan
tangan
kepada pelayan.
Reilley
menarik tanganku turun, dan tidak melepaskan genggamannya. “Kamu
nggak
usah khawatir soal itu. Alex sudah membayar semuanya,” ucapnya.
“Alex?”
tanyaku terkejut.
Reilley
mengangguk. “Kalau begitu, sebaiknya aku tanya ke dia berapa utang
saya,”
ucapku, dan siap beranjak menuju Alex, yang sedang mengangkat Joseph
dari
pelukan istrinya. Reilley menarik tanganku yang masih digenggamnya.
“Don‟t worry about it.” Reilley menatapku tajam.
“Kamu
yakin?” tanyaku ragu.
Tiba-tiba
Reilley mengalihkan perhatiannya kepada seseorang di belakangku.
“Hei,
Alex, Titania tanya ke aku apakah kamu keberatan membayari makan
siangnya?”
Aku
rasanya ingin mencekik Reilley pada saat itu juga. Mengapa dia harus
menanyakan
secara langsung begitu kepada Alex sehingga membuatku terkesan
terlalu
perhitungan dengan uang? Aku memang sangat berhati-hati dengan uangku,
tetapi
aku tidak mau orang lain tahu tentang itu. Untungnya Alex hanya tertawa,
dan
Mary menjawab, “Makan siang kami yang traktir.”
Kemudian
dia melangkah ke arahku dan memelukku sambil berkata, “Merry
Christmas. It was very nice to
meet you.”
Aku
tidak punya pilihan selain mengucapkan terima kasih, membalas
pelukannya
dan mengatakan hal yang sama. Mary kemudian berputar untuk
memeluk
dan mencium semua anggota keluarganya, termasuk Didi, kemudian
melangkah
ke luar restoran diikuti oleh Alex dan Joseph. Alex melambaikan
tangannya
sebelum menghilang dari pandanganku.
Sebelum
aku bisa pulih dari reaksi Mary terhadapku, Christine sudah
memelukku
diikuti Marcus. Matt, pacar Christine, hanya melambaikan tangannya
sambil
tersenyum tersipu-sipu. Aku baru ingat, sepanjang makan siang tadi aku
tidak
mendengarnya berbicara sama sekali. Mereka berlalu untuk menempuh jarak
dua
setengah jam dengan mobil ke Chapel Hill. Aku pun berpamitan dengan Reilley
dan
kedua orangtuanya. Meskipun ayah Reilley hanya menyalami tanganku, ibu
Reilley
memelukku dengan hangat dan antusias. Kami berjalan ke luar restoran
bersama-sama
dan berpisah di depan pintu.
Didi
berjalan tanpa suara di sampingku, tetapi aku tahu dia tidak sabar
menunggu
sampai kami ada di dalam mobil dan membahas semua kejadian siang
ini.
Aku dan Didi masuk ke dalam mobil sebelum kuhidupkan mesin dan
menyalakan
pemanas. Dari kaca spion kulihat Reilley berjalan menuju Mercedes
berwarna
hitam, diikuti oleh ayahnya yang sedang menggandeng ibunya. Melihat
pasangan
tua yang masih mesra itu aku teringat ibu dan bapakku, yang juga selalu
bergandengan
tangan ke mana pun mereka pergi. Akhirnya, mereka masuk ke
dalam
mobil. Aku masih tetap menunggu karena mesin mobilku masih terlalu
dingin.
Didi menekan tombol radio mobil untuk mencari siaran yang melantunkan
lagu
selain lagu-lagu Natal.
Tiba-tiba
telepon selularku berbunyi, Kulirik layar untuk mengetahui siapa yang
meneleponku,
tetapi di layar hanya tampil tulisan “private”. Sambil mengerutkan
kening
kujawab telepon itu. Kulihat Didi buru-buru mengecilkan volume radio, dan
menatapku
penuh tanda tanya karena melihat wajahku yang bingung.
“Hello,” ucapku ragu.
“Hei,
apakah kamu berencana tidak segera meninggalkan tempat parkir itu?”
Kudengar
suara Reilley dari ujung telepon.
Aku
sempat tersedak sebelum berkata, “Reilley?”
Kini
Didi menatapku dengan mata terbelalak.
“Yes,” jawab Reilley, kemudian ia tertawa. “So are you planning to move soon?”
lanjutnya.
“Memang
ada apa?” Aku masih tidak bisa menebak alasan mengapa dia
meneleponku
dan menanyakan hal itu.
“My mom nggak membolehkan saya pergi sampai dia lihat kamu dan adik
kamu
sudah
dalam perjalanan pulang dengan aman.” Suara Reilley terdengar sedang
mencoba
menahan tawa. Kemudian kudengar bunyi sesuatu dan suara perempuan
yang
agak teredam, seperti ada tangan yang menutupi speaker telepon Reilley.
Kudengar
suara Reilley lagi, “My Mom said to tell you that it
was very nice meeting you
and your sister and that she hopes
to see you again.” Kini nada Reilley terdengar sedikit
terpaksa.
Aku
berusaha tidak menelaah setiap perkataan yang diucapkan Reilley
kepadaku,
dan berkata, “Please tell your Mom that we said
thank you. It was nice meeting
her and your dad as well.”
“Mereka
bisa dengar, teleponnya on
speaker. Kamu lebih baik bergerak sekarang,
soalnya
ada mobil yang menunggu tempat parkir kamu,” lanjut Reilley.
Aku
melirik ke kaca spion untuk mengkonfirmasi apa yang Reilley baru
katakan.
Kulihat ada sebuah Mustang warna hitam sedang menunggu. “Oke, bye,”
ucapku.
Aku buru-buru menutup telepon selularku, kemudian memberikannya
kepada
Didi. Ia memasukkan telepon itu ke dalam tasku.
Buru-buru
kualihkan persneling mobil dari “P” ke “R”, dan mundur dari tempat
parkir.
Kubunyikan klakson satu kali sebelum meluncur ke Jalan Bethesda menuju
arah
Country Club, jalan di mana apartemenku berada.
BLIND DATE - PART 5
No comments:
Post a Comment