Friday, September 4, 2015

BLIND DATE - PART 5

5
Sushi dan Interogasi

KEESOKAN paginya, aku terbangun karena terkejut. Aku harus menenangkan diri
selama beberapa menit, kemudian duduk di atas tempat tidur. Matahari sudah
masuk dari jendela kamar, yang tirainya kubiarkan tidak tertutup tadi malam.
Kulirik jam yang ada di telepon selularku. Sembilan lewat lima pagi. Aku baru tidur
kurang dari lima jam.
Weird dream,” gerutuku, lalu beranjak berdiri. Aku berjalan menuju kamar
mandi tanpa memperhatikan langkahku, dan akhirnya menabrak keranjang pakaian
kotor yang terletak di samping pintu. Kata-kata sumpah serapah keluar dari
mulutku. Sambil menahan sakit, aku terpaksa meloncat dengan satu kaki memasuki
kamar mandi. Kukenakan kacamata minusku, dan duduk di atas toilet memeriksa
keadaan jempol kakiku. Bagian yang tadi tertabrak keranjang terlihat sedikit memar,
tetapi tidak mengeluarkan darah. Setelah rasa sakit agak reda aku pun berdiri, dan
setelah mendorong kacamata ke atas kepala, kubasuh wajah dengan air dingin.
Ketika kuangkah wajahku dengan air yang masih menetes, aku langsung
berhadapan dengan wajah yang kelihatan stres. Ada lingkaran hitam di bawah mata
dan kulitku terlihat kusam.
Kuseka mukaku dengan handuk dan mengenakan kacamata kembali, kemudian
berjalan menuju dapur untuk membuat sarapan. Aku malas masak sehingga hanya
mengeluarkan susu dari dalam lemari es dan menarik kotak sereal dari atas lemari
es. Kutuangkan sereal itu ke dalam mangkuk, kemudian kusiram dengan susu.
Setelah meletakkan susu dan sereal pada tempatnya, aku duduk di meja makan.
Aku melipat kaki, lalu memasukkan satu sendok sereal ke dalam mulutku. Pelanpelan
kukunyah sarapanku.
Aku mencoba mengingat kembali mimpiku. Aku sedang berlari sekuat tenaga
karena ada seseorang yang sedang mengejarku, tetapi aku tidak bisa melihat wajah
orang itu. Kusadari kemudian, di hadapanku ada bukit yang cukup terjal. Aku
yakin, aku tidak akan bisa mengalahkan orang yang sedang mengejarku jika aku
menaiki bukit itu, tetapi aku tidak punya pilihan lain. Aku menoleh ke belakang dan
melihat orang yang mengejarku sudah semakin dekat ketika tiba-tiba aku terjatuh
karena telah menabrak sebuah dinding, sesuatu yang tidak mungkin karena di bukit
tentu tidak ada dinding. Ketika aku melihat penyebab mengapa aku jatuh, aku baru
sadar ternyata aku bukan menabrak dinding melainkan seseorang bertubuh tinggi
tegap dan dada bidang. Ia sedang menatapku dari balik mata birunya.
Aku berkata, “Reilley, kamu harus bantu aku. Ada yang mengejarku dan aku
nggak tahu itu siapa.”
Reilley di dalam mimpiku awalnya hanya menatapku bingung, tetapi kemudian
dia berkata, “Nggak usah khawatir, aku bisa urus dia.”
“Oh... ya, bagaimana caranya?”
Reilley kemudian mengangkat tubuhku, dan memanggulku. Tahu-tahu aku
sudah berhadapan dengan bokongnya, yang mengenakan celana ketat berwarna
biru.
“Reilley, kamu mau apa sih?!” teriakku panik.
“Aku harus bawa kamu melewati garis 10-yard untuk touchdown,” jawabnya
santai, dan mulai berlari menuruni bukit.
Touchdown? Memangnya aku ini bola? Kami bahkan tidak sedang berada di
lapangan football.
Tiba-tiba suasana berubah, dan aku ada di lapangan football milik University of
Florida, yang dikelilingi oleh lautan orang dengan baju berwarna biru dan oranye,
warna khas “The Gators”. Kulihat ada beberapa orang dengan kaus football dan
celana ketat biru sedang mengejarku, atau lebih tepatnya mengejar Reilley yang
sedang memanggulku. Salah seorang di antara mereka adalah Brandon, tetapi dia
masih mengenakan kostum Zorro walaupun tanpa topeng. Brandon berteriak, “Mau
ke mana, Titania?! Mau lari?! Kamu nggak bisa lari dari aku!”
Aku berteriak kepada Reilley, memintanya berlari lebih cepat dan
menjauhkanku dari Brandon. Reilley menjawab teriakanku, “Aku sedang berusaha
sekuat tenaga, kamu harus bantu aku!”
“Bagaimana caranya?”
“Aku akan menurunkan kamu, nah kamu harus lari bareng aku, oke?”
“Oke,” balasku.
“Aku hitung sampai tiga. Begitu aku bilang tiga kamu harus sudah lari.”
“Oke.”
“Satu... dua... tiga.” Reilley menurunkanku, dan aku berlari sekuat tenaga di
sampingnya menuju garis 10-yard. Tangannya menggenggam tanganku. Anehnya,
bukan semakin dekat, garis itu terlihat semakin menjauh.
“Reilley, aku nggak bisa lari lagi.” Lariku mulai berkurang kecepatannya.
“Kamu harus bisa. Kalau kamu mau berhasil, kamu harus coba,” bujuk Reilley.
Dia tersenyum kepadaku.
Aku sudah siap melebarkan langkahku ketika tiba-tiba ada yang menarikku.
“Reiiii... lleeeyyy...!” teriakku. Tanganku mencoba menggapainya, tetapi tidak
mendapatkan apa pun kecuali udara kosong.
Kemudian aku terbangun.
Sekali lagi aku menggerutu, “Weird dream.” Mimpi itu betul-betul tidak masuk
akal. Aku bahkan tidak tahu-menahu tentang permainan football atau warna
seragam masing-masing universitas. Aku kebetulan saja mengenali seragam
University of Florida karena sempat melihat pertandingan mereka di TV melawan
University of Alabama beberapa waktu yang lalu. Kalau dipikir-pikir mimpi itu
bahkan nggak ada hubungannya dengan kejadian tadi malam. Aneh. Lebih anehnya
lagi, dalam mimpiku Brandon dan Reilley berbicara dalam bahasa Indonesia,
padahal jelas-jelas mereka tidak paham atau tidak tahu apa-apa tentang bahasa itu.
Jangan-jangan aku sudah jadi kurang waras. Aku tahu sumber kegilaanku ini tidak
lain dan tidak bukan berasal dari laki-laki bejat bernama Brandon, yang menolak
menerima kenyataan aku sudah tidak menginginkannya sama sekali. Entah dia
dapat ide dari maa untuk meyakinkan dirinya bahwa aku masih mencintainya.
Ingin rasanya aku membunuhnya tadi malam.
* * *
Kemarin malam, setelah aku beranjak dari sisi Reilley, aku menarik napas dalamdalam.
Lalu aku berbalik menghadapi Brandon untuk yang kedua kalinya malam
itu. Aku harus membuatnya mengerti bahwa aku tidak lagi mencintainya, dan aku
ingin dia meninggalkanku supaya aku bisa menjalankan hidupku dengan damai.
Kuhentikan langkahku agak jauh dari Brandon. “Bagaimana keadaan bibir
kamu?” tanyaku dari tempatku berdiri. Aku berusaha sebisa mungkin tidak
menghampiri Brandon pada saat itu juga untuk mengurus lukanya. Meskipun aku
masih peduli padanya, aku tidak mau memberinya sinyal yang salah. Dia sudah
bukan lagi pacarku, dia sudah bukan tanggung jawabku lagi.
“Sudah nggak berdarah lagi sih,” ucap Brandon. “Aku masih nggak percaya
kamu menendang aku.”
“Kamu pantas ditendang,” balasku, sambil menatapnya serius. Melihat
reaksiku, Brandon hanya terdiam.
“Laki-laki itu siapa sih?” tanyanya.
Semula aku ingin berpura-pura tidak memahami siapa yang Brandon maksud,
tetapi aku sedang malas main tebak-tebakan malam ini.
“Teman,” balasku pendek. Pikiranku kembali kepada laki-laki bermata biru,
yang tampaknya telah menjadi lebih dari sekadar teman. Laki-laki itu sudah
menjadi malaikat penyelamatku, yang akan muncul tiba-tiba tanpa aku minta bila
aku sedang membutuhkannya.
Well, teman kamu itu harus belajar nggak mencampuri urusan orang lain.”
Brandon menggerutu sambil menatapku dengan memicingkan matanya.
I agree,” balasku, meskipun dalam hati aku tidak setuju sama sekali. Aku tidak
keberatan bertemu dengan Reilley lagi. Kalaupun itu berarti aku harus berada
dalam keadaan darurat lagi, aku tetap rela.
Aku memaksa pikiranku kembali kepada Brandon. Aku terdan sesaat
memikirkan apa yang akan aku katakan selanjutnya. “Aku ingin kamu mengerti,
aku nggak mau kejadian barusan terulang lagi. Kamu paham, kan?”
Brandon menggeleng. Aku menarik napas putus asa. Keras kepala sekali lakilaki
ini. Aku baru saja akan mengatakan sesuatu, tetapi tiba-tiba kata-kata meluncur
dari mulut Brandon. Aku langsung diam mendengarkannya.
“Aku minta maaf soal kejadian barusan. Percaya atau nggak, rencanaku malam
ini sebetulnya hanya ingin bicara dengan kamu dan minta maaf. Begitu aku melihat
kamu, rasa kangenku terhadap kamu selama beberapa bulan ini seolah terobati.
Hidupku berantakan tanpa kamu.”
Mendengar pengakuan Brandon, hatiku sedikit luluh. Setidak-tidaknya kini aku
tahu dia lebih membutuhkanku daripada aku membutuhkannya.
Perlahan-lahan aku berjalan mendekatinya. “Aku ingin kamu tahu, aku sudah
memaafkan kamu. Aku bahkan sudah nggak pernah memikirkan kejadian dulu itu
lagi.”
Untuk pertam akalinya aku menyadari ternyata aku memang sudah memaafkan
Brandon atas perbuatannya. Mungkin itu sebabnya mengapa aku sudah bisa
melanjutkan hidupku.
“Oh ya? Kamu bersedia memaafkan aku setelah aku menyakiti kamu seperti
itu?” Brandon terlihat betul-betul terkejut.
Aku tertawa melihat ekspresinya. Kuhentikan langkahku sekitar satu meter
darinya, kemudian mengangguk. “Hanya saja, rasanya aku nggak akan pernah bisa
lupa sama sekali kejadian dulu itu. Jarang-jarang kan perempuan bisa memergoki
pacarnya sedang making love dengan selingkuhannya, padahal dia bilang sedang
lembur.”
Suasana hening selama beberapa detik. “Kalau aku memohon, mencium kaki
kamu, dan berjanji nggak pernah mengulang perbuatanku lagi, apakah kamu mau
menerima aku balik?” tanya Brandon, dengan wajah penuh harap.
“Kamu serius?”
“Superserius,” jawab Brandon, dengan penuh keyakinan.
“Nggak,” jawabku pendek.
“Mengapa?” Wajah Brandon terlihat kecewa.
Aku menggigit bibir bawahku, senewen. Ini adalah kebiasaanku dan Didi
apabila kamu berdua merasa tidak nyaman.
“Kamu tahu kan kita nggak pernah benar-benar cocok satu sama lain.” Kumulai
penjelasanku. “You‟re too much for me. Kamu memang pintar, sukses, dan ganteng.
Semakin kamu sukses, your... needs would increase as well. The needs that I can never
fulfill, setidak-tidaknya nggak sekarang.”
Brandon tidak berkata-kata, tetapi dari wajahnya kelihatannya dia memahami
ketika aku mengatakan kata “needs”, yang kumaksudkan adalah “sexual needs”.
Kuangkat kepalaku ketika melihat banyak orang lalu-lalang di lobi hotel. Kulirik
jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 24.30. Tampaknya pesta
Halloween sudah selesai karena aku melihat beberapa orang berjalan menuju
pelataran parkir.
Mengingat aku tidak ingin terlihat bersama Brandon oleh orang kantorku, aku
berkata, “Kamu sebaiknya pulang dan minta orang mengurus muka kamu yang
babak belur.”
Aku lalu berbalik badan dan berjalan menuju mobil. Aku tahu Reilley sudah
menghilang. Dalam hati aku menyumpah. Meskipun memang aku berkata bahwa
aku bisa mengatasi Brandon sendiri, aku berharap dia tidak mendengarkan katakataku
dan tetap menungguku.
“Jadi, itu saja jawaban kamu? Kamu akan meninggalkan aku begitu saja?!”
teriak Brandon.
Aku berputar balik, dan berjalan maju beberapa langkah. “Bukan aku yang
meninggalkan kamu, tetapi kamu yang meninggalkan aku. Ingat itu!” teriakku, lalu
memutar tubuhku lagi dan berjalan menuju mobil.
“Kamu tahu kan, kamu nggak akan bis ahidup tanpa aku. Aku hanya perlu
menunggu sampai kamu mau mengakui itu!” teriak Brandon lagi, masih tidak mau
kalah.
Kalimat terakhir yang diucapkan Brandon telah mengubah pendapatku
tentangnya, yang selama beberapa menit tadi merasa kasihan kepadanya. Ternyata
dia masih juga laki-laki kurang ajar dan tidak tahu diuntung, yang aku tinggalkan
lima bulan lalu. Dia tidak berhak menerima simpatiku sama sekali.
You need to grow up, Brandon,” balasku, dan melambaikan tanganku tanpa
menatapnya lagi. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa hidup, terus akan hidup
dan bahkan lebih baik tanpanya.
* * *
Sekali lagi kutatap sarapanku, yang baru setengah termakan. Kulirik jam yang
tergantung di dinding dapur. Pukul sepuluh pagi. Kumakan habis sarapanku,
kemudian mencuci mangkuk dan sendok. Kusempatkan menelepon orangtuaku.
Aku bertanya kapan mereka akan datang berkunjung lagi ke Amerika? Ibuku
menjawab bahwa sebaiknya aku saja yang pulang ke Indonesia karena dia sudah
tidak sanggup terbang 27 jam hanya untuk bertemu denganku dan Didi. Aku
bahkan sempat mengiming-imingi tiket pesawat Business Class kepadanya, tetapi
ibuku tetap bersikeras tidak akan pernah terbang ke Amerika lagi. Kecuali bila
situasinya memang darurat.
Kemudian ibuku bertanya, apakah aku sudah bertemu dengan orang baru. Aku
tahu yang dimaksud ibuku adalah pacar baru. Aku berusaha menghindar, dan
hanya mengatakan aku masih terlalu sibuk untuk melakukan itu. Walaupun begitu,
aku berjanji sebisa mungkin meluangkan waktu agar bisa “shopping” calon suami.
“Pokoknya, Ta, jangan lupa. Kerja sih boleh saja, tetapi jangan sampai lupa cari
suami, ya,” pesan Ibu kepadaku.
“Ya, Bu,” jawabku.
Satu jam kemudian aku menutup telepon dengan perasaan lebih lega karena
orangtuaku kelihatannya baik-baik saja. Biasanya hari Sabtu aku habiskan pergi ke
toko buku dan membaca-baca majalah edisi terbaru, tetapi hari ini aku merasa malas
keluar rumah. Kulihat keranjang pakaian kotor yang sudah cukup penuh, tetapi
belum berlimpah. Aku pun memutuskan mencuci pakaian. Sembari menunggu
hingga cucian kelar, aku mandi. Setelah mandi kutata rapi tempat tidur, kurapikan
lemari pakaian, kusedot karpet dengan vacuum cleaner sampai dua kali untuk
memastikan karpet sudah superbersih. Bahkan setelah pakaian kering kusetrika
semuanya dengan rapi, kemudian memasukkannya ke dalam lemari.
Kulirik lagi jam, yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Aku lalu beranjak
ke dapur untuk membuat makan siang. Setelah selesai makan siang, aku memeriksa
telepon selularku untuk memastikan tidak ada text message atau telepon yan gtidak
terdengar olehku. Tidak ada pesan ataupun missed call. Selanjutnya, aku menyalakan
TV. Kuganti channel beberapa kali, mencari acara yang bisa menyita waktu dan
pikiranku untuk beberapa jam. Aku memilih film komedi romantis yang dibintangi
Drew Barrymore, yang baru saja mulai. Aku lalu duduk menikmati film itu selama
tiga jam. Ketika film itu berakhir, hari sudah gelap. Kunyalakan beberapa lampu di
dalam apartemen. Jam dinding sudah menunjukkan pukul enam sore.
“Kok dia belum telepon sih?!” akhirnya aku berteriak frustrasi. Aku agak
terkejut dengan teriakanku karena pada saat itu aku baru menyadari alasan
mengapa sepanjang hari ini aku merasa resah dan tidak bisa diam. Tanpa aku
sadari, aku menunggu telepon dari Reilley. Aku ingin mengetahui, berapa utangku
untuk mengganti biaya dry cleaning sweater Armani-nya.
Tolol, tolol, tolol! Aku mengomeli diriku sendiri. Tentu saja dia tidak akan
meneleponku hari ini. Dia mungkin belum sempat membawa sweater itu untuk didry
clean. Oleh sebab itu, dia belum bisa meneleponku untuk memberitahu jumlah
tagihannya. Muncul keragu-raguan di hatiku dia tidak akan meneleponku sama
sekali, meskipun sweater itu sudah di-dry clean. Hal ini disebabkan karena dua
alasan. Pertama, dia tidak menganggap kejadian tadi malam merupakan
kesalahanku. Oleh karena itu, aku tidak bertanggung jawab atas sweater itu. Kedua,
dia tidak mau berhubungan denganku dan mantan pacarku yang sinting. Rasanya
alasan kedua lebih masuk akal.
* * *
Satu bulan pun berlalu, dan Natal akan tiba dua minggu lagi. Aku sudah berkencan
dengan delapan laki-laki dalam kurusn waktu itu, dan tidak satu pun dari mereka
yang mampu menarik perhatianku. Baru belakangan aku menyadari alasannya,
ternyata karena aku membandingkan mereka semua dengan Reilley. Laki-laki yang
ini terlalu pendek, yang itu terlalu tinggi. Laki-laki ini matanya memang biru, tetapi
tidak sebiru Reilley. Laki-laki itu aromanya mirip dengan Reilley, tetapi tidak betulbetul
sama. Laki-laki ini rambutnya cokelat dan mirip dengan Reilley, tetapi rambut
Reilley lebih mengilat dan sedikit merah kalau terkena sinar. Laki-laki itu suaranya
mirip Reilley, tetapi jelas-jelas wajahnya jauh sekali dari Reilley... dan berlanjutlah
semua alasanku untuk menemukan kesalahan pada setiap date-ku. Lebih parahnya
lagi, aku selalu menahan napas setiap kali melihat ada Volvo SUV berwarna perak.
Aku betul-betul sudah terobsesi oleh Reilley.
Aku tidak tahu bagaimana Sandra masih bisa terdengar ceria setiap kali
meneleponku untuk menanyakan tentang kencanku dengan laki-laki, yang telah
dicarikan MBD untukku. Apakah dia tidak bosan mendengar komentarku, “Ya, dia
memang baik, tetapi kayaknya dia bukan laki-laki yang tepat untuk saya”? Mau
tidak mau aku harus mengakui kekagumanku terhadap Sandra dan semua staff
MBD, yang pantang menyerah mencarikan laki-laki yang tepat untukku. Di dalam
hati kecilku aku tahu, laki-laki yang tepat untukku adalah laki-laki bule berbadan
tinggi besar, bermata biru, memiliki aroma yang membuatku tergila-gila, dan
mobilnya Volvo SUV berwarna perak. Laki-laki yang seakan-akan menghilang dari
permukaan bumi sebulan yang lalu.
Selama dua minggu pertama aku masih mengharapkan telepon darinya.
Terkadang aku duduk menatap telepon selularku, dan berharap benda itu
berdering. Tanpa sadar sering aku bergumam, “Ring... ring... ring... c‟mon just ring.”
Ketika telepon itu tidak berdering juga aku memaki-makinya, “Dasar telepon
goblok, bunyi saja nggak bisa.”
Untungnya kegilaanku dapat teratasi setelah Didi datang mengunjungiku
dengan membawa pacarnya bernama Vincent, yang terlihat seperti seorang kutu
buku pada umumnya. Didi biasanya leibh menyukai laki-laki yan ggaul untuk
mengimbangi gen kutu bukunya itu. Oleh sebab itu, aku sedikit terkejut ketika
melihat Vincent. Hanya satu jam bersama Vincent dan Didi, aku langsung tahu
perasaan Vincent terhadap adikku lebih dalam dibandingkan perasaan adikku
terhadap laki-laki itu. Vincent selalu menatap Didi bagaikan dia berlian paling
berharga. Vincent hanya tinggal selama seminggu, kemudian dia kembali ke D.C.
Aku pun mulai menginterogasi adikku.
“Kamu dan Vincent serius?” tanyaku, sambil menyiapkan makan malam untuk
kami berdua.
Didi, yang sedang menyiapkan salad, menjawab, “Mmmhhh... belum tahu juga
sih, memang ada apa?”
“Nggak. Kayaknya dia sudah cinta mati kepada kamu deh.” Aku membalik dua
daging sapi sirloin seperempat kilo yang ada di atas panggangan.
Adikku berhenti menuangkan bumbu salad ke dalam mangkuk dan menatapku.
“Kok Mbak bilang begitu?”
“Dia terus-menerus menatap kamu seperti kamu ini matahari dia.” Kuangkat
sepotong daging yang sudah setengah matang. Aku tahu Didi tidak pernah mau
makan daging yang terlalu well-done.
Didi tertawa mendengar komentarku dan meneruskan membuat salad sambil
menyanyikan lirik lagu Nelly Furtado, yang bergema dari speaker stereo.
“Omong-omong, aku sudah lama nggak dengar kabar tentang Reilley. Kamu
masih belum bertemu lagi dengan dia?” tanya Didi tiba-tiba.
Aduhhh... mengapa... oh... mengapa arah pembicaraan kami jadi ke situ? Sudah
selama dua minggu ini aku cukup berhasil mengusir Reilley dari pikiranku.
I guess he‟s fine. Aku belum bertemu dia lagi tuh,” ucapku pelan. Aku
mengangkat steak dari panggangan, kemudian meletakkannya di atas piring.
Didi sudah duduk di kursi makan dan menungguku. Dengan mulut penuh dia
berkata, “Menurut kamu... dia mengapa timbul... tenggelam begitu, ya?” Kata-kata
Didi terputus-putus karena dia mencoba berbicara sambil mengunyah.
“Telan dulu daging di mulutmu baru omong, bisa nggak sih?” pintaku, sambil
mencoba menahan tawa melihat kelakuannya.
Didi tersenyum, lalu mengunyah daging yang ada di dalam mulutnya. “Steak ini
enak lho, Mbak. Makasih, ya,” ucapnya, kini dengan lebih sempurna karena daging
yang tadi dikunyahnya sudah ditelan.
“Enak, ya? Bagus deh. Aku dapat resep dari Cooking Channel, cara bikin steak
yang enak tapi gampang.”
Hanya dengan begitu aku bisa mengalihkan pembicaraan ke topik yang lebih
aman dan tidak membuat jantungku berdebar-debar.
* * *
Hari Natal pun tiba, berarti aku sudah resmi berumur 28 tahun. Orangtuaku
meneleponku pukul enam pagi, mereka memberi ucapan selamat sambil
menyanyikan lagu “Selamat Ulang Tahun” untukku. Ini tradisi yang telah kami
lakukan sejak aku SD. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku dan Didi beranjak ke
luar rumah. Kami memutuskan merayakan ulang tahunku di salah satu restoran
Jepang yang ada di Winston, dan makan sushi sebanyak-banyaknya. Pelayan di
restoran ini sudah cukup mengenalku, dan mempersilakan kami duduk di meja
favoritku di tengah ruangan.
Restoran terlihat cukup padat dengan orang-orang yang baru pulang dari
menghadiri misa pagi di gereja. Kuliaht meja terbesar restoran itu, yang terletak di
pinggir ruangan, sudah terisi oleh satu keluarga besar. Sepasang oma dan opa,
dengan rambut yang sudah hampir putih semua, tampaknya adalah orangtua
mereka. Seorang wanita berambut cokelat gelap sepunggung sedang memasukkan
sepotong sushi ke dalam mulut anak kecil, yang duduk di sampingnya. Seorang
wanita berambut pendek, yang parasnya hampir sama dengan wanita yan gtadi,
duduk di sebelahnya. Di depan mereka ada empat orang lagi duduk
membelakangiku. Salah seorang dari mereka berambut pirang, dan selebihnya
berambut cokelat gelap. Dari raut wajah dan suara-suara mereka yang berbicara
satu sama lain, tampaknya mereka sedang membahas topik tentang American football
dan betapa seksinya Paris Hilton.
Tiba-tiba salah seorang laki-laki di antara mereka berdiri, dan aku langsung
bertatapan dengan wajah malaikat pelindungku. Aku harus mengedipkan mataku
berkali-kali untuk memastikan aku tidak sedang berhalusinasi. Aku benar-benar
tidak sedang bermimpi karena wajah itu kini sedang tersenyum lebar ke arahku.
“Titania!” teriak Reilley. Dia betul-betul terlihat gembira bertemu denganku.
“Reilley,” balasku, masih dengan suara agak tersedak.
Dia kemudian maju beberapa langkah dengan penuh semangat, sebelum
berhenti persis di depanku dan kelihatan ragu. Aku baru sadar percakapan seru
yang tadi terdengar di meja mereka kini sunyi. Delapan pasang mata dengan
berbagai warna, tetapi kebanyakan biru, sedang menatapku penuh rasa ingin tahu.
Have you eaten?” tanyanya akhirnya, setelah beberapa detik hanya menatapku
sambil mengerutkan kening.
Just about,” jawabku. Kulihat Didi berdiri di sampingku dengan tatapan penuh
arti.
Why don‟t you join us?” Reilley terdengar antusias. Kulihat Reilley mengangguk
kepada Didi.
Sebelum aku bisa menolak, kulihat tiga laki-laki yang tadi duduk bersamanya
melambaikan tangan kepada waiter untuk meminta ekstra kursi. Hanya dalam
hitungan detik, meja mereka semakin padat dengan dua kursi tambahan.
Tampaknya aku tidak memiliki pilihan, selain menerima tawaran itu.
Aku duduk bersebelahan dengan Reilley, sedangkan Didi duduk di sebelahku.
Dua laki-laki, yang tadi duduk di kursi yang sekarang kami duduki, sudah
menyingkir ke kedua ujung meja. Aku dan Didi lalu memesan makanan dan
minuman kami. Kini sembilan pasang mata menatapku dan Didi, tetapi aku sadar
bahwa fokus tatapan mereka adalah aku. Situasi ini sangat membuatku tidak
nyaman, apalagi aku menyadari aku duduk terlalu dekat dengan Reilley sehingga
bahu kami hampir bersentuhan. Bagaimana mungkin aku bisa menerima tawaran
duduk dan makan siang dengan orang-orang tidak aku kenal ini? Oh, ya... aku
lupa... aku tergila-gila kepada laki-laki yang duduk di sebelahku, yang kini
tampaknya sedang mengirimkan aliran listrik kepadaku setiap beberapa detik.
Zzzzzzttt... zzzzttttttt.... zzzzttttt....
Hi, I‟m Marcus,” ucap laki-laki yang duduk di ujung meja sebelah kiriku
dengan tiba-tiba, kemudian membungkuk dan mengulurkan tangannya menyalamiku.
Ketika dia melakukan itu, kudengar beberapa orang berteriak pada saat yang
bersamaan.
Watch it, you‟re tipping the soy sauce bottle.”
She‟s taken you idiot.”
And look how smoooooth that boy is, it‟s a wonder why he has no girlfriend.”
Aku yang baru setengah berdiri terdiam kaget, dan memutuskan duduk
kembali di kursi serta menarik lagi tanganku yang sudah setengah terjulur ke arah
Marcus.
“Hei, kami dikenalkan dong. Apakah kamu terlalu malu mengakui kami semua
sebagai keluarga kamu?” Wanita yang tadi sedang menyuapi anaknya berkata
sambil melemparkan senyumnya kepadaku.
Reilley memberikan tatapan gemas kepadanya sebelum menjawab, “Titania, ini
keluarga saya. Mom and dad,” ucapnya, sambil menunjuk kepada sepasang manula
yang sedang tersenyum ramah kepadaku. “My younger sister, Christine,” ia mnunjuk
wanita berambut pendek, yang mengangguk. “And her boyfriend, Matt,” sambil
menunjuk kepada laki-laki berambut pirang yang duduk di sebelah Didi. ”My older
sister Mary, her husband Alex, and my nephew Joseph.”
Reilley menarik napas, kemudian melanjutkan, “Ini adik laki-laki saya, si
pembuat onar, Marcus.”
Hey,” teriak Marcus tersinggung, diikuti gelak tawa smua orang yang duduk di
meja itu.
Nice to meet you all. Saya Titania dan ini adik saya Adriana, ucapku
memperkenalkan diri. Aku tidak menatap Didi ketika sedang memperkenalkan diri
karena dari sudut mataku aku bisa melihat wajahnya tampak sangat terhibur.
Rasanya aku harus mempersiapkan diri diinterogasi Didi setibanya di apartemen
nanti. Ini tentu saja bukan prospek yang aku tunggu-tunggu.
Ketika makanan kami tiba, aku menyempatkan diri memperhatikan
sekelilingku. Kulihat wajah semua anggota keluarga Reilley jauh di atas rata-rata,
bahkan bisa dibilang wajah Reilley paling biasa saja dibandingkan mereka semua.
Untungnya mereka sedang sibuk dengan percakapan atau makanan masing-masing
sehingga memberikanku waktu beberapa menit untuk bernapas.
“Bagaimana kabarmu? Maksudku sejak terakhir kali aku bertemu kamu,” tanya
Reilley pelan.
“Saya baik-baik saja,” jawabku pendek, sambil memasukkan sebagian california
roll ke dalam mulutku.
“Apakah Brandon masih suka mengganggu kamu setelah malam itu?” lanjut
Reilley, masih dengan suara pelan.
Mau tidak mau aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Ternyata dia masih
betul-betul ingat kepadaku.
“Nggak, dia sudah nggak pernah mengganggu saya lagi,” jawabku.
“Baguslah. Aku agak khawatir soal itu,” lanjutnya, kemudian kembali pada
makan siangnya, meninggalkanku dengan mulut agak menganga dan hati
berbunga-bunga. Dia mengkhawatirkanku? Aku ada di pikirannya?
Any more flat tires?” tanya Reilley lagi, setelah beberapa detik.
“Nggak.” Aku mencoba menyembunyikan ekspresi wajahku yang bisa
memperlihatkan bahwa aku merasa ge-er dengan perhatiannya.
“Hidung kamu bagaimana?” lanjutku.
Reilley menyentuh hidungnya sedikit, dan berkata, “Baik-baik saja,” sambil
kemudian tersenyum lebar.
“Kamu kenal kakak saya di mana?” tanya Marcus tiba-tiba, yang diikuti dengan
teriakan, “Oowww, that hurts dude!” Kulihat Reilley sedang menghunjamkan tatapan
tajam ke arah Marcus, yang sedang meringis kesakitan.
“Bagaimana kalau kita biarkan mereka makan dulu sebelum kamu interogasi.”
Ibu Reilley menolongku. Aku memandangnya dengan tatapan penuh terima kasih.
“Bagaimana pihak rumah sakit memperlakukan kamu?!” teriak Alex dari ujung
meja kepada Marcus.
“Seperti sampah, that‟s all I could say,” balas Marcus. “Saya kasih tahu saja, ya.
Kalau kamu memutuskan untuk kuliah, jangan pernah mau masuk kedokteran,”
lanjutnya. Ia menatap Didi, yang mengerlingkan matanya kepadaku dengan
bingung.
Aku harus menahan tawa. Didi memang berwajah dan bergaya masih seperti
anak SMA. Dengan mukanya yang bulat dan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi,
aku tidak bisa menyalahkan orang yang menyangka dia baru saja merayakan ulang
tahunnya yang ke-16.
“Kamu tahun keberapa sih?” tanya Marcus lagi kepada Didi.
“Tahun keempat,” balas Didi sopan. Kulihat ibu Reilley menggeleng-geleng
melihat kelakuan anaknya, yang seakan-akan tidak menghiraukan kata-katanya
untuk membiarkan kami makan dulu sebelum bertanya-tanya.
A senior. Kamu sekolah di mana?” kata Marcus, semakin antusias.
George Washington.”
Kulihat Marcus mengerutkan keningnya. “Itu bukan di Winston, ya? Aku nggak
pernah mendengar ada George Washington High School di sini.”
It‟s in Washington D.C.” Aku bisa merasakan Didi mulai terhibur dengan main
tebak-tebakan ini.
D.C.?!” teriak Marcus terkejut.
“Dia sudah kuliah, blo‟on. George Washington University, paham?” Kudengar
Christine mengomentari dengan nada sarkasme. “Aku nggak tahu deh bagaimana
kamu bisa diterima kuliah kedokteran kalau kamu se-blo‟on ini,” lanjutnya.
Marcus mengerlingkan matanya kepada Christine, yang membalas dengan
kerlingan matanya juga.
“Jadi, kamu bakal lulus tahun depan dong?” Kudengar suara Mary.
“Mungkin belum. Saya masih mengerjakan disertasi saya. Mudah-mudahan
saya akan lulus secepatnya.” Didi menjawab pertanyaan itu dengan penuh senyum.
Aku tahu, dia selalu menganggap kejadian di mana seseorang menyangka dia masih
mengambil S1 dan bukannya S3 sebagai hiburan yang tidak akan pernah dia
lewatkan.
Kulihat orang-orang yang ada di sekelilingku tampak bingung, kemudian
ekspresi wajah mereka berganti dengan kekaguman setelah mereka betul-betul
memahami maksud Didi.
You‟re doing your PhD in what area, dear?” Ibu Reilley bertanya, sambil
memandang Didi dengan tatapan keibuan.
Aku tersenyum bangga melihat Didi mencoba menjelaskan kepada Reilley dan
keluarganya tentang bidang yang ditekuninya. Tidak lama kemudian, Didi sudah
terlibat dalam pembahasan yang panjang lebar mengenai teori-teori psikologi
dengan Christine, yang ternyata sedang mengambil S2 Jurusan Psikologi. Aku sama
sekali tidak paham apa yang mereka bicarakan.
“Makanan kamu bagaimana?” tanya Reilley, dengan suara pelan sehingga
hanya aku yang bisa mendengarnya.
Good,” jawabku, sambil memasukkan unagi terakhir ke dalam mulutku. Setelah
menelan dan meminum teh hijau seteguk, aku memberanikan diri menanyakan
pertanyaan yang sudah berputar-putar di kepalaku selama satu jam terakhir.
“Berapa utang saya kepada kamu untuk biaya dry cleaning?”
Sebenarnya, yang ingin aku tanyakan adalah “Kenapa kamu belum telepon
aku?”
Reilley menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatapku bingung.
“Untuk sweater kamu,” lanjutku. Reilley masih menatapku bingung. Aku
terpaksa menambahkan, “Sweater kamu yang supermahal, yang kena darah itu lho?”
“Oh... sweater itu. I told you not to worry about it. Kalau nggak salah, sweater itu
sudah aku kirim ke Goodwill. Aku bahkan nggak ingat.”
“Kamu kasih sweater Armani ke Goodwill?” Nadaku meninggi karena terkejut.
Untung saja Marcus sedang ke toilet sehingga dia tidak mendengar ucapanku.
Orang tolol mana yang akan menyumbangkan sweater Armani-nya ke organisasi
yang menerima sumbangan pakaian. Walaupun sweater itu sudah terkena darah,
tetap saja itu sweater Armani.
Sweater itu sudah tua. Lagi pula, bahannya bikin aku gatal. Hari itu aku pakai
karena aku kehabisan pakaian.”
“Oh,” ucapku ragu.
“Itu sweater cadangan yang aku simpan di mobil, buat jaga-jaga saja kalau aku
perlu,” jelas Reilley lagi.
Aku mengangguk menerima penjelasannya itu, meskipun aku tetap bingung
bagaimana mungkin seseorang bisa memiliki sweater Armani dan tidak
mengenakannya sesering mungkin.
“Omong-omong, mau dengar nggak apa yang terjadi padaku waktu aku pergi
kunjungan ke rumah sakit jiwa?” Kudengar suara Christine. Kualihkan perhatianku
kepada adik perempuan Reilley itu.
Were you about to commit yourself?” Alex bertanya dengan nada jenaka, yan
gdiikuti suara tawa kami semua. Setahuku orang yang akan “commit”, atau
memasukkan dirinya ke rumah sakit jiwa, hanyalah orang-orang yang betul-betul
merasa kesehatan mental mereka tidak stabil.
“Mau dengar atau nggak nih?” omel Christine.
“Mau... mau...,” ucap Reilley. Aku menoleh dan menatap Reilley, yang sedang
tersenyum kepadaku.
“Jadi kan dengar ceritaku? Oke, aku mulai, ya. Profesor Duncan adalah orang
paling gila yang pernah aku temui sepanjang hidupku. Dia mengajak kami bertemu
salah satu pasiennya, namanya Jim. Ia agak kurang waras karena percaya dirinya
sudah meninggal.” Christine memulai ceritanya.
Kulihat Didi dan Mary saling tatap, kemudian tersenyum. Kelihatannya aku
tidak perlu khawatir keluarga Reilley tidak akan cocok dengan keluargaku. Oke,
Titania, stop. Aku mencoba mengontrol imajinasiku yang mengawang-awang dan
kembali memfokuskan pikiranku pada suara Christine.
“Ada beberapa suster yang mencoba menjelaskan kepada Jim bahwa dia masih
hidup. Kalau dia sudah meninggal maka mereka nggak akan bisa melihat atau
menyentuhnya. Nah, Prof. Duncan berkata ke kami untuk mengobservasi selama
dia menangani masalah ini. He went up to Jim, took one of Jim‟s arm, and then slash it
with a scalpel. Gila nggak tuh?” Suara Christine semakin meninggi karena antusias.
Aku pun melipat kedua tanganku di atas meja, tertarik dengan cerita itu dan
menunggu Christine melanjutkan ceritanya.
Tiba-tiba kudengar suara Marcus, yang baru kembali dari toilet. “Sedang
bicarakan apa sih?” Dia kemudian duduk kembali di kursinya.
“Aku sedang cerita tentang kunjunganku ke RSJ,” jawab Christine, tidak
sabaran.
“Oh... itu cerita gila. ITiba-tiba kudengar suara Marcus, yang baru kembali dari
toilet. “Sedang bicarakan apa sih?” Dia kemudian duduk kembali di kursinya.
“Aku sedang cerita tentang kunjunganku ke RSJ,” jawab Christine, tidak
sabaran.
“Oh... itu cerita gila. You guys would love it,” ucap Marcus, sambil tertawa.
Marcus... you mind? Aku lagi cerita nih.” Christine kelihatannya sudah siap
ngambek.
Marcus mengangkat tangannya tanda menyerah. Kulihat semua orang di meja
itu, kecuali aku dan Didi, saling pandang dengan senyuman yang tertahan dan
tatapan penuh pengertian. Rupanya hal yang cukup biasa bagi Christine dan
Marcus bertengkar, dan Marcus-lah yang biasanya akan mengalah.
Setelah yakin Marcus tidak akan mengeluarkan kata-kata yang akan
mengganggunya, Christine melanjutkan ceritanya.
“Jim memperhatikan lengannya yang sudah berdarah. Nggak banyak memang.
Perhatiannya kemudian beralih ke Prof. Duncan, lalu ke para suster sebelum
akhirnya ke kami, para mahasiswa yan gsedang memandangi dia dengan mulut
ternganga tentunya. Bukannya menyadari dia masih hidup, Jim malahan mulai
berteriak-teriak „Orang mati bisa berdarah, orang mati bisa berdarah sambil lari-lari
keliling ruangan.” Christine mengakhiri ceritanya sambil tertawa keras, dan kami
pun ikut tertawa bersamanya.
“Ada yang mau dessert nggak?” Kudengar suara Alex bertanya, setelah suara
tawa reda.
Aku sudah terlalu kenyang sehingga menolak tawarannya, begitu juga semua
orang yang duduk di meja itu. Alex kemudian berdiri dan menuju toilet.
So where are you from, dear?” tanya ibu Reilley kepadaku. Kulihat ayahnya juga
sedang menatapku ingin tahu.
“Saya dari Indonesia,” jawabku sopan. Aku sedang menunggu mereka
melanjutkan pertanyaannya dengan, “Itu di mana ya?” Aku sudah terbiasa dengan
orang-orang Amerika yang tidak mengetahui letak Indonesia di peta dunia, suatu
fakta yang sangat aku sayangkan. Kemudian aku cukup terkejut ketika ayah Reilley
berkata, “Oh, apakah Aceh sudah pulih dari tsunami?”
Aku harus mengontrol ekspresi wajahku agar tidak terlihat terlalu terkejut
sebelum menjawab, “Pemerintah Indonesia sedang berusaha sebaik mungkin
melakukan pemulihan di sana-sini, tetapi masih ada banyak hal yang harus
dikerjakan.”
Kedua orangtua Reilley mengangguk penuh pengertian. “Kamu tinggal di mana
di Indonesia, apakah dekat dengan Aceh?” tanya Reilley kepadaku. Kini Marcus
pun terlihat tertarik dengan percakapan kami.
“Saya tinggal di Jakarta, dan untungnya itu cukup jauh dari Aceh,” jelasku.
Hingga hari ini aku sangat bersyukur bahwa aku tinggal di Jakarta, bukan di Aceh.
Aku tidak bisa membayangkan, apa jadinya hidupku kalau saja aku kehilangan
orang-orang yang aku cintai hanya dalam sekejap mata seperti yang terjadi pada
banyak orang di Aceh pada akhir tahun 2004.
I‟m glad to hear it. Apakah orangtua kamu ada di sini atau mereka masih di
Jakarta?” tanya ibu Reilley lagi. Ini mungkin hanya imajinasiku saja, tetapi aku
merasa ia sedang menginterogasiku untuk melihat apakah aku calon istri yang
sesuai untuk anaknya. Calon istri? Hah!!! Pacaran saja belum.
“Mereka masih di Jakarta,” jawabku, sambil tersenyum.
“Seberapa sering kamu pulang ke Jakarta?”
“Sekali setiap empat sampai lima tahun.”
“Lima tahun sekali?” teriak ibu Reilley. “Orangtua kamu pasti kangen dan ingin
sekali bertemu kamu, ya. I know I would.”
Not all parents are as whiny as you are, Mom,” Marcus berkata, yang diikuti
dengan bunyi “whack” dan kata, “Owww... Mooom,” ketika tangan ibunya
bersentuhan keras dengan belakang kepalanya.
Honestly, I should have stopped with your brother if I‟ve known that you and your
twin sister will be so out of control,” omel ibu Reilley.
Pada saat itu barulah aku sadar bahwa Christine dan Marcus ternyata anak
kembar. Aku seharusnya sudah bisa menebak sebelumnya karena mereka memang
terlihat sangat mirip dan sepantar, dan cara mereka berinteraksi terlihat lebih dekat
daripada kakak-beradik pada umumnya. Mereka kelihatan lebih bisa memahami
satu sama lain tanpa harus mengeluarkan kata-kata. Sekali lagi aku tersenyum
melihat semua interaksi dalam keluarga Reilley; mereka terlihat seperti satu
keluarga yang utuh dan bahagia, seperti keluargaku.
Dari sudut mataku kulihat Alex baru kembali dari toilet, kemudian aku melihat
Mary berdiri sambil menggendong Joseph yang sudah tertidur. “We‟re heading out.
Kami mau menghindari traffic ke Atlanta,” ucap Mary.
“Mary nggak tinggal di Winston?” tanyaku kepada Reilley.
“Nggak ada dari kami yang tinggal di sini. Hanya orangtua saya saja,” jawab
Reilley.
Sebetulnya, aku ingin menanyakan di mana Reilley tinggal ketika Marcus
menepuk bahu Reilley. “Nice seeing you again, Big Man, but we gotta split. Aku ada
shift pagi besok.”
Di sudut lain kulihat Christine sedang memeluk dan mencium kedua
orangtuanya.
Promise me you‟ll call more often, you don‟t see your family enough,” ucap ibu
Reilley, sambil memegang wajah Christine di antara kedua telapak tangannya.
“Aku bertemu Marcus setiap hari,” balas Christine cuek.
“Dia saudara kembar kamu, itu nggak bisa dihitung.” Kudengar ibu Reilley
mengomentari.
Marcus dan Christine tertawa terkekeh-kekeh. Didi menarik tanganku dan
menanyakan tentang tagihan makanan kami.
Aku mencoba menarik perhatian salah seorang pelayan untuk menanyakan bon
makanan kami. Reilley, yang melihatku sedang melambaikan tangan, kemudian
bertanya, “Kamu perlu sesuatu?”
“Saya ingin minta tagihan makanan saya,” balasku, sambil tetap melambaikan
tangan kepada pelayan.
Reilley menarik tanganku turun, dan tidak melepaskan genggamannya. “Kamu
nggak usah khawatir soal itu. Alex sudah membayar semuanya,” ucapnya.
“Alex?” tanyaku terkejut.
Reilley mengangguk. “Kalau begitu, sebaiknya aku tanya ke dia berapa utang
saya,” ucapku, dan siap beranjak menuju Alex, yang sedang mengangkat Joseph
dari pelukan istrinya. Reilley menarik tanganku yang masih digenggamnya.
Don‟t worry about it.” Reilley menatapku tajam.
“Kamu yakin?” tanyaku ragu.
Tiba-tiba Reilley mengalihkan perhatiannya kepada seseorang di belakangku.
“Hei, Alex, Titania tanya ke aku apakah kamu keberatan membayari makan
siangnya?”
Aku rasanya ingin mencekik Reilley pada saat itu juga. Mengapa dia harus
menanyakan secara langsung begitu kepada Alex sehingga membuatku terkesan
terlalu perhitungan dengan uang? Aku memang sangat berhati-hati dengan uangku,
tetapi aku tidak mau orang lain tahu tentang itu. Untungnya Alex hanya tertawa,
dan Mary menjawab, “Makan siang kami yang traktir.”
Kemudian dia melangkah ke arahku dan memelukku sambil berkata, “Merry
Christmas. It was very nice to meet you.
Aku tidak punya pilihan selain mengucapkan terima kasih, membalas
pelukannya dan mengatakan hal yang sama. Mary kemudian berputar untuk
memeluk dan mencium semua anggota keluarganya, termasuk Didi, kemudian
melangkah ke luar restoran diikuti oleh Alex dan Joseph. Alex melambaikan
tangannya sebelum menghilang dari pandanganku.
Sebelum aku bisa pulih dari reaksi Mary terhadapku, Christine sudah
memelukku diikuti Marcus. Matt, pacar Christine, hanya melambaikan tangannya
sambil tersenyum tersipu-sipu. Aku baru ingat, sepanjang makan siang tadi aku
tidak mendengarnya berbicara sama sekali. Mereka berlalu untuk menempuh jarak
dua setengah jam dengan mobil ke Chapel Hill. Aku pun berpamitan dengan Reilley
dan kedua orangtuanya. Meskipun ayah Reilley hanya menyalami tanganku, ibu
Reilley memelukku dengan hangat dan antusias. Kami berjalan ke luar restoran
bersama-sama dan berpisah di depan pintu.
Didi berjalan tanpa suara di sampingku, tetapi aku tahu dia tidak sabar
menunggu sampai kami ada di dalam mobil dan membahas semua kejadian siang
ini. Aku dan Didi masuk ke dalam mobil sebelum kuhidupkan mesin dan
menyalakan pemanas. Dari kaca spion kulihat Reilley berjalan menuju Mercedes
berwarna hitam, diikuti oleh ayahnya yang sedang menggandeng ibunya. Melihat
pasangan tua yang masih mesra itu aku teringat ibu dan bapakku, yang juga selalu
bergandengan tangan ke mana pun mereka pergi. Akhirnya, mereka masuk ke
dalam mobil. Aku masih tetap menunggu karena mesin mobilku masih terlalu
dingin. Didi menekan tombol radio mobil untuk mencari siaran yang melantunkan
lagu selain lagu-lagu Natal.
Tiba-tiba telepon selularku berbunyi, Kulirik layar untuk mengetahui siapa yang
meneleponku, tetapi di layar hanya tampil tulisan “private”. Sambil mengerutkan
kening kujawab telepon itu. Kulihat Didi buru-buru mengecilkan volume radio, dan
menatapku penuh tanda tanya karena melihat wajahku yang bingung.
Hello,” ucapku ragu.
“Hei, apakah kamu berencana tidak segera meninggalkan tempat parkir itu?”
Kudengar suara Reilley dari ujung telepon.
Aku sempat tersedak sebelum berkata, “Reilley?”
Kini Didi menatapku dengan mata terbelalak.
Yes,” jawab Reilley, kemudian ia tertawa. “So are you planning to move soon?”
lanjutnya.
“Memang ada apa?” Aku masih tidak bisa menebak alasan mengapa dia
meneleponku dan menanyakan hal itu.
My mom nggak membolehkan saya pergi sampai dia lihat kamu dan adik kamu
sudah dalam perjalanan pulang dengan aman.” Suara Reilley terdengar sedang
mencoba menahan tawa. Kemudian kudengar bunyi sesuatu dan suara perempuan
yang agak teredam, seperti ada tangan yang menutupi speaker telepon Reilley.
Kudengar suara Reilley lagi, “My Mom said to tell you that it was very nice meeting you
and your sister and that she hopes to see you again.” Kini nada Reilley terdengar sedikit
terpaksa.
Aku berusaha tidak menelaah setiap perkataan yang diucapkan Reilley
kepadaku, dan berkata, “Please tell your Mom that we said thank you. It was nice meeting
her and your dad as well.
“Mereka bisa dengar, teleponnya on speaker. Kamu lebih baik bergerak sekarang,
soalnya ada mobil yang menunggu tempat parkir kamu,” lanjut Reilley.
Aku melirik ke kaca spion untuk mengkonfirmasi apa yang Reilley baru
katakan. Kulihat ada sebuah Mustang warna hitam sedang menunggu. “Oke, bye,”
ucapku. Aku buru-buru menutup telepon selularku, kemudian memberikannya
kepada Didi. Ia memasukkan telepon itu ke dalam tasku.
Buru-buru kualihkan persneling mobil dari “P” ke “R”, dan mundur dari tempat
parkir. Kubunyikan klakson satu kali sebelum meluncur ke Jalan Bethesda menuju

arah Country Club, jalan di mana apartemenku berada.


BLIND DATE - PART 5

No comments:

Post a Comment