Friday, September 4, 2015

BLIND DATE - PART 4

4
Zorro From Hell

TANGGAL 31 Oktober pun tiba, dan untuk pertama kalinya selama tiga tahun
terakhir ini aku akan menghadiri pesta Halloween yang diadakan kantorku tanpa
ditemani Brandon. Aku merasa agak sedikit canggung datang sendiri karena
biasanya aku dan Brandon selalu mengenakan kostum yang akan melengkapi satu
sama lain. Dua tahun yang lalu kami memakai kostum sebagai Bonnie dan Clyde,
pasangan bandit yang terkenal pada era tahun 30-an. Tahun lalu Brandon
mengenakan kostum Popeye dan aku sebagai Olive.
Tahun ini aku terpaksa mengenakan kostum biarawati. Sejujurnya, kostum ini
bukan pilihanku. Aku terpaksa mengambilnya karena pilihan lain yang tersisa
adalah menjadi seekor kelinci paskah berwarna pink dengan ukuran bokong yang
superbesar atau menjadi putri duyung. Aku langsung menolak kostum putri
duyung karena udara sudah terlalu dingin bila harus mengenakan BH saja. Selain
itu, akut idak berani memamerkan perutku yang agak buncit kepada teman-teman
kantor. Mereka bisa langsung pingsan melihatku. Titania Larasati, satu-satunya
pegawai yang orang Asia dan sangat konservatif, tiba-tiba muncul dengan hanya
mengenakan BH dan selembar kain tipis berwarna hijau yang menutupi pinggul
hingga ke mata kaki dengan potongan yang sangat ketat.
Inilah konsekuensi yang harus aku terima jika baru pergi ke toko yang
menyewakan kostum pada detik-detik terakhir. Mungkin kalau aku tinggal di New
York hal ini tidak akan menimbulkan masalah karena di kota-kota besar biasanya
terdapat beberapa toko yang menyewakan kostum untuk Halloween. Aku kan
tinggal di salah satu kota terkecil di Amerika Serikat, dan di Winston hanya ada dua
toko yang menyewakan kostum untuk Halloween. Satu toko dikhususkan untuk
anak-anak berumur dua belas tahun ke bawah, sedangkan satu toko lagi untuk
remaja dan orang dewasa. Sejujurnya, aku sudah berniat tidak datang ke pesta
Halloween tahun ini, tetapi Halloween adalah salah satu liburan yang aku paling
sukai. Sejak aku SMA dan pindah ke Amerika, aku tidak pernah melewatkan
kesempatan menanggalkan identitasku dan berpura-pura menjadi orang lain,
walaupun hanya untuk beberapa jam.
Bukannya aku ada masalah dengan „diriku. Aku sangat menyukai siapa aku
dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hanya saja terkadang aku ingin melarikan diri
dari segala tekanan yang ada di sekitarku. Sebagai anak paling besar, aku sudah
terbiasa mandiri sejak SD. Meskipun aku tahu adikku bisa menjaga dirinya sendiri,
aku selalu merasa bertanggung jawab menjaganya. Aku selalu berusaha
mendahulukan kepentingannya daripada kepentinganku. Didi terlahir menjadi
seorang pemikir. Oleh sebab itu, aku sangat mendukungnya ketika dia berniat
mengambil S3, meskipun itu berarti dia tidak akan memiliki penghasilan sendiri
selama lima tahun ke depan. Dengan diterimanya Didi di Program S3 Psikologi
pada salah satu universitas terbaik di Amerika, maka kecil kemungkinan baginya
memiliki waktu untuk mencari suami dan memberikan cucu bagi ibu dan bapakku.
Akhirnya, semua tanggung jawab itu jatuh ke aku.
* * *
Didi dan orangtuaku tentunya tidak pernah memintaku memikul semua tanggung
jawab itu, tetapi aku tetap merasa itulah tugas seorang kakak. Sepanjang hidupku,
aku sudah menata semua rencana hidupku dengan rapi dan penuh perhitungan.
Aku bahkan memiliki rencana cadangan jika rencana utama tidak berjalan sesuai
yang kuinginkan. Tentu saja semua rencana itu tidak mempersiapkanku untuk
menghadapi perselingkuhan orang yang menjadi pusat semua rencana yang
menyangkut masa depanku. Setelah aku pikirkan semuanya kembali, aku tidak tahu
mengapa aku bisa bertahan hidup dengan Brandon selama hampir tiga tahun.
Brandon bahkan tidak pernah mengutarakan keinginannya menikahiku. Memang
kata cinta sering diucapkannya, terutama jika dia sedang memohon kepadaku agar
mau melepaskan keperawananku untuknya. Namun demikian, tidak sekali pun dia
menyinggung tentang pernikahan.
Selama ini aku telah membohongi diriku sendiri dengan mencoba meyakinkan
diriku bahwa kata cinta dari Brandon berarti pernikahan dengannya suatu hari
nanti. Aku telah menginvestasikan tiga tahun hidupku bersama Brandon. Kalau saja
investasi itu bisa diuangkan, mungkin aku sudah menjadi kaya. Aku mematut
diriku sekali lagi di depan cermin panjang di kamarku. Ternyata memang ada
untungnya berkostum sebagai biarawati karena bentuk tubuhku betul-betul tidak
kelihatan sama sekali. Hal itu berarti aku bisa makan sebanyak-banyaknya tanpa
harus khawatir perutku akan bertambah buncit. Sambil tersenyum aku pun
mematikan lampu kamar dan beranjak menuju mobil.
* * *
Pesta Halloween tahun ini seperti biasa diadakan di Embassy Suites, sebuah hotel
yang cukup jauh dari rumahku. Ketika aku memasuki lobi hotel, aku langsung
merasakan beberapa pasang mata menatapku penasaran. Aku melihat Kathy, rekan
kerjaku, memakai kostum Wilma Flinstone. Aku melambaikan tangan dengan
semangat sambil berjalan ke arahnya. Kulihat Kathy memicingkan matanya, dia
terlihat ragu. Kulihat Kathy memicingkan matanya, dia terlihat ragu. Setelah aku
hanya tinggal satu meter darinya, Kathy berteriak, “Titania, is that you? Aww... Lorrd,
I almost didn‟t rrecognize yah!” Dengan logat yang sangat North Carolina, dia
memanjangkan pengucapan huruf „r dan mengubah „ou menjadi „ah.
Aku tertawa melihat reaksinya. “Bagaimana penampilanku?” tanyaku.
Kathy menatap wajahku yang tanpa makeup, seluruh tubuhku yang dilapisi
jubah hitam, dan kakiku yang ditutupi sepatu bot berwarna hitam.
Well, yah definitely look different and I‟m suh that people won‟t know it‟s yah „til you
tol „em.
Untungnya Kathy tidak menyinggung soal Brandon. Semua orang di
departemenku sudah tahu mengenai berakhirnya hubunganku dengan laki-laki
bajingan itu. Mereka sempat terkejut ketika aku memberitahu bahwa aku dan
Brandon sudah tidak sama-sama lagi, tetpai aku tidak mengatakan alasannya.
Mereka hanya tahu sudah tidak ada kecocokan lagi di antara kami berdua.
“Apakah semua orang sudah sampai?” tanyaku. Tiba-tiba aku mendengar bunyi
musik yang cukup keras dari ballroom, yang pintunya terbuka.
Most of „em arrre. Therrre are some that I dont rrrecognize and we‟re not s‟posed to ask
until midnight when the parrrty is over and eve‟ryone can take off their masks.
Aku hampir lupa dengan peraturan itu. Tentunya selama ini aku tidak pernah
ada masalah mengenali siapa pun juga karena kebanyakan mereka mengenakan
kostum tanpa menutupi wajah. Tahun ini tampaknya ada trend kostum baru.
Banyak wanita dan laki-laki yang seliweran mengenakan topeng. Beberapa dari
mereka mengenakan topeng bulu-bulu yang hanya menutupi bagian kening hingga
hidung. Beberapa lainnya mengenakan topeng yang menutupi separo wajah ala
Phantom of the Opera. Banyak juga yang menutupi seluruh wajah dengan tiruan
topeng Hannibal Lecter. Aku hampir bergidik ketika melihat seseorang melewati
kami dengan mengenakan topeng karakter antagonis di film Saw.
“Mengapa sih mereka pakai topeng?” tanyaku pada Kathy, yang
menggandengku menuju ballroom.
I ain‟t got a clue, honey. Jujur saja, mereka bikin aku agak waswas. You better be
real careful coz people will act cra-ha-zy if they think that nobody can know who they are
when they‟re doing it.
Aku mengangguk mendengar nasihatnya. Kathy lalu membuka pintu ballroom,
dan aku langsung terkesima. Ruangan itu telah disulap menjadi klub malam ala
tahun 70-an. Semuanya terlihat retro abis, mulai dari lampu kristal yang
memantulkan cahaya ke lantai dansa di tengah ruangan hingga kursi-kursi yang
bertebaran mengelilingi ruangan itu. Satu-satunya yang menandakan kita sedang
berada pada abad ke-21 adalah musik yang terlantun dengan keras dari beberapa
speaker yang tergantung rendah di langit-langit ballroom.
“Aku mau ambil minum, kau mau?” teriak Kathy, meningkahi suara Justin
Timberlake.
Aku menggeleng. Kathy lalu menghilang di antara kerumunan orang-orang. Di
bawah lampu yang remang-remang pelan-pelan aku berjalan mengelilingi lantai
dansa yang sudah cukup penuh. Ada Hillary Clinton yang sedang berdansa dengan
P.Diddy, Shakira dengan Harry Potter, laki-laki ubanan dengan kimono tidur
berwarna merah sedang berdansa dengan dua orang wanita yang bergaya seperti
Playboy Bunnies. Aku kemudian sadar bahwa laki-laki ubanan yang berdansa
dengan mereka adalah Hugh Hefner. Bukan raja majalah khusus untuk laki-laki
yang asli tentunya, tapi cukup mirip untuk jadi kembarannya. Kemudian kulihat
ada yang mengenakan kostum Batman. Aku harus menahan tawaku ketika sadar
bahwa orang itu adalah Linnell, bosku. Kostum yang ketat itu tidak bisa
menutupiperutnya yang buncit. Dia kelihatan mengalami masalah untuk bernapas
dalam kostum itu. Aku merasa kasihan kepadanya. Kuputuskan menghampirinya,
tetapi tiba-tiba ada yang menarik lenganku.
Can I have this dance?” tanya suara itu, yang terdengar berat dan dalam.
Ketika aku berpaling, aku berhadapan dengan Zorro. Aku betul-betul sedang
tidak mood berdansa. Kuperhatikan sekelilingku, mencoba mencari Kathy yang bisa
menyelamatkanku, tetapi aku tidak melihat Wilma Flinstone di mana pun juga. Aku
kembali menghadapi Zorro smabil mempertimbangkan pilihanku.
“Hanya satu dance saja kok. Anggap saja sebagai sumbangan, sister?” Sepasang
mata cokelat di balik topeng Zorro itu terlihat sedang menari-nari. Dia
memanggilku dengan kata “sister”, kata yang digunakan di Amerika untuk para
biarawati.
Mau tidka mau aku jadi tersenyum. Ada sesuatu yang terlihat familiar pada
dirinya, tetapi aku tidak merasa pasti. Aku lalu membiarkan diriku dituntunnya ke
lantai dansa. Sebuah lagu rap melantun dengan keras. Aku mencoba mengikuti
ketukan lagu itu. Aku merasa agak risi dengan kostum panjangku yang tidak
memberikanku keleluasaan bergerak. Berbeda denganku, Zorro seakan-akan tidak
memiliki masalah sama sekali untuk bergerak mengikuti tempo lagu. Dia bahkan
menggunakan pedangnya ketika sedang menari. Beberapa orang yang sedang
berdansa di sekeliling kami sampai tersenyum melihat tingkah lakunya.
Mula-mula aku masih mengkhawatirkan reputasiku di depan orang-orang
kantorku bila nge-dance dengan gaya yang terlalu heboh. Setelah sadar bahwa tidak
akan ada yang bisa mengenaliku maka aku mulai menanggalkan “Titania Larasati
yang penuh dengan rencana masa depan” menjadi “Titania Larasati yang tidka
peduli apa yang akan terjadi besok”. Kulenggokkan pinggulku dengan lebih
percaya diri, kumainkan mataku untuk menggoda Zorro, bahkan membasahi
bibirku agak terlihat lebih seksi. Zorro melahap semuanya dengan tatapannya, dan
mendekatkan dirinya kepadaku. Setelah beberapa lagu bertempo cepat, musik mulai
berganti dengan lagu-lagu bertempo lambat. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku
berdansa dengan Zorro, tetpai tiba-tiba aku merasa haus.
Aku lalu memberi isyarat kepada Zorro bahwa aku akan pergi mengambil
minum. Seperti yang sudah kusangka, dia mengikutiku ke bar yang terlihat agak
sepi. Penerangan di situ bahkan lebih minim dibandingkan di lantai dansa. Aku
melirik jam tanganku, yang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. Gila!!! Aku
sudah berdansa dengan laki-laki tidak dikenal ini selama satu jam lebih. Aku hanya
memesan sebotol corona kepada bartender, dan duduk di salah satu kursi bar yang
tinggi. Zorro kemudian duduk di sebelahku sambil menggenggam botol budweiser.
Suara musik di bar ternyata tidak sekeras di lantai dansa.
“Kamu datang sendiri?” tanya Zorro.
Aku memikirkan pertanyaan itu sejenak. Aku tidak mengenal laki-laki ini.
Jangan-jangan dia seorang pembunuh berantai. Aku memilih jalan aman, dan
menjawab, “Nggak, saya datang bersama teman.”
“Pacar?”
Aku menggeleng. “Kamu sendiri?” tanyaku.
“Sendiri saja,” jawabnya.
Kami lalu terdiam sesaat sambil menikmati minuman masing-masing. “Kostum
kamu seru juga,” ucap Zorro lagi, sambil menunjuk kostumku.
“Kamu juga,” balasku, sambil menunjuk pedangnya yang terbuat dari besi.
“Mengapa jadi biarawati?” tanya Zorro, sambil menatapku dalam.
Aku mengangkat bahu. “Hanya ini yang tersisa.”
Zorro lalu menghadapku, kemudian mendekatkan kepalanya dan membisikkan
sesuatu kepadaku. Otomatis aku pasti mendekatinya. “Untung saja kamu bukan
biarawati betulan, soalnya saya memikirkan hal-hal yang saya ingin lakukan ke
kamu yang nggak seharusnya saya pikirkan,” bisiknya. Ia menarik kepalanya sambil
tersenyum. Sekali lagi suara hatiku berkata ada sesuatu yang familiar tentang
dirinya, tetapi aku menepiskan kata hatiku itu.
Aku tahu, seharusnya aku berdiri pada saat itu juga dan meninggalkan laki-laki
tidak tahu tata krama itu. “Hal-hal seperti apa?” Sebelum aku bisa mengontrol
lidahku, kata-kata itu sudah keluar dari mulutku. Setelah beberapa bulan ini dating
dengan beberapa laki-laki, aku mulai mendapatkan kembali keahlianku flirting
dengan mereka yang sempat hilang.
Kulihat mata Zorro melebar di balik topengnya. “Come with me and I‟ll show you,”
ucapnya, dengan suara serak.
Aku memutar kursiku dan menghadapnya sambil tertawa cemas. “I‟m not gonna
come with you sampai saya tahu kamu siapa,” balasku.
“Oh, kamu tahu siapa saya.” Zorro terlihat menikmati permainan ini.
“Oh, ya?” Hal ini menjelaskan mengapa beberapa hal mengenainya sangat
familiar bagiku. Kupicingkan mataku curiga. “Look. Saya nggak mau play games
malam ini. Jadi, bagaimana kalau kamu lepas topengmu supaya saya bisa melihat
wajah kamu,” ucapku cepat.
Bartender yang terlihat sedang mencuci gelas menatapku. Dari matanya dia
seperti menanyakan, apakah aku memerlukan pertolongannya. Aku menggeleng
sedikit, menandakan aku masih bisa mengatasi keadaan. Bartender itu lalu kembali
mencuci gelas-gelas, tetapi dia terlihat mendengarkan percakapanku dengan Zorro
lebih saksama.
“Selalu perlu mengontrol semuanya.” Suara Zorro seperti membelai wajahku.
Kemudian Zorro turun dari kursinya dan berdiri di hadapanku. Lututku
bersentuhan dengan pinggulnya. Tanpa kusangka-sangka kemudian dia menyentuh
kedua pahaku. Ia memaksaku membuka kedua kaki, kemudian memposisikan
dirinya di antaranya. Dia lalu menarikku ke dalam pelukannya. “Coba kamu ingatingat
lagi,” ucapnya, kemudian sebelum aku bisa melakukan apa-apa dia sudah
mencium bibirku.
Ciuman itu terasa panas dan mendesak hingga aku tidak bisa bernapas. Otakku
tidak bisa bekerja, yang bisa kulakukan hanya berpegang erat ke dirinya dan
menikmati saat-saat ini. Sudah hampir enam bulan berlalu, dan hal ini membuatku
sedikit haus akan sentuhan laki-laki pada bibir, mulut, dan lidahku. Tiba-tiba
bibirnya meninggalkan mulutku dan beralih menyusuri dagu hingga telingaku. Aku
hanya bisa mendesah dan mengizinkannya melakukan itu.
I like the way you kiss,” bisiknya. Aku hanya bisa menarik napas karena
embusan napasnya tengah menggelitik wajahku. “Kayaknya saya satu-satunya lakilaki
untuk kamu,” lanjutnya, dengan bisikan yang semakin menggoda. Samar-samar
kudengar suara Mariah Carey menyanyikan lirik lagu “We Belong Together”. Pada
saat itu juga aku tersadar oleh bunyi “KLIK” yang sangat keras. Buru-buru
kuletakkan kedua telapak tanganku di dadanya dan mendorongnya dengan sekuat
tenaga. Zorro harus mundur beberapa langkah untuk menjaga keseimbangannya
dan menabrak meja bar.
Tanpa memedulikan bartender yang sedang berjalan ke arahku, aku beranjak
turun dari kursi. Kutatap mata Zorro dalam-dalam, kemudian menarik topeng
hitam yang menutupi wajahnya dengan tangan kananku. Ketika aku bisa melihat
seluruh wajahnya, yang aku bisa lakukan hanya berdiri diam menatap wajah itu.
Wajah Brandon yang sedang menatapku dengan penuh kemenangan.
Hey, babe,” ucapnya, seperti orang tidak bersalah.
Aku langsung merasa mual. Tanpa berkata-kata lagi aku langsung berbalik
badan menuju pintu keluar ballroom. Aku bahkan tidak menoleh ke belakang untuk
memastikan apakah Brandon mengikutiku atau tidak. Aku mencoba menyeka
bibirku dengan tangan. Sebetulnya, aku ingin pergi ke kamar mandi dan mencuci
mulutku dengan Listerine sebanyak sepuluh kali, kemudian mnyikat gigiku sepuluh
kali juga.
Bagaimana mungkin aku tidak mengenalinya? Aku pacaran dengannya selama
tiga tahun. Aku seharusnya tahu bentuk wajahnya, badannya, suaranya, dan cara
dia menciumku. Pokoknya, aku seharusnya mengenali dia. Aku bahkan seharusnya
mengenali keahliannya menarik perhatian wanita mana pun hanya dengan kedipan
matanya. Aku pun pernah jatuh cinta kepadanya karena itu. Bagaimana mungkin
aku jatuh pada perangkap yang sama untuk yang kedua kalinya? Ternyata usahaku
menghapuskan Brandon dari pikiranku cukup sukses karena aku betul-betul tidak
bisa mengenalinya lagi. Kalau saja tadi dia tidak mengatakan kata-kata itu maka
mungkin aku tidak akan pernah tahu hingga waktunya membuka topeng sekitar...
aku melirik jam... setengah jam lagi. Sialan... sialan... sialan, geramku dalam hati.
Aku meninggalkan bunyi musik, yang kini membuatku pusing, di belakangku
dan menuju pelataran parkir. Kukeluarkan kunci mobil dari saku kostum
biarawatiku. Baru pada saat itu aku mendengar bunyi langkah di belakangku. Aku
tidak perlu menoleh untuk mengetahui bahwa itu adalah Brandon. Aku tahu cara
dia berjalan, yang selalu terkesan seperti sedang berbaris dengan menghantamkan
kakinya kuat-kuat pada lantai.
Go away, Brandon!” teriakku, tanpa menoleh dan mempercepat langkahku.
“Hey, tunggu! Aku perlu bicara dengan kamu.” Kudengar langkah Brandon
juga semakin cepat.
Mendengar kata-kata itu aku menghentikan langkahku dan berbalik
menghadapnya. “Aku nggak mau bicara dengan kamu, oke. Aku bahkan nggak
mau lihat muka kamu lagi. Bukankah aku sudah jelaskan semua terakhir kali aku
bicara dengan kamu?” Aku mengatakan semua itu sambil bertolak pinggang.
“Kamu nggak kelihatan keberatan melihat mukaku ketika kamu mencium aku
beberapa menit yang lalu.”
“Itu karena aku nggak tahu kalau itu kamu,” geramku. “Bagaimana kamu bisa
masuk ke party ini sih? Ini kan private party.”
“Aku hanya bilang ke orang-orang yang menjaga pintu bahwa aku date kamu
malam ini, dan mereka izinkan aku masuk.”
Aku menarik napas dalam-dalam. Brandon mungkin seorang buaya darat, tapi
dia buaya darat yang cerdas. Dulu aku sangat menghargai betapa pintar dan
kreatifnya Brandon, tetapi tidak sekarang.
“Bagaimana kamu... Ah, masa bodoh deh,” ucapku, lalu kembali berjalan ke
mobil. Aku sebenarnya ingin menanyakan, dari mana dia tahu aku ada di pesta ini?
Rasanya aku tahu jawabannya. Perusahaanku selalu menyewa ballroom di hotel ini
setiap tahunnya untuk mengadakan pesta Halloween atau pesta apa pun juga.
Brandon cukup mengenalku dan tahu aku tidak akan mungkin melewatkan
perayaan Halloween.
“Titania, tunggu! Aku betul-betul perlu bicara dengan kamu!” teriak Brandon.
“Bukannya kamu seharusnya ada di Tennessee?” tanyaku, sambil terus berjalan
menuju mobil.
“Aku kembali untuk berkunjung,” jawabnya. Kemudian dia melanjutkan,
“Tunggu sebentar... bagaimana kamu bisa tahu kalau aku seharsunya ada di
Tennessee?” tanyanya, dengan nada sedikit bingung.
“Steve yang memberitahu aku,” balasku. Di antara beberapa hal lainnya, ucapku
dalam hati.
Have you been checking up on me?”
Kata-kata itu membuatku sekali lagi berhenti melangkah dan menatapnya.
“Brandon, di planet mana sih kamu hidup selama beberapa bulan ini? Mengapa juga
aku harus checking up on you?”
“Karena kamu masih cinta kepadaku, tetapi kamu nggak mau mengakui,” jawab
Brandon, penuh kepastian.
Saat itu juga emosiku bergejolak. Kutatap Brandon sedalam-dalamnya, tidak
percaya bahwa dia baru saja mengatakan kalimat itu.
“Apakah kamu lupa minum obat hari ini?” tanyaku akhirnya.
“Obat? Untuk apa?”
“Untuk gejala delusional kamu.”
Brandon mengerutkan dahinya sebelum membalasku, “Aku nggak delusional.
Aku tahu kamu masih cinta kepadaku, seperti aku cinta kepada kamu. Jadi,
bagaimana kalau kita lupakan saja yang sudah terjadi dan mulai lagi dari awal?”
“Hah... apa kamu pikir aku bisa lupa begitu saja setelah melihat kamu ML
dengan asisten kamu di kantor?”
I‟m happy to let you know that she is out of my life. Dia nggak berarti apa-apa
untuk aku, begitu juga yang lainnya. Aku cintanya hanya kepada kamu,” jawab
Brandon.
“Itu nggak membuat semuanya baik-baik saja, oke? Aku nggak mau lagi
mendengarkan semua kebohongan yang keluar dari mulut kamu. Ever. I‟m done with
you.
Aku lalu berjalan menuju mobil dengan langkah lebih cepat. Kudengar Brandon
memanggil-manggil namaku, tetapi aku tidak menghiraukannya. Tiba-tiba
kurasakan pergelangan tanganku ditarik dengan kasar dan tubuhku diputar
menghadap Brandon.
“Kamu bisa nggak sih stop sebentar dan dengarkan aku?” geramnya, sambil
mencengkeram kedua lengan atasku.
“Aku nggak mau stop atau dengarkan atau melakukan apa pun untuk kamu,
Brandon. Sekarang lepaskan!” Kucoba melepaskan diri dari cengkeramannya, tetapi
Brandon tetap tidak melepaskanku.
“Lepaskan... Brandon... lepas... atau sumpah aku akan...”
Hey... let her go.” Tiba-tiba kudengar suara laki-laki berteriak dari belakangku.
Terkejut oleh teriakan itu, Brandon melepaskan cengkeraman tangan kirinya,
tetapi tangan kanannya masih mencengkeram lenganku. Aku pun menoleh dan
langsung mengenali laki-laki berbadan besar yang sedang berjalan ke arahku.
Seperti terakhir kali aku melihatnya, dia hanya mengenakan sweater turtleneck di atas
celana jeans dan tanpa jaket.
“Reilley!” teriakku.
Reilley memicingkan matanya sesaat untuk mengenali wajahku sebelum
berkata, “Titania?” dengan nada terkejut. Tatapannya kemudian tertuju pada
kostum biarawati yang kukenakan, dan aku bersumpah... aku melihatnya
tersenyum.
And I‟m Brandon, now run along, pretty boy.” Cara Brandon mengatakan kata
pretty boy” dengan penuh kebencian membuat tubuhku menjadi dingin. Tidak ada
laki-laki mana pun di atas usia tiga puluh tahun, yang akan tinggal diam bila
dipanggil “pretty boy”. Aku yakin sebentar lagi kepalan tinju akan mulai melayang.
Aku akan berada di antara laki-laki yang melayangkan kepalan tinju dengan
targetnya.
Kualihkan perhatianku dari wajah Brandon ke Reilley dengan perasaan waswas.
Akan tetapi, yang kulihat justru membuatku bingung. Bukannya terlihat marah,
Reilley justru terlihat terhibur dengan kata-kata Brandon.
Now that‟s a thought. I never think of myself as being pretty. Attractive, maybe, but
definitely not pretty,” ucap Reilley santai.
Meskipun hatiku sedang galau, aku harus mengakui bahwa kata “pretty” sama
sekali tidak bisa menggambarkan dirinya. Dia lebih terlihat seperti patung Adonis
Yunani. Seksi dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Ini bukan urusan kamu. Ini antara saya dengan pacar saya. Jadi, kalau kamu
nggak keberatan...”
“Mantan pacar!” teriakku ganas. Mau tidak mau aku harus meluruskan
khayalan Brandon, yang seolah-olah mengelabui pikirannya. “Nggak ada apa-apa di
antara kita, Brandon, sudah tidak lagi.” Kutarik lenganku dari cengkeram Brandon,
dan dia melepaskanku.
Reilley terlihat melpiat kedua tangannya di depan dadanya yang bidang. “Well,
kelihatannya kamu yang harus pergi, pretty boy.”
Mau tidak mau aku jadi tersenyum mendengar Reilley melempar balik kata-kata
Brandon, dan dia terlihat terkejut. Beberapa detik berlalu, dan aku berpikir Brandon
akan melangkah pergi dan meninggalkanku seperti yang terjadi beberapa bulan
yang lalu ketika dia berhadapan dengan dua laki-laki yang rela membelaku. Tibatiba,
bagaikan seekor banteng yang melihat kain merah, Brandon menyerang
Reilley. Gayanya pun sudah seperti banteng, ia sedikit membungkuk untuk
menyerang bagian tengah tubuh Reilley. Selanjutnya, mereka bergumul di aspal
pelataran parkir. Aku mendengar bunyi kepalan tinju mengenai sesuatu yang keras,
yang diikuti dengan teriakan, “Shit, my eye... my eye!
Aku tidak tahu siapa yang berteraik, tetapi melihat posisi Reilley yang berada di
atas Brandon, aku menduga yang berteriak Brandon.
Guys... guys... stop it!” teriakku panik. “Bisa nggak sih kita omong ini semua
layaknya orang dewasa?”
Mereka seakan-akan tidak mendengarku, bahkan kedua laki-laki itu terus
terlibat perkelahian. Andai saja aku punya peluit, yang bisa aku gunakan untuk
menarik perhatian mereka? Tampaknya meskipun aku meniup benda itu sampai
mukaku biru, mereka tetap tidak akan berhenti berkelahi hingga salah satu dari
mereka terkapar dan babak belur. Aku mendengar bunyi cling... cling... cling... yang
kemudian aku sadari berasal dari pedang Zorro Brandon. Mau tidak mau aku jadi
tersenyum. Seingatku dari semua film Zorro yang pernah aku tonton, aku tidak
pernah melihat jagoan berjubah hitam dengan gaya misterius itu berhadapan
dengan musuhnya tanpa menggunakan pedangnya.
Let me blacken that other eye for you.” Kudengar Reilley berkata sebelum dia
melayangkan kepalan tinjunya ke arah Brandon, diikuti dengan bunyi “crack” yang
cukup keras. Kemudian kudengar Brandon berteriak, “Oowww... that hurts you
asshole.
Kulihat Reilley menarik tali yang mengikat jubah Zorro Brandon ke arahnya,
dan dia menatap Brandon dengan tajam sebelum menggeram, “Who are you calling
an asshole?
You. You senseless son of a bitch.”
“Apa ibu kamu nggak pernah mengajarkan agar tidak mengucapkan kata
sumpah serapah?”
Kudengar suara geraman, tiba-tiba Brandon sudah mendorong tubuh Reilley
dan posisi mereka pun berbalik. Kini Brandon berada di atas Reilley.
Get off me you sissy.” Suara Reilley terdengar seperti guntur yang pecah di langit
menjelang hujan.
“Jangan pernah menghina ibu saya,” teriak Brandon ganas, sambil
menggenggam kepala Reilley di antara kedua telapak tangannya.
Aku melihat ke sekelilingku, mencari seseorang yang mungkin bisa
membantuku menghentikan perkelahian ini, tetapi aku tidak melihat siapa-siapa.
Pelataran parkir itu kosong melompong, tampaknya semua orang masih ada di
dalam ballroom dan menikmati pesta Halloween tanpa menyadari apa yang sedang
terjadi di luar. Menyadari bahwa aku tidak akan bisa menghentikan pergumulan itu
sendirian, aku memutuskan mundur beberapa langkah dan menyandarkan bahu
pada satu sisi Ford Explorer yang diparkir tidak jauh dari tempat Brandon dan
Reilley sedang membuktikan kelaki-lakian mereka, dan menunggu. Aku bukan
orang yang menyenangi kekerasan sehingga aku harus menutup mataku ketika
kulihat kepala Reilley bersentuhan dengan aspal dengan bunyi yang cukup keras,
tetapi kelihatannya kepala Reilley cukup kuat karena entakan itu tidak
memengaruhinya.
Kudengar dia berteriak, “Damn... you fight like a girl!
No I don‟t,” balas Brandon tersinggung, ia menghantam wajah Reilley dengan
kepalan tinjunya, kemudian berusaha berdiri. Aku ragu, tetapi kelihatannya kepalan
tinju itu mengenai Reilley tepat di hidungnya.
Kudengar Reilley terbatuk-batuk dan mencoba berdiri juga. Melihat darah segar
menetes keluar dari hidungnya membuatku panik.
“Reilley, kamu berdarah!” teriakku, dan berjalan mendekatinya.
“Jangan dekat-dekat, Titania. Kami belum selesai.” Seolah-olah tidak
mendengarku, Reilley membalas pukulan Brandon sambil mengangkat tangannya
untuk mengingatkanku agar tidak mendekat. Dia tidak memandangku ketika
melakukannya. Tatapannya tetap kepada Brandon.
Kemudian Brandon berbalik badan dan menatapku. Aku bisa melihat wajahnya
lebih parah daripada Reilley. Mata kanannya sudah mulai tertutup karena bengkak.
Bibir bawahnya pecah dan darah kering menempel di situ.
“Brandon.” Suaraku terdengar tercekik.
“Aku nggak apa-apa,” geramnya kepadaku. Ia kemudian memutar tubuhnya
menghadap Reilley, dan berkata, “Ayo! Pukul aku sekali lagi, dan aku akan
membuat kamu lebih babak belur!”
“Oke, stop ini semua sekarang! Both of you!” teriakku. “Brandon, berdiri saja
kamu sudah nggak bisa, bagaimana kamu akan memukul Reilley?”
Just shut up, woman!” balas Brandon, tanpa menatapku.
Aku terdiam sesaat sebelum kata-kata Brandon betul-betul bisa aku cerna. “Apa
kamu bilang?” Aku masih tidak percaya dengan pendengaranku. Dia baru saja
melontarkan kata “shut up” kepadaku.
“Aku bilang diam!” Seperti tidak memahami kesalahannya, Brandon
mengulangi kata-kata itu sambil menatapku.
Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi aku tiba-tiba jadi kalap dan langsung
berjalan bergegas mendekatinya dengan mengepalkan kedua telapak tanganku dan
berteriak, “You worthless son of a bitch, how dare you to tell me to shut up!” Aku
kemudian melayangkan kepalan tinjuku pada wajah Brandon, yang terlihat terkejut
dengan reaksiku.
Titania, kamu ada apa sih?” teriaknya, sambil mencoba menutupi wajahnya
dengan kedua tangannya.
Aku tidak menghiraukannya, dan tetap melayangkan kepalan tinjuku. Setelah
beberapa detik dan menyadari kepalan tinjuku tidak bisa melukainya, aku
memikirkan cara lain untuk betul-betul menyakiti fisik Brandon. Dengan
menggunakan kaki kananku kutendang Brandon di selangkangannya sekuat tenaga.
Ujung sepatu botku yang agak runcing tepat mengenai sasaran. Kudengar Brandon
berteriak kesakitan, dan dia mundur beberapa langkah sambil membungkuk.
That should teach you not to tell any woman to shut up. Ever!” ancamku, dengan
sedikit terengah-engah. Aku merasakan kemarahan yang tadi ada di dalam diriku
menghilang perlahan-lahan. Sekarang aku mengerti mengapa laki-laki lebih
memilih bertengkar secara fisik daripada verbal karena ternyata cara itu memang
lebih efektif untuk melampiaskan kemarahan.
Aku baru sadar ternyata Reilley masih ada di situ ketika kudengar suara orang
cekikikan. Kualihkan perhatianku kepada Reilley, yang sedang membungkukkan
tubuhnya. Aku pikir dia sedang kesakitan, tetapi kemudian aku melihat bahunya
bergerak naik-turun dengan suara tawa yang tertahan. Kemudian dia meluruskan
tubuhnya dan tertawa keras.
“Oh, itu nggak ada duanya,” ucap Reilley, di antara tawanya.
Aku menunggu beberapa saat sambil mengetukkan kakiku ke aspal. “Senang
bisa menghibur kamu,” kataku datar, kemudian berjalan ke arahnya. “Sini aku urus
hidung kamu.”
Seperti baru sadar ada darah yang sedang menetes dari hidungnya dan menodai
sweater-nya Reilley berteriak, “Awww... crap!
Mau tidak mau aku tertawa melihatnya. “Aku ada P3K di dalam mobil. Keep
your head back, itu akan mencegah darah terus keluar dari hidung,” ucapku, sambil
menuntunnya menuju mobilku yang diparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Kuminta Reilley duduk di atas kap mesin mobil. Kuberikan selembar tisu
kepadanya, yang bisa digunakannya untuk menghentikan darah yang mengalir ke
luar. Sementara itu, kulepaskan kostum biarawati dan melemparkannya ke kursi
belakang mobil. Bulu roma di punggungku langsung berdiri, bereaksi pada
pergantian suhu tubuhku, tetapi aku tidak menghiraukannya.
Kuambil ktoak P3K dan menghampiri Reilley. “Patah nggak?” tanyaku, sambil
mengaduk-aduk kotak itu mencari kapas.
Dia menekan tulang hidungnya sepelan mungkin. “Kayaknya sih nggak.” Suara
Reilley terdengar bindeng.
“Oke, lepaskan tangan kamu biar saya bisa lihat,” ucapku. Reilley kemudian
membiarkanku mengangkat tisu, yang kini berwarna merah karena darah. Darah
yan gtadi mengalir kini sudah berhenti. Aku menarik napas lega.
“Tahan napas kamu!” perintahku, dan segera membersihkan bekas-bekas darah
yang masih tersisa di atas bibir dan dagunya dengan kapas yang sudah dibasahi
alkohol. Selama melakukan itu semua aku mencuri-curi mencium aroma Reilley
dalam-dalam. Aromanya menghantui pikiranku sehingga membuatku mencarinya
di setiap date-ku selama tiga minggu terakhir ini. Ketika aku membersihkan bagian
luar bibirnya, aku menyadari bibir itu mungkin adalah bibir terseksi yang aku
pernah lihat. Apakah yang Reilley akan lakukan bila tiba-tiba aku menciumnya?
pikirku. Aku menggigit bibir bawahku untuk mencegah diriku melakukan tindakan
yang ada di pikiranku.
Reilley tidak mengatakan apa-apa selama jari-jariku bersentuhan dengan
kulitnya. Dia hanya menatapku dengan mata birunya itu. Kalau saja dia mengetahui
fantasiku tentangnya, dia mungkin akan lari pontang-panting sambil berteriak,
She‟s crazyyyyyy...!” Sekali lagi kugigit bibir bawahku, tetapi kali ini untuk
mencegahku agar tidak tertawa karena imajinasiku.
Setelah wajahnya bersih kembali, aku memberikan beberapa lembar tissue
kepadanya untuk digunakan bila ada darah yang keluar lagi. Sambil membereskan
kotak P3K, aku mempertimbangkan bagaimana aku harus meminta maaf kepadanya
atas kejadian malam ini. Reilley menatapku, bibirnya tertarik lurus seperti sedang
berusaha menahan senyum, tetapi tidak berhasil.
“Apakah kamu menginap di hotel ini?” Pertanyaan yang bodoh sebetulnya,
tetapi setelah selama lima menit aku mencoba mencari topik pembicaraan di dalam
kepalaku tanpa membuahkan hasil, aku tidak punya pilihan lain.
Reilley menatapku seperti aku makhluk dari planet lain karena mengeluarkan
pertanyaan itu, tetapi dia tetap menjawab, “Ya,” ucapnya datar.
“Untuk kerja?” tanyaku lagi.
Social visit. I‟m leaving tomorrow morning,” jelas Reilley.
Jadi, Reilley memang tidak tinggal di Winston rupanya. Inilah sebabnya aku
jarang melihatnya. Di mana kira-kira dia bermukim? pikirku dalam hati. Kami
masih terdiam dalam keheningan yang mulai membuagku canggung.
“Kamu marah ya kepada saya?” tanyanya akhirnya.
Aku menatap Reilley bingung. “Mengapa sayaa harus marah kepada kamu?”
“Karena sudah membuat pacar kamu babak belur,” jawabnya.
“Dia bukan pacar saya.”
“Mengapa kamu pikir saya marah kepada kamu?” tanyaku kemudian.
“Karena kamu hanya diam saja selama beberapa menit ini.”
Aku terdiam sesaat untuk mencerna kata-katanya. Aku tersenyum atas
kesalahpahaman ini. “Saya nggak marah kepada kamu. Nggak sama sekali. Brandon
laki-laki bajingan dan sudah sepantasnya dia babak belur. Sori karena dia sudah
menunjuk hidung kamu.”
Reilley mengangkat bahunya, kemudian berkata, “Bukan yang pertama kali, dan
mengapa juga kamu minta maaf untuk dia?”
Wah... aku juga tidak tahu mengapa aku melakukannya. Aduh laki-laki ini
membuatku bingung. Terutama karena aku sadar, aku sedang berdiri terimpit di
antara kedua pahanya yang terlihat kokoh di balik jeans berwarna gelap.
“Bagaimana bisa sih kamu date dengan laki-laki bajingan seperti dia?” tanya
Reilley, mengeluarkanku dari rasa ketidaknyamanan.
Aku ada dua jawaban untuk pertanyaan itu. Pertama, ketika aku bertemu
dengan Brandon aku masih muda. Brandon terlihat seperti laki-laki sempurna
bagiku pada saat itu. Kedua, aku cinta mati kepadanya hampir pada pandangan
pertama. Aku ini perempuan tolol, yang sudah terlalu percaya dengan segala katakata
manis yang keluar dari mulut Brandon. Aku seharusnya tahu, sebagai seorang
pengacara, mengeluarkan kata-kata puitis adalah keahliannya dan sudah menjadi
bagian dari dirinya.
Bukannya menjawab pertanyaan Reilley, aku malahan lebih memilih menutup
kotak P3K dan mengembalikannya ke dalam mobil. Melihatku tidak menjawab
pertanyaannya, Reilley lalu turun dari atas kap mobilku.
“Saya sebaiknya mengecek Brandon,” ucapku. Meskipun aku sangat membenci
Brandon karena telah membohongiku dan tidak peduli bila dia kehilangan testiclenya
karena tendanganku, aku toh sudah menghabiskan tiga tahun hidupku
bersamanya. Aku bahkan sempat merasa bahagia bersamanya. Melihatnya lagi
malam ini membuatku teringat, aku dulu pernah mencintainya. Oleh karena itu, aku
tidak bisa tidak memedulikannya sama sekali.
Reilley mengangguk. “Apakah kamu perlu bantuan saya?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Nggak, saya bisa mengatasi dia. Terima kasih sudah
menawarkan bantuan.”
Aku baru akan melangkah pergi ketika tatapanku tertuju pada sweater biru tua,
yang membungkus tubuhnya dengan sempurna itu. Kini sweater itu telah dinodai
oleh empat titik berwarna gelap. Aku lalu mengambil dompetku dari dalam mobil
dan mengeluarkan kartu namaku. Di belakang kartu nama itu kutuliskan nomor
telepon selularku.
“Sori soal sweater kamu. Bisa tolong kirimkan tagihan dry cleaning-nya ke saya?”
Kuserahkan kartu namaku kepada Reilley, yang menatap kartu namaku kemudian
wajahku. Dia terlihat bingung.
Don‟t worry about it,” ucapnya, sambil menggerakkan tangannya di depan
wajahku. Untuk pertama kalinya aku bisa melihat logo sweater itu.
Holy shit!” teriakku.
Reilley langsung mundur selangkah karena kaget. “What‟s wrong?” tanyanya
khawatir.
Sweater kamu Armani!” jawabku masih berteriak.
Yeah, so what?” Reilley masih terlihat bingung. Ia menatap sweater yang
dikenakannya, kemudian mengalihkan tatapannya kepadaku.
It‟s expensive like hell that‟s what!” teriakku putus asa.
“Ini cuma sweater.” Kini Reilley terdengar tidak peduli sambil menatap sweater
yang dikenakannya itu lagi.
Nooo... harganya seperempat gaji saya. Sudah begitu, kena darah pula.”
Reilley menatapku, kemudian menoleh ke kiri dan tatapannya terfokus pada
sesuatu. Aku menolehkan kepalaku, dan melihat Brandon sedang memperhatikan
kami sambil mengerutkan keningnya. Tampaknya dia sudah pulih dari
tendanganku.
“Dia lebih memerlukan perhatian kamu daripada sweater saya. Kamu sebaiknya
cek dia, sebelum dia mulai satu lagi sesi adu jotos dengan saya,” ucap Reilley.
“Tapi...” ucapku ingin protes.
Reilley sudah memutar tubuhku dan mendorong aku berjalan menuju Brandon.
Kutolehkan kepalaku kepada Reilley, ia melambaikan tangannya dan menunjuk ke
arah Brandon lagi.
Bye,” ucapku pelan, dan berjalan menuju Brandon yang masih mengenakan
kostum Zorro.

“Zorro from hell,” gerutuku.


BLIND DATE - PART 4

2 comments:

  1. Part 5 gk bisa di buka.... sedang seru2 x....Ya kecewa dgn diri sendiri karna gk punya buku x....

    ReplyDelete