4
Zorro From Hell
TANGGAL
31 Oktober pun tiba, dan untuk pertama kalinya selama tiga tahun
terakhir
ini aku akan menghadiri pesta Halloween yang diadakan kantorku tanpa
ditemani
Brandon. Aku merasa agak sedikit canggung datang sendiri karena
biasanya
aku dan Brandon selalu mengenakan kostum yang akan melengkapi satu
sama
lain. Dua tahun yang lalu kami memakai kostum sebagai Bonnie dan Clyde,
pasangan
bandit yang terkenal pada era tahun 30-an. Tahun lalu Brandon
mengenakan
kostum Popeye dan aku sebagai Olive.
Tahun
ini aku terpaksa mengenakan kostum biarawati. Sejujurnya, kostum ini
bukan
pilihanku. Aku terpaksa mengambilnya karena pilihan lain yang tersisa
adalah
menjadi seekor kelinci paskah berwarna pink
dengan ukuran bokong yang
superbesar
atau menjadi putri duyung. Aku langsung menolak kostum putri
duyung
karena udara sudah terlalu dingin bila harus mengenakan BH saja. Selain
itu,
akut idak berani memamerkan perutku yang agak buncit kepada teman-teman
kantor.
Mereka bisa langsung pingsan melihatku. Titania Larasati, satu-satunya
pegawai
yang orang Asia dan sangat konservatif, tiba-tiba muncul dengan hanya
mengenakan
BH dan selembar kain tipis berwarna hijau yang menutupi pinggul
hingga
ke mata kaki dengan potongan yang sangat ketat.
Inilah
konsekuensi yang harus aku terima jika baru pergi ke toko yang
menyewakan
kostum pada detik-detik terakhir. Mungkin kalau aku tinggal di New
York
hal ini tidak akan menimbulkan masalah karena di kota-kota besar biasanya
terdapat
beberapa toko yang menyewakan kostum untuk Halloween. Aku kan
tinggal
di salah satu kota terkecil di Amerika Serikat, dan di Winston hanya ada dua
toko
yang menyewakan kostum untuk Halloween. Satu toko dikhususkan untuk
anak-anak
berumur dua belas tahun ke bawah, sedangkan satu toko lagi untuk
remaja
dan orang dewasa. Sejujurnya, aku sudah berniat tidak datang ke pesta
Halloween
tahun ini, tetapi Halloween adalah salah satu liburan yang aku paling
sukai.
Sejak aku SMA dan pindah ke Amerika, aku tidak pernah melewatkan
kesempatan
menanggalkan identitasku dan berpura-pura menjadi orang lain,
walaupun
hanya untuk beberapa jam.
Bukannya
aku ada masalah dengan „diri‟ku. Aku sangat
menyukai siapa aku
dari
ujung rambut hingga ujung kaki. Hanya saja terkadang aku ingin melarikan diri
dari
segala tekanan yang ada di sekitarku. Sebagai anak paling besar, aku sudah
terbiasa
mandiri sejak SD. Meskipun aku tahu adikku bisa menjaga dirinya sendiri,
aku
selalu merasa bertanggung jawab menjaganya. Aku selalu berusaha
mendahulukan
kepentingannya daripada kepentinganku. Didi terlahir menjadi
seorang
pemikir. Oleh sebab itu, aku sangat mendukungnya ketika dia berniat
mengambil
S3, meskipun itu berarti dia tidak akan memiliki penghasilan sendiri
selama
lima tahun ke depan. Dengan diterimanya Didi di Program S3 Psikologi
pada
salah satu universitas terbaik di Amerika, maka kecil kemungkinan baginya
memiliki
waktu untuk mencari suami dan memberikan cucu bagi ibu dan bapakku.
Akhirnya,
semua tanggung jawab itu jatuh ke aku.
*
* *
Didi
dan orangtuaku tentunya tidak pernah memintaku memikul semua tanggung
jawab
itu, tetapi aku tetap merasa itulah tugas seorang kakak. Sepanjang hidupku,
aku
sudah menata semua rencana hidupku dengan rapi dan penuh perhitungan.
Aku
bahkan memiliki rencana cadangan jika rencana utama tidak berjalan sesuai
yang
kuinginkan. Tentu saja semua rencana itu tidak mempersiapkanku untuk
menghadapi
perselingkuhan orang yang menjadi pusat semua rencana yang
menyangkut
masa depanku. Setelah aku pikirkan semuanya kembali, aku tidak tahu
mengapa
aku bisa bertahan hidup dengan Brandon selama hampir tiga tahun.
Brandon
bahkan tidak pernah mengutarakan keinginannya menikahiku. Memang
kata
cinta sering diucapkannya, terutama jika dia sedang memohon kepadaku agar
mau
melepaskan keperawananku untuknya. Namun demikian, tidak sekali pun dia
menyinggung
tentang pernikahan.
Selama
ini aku telah membohongi diriku sendiri dengan mencoba meyakinkan
diriku
bahwa kata cinta dari Brandon berarti pernikahan dengannya suatu hari
nanti.
Aku telah menginvestasikan tiga tahun hidupku bersama Brandon. Kalau saja
investasi
itu bisa diuangkan, mungkin aku sudah menjadi kaya. Aku mematut
diriku
sekali lagi di depan cermin panjang di kamarku. Ternyata memang ada
untungnya
berkostum sebagai biarawati karena bentuk tubuhku betul-betul tidak
kelihatan
sama sekali. Hal itu berarti aku bisa makan sebanyak-banyaknya tanpa
harus
khawatir perutku akan bertambah buncit. Sambil tersenyum aku pun
mematikan
lampu kamar dan beranjak menuju mobil.
*
* *
Pesta
Halloween tahun ini seperti biasa diadakan di Embassy Suites, sebuah hotel
yang
cukup jauh dari rumahku. Ketika aku memasuki lobi hotel, aku langsung
merasakan
beberapa pasang mata menatapku penasaran. Aku melihat Kathy, rekan
kerjaku,
memakai kostum Wilma Flinstone. Aku melambaikan tangan dengan
semangat
sambil berjalan ke arahnya. Kulihat Kathy memicingkan matanya, dia
terlihat
ragu. Kulihat Kathy memicingkan matanya, dia terlihat ragu. Setelah aku
hanya
tinggal satu meter darinya, Kathy berteriak, “Titania, is that you? Aww... Lorrd,
I almost didn‟t rrecognize yah!” Dengan logat yang sangat North Carolina, dia
memanjangkan
pengucapan huruf „r‟ dan mengubah „ou‟ menjadi
„ah‟.
Aku
tertawa melihat reaksinya. “Bagaimana penampilanku?” tanyaku.
Kathy
menatap wajahku yang tanpa makeup, seluruh tubuhku yang dilapisi
jubah
hitam, dan kakiku yang ditutupi sepatu bot berwarna hitam.
“Well, yah definitely look
different and I‟m suh that people won‟t know it‟s yah „til you
tol „em.”
Untungnya
Kathy tidak menyinggung soal Brandon. Semua orang di
departemenku
sudah tahu mengenai berakhirnya hubunganku dengan laki-laki
bajingan
itu. Mereka sempat terkejut ketika aku memberitahu bahwa aku dan
Brandon
sudah tidak sama-sama lagi, tetpai aku tidak mengatakan alasannya.
Mereka
hanya tahu sudah tidak ada kecocokan lagi di antara kami berdua.
“Apakah
semua orang sudah sampai?” tanyaku. Tiba-tiba aku mendengar bunyi
musik
yang cukup keras dari ballroom, yang pintunya terbuka.
“Most of „em arrre. Therrre are
some that I dont rrrecognize and we‟re not s‟posed to ask
until midnight when the parrrty is
over and eve‟ryone can take off their masks.”
Aku
hampir lupa dengan peraturan itu. Tentunya selama ini aku tidak pernah
ada
masalah mengenali siapa pun juga karena kebanyakan mereka mengenakan
kostum
tanpa menutupi wajah. Tahun ini tampaknya ada trend kostum
baru.
Banyak
wanita dan laki-laki yang seliweran mengenakan topeng. Beberapa dari
mereka
mengenakan topeng bulu-bulu yang hanya menutupi bagian kening hingga
hidung.
Beberapa lainnya mengenakan topeng yang menutupi separo wajah ala
Phantom of the Opera. Banyak juga yang menutupi seluruh wajah dengan tiruan
topeng
Hannibal Lecter. Aku hampir bergidik ketika melihat seseorang melewati
kami
dengan mengenakan topeng karakter antagonis di film Saw.
“Mengapa
sih mereka pakai topeng?” tanyaku pada Kathy, yang
menggandengku
menuju ballroom.
“I ain‟t got a clue, honey. Jujur saja, mereka bikin aku agak waswas. You better be
real careful coz people will act
cra-ha-zy if they think that nobody can know who they are
when they‟re doing it.”
Aku
mengangguk mendengar nasihatnya. Kathy lalu membuka pintu ballroom,
dan
aku langsung terkesima. Ruangan itu telah disulap menjadi klub malam ala
tahun
70-an. Semuanya terlihat retro
abis, mulai dari lampu kristal yang
memantulkan
cahaya ke lantai dansa di tengah ruangan hingga kursi-kursi yang
bertebaran
mengelilingi ruangan itu. Satu-satunya yang menandakan kita sedang
berada
pada abad ke-21 adalah musik yang terlantun dengan keras dari beberapa
speaker yang tergantung rendah di langit-langit ballroom.
“Aku
mau ambil minum, kau mau?” teriak Kathy, meningkahi suara Justin
Timberlake.
Aku
menggeleng. Kathy lalu menghilang di antara kerumunan orang-orang. Di
bawah
lampu yang remang-remang pelan-pelan aku berjalan mengelilingi lantai
dansa
yang sudah cukup penuh. Ada Hillary Clinton yang sedang berdansa dengan
P.Diddy,
Shakira dengan Harry Potter, laki-laki ubanan dengan kimono tidur
berwarna
merah sedang berdansa dengan dua orang wanita yang bergaya seperti
Playboy Bunnies. Aku kemudian sadar bahwa laki-laki ubanan yang berdansa
dengan
mereka adalah Hugh Hefner. Bukan raja majalah khusus untuk laki-laki
yang
asli tentunya, tapi cukup mirip untuk jadi kembarannya. Kemudian kulihat
ada
yang mengenakan kostum Batman. Aku harus menahan tawaku ketika sadar
bahwa
orang itu adalah Linnell, bosku. Kostum yang ketat itu tidak bisa
menutupiperutnya
yang buncit. Dia kelihatan mengalami masalah untuk bernapas
dalam
kostum itu. Aku merasa kasihan kepadanya. Kuputuskan menghampirinya,
tetapi
tiba-tiba ada yang menarik lenganku.
“Can I have this dance?” tanya suara itu, yang terdengar berat dan dalam.
Ketika
aku berpaling, aku berhadapan dengan Zorro. Aku betul-betul sedang
tidak
mood berdansa. Kuperhatikan sekelilingku, mencoba mencari Kathy yang
bisa
menyelamatkanku,
tetapi aku tidak melihat Wilma Flinstone di mana pun juga. Aku
kembali
menghadapi Zorro smabil mempertimbangkan pilihanku.
“Hanya
satu dance saja kok. Anggap saja sebagai sumbangan, sister?” Sepasang
mata
cokelat di balik topeng Zorro itu terlihat sedang menari-nari. Dia
memanggilku
dengan kata “sister”, kata yang digunakan di Amerika untuk para
biarawati.
Mau
tidka mau aku jadi tersenyum. Ada sesuatu yang terlihat familiar pada
dirinya,
tetapi aku tidak merasa pasti. Aku lalu membiarkan diriku dituntunnya ke
lantai
dansa. Sebuah lagu rap melantun dengan keras. Aku mencoba mengikuti
ketukan
lagu itu. Aku merasa agak risi dengan kostum panjangku yang tidak
memberikanku
keleluasaan bergerak. Berbeda denganku, Zorro seakan-akan tidak
memiliki
masalah sama sekali untuk bergerak mengikuti tempo lagu. Dia bahkan
menggunakan
pedangnya ketika sedang menari. Beberapa orang yang sedang
berdansa
di sekeliling kami sampai tersenyum melihat tingkah lakunya.
Mula-mula
aku masih mengkhawatirkan reputasiku di depan orang-orang
kantorku
bila nge-dance dengan gaya yang terlalu heboh. Setelah sadar bahwa tidak
akan
ada yang bisa mengenaliku maka aku mulai menanggalkan “Titania Larasati
yang
penuh dengan rencana masa depan” menjadi “Titania Larasati yang tidka
peduli
apa yang akan terjadi besok”. Kulenggokkan pinggulku dengan lebih
percaya
diri, kumainkan mataku untuk menggoda Zorro, bahkan membasahi
bibirku
agak terlihat lebih seksi. Zorro melahap semuanya dengan tatapannya, dan
mendekatkan
dirinya kepadaku. Setelah beberapa lagu bertempo cepat, musik mulai
berganti
dengan lagu-lagu bertempo lambat. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku
berdansa
dengan Zorro, tetpai tiba-tiba aku merasa haus.
Aku
lalu memberi isyarat kepada Zorro bahwa aku akan pergi mengambil
minum.
Seperti yang sudah kusangka, dia mengikutiku ke bar yang terlihat agak
sepi.
Penerangan di situ bahkan lebih minim dibandingkan di lantai dansa. Aku
melirik
jam tanganku, yang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. Gila!!! Aku
sudah
berdansa dengan laki-laki tidak dikenal ini selama satu jam lebih. Aku hanya
memesan
sebotol corona kepada bartender, dan duduk di salah satu kursi bar yang
tinggi.
Zorro kemudian duduk di sebelahku sambil menggenggam botol budweiser.
Suara
musik di bar ternyata tidak sekeras di lantai dansa.
“Kamu
datang sendiri?” tanya Zorro.
Aku
memikirkan pertanyaan itu sejenak. Aku tidak mengenal laki-laki ini.
Jangan-jangan
dia seorang pembunuh berantai. Aku memilih jalan aman, dan
menjawab,
“Nggak, saya datang bersama teman.”
“Pacar?”
Aku
menggeleng. “Kamu sendiri?” tanyaku.
“Sendiri
saja,” jawabnya.
Kami
lalu terdiam sesaat sambil menikmati minuman masing-masing. “Kostum
kamu
seru juga,” ucap Zorro lagi, sambil menunjuk kostumku.
“Kamu
juga,” balasku, sambil menunjuk pedangnya yang terbuat dari besi.
“Mengapa
jadi biarawati?” tanya Zorro, sambil menatapku dalam.
Aku
mengangkat bahu. “Hanya ini yang tersisa.”
Zorro
lalu menghadapku, kemudian mendekatkan kepalanya dan membisikkan
sesuatu
kepadaku. Otomatis aku pasti mendekatinya. “Untung saja kamu bukan
biarawati
betulan, soalnya saya memikirkan hal-hal yang saya ingin lakukan ke
kamu
yang nggak seharusnya saya pikirkan,” bisiknya. Ia menarik kepalanya sambil
tersenyum.
Sekali lagi suara hatiku berkata ada sesuatu yang familiar tentang
dirinya,
tetapi aku menepiskan kata hatiku itu.
Aku
tahu, seharusnya aku berdiri pada saat itu juga dan meninggalkan laki-laki
tidak
tahu tata krama itu. “Hal-hal seperti apa?” Sebelum aku bisa mengontrol
lidahku,
kata-kata itu sudah keluar dari mulutku. Setelah beberapa bulan ini dating
dengan
beberapa laki-laki, aku mulai mendapatkan kembali keahlianku flirting
dengan
mereka yang sempat hilang.
Kulihat
mata Zorro melebar di balik topengnya. “Come
with me and I‟ll show you,”
ucapnya,
dengan suara serak.
Aku
memutar kursiku dan menghadapnya sambil tertawa cemas. “I‟m not gonna
come with you sampai saya tahu kamu siapa,” balasku.
“Oh,
kamu tahu siapa saya.” Zorro terlihat menikmati permainan ini.
“Oh,
ya?” Hal ini menjelaskan mengapa beberapa hal mengenainya sangat
familiar
bagiku. Kupicingkan mataku curiga. “Look. Saya nggak mau play
games
malam
ini. Jadi, bagaimana kalau kamu lepas topengmu supaya saya bisa melihat
wajah
kamu,” ucapku cepat.
Bartender
yang terlihat sedang mencuci gelas menatapku. Dari matanya dia
seperti
menanyakan, apakah aku memerlukan pertolongannya. Aku menggeleng
sedikit,
menandakan aku masih bisa mengatasi keadaan. Bartender itu lalu kembali
mencuci
gelas-gelas, tetapi dia terlihat mendengarkan percakapanku dengan Zorro
lebih
saksama.
“Selalu
perlu mengontrol semuanya.” Suara Zorro seperti membelai wajahku.
Kemudian
Zorro turun dari kursinya dan berdiri di hadapanku. Lututku
bersentuhan
dengan pinggulnya. Tanpa kusangka-sangka kemudian dia menyentuh
kedua
pahaku. Ia memaksaku membuka kedua kaki, kemudian memposisikan
dirinya
di antaranya. Dia lalu menarikku ke dalam pelukannya. “Coba kamu ingatingat
lagi,”
ucapnya, kemudian sebelum aku bisa melakukan apa-apa dia sudah
mencium
bibirku.
Ciuman
itu terasa panas dan mendesak hingga aku tidak bisa bernapas. Otakku
tidak
bisa bekerja, yang bisa kulakukan hanya berpegang erat ke dirinya dan
menikmati
saat-saat ini. Sudah hampir enam bulan berlalu, dan hal ini membuatku
sedikit
haus akan sentuhan laki-laki pada bibir, mulut, dan lidahku. Tiba-tiba
bibirnya
meninggalkan mulutku dan beralih menyusuri dagu hingga telingaku. Aku
hanya
bisa mendesah dan mengizinkannya melakukan itu.
“I like the way you kiss,” bisiknya. Aku hanya bisa menarik napas karena
embusan
napasnya tengah menggelitik wajahku. “Kayaknya saya satu-satunya lakilaki
untuk
kamu,” lanjutnya, dengan bisikan yang semakin menggoda. Samar-samar
kudengar
suara Mariah Carey menyanyikan lirik lagu “We Belong Together”.
Pada
saat
itu juga aku tersadar oleh bunyi “KLIK” yang sangat keras. Buru-buru
kuletakkan
kedua telapak tanganku di dadanya dan mendorongnya dengan sekuat
tenaga.
Zorro harus mundur beberapa langkah untuk menjaga keseimbangannya
dan
menabrak meja bar.
Tanpa
memedulikan bartender yang sedang berjalan ke arahku, aku beranjak
turun
dari kursi. Kutatap mata Zorro dalam-dalam, kemudian menarik topeng
hitam
yang menutupi wajahnya dengan tangan kananku. Ketika aku bisa melihat
seluruh
wajahnya, yang aku bisa lakukan hanya berdiri diam menatap wajah itu.
Wajah
Brandon yang sedang menatapku dengan penuh kemenangan.
“Hey, babe,” ucapnya, seperti orang tidak bersalah.
Aku
langsung merasa mual. Tanpa berkata-kata lagi aku langsung berbalik
badan
menuju pintu keluar ballroom. Aku bahkan tidak menoleh ke belakang untuk
memastikan
apakah Brandon mengikutiku atau tidak. Aku mencoba menyeka
bibirku
dengan tangan. Sebetulnya, aku ingin pergi ke kamar mandi dan mencuci
mulutku
dengan Listerine sebanyak sepuluh kali, kemudian mnyikat gigiku sepuluh
kali
juga.
Bagaimana
mungkin aku tidak mengenalinya? Aku pacaran dengannya selama
tiga
tahun. Aku seharusnya tahu bentuk wajahnya, badannya, suaranya, dan cara
dia
menciumku. Pokoknya, aku seharusnya mengenali dia. Aku bahkan seharusnya
mengenali
keahliannya menarik perhatian wanita mana pun hanya dengan kedipan
matanya.
Aku pun pernah jatuh cinta kepadanya karena itu. Bagaimana mungkin
aku
jatuh pada perangkap yang sama untuk yang kedua kalinya? Ternyata usahaku
menghapuskan
Brandon dari pikiranku cukup sukses karena aku betul-betul tidak
bisa
mengenalinya lagi. Kalau saja tadi dia tidak mengatakan kata-kata itu maka
mungkin
aku tidak akan pernah tahu hingga waktunya membuka topeng sekitar...
aku
melirik jam... setengah jam lagi. Sialan... sialan... sialan, geramku dalam
hati.
Aku
meninggalkan bunyi musik, yang kini membuatku pusing, di belakangku
dan
menuju pelataran parkir. Kukeluarkan kunci mobil dari saku kostum
biarawatiku.
Baru pada saat itu aku mendengar bunyi langkah di belakangku. Aku
tidak
perlu menoleh untuk mengetahui bahwa itu adalah Brandon. Aku tahu cara
dia
berjalan, yang selalu terkesan seperti sedang berbaris dengan menghantamkan
kakinya
kuat-kuat pada lantai.
“Go away, Brandon!” teriakku, tanpa menoleh dan mempercepat langkahku.
“Hey,
tunggu! Aku perlu bicara dengan kamu.” Kudengar langkah Brandon
juga
semakin cepat.
Mendengar
kata-kata itu aku menghentikan langkahku dan berbalik
menghadapnya.
“Aku nggak mau bicara dengan kamu, oke. Aku bahkan nggak
mau
lihat muka kamu lagi. Bukankah aku sudah jelaskan semua terakhir kali aku
bicara
dengan kamu?” Aku mengatakan semua itu sambil bertolak pinggang.
“Kamu
nggak kelihatan keberatan melihat mukaku ketika kamu mencium aku
beberapa
menit yang lalu.”
“Itu
karena aku nggak tahu kalau itu kamu,” geramku. “Bagaimana kamu bisa
masuk
ke party ini sih? Ini kan private
party.”
“Aku
hanya bilang ke orang-orang yang menjaga pintu bahwa aku date kamu
malam
ini, dan mereka izinkan aku masuk.”
Aku
menarik napas dalam-dalam. Brandon mungkin seorang buaya darat, tapi
dia
buaya darat yang cerdas. Dulu aku sangat menghargai betapa pintar dan
kreatifnya
Brandon, tetapi tidak sekarang.
“Bagaimana
kamu... Ah, masa bodoh deh,” ucapku, lalu kembali berjalan ke
mobil.
Aku sebenarnya ingin menanyakan, dari mana dia tahu aku ada di pesta ini?
Rasanya
aku tahu jawabannya. Perusahaanku selalu menyewa ballroom di hotel ini
setiap
tahunnya untuk mengadakan pesta Halloween atau pesta apa pun juga.
Brandon
cukup mengenalku dan tahu aku tidak akan mungkin melewatkan
perayaan
Halloween.
“Titania,
tunggu! Aku betul-betul perlu bicara dengan kamu!” teriak Brandon.
“Bukannya
kamu seharusnya ada di Tennessee?” tanyaku, sambil terus berjalan
menuju
mobil.
“Aku
kembali untuk berkunjung,” jawabnya. Kemudian dia melanjutkan,
“Tunggu
sebentar... bagaimana kamu bisa tahu kalau aku seharsunya ada di
Tennessee?”
tanyanya, dengan nada sedikit bingung.
“Steve
yang memberitahu aku,” balasku. Di antara beberapa hal lainnya, ucapku
dalam
hati.
“Have you been checking up on me?”
Kata-kata
itu membuatku sekali lagi berhenti melangkah dan menatapnya.
“Brandon,
di planet mana sih kamu hidup selama beberapa bulan ini? Mengapa juga
aku
harus checking up on you?”
“Karena
kamu masih cinta kepadaku, tetapi kamu nggak mau mengakui,” jawab
Brandon,
penuh kepastian.
Saat
itu juga emosiku bergejolak. Kutatap Brandon sedalam-dalamnya, tidak
percaya
bahwa dia baru saja mengatakan kalimat itu.
“Apakah
kamu lupa minum obat hari ini?” tanyaku akhirnya.
“Obat?
Untuk apa?”
“Untuk
gejala delusional kamu.”
Brandon
mengerutkan dahinya sebelum membalasku, “Aku nggak delusional.
Aku
tahu kamu masih cinta kepadaku, seperti aku cinta kepada kamu. Jadi,
bagaimana
kalau kita lupakan saja yang sudah terjadi dan mulai lagi dari awal?”
“Hah...
apa kamu pikir aku bisa lupa begitu saja setelah melihat kamu ML
dengan
asisten kamu di kantor?”
“I‟m happy to let you know that she
is out of my life. Dia nggak berarti apa-apa
untuk
aku, begitu juga yang lainnya. Aku cintanya hanya kepada kamu,” jawab
Brandon.
“Itu
nggak membuat semuanya baik-baik saja, oke? Aku nggak mau lagi
mendengarkan
semua kebohongan yang keluar dari mulut kamu. Ever. I‟m done with
you.”
Aku
lalu berjalan menuju mobil dengan langkah lebih cepat. Kudengar Brandon
memanggil-manggil
namaku, tetapi aku tidak menghiraukannya. Tiba-tiba
kurasakan
pergelangan tanganku ditarik dengan kasar dan tubuhku diputar
menghadap
Brandon.
“Kamu
bisa nggak sih stop sebentar dan dengarkan aku?” geramnya, sambil
mencengkeram
kedua lengan atasku.
“Aku
nggak mau stop atau dengarkan atau melakukan apa pun untuk kamu,
Brandon.
Sekarang lepaskan!” Kucoba melepaskan diri dari cengkeramannya, tetapi
Brandon
tetap tidak melepaskanku.
“Lepaskan...
Brandon... lepas... atau sumpah aku akan...”
“Hey... let her go.” Tiba-tiba kudengar suara laki-laki berteriak dari
belakangku.
Terkejut
oleh teriakan itu, Brandon melepaskan cengkeraman tangan kirinya,
tetapi
tangan kanannya masih mencengkeram lenganku. Aku pun menoleh dan
langsung
mengenali laki-laki berbadan besar yang sedang berjalan ke arahku.
Seperti
terakhir kali aku melihatnya, dia hanya mengenakan sweater turtleneck di atas
celana
jeans dan tanpa jaket.
“Reilley!”
teriakku.
Reilley
memicingkan matanya sesaat untuk mengenali wajahku sebelum
berkata,
“Titania?” dengan nada terkejut. Tatapannya kemudian tertuju pada
kostum
biarawati yang kukenakan, dan aku bersumpah... aku melihatnya
tersenyum.
“And I‟m Brandon, now run along,
pretty boy.” Cara Brandon mengatakan kata
“pretty boy” dengan penuh kebencian membuat tubuhku menjadi dingin. Tidak
ada
laki-laki
mana pun di atas usia tiga puluh tahun, yang akan tinggal diam bila
dipanggil
“pretty boy”. Aku yakin sebentar lagi kepalan tinju akan mulai melayang.
Aku
akan berada di antara laki-laki yang melayangkan kepalan tinju dengan
targetnya.
Kualihkan
perhatianku dari wajah Brandon ke Reilley dengan perasaan waswas.
Akan
tetapi, yang kulihat justru membuatku bingung. Bukannya terlihat marah,
Reilley
justru terlihat terhibur dengan kata-kata Brandon.
“Now that‟s a thought. I never
think of myself as being pretty. Attractive, maybe, but
definitely not pretty,” ucap Reilley santai.
Meskipun
hatiku sedang galau, aku harus mengakui bahwa kata “pretty” sama
sekali
tidak bisa menggambarkan dirinya. Dia lebih terlihat seperti patung Adonis
Yunani.
Seksi dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Ini
bukan urusan kamu. Ini antara saya dengan pacar saya. Jadi, kalau kamu
nggak
keberatan...”
“Mantan
pacar!” teriakku ganas. Mau tidak mau aku harus meluruskan
khayalan
Brandon, yang seolah-olah mengelabui pikirannya. “Nggak ada apa-apa di
antara
kita, Brandon, sudah tidak lagi.” Kutarik lenganku dari cengkeram Brandon,
dan
dia melepaskanku.
Reilley
terlihat melpiat kedua tangannya di depan dadanya yang bidang. “Well,
kelihatannya
kamu yang harus pergi, pretty
boy.”
Mau
tidak mau aku jadi tersenyum mendengar Reilley melempar balik kata-kata
Brandon,
dan dia terlihat terkejut. Beberapa detik berlalu, dan aku berpikir Brandon
akan
melangkah pergi dan meninggalkanku seperti yang terjadi beberapa bulan
yang
lalu ketika dia berhadapan dengan dua laki-laki yang rela membelaku. Tibatiba,
bagaikan
seekor banteng yang melihat kain merah, Brandon menyerang
Reilley.
Gayanya pun sudah seperti banteng, ia sedikit membungkuk untuk
menyerang
bagian tengah tubuh Reilley. Selanjutnya, mereka bergumul di aspal
pelataran
parkir. Aku mendengar bunyi kepalan tinju mengenai sesuatu yang keras,
yang
diikuti dengan teriakan, “Shit,
my eye... my eye!”
Aku
tidak tahu siapa yang berteraik, tetapi melihat posisi Reilley yang berada di
atas
Brandon, aku menduga yang berteriak Brandon.
“Guys... guys... stop it!” teriakku panik. “Bisa nggak sih kita omong ini semua
layaknya
orang dewasa?”
Mereka
seakan-akan tidak mendengarku, bahkan kedua laki-laki itu terus
terlibat
perkelahian. Andai saja aku punya peluit, yang bisa aku gunakan untuk
menarik
perhatian mereka? Tampaknya meskipun aku meniup benda itu sampai
mukaku
biru, mereka tetap tidak akan berhenti berkelahi hingga salah satu dari
mereka
terkapar dan babak belur. Aku mendengar bunyi cling... cling... cling... yang
kemudian
aku sadari berasal dari pedang Zorro Brandon. Mau tidak mau aku jadi
tersenyum.
Seingatku dari semua film Zorro yang pernah aku tonton, aku tidak
pernah
melihat jagoan berjubah hitam dengan gaya misterius itu berhadapan
dengan
musuhnya tanpa menggunakan pedangnya.
“Let me blacken that other eye for
you.” Kudengar Reilley berkata sebelum dia
melayangkan
kepalan tinjunya ke arah Brandon, diikuti dengan bunyi “crack” yang
cukup
keras. Kemudian kudengar Brandon berteriak, “Oowww... that hurts you
asshole.”
Kulihat
Reilley menarik tali yang mengikat jubah Zorro Brandon ke arahnya,
dan
dia menatap Brandon dengan tajam sebelum menggeram, “Who are you calling
an asshole?”
“You. You senseless son of a bitch.”
“Apa
ibu kamu nggak pernah mengajarkan agar tidak mengucapkan kata
sumpah
serapah?”
Kudengar
suara geraman, tiba-tiba Brandon sudah mendorong tubuh Reilley
dan
posisi mereka pun berbalik. Kini Brandon berada di atas Reilley.
“Get off me you sissy.” Suara Reilley terdengar seperti guntur yang pecah di langit
menjelang
hujan.
“Jangan
pernah menghina ibu saya,” teriak Brandon ganas, sambil
menggenggam
kepala Reilley di antara kedua telapak tangannya.
Aku
melihat ke sekelilingku, mencari seseorang yang mungkin bisa
membantuku
menghentikan perkelahian ini, tetapi aku tidak melihat siapa-siapa.
Pelataran
parkir itu kosong melompong, tampaknya semua orang masih ada di
dalam
ballroom dan menikmati pesta Halloween tanpa menyadari apa yang sedang
terjadi
di luar. Menyadari bahwa aku tidak akan bisa menghentikan pergumulan itu
sendirian,
aku memutuskan mundur beberapa langkah dan menyandarkan bahu
pada
satu sisi Ford Explorer yang diparkir tidak jauh dari tempat Brandon dan
Reilley
sedang membuktikan kelaki-lakian mereka, dan menunggu. Aku bukan
orang
yang menyenangi kekerasan sehingga aku harus menutup mataku ketika
kulihat
kepala Reilley bersentuhan dengan aspal dengan bunyi yang cukup keras,
tetapi
kelihatannya kepala Reilley cukup kuat karena entakan itu tidak
memengaruhinya.
Kudengar
dia berteriak, “Damn... you fight like a girl!”
“No I don‟t,” balas Brandon tersinggung, ia menghantam wajah Reilley
dengan
kepalan
tinjunya, kemudian berusaha berdiri. Aku ragu, tetapi kelihatannya kepalan
tinju
itu mengenai Reilley tepat di hidungnya.
Kudengar
Reilley terbatuk-batuk dan mencoba berdiri juga. Melihat darah segar
menetes
keluar dari hidungnya membuatku panik.
“Reilley,
kamu berdarah!” teriakku, dan berjalan mendekatinya.
“Jangan
dekat-dekat, Titania. Kami belum selesai.” Seolah-olah tidak
mendengarku,
Reilley membalas pukulan Brandon sambil mengangkat tangannya
untuk
mengingatkanku agar tidak mendekat. Dia tidak memandangku ketika
melakukannya.
Tatapannya tetap kepada Brandon.
Kemudian
Brandon berbalik badan dan menatapku. Aku bisa melihat wajahnya
lebih
parah daripada Reilley. Mata kanannya sudah mulai tertutup karena bengkak.
Bibir
bawahnya pecah dan darah kering menempel di situ.
“Brandon.”
Suaraku terdengar tercekik.
“Aku
nggak apa-apa,” geramnya kepadaku. Ia kemudian memutar tubuhnya
menghadap
Reilley, dan berkata, “Ayo! Pukul aku sekali lagi, dan aku akan
membuat
kamu lebih babak belur!”
“Oke,
stop ini semua sekarang! Both
of you!” teriakku. “Brandon, berdiri saja
kamu
sudah nggak bisa, bagaimana kamu akan memukul Reilley?”
“Just shut up, woman!” balas Brandon, tanpa menatapku.
Aku
terdiam sesaat sebelum kata-kata Brandon betul-betul bisa aku cerna. “Apa
kamu
bilang?” Aku masih tidak percaya dengan pendengaranku. Dia baru saja
melontarkan
kata “shut up” kepadaku.
“Aku
bilang diam!” Seperti tidak memahami kesalahannya, Brandon
mengulangi
kata-kata itu sambil menatapku.
Aku
tidak tahu apa yang terjadi, tetapi aku tiba-tiba jadi kalap dan langsung
berjalan
bergegas mendekatinya dengan mengepalkan kedua telapak tanganku dan
berteriak,
“You worthless son of a bitch, how
dare you to tell me to shut up!” Aku
kemudian
melayangkan kepalan tinjuku pada wajah Brandon, yang terlihat terkejut
dengan
reaksiku.
“Titania, kamu ada apa sih?” teriaknya, sambil mencoba menutupi
wajahnya
dengan
kedua tangannya.
Aku
tidak menghiraukannya, dan tetap melayangkan kepalan tinjuku. Setelah
beberapa
detik dan menyadari kepalan tinjuku tidak bisa melukainya, aku
memikirkan
cara lain untuk betul-betul menyakiti fisik Brandon. Dengan
menggunakan
kaki kananku kutendang Brandon di selangkangannya sekuat tenaga.
Ujung
sepatu botku yang agak runcing tepat mengenai sasaran. Kudengar Brandon
berteriak
kesakitan, dan dia mundur beberapa langkah sambil membungkuk.
“That should teach you not to tell
any woman to shut up. Ever!” ancamku, dengan
sedikit
terengah-engah. Aku merasakan kemarahan yang tadi ada di dalam diriku
menghilang
perlahan-lahan. Sekarang aku mengerti mengapa laki-laki lebih
memilih
bertengkar secara fisik daripada verbal karena ternyata cara itu memang
lebih
efektif untuk melampiaskan kemarahan.
Aku
baru sadar ternyata Reilley masih ada di situ ketika kudengar suara orang
cekikikan.
Kualihkan perhatianku kepada Reilley, yang sedang membungkukkan
tubuhnya.
Aku pikir dia sedang kesakitan, tetapi kemudian aku melihat bahunya
bergerak
naik-turun dengan suara tawa yang tertahan. Kemudian dia meluruskan
tubuhnya
dan tertawa keras.
“Oh,
itu nggak ada duanya,” ucap Reilley, di antara tawanya.
Aku
menunggu beberapa saat sambil mengetukkan kakiku ke aspal. “Senang
bisa
menghibur kamu,” kataku datar, kemudian berjalan ke arahnya. “Sini aku urus
hidung
kamu.”
Seperti
baru sadar ada darah yang sedang menetes dari hidungnya dan menodai
sweater-nya Reilley berteriak, “Awww...
crap!”
Mau
tidak mau aku tertawa melihatnya. “Aku ada P3K di dalam mobil. Keep
your head back, itu akan mencegah darah terus keluar dari hidung,” ucapku,
sambil
menuntunnya
menuju mobilku yang diparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Kuminta
Reilley duduk di atas kap mesin mobil. Kuberikan selembar tisu
kepadanya,
yang bisa digunakannya untuk menghentikan darah yang mengalir ke
luar.
Sementara itu, kulepaskan kostum biarawati dan melemparkannya ke kursi
belakang
mobil. Bulu roma di punggungku langsung berdiri, bereaksi pada
pergantian
suhu tubuhku, tetapi aku tidak menghiraukannya.
Kuambil
ktoak P3K dan menghampiri Reilley. “Patah nggak?” tanyaku, sambil
mengaduk-aduk
kotak itu mencari kapas.
Dia
menekan tulang hidungnya sepelan mungkin. “Kayaknya sih nggak.” Suara
Reilley
terdengar bindeng.
“Oke,
lepaskan tangan kamu biar saya bisa lihat,” ucapku. Reilley kemudian
membiarkanku
mengangkat tisu, yang kini berwarna merah karena darah. Darah
yan
gtadi mengalir kini sudah berhenti. Aku menarik napas lega.
“Tahan
napas kamu!” perintahku, dan segera membersihkan bekas-bekas darah
yang
masih tersisa di atas bibir dan dagunya dengan kapas yang sudah dibasahi
alkohol.
Selama melakukan itu semua aku mencuri-curi mencium aroma Reilley
dalam-dalam.
Aromanya menghantui pikiranku sehingga membuatku mencarinya
di
setiap date-ku selama tiga minggu terakhir ini. Ketika aku membersihkan
bagian
luar
bibirnya, aku menyadari bibir itu mungkin adalah bibir terseksi yang aku
pernah
lihat. Apakah yang Reilley akan lakukan bila tiba-tiba aku menciumnya?
pikirku.
Aku menggigit bibir bawahku untuk mencegah diriku melakukan tindakan
yang
ada di pikiranku.
Reilley
tidak mengatakan apa-apa selama jari-jariku bersentuhan dengan
kulitnya.
Dia hanya menatapku dengan mata birunya itu. Kalau saja dia mengetahui
fantasiku
tentangnya, dia mungkin akan lari pontang-panting sambil berteriak,
“She‟s crazyyyyyy...!” Sekali lagi kugigit bibir bawahku, tetapi kali ini untuk
mencegahku
agar tidak tertawa karena imajinasiku.
Setelah
wajahnya bersih kembali, aku memberikan beberapa lembar tissue
kepadanya
untuk digunakan bila ada darah yang keluar lagi. Sambil membereskan
kotak
P3K, aku mempertimbangkan bagaimana aku harus meminta maaf kepadanya
atas
kejadian malam ini. Reilley menatapku, bibirnya tertarik lurus seperti sedang
berusaha
menahan senyum, tetapi tidak berhasil.
“Apakah
kamu menginap di hotel ini?” Pertanyaan yang bodoh sebetulnya,
tetapi
setelah selama lima menit aku mencoba mencari topik pembicaraan di dalam
kepalaku
tanpa membuahkan hasil, aku tidak punya pilihan lain.
Reilley
menatapku seperti aku makhluk dari planet lain karena mengeluarkan
pertanyaan
itu, tetapi dia tetap menjawab, “Ya,” ucapnya datar.
“Untuk
kerja?” tanyaku lagi.
“Social visit. I‟m leaving tomorrow
morning,” jelas Reilley.
Jadi,
Reilley memang tidak tinggal di Winston rupanya. Inilah sebabnya aku
jarang
melihatnya. Di mana kira-kira dia bermukim? pikirku dalam hati. Kami
masih
terdiam dalam keheningan yang mulai membuagku canggung.
“Kamu
marah ya kepada saya?” tanyanya akhirnya.
Aku
menatap Reilley bingung. “Mengapa sayaa harus marah kepada kamu?”
“Karena
sudah membuat pacar kamu babak belur,” jawabnya.
“Dia
bukan pacar saya.”
“Mengapa
kamu pikir saya marah kepada kamu?” tanyaku kemudian.
“Karena
kamu hanya diam saja selama beberapa menit ini.”
Aku
terdiam sesaat untuk mencerna kata-katanya. Aku tersenyum atas
kesalahpahaman
ini. “Saya nggak marah kepada kamu. Nggak sama sekali. Brandon
laki-laki
bajingan dan sudah sepantasnya dia babak belur. Sori karena dia sudah
menunjuk
hidung kamu.”
Reilley
mengangkat bahunya, kemudian berkata, “Bukan yang pertama kali, dan
mengapa
juga kamu minta maaf untuk dia?”
Wah...
aku juga tidak tahu mengapa aku melakukannya. Aduh laki-laki ini
membuatku
bingung. Terutama karena aku sadar, aku sedang berdiri terimpit di
antara
kedua pahanya yang terlihat kokoh di balik jeans berwarna
gelap.
“Bagaimana
bisa sih kamu date dengan laki-laki bajingan seperti dia?” tanya
Reilley,
mengeluarkanku dari rasa ketidaknyamanan.
Aku
ada dua jawaban untuk pertanyaan itu. Pertama, ketika aku bertemu
dengan
Brandon aku masih muda. Brandon terlihat seperti laki-laki sempurna
bagiku
pada saat itu. Kedua, aku cinta mati kepadanya hampir pada pandangan
pertama.
Aku ini perempuan tolol, yang sudah terlalu percaya dengan segala katakata
manis
yang keluar dari mulut Brandon. Aku seharusnya tahu, sebagai seorang
pengacara,
mengeluarkan kata-kata puitis adalah keahliannya dan sudah menjadi
bagian
dari dirinya.
Bukannya
menjawab pertanyaan Reilley, aku malahan lebih memilih menutup
kotak
P3K dan mengembalikannya ke dalam mobil. Melihatku tidak menjawab
pertanyaannya,
Reilley lalu turun dari atas kap mobilku.
“Saya
sebaiknya mengecek Brandon,” ucapku. Meskipun aku sangat membenci
Brandon
karena telah membohongiku dan tidak peduli bila dia kehilangan testiclenya
karena
tendanganku, aku toh sudah menghabiskan tiga tahun hidupku
bersamanya.
Aku bahkan sempat merasa bahagia bersamanya. Melihatnya lagi
malam
ini membuatku teringat, aku dulu pernah mencintainya. Oleh karena itu, aku
tidak
bisa tidak memedulikannya sama sekali.
Reilley
mengangguk. “Apakah kamu perlu bantuan saya?” tanyanya.
Aku
menggeleng. “Nggak, saya bisa mengatasi dia. Terima kasih sudah
menawarkan
bantuan.”
Aku
baru akan melangkah pergi ketika tatapanku tertuju pada sweater biru tua,
yang
membungkus tubuhnya dengan sempurna itu. Kini sweater itu
telah dinodai
oleh
empat titik berwarna gelap. Aku lalu mengambil dompetku dari dalam mobil
dan
mengeluarkan kartu namaku. Di belakang kartu nama itu kutuliskan nomor
telepon
selularku.
“Sori
soal sweater kamu. Bisa tolong kirimkan tagihan dry cleaning-nya ke saya?”
Kuserahkan
kartu namaku kepada Reilley, yang menatap kartu namaku kemudian
wajahku.
Dia terlihat bingung.
“Don‟t worry about it,” ucapnya, sambil menggerakkan tangannya di depan
wajahku.
Untuk pertama kalinya aku bisa melihat logo sweater itu.
“Holy shit!” teriakku.
Reilley
langsung mundur selangkah karena kaget. “What‟s
wrong?” tanyanya
khawatir.
“Sweater kamu Armani!” jawabku masih berteriak.
“Yeah, so what?” Reilley masih terlihat bingung. Ia menatap sweater yang
dikenakannya,
kemudian mengalihkan tatapannya kepadaku.
“It‟s expensive like hell that‟s
what!” teriakku putus asa.
“Ini
cuma sweater.” Kini Reilley terdengar tidak peduli sambil menatap sweater
yang
dikenakannya itu lagi.
“Nooo... harganya seperempat gaji saya. Sudah begitu, kena darah
pula.”
Reilley
menatapku, kemudian menoleh ke kiri dan tatapannya terfokus pada
sesuatu.
Aku menolehkan kepalaku, dan melihat Brandon sedang memperhatikan
kami
sambil mengerutkan keningnya. Tampaknya dia sudah pulih dari
tendanganku.
“Dia
lebih memerlukan perhatian kamu daripada sweater
saya. Kamu sebaiknya
cek
dia, sebelum dia mulai satu lagi sesi adu jotos dengan saya,” ucap Reilley.
“Tapi...”
ucapku ingin protes.
Reilley
sudah memutar tubuhku dan mendorong aku berjalan menuju Brandon.
Kutolehkan
kepalaku kepada Reilley, ia melambaikan tangannya dan menunjuk ke
arah
Brandon lagi.
“Bye,” ucapku pelan, dan berjalan menuju Brandon yang masih
mengenakan
kostum
Zorro.
“Zorro
from hell,” gerutuku.
BLIND DATE - PART 4
Part 5 gk bsa di buka,,,!
ReplyDeletePart 5 gk bisa di buka.... sedang seru2 x....Ya kecewa dgn diri sendiri karna gk punya buku x....
ReplyDelete