3
Cold, Warm & Hot
AKU
betul-betul menikmati kencanku dengan Reggie Morgan. Dengan umurnya
yang
baru 26 tahun, dia sangat berambisi menjadi psikolog terbaik dan siap
membantu
setiap orang yang memerlukan bantuannya tanpa memedulikan latar
belakang
mereka. Dia berencana membuka praktek sendiri dalam waktu lima tahun
setelah
mendapatkan sertifikasi dan izin yang diperlukannya. Melihat keantusiasannya
dalam
menjalani hidup mengingatkanku akan Brandon ketika dia masih kuliah
dan
sangat menggebu-gebu ingin bekerja menjadi pengacara yang rela tidak dibayar
untuk
membela orang-orang yang tertindas. Tentunya mimpi itu langsung punah
setelah
menerima tawaran pekerjaan dengan bayaran tujuh puluh ribu dolar
setahun,
meskipun untuk membela orang yang melakukan penindasan. Aku
berharap
Reggie tidak melakukan hal yang sama.
“So, are you okay with seeing
someone who is older than you are?”
tanyaku
kepadanya,
meskipun aku sudah tahu jawabannya karena MBD tidak akan
mempertemukan
kami kalau Reggie keberatan berhubungan dengan wanita yang
lebih
tua darinya.
Reggie
menggeleng. “You‟re not that much older than I
am,” ucapnya santai.
“Apakah
kamu siap untuk suatu komitmen yang serius? Kamu masih muda.
Apakah
kamu nggak mau cari-cari dulu?” kataku lagi. Keingintahuanku telah
mengalahkan
tata kramaku, tetapi aku tidak peduli. Aku sudah membayar dua ribu
dolar
kepada MBD. Aku harus menemukan laki-laki yang bisa aku jadikan suami
sebelum
kontrakku habis. Aku tidak ada waktu untuk main kucing-kucingan.
Reggie
tertawa mendengar pertanyaanku. “Well,
ada beberapa orang yang
mengatakan
bahwa usia 27 masih terlalu muda untuk suatu hubungan yang serius.
Apakah
kamu sendiri nggak mau lihat-lihat dulu?”
Mau
tidak mau aku jadi tertawa melihat logika pernyataannya itu.
Kuperhatikan
Reggie dengan lebih teliti. Cara dia berbicara tidak seperti laki-laki
berumur
27 tahun pada umumnya. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya seperti
telah
dipikirkannya dulu masak-masak sebelum dikatakan. Pembawaannya terlalu
tenang,
yang membuatku agak sedikit malu karena aku jadi terlihat tidak sabaran
duduk
berhadapan dengannya. Reggie bahkan berdiri dari duduknya ketika aku
permisi
pergi ke toilet, hal yang tidka pernah dilakukan laki-laki mana pun
kepadaku.
Reggie mengingatkanku pada CEO perusahaan tempatku bekerja. Itu
mungkin
suatu pujian bagi kebanyakan orang, tapi faktanya CEO-ku berumur 60
tahun
dan sudah memiliki empat orang cucu.
Malam
itu kami akhiri dengan bertukar nomor telepon, tetapi aku yakin
meskipun
aku cukup menyukai Reggie hubungan kami tidak akan pernah lebih dari
hanya
sekadar teman. Secara mental dia terlalu tua untukku. Kesimpulannya,
Reggie
adalah pilihan yang salah untukku.
*
* *
Hari
Sabtu siang, aku sedang melangkah memasuki restoran untuk menemui
Gabriel
ketika telepon selularku berbunyi. Ternyata dari Sandra yang ingin
memberitahuku
bahwa Gabriel akan terlambat tiga puluh menit dari waktu kencan
yang
sudah dijadwalkan. Informasi ini membuatku sedikit jengkel karena berarti
aku
harus menunggu Gabriel di restoran. aku tidak tahu dia akan datang dari mana,
tetapi
aku tidak suka orang yang tidak bisa datang tepat waktu. Reggie yang harus
datang
dari Charlotte saja bisa sampai tepat waktu kemarin, mengapa Gabriel tidak
bisa?
Awalnya
aku menolak duduk di meja yang telah dipesan. Aku lebih memilih
menunggu
date-ku di bangku panjang dekat pintu masuk. Akan tetapi, setelah
dua
puluh
menit dan tempat itu mulai penuh dengan orang-orang yang sedang
menunggu
meja, aku pun meminta hostess restoran mengantarku ke meja yang telah
dipesan
MBD. Aku memilih hanya memesan segelas pink
lemonade, sambil
menunggu
Gabriel. Sepuluh menit kemudian aku masih belum juga melihat batang
hidungnya.
Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab. Orangtua gila mana sih yang
memberi
nama anak laki-laki mereka dengan nama salah satu malaikat? Aku sudah
semakin
kesal karena kelihatannya restoran ini salah satu restoran terfavorit di
Burlington.
Antrean orang yang menunggu meja terlihat cukup panjang. Beberapa
orang
di sekitarku mulai menatapku penuh tanda tanya. Aku bahkan hampir bisa
mendengar
pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di kepala mereka.
Mengapa dia sendirian, ya? Apakah
kamu pikir pacarnya sengaja tidak datang?
Mengapa dia belum mulai makan? Dia
sudah duduk di situ selama sepuluh menit. Dia
cukup cantik, mengapa ada orang
yang stood her up?
Aku
sudah siap menelepon MBD agar membatalkan kencanku ketika kulihat
hostess restoran yang tadi mempersilakanku duduk berjalan ke arahku
diikuti lakilaki
superganteng
yang pernah kulihat sepanjang hidupku. Dia bahkan lebih
ganteng
daripada laki-laki bermata biru yang baru-baru ini aku temui. Wajah lakilaki
yang
sekarang ada di hadapanku lebih cocok berada di karpet merah pada acara
Academy Awards bersama-sama dengan Tom Cruise atau Brad Pitt dibandingkan di
restoran
di Burlington, North Carolina, bersama-sama dengan orang-orang yang
wajahnya
lebih pantas menjadi tukang kebun dua bintang Hollywood itu.
Apakah
ini date-ku? Tidak mungkin. Buat apa laki-laki seganteng ini
memerlukan
jasa blind date untuk menemukan pasangan? Aku yakin perempuan
mana
pun akan rela mendampinginya tanpa ada insentif apa pun juga. Kulihat mata
beberapa
wanita yang duduk di meja-meja di hadapanku mengikuti laki-laki itu.
Beberapa
dari mereka bahkan mulai menelanjangi laki-laki itu dengan matanya.
Mau
tidak mau aku terpaksa tersenyum dan mengalihkan perhatianku pada telepon
selularku
lagi.
Aku
tidak mengalihkan perhatianku dari telepon selular ketika kurasakan ada
angin
yang berembus di hadapanku, efek samping ketika seseorang tiba-tiba
berhenti
di hadapanku. Tatapanku kemudian tertuju pada sepasang sepatu laki-laki,
dan
aku mendengar seseorang berkata, “This
is your table. Have a nice lunch.”
Saat
itu juga kuangkat kepalaku, dan bertatapan langsung dengan laki-laki
ganteng
tadi.
“I‟m sorry that you have to wait
for me. But my flight from Boston was delayed. I drove
as fast as I could from Raleigh.
Did MBD called to let you know that I will be late?”
Laki-laki
itu mengatakan semua itu, sambil menarik kursi yang ada di
hadapanku
dan duduk. Kemudian dia mulai membuka-buka buku menu. Aku
hanya
mengikuti gerakannya dengan mataku. Aku bisu seribu bahasa. Benar saja,
laki-laki
ganteng ini Gabriel. Date-ku siang ini. Semua kejengkelanku hilang
bagaikan
ditelan bumi, yang timbul malah justru rasa malu karena telah merasa
jengkel
terhadap laki-laki seganteng ini. Aku menarik kembali perkataanku yang
telah
menyumpahi seorang ibu, yang menamakan anaknya dengan nama salah satu
malaikat.
Jelas-jelas nama itu justru membuat laki-laki terlihat lebih seksi, terutama
laki-laki
ini. Aku berjanji akan memberi nama anak laki-lakiku Gabriel Jr. kalau
sampai
aku menikah dengannya, dan berharap agar anakku akan seganteng
ayahnya.
Beberapa
orang yang tadi menatapku penuh tanda tanya sekarang
mengerlingkan
mata mereka penuh kekaguman. Hah... tidak usah mereka, aku
bahkan
kagum dengan diriku sendiri karena bisa mendapatkan date seganteng ini.
“Oh...
di mana sopan santun saya. Saya Gabriel,” ucapnya, sambil mengulurkan
tangannya.
Entah
bagaimana aku bisa menggerakkan tanganku, yang jelas kemudian tahutahu
tanganku
sudah menjabat tangan Gabriel diikuti dengan suaraku yang
terdengar
menyebutkan namaku.
“Apakah
kamu sudah siap pesan makanan? I‟m
starving. Let‟s see what‟s good in
here.”
Seketika
aku tersadar dari keterpanaanku, dan berkata, “Shrimp ravioli dengan
white sauce kelihatannya enak.” Meskipun suaraku agak bergetar, masih
terdengar
cukup
keras dan meyakinkan.
“Kamu
ingin pesan apa?” Gabriel menatapku.
“Shrimp ravioli dengan white
sauce,” jawabku. Otakku telah bekerja kembali
dan
bisa
mengatakan kalimat itu dengan jenaka.
Gabriel
tertawa mendengarku. “Saya sebaiknya pesan pizza, soalnya pasta
nggak
akan cukup untuk saya,” balasnya, juga dengan jenaka.
“Itu
tergantung ukuran perut kamu. Tadi ketika saya menunggu kamu, saya
lihat
beberapa pesanan pasta yang sedang dihidangkan, dan ukurannya cukup
besar,”
ucapku, sambil tangan kananku menunjuk pada beberapa meja di
sekelilingku.
Gabriel
menoleh ke kiri dan ke kanan. Ketika dia berpaling lagi kepadaku, dia
menyeringai,
“Well, piring-piring itu memang besar.”
Selang
beberapa detik dia berkata lagi, “Saya tetap lebih memilih pizza. Pasta is
such a girly food.”
“Girly?” tanyaku, sambil mengernyit. “How can food be girly?”
“Kamu
nggak bisa kelihatan berantakan kalau makan pasta. Ini sebabnya
mengapa
pasta dikategorikan sebagai girly
food.”
“Apakah
kalau makan pizza bisa berantakan?”
“Ya,
dan kamu bisa makan dengan tangan.”
Aku
memandangi Gabriel dengan mulut ternganga. Dari planet manakah lakilaki
satu
ini? Aku harus pindah ke planet itu sekarang juga karena sepertinya planet
itu
bisa menghasilkan laki-laki ganteng dan humoris.
“Jadi,
pizza nggak girly karena berantakan, dan kamu bisa makan dengan
tangan?”
tanyaku merangkum percakapan kami.
“Yep.”
Kami
lalu terdiam sesaat saling tatap. Aku mencoba menyimpulkan, apakah
Gabriel
sedang meledekku dengan kata-katanya atau dia betul-betul serius. Aku
yakin
dia sedang bercanda.
“Saya
hanya bercanda,” lanjutnya, sambil tertawa dengan keras. “Coba ada
yang
bawa kamera untuk memfoto ekspresi kamu tadi. Lucu banget.”
Aku
tidak tahu seperti apa ekspresiku tadi. Aku lalu menarik napas, kemudian
berkata
dengan nada sesarkasme mungkin, “Ha... ha, bagus kalau kamu anggap
saya
lucu.”
Tawa
Gabriel semakin menjadi sehingga membuat beberapa mata menatap
kami.
Kebanyakan mata itu adalah milik wanita. Dalam tatapan mereka seolah-olah
terlintas
beberapa pertanyaan dan komentar.
Aku nggak percaya ini, dia bisa
membuat laki-laki itu tertawa sampai terbahak-bahak?
Apakah
kamu pikir dia adik laki-laki itu? Dia nggak mungkin pacarnya,
perempuan
itu terlalu biasa untuk dia.
Wow,
itu adalah gigi paling rapi yang pernah aku lihat.
Aku
masih nggak bisa percaya kalau laki-laki itu duduk dengan dia.
Apa
yang dia punya yang aku nggak punya, coba?
Aku
tersenyum karena rupanya imajinasiku sedang berlari-lari dengan liar hari
ini.
Seorang
waiter kemudian menghampiri meja kami untuk mencatat pesanan. Dia
kembali
beberapa menit kemudian membawa segelas pepsi untuk Gabriel.
“Apakah
kamu selalu kelihatan seserius ini?” tanya Gabriel setelah waiter itu
berlalu.
Aku
menatap Gabriel bingung. Apakah maksudnya dengan pertanyaan itu?
“Kamu
kelihatan... marah. Waktu saya lihat kamu tadi,” lanjut Gabriel.
“Marah?
Saya kelihatan marah?” ucapku terkejut. Apakah betul wajahku
terlihat
marah ketika melihatnya?
“Mungkin
nggak marah, tetapi... kesal,” tambahnya.
“Oh...
ituuu. Saya sebetulnya memang agak „kesal‟ kepada
kamu karena telah
membuat
saya menunggu lebih dari setengah jam. Saya sudah siap menelepon MBD
untuk
membatalkan date ini,” balasku, sengaja menekankan kata „kesal‟ dalam
penjelasanku.
“Oh,
ya? Kamu ingin membatalkan date
ini?”
Aku
mengangguk.
“Kok
nggak jadi?”
“Karena
kamu muncul dan kelihatan lebih seperti bintang film daripada seperti
layaknya
seorang banker.” Aku buru-buru menutup mulutku ketika sadar apa yan
gbaru
saja aku katakan.
Gabriel
tertawa melihat reaksiku. Untung kemudian makanan kami tiba
sehingga
aku memiliki waktu beberapa menit untuk mengatur detak jantungku
kembali
ke normal.
“Jadi,
kamu kerja sebagai financial analyst?” tanya Gabriel, setelah waiter berlalu.
Aku
sangat bersyukur dia tidak mengangkat kembali topik pembicaraan yang
tadi
sempat terputus, dan segera menjawab pertanyaannya, “Ya... di sebuah bank di
Winston-Salem.”
“Kamu
keberatan nggak kalau saya tanya-tanya mengenai beberapa investasi
saya?
Saya hanya ingin memastikan apakah saya sudah cukup berhati-hati dengan
uang
saya.”
Kami
lalu membahas tentang keadaan keuangannya secara lebih mendetail.
Secara
tidak langsung Gabriel memberitahuku bahwa dia sudah sangat mapan dan
siap
melangkah ke jenjang selanjutnya, yaitu pernikahan. Aku mencoba
membandingkan
Gabriel dengan Trevor dan Reggie. Di usianya yang sudah
menginjak
35 tahun, aku seharusnya tidak kaget jika hidup Gabriel memang sudah
mapan,
bahkan sukses. Akan tetapi, fakta itu bukannya menenangkanku, malah
justru
membuatku sulit bernapas. Pada Trevor dan Reggie, dengan usia mereka
yang
masih muda, aku bisa melihat potensi mereka dalam sepuluh tahun ke depan.
Sementara
pada Gabriel, aku melihat laki-laki yang sudah „jadi‟, yang tidak lagi
memerlukan
doronganku untuk meraih kesuksesannya. Entah mengapa, aku
merasakan
ada sedikit kekecewaan ketika menyadari hal ini.
Namun
demikian, aku tetap melihat prospek suami yang sangat sempurna pada
diri
Gabriel. Harus kuakui, secara fisik aku tidak bisa menolak rasa ketertarikanku
kepadanya.
Aku pun cukup yakin, setelah satu jam mengobrol dengannya, dia juga
tertarik
kepadaku. Aku lalu menepiskan rasa waswasku yang tidak memiliki dasar
yang
kuat, dan mencoba mengenali Gabriel lebih jauh lagi.
“Sudah
berapa lama kamu jadi anggota MBD?” tanyaku, sambil memotong kue
cokelatku
dengan sendok.
“Bulan
November ini bakalan satu tahun,” jawab Gabriel, sambil meminum
kopinya.
Mau
tidak mau keningku mengernyit. Bagaimana mungkin dia sudah menjadi
klien
MBD selama hampir setahun dan belum juga menemukan pasangan yang
cocok.
“Kamu
masih belum menemukan orang yang tepat?” pancingku.
“Saya
ketemu beberapa.”
“Terus?”
Aku mencoba menyembunyikan nada penasaran pada suaraku, tetapi
gagal
total.
Gabriel
menatapku sambil memicingkan matanya. Aku merasa dia sedang
mencoba
menilaiku. Setelah puas dengan pengamatannya, Gabriel menjawab,
“Montana.”
Aku
mengedipkan mata beberapa kali. Itu jawaban yang sama sekali tidak
masuk
akal bagiku. Apakah ada yang terjadi di negara bagian itu? Aku mencoba
mengingat-ingat
apa saja yang ada di Montana. Ada pegunungan dan peternakan
kuda,
itu saja. Setelah beberapa detik dan otakku tetap tidak bisa menemukan
penjelasan
yang lebih masuk akal, aku terpaksa bertanya, “Maksudmu?”
“Anak
gadis saya.”
Apa
yang terjadi setelah itu di luar kontrol otakku. Tiba-tiba saja mulutku
menyemburkan
lemonade yang baru saja kutelan ke wajah, tangan, dan sebagian
kemeja
Gabriel. Semua orang yang ada di sekelilingku langsung menoleh ingin
melihat
apa yang sedang terjadi di meja kami.
Hahaha... laki-laki itu pasti akan
memutuskan hubungannya dengan perempuan itu
setelah kejadian ini.
Apakah yang laki-laki itu katakan
kepadanya sehingga membuatnya bereaksi seperti itu?
Sudah aku bilang perempuan itu aneh.
Aku masih nggak percaya dia menyemburkan
minumannya ke laki-laki itu.
Sekali
lagi aku mencoba tidak menginterpretasikan tatapan orang-orang yang
ada
di sekitarku. Aku memerintahkan imajinasiku untuk diam seribu bahasa. Aku
sangat
menghargai Gabriel yang tidak marah, dia bahkan tidak terlihat tersinggung.
Dia
hanya mengambil serbet yang ada di pangkuannya untuk mengusap tetesantetesan
lemonade dari wajahnya.
“Are you okay?” tanyanya khawatir.
Tanpa
menghiraukan pertanyaannya aku meluncurkan pertanyaanku sendiri,
“Kamu
punya anak gadis?” Dengan suara yang cukup keras.
Tiba-tiba
waiter yang tadi melayani kami muncul, dan menanyakan apakah
semuanya
baik-baik saja sambil menatapku khawatir. Aku dan Gabriel mengangguk
bersamaan.
Waiter itu pun berlalu.
Aku
lalu mengulang pertanyaanku lagi, tetapi kini dengan berbisik. Gabriel
mengangguk,
dan tiba-tiba dia mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya.
“Umurnya
enam belas tahun,” ucapnya, sambil menyodorkan selembar kertas
kecil
kepadaku. Ternyata foto gadis remaja berambut hitam dengan kawat gigi.
“Wajahnya
seperti kamu.” Aku mencoba terdengar seramah mungkin sambil
membandingkan
wajah anak itu dengan Gabriel.
Gabriel
tertawa. “Dia lebih kelihatan seperti ibunya sebetulnya.”
Saat
itu aku sedang memaki-maki MBD di dalam hatiku. Bagaimana mungkin
mereka
memasangkanku dengan laki-laki yang sudah punya anak? Apakah mereka
tidak
memahami kalimat “single” se-single-single-nya? Aku ingin laki-laki yang
masih
single dan tidak pernah menikah. Gabriel jelas-jelas pernah menikah,
kalau
tidak
bagaimana dia bisa punya anak?
Aku
menggeleng dan mencoba menjelaskan keadaan ini.
“Sori,
saya seharusnya memberitahu kamu sebelumnya.” Suara Gabriel
terdengar
agak kecewa melihat reaksiku.
“Nggak...
nggak... ini bukan salah kamu. Ini salah MBD. Saya mengatakan
kepada
mereka bahwa saya hanya mau dating
dengan laki-laki single yang belum
pernah
menikah. Kelihatannya ada kesalahpahaman.” Aku mengatakan semua katakata
itu
secepat mungkin agar tidak menyinggung hati Gabriel.
“Saya
masuk ke dalam kategori itu,” balas Gabriel, dengan suara tenang.
“What?”
“Priscilla,
ibu Montana, dan saya tidak pernah menikah. Kami hidup secara
terpisah.
Priscilla meninggal dalam boating
accident enam bulan yang lalu. Jadi,
Montana
harus tinggal dengan saya.”
Aku
hanya ternganga mendengar penjelasannya. Aku merasa seperti sedang
menonton
sinetron daripada menjalankan hidupku sendiri. Bagaimana mungkin
kejadian
seperti ini bisa terjadi dalam kehidupan nyata?
“I‟m sorry about... Priscilla,” ucapku akhirnya ketika aku bisa mengeluarkan katakata
lagi.
Gabriel
mengangguk dan tersenyum.
Rasa
penasaranku seketika muncul. “Kalau usiamu 35 tahun dan Montana 16
tahun,
itu berarti dia lahir ketika usia kamu... 19?” Aku mencoba melakukan
perhitungan
itu di kepalaku.
Gabriel
tertawa mendengar pertanyaanku. “Well, saya masih muda dan berpikir
dunia
ini milik saya.” Gabiel mengedipkan mata kanannya. “Priscilla lebih sial
daripada
saya. Dia nggak pernah mencapai mimpinya jadi seorang supermodel,”
lanjutnya.
Kalau
ini dalam situasi lain, aku mungkin bisa tertawa mendengar penjelasan
Gabriel,
tetapi kini aku hanya bisa terdiam.
“Apakah
kamu berdua pacaran sejak SMA?” tanyaku, setelah beberapa menit.
“Nggak.
Kami kenal di pesta teman kuliah saya.”
Aku
pasti menatap Gariel dengan wajah penuh kebingungan karena Gabriel
tertawa
lagi.
“Kami
sama-sama drunk. Banyak hal terjadi. Ketika saya bangun, kami berdua
ada
di satu tempat tidur dan sama-sama tidak mengenakan apa pun. Sebulan
kemudian
dia datang mencari saya dan mengatakan dia hamil anak saya.” Gabriel
menarik
napas panjang sebelum melanjutkan. “Saya dibesarkan sebagai laki-laki
yang
baik dan tahu sopan santun. Saya tidak punya pilihan selain menikah
dengannya,
tapi Priscilla menolak. Dia kurang memiliki insting keibuan.
Orangtuanya
mencoba meyakinkannya agar menikah dengan saya untuk
menyelamatkan
nama keluarganya. Mereka salah satu keluarga paling berpengaruh
di
New England. Priscilla tetap menolak, kami pun berhenti meyakinkannya.”
“Montana
sekarang ada di mana?” bisikku.
“Dia
ada di salah satu boarding school di Boston. I
will never let her out of my sight
until she‟s 40. Saya tidak mau dia membuat kesalahan yang sama seperti saya dan
Priscilla.”
“Seberapa
sering kamu ketemu dengan anak kamu?” tanyaku.
“Sesering
mungkin, selama saya bisa mengambil off
dari pekerjaan saya. Liburan
Thanksgiving nanti saya akan membawanya ke Rhode Island mengunjungi
grandparents-nya.”
Rhode
Island adalah salah satu negara bagian di timur laut Ameriak Serikat,
yang
juga dikenal sebagai New England. Kebanyakan keluarga dengan old money,
yaitu
keluarga yang kekayaannya turun-temurun semenjak Amerika Serikat
merdeka
dari Inggris di tahun 1800-an, tinggal di wilayah ini.
“Orangtua
Priscilla?”
Gabriel
mengangguk. “Saya memiliki hak asuh anak penuh atas Montana, tetapi
saya
tidak bisa melarangnya bertemu dengan satu-satunya grandparents yang dia
pernah
kenal. Lagi pula, mereka mencintai Montana, begitu pula sebaliknya.”
Aku
mengangguk, menyetujui keputusannya. Aku mendengarkan cerita Gabriel
dengan
saksama. Di satu sisi aku kagum karena dia telah memikul tanggung jawab
sebesar
itu pada usia yang sangat muda dan tetap bisa meraih sukses. Di lain sisi
aku
tahu Montana-lah penyebab kenapa aku, seperti juga beberapa wanita lainnya
menurut
Gabriel, memutuskan mundur teratur. Aku masih terlalu muda untuk jadi
seorang
ibu dari gadis berumur enam belas tahun.
“Did I scare you off?” tanya Gabriel tiba-tiba.
Aku
berpikir sejenak. Apakah aku harus berbohong kepadanya, dan
mengatakan
aku tidak peduli bahwa dia sudah punya anak? Tujuanku meminta
pertolongan
MBD agar aku tidak perlu lagi membuang waktu mencari suami di
tempat
yang salah atau menghabiskan waktu dengan orang yang salah. Aku juga
yakin
Gabriel sudah cukup dewasa untuk mengerti jika aku menolaknya.
“Ya.
Kalau saya mau jujur, kamu sudah membuat saya takut setengah mati,”
ucapku.
Tanpa
kusangka-sangka Gabriel justru tertawa. “Setidak-tidaknya kamu jujur
kepada
saya soal ini. Tidak seperti mereka yang mengatakan tidak mempermasalahkan
hal
ini, tetapi kemudian tidak mau menjawab telepon saya.”
“Ada
yang begitu?” tanyaku terkejut. Menurutku tindakan itu sangat tidak
sopan.
Gabriel
mengangguk. “Are you finished with your
dessert?” tanyanya.
“Yes, I‟m done,” ucapku.
Dalam
perjalanan pulang menuju Winston-Salem aku menelepon Sandra dan
memberitahunya
agar menambahkan satu lagi persyaratan yang harus dipenuhi
oleh
date-ku, yaitu mereka tidak boleh punya anak di luar nikah.
*
* *
Bulan
Oktober pun tiba, dan aku sudah menjadi klien MBD selama enam minggu.
Reggie
sempat meneleponku untuk mengajakku ke luar, tetapi aku menolaknya.
Aku
mengatakan kepadanya bahwa aku tidak bisa menjalin hubungan romantis
dengannya,
meskipun aku terbuka apabila dia masih mau berteman denganku.
Reggie
memahami penjelasanku dan kami sempat bertemu makan siang ketika dia
harus
datang ke Winston-Salem untuk mengikuti seminar psikologi, yang diadakan
Wake
Forest University. Hingga kini Trevor tidak pernah meneleponku, dan aku
sangat
bersyukur oleh karenanya.
Setelah
Gabriel, aku sudah pergi berkencan dengan empat laki-laki lagi. Tiga
dari
mereka bahkan tidak aku pertimbangkan sama sekali. Rob Adams sangat
mengingatkanku
akan Brandon. David Wu ternyata tidak bisa membedakan warna
cokelat
dengan hitam, alias buta warna. Ben Stewart, yang meskipun usianya sudah
38
tahun, masih memulai setiap kalimatnya dengan, “My mother said...”. Hanya satu
dari
mereka yang betul-betul menarik perhatianku. Dia bernama Jacob Sutter.
Meskipun
wajah dan penampilan keseluruhannya bisa digolongkan biasa saja,
sepanjang
kencan pertama kami aku selalu merasa nyaman dengannya. Berbeda
dengan
Gabriel, yang menjatuhkan “bom atomnya” kepadaku dua jam setelah aku
bertemu
dengannya, Jacob kelihatannya tidak memiliki rahasia yang harus
disembunyikan.
MBD
mungkin sudah siap mencekikku karena setiap kali mereka menanyakan
apakah
mereka sudah mempertemukanku dengan laki-laki yang berpotensi sebagai
suami,
aku akan menjawab tidak “COLD”, yang berarti „meleset jauh dari sasaran‟.
Atau
sudah “WARM”, artinya „cukup mendekati sasaran‟. Khusus kencanku dengan
Gabriel,
aku akan menjawab sudah cukup “HOT”
yaitu „tepat sasaran‟, kalau saja
dia
tidak memiliki anak gadis yang umurnya lebih cocok jadi keponakanku
daripada
anakku. Sejujurnya, menurutku MBD betul-betul telah melaksanakan
tugas
mereka dengan baik. Aku yakin, aku tidak akan bisa menemukan semua lakilaki
yang
telah dipasangkan denganku oleh MBD jika aku mencari mereka sendiri.
Oleh
karena itu, aku berencana menemui Jacob lagi malam ini untuk memastikan
apakah
aku bisa mengubah pendapatku tentangnya, dari “cukup mendekati
sasaran”
menjadi “tepat sasaran”.
Untuk
kencan pertama kami Jacob-lah yang datang dari Durham, tempat dia
tinggal,
untuk menemuiku di Winston. Untuk kencan kedua aku mengambil jalan
tengah
dan memintanya menemuiku di Burlington karena aku tidak mau
membebaninya
datang jauh-jauh ke Winston lagi. Aku berjanji bertemu Jacob di
salah
satu restoran Jepang yang telah direkomendasikan banyak orang kepadaku.
Jacob
mengatakan dia tidak pernah makan makanan mentah, tetapi dia akan
memberanikan
diri mencobanya denganku. Aku sedang meluncur di I-40, jalan raya
yang
menghubungkan Winston dengan kota-kota lainnya, ketika tiba-tiba
kurasakan
setir mobil terasa agak berat dan lari ke kiri.Aku memang kurang paham
urusan
otomotif, tetapi aku tahu jika mobil yang biasa dikendarai terasa agak lain
ketika
sedang dikemudikan, maka pastilah ada komponen mobil itu yang tidak
bekerja
dengan sempurna.
Perlahan-lahan
kutepikan mobil ke bahu jalan dan berhenti. Kubiarkan mesin
tetap
hidup dan hanya menarik rem tangan, kemudian keluar dari mobil untuk
memeriksa
keadaan. Ternyata ban depan sebelah kiri memang agak sedikit kempes.
Aku
mempertimbangkan, apakah dengan kondisi ban seperti itu aku bisa sampai ke
Burlington,
yang masih membutuhkan waktu lima belas menit lagi. Aku bisa
menelepon
AAA, perusahaan yang menyediakan berbagai jasa yang berhubungan
dengan
isu-isu travel, mulai dari peta hingga mengganti ban yang kempes. Mereka
akan
mengganti banku selama aku makan siang dengan Jacob. Kulirik jam
tanganku,
aku masih ada waktu setengah jam sebelum waktu pertemuanku dengan
Jacob.
Melihat kondisi ban mobilku, sepertinya ban itu tidak akan bertahan sampai
di
Burlington. Kalau aku harus menunggu hingga AAA datang, bisa jadi aku akan
terlambat
berkencan dengan Jacob.
Aku
pun segera mengambil keputusan. Kumatikan mesin mobil, kemudian
membuka
bagasi dan mengeluarkan dongkrak serta kunci ban. Untung saja hari ini
aku
hanya mengenakan jeans dan sweater
turtleneck. Jadi, aku bisa lebih leluasa
bergerak.
Ketika aku sedang memompa dongkrak itu dengan kakiku, tiba-tiba
kulihat
sebuah Volvo SUV berhenti persis di belakang mobilku. Aku
memperhatikan
pemilik mobil itu, yang mengenakan kacamata hitam, keluar dari
kendaraannya
dengan langkah yang cukup luwes untuk ukuran laki-laki sebesar
dia.
Apakah dia juga mengalami masalah dengan mobilnya sepertiku? pikirku.
Tiba-tiba
dia meneriakkan namaku. “Titania!”
Aku
menatapnya bingung. Bagaimana dia bisa tahu namaku? Jelas-jelas aku
tidak
mengenalnya, tetapi tata krama tetap harus didahulukan.
“Yes?” Jawabanku lebih terdengar seperti pertanyaan.
“Flat tire?” tanyanya lagi.
“Yes,” jawabku lagi. Aku masih bingung. Siapakah orang ini?
Kemudian
seperti bisa membaca pikiranku, dia berkata, “Kamu nggak ingat
saya,
ya?”
Aku
tersenyum sopan kepadanya, tetapi aku yakin wajahku menggambarkan
kebingunganku.
“Saya
Reilley. Kamu membantu saya memilih lettuce
di Fresh
Market. Masih
ingat?”
Reilley
melepaskan kacamata hitamnya, dan mata birunya langsung menatapku
dengan
jenaka. Saat itu juga aku bisa merasakan sengatan listrik yang menyerang
tubuhku.
Aku tidak bisa bernapas.
Aku
berhenti memompa dongkrak dengan kakiku, lalu tertawa cemas. “Kok
bisa
bertemu kamu lagi di sini, ya?” Suaraku agak bergetar.
Kulihat
Reilley sedang menarik lengan sweater
cokelatnya sambil tersenyum.
“Ban
serepnya di mana?” tanyanya, dan melangkah mendekatiku.
Tiba-tiba
ada angin yang cukup kuat berembus melewati tubuh Reilley yang
besar
ke arahku, dan aku bis amencium bau cologne-nya.
Untuk
mencegah imajinasiku agar tidak memikirkan yang tidak-tidak, aku
buru-buru
menjawabnya, “Di bagasi,” sambil menunjuk ke bagasi mobil yang
terbuka.
Aku lalu berlutut di samping mobil dan mulai melepaskan semua baut ban
satu
per satu.
Kudengar
ada suara gedebuk yang sangat halus, dan ban serep sudah berada di
sampingku.
“Boleh
saya bantu?” tanyanya, sambil mengambil kunci ban dari genggamanku.
Aku
sebetulnya mau protes karena aku wanita mandiri yang bisa mengganti
ban
sendiri, aku tidak memerlukan bantuannya. Reilley melihat ekspresi wajahku
dan
menambahkan, “Kini giliran saya membantu kamu,” ucapnya pelan.
Aku
mengangguk dan mempersilakannya mengganti ban mobilku. Dalam
waktu
lima menit dia sudah menyelesaikan semua pekerjaannya, lalu meletakkan
ban
yang kempes, dongkrak, dan kunci ban di bagasi mobil.
“Thank you,” ucapku ketika Reilley menutup bagasi mobilku. Kuserahkan
selembar
tisu basah kepadanya. Reilley mengambilnya dan mengusap kedua
telapak
tangannya. Aku kemudian mengambil tisu bekas itu dari genggamannya.
“Kamu
akan ke mana?” tanyanya.
“Burlington,”
jawabku. Tiba-tiba angin bertiup dan aku harus memeluk
tubuhku
untuk mengusir udara yang tiba-tiba terasa agak dingin.
Tanpa
kusangka-sangka Reilley menarikku ke pelukannya dan mengusap
punggungku.
Sekali lagi aku merasakan sengatan listrik yang tadi menyengatku.
Bau
cologne-nya yang tadi hanya samar-samar kini menyengat indra
penciumanku
dengan
kekuatan penuh. Bau cologne itu semakin mengingatkanku betapa
gantengnya
Reilley, dan aku tahu aku harus menjauh darinya sebelum terlena
dalam
pelukannya. Akan tetapi, tubuhnya memang hangat sehingga aku tidak
mencoba
melepaskan diri.
Setelah
beberapa detik, dia berkata, “Better?”
Aku
mengangguk. Reilley kemudian menuntunku menuju mobil, membuka
pintunya
dan membiarkanku masuk. Setelah itu, ia menutup pintu mobil dan
menunggu
hingga aku menghidupkan mesin. Reilley mundur satu langkah untuk
memeriksa
banku sekali lagi, kemudian dia mengacungkan kedua jempolnya
sebagai
tanda oke. Aku pun menurunkan kaca mobilku dan berkata, “Thank you.
Again,” ucapku.
“It was my pleasure,” balasnya, sambil tersenyum. Ketika dia mengucapkan katakata
itu,
seperti ada sesuatu dalam otakku yang berbunyi klik... klik... klik.... Aku
merasa
kata-kata itu penting dalam konteks yang lain, tapi aku tidak bisa ingat di
mana
aku pernah mendengar kata-kata yang sama diucapkan.
Reilley
kemudian berjalan menuju mobilnya. Aku baru sadar, aku masih
menggenggam
tisu bekas yang tadi digunakan Reilley. Kulemparkan tisu itu ke
lantai
mobil dan akan kubuang ke tempat sampah kemudian. Kuperhatikan lalu
lintas
yang ada di sebelah kiriku melalui kaca spion, kemudian meluncurkan mobil
kembali
ke jalan raya. Sepanjang perjalanan untuk menemui Jacob, aku merasa tidak
tenang
karena seperti ada sesuatu yang mengganjal. Suatu teka-teki yan gtidak
terselesaikan
atau ditinggalkan tidak terjawab. Yang jelas, aku tidak bisa
menghapuskan
bau cologne Reilley dari kepalaku, terutama karena bau itu sekarang
menempel
pada sweater-ku.
Pada
akhirnya, kencanku dengan Jacob tidak berjalan sebaik yang aku
harapkan.
Jacob sadar bahwa aku tidak menumpukan perhatianku kepadanya
sepanjang
kencan kami. Ia terlihat kecewa dan mengakhiri kencan kami lebih cepat
dengan
alasan dia harus mengunjungi temannya yang baru saja melahirkan.
Sejujurnya,
aku merasa bersalah terhadap Jacob. Akan tetapi, kepalaku terlalu
penuh
dengan sosok laki-laki bermata biru yang bisa menenggelamkanku hanya
dengan
tatapannya sehingga aku tidak terpikir untuk mengatakan kata “maaf”
kepadanya.
*
* *
Seperti
biasanya, Didi akan meneleponku setelah kencanku untuk mengetahui
hasilnya.
Dia bahkan lebih tertarik terhadap Jacob dibandingkan aku.
“Bagaimana
date-nya, Mbak?” tanya Didi, penuh semangat.
“Biasa
saja,” jawabku. Aku baru saja membuka pintu depan apartemen ketika
telepon
selularku berbunyi.
“Lho
kok nggak excited begitu sih? Ada yang salah?” Didi terdengar curiga.
Tentu
saja ada yang salah. Bukannya memikirkan Jacob, selama perjalanan
pulang
dari Burlington aku justru memikirkan Reilley.
“Nggak,
nggak ada yang salah,” jawabku, sambil melangkah masuk ke dalam
apartemen.
“Jadi,
ada apa dong? Kemarin Jacob kan sudah masuk zona HOT, kok sekarang
jadi
COLD sih?”
Aku
memang tidak pernah bisa berbohong kepada adikku ini. Dia terlalu jeli
melihat
tingkah laku manusia.
“Ya,
kayaknya Jacob nggak cocok deh untuk aku.” Kulepaskan sepatu dan
berjalan
menuju kamar tidur.
“Oh, ma...n, padahal aku sudah setuju sekali dengan yang ini,” teriak Didi
kecewa.
Aku
terpaksa tertawa mendengar suaranya yang penuh kekecewaan itu. “So,
kapan
date selanjutnya?”
“Belum
ada. Sandra belum telepon lagi,” jawabku.
Didi
mengembuskan napasnya, dan berkata, “Oh begitu.”
“By the way, aku tadi bertemu Reilley,” ucapku tanpa
ancang-ancang. Daripada
menyimpan
rahasia ini dan berisiko diomeli habis-habisan oleh Didi karena tidak
menceritakan
kepadanya, aku memutuskan mengambil jalan aman dan berkata
jujur.
“Reilley?
Cowok yang dari Fresh Market itu?” Suara Didi langsung terdengar
ceria.
Aku
memang sempat menceritakan pertemuanku dengan Reilley beberapa
bulan
yang lalu itu kepada Didi. Pada saat itu aku belum memiliki perasaan apa-apa
terhadap
Reilley, selain bahwa dia ganteng sekali.
“Yep,” jawabku, sambil mengatur telepon selularku agar suara Didi
bisa
terdengar
melalui speaker. Aku kemudian menanggalkan sweater dan
celana jeans
yang
aku kenakan dan menggantinya dengan kaus longgar dan celana piama.
“Di
mana?” Kini suara Didi semakin meninggi, yang menandakan dia sudah
sangat
tertarik terhadap Reilley dan siap melupakan Jacob.
Aku
lalu menceritakan pertemuanku dengan Reilley. Didi mendengarkan
dengan
saksama dan sesekali menarik napas karena kaget.
“Oh, my God. He is so sweet,” ucap Didi, dengan nada seperti si punguk yang
merindukan
bulan.
“You think so?” tanyaku ragu. Aku tidak tahu apakah normal menyukai
laki-laki
yang
baru aku temui dua kali.
“Of course I think so. Aku jadi penasaran ingin lihat tampangnya. Mata birunya
tuh
sebiru apa, ya?”
“Biru
sekali deh pokoknya. Laut Pasifik juga kalah,” ucapku bersemangat.
Sejujurnya,
aku tidak pernah terlalu memikirkan sebiru apakah mata Reilley, tetapi
kelihatannya
penggambaranku barusan cukup mengena.
Didi
tertawa mendengarnya. “Kayaknya dia suka deh kepada kamu, Mbak.”
Kata-kata
Didi menyadarkanku akan perasaanku sendiri, tetapi aku tetap belum
berani
menerimanya sebagai suatu kenyataan.
“Ah,
nggaklah. Dia hanya baik saja kok,” balasku salah tingkah.
“Menurutku
malahan kelewat baik. Mana ada sih orang zaman sekarang yang
mau
berhenti di pinggir tol untuk membantu orang?”
“Kalau
di D.C. sih nggak mungkin, tetapi di sini masih banyak kok orang yang
mau
membantu orang lain. “Aku memberi penjelasan bahwa memang budaya di
kota
besar akan sedikit berbeda dengan di kota kecil.
“Tetap
saja aneh. Dari cara dia omong ketika bertemu Mbak kayaknya dia
berhenti
bukan karena memang berniat membantu siapa saja, tetapi karena orang
yang
bakal dia bantu itu Mbak.”
“Jangan
bikin aku ge-er deh,” omelku.
Didi
tertawa tergelak. “Sayang ya Mbak nggak sempat minta nomor teleponnya.
Kalau
nggak kan setidak-tidaknya Mbak bisa telepon dia.”
“Doakana
ku supaya bisa bertemu dia lagi. Mudah-mudahan kali itu aku nggak
lupa
minta nomor teleponnya. Eh, tetapi... bagaimana mintanya ya, Di?”
Meskipun
aku cukup berpengalaman dengan laki-laki sebelum aku bertemu
dengan
Brandon, selalu merekalah yang meminta nomor teleponku terlebih dahulu
sehingga
aku tidak memiliki pengalaman melakukan sebaliknya.
“Ya,
bilang saja Mbak minta nomor telepon dia. Beres, kan.” Didi terdengar
tidak
sabaran.
“Memang
kamu pernah minta nomor telepon cowok?” Aku tahu jawaban
pertanyaan
ini, tetapi aku hanya ingin menggoda adikku. Didi tipe perempuan yang
supergengsi
untuk minta nomor telepon dari laki-laki mana pun.
“Apa
maksud Mbak tanya begitu?” Didi terdengar tersinggung, tetapi aku tahu
dia
paham aku hanya bercanda.
“Ya,
nggak ada apa-apa, hanya tanya saja,” balasku pura-pura cuek.
Tiba-tiba
aku mendengar suara ketukan, kemudian kudengar suara Didi
berteriak,
“Be there in a sec.” Lalu Didi berkata padaku, “Mbak, sudah dulu ya
ngobrolnya.
Aku sudah dijemput nih oleh teman.”
“Kamu
mau ke mana?” tanyaku ingin tahu.
“Biasa...
ke library, mau research.” Cara Didi mengatakan kata library dan research
terkesan
dia akan melakukan hal yang akan membawa kebahagiaan baginya. Aku
tertawa
pada diriku sendiri, menertawakan adikku yang kutu buku itu.
“Well, have fun,” ucapku memberinya semangat.
“I will. Oh... ya, omong-omong jangan lupa minta nomor telepon Reilley
kalau
bertemu
dia lagi, oke.”
Sebelum
aku menjawab, Didi sudah menutup teleponnya. “Oke,” ucapku pelan.
BLIND DATE - PART 4
No comments:
Post a Comment