Friday, September 4, 2015

BLIND DATE - PART 3

3
Cold, Warm & Hot
AKU betul-betul menikmati kencanku dengan Reggie Morgan. Dengan umurnya
yang baru 26 tahun, dia sangat berambisi menjadi psikolog terbaik dan siap
membantu setiap orang yang memerlukan bantuannya tanpa memedulikan latar
belakang mereka. Dia berencana membuka praktek sendiri dalam waktu lima tahun
setelah mendapatkan sertifikasi dan izin yang diperlukannya. Melihat keantusiasannya
dalam menjalani hidup mengingatkanku akan Brandon ketika dia masih kuliah
dan sangat menggebu-gebu ingin bekerja menjadi pengacara yang rela tidak dibayar
untuk membela orang-orang yang tertindas. Tentunya mimpi itu langsung punah
setelah menerima tawaran pekerjaan dengan bayaran tujuh puluh ribu dolar
setahun, meskipun untuk membela orang yang melakukan penindasan. Aku
berharap Reggie tidak melakukan hal yang sama.
So, are you okay with seeing someone who is older than you are?” tanyaku
kepadanya, meskipun aku sudah tahu jawabannya karena MBD tidak akan
mempertemukan kami kalau Reggie keberatan berhubungan dengan wanita yang
lebih tua darinya.
Reggie menggeleng. “You‟re not that much older than I am,” ucapnya santai.
“Apakah kamu siap untuk suatu komitmen yang serius? Kamu masih muda.
Apakah kamu nggak mau cari-cari dulu?” kataku lagi. Keingintahuanku telah
mengalahkan tata kramaku, tetapi aku tidak peduli. Aku sudah membayar dua ribu
dolar kepada MBD. Aku harus menemukan laki-laki yang bisa aku jadikan suami
sebelum kontrakku habis. Aku tidak ada waktu untuk main kucing-kucingan.
Reggie tertawa mendengar pertanyaanku. “Well, ada beberapa orang yang
mengatakan bahwa usia 27 masih terlalu muda untuk suatu hubungan yang serius.
Apakah kamu sendiri nggak mau lihat-lihat dulu?”
Mau tidak mau aku jadi tertawa melihat logika pernyataannya itu.
Kuperhatikan Reggie dengan lebih teliti. Cara dia berbicara tidak seperti laki-laki
berumur 27 tahun pada umumnya. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya seperti
telah dipikirkannya dulu masak-masak sebelum dikatakan. Pembawaannya terlalu
tenang, yang membuatku agak sedikit malu karena aku jadi terlihat tidak sabaran
duduk berhadapan dengannya. Reggie bahkan berdiri dari duduknya ketika aku
permisi pergi ke toilet, hal yang tidka pernah dilakukan laki-laki mana pun
kepadaku. Reggie mengingatkanku pada CEO perusahaan tempatku bekerja. Itu
mungkin suatu pujian bagi kebanyakan orang, tapi faktanya CEO-ku berumur 60
tahun dan sudah memiliki empat orang cucu.
Malam itu kami akhiri dengan bertukar nomor telepon, tetapi aku yakin
meskipun aku cukup menyukai Reggie hubungan kami tidak akan pernah lebih dari
hanya sekadar teman. Secara mental dia terlalu tua untukku. Kesimpulannya,
Reggie adalah pilihan yang salah untukku.
* * *
Hari Sabtu siang, aku sedang melangkah memasuki restoran untuk menemui
Gabriel ketika telepon selularku berbunyi. Ternyata dari Sandra yang ingin
memberitahuku bahwa Gabriel akan terlambat tiga puluh menit dari waktu kencan
yang sudah dijadwalkan. Informasi ini membuatku sedikit jengkel karena berarti
aku harus menunggu Gabriel di restoran. aku tidak tahu dia akan datang dari mana,
tetapi aku tidak suka orang yang tidak bisa datang tepat waktu. Reggie yang harus
datang dari Charlotte saja bisa sampai tepat waktu kemarin, mengapa Gabriel tidak
bisa?
Awalnya aku menolak duduk di meja yang telah dipesan. Aku lebih memilih
menunggu date-ku di bangku panjang dekat pintu masuk. Akan tetapi, setelah dua
puluh menit dan tempat itu mulai penuh dengan orang-orang yang sedang
menunggu meja, aku pun meminta hostess restoran mengantarku ke meja yang telah
dipesan MBD. Aku memilih hanya memesan segelas pink lemonade, sambil
menunggu Gabriel. Sepuluh menit kemudian aku masih belum juga melihat batang
hidungnya. Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab. Orangtua gila mana sih yang
memberi nama anak laki-laki mereka dengan nama salah satu malaikat? Aku sudah
semakin kesal karena kelihatannya restoran ini salah satu restoran terfavorit di
Burlington. Antrean orang yang menunggu meja terlihat cukup panjang. Beberapa
orang di sekitarku mulai menatapku penuh tanda tanya. Aku bahkan hampir bisa
mendengar pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di kepala mereka.
Mengapa dia sendirian, ya? Apakah kamu pikir pacarnya sengaja tidak datang?
Mengapa dia belum mulai makan? Dia sudah duduk di situ selama sepuluh menit. Dia
cukup cantik, mengapa ada orang yang stood her up?
Aku sudah siap menelepon MBD agar membatalkan kencanku ketika kulihat
hostess restoran yang tadi mempersilakanku duduk berjalan ke arahku diikuti lakilaki
superganteng yang pernah kulihat sepanjang hidupku. Dia bahkan lebih
ganteng daripada laki-laki bermata biru yang baru-baru ini aku temui. Wajah lakilaki
yang sekarang ada di hadapanku lebih cocok berada di karpet merah pada acara
Academy Awards bersama-sama dengan Tom Cruise atau Brad Pitt dibandingkan di
restoran di Burlington, North Carolina, bersama-sama dengan orang-orang yang
wajahnya lebih pantas menjadi tukang kebun dua bintang Hollywood itu.
Apakah ini date-ku? Tidak mungkin. Buat apa laki-laki seganteng ini
memerlukan jasa blind date untuk menemukan pasangan? Aku yakin perempuan
mana pun akan rela mendampinginya tanpa ada insentif apa pun juga. Kulihat mata
beberapa wanita yang duduk di meja-meja di hadapanku mengikuti laki-laki itu.
Beberapa dari mereka bahkan mulai menelanjangi laki-laki itu dengan matanya.
Mau tidak mau aku terpaksa tersenyum dan mengalihkan perhatianku pada telepon
selularku lagi.
Aku tidak mengalihkan perhatianku dari telepon selular ketika kurasakan ada
angin yang berembus di hadapanku, efek samping ketika seseorang tiba-tiba
berhenti di hadapanku. Tatapanku kemudian tertuju pada sepasang sepatu laki-laki,
dan aku mendengar seseorang berkata, “This is your table. Have a nice lunch.”
Saat itu juga kuangkat kepalaku, dan bertatapan langsung dengan laki-laki
ganteng tadi.
I‟m sorry that you have to wait for me. But my flight from Boston was delayed. I drove
as fast as I could from Raleigh. Did MBD called to let you know that I will be late?
Laki-laki itu mengatakan semua itu, sambil menarik kursi yang ada di
hadapanku dan duduk. Kemudian dia mulai membuka-buka buku menu. Aku
hanya mengikuti gerakannya dengan mataku. Aku bisu seribu bahasa. Benar saja,
laki-laki ganteng ini Gabriel. Date-ku siang ini. Semua kejengkelanku hilang
bagaikan ditelan bumi, yang timbul malah justru rasa malu karena telah merasa
jengkel terhadap laki-laki seganteng ini. Aku menarik kembali perkataanku yang
telah menyumpahi seorang ibu, yang menamakan anaknya dengan nama salah satu
malaikat. Jelas-jelas nama itu justru membuat laki-laki terlihat lebih seksi, terutama
laki-laki ini. Aku berjanji akan memberi nama anak laki-lakiku Gabriel Jr. kalau
sampai aku menikah dengannya, dan berharap agar anakku akan seganteng
ayahnya.
Beberapa orang yang tadi menatapku penuh tanda tanya sekarang
mengerlingkan mata mereka penuh kekaguman. Hah... tidak usah mereka, aku
bahkan kagum dengan diriku sendiri karena bisa mendapatkan date seganteng ini.
“Oh... di mana sopan santun saya. Saya Gabriel,” ucapnya, sambil mengulurkan
tangannya.
Entah bagaimana aku bisa menggerakkan tanganku, yang jelas kemudian tahutahu
tanganku sudah menjabat tangan Gabriel diikuti dengan suaraku yang
terdengar menyebutkan namaku.
“Apakah kamu sudah siap pesan makanan? I‟m starving. Let‟s see what‟s good in
here.
Seketika aku tersadar dari keterpanaanku, dan berkata, “Shrimp ravioli dengan
white sauce kelihatannya enak.” Meskipun suaraku agak bergetar, masih terdengar
cukup keras dan meyakinkan.
“Kamu ingin pesan apa?” Gabriel menatapku.
Shrimp ravioli dengan white sauce,” jawabku. Otakku telah bekerja kembali dan
bisa mengatakan kalimat itu dengan jenaka.
Gabriel tertawa mendengarku. “Saya sebaiknya pesan pizza, soalnya pasta
nggak akan cukup untuk saya,” balasnya, juga dengan jenaka.
“Itu tergantung ukuran perut kamu. Tadi ketika saya menunggu kamu, saya
lihat beberapa pesanan pasta yang sedang dihidangkan, dan ukurannya cukup
besar,” ucapku, sambil tangan kananku menunjuk pada beberapa meja di
sekelilingku.
Gabriel menoleh ke kiri dan ke kanan. Ketika dia berpaling lagi kepadaku, dia
menyeringai, “Well, piring-piring itu memang besar.”
Selang beberapa detik dia berkata lagi, “Saya tetap lebih memilih pizza. Pasta is
such a girly food.”
Girly?” tanyaku, sambil mengernyit. “How can food be girly?”
“Kamu nggak bisa kelihatan berantakan kalau makan pasta. Ini sebabnya
mengapa pasta dikategorikan sebagai girly food.”
“Apakah kalau makan pizza bisa berantakan?”
“Ya, dan kamu bisa makan dengan tangan.”
Aku memandangi Gabriel dengan mulut ternganga. Dari planet manakah lakilaki
satu ini? Aku harus pindah ke planet itu sekarang juga karena sepertinya planet
itu bisa menghasilkan laki-laki ganteng dan humoris.
“Jadi, pizza nggak girly karena berantakan, dan kamu bisa makan dengan
tangan?” tanyaku merangkum percakapan kami.
Yep.”
Kami lalu terdiam sesaat saling tatap. Aku mencoba menyimpulkan, apakah
Gabriel sedang meledekku dengan kata-katanya atau dia betul-betul serius. Aku
yakin dia sedang bercanda.
“Saya hanya bercanda,” lanjutnya, sambil tertawa dengan keras. “Coba ada
yang bawa kamera untuk memfoto ekspresi kamu tadi. Lucu banget.”
Aku tidak tahu seperti apa ekspresiku tadi. Aku lalu menarik napas, kemudian
berkata dengan nada sesarkasme mungkin, “Ha... ha, bagus kalau kamu anggap
saya lucu.”
Tawa Gabriel semakin menjadi sehingga membuat beberapa mata menatap
kami. Kebanyakan mata itu adalah milik wanita. Dalam tatapan mereka seolah-olah
terlintas beberapa pertanyaan dan komentar.
Aku nggak percaya ini, dia bisa membuat laki-laki itu tertawa sampai terbahak-bahak?
Apakah kamu pikir dia adik laki-laki itu? Dia nggak mungkin pacarnya,
perempuan itu terlalu biasa untuk dia.
Wow, itu adalah gigi paling rapi yang pernah aku lihat.
Aku masih nggak bisa percaya kalau laki-laki itu duduk dengan dia.
Apa yang dia punya yang aku nggak punya, coba?
Aku tersenyum karena rupanya imajinasiku sedang berlari-lari dengan liar hari
ini.
Seorang waiter kemudian menghampiri meja kami untuk mencatat pesanan. Dia
kembali beberapa menit kemudian membawa segelas pepsi untuk Gabriel.
“Apakah kamu selalu kelihatan seserius ini?” tanya Gabriel setelah waiter itu
berlalu.
Aku menatap Gabriel bingung. Apakah maksudnya dengan pertanyaan itu?
“Kamu kelihatan... marah. Waktu saya lihat kamu tadi,” lanjut Gabriel.
“Marah? Saya kelihatan marah?” ucapku terkejut. Apakah betul wajahku
terlihat marah ketika melihatnya?
“Mungkin nggak marah, tetapi... kesal,” tambahnya.
“Oh... ituuu. Saya sebetulnya memang agak „kesal kepada kamu karena telah
membuat saya menunggu lebih dari setengah jam. Saya sudah siap menelepon MBD
untuk membatalkan date ini,” balasku, sengaja menekankan kata „kesal dalam
penjelasanku.
“Oh, ya? Kamu ingin membatalkan date ini?”
Aku mengangguk.
“Kok nggak jadi?”
“Karena kamu muncul dan kelihatan lebih seperti bintang film daripada seperti
layaknya seorang banker.” Aku buru-buru menutup mulutku ketika sadar apa yan
gbaru saja aku katakan.
Gabriel tertawa melihat reaksiku. Untung kemudian makanan kami tiba
sehingga aku memiliki waktu beberapa menit untuk mengatur detak jantungku
kembali ke normal.
“Jadi, kamu kerja sebagai financial analyst?” tanya Gabriel, setelah waiter berlalu.
Aku sangat bersyukur dia tidak mengangkat kembali topik pembicaraan yang
tadi sempat terputus, dan segera menjawab pertanyaannya, “Ya... di sebuah bank di
Winston-Salem.”
“Kamu keberatan nggak kalau saya tanya-tanya mengenai beberapa investasi
saya? Saya hanya ingin memastikan apakah saya sudah cukup berhati-hati dengan
uang saya.”
Kami lalu membahas tentang keadaan keuangannya secara lebih mendetail.
Secara tidak langsung Gabriel memberitahuku bahwa dia sudah sangat mapan dan
siap melangkah ke jenjang selanjutnya, yaitu pernikahan. Aku mencoba
membandingkan Gabriel dengan Trevor dan Reggie. Di usianya yang sudah
menginjak 35 tahun, aku seharusnya tidak kaget jika hidup Gabriel memang sudah
mapan, bahkan sukses. Akan tetapi, fakta itu bukannya menenangkanku, malah
justru membuatku sulit bernapas. Pada Trevor dan Reggie, dengan usia mereka
yang masih muda, aku bisa melihat potensi mereka dalam sepuluh tahun ke depan.
Sementara pada Gabriel, aku melihat laki-laki yang sudah „jadi, yang tidak lagi
memerlukan doronganku untuk meraih kesuksesannya. Entah mengapa, aku
merasakan ada sedikit kekecewaan ketika menyadari hal ini.
Namun demikian, aku tetap melihat prospek suami yang sangat sempurna pada
diri Gabriel. Harus kuakui, secara fisik aku tidak bisa menolak rasa ketertarikanku
kepadanya. Aku pun cukup yakin, setelah satu jam mengobrol dengannya, dia juga
tertarik kepadaku. Aku lalu menepiskan rasa waswasku yang tidak memiliki dasar
yang kuat, dan mencoba mengenali Gabriel lebih jauh lagi.
“Sudah berapa lama kamu jadi anggota MBD?” tanyaku, sambil memotong kue
cokelatku dengan sendok.
“Bulan November ini bakalan satu tahun,” jawab Gabriel, sambil meminum
kopinya.
Mau tidak mau keningku mengernyit. Bagaimana mungkin dia sudah menjadi
klien MBD selama hampir setahun dan belum juga menemukan pasangan yang
cocok.
“Kamu masih belum menemukan orang yang tepat?” pancingku.
“Saya ketemu beberapa.”
“Terus?” Aku mencoba menyembunyikan nada penasaran pada suaraku, tetapi
gagal total.
Gabriel menatapku sambil memicingkan matanya. Aku merasa dia sedang
mencoba menilaiku. Setelah puas dengan pengamatannya, Gabriel menjawab,
“Montana.”
Aku mengedipkan mata beberapa kali. Itu jawaban yang sama sekali tidak
masuk akal bagiku. Apakah ada yang terjadi di negara bagian itu? Aku mencoba
mengingat-ingat apa saja yang ada di Montana. Ada pegunungan dan peternakan
kuda, itu saja. Setelah beberapa detik dan otakku tetap tidak bisa menemukan
penjelasan yang lebih masuk akal, aku terpaksa bertanya, “Maksudmu?”
“Anak gadis saya.”
Apa yang terjadi setelah itu di luar kontrol otakku. Tiba-tiba saja mulutku
menyemburkan lemonade yang baru saja kutelan ke wajah, tangan, dan sebagian
kemeja Gabriel. Semua orang yang ada di sekelilingku langsung menoleh ingin
melihat apa yang sedang terjadi di meja kami.
Hahaha... laki-laki itu pasti akan memutuskan hubungannya dengan perempuan itu
setelah kejadian ini.
Apakah yang laki-laki itu katakan kepadanya sehingga membuatnya bereaksi seperti itu?
Sudah aku bilang perempuan itu aneh. Aku masih nggak percaya dia menyemburkan
minumannya ke laki-laki itu.
Sekali lagi aku mencoba tidak menginterpretasikan tatapan orang-orang yang
ada di sekitarku. Aku memerintahkan imajinasiku untuk diam seribu bahasa. Aku
sangat menghargai Gabriel yang tidak marah, dia bahkan tidak terlihat tersinggung.
Dia hanya mengambil serbet yang ada di pangkuannya untuk mengusap tetesantetesan
lemonade dari wajahnya.
Are you okay?” tanyanya khawatir.
Tanpa menghiraukan pertanyaannya aku meluncurkan pertanyaanku sendiri,
“Kamu punya anak gadis?” Dengan suara yang cukup keras.
Tiba-tiba waiter yang tadi melayani kami muncul, dan menanyakan apakah
semuanya baik-baik saja sambil menatapku khawatir. Aku dan Gabriel mengangguk
bersamaan. Waiter itu pun berlalu.
Aku lalu mengulang pertanyaanku lagi, tetapi kini dengan berbisik. Gabriel
mengangguk, dan tiba-tiba dia mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya.
“Umurnya enam belas tahun,” ucapnya, sambil menyodorkan selembar kertas
kecil kepadaku. Ternyata foto gadis remaja berambut hitam dengan kawat gigi.
“Wajahnya seperti kamu.” Aku mencoba terdengar seramah mungkin sambil
membandingkan wajah anak itu dengan Gabriel.
Gabriel tertawa. “Dia lebih kelihatan seperti ibunya sebetulnya.”
Saat itu aku sedang memaki-maki MBD di dalam hatiku. Bagaimana mungkin
mereka memasangkanku dengan laki-laki yang sudah punya anak? Apakah mereka
tidak memahami kalimat “single” se-single-single-nya? Aku ingin laki-laki yang
masih single dan tidak pernah menikah. Gabriel jelas-jelas pernah menikah, kalau
tidak bagaimana dia bisa punya anak?
Aku menggeleng dan mencoba menjelaskan keadaan ini.
“Sori, saya seharusnya memberitahu kamu sebelumnya.” Suara Gabriel
terdengar agak kecewa melihat reaksiku.
“Nggak... nggak... ini bukan salah kamu. Ini salah MBD. Saya mengatakan
kepada mereka bahwa saya hanya mau dating dengan laki-laki single yang belum
pernah menikah. Kelihatannya ada kesalahpahaman.” Aku mengatakan semua katakata
itu secepat mungkin agar tidak menyinggung hati Gabriel.
“Saya masuk ke dalam kategori itu,” balas Gabriel, dengan suara tenang.
What?
“Priscilla, ibu Montana, dan saya tidak pernah menikah. Kami hidup secara
terpisah. Priscilla meninggal dalam boating accident enam bulan yang lalu. Jadi,
Montana harus tinggal dengan saya.”
Aku hanya ternganga mendengar penjelasannya. Aku merasa seperti sedang
menonton sinetron daripada menjalankan hidupku sendiri. Bagaimana mungkin
kejadian seperti ini bisa terjadi dalam kehidupan nyata?
I‟m sorry about... Priscilla,” ucapku akhirnya ketika aku bisa mengeluarkan katakata
lagi.
Gabriel mengangguk dan tersenyum.
Rasa penasaranku seketika muncul. “Kalau usiamu 35 tahun dan Montana 16
tahun, itu berarti dia lahir ketika usia kamu... 19?” Aku mencoba melakukan
perhitungan itu di kepalaku.
Gabriel tertawa mendengar pertanyaanku. “Well, saya masih muda dan berpikir
dunia ini milik saya.” Gabiel mengedipkan mata kanannya. “Priscilla lebih sial
daripada saya. Dia nggak pernah mencapai mimpinya jadi seorang supermodel,”
lanjutnya.
Kalau ini dalam situasi lain, aku mungkin bisa tertawa mendengar penjelasan
Gabriel, tetapi kini aku hanya bisa terdiam.
“Apakah kamu berdua pacaran sejak SMA?” tanyaku, setelah beberapa menit.
“Nggak. Kami kenal di pesta teman kuliah saya.”
Aku pasti menatap Gariel dengan wajah penuh kebingungan karena Gabriel
tertawa lagi.
“Kami sama-sama drunk. Banyak hal terjadi. Ketika saya bangun, kami berdua
ada di satu tempat tidur dan sama-sama tidak mengenakan apa pun. Sebulan
kemudian dia datang mencari saya dan mengatakan dia hamil anak saya.” Gabriel
menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Saya dibesarkan sebagai laki-laki
yang baik dan tahu sopan santun. Saya tidak punya pilihan selain menikah
dengannya, tapi Priscilla menolak. Dia kurang memiliki insting keibuan.
Orangtuanya mencoba meyakinkannya agar menikah dengan saya untuk
menyelamatkan nama keluarganya. Mereka salah satu keluarga paling berpengaruh
di New England. Priscilla tetap menolak, kami pun berhenti meyakinkannya.”
“Montana sekarang ada di mana?” bisikku.
“Dia ada di salah satu boarding school di Boston. I will never let her out of my sight
until she‟s 40. Saya tidak mau dia membuat kesalahan yang sama seperti saya dan
Priscilla.”
“Seberapa sering kamu ketemu dengan anak kamu?” tanyaku.
“Sesering mungkin, selama saya bisa mengambil off dari pekerjaan saya. Liburan
Thanksgiving nanti saya akan membawanya ke Rhode Island mengunjungi
grandparents-nya.”
Rhode Island adalah salah satu negara bagian di timur laut Ameriak Serikat,
yang juga dikenal sebagai New England. Kebanyakan keluarga dengan old money,
yaitu keluarga yang kekayaannya turun-temurun semenjak Amerika Serikat
merdeka dari Inggris di tahun 1800-an, tinggal di wilayah ini.
“Orangtua Priscilla?”
Gabriel mengangguk. “Saya memiliki hak asuh anak penuh atas Montana, tetapi
saya tidak bisa melarangnya bertemu dengan satu-satunya grandparents yang dia
pernah kenal. Lagi pula, mereka mencintai Montana, begitu pula sebaliknya.”
Aku mengangguk, menyetujui keputusannya. Aku mendengarkan cerita Gabriel
dengan saksama. Di satu sisi aku kagum karena dia telah memikul tanggung jawab
sebesar itu pada usia yang sangat muda dan tetap bisa meraih sukses. Di lain sisi
aku tahu Montana-lah penyebab kenapa aku, seperti juga beberapa wanita lainnya
menurut Gabriel, memutuskan mundur teratur. Aku masih terlalu muda untuk jadi
seorang ibu dari gadis berumur enam belas tahun.
Did I scare you off?” tanya Gabriel tiba-tiba.
Aku berpikir sejenak. Apakah aku harus berbohong kepadanya, dan
mengatakan aku tidak peduli bahwa dia sudah punya anak? Tujuanku meminta
pertolongan MBD agar aku tidak perlu lagi membuang waktu mencari suami di
tempat yang salah atau menghabiskan waktu dengan orang yang salah. Aku juga
yakin Gabriel sudah cukup dewasa untuk mengerti jika aku menolaknya.
“Ya. Kalau saya mau jujur, kamu sudah membuat saya takut setengah mati,”
ucapku.
Tanpa kusangka-sangka Gabriel justru tertawa. “Setidak-tidaknya kamu jujur
kepada saya soal ini. Tidak seperti mereka yang mengatakan tidak mempermasalahkan
hal ini, tetapi kemudian tidak mau menjawab telepon saya.”
“Ada yang begitu?” tanyaku terkejut. Menurutku tindakan itu sangat tidak
sopan.
Gabriel mengangguk. “Are you finished with your dessert?” tanyanya.
Yes, I‟m done,” ucapku.
Dalam perjalanan pulang menuju Winston-Salem aku menelepon Sandra dan
memberitahunya agar menambahkan satu lagi persyaratan yang harus dipenuhi
oleh date-ku, yaitu mereka tidak boleh punya anak di luar nikah.
* * *
Bulan Oktober pun tiba, dan aku sudah menjadi klien MBD selama enam minggu.
Reggie sempat meneleponku untuk mengajakku ke luar, tetapi aku menolaknya.
Aku mengatakan kepadanya bahwa aku tidak bisa menjalin hubungan romantis
dengannya, meskipun aku terbuka apabila dia masih mau berteman denganku.
Reggie memahami penjelasanku dan kami sempat bertemu makan siang ketika dia
harus datang ke Winston-Salem untuk mengikuti seminar psikologi, yang diadakan
Wake Forest University. Hingga kini Trevor tidak pernah meneleponku, dan aku
sangat bersyukur oleh karenanya.
Setelah Gabriel, aku sudah pergi berkencan dengan empat laki-laki lagi. Tiga
dari mereka bahkan tidak aku pertimbangkan sama sekali. Rob Adams sangat
mengingatkanku akan Brandon. David Wu ternyata tidak bisa membedakan warna
cokelat dengan hitam, alias buta warna. Ben Stewart, yang meskipun usianya sudah
38 tahun, masih memulai setiap kalimatnya dengan, “My mother said...”. Hanya satu
dari mereka yang betul-betul menarik perhatianku. Dia bernama Jacob Sutter.
Meskipun wajah dan penampilan keseluruhannya bisa digolongkan biasa saja,
sepanjang kencan pertama kami aku selalu merasa nyaman dengannya. Berbeda
dengan Gabriel, yang menjatuhkan “bom atomnya” kepadaku dua jam setelah aku
bertemu dengannya, Jacob kelihatannya tidak memiliki rahasia yang harus
disembunyikan.
MBD mungkin sudah siap mencekikku karena setiap kali mereka menanyakan
apakah mereka sudah mempertemukanku dengan laki-laki yang berpotensi sebagai
suami, aku akan menjawab tidak “COLD”, yang berarti „meleset jauh dari sasaran.
Atau sudah “WARM”, artinya „cukup mendekati sasaran. Khusus kencanku dengan
Gabriel, aku akan menjawab sudah cukup “HOT” yaitu „tepat sasaran, kalau saja
dia tidak memiliki anak gadis yang umurnya lebih cocok jadi keponakanku
daripada anakku. Sejujurnya, menurutku MBD betul-betul telah melaksanakan
tugas mereka dengan baik. Aku yakin, aku tidak akan bisa menemukan semua lakilaki
yang telah dipasangkan denganku oleh MBD jika aku mencari mereka sendiri.
Oleh karena itu, aku berencana menemui Jacob lagi malam ini untuk memastikan
apakah aku bisa mengubah pendapatku tentangnya, dari “cukup mendekati
sasaran” menjadi “tepat sasaran”.
Untuk kencan pertama kami Jacob-lah yang datang dari Durham, tempat dia
tinggal, untuk menemuiku di Winston. Untuk kencan kedua aku mengambil jalan
tengah dan memintanya menemuiku di Burlington karena aku tidak mau
membebaninya datang jauh-jauh ke Winston lagi. Aku berjanji bertemu Jacob di
salah satu restoran Jepang yang telah direkomendasikan banyak orang kepadaku.
Jacob mengatakan dia tidak pernah makan makanan mentah, tetapi dia akan
memberanikan diri mencobanya denganku. Aku sedang meluncur di I-40, jalan raya
yang menghubungkan Winston dengan kota-kota lainnya, ketika tiba-tiba
kurasakan setir mobil terasa agak berat dan lari ke kiri.Aku memang kurang paham
urusan otomotif, tetapi aku tahu jika mobil yang biasa dikendarai terasa agak lain
ketika sedang dikemudikan, maka pastilah ada komponen mobil itu yang tidak
bekerja dengan sempurna.
Perlahan-lahan kutepikan mobil ke bahu jalan dan berhenti. Kubiarkan mesin
tetap hidup dan hanya menarik rem tangan, kemudian keluar dari mobil untuk
memeriksa keadaan. Ternyata ban depan sebelah kiri memang agak sedikit kempes.
Aku mempertimbangkan, apakah dengan kondisi ban seperti itu aku bisa sampai ke
Burlington, yang masih membutuhkan waktu lima belas menit lagi. Aku bisa
menelepon AAA, perusahaan yang menyediakan berbagai jasa yang berhubungan
dengan isu-isu travel, mulai dari peta hingga mengganti ban yang kempes. Mereka
akan mengganti banku selama aku makan siang dengan Jacob. Kulirik jam
tanganku, aku masih ada waktu setengah jam sebelum waktu pertemuanku dengan
Jacob. Melihat kondisi ban mobilku, sepertinya ban itu tidak akan bertahan sampai
di Burlington. Kalau aku harus menunggu hingga AAA datang, bisa jadi aku akan
terlambat berkencan dengan Jacob.
Aku pun segera mengambil keputusan. Kumatikan mesin mobil, kemudian
membuka bagasi dan mengeluarkan dongkrak serta kunci ban. Untung saja hari ini
aku hanya mengenakan jeans dan sweater turtleneck. Jadi, aku bisa lebih leluasa
bergerak. Ketika aku sedang memompa dongkrak itu dengan kakiku, tiba-tiba
kulihat sebuah Volvo SUV berhenti persis di belakang mobilku. Aku
memperhatikan pemilik mobil itu, yang mengenakan kacamata hitam, keluar dari
kendaraannya dengan langkah yang cukup luwes untuk ukuran laki-laki sebesar
dia. Apakah dia juga mengalami masalah dengan mobilnya sepertiku? pikirku.
Tiba-tiba dia meneriakkan namaku. “Titania!”
Aku menatapnya bingung. Bagaimana dia bisa tahu namaku? Jelas-jelas aku
tidak mengenalnya, tetapi tata krama tetap harus didahulukan.
Yes?” Jawabanku lebih terdengar seperti pertanyaan.
Flat tire?” tanyanya lagi.
Yes,” jawabku lagi. Aku masih bingung. Siapakah orang ini?
Kemudian seperti bisa membaca pikiranku, dia berkata, “Kamu nggak ingat
saya, ya?”
Aku tersenyum sopan kepadanya, tetapi aku yakin wajahku menggambarkan
kebingunganku.
“Saya Reilley. Kamu membantu saya memilih lettuce di Fresh Market. Masih
ingat?”
Reilley melepaskan kacamata hitamnya, dan mata birunya langsung menatapku
dengan jenaka. Saat itu juga aku bisa merasakan sengatan listrik yang menyerang
tubuhku. Aku tidak bisa bernapas.
Aku berhenti memompa dongkrak dengan kakiku, lalu tertawa cemas. “Kok
bisa bertemu kamu lagi di sini, ya?” Suaraku agak bergetar.
Kulihat Reilley sedang menarik lengan sweater cokelatnya sambil tersenyum.
“Ban serepnya di mana?” tanyanya, dan melangkah mendekatiku.
Tiba-tiba ada angin yang cukup kuat berembus melewati tubuh Reilley yang
besar ke arahku, dan aku bis amencium bau cologne-nya.
Untuk mencegah imajinasiku agar tidak memikirkan yang tidak-tidak, aku
buru-buru menjawabnya, “Di bagasi,” sambil menunjuk ke bagasi mobil yang
terbuka. Aku lalu berlutut di samping mobil dan mulai melepaskan semua baut ban
satu per satu.
Kudengar ada suara gedebuk yang sangat halus, dan ban serep sudah berada di
sampingku.
“Boleh saya bantu?” tanyanya, sambil mengambil kunci ban dari genggamanku.
Aku sebetulnya mau protes karena aku wanita mandiri yang bisa mengganti
ban sendiri, aku tidak memerlukan bantuannya. Reilley melihat ekspresi wajahku
dan menambahkan, “Kini giliran saya membantu kamu,” ucapnya pelan.
Aku mengangguk dan mempersilakannya mengganti ban mobilku. Dalam
waktu lima menit dia sudah menyelesaikan semua pekerjaannya, lalu meletakkan
ban yang kempes, dongkrak, dan kunci ban di bagasi mobil.
Thank you,” ucapku ketika Reilley menutup bagasi mobilku. Kuserahkan
selembar tisu basah kepadanya. Reilley mengambilnya dan mengusap kedua
telapak tangannya. Aku kemudian mengambil tisu bekas itu dari genggamannya.
“Kamu akan ke mana?” tanyanya.
“Burlington,” jawabku. Tiba-tiba angin bertiup dan aku harus memeluk
tubuhku untuk mengusir udara yang tiba-tiba terasa agak dingin.
Tanpa kusangka-sangka Reilley menarikku ke pelukannya dan mengusap
punggungku. Sekali lagi aku merasakan sengatan listrik yang tadi menyengatku.
Bau cologne-nya yang tadi hanya samar-samar kini menyengat indra penciumanku
dengan kekuatan penuh. Bau cologne itu semakin mengingatkanku betapa
gantengnya Reilley, dan aku tahu aku harus menjauh darinya sebelum terlena
dalam pelukannya. Akan tetapi, tubuhnya memang hangat sehingga aku tidak
mencoba melepaskan diri.
Setelah beberapa detik, dia berkata, “Better?
Aku mengangguk. Reilley kemudian menuntunku menuju mobil, membuka
pintunya dan membiarkanku masuk. Setelah itu, ia menutup pintu mobil dan
menunggu hingga aku menghidupkan mesin. Reilley mundur satu langkah untuk
memeriksa banku sekali lagi, kemudian dia mengacungkan kedua jempolnya
sebagai tanda oke. Aku pun menurunkan kaca mobilku dan berkata, “Thank you.
Again,” ucapku.
It was my pleasure,” balasnya, sambil tersenyum. Ketika dia mengucapkan katakata
itu, seperti ada sesuatu dalam otakku yang berbunyi klik... klik... klik.... Aku
merasa kata-kata itu penting dalam konteks yang lain, tapi aku tidak bisa ingat di
mana aku pernah mendengar kata-kata yang sama diucapkan.
Reilley kemudian berjalan menuju mobilnya. Aku baru sadar, aku masih
menggenggam tisu bekas yang tadi digunakan Reilley. Kulemparkan tisu itu ke
lantai mobil dan akan kubuang ke tempat sampah kemudian. Kuperhatikan lalu
lintas yang ada di sebelah kiriku melalui kaca spion, kemudian meluncurkan mobil
kembali ke jalan raya. Sepanjang perjalanan untuk menemui Jacob, aku merasa tidak
tenang karena seperti ada sesuatu yang mengganjal. Suatu teka-teki yan gtidak
terselesaikan atau ditinggalkan tidak terjawab. Yang jelas, aku tidak bisa
menghapuskan bau cologne Reilley dari kepalaku, terutama karena bau itu sekarang
menempel pada sweater-ku.
Pada akhirnya, kencanku dengan Jacob tidak berjalan sebaik yang aku
harapkan. Jacob sadar bahwa aku tidak menumpukan perhatianku kepadanya
sepanjang kencan kami. Ia terlihat kecewa dan mengakhiri kencan kami lebih cepat
dengan alasan dia harus mengunjungi temannya yang baru saja melahirkan.
Sejujurnya, aku merasa bersalah terhadap Jacob. Akan tetapi, kepalaku terlalu
penuh dengan sosok laki-laki bermata biru yang bisa menenggelamkanku hanya
dengan tatapannya sehingga aku tidak terpikir untuk mengatakan kata “maaf”
kepadanya.
* * *
Seperti biasanya, Didi akan meneleponku setelah kencanku untuk mengetahui
hasilnya. Dia bahkan lebih tertarik terhadap Jacob dibandingkan aku.
“Bagaimana date-nya, Mbak?” tanya Didi, penuh semangat.
“Biasa saja,” jawabku. Aku baru saja membuka pintu depan apartemen ketika
telepon selularku berbunyi.
“Lho kok nggak excited begitu sih? Ada yang salah?” Didi terdengar curiga.
Tentu saja ada yang salah. Bukannya memikirkan Jacob, selama perjalanan
pulang dari Burlington aku justru memikirkan Reilley.
“Nggak, nggak ada yang salah,” jawabku, sambil melangkah masuk ke dalam
apartemen.
“Jadi, ada apa dong? Kemarin Jacob kan sudah masuk zona HOT, kok sekarang
jadi COLD sih?”
Aku memang tidak pernah bisa berbohong kepada adikku ini. Dia terlalu jeli
melihat tingkah laku manusia.
“Ya, kayaknya Jacob nggak cocok deh untuk aku.” Kulepaskan sepatu dan
berjalan menuju kamar tidur.
Oh, ma...n, padahal aku sudah setuju sekali dengan yang ini,” teriak Didi
kecewa.
Aku terpaksa tertawa mendengar suaranya yang penuh kekecewaan itu. “So,
kapan date selanjutnya?”
“Belum ada. Sandra belum telepon lagi,” jawabku.
Didi mengembuskan napasnya, dan berkata, “Oh begitu.”
By the way, aku tadi bertemu Reilley,” ucapku tanpa ancang-ancang. Daripada
menyimpan rahasia ini dan berisiko diomeli habis-habisan oleh Didi karena tidak
menceritakan kepadanya, aku memutuskan mengambil jalan aman dan berkata
jujur.
“Reilley? Cowok yang dari Fresh Market itu?” Suara Didi langsung terdengar
ceria.
Aku memang sempat menceritakan pertemuanku dengan Reilley beberapa
bulan yang lalu itu kepada Didi. Pada saat itu aku belum memiliki perasaan apa-apa
terhadap Reilley, selain bahwa dia ganteng sekali.
Yep,” jawabku, sambil mengatur telepon selularku agar suara Didi bisa
terdengar melalui speaker. Aku kemudian menanggalkan sweater dan celana jeans
yang aku kenakan dan menggantinya dengan kaus longgar dan celana piama.
“Di mana?” Kini suara Didi semakin meninggi, yang menandakan dia sudah
sangat tertarik terhadap Reilley dan siap melupakan Jacob.
Aku lalu menceritakan pertemuanku dengan Reilley. Didi mendengarkan
dengan saksama dan sesekali menarik napas karena kaget.
Oh, my God. He is so sweet,” ucap Didi, dengan nada seperti si punguk yang
merindukan bulan.
You think so?” tanyaku ragu. Aku tidak tahu apakah normal menyukai laki-laki
yang baru aku temui dua kali.
Of course I think so. Aku jadi penasaran ingin lihat tampangnya. Mata birunya
tuh sebiru apa, ya?”
“Biru sekali deh pokoknya. Laut Pasifik juga kalah,” ucapku bersemangat.
Sejujurnya, aku tidak pernah terlalu memikirkan sebiru apakah mata Reilley, tetapi
kelihatannya penggambaranku barusan cukup mengena.
Didi tertawa mendengarnya. “Kayaknya dia suka deh kepada kamu, Mbak.”
Kata-kata Didi menyadarkanku akan perasaanku sendiri, tetapi aku tetap belum
berani menerimanya sebagai suatu kenyataan.
“Ah, nggaklah. Dia hanya baik saja kok,” balasku salah tingkah.
“Menurutku malahan kelewat baik. Mana ada sih orang zaman sekarang yang
mau berhenti di pinggir tol untuk membantu orang?”
“Kalau di D.C. sih nggak mungkin, tetapi di sini masih banyak kok orang yang
mau membantu orang lain. “Aku memberi penjelasan bahwa memang budaya di
kota besar akan sedikit berbeda dengan di kota kecil.
“Tetap saja aneh. Dari cara dia omong ketika bertemu Mbak kayaknya dia
berhenti bukan karena memang berniat membantu siapa saja, tetapi karena orang
yang bakal dia bantu itu Mbak.”
“Jangan bikin aku ge-er deh,” omelku.
Didi tertawa tergelak. “Sayang ya Mbak nggak sempat minta nomor teleponnya.
Kalau nggak kan setidak-tidaknya Mbak bisa telepon dia.”
“Doakana ku supaya bisa bertemu dia lagi. Mudah-mudahan kali itu aku nggak
lupa minta nomor teleponnya. Eh, tetapi... bagaimana mintanya ya, Di?”
Meskipun aku cukup berpengalaman dengan laki-laki sebelum aku bertemu
dengan Brandon, selalu merekalah yang meminta nomor teleponku terlebih dahulu
sehingga aku tidak memiliki pengalaman melakukan sebaliknya.
“Ya, bilang saja Mbak minta nomor telepon dia. Beres, kan.” Didi terdengar
tidak sabaran.
“Memang kamu pernah minta nomor telepon cowok?” Aku tahu jawaban
pertanyaan ini, tetapi aku hanya ingin menggoda adikku. Didi tipe perempuan yang
supergengsi untuk minta nomor telepon dari laki-laki mana pun.
“Apa maksud Mbak tanya begitu?” Didi terdengar tersinggung, tetapi aku tahu
dia paham aku hanya bercanda.
“Ya, nggak ada apa-apa, hanya tanya saja,” balasku pura-pura cuek.
Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan, kemudian kudengar suara Didi
berteriak, “Be there in a sec.” Lalu Didi berkata padaku, “Mbak, sudah dulu ya
ngobrolnya. Aku sudah dijemput nih oleh teman.”
“Kamu mau ke mana?” tanyaku ingin tahu.
“Biasa... ke library, mau research.” Cara Didi mengatakan kata library dan research
terkesan dia akan melakukan hal yang akan membawa kebahagiaan baginya. Aku
tertawa pada diriku sendiri, menertawakan adikku yang kutu buku itu.
Well, have fun,” ucapku memberinya semangat.
I will. Oh... ya, omong-omong jangan lupa minta nomor telepon Reilley kalau
bertemu dia lagi, oke.”

Sebelum aku menjawab, Didi sudah menutup teleponnya. “Oke,” ucapku pelan.

BLIND DATE - PART 4

No comments:

Post a Comment