2
Caesar Salad
DENGAN
tergesa-gesa aku meninggalkan kantor tepat pada pukul enam sore untuk
kencan
pertamaku di Village Tavern, sebuah restoran yang cukup bergengsi di
Winston-Salem.
Aku sudah berkonsultasi dengan Didi tentang pakaian yang harus
aku
kenakan untuk kencan ini. Didi menyarankan agar aku sebaiknya tampil apa
adanya.
Aku hanya meluangkan waktu untuk mencuci muka, menambahkan bedak
dan
lipstik, kemudian berangkat menuju restoran langsung dari kantor. Date-ku
malam
ini bernama Trevor, laki-laki berkulit putih, tingginya 180 sentimeter,
berumur
29 tahun, dan seorang mahasiswa kedokteran.
Hari
ini aku betul-betul tidak menikmati pekerjaanku sebagai seorang financial
analyst. Dari pukul delapan pagi aku sudah berkutat dengan segala
informasi
keuangan
yang aku dan Linnell, bosku, sudah kumpulkan dari kemarin. Beberapa
hari
yang lalu CFO kami mengemukakan informasi yang dia dengar tentang
peraturan
pajak baru, yang sedang dipertimbangkan oleh Negara Bagian North
Carolina.
Menurut dia, peraturan itu mungkin akan berdampak buruk pada bank
tempatku
bekerja karena pajak itu menyangkut pembayaran kembali pinjaman uang
kepada
nasabah yang ingin membeli rumah. Tepat pukul sepuluh aku dan Linnell
pergi
menghadap CFO kami dan mengemukakan apa yang telah kami analisis.
Berdasarkan
keadaan keuangan bank pada saat ini, meskipun nanti ada beberapa
nasabah
yang akan mengalami masalah pembayaran pinjaman uang dikarenakan
kenaikan
pajak properti, kalau sampai peraturan pajak itu disetujui, hal itu tidak
akan
membuat aktivitas perputaran uang yang dilakukan bank jadi berhenti total.
CFO
kami menyarankan agar segala bentuk pinjaman uang kepada nasabah
dihentikan
sampai kami mendapat informasi lebih lanjut tentang kenaikan pajak
properti
ini. Linnell dan aku, didukung dengan data yang kami miliki, berpendapat
bahwa
karena peraturan itu baru dalam tahap pertimbangan, maka perusahaan
tidak
perlu mengambil keputusan seperti itu. Setelah melakukan berbagai analisis
selama
berjam-jam, semuanya jadi sia-sia karena pada pukul tiga sore kami
mendengar
kabar peraturan kenaikan pajak properti telah diveto. Selama sisa hari
kerja
itu aku mencoba menyelesaikan pekerjaan yang sempat terbengkalai karena
proyek
CFO-ku ini. Otakku belum sempat beristirahat sedikit pun sejak tiga hari
yang
lalu sehingga membuatku kurang bersemangat melanjutkan hariku dengan
kencan
buta pertamaku.
Aku
tiba tepat pukul enam lewat tiga puluh menit. Aku menghampiri hostess
restoran
dan mengatakan siapa diriku.
“Please come with me, your date is
already here,” ucap hostess itu,
sambil tersenyum
dan
mengantarkanku menuju sebuah meja di sudut restoran. Beberapa menit
kemudian
aku berhadapan dengan Trevor, yang ternyata memiliki rambut berwarna
cokelat
gelap dengan kacamata minus bertengger di atas batang hidungnya. Segala
sesuatu
yang ada pada Trevor mencerminkan statusnya sebagai mahasiswa
kedokteran.
Dia terlihat cukup ramah, tubuhnya tampak sehat dengan perut rata
dan
bahu yang cukup bidang. Aku suka penampilan luarnya. Merasa lebih positif,
aku
tersenyum kepadanya dan siap mengenal Trevor lebih jauh.
Empat
puluh lima menit kemudian aku sudah siap bunuh diri karena bosan.
Awalnya
Trevor terlihat malu. Oleh sebab itu, aku mencoba mencari topik
pembicaraan
yang netral. Aku mulai dengan menanyakan di mana dia kuliah, yang
dijawab
dengan Wake Forest University. Sudah tahun keberapa? Trevor menjawab
tahun
terakhir. Spesialisasi apa yang dia ambil? Trevor menjawab pediatrics. Apakah
dia
orang asli Winston? Dia menjawab dengan satu anggukan kaku. Berlanjutlah
makan
malam kami dengan suasana membosankan, di mana aku akan menanyakan
satu
pertanyaan dan Trevor akan menjawabnya dengan tidak lebih dari lima kata.
Setelah
selesai makan malam, Trevor masih juga tidak berkata-kata. Akhirnya, aku
berkata,
“Are you feeling okay?”
Trevor
terlihat terkejut dengan pertanyaanku. “Yes.
Why?”
“Selama
satu jam makan malam kita, kamu belum pernah mengucapkan kalimat
yang
lebih panjang dari lima kata,” balasku, sambil menghirup teh panas.
Trevor
terlihat malu mendengar penjelasanku. Wajahnya memerah, dia melepas
kacamatanya
dan menyekanya dengan saputangan berwarna putih, yang terlihat
sudah
sangat kusut karena keluar-masuk kantong celananya selama satu jam
pertemuan
kami.
“Shall we go, then?” tanyaku.
“Saya
mohon maaf karena tidak bisa jadi teman bicara yang baik malam ini,”
ucap
Trevor pelan. Aku ternganga mendengarnya karena inilah kalimat terpanjang
yang
diucapkannya sepanjang malam.
“That‟s okay,” balasku, mencoba tetap ramah. Aku sudah terlalu lama tinggal
di
North
Carolina sehingga tidak ada alasan bagiku bertingkah tidak sopan terhadap
orang
lain, meskipun orang itu telah membuatku gondok semalaman.
“Saya
ada ujian besok, yang agak membuat saya khawatir. Saya pikir saya
sudah
mempelajari semuanya, tetapi otak saya terlalu penuh sampai tidak bisa
mengingat
apa pun yang telah saya pelajari.” Trevor mengucapkan kalimat itu
dalam
satu tarikan napas.
Aku
hanya bisa bengong menatapnya, kemudian tertawa terbahak-bahak.
Trevor
menatapku bingung.
“Oh,
saya pikir kamu diam saja karena tidak suka kepada saya. Baguslah kalau
bukan
itu alasannya,” jelasku, di antara tawaku.
Trevor
terlihat terkejut dengan penjelasanku, lalu dia pun tertawa. Untuk
pertama
kalinya aku bisa melihat Trevor cukup cute
dengan gigi yang rapi dan suara
tawa
yang penuh kehangatan. Aku yakin dia akan menjadi dokter anak yang sukses
suatu
hari nanti. Tiba-tiba Trevor berkata, “Awww...
kamu tidak perlu khawatir
tentang
itu. Kamu terlalu menarik untuk diacuhkan. I would love to go out with you
again next time.”
“Apakah
kalimat kamu akan lebih panjang dari lima kata?” candaku.
Trevor
tertawa mendengar pertanyaanku. “Aku janji, kalimat-kalimatku akan
lebih
panjang dari lima kata,” balasnya.
“Then we have a deal.” Untuk mengganggunya, kusodorkan tangan kananku
mengajaknya
berjabat tangan.
Trevor
tertawa dan menjabat tanganku. Kami lalu membayar makan malam
kami
masing-masing, dan berpisah di depan pintu masuk restoran setelah bertukar
nomor
telepon.
Keesokan
paginya, Sandra meneleponku dan menanyakan kencanku dengna
Trevor.
Setelah memikirkan dalam-dalam kencan pertamaku itu sambil merendam
tubuhku
dengan air hangat ditemani Nelly Furtado dan sabun mandi berbau melati,
aku
memastikan bahwa Trevor sama sekali bukan tipeku. Meskipun Trevor cukup
cute dan jelas-jelas tajir karena bisa kuliah kedokteran di Wake
Forest University,
salah
satu universitas swasta termahal di Amerika yang biaya per semesternya
cukup
untuk membeli satu rumah di Jakarta, aku tidak bisa melanjutkan kencan
kami.
Di
luar segala sesuatu yang bersifat material, aku yakin aku akan bosan kalau
meneruskan
kencan dengan Trevor. Meskipun dia mengatakan dia biasanya cukup
menyenangkan,
entah mengapa aku meragukan itu. Dengan jujur aku mengatakan
hal
itu kepada Sandra, yang mendengarkan dengan penuh pengertian. Dia juga
meminta
maaf karena kencnaku tidak berjalan semulus yang telah direncanakan
MBD.
Aku
sebetulnya sedikit cemas setelah kencanku dengan Trevor. Bagaimana
kalau
semua klien laki-laki MBD ternyata seperti Trevor? Ketika aku
mengemukakan
kekhawatiranku kepada Didi, dia berkata aku tidak boleh terlalu
pesimis.
Tidak semua laki-laki di seantero North Carolina membosankan seperti
Trevor.
Aku percaya dengan kata-kata Didi. Sekali lagi, aku tidak mengerti mengapa
aku
bisa percaya dengannya, adikku yang suka sok tahu itu.
*
* *
Hari
Selasa pagi Sandra meneleponku dan memberitahu aku akan memiliki dua date
sekaligus
akhir minggu ini. Hari Jumat malam aku akan bertemu dengan Reggie,
African-American, tingginya 180 sentimeter, berumur 26 tahun, dan seorang
psikolog.
Aku
harus pergi ke Concord, sekitar 45 menit dari rumahku, untuk bertemu
dengannya.
Reggie akan datang dari Charlotte, yang jaraknya sekitar dua jam dari
rumahku.
Hari Sabtu siang aku akan bertemu dengan Gabriel, Hispanic, tingginya
nyaris
hampir dua meter, berumur 35 tahun, dan seorang banker. Kami akan
bertemu
di Burlington, sekitar satu jam dari Winston-Salem. Aku meragukan dua
pilihan
ini karena aku belum pernah berkencan dengan laki-laki African-American
ataupun
Hispanic sebelumnya. Aku hanya berharap mereka tidak akan terlalu
berbeda
dengan laki-laki pada umumnya.
Sore
itu sepulang dari kantor aku langsung menuju Fresh Market untuk
berbelanja.
Persediaan bahan makanan di rumahku sudah sangat minim, dan aku
berencana
mencoba resep yang aku lihat beberapa hari yang lalu di Cooking Channel.
Sewaktu
aku masih tinggal bersama Didi, dialah yang aku jadikan korban untuk
mencoba
resep terbaruku. Kemudian ketika aku bersama Brandon, kualihkan semua
perhatianku
kepadanya. Aku menertawakan diriku sendiri. Selama tiga tahun aku
mengutamakan
Brandon dalam hidupku. Segala sesuatu yang kulakukan adalah
untuknya.
Bahkan kepindahanku ke North Carolina dari Washington D.C. pun agar
aku
bisa lebih dekat dengannya.
Aku
pertama kali bertemu Brandon di suatu klub malam di Washington D.C.,
dan
aku langsung jatuh cinta kepadanya. Tubuhnya tinggi besar dengan lengan
kekar
yang ditutupi kemeja hitam, yang jelas-jelas dibeli dari sebuah butik designer
kenamaan.
Dia terlihat sangat nyaman dengan tubuhnya itu. Namun demikian,
daya
tarik Brandon ada pada rasa percaya dirinya. Hal ini terlihat dari caranya
berjalan,
yang seakan-akan dunia ini miliknya. Ada banyak wanita di dalam klub itu
yang
ingin menarik perhatiannya, tetapi dia justru menghampiriku. Temantemanku
langsung
menyingkir sambil tersenyum tersipu-sipu ketika Brandon
menarik
tanganku untuk dance dengannya. Meskipun aku sudah flirting dengannya
dengan
tatapan mataku selama satu jam, aku masih tetap merasa sedikit terkesima
karena
tidak menyangka dia berani mendekatiku. Jadi, aku hanya menurut saja,
bahkan
tidak mengatakan apa pun ketika Brandon menarikku ke pelukannya dan
mengatakan
betapa seksinya aku. Aku masih ingat bau kulitnya yang membuat
kepalaku
dipenuhi hal-hal yang seharusnya tidak aku pikirkan.
Brandon
memberitahu dia kuliah hukum di Wake Forest University. Saat itu
aku
pikir dia bercanda karena Brandon terlihat lebih seperti dumb jock, laki-laki yang
hanya
berbadan besar tapi kurang berotak. Brandon pun menjelaskan siapa dirinya,
dan
aku tidak lagi meragukan kapasitas otaknya. Menurutnya, dia berada di
Washington
D.C. selama musim panas untuk melakukan internship
dengan salah
satu
law firm yang berspesialisasi dalam menangani kasus-kasus hak asasi
manusia.
Aku
semakin jatuh cinta kepadanya karena kelihatannya dia tipe laki-laki yang aku
inginkan
sebagai seorang pendamping. Dia amat peduli kepada orang lain dan
ambisius,
dua sifat yang aku yakin akan membantu masa depannya untuk menjadi
pengacara
sukses. Setelah malam itu, aku dan Brandon seperti tidak bisa dipisahkan.
Ketika
musim panas berakhir, Brandon harus kembali ke North Carolina untuk
menyelesaikan
tahun terakhir kuliahnya.
Brandon
mengundangku mengunjunginya di Winston-Salem pada akhir musim
gugur
di tahun yang sama. Aku pun menerima undangan itu dengan sukacita.
Setelah
itu kami selalu berusaha bertemu sesering mungkin. Terkadang Brandon
terbang
menemuiku di Washington D.C. atau aku terbang ke Winston-Salem
menemuinya
pada akhir minggu. Brandon lulus sebagai valedictorian
atau lulusan
terbaik,
dan menerima tawaran bekerja di perusahaan hukum terbesar di North
Carolina.
Dua bulan kemudian, aku pindah menetap di Winston-Salem. Pada saat
itu,
Didi menasihatiku agar tidak melakukan hal ini. Dia tidak ingin hidupku harus
diatur
laki-laki. Akan tetapi, aku yang sedang jatuh cinta setengah mati dengan
Brandon
tidak mau mendengarkan nasihat itu.
Kini
lihatlah aku, merana dan sendirian! Selama ini hidupku hanya dipenuhi
oleh
Brandon sehingga aku tidak mempunyai kehidupan lain di luar dirinya. Aku
tidak
punya teman setelah putus dengannya karena semua temanku di Winston-
Salem
adalah teman-teman Brandon. Jadi, begitu aku putus dengna Brandon, maka
putus
jugalah tali persahabatan yang telah aku jalin dengan mereka. Awalnya aku
sempat
sakit hati dengan perlakuan ini, tetapi kemudian aku menyadari bahwa
mungkin
mereka tidak tahu bagaimana harus menghadapiku. Jadi, daripada salah
bicara,
mereka lebih memilih menjauh dariku.
Sebulan
yang lalu aku sempat bertemu dengan Steven, salah satu rekan kerja
Brandon.
Ia cukup peduli dan menanyakan kabarku. Dari wajahnya aku tahu dia
sudah
paham tentang status hubunganku dengan Brandon. Steven memberi
informasi
kepadaku bahwa “karena satu hal yang dia tidak bisa ceritakan” Brandon
sudah
ditransfer ke cabang mereka di Memphis, Tennessee, salah satu cabang
terkecil,
sedangkan Bella dipaksa mengundurkan diri oleh Bagian Personalia. Steven
tidak
perlu memberitahuku apa „satu hal yang dia tidak bisa ceritakan‟ itu.
Tampaknya
bukan hanya aku saja yang mengamuk karena Brandon berselingkuh
dengan
asistennya. Mau tidak mau aku jadi tertawa, meskipun hanya dalam hati.
Ternyata
masih ada keadilan yang tersisa di dunia ini.
*
* *
Aku
memasuki Fresh Market, dan mulai memasukkan beberapa makanan serta
minuman
ke dalam trolley. Dengan pensil aku mencoret benda-benda yang sudah
ada
di dalam trolley satu per satu. Susu putih full cream, satu
blok keju cheddar Kraft,
satu
kotak Kellog‟s Frosted Flakes.... Daftarku terus berlanjut. Aku bergerak
dari
bagian
makanan segar, makanan beku, dan makanan kering. Hal terakhir yang aku
lakukan
adalah mengambil satu ikat peterseli. Ketika aku sedang memilih peterseli
yang
paling segar seseorang melayangkan pertanyaan kepadaku.
“Excuse me, Ma‟am, but do you know
which lettuce that I supposed to get if I want to
make a caesar salad?”
Aku
langsung menoleh, dan harus mundur selangkah. Laki-laki yang ada di
sampingku
ternyata lebih tinggi dari perkiraanku. Akan tetapi, bukan tingginya
yang
membuatku melangkah mundur. Aku tidak pernah melihat mata sebiru itu.
Aku
tidak tahu bagaimana reaksi mukaku, yang jelas mulutku ternganga dan pupil
mataku
melebar. Laki-laki itu menatapku sambil mengerutkan dahinya.
“Ma‟am?” tanyanya lagi.
Suaranya
membuatku tersadar kembali dari serangan apopleksi. Aku menelan
ludah,
baru kemudian berkata, “Romaine.
You need to get romaine lettuce to make caesar
salad.” Suaraku terdengar seperti tikus terjepit.
Laki-laki
itu memandangku, seolah-olah aku sedang berbicara dalam bahasa
Arab
dengannya. Aku lalu sadar laki-laki ini tidak tahu selada apa yang dibutuhkan
untuk
membuat caesar salad. Ada kemungkinan dia juga tidak tahu bentuk selada
romaine seperti apa. Aku lalu menjulurkan tanganku ke hadapannya,
mengambil
satu
ikat selada romaine, dan memasukkannya ke dalam plastik sebelum
memberikannya
kepada laki-laki itu.
“Apakha
ini cukup untuk enam orang?” tanyanya polos, sambil menggenggam
selada
itu dengan tangan kanannya.
“Enam?”
tanyaku, hanya untuk memastikan. Laki-laki itu mengangguk.
“Men or women?”
“Men. All men,” jawab laki-laki itu, sambil tersenyum.
Aku
harus buru-buru membuang muka menghindari senyuman itu dengan
mengambil
satu ikat selada romaine lagi untuknya. Dengan tatapan matanya yang
biru
dan senyuman yang baru dia berikan, entah bagaimana aku masih bisa berdiri.
Dunia
ini memang tidak adil. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa kelihatan
“beautiful”? Laki-laki satu ini begitu indah dilihat sehingga membuatku
limbung.
Seumur
hidupku, tidak ada laki-laki yang bisa membuatku limbung seperti ini. Aku
tidak
tahu, apakah itu karena aku sudah kehilangan kemampuanku untuk tetap bisa
kelihatan
cool di hadapan laki-laki yang menarik perhatianku setelah terlalu
lama
bersama
Brandon, atau karena sudah terlalu lama aku tidak melihat laki-laki
seganteng
ini setelah aku putus dengan Brandon.
Kuserahkan
selada romaine yang kedua kepada laki-laki itu. Ia segera
meletakkan
selada itu ke dalam trolley, yang sudha terisi dengan setidak-tidaknya
dua
lusin kaleng heineken, lima botol pepsi berukuran satu setengah liter, dan
berbagai
macam keripik.
“Persiapan
untuk nonton pertandingan malam ini?” tanyaku, sambil menunjuk
trolley-nya.
“Ya.
Apakah kamu fans olahraga football?” tanyanya, sambil tersenyum dan
mata
berbinar-binar.
“Nggak,
tapi kebanyakan orang di kantor saya fans berat olahraga ini. Gators
malam
ini akan berhadapan dengan Bulldogs, kan?”
Laki-laki
itu mengangguk lagi, senyumnya semakin melebar. Aku bisa tahu
jadwal
pertandingan football karena semua orang di kantor, terutama yang laki-laki,
tidak
ada habis-habisnya membicarakan pertandingan antara tim American football
dari
University of Florida, The
Gators, dengan tim dari University of Georgia, The
Bulldogs.
“Saya
Reilley,” ucap laki-laki itu, dan ia mengulurkan tangan kanannya.
Kusambut
uluran tangannya yang terasa hangat. “Titania,” balasku.
“Wow...
orangtua kamu pasti suka sekali dengan titanium, ya. Sampai-sampai
menamakan
anak mereka seperti nama logam itu.”
Aku
agak terkejut dengan komentarnya karena tidak banyak orang bisa
menghubungkan
namaku dengan metal itu, yang harganya lebih mahal dari emas.
Banyak
orang mengira namaku diambil dari Titanic. Bukan suatu pujian bila
mengingat
kapal mewah itu sekarang berkarat di dasar Samudra Atlantik setelah
menabrak
gunung es pada awal tahun 1900-an.
Reilley
tidak hanya memiliki wajah yang bisa membuat para agel model rela
membayar
mahal untuk menjadikan ia modelnya, tetapi dia juga punya otak yang
cukup
cerdas.
“Ya,
mereka memang fans berat logam itu,” ucapku, setelah bisa mengatasi rasa
kagetku.
Reilley
mengangguk mendengar penjelasanku. “Kalau mau betul-betul
menghubungkan
nama kamu dengan logam itu, seharusnya pengucapan nama
kamu
„Taitania‟ bukan „Teetania‟.
Walaupun begitu, saya suka dua-duanya,”
lanjutnya,
sambil mengedipkan mata kirinya.
Sejujurnya,
aku akan lari terbirit-birit saat itu juga bila laki-laki lain
mengedipkan
mata kepadaku, tetapi cara Reilley melakukannya lebih terkesan
bercanda
daripada menggoda.
“Apakah
nama kamu ejaannya R-I-L-E-Y?” tanyaku, sambil mengeja namanya.
“Bukan.
Ejaannya R-E-I-L-L-E-Y,” balasnya.
“Oh...
seperti Bill O‟Reilley,” ucapku, tanpa sadar bahw aaku sudah mengatakannya.
Aku
agak bingung juga, bagaimana aku bisa ingat cara nama pembawa
berita
di televisi itu dieja.
“Yeeesss...,” sambutnya penuh semangat. Aku tertawa melihat reaksinya yang
antusias
itu.
Tiba-tiba
kami terdiam. “I better go then. Have fun
watching the game,” ucapku.
Aku
bersiap-siap mendorong trolley
ke kasir dan menghindar dari laki-laki
bermata
biru,
yang seakan-akan menarik semua oksigen dari saluran pernapasanku.
Tiba-tiba
Reilley berkata lagi. “Apakah kamu tahu apa lagi yang saya perlukan
untuk
membuat caesar salad?”
Aku
menghentikan langkahku, dan berpikir sejenak. “Kamu perlu keju
parmigiano, lada hitam, dan tentunya bumbu caesar. Kamu juga bisa menambahkan
croutons di atasnya kalau mau.”
Reilley
menatapku bingung. “Saya nggak tahu semua yang barusan kamu
sebutkan.
Saya hanya tahu keju,” ucapnya, sambil berbisik.
Mau
tidak mau aku jadi tertawa lagi ketika mendengar kata-katanya dan
melihat
ekspresi wajahnya yang tersipu-sipu. Bagaimana mungkin laki-laki dengan
tubuh
sebesar dia bisa terlihat menggemaskan. Aku rasanya ingin membawanya
pulang,
membuatkan susu hangat untuknya dan membacakan cerita dongeng,
kemudian
memeluknya sampai dia tertidur. Aku menarik napas dalam-dalam. Aku
tahu
kemungkinan besar aku akan menyesali keputusanku ini, tetapi aku tidak tega
membiarkan
orang yang jelas-jelas memerlukan bantuanku. Kudorong trolley
belanjaanku
ke salah satu sudut agar tidak mengganggu jalan orang lain.
“Ayo,
saya bantu kamu mencari semua bahan untuk membuat caesar salad,”
ucapku.
Reilley
terlihat terkejut dengan tawaranku, tetapi dia langsung menerimanya
dengan
sukacita. Ketika kami sedang berjalan menuju bagian keju, aku bertanya,
“Mengapa
kamu ingin membuat caesar salad kalau tidak tahu apa yang kamu
perlukan?”
“Ini
untuk taruhan. Merka bilang saya tidak bisa masak sama sekali. Saya akan
membuktikan
mereka salah.”
Aku
menahan tawa ketika mendengar alasannya. “Mereka itu siapa?” tanyaku.
“Teman-teman
saya,” jawabnya, sambil memicingkan matanya. “Kamu
menertawakan
saya, ya?” tanyanya curiga.
“Nggak,”
jawabku. Aku harus membuang muka agar dia tidak bisa melihat
tawaku,
yang aku yakin akan meledak sebentar lagi. Tampaknya Reilley tidak tahu,
membuat
salad tidak bisa digolongkan dalam kategori memasak karena tidak ada
bahan-bahan
yang perlu dimasak.
Dari
sudut mataku aku lihat Reilley sedang memperhatikan wajahku. “Kamu
memang
menertawakan saya,” katanya putus asa.
Aku
tidak bisa menahan tawaku lagi. Untungnya kami sudah tiba di rak keju,
aku
segera mengambil satu pak keju parmigiano
dan meletakkannya di dalam trolley
yang
didorong Reilley.
“Ayo,
kita ambil bumbu caesar untuk kamu,” ucapku, dan berjalan mendahului
Reilley
menuju rak bumbu-bumbu.
“Titania,”
panggil Reilley. Caranya mengucapkan namaku membuatku agak
merinding.
Seperti ada air dingin yang dialirkan dari ujung rambut ke seluruh
tubuhku.
“Yes,” jawabku, sambil tetap berjalan tanpa menolehkan kepalaku
kepadanya.
Aku
berjalan beberapa langkah lagi diiringi bunyi roda trolley dan langkah Reilley
yang
terdengar sigap, dan menunggu Reilley berbicara lagi. Ketika dia tidak
berbicara
juga aku menoleh ke belakang.
“Ya...
Reilley, kamu tadi ingin bertanya apa kepada saya?” tanyaku.
Reilley
menggeleng.
Kami
tiba di depan rak panjang berisi berbagai jenis caesar dressing. Aku
mengambil
brand kesukaanku, dan sekali lagi meletakkannya ke dalam trolley
belanjaannya.
“Apakah
kamu punya lada hitam di rumah atau kamu perlu beli?”
“Kelihatannya
ada, tetapi saya nggak tahu apakah itu sesuai dengan yang kita
butuhkan.
Lebih baik kita beli saja, untuk jaga-jaga,” balas Reilley, sambil nyengir
kepadaku.
Aku
mencoba tidak menghiraukan kata-kata Reilley, yang menggunakan kata
“kita”
dan bukan “saya”. Aku lalu berjalan ke ujung rak panjang untuk mengambil
satu
kotak lada hitam dan menyerahkannya kepada Reilley.
“Apakan
kamu ingin croutons untuk salad kamu?” Aku berdiri di hadapan
Reilley
sambil berkacak pinggang.
Kulihat
sudut kiri bibir Reilley tertarik ke atas, seolah-olah dia akan tersenyum.
Merasa
canggung dengan tatapannya, aku pun menurunkan tangan dari
pinggangku.
“Kok
senyum?” tanyaku ingin tahu.
“Nggak,
rasanya kita nggak perlu croutons,” ucap Reilley, jelas-jelas ia tidak
menjawab
pertanyaanku yang kedua. Sekali lagi dia menggunakan kata “kita”,
seakan-akan
aku dan dialah yang akan membuat salad itu.
“Okay, then you are set,” balasku, sambil tersenyum dan mulai melangkah
kembali
menuju trolley belanjaanku. Dari sudut mataku kulihat Reilley mendorong
trolley belanjaannya mengikutiku.
“I guess I am.” Reilley terdengar khawatir ketika mengucapkan kata-kata itu.
Kuhentikan
langkahku, dan menatapnya. Trolley
belanjaan Reilley menyenggol
pinggulku.
“Kamu
tahu cara membuat salad, kan?” tanyaku curiga.
“Saya
pernah melihat orang membuatnya,” jawabnya, dengan wajah memerah.
“Di
mana?” Aku semakin bertambah curiga.
“Di
TV.”
Meledaklah
tawaku. Reilley pun tertawa bersamaku. Suara tawanya terdengar
berat.
Tampak kerut-kerut di sudut matanya, yang membuat wajahnya terlihat lebih
ramah
dan hangat.
“Man, you‟re hopeless,” candaku.
“Kamu
bisa tanya apa saja tentang otomotif atau elektronik kepada saya, tetapi
kalau
untuk urusan makanan dan fashion
saya betul-betul buta,” katanya, sambil
masih
tertawa.
Kami
lalu mulai berjalan lagi menuju trolley
belanjaanku. “Cukup gampang kok
sebetulnya
membuat caesar salad, kamu hanya...” Kucoba menggambarkan sedetail
mungkin
cara membuat caesar salad. Reilley mendengarkanku dengan saksama.
“Good. Kamu ingat semua langkah-langkahnya persis seperti yang saya
sudah
jelaskan
kepada kamu,” pujiku ketika Reilley bisa mengulangi instruksiku dengan
sedetail-detailnya.
“Ingatan
saya cukup kuat,” balasnya, sambil mengetuk kepalanya dengan jari
telunjuknya.
“Well, you better go. Kamu nggak mau ketinggalan pertandingannya, kan?”
kataku,
sambil mendorong trolley belanjaanku menuju kasir.
“Thanks for your help!” teriak Reilley.
Aku
mengangguk dan melambaikan tangan, sambil tersenyum.
Ketika
sampai di rumah dan membongkar belanjaanku, aku baru tahu ternyata
aku
lupa membeli peterseli untuk makananku. Aku pun tertawa. Ternyata Reilley
telah
memenuhi pikiranku lebih daripada yang aku perkirakan. Karena malas
kembali
lagi ke supermarket, aku akhirnya memutuskan membuat makanan lain
dan
menunda mencoba resep dari Cooking
Channel untuk lain waktu. Setelah makan
malamku
siap, kunyalakan TV dan mencari channel
CNN untuk menonton world
news. Lagi-lagi China terkena gempa bumi, dan ada pesawat jatuh di
Brazil. Seperti
juga
beberapa bulan yang lalu, keadaan perekonomian dunia masih terpuruk dan
tampaknya
tidak akan ada banyak perubahan untuk beberapa tahun ke depan.
Aku
selalu membuka mata dan telingaku lebar-lebar saat menonton CNN. Aku
berharap
dna juga khawatir kalau-kalau Indonesia, negara tercintaku yang telah aku
tinggalkan
selama lebih dari sepuluh tahun, akan masuk liputan berita. Aku tahu
apabila
sesuatu yang buruk terjadi di Indonesia, seperti tsunami yang menimpa
Aceh
beberapa tahun yang lalu, orangtuaku pasti akan memberitahuku. Tetap saja
aku
waswas karena telah meninggalkan orangtuaku, yang akan melewati umur 60
tahun
mereka sebentar lagi, berada beribu-ribu kilometer dariku tanpa dijaga oleh
siapa
pun juga. Aku berharap suatu saat aku akan bisa kembali lagi ke Indonesia.
Dalam
keadaan ekonomi seperti saat ini, akan lebih menguntungkan apabila aku
tetap
tinggal di Amerika untuk sementara waktu.
BLIND DATE - PART 3
No comments:
Post a Comment