Friday, September 4, 2015

BLIND DATE - PART 2

2
Caesar Salad
DENGAN tergesa-gesa aku meninggalkan kantor tepat pada pukul enam sore untuk
kencan pertamaku di Village Tavern, sebuah restoran yang cukup bergengsi di
Winston-Salem. Aku sudah berkonsultasi dengan Didi tentang pakaian yang harus
aku kenakan untuk kencan ini. Didi menyarankan agar aku sebaiknya tampil apa
adanya. Aku hanya meluangkan waktu untuk mencuci muka, menambahkan bedak
dan lipstik, kemudian berangkat menuju restoran langsung dari kantor. Date-ku
malam ini bernama Trevor, laki-laki berkulit putih, tingginya 180 sentimeter,
berumur 29 tahun, dan seorang mahasiswa kedokteran.
Hari ini aku betul-betul tidak menikmati pekerjaanku sebagai seorang financial
analyst. Dari pukul delapan pagi aku sudah berkutat dengan segala informasi
keuangan yang aku dan Linnell, bosku, sudah kumpulkan dari kemarin. Beberapa
hari yang lalu CFO kami mengemukakan informasi yang dia dengar tentang
peraturan pajak baru, yang sedang dipertimbangkan oleh Negara Bagian North
Carolina. Menurut dia, peraturan itu mungkin akan berdampak buruk pada bank
tempatku bekerja karena pajak itu menyangkut pembayaran kembali pinjaman uang
kepada nasabah yang ingin membeli rumah. Tepat pukul sepuluh aku dan Linnell
pergi menghadap CFO kami dan mengemukakan apa yang telah kami analisis.
Berdasarkan keadaan keuangan bank pada saat ini, meskipun nanti ada beberapa
nasabah yang akan mengalami masalah pembayaran pinjaman uang dikarenakan
kenaikan pajak properti, kalau sampai peraturan pajak itu disetujui, hal itu tidak
akan membuat aktivitas perputaran uang yang dilakukan bank jadi berhenti total.
CFO kami menyarankan agar segala bentuk pinjaman uang kepada nasabah
dihentikan sampai kami mendapat informasi lebih lanjut tentang kenaikan pajak
properti ini. Linnell dan aku, didukung dengan data yang kami miliki, berpendapat
bahwa karena peraturan itu baru dalam tahap pertimbangan, maka perusahaan
tidak perlu mengambil keputusan seperti itu. Setelah melakukan berbagai analisis
selama berjam-jam, semuanya jadi sia-sia karena pada pukul tiga sore kami
mendengar kabar peraturan kenaikan pajak properti telah diveto. Selama sisa hari
kerja itu aku mencoba menyelesaikan pekerjaan yang sempat terbengkalai karena
proyek CFO-ku ini. Otakku belum sempat beristirahat sedikit pun sejak tiga hari
yang lalu sehingga membuatku kurang bersemangat melanjutkan hariku dengan
kencan buta pertamaku.
Aku tiba tepat pukul enam lewat tiga puluh menit. Aku menghampiri hostess
restoran dan mengatakan siapa diriku.
Please come with me, your date is already here,” ucap hostess itu, sambil tersenyum
dan mengantarkanku menuju sebuah meja di sudut restoran. Beberapa menit
kemudian aku berhadapan dengan Trevor, yang ternyata memiliki rambut berwarna
cokelat gelap dengan kacamata minus bertengger di atas batang hidungnya. Segala
sesuatu yang ada pada Trevor mencerminkan statusnya sebagai mahasiswa
kedokteran. Dia terlihat cukup ramah, tubuhnya tampak sehat dengan perut rata
dan bahu yang cukup bidang. Aku suka penampilan luarnya. Merasa lebih positif,
aku tersenyum kepadanya dan siap mengenal Trevor lebih jauh.
Empat puluh lima menit kemudian aku sudah siap bunuh diri karena bosan.
Awalnya Trevor terlihat malu. Oleh sebab itu, aku mencoba mencari topik
pembicaraan yang netral. Aku mulai dengan menanyakan di mana dia kuliah, yang
dijawab dengan Wake Forest University. Sudah tahun keberapa? Trevor menjawab
tahun terakhir. Spesialisasi apa yang dia ambil? Trevor menjawab pediatrics. Apakah
dia orang asli Winston? Dia menjawab dengan satu anggukan kaku. Berlanjutlah
makan malam kami dengan suasana membosankan, di mana aku akan menanyakan
satu pertanyaan dan Trevor akan menjawabnya dengan tidak lebih dari lima kata.
Setelah selesai makan malam, Trevor masih juga tidak berkata-kata. Akhirnya, aku
berkata, “Are you feeling okay?
Trevor terlihat terkejut dengan pertanyaanku. “Yes. Why?
“Selama satu jam makan malam kita, kamu belum pernah mengucapkan kalimat
yang lebih panjang dari lima kata,” balasku, sambil menghirup teh panas.
Trevor terlihat malu mendengar penjelasanku. Wajahnya memerah, dia melepas
kacamatanya dan menyekanya dengan saputangan berwarna putih, yang terlihat
sudah sangat kusut karena keluar-masuk kantong celananya selama satu jam
pertemuan kami.
Shall we go, then?” tanyaku.
“Saya mohon maaf karena tidak bisa jadi teman bicara yang baik malam ini,”
ucap Trevor pelan. Aku ternganga mendengarnya karena inilah kalimat terpanjang
yang diucapkannya sepanjang malam.
That‟s okay,” balasku, mencoba tetap ramah. Aku sudah terlalu lama tinggal di
North Carolina sehingga tidak ada alasan bagiku bertingkah tidak sopan terhadap
orang lain, meskipun orang itu telah membuatku gondok semalaman.
“Saya ada ujian besok, yang agak membuat saya khawatir. Saya pikir saya
sudah mempelajari semuanya, tetapi otak saya terlalu penuh sampai tidak bisa
mengingat apa pun yang telah saya pelajari.” Trevor mengucapkan kalimat itu
dalam satu tarikan napas.
Aku hanya bisa bengong menatapnya, kemudian tertawa terbahak-bahak.
Trevor menatapku bingung.
“Oh, saya pikir kamu diam saja karena tidak suka kepada saya. Baguslah kalau
bukan itu alasannya,” jelasku, di antara tawaku.
Trevor terlihat terkejut dengan penjelasanku, lalu dia pun tertawa. Untuk
pertama kalinya aku bisa melihat Trevor cukup cute dengan gigi yang rapi dan suara
tawa yang penuh kehangatan. Aku yakin dia akan menjadi dokter anak yang sukses
suatu hari nanti. Tiba-tiba Trevor berkata, “Awww... kamu tidak perlu khawatir
tentang itu. Kamu terlalu menarik untuk diacuhkan. I would love to go out with you
again next time.”
“Apakah kalimat kamu akan lebih panjang dari lima kata?” candaku.
Trevor tertawa mendengar pertanyaanku. “Aku janji, kalimat-kalimatku akan
lebih panjang dari lima kata,” balasnya.
Then we have a deal.” Untuk mengganggunya, kusodorkan tangan kananku
mengajaknya berjabat tangan.
Trevor tertawa dan menjabat tanganku. Kami lalu membayar makan malam
kami masing-masing, dan berpisah di depan pintu masuk restoran setelah bertukar
nomor telepon.
Keesokan paginya, Sandra meneleponku dan menanyakan kencanku dengna
Trevor. Setelah memikirkan dalam-dalam kencan pertamaku itu sambil merendam
tubuhku dengan air hangat ditemani Nelly Furtado dan sabun mandi berbau melati,
aku memastikan bahwa Trevor sama sekali bukan tipeku. Meskipun Trevor cukup
cute dan jelas-jelas tajir karena bisa kuliah kedokteran di Wake Forest University,
salah satu universitas swasta termahal di Amerika yang biaya per semesternya
cukup untuk membeli satu rumah di Jakarta, aku tidak bisa melanjutkan kencan
kami.
Di luar segala sesuatu yang bersifat material, aku yakin aku akan bosan kalau
meneruskan kencan dengan Trevor. Meskipun dia mengatakan dia biasanya cukup
menyenangkan, entah mengapa aku meragukan itu. Dengan jujur aku mengatakan
hal itu kepada Sandra, yang mendengarkan dengan penuh pengertian. Dia juga
meminta maaf karena kencnaku tidak berjalan semulus yang telah direncanakan
MBD.
Aku sebetulnya sedikit cemas setelah kencanku dengan Trevor. Bagaimana
kalau semua klien laki-laki MBD ternyata seperti Trevor? Ketika aku
mengemukakan kekhawatiranku kepada Didi, dia berkata aku tidak boleh terlalu
pesimis. Tidak semua laki-laki di seantero North Carolina membosankan seperti
Trevor. Aku percaya dengan kata-kata Didi. Sekali lagi, aku tidak mengerti mengapa
aku bisa percaya dengannya, adikku yang suka sok tahu itu.
* * *
Hari Selasa pagi Sandra meneleponku dan memberitahu aku akan memiliki dua date
sekaligus akhir minggu ini. Hari Jumat malam aku akan bertemu dengan Reggie,
African-American, tingginya 180 sentimeter, berumur 26 tahun, dan seorang psikolog.
Aku harus pergi ke Concord, sekitar 45 menit dari rumahku, untuk bertemu
dengannya. Reggie akan datang dari Charlotte, yang jaraknya sekitar dua jam dari
rumahku. Hari Sabtu siang aku akan bertemu dengan Gabriel, Hispanic, tingginya
nyaris hampir dua meter, berumur 35 tahun, dan seorang banker. Kami akan
bertemu di Burlington, sekitar satu jam dari Winston-Salem. Aku meragukan dua
pilihan ini karena aku belum pernah berkencan dengan laki-laki African-American
ataupun Hispanic sebelumnya. Aku hanya berharap mereka tidak akan terlalu
berbeda dengan laki-laki pada umumnya.
Sore itu sepulang dari kantor aku langsung menuju Fresh Market untuk
berbelanja. Persediaan bahan makanan di rumahku sudah sangat minim, dan aku
berencana mencoba resep yang aku lihat beberapa hari yang lalu di Cooking Channel.
Sewaktu aku masih tinggal bersama Didi, dialah yang aku jadikan korban untuk
mencoba resep terbaruku. Kemudian ketika aku bersama Brandon, kualihkan semua
perhatianku kepadanya. Aku menertawakan diriku sendiri. Selama tiga tahun aku
mengutamakan Brandon dalam hidupku. Segala sesuatu yang kulakukan adalah
untuknya. Bahkan kepindahanku ke North Carolina dari Washington D.C. pun agar
aku bisa lebih dekat dengannya.
Aku pertama kali bertemu Brandon di suatu klub malam di Washington D.C.,
dan aku langsung jatuh cinta kepadanya. Tubuhnya tinggi besar dengan lengan
kekar yang ditutupi kemeja hitam, yang jelas-jelas dibeli dari sebuah butik designer
kenamaan. Dia terlihat sangat nyaman dengan tubuhnya itu. Namun demikian,
daya tarik Brandon ada pada rasa percaya dirinya. Hal ini terlihat dari caranya
berjalan, yang seakan-akan dunia ini miliknya. Ada banyak wanita di dalam klub itu
yang ingin menarik perhatiannya, tetapi dia justru menghampiriku. Temantemanku
langsung menyingkir sambil tersenyum tersipu-sipu ketika Brandon
menarik tanganku untuk dance dengannya. Meskipun aku sudah flirting dengannya
dengan tatapan mataku selama satu jam, aku masih tetap merasa sedikit terkesima
karena tidak menyangka dia berani mendekatiku. Jadi, aku hanya menurut saja,
bahkan tidak mengatakan apa pun ketika Brandon menarikku ke pelukannya dan
mengatakan betapa seksinya aku. Aku masih ingat bau kulitnya yang membuat
kepalaku dipenuhi hal-hal yang seharusnya tidak aku pikirkan.
Brandon memberitahu dia kuliah hukum di Wake Forest University. Saat itu
aku pikir dia bercanda karena Brandon terlihat lebih seperti dumb jock, laki-laki yang
hanya berbadan besar tapi kurang berotak. Brandon pun menjelaskan siapa dirinya,
dan aku tidak lagi meragukan kapasitas otaknya. Menurutnya, dia berada di
Washington D.C. selama musim panas untuk melakukan internship dengan salah
satu law firm yang berspesialisasi dalam menangani kasus-kasus hak asasi manusia.
Aku semakin jatuh cinta kepadanya karena kelihatannya dia tipe laki-laki yang aku
inginkan sebagai seorang pendamping. Dia amat peduli kepada orang lain dan
ambisius, dua sifat yang aku yakin akan membantu masa depannya untuk menjadi
pengacara sukses. Setelah malam itu, aku dan Brandon seperti tidak bisa dipisahkan.
Ketika musim panas berakhir, Brandon harus kembali ke North Carolina untuk
menyelesaikan tahun terakhir kuliahnya.
Brandon mengundangku mengunjunginya di Winston-Salem pada akhir musim
gugur di tahun yang sama. Aku pun menerima undangan itu dengan sukacita.
Setelah itu kami selalu berusaha bertemu sesering mungkin. Terkadang Brandon
terbang menemuiku di Washington D.C. atau aku terbang ke Winston-Salem
menemuinya pada akhir minggu. Brandon lulus sebagai valedictorian atau lulusan
terbaik, dan menerima tawaran bekerja di perusahaan hukum terbesar di North
Carolina. Dua bulan kemudian, aku pindah menetap di Winston-Salem. Pada saat
itu, Didi menasihatiku agar tidak melakukan hal ini. Dia tidak ingin hidupku harus
diatur laki-laki. Akan tetapi, aku yang sedang jatuh cinta setengah mati dengan
Brandon tidak mau mendengarkan nasihat itu.
Kini lihatlah aku, merana dan sendirian! Selama ini hidupku hanya dipenuhi
oleh Brandon sehingga aku tidak mempunyai kehidupan lain di luar dirinya. Aku
tidak punya teman setelah putus dengannya karena semua temanku di Winston-
Salem adalah teman-teman Brandon. Jadi, begitu aku putus dengna Brandon, maka
putus jugalah tali persahabatan yang telah aku jalin dengan mereka. Awalnya aku
sempat sakit hati dengan perlakuan ini, tetapi kemudian aku menyadari bahwa
mungkin mereka tidak tahu bagaimana harus menghadapiku. Jadi, daripada salah
bicara, mereka lebih memilih menjauh dariku.
Sebulan yang lalu aku sempat bertemu dengan Steven, salah satu rekan kerja
Brandon. Ia cukup peduli dan menanyakan kabarku. Dari wajahnya aku tahu dia
sudah paham tentang status hubunganku dengan Brandon. Steven memberi
informasi kepadaku bahwa “karena satu hal yang dia tidak bisa ceritakan” Brandon
sudah ditransfer ke cabang mereka di Memphis, Tennessee, salah satu cabang
terkecil, sedangkan Bella dipaksa mengundurkan diri oleh Bagian Personalia. Steven
tidak perlu memberitahuku apa „satu hal yang dia tidak bisa ceritakan itu.
Tampaknya bukan hanya aku saja yang mengamuk karena Brandon berselingkuh
dengan asistennya. Mau tidak mau aku jadi tertawa, meskipun hanya dalam hati.
Ternyata masih ada keadilan yang tersisa di dunia ini.
* * *
Aku memasuki Fresh Market, dan mulai memasukkan beberapa makanan serta
minuman ke dalam trolley. Dengan pensil aku mencoret benda-benda yang sudah
ada di dalam trolley satu per satu. Susu putih full cream, satu blok keju cheddar Kraft,
satu kotak Kellogs Frosted Flakes.... Daftarku terus berlanjut. Aku bergerak dari
bagian makanan segar, makanan beku, dan makanan kering. Hal terakhir yang aku
lakukan adalah mengambil satu ikat peterseli. Ketika aku sedang memilih peterseli
yang paling segar seseorang melayangkan pertanyaan kepadaku.
Excuse me, Ma‟am, but do you know which lettuce that I supposed to get if I want to
make a caesar salad?”
Aku langsung menoleh, dan harus mundur selangkah. Laki-laki yang ada di
sampingku ternyata lebih tinggi dari perkiraanku. Akan tetapi, bukan tingginya
yang membuatku melangkah mundur. Aku tidak pernah melihat mata sebiru itu.
Aku tidak tahu bagaimana reaksi mukaku, yang jelas mulutku ternganga dan pupil
mataku melebar. Laki-laki itu menatapku sambil mengerutkan dahinya.
Ma‟am?” tanyanya lagi.
Suaranya membuatku tersadar kembali dari serangan apopleksi. Aku menelan
ludah, baru kemudian berkata, “Romaine. You need to get romaine lettuce to make caesar
salad.” Suaraku terdengar seperti tikus terjepit.
Laki-laki itu memandangku, seolah-olah aku sedang berbicara dalam bahasa
Arab dengannya. Aku lalu sadar laki-laki ini tidak tahu selada apa yang dibutuhkan
untuk membuat caesar salad. Ada kemungkinan dia juga tidak tahu bentuk selada
romaine seperti apa. Aku lalu menjulurkan tanganku ke hadapannya, mengambil
satu ikat selada romaine, dan memasukkannya ke dalam plastik sebelum
memberikannya kepada laki-laki itu.
“Apakha ini cukup untuk enam orang?” tanyanya polos, sambil menggenggam
selada itu dengan tangan kanannya.
“Enam?” tanyaku, hanya untuk memastikan. Laki-laki itu mengangguk.
Men or women?”
Men. All men,” jawab laki-laki itu, sambil tersenyum.
Aku harus buru-buru membuang muka menghindari senyuman itu dengan
mengambil satu ikat selada romaine lagi untuknya. Dengan tatapan matanya yang
biru dan senyuman yang baru dia berikan, entah bagaimana aku masih bisa berdiri.
Dunia ini memang tidak adil. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa kelihatan
beautiful”? Laki-laki satu ini begitu indah dilihat sehingga membuatku limbung.
Seumur hidupku, tidak ada laki-laki yang bisa membuatku limbung seperti ini. Aku
tidak tahu, apakah itu karena aku sudah kehilangan kemampuanku untuk tetap bisa
kelihatan cool di hadapan laki-laki yang menarik perhatianku setelah terlalu lama
bersama Brandon, atau karena sudah terlalu lama aku tidak melihat laki-laki
seganteng ini setelah aku putus dengan Brandon.
Kuserahkan selada romaine yang kedua kepada laki-laki itu. Ia segera
meletakkan selada itu ke dalam trolley, yang sudha terisi dengan setidak-tidaknya
dua lusin kaleng heineken, lima botol pepsi berukuran satu setengah liter, dan
berbagai macam keripik.
“Persiapan untuk nonton pertandingan malam ini?” tanyaku, sambil menunjuk
trolley-nya.
“Ya. Apakah kamu fans olahraga football?” tanyanya, sambil tersenyum dan
mata berbinar-binar.
“Nggak, tapi kebanyakan orang di kantor saya fans berat olahraga ini. Gators
malam ini akan berhadapan dengan Bulldogs, kan?”
Laki-laki itu mengangguk lagi, senyumnya semakin melebar. Aku bisa tahu
jadwal pertandingan football karena semua orang di kantor, terutama yang laki-laki,
tidak ada habis-habisnya membicarakan pertandingan antara tim American football
dari University of Florida, The Gators, dengan tim dari University of Georgia, The
Bulldogs.
“Saya Reilley,” ucap laki-laki itu, dan ia mengulurkan tangan kanannya.
Kusambut uluran tangannya yang terasa hangat. “Titania,” balasku.
“Wow... orangtua kamu pasti suka sekali dengan titanium, ya. Sampai-sampai
menamakan anak mereka seperti nama logam itu.”
Aku agak terkejut dengan komentarnya karena tidak banyak orang bisa
menghubungkan namaku dengan metal itu, yang harganya lebih mahal dari emas.
Banyak orang mengira namaku diambil dari Titanic. Bukan suatu pujian bila
mengingat kapal mewah itu sekarang berkarat di dasar Samudra Atlantik setelah
menabrak gunung es pada awal tahun 1900-an.
Reilley tidak hanya memiliki wajah yang bisa membuat para agel model rela
membayar mahal untuk menjadikan ia modelnya, tetapi dia juga punya otak yang
cukup cerdas.
“Ya, mereka memang fans berat logam itu,” ucapku, setelah bisa mengatasi rasa
kagetku.
Reilley mengangguk mendengar penjelasanku. “Kalau mau betul-betul
menghubungkan nama kamu dengan logam itu, seharusnya pengucapan nama
kamu „Taitania bukan „Teetania. Walaupun begitu, saya suka dua-duanya,”
lanjutnya, sambil mengedipkan mata kirinya.
Sejujurnya, aku akan lari terbirit-birit saat itu juga bila laki-laki lain
mengedipkan mata kepadaku, tetapi cara Reilley melakukannya lebih terkesan
bercanda daripada menggoda.
“Apakah nama kamu ejaannya R-I-L-E-Y?” tanyaku, sambil mengeja namanya.
“Bukan. Ejaannya R-E-I-L-L-E-Y,” balasnya.
“Oh... seperti Bill OReilley,” ucapku, tanpa sadar bahw aaku sudah mengatakannya.
Aku agak bingung juga, bagaimana aku bisa ingat cara nama pembawa
berita di televisi itu dieja.
Yeeesss...,” sambutnya penuh semangat. Aku tertawa melihat reaksinya yang
antusias itu.
Tiba-tiba kami terdiam. “I better go then. Have fun watching the game,” ucapku.
Aku bersiap-siap mendorong trolley ke kasir dan menghindar dari laki-laki bermata
biru, yang seakan-akan menarik semua oksigen dari saluran pernapasanku.
Tiba-tiba Reilley berkata lagi. “Apakah kamu tahu apa lagi yang saya perlukan
untuk membuat caesar salad?”
Aku menghentikan langkahku, dan berpikir sejenak. “Kamu perlu keju
parmigiano, lada hitam, dan tentunya bumbu caesar. Kamu juga bisa menambahkan
croutons di atasnya kalau mau.”
Reilley menatapku bingung. “Saya nggak tahu semua yang barusan kamu
sebutkan. Saya hanya tahu keju,” ucapnya, sambil berbisik.
Mau tidak mau aku jadi tertawa lagi ketika mendengar kata-katanya dan
melihat ekspresi wajahnya yang tersipu-sipu. Bagaimana mungkin laki-laki dengan
tubuh sebesar dia bisa terlihat menggemaskan. Aku rasanya ingin membawanya
pulang, membuatkan susu hangat untuknya dan membacakan cerita dongeng,
kemudian memeluknya sampai dia tertidur. Aku menarik napas dalam-dalam. Aku
tahu kemungkinan besar aku akan menyesali keputusanku ini, tetapi aku tidak tega
membiarkan orang yang jelas-jelas memerlukan bantuanku. Kudorong trolley
belanjaanku ke salah satu sudut agar tidak mengganggu jalan orang lain.
“Ayo, saya bantu kamu mencari semua bahan untuk membuat caesar salad,”
ucapku.
Reilley terlihat terkejut dengan tawaranku, tetapi dia langsung menerimanya
dengan sukacita. Ketika kami sedang berjalan menuju bagian keju, aku bertanya,
“Mengapa kamu ingin membuat caesar salad kalau tidak tahu apa yang kamu
perlukan?”
“Ini untuk taruhan. Merka bilang saya tidak bisa masak sama sekali. Saya akan
membuktikan mereka salah.”
Aku menahan tawa ketika mendengar alasannya. “Mereka itu siapa?” tanyaku.
“Teman-teman saya,” jawabnya, sambil memicingkan matanya. “Kamu
menertawakan saya, ya?” tanyanya curiga.
“Nggak,” jawabku. Aku harus membuang muka agar dia tidak bisa melihat
tawaku, yang aku yakin akan meledak sebentar lagi. Tampaknya Reilley tidak tahu,
membuat salad tidak bisa digolongkan dalam kategori memasak karena tidak ada
bahan-bahan yang perlu dimasak.
Dari sudut mataku aku lihat Reilley sedang memperhatikan wajahku. “Kamu
memang menertawakan saya,” katanya putus asa.
Aku tidak bisa menahan tawaku lagi. Untungnya kami sudah tiba di rak keju,
aku segera mengambil satu pak keju parmigiano dan meletakkannya di dalam trolley
yang didorong Reilley.
“Ayo, kita ambil bumbu caesar untuk kamu,” ucapku, dan berjalan mendahului
Reilley menuju rak bumbu-bumbu.
“Titania,” panggil Reilley. Caranya mengucapkan namaku membuatku agak
merinding. Seperti ada air dingin yang dialirkan dari ujung rambut ke seluruh
tubuhku.
Yes,” jawabku, sambil tetap berjalan tanpa menolehkan kepalaku kepadanya.
Aku berjalan beberapa langkah lagi diiringi bunyi roda trolley dan langkah Reilley
yang terdengar sigap, dan menunggu Reilley berbicara lagi. Ketika dia tidak
berbicara juga aku menoleh ke belakang.
“Ya... Reilley, kamu tadi ingin bertanya apa kepada saya?” tanyaku.
Reilley menggeleng.
Kami tiba di depan rak panjang berisi berbagai jenis caesar dressing. Aku
mengambil brand kesukaanku, dan sekali lagi meletakkannya ke dalam trolley
belanjaannya.
“Apakah kamu punya lada hitam di rumah atau kamu perlu beli?”
“Kelihatannya ada, tetapi saya nggak tahu apakah itu sesuai dengan yang kita
butuhkan. Lebih baik kita beli saja, untuk jaga-jaga,” balas Reilley, sambil nyengir
kepadaku.
Aku mencoba tidak menghiraukan kata-kata Reilley, yang menggunakan kata
“kita” dan bukan “saya”. Aku lalu berjalan ke ujung rak panjang untuk mengambil
satu kotak lada hitam dan menyerahkannya kepada Reilley.
“Apakan kamu ingin croutons untuk salad kamu?” Aku berdiri di hadapan
Reilley sambil berkacak pinggang.
Kulihat sudut kiri bibir Reilley tertarik ke atas, seolah-olah dia akan tersenyum.
Merasa canggung dengan tatapannya, aku pun menurunkan tangan dari
pinggangku.
“Kok senyum?” tanyaku ingin tahu.
“Nggak, rasanya kita nggak perlu croutons,” ucap Reilley, jelas-jelas ia tidak
menjawab pertanyaanku yang kedua. Sekali lagi dia menggunakan kata “kita”,
seakan-akan aku dan dialah yang akan membuat salad itu.
Okay, then you are set,” balasku, sambil tersenyum dan mulai melangkah
kembali menuju trolley belanjaanku. Dari sudut mataku kulihat Reilley mendorong
trolley belanjaannya mengikutiku.
I guess I am.” Reilley terdengar khawatir ketika mengucapkan kata-kata itu.
Kuhentikan langkahku, dan menatapnya. Trolley belanjaan Reilley menyenggol
pinggulku.
“Kamu tahu cara membuat salad, kan?” tanyaku curiga.
“Saya pernah melihat orang membuatnya,” jawabnya, dengan wajah memerah.
“Di mana?” Aku semakin bertambah curiga.
“Di TV.”
Meledaklah tawaku. Reilley pun tertawa bersamaku. Suara tawanya terdengar
berat. Tampak kerut-kerut di sudut matanya, yang membuat wajahnya terlihat lebih
ramah dan hangat.
Man, you‟re hopeless,” candaku.
“Kamu bisa tanya apa saja tentang otomotif atau elektronik kepada saya, tetapi
kalau untuk urusan makanan dan fashion saya betul-betul buta,” katanya, sambil
masih tertawa.
Kami lalu mulai berjalan lagi menuju trolley belanjaanku. “Cukup gampang kok
sebetulnya membuat caesar salad, kamu hanya...” Kucoba menggambarkan sedetail
mungkin cara membuat caesar salad. Reilley mendengarkanku dengan saksama.
Good. Kamu ingat semua langkah-langkahnya persis seperti yang saya sudah
jelaskan kepada kamu,” pujiku ketika Reilley bisa mengulangi instruksiku dengan
sedetail-detailnya.
“Ingatan saya cukup kuat,” balasnya, sambil mengetuk kepalanya dengan jari
telunjuknya.
Well, you better go. Kamu nggak mau ketinggalan pertandingannya, kan?”
kataku, sambil mendorong trolley belanjaanku menuju kasir.
Thanks for your help!” teriak Reilley.
Aku mengangguk dan melambaikan tangan, sambil tersenyum.
Ketika sampai di rumah dan membongkar belanjaanku, aku baru tahu ternyata
aku lupa membeli peterseli untuk makananku. Aku pun tertawa. Ternyata Reilley
telah memenuhi pikiranku lebih daripada yang aku perkirakan. Karena malas
kembali lagi ke supermarket, aku akhirnya memutuskan membuat makanan lain
dan menunda mencoba resep dari Cooking Channel untuk lain waktu. Setelah makan
malamku siap, kunyalakan TV dan mencari channel CNN untuk menonton world
news. Lagi-lagi China terkena gempa bumi, dan ada pesawat jatuh di Brazil. Seperti
juga beberapa bulan yang lalu, keadaan perekonomian dunia masih terpuruk dan
tampaknya tidak akan ada banyak perubahan untuk beberapa tahun ke depan.
Aku selalu membuka mata dan telingaku lebar-lebar saat menonton CNN. Aku
berharap dna juga khawatir kalau-kalau Indonesia, negara tercintaku yang telah aku
tinggalkan selama lebih dari sepuluh tahun, akan masuk liputan berita. Aku tahu
apabila sesuatu yang buruk terjadi di Indonesia, seperti tsunami yang menimpa
Aceh beberapa tahun yang lalu, orangtuaku pasti akan memberitahuku. Tetap saja
aku waswas karena telah meninggalkan orangtuaku, yang akan melewati umur 60
tahun mereka sebentar lagi, berada beribu-ribu kilometer dariku tanpa dijaga oleh
siapa pun juga. Aku berharap suatu saat aku akan bisa kembali lagi ke Indonesia.
Dalam keadaan ekonomi seperti saat ini, akan lebih menguntungkan apabila aku

tetap tinggal di Amerika untuk sementara waktu.


BLIND DATE - PART 3

No comments:

Post a Comment