Friday, September 4, 2015

BLIND DATE - PART 1

1
www.myblinddate.com


TIK... TOK... TIK... TOK.... Bunyi jam dinding semakin membuatku tidak nyaman.
Meskipun aku dapat mendengar musik klasik di antara bunyi jam dinding itu,s
emuanya tidak bisa mengalahkan suara detak jantungku sendiri. Sambil pelan-pelan
meminum kopi, sekali lagi kuperhatikan sekelilingku. Berada di dalam ruangan ini
mengingatkanku akan butik-butik yang ada di Rodeo Drive. Hah... kayak aku
pernah masuk saja ke butik-butik itu. Aku hanya pernah melihatnya ketika
menonton acara The Osbournes di MTV. Walaupun begitu, yang jelas segala
sesuatunya tentang ruangan ini meneriakkan kata MAHAL dan SUKSES. Mulai dari
karpet tebal warna putih yang terhampar di kakiku hingga sofa modern warna
merah darah yang aku duduki. Meja kaca dengan kaki warna putih di hadapanku
dipenuhi dengan majalah-majalah fashion edisi terbaru. Wajah Jessica Alba, Angelina
Jolie, Nicole Kidman, dan artis Hollywood lainnya menghiasi sampul majalahmajalah
itu. Seorang wanita bernama Kirsten duduk di belakang meja kaca
berbentuk seperti angka delapan. Di hadapan Kirsten terdapat papan bertuliskan
RECEPTION. Kirsten tersenyum ramah kepadaku. Aku pun membalas
senyumannya dengan canggung.
Aku masih tidak percaya bahwa aku ada di sini, lebih-lebih lagi di tempat ini.
Selama ini aku selalu berpikir bahwa wanita yang memerlukan jasa blind date adalah
tipe wanita yang:
1. Berwajah jelek, hidung seperti nenek sihir, mata jereng atau terlalu besar
seperti ikan mas koki, atau gigi gingsul mirip vampir.
2. Berpenampilan buruk, termasuk tidak tahu cara memilih pakaian yang sesuai
dengan bentuk tubuh sehingga terlihat seperti lemper.
3. Tidak memiliki tata krama, misalnya suka berbicara dengan mulut penuh
makanan.
4. Terlalu tua sehingga pilihannya jadi sangat terbatas.
5. Dipaksa orangtua untuk menikah secepatnya.
6. Senang menggoda, dan hanya menginginkan laki-laki untuk hiburan mereka.
Aku tidak memiliki satu pun karakteristik itu. Pertama, aku tahu bahwa aku
tidak cantik seperti bintang film atau supermodel, tetapi aku cukup menarik dengan
rambut agak ikal dan wajah oval. Tubuhku cukup proporsional dengan tinggi 155
sentimeter dan berat badan 52 kilogram. Kulitku meskipun tidak kuning langsat,
masih tetap menggambarkan kulit wanita Asia pada umumnya, yaitu kuning
kemerah-merahan. Kedua, banyak orang mengatakan selera bajuku patut ditiru
karena aku selalu bisa memilih pakaian yang akan menonjolkan fisikku dan
menyempurnakan penampilanku sebagai wanita Asia yang sukses hidup dan
bekerja di Amerika. Ketiga, umurku masih 27 tahun, masih cukup muda. Keempat,
orangtuaku tidak pernah memaksaku untuk menikah secepatnya, mereka bahkan
terkesan tidak peduli apakah aku akan menikah atau tidak. Terakhir, meskipun aku
tidak pernah mengalami masalah untuk mendapatkan laki-laki yang aku mau, aku
bukan tipe wanita penggoda karena aku lebih memilih hubungan yang serius
daripada one night stand.
Jadi, mengapa aku ada di sini? Aku ada di sini karena usahaku coba mencari
calon suami sendiri selama dua bulan tidak juga membuahkan hasil. Akhirnya, aku
harus mengaku kalah dan datang ke tempat ini. Aku menemukan
www.MyBlindDate.com dari Didi, adikku yang sedang menyelesaikan studi
doktornya di bidang psikologi di Washington D.C. Ia fans berat acara Oprah
Winfrey. Di salah satu episodenya seminggu yang lalu, Oprah membahas mengenai
blind date, dan selebriti berkulit hitam paling sukses di Amerika itu sangat
merekomendasikan MyBlindDate atau MBD sebagai salah satu perusahaan kencan
buta terbaik bagi wanita-wanita sibuk untuk bertemu calon suami. Usut punya usut,
ternyata MBD mempunyai cabang di Greensboro, North Carolina, kota terdekat
dengan tempat tinggalku. Setelah memberanikan diri menelepon MBD beberapa
hari yang lalu dan membuat janji, Sabtu pagi ini aku bela-belain berkendaraan
menempuh jarak selama 45 menit dari Winston-Salem.
Berdasarkan informasi yang telah aku kumpulkan melalui internet, MBD
didirikan sejak tahun 1985 atas dasar pengalaman wanita bernama Tracy Kelly dari
Chicago, yang bernasib sama denganku. Jumlah klien mereka sudah mencapai
ribuan. MBD memberikan pernyataan bahwa hampir setiap hari mereka menerima
berita pertunangan ataupun pernikahan dari klien-klien mereka. Jadi, aku memiliki
cukup keyakinan akan kesuksesannya.
Tidak lama kemudian seorang wanita bule berambut pirang dengan tinggi
hampir 1.80 meter menghampiriku sambil tersenyum lebar. Otomatis aku langsung
merasa cocok dengan wanita ini. Wajahnya mengingatkanku akan Reese
Witherspoon, yang menurutku menggambarkan keramahan dan persahabatan.
Hi, I‟m sorry that you have to wait. I‟m Sandra,” ucap wanita bule itu.
Aku mengangguk, lalu berdiri dan menjabat tangannya. Tanpa basa-basi lagi
Sandra langsung menggiringku ke ruangannya. Kutinggalkan cangkir kopiku yang
masih setengah penuh di meja lobi. Ruang kerja Sandra ternyata tidak berbeda
dengan lobi yang baru aku tinggalkan. Semua perabot yang ada di dalamnya terlihat
modern dan berteknologi canggih. Setelah mempersilakan aku duduk, Kirsten
datang menyerahkan beberapa lembar kertas dengan tulisan tanganku di atasnya.
Kertas itu berisi informasi mengenai diriku dan tipe laki-laki yang aku inginkan.
Setelah Kirsten keluar ruangan, Sandra lalu duduk di belakang meja dan terlihat
menyimak lembaran-lembaran kertas itu selama beberapa menit, kemudian
tersenyum kepadaku.
“Titania Larasati. Apakah saya mengucapkannya dengan benar?” tanya Sandra.
Yes,” balasku, sambil tersenyum juga.
“Nama yan gbagus.”
“Terima kasih. Orangtua saya tergila-gila pada titanium.”
Sandra tertawa mendengar komentarku.
“Oke, kalau Anda tidak keberatan saya akan membacakan kembali apa yang
Anda sudah tuliskan mengenai persyaratan yang Anda inginkan dari pasangan date
Anda. Kami hanya ingin memastikan agar tidak terjadi salah paham.” Sandra
terdengar serius, meskipun wajahnya masih tersenyum ramah.
Aku mengangguk.
“Anda menulis bahwa Anda ingin pasangan date Anda tingginya antara 165
hingga 180 sentimeter?”
“Ya, apakah itu akan bermasalah?” tanyaku ragu. Aku memang tidak suka lakilaki
yang terlalu tinggi karena mereka akan membuatku merasa seperti kurcaci.
Dengan ukuranku yang bisa dibilang kecil kalau dibandingkan dengan wanita
Amerika pada umumnya, aku merasa lebih nyaman dengan laki-laki yang tingginya
antara 165 hingga 180 sentimeter.
“Nggak, ini nggak akan bermasalah. Hanya saya pikir Anda memerlukan lakilaki
yang lebih tinggi dari 165 sentimeter. Apakah Anda mengenakan sepatu hak
sewaktu Kirsten mengukur tinggi Anda?” tanya Sandra.
“Nggak, sepatu saya lepas,” jawabku.
Sandra lalu berdiri dan melepaskan sepatu haknya. “Tinggi saya 160 sentimeter,
dan tinggi Anda tidak jauh dari saya.”
Aku lalu ikut berdiri dan mengukur tinggiku di samping Sandra. Benar juga,
ucapku dalam hati.
“Benar, kan?” Sandra tersenyum kepadaku.
“Mmmhhh... Saya selalu berpikir bahwa saya lebih pendek dari ini,” gumamku.
Sandra tertawa mendengarku. “Kebanyakan wanita lupa kalau mereka lebih
sering pakai sepatu hak daripada tidak.” Sandra mencoba menenangkanku. “Saya
rasa akan lebih baik bila Anda mengubah tinggi minimum pasangan Anda menjadi
170 sentimeter.”
Aku menyetujui saran itu.
“Untuk umur, Anda memilih antara 26 hingga 40. Betul?”
Aku mengangguk. Didi telah mengingatkanku agar memilih laki-laki di atas
umur 30 tahun karena menurutnya laki-laki yang belum mencapai usia kepala tiga
kurang dewasa. Aku tidak terlalu setuju dengan pendapatnya, mengingat
pengalaman kedua orangtuaku. Usia bapakku lebih muda dua tahun dari ibuku,
dan pernikahan merkea berjalan lancar-lancar saja. Umurku akan menginjak 28
beberapa bulan lagi, aku yakin laki-laki berumur 26 tahun sudah cukup dewasa
untuk dipertimbangkan sebagai prospek suami.
“Itu juga tidak akan bermasalah. Kami ada banyak klien laki-laki yang masuk
dalam kategori umur tersebut.”
Sandra kemudian menambahkan, “Anda terbuka dipasangkan dengan laki-laki
dari berbagai ras. Sekali lagi, itu akan membuat kami lebih mudah menemukan
pasnagan date untuk Anda.” Sandra mengedipkan matanya kepadaku sambil
tersenyum.
Aku tertawa melihat ekspresinya. Didi berkata kepadaku bahwa laki-laki dari
Amerika Selatan cenderung sangat mencintai istrinya, meskipun mereka juga paling
sering selingkuh. Laki-laki bule kebanyakan akan menjadi botak kalau sudah tua.
Hal ini mengingatkanku akan Bruce Willis, yang kepalanya sudah dibiarkan botak
selama sepuluh tahun terakhir untuk menutupi kenyataan dia sudah kehilangan
rambutnya pada usia yang cukup dini. Laki-laki Asia biasanya kurang menghargai
istri, sedangkan laki-laki African American malah justru kalah terhadap perempuan.
Sebenarnya, aku tidak tahu mengapa aku mendengarkan Didi, padahal Didi sama
sekali tidak berpengalaman dalam berpacaran.
“Anda mengharuskan pasangan date Anda single dan unattached. Apakah Anda
bersedia dating dengan laki-laki yang statusnya baru „pisah dari istri mereka?”
tanya Sandra.
Tanpa berpikir aku langsung menjawab, “Nggak. Saya ingin mereka „single sesingle-
single-nya. Tidak duda cerai, dan terutama tidak laki-laki yang secara hukum
masih terikat pernikahan, meskipun mereka mengatakan mereka sudah pisah.”
Ini adalah salah satu persyaratan yang sempat kubahas panjang-lebar dengan
Didi. Aku dan Didi setuju, aku sebaiknya tidak melayani laki-laki beristri yan
gmasih senang “belanja”, tidak peduli apa pun alasan yang mereka kemukakan.
Pendapat kami agak berbeda mengenai duda cerai. Menurut Didi, laki-laki yang
sudah pernah bercerai bukan berarti laki-laki yang tidak bisa menjadi suami yang
baik. Ada begitu banyak faktor yang bisa menjadi penyebab perceraian. Walaupun
begitu, aku tidak mau mengambil risiko. Kami juga membahas mengenai duda yang
ditinggal mati istrinya, baik duda yang tidak mempunyai anak maupun ada anak.
Akhirnya, kami setuju bahwa aku harus menghindari duda jenis apa pun juga.
Sandra mengangguk. “Anda mencentang boks untuk area North Carolina saja,”
lanjut Sandra.
“Saya rasa akan lebih baik bagi saya mulai dengan laki-laki yang tinggal cukup
dekat dengan saya, tetapi saya bisa mengubahnya nanti kan kalau misalnya saya
tidak bisa menemukan pasangan yang cocok setelah enam bulan?” Aku mencoba
menjelaskan alasanku mencentang pilihan itu.
“Oh, Anda tidak perlu khawatir soal itu. Saya cukup yakin Anda akan
menemukan pasangan yang cocok dalam waktu enam bulan.” Sandra terdengar
yakin.
“Oh, ya?” tanyaku bingung dan kaget.
Sandra mengangguk. “Anda adalah tipe wanita yang biasanya dicari laki-laki
dalam suatu relationship.”
“Oh,” adalah satu-satunya kata yan gkeluar dari mulutku. Aku merasa terlalu
ge-er untuk menanggapi pernyataan Sandra dengan kata lain, meskipun kalau aku
mau jujur dengan diriku sendiri aku tahu itu memang kenyataannya. Aku memang
tidak pernah mengalami masalah untuk menggaet laki-laki, tetapi mendengar
seseorang mengkonfirmasikan sesuatu yang aku hanya bisa rasakan, masih tetap
membuatku canggung.
Sandra tertawa melihat reaksiku.
“Anda tidak perlu menjawab pertanyaan berikut ini, tetapi kalau Anda bisa itu
akan sangat membantu kami lebih memahami Anda dan menemukan pasangan
yang paling cocok untuk Anda.”
Go ahead,” ucapku, mengizinkan Sandra menyampaikan pertanyaannya.
“Apakah yang membuat Anda datang ke MBD?”
Aku tertawa sebelum menjawab. “Saya baru putus dari hubungan yang cukup
serius beberapa bulan yang lalu. Setelah melakukan makeover, termasuk memotong
pendek rambut saya, membeli baju baru dengan warna yang lebih cerah, saya
memutuskan melanjutkan hidup dan datang ke MBD.”
Well said,” balas Sandra penuh pengertian. “People should quote those words that
you just told me and turned it into a movie or something.”
Aku tertawa terbahak-bahak mendengar komentarnya. Kini aku memang bisa
menertawakan keadaanku, tetapi tidak tiga bulan yang lalu. Aku tidak
menceritakan kejadian sebenarnya bahwa aku melihat Brandon, pacarku selama tiga
tahun, selingkuh dengan asistennya. Aku ingat betul kejadian pada akhir bulan Mei
lalu itu. Aku baru saja sampai di apartemen pukul enam hari Jumat sore ketika
Brandon menelepon untuk menunda date kami karena dia harus lembur. Dia berjanji
akan menelepon kembali setelah pekerjaannya selesai. Aku tentunya tidak
berkeberatan, aku justru senang karena pacarku begitu tekun dengan pekerjaannya.
Beberapa minggu ini memang Brandon sering pulang malam karena salah satu klien
terbesarnya sedang terkena kasus. Sebagai salah satu pengacara termuda di
kantornya, aku justru merasa bangga karena para partner di kantornya melibatkan
pacarku untuk menyelesaikan kasus itu sehingga aku sama sekali tidak curiga akan
jam kerjanya yang tiba-tiba berubah.
Aku lalu menyempatkan diri membuatkan pasta jamur kesukaannya karena aku
tahu dia pasti akan datang dengan wajah kelaparan, seperti biasanya. Akan tetapi,
setelah menunggu hingga pukul tujuh malam dan Brandon masih belum telepon
juga, akhirnya aku pun menghubungi kantornya. Anehnya tidak ada yang
mengangkat. Aku lalu menghubungi telepon selularnya, tapi panggilanku langsung
masuk ke voicemail. Dengan pemikiran bahwa aku akan memberikannya kejutan jika
aku muncul di kantornya dengan membawa makan malam untuknya, aku
menempuh jarak 30 menit untuk tiba di bangunan kantornya yang terlihat sepi
kecuali bagian lobinya.
Hello, Miss Titania, coming to see Mr. Brandon?” tanya Leonard, satpam kantor
Brandon. Ia tersenyum ramah dan aku bisa melihat deretan giginya yang putih,
kontras sekali dengan kulitnya yang berwarna ebonit.
Yes, is he still here? Saya bawakan dia makan malam,” balasku tidak kalah
ramahnya. “Apakah kamu sudah makan malam?”
You are a sweet woman. Ya, saya sudah makan sekitar satu jam yang lalu, thanks
for asking.”
Aku tersenyum mendengar jawaban Leonard. Itulah salah satu sebab mengapa
aku menyukai North Carolina, orang-orangnya sangat ramah.
“Mr. Brandon masih di atas dengan Miss Bella. Sebentar, saya telepon beliau
dulu untuk memberitahu bahwa Anda ada di sini,” ucap Leonard lagi. Ia lalu
mengangkat telepon.
Aku mengangguk. Rupanya memang kasus yang Brandon hadapi cukup serius
karena bahkan Bella, asistennya, juga harus lembur.
“Tidak ada yang menjawab.” Leonard terlihat sedikit bingung. “Mari, saya antar
Anda ke ruangannya,” ucap Leonard. Aku tahu bahwa di kantor Brandon apabila
ada nonpegawai yang ingin masuk ke dalam, maka ia harus ditemani oleh salah
satu pegawai.
Leonard mengiringiku ke lift dan mengantarku ke ruangan Brandon di tingkat
delapan. Ketika pintu lift terbuka, lantai itu terlihat sepi dan redup. Leonard
kemudian berjalan menyeberangi ruangan yang dipenuhi dengan meja-meja yang
dipisahkan oleh beberapa sekat, tempat para asisten duduk pada siang hari. Aku
tidak melihat Bella di mana pun juga. Aku hampir tidak mengenali ruangan ini.
Terakhir kali aku ada di dalam ruangan ini ketika Brandon membawaku untuk
dikenalkan kepada kolega-koleganya hampir dua tahun yang lalu, dan pada saat itu
semuanya terlihat sibuk, bahkan ramai.
“Sepi sekali,” gumamku. Aku masih belum curiga ada sesuatu yang aneh
dengan keadaan ini.
Leonard hanya mengangkat bahunya, dan terus berjalan menuju ruangan yang
berseberangan dengan lift. Kami berdiri di depan pintu kayu berwarna cokelat tua
yang tertutup. Jendela sepanjang dua meter, yang terletak di sebelah pintu, juga
tertutup oleh kerai kayu horizontal. Ada sinar terang yang menembus ke luar,
menandakan masih ada orang di dalamnya. Leonard bersiap-siap mengetuk pintu
itu, tetapi aku berbisik perlahan.
“Biar saya yang melakukan. Saya ingin membuat kejutan untuknya.”
Leonard menyeringai, dan berjalan kembali menuju lift. Aku tersenyum melihat
wajah Leonard. Dalam hati aku berjanji akan membuatkan kue cokelat untuknya,
yang bisa dibawa Brandon pada hari Senin. Setelah menarik napas aku pun
membuka pintu itu perlahan-lahan, sebisa mungkin tidak mengganggu konsentrasi
Brandon apabila dia sedang bekerja. Akan tetapi, apa yang kulihat cukup
membuatku ternganga. Pacarku dan Bella dalam posisi “doggy style”. Pakaian
mereka masih cukup lengkap di bagian atas, tetapi tidak ada sehelai pakaian pun
dari pinggang ke bawah.
Aku mendengar suara orang berteriak kaget, dan aku baru sadar bahwa suara
itu adalah suaraku. Otomatis dua pasang mata langsung mengarah kepadaku. Mata
Brandon langsung melebar ketika melihatku.
Excuse me,” ucapku, dan buru-buru lari menuju lift. Aku tidak berhenti berlari
hingga sampai di dalam mobil. Aku bahkan tidak menghiraukan Leonard, yang
menanyakan apakah ada masalah ketika melihatku berlari melewati lobi bagaikan
dikejar setan. Aku tidak bisa berkata-kata, bahkan tidak mampu menangis. Aku
masih shock.
Untung saja aku selalu menolak tinggal bersama Brandon selama kami
berpacaran sehingga aku masih punya tempat tinggal setelah kejadian itu.
Walaupun begitu, aku merasa apartemenku tidak bisa memberikan kenyamanan
dan keamanan yang aku inginkan. Selama dua minggu aku terpaksa tinggal dengan
Didi di Washington D.C. untuk menghindar dari Brandon, yang setelah kutemukan
sedang ML dengan asistennya selalu meneleponku, mendatangi apartemenku,
bahkan menggangguku di kantor untuk meminta maaf. Setelah tahu aku tidak akan
pernah memaafkannya, Brandon berubah menjadi seorang stalker. Ia meneleponku
siang dan malam hanya untuk menutup kembali telepon itu apabila aku
mengangkatnya. Dengan rasa kesal akhirnya aku meneleponnya untuk
mengajaknya bertemu dan memutuskan hubunganku dengannya selama-lamanya.
Aku mengajaknya bertemu pada hari Minggu siang di tempat yang ramai untuk
mencegah pertemuan itu berubah menjadi sebuah konfrontasi yang akan melibatkan
kekuatan fisik. Selama tiga tahun kami bersama-sama, Brandon memang sama sekali
tidak pernah berbuat kasar terhadapku. Akan tetapi, Brandon laki-laki dan secara
fisik dia lebih kuat daripada aku. Apalagi Brandon sedang terluka, dan aku tahu
orang yang dalam kondisi seperti ini akan memiliki kecenderungan mudah kalap
kalau keinginannya tidak dipenuhi.
Brandon sedang duduk sendiri di meja favorit kami di restoran yang dia pilih
ketika aku datang. Sekali lagi aku harus mengakui Brandon adalah laki-laki paling
ganteng yang pernah aku pacari. Kemeja biru yang dikenakannya menempel
dengan sempurna pada bahunya yang tegap. Kedua lengannya yang berotot
ditutupi oleh sedikit bulu berwarna cokelat muda. Dia tersenyum dan aku kembali
ke realita. Didi pernah berkata bahwa senyum Brandon selalu terlihat palsu dan
tidak tulus. Aku tidak pernah mengerti apa yang dimaksud Didi hingga saat itu.
Senyum itu terlihat licik.
Let‟s get this over with,” ucapku tegas, lalu duduk di kursi di hadapan Brandon.
Brandon terlihat kaget mendengar nadaku, tetapi ketika melihatku duduk dia
pun menatapku dengan penuh harap. Dia masih tersenyum, kemudian
pandangannya tertuju ke dua kantong besar dari Old Navy yang ada di
genggamanku dan senyumnya langsung hilang dalam sekejap mata.
Do you want anything to eat?” tanyanya.
Seorang waiter mendatangiku, tetapi aku tidak memesan apa-apa. Aku tahu, aku
tidak akan mampu berlama-lama duduk berhadapan dengan Brandon tanpa merasa
ingin menamparnya.
“Aku ke sini untuk memberitahu kamu agar berhenti menggangguku. Aku
tidak ingin ada hubungan apa-apa lagi dengan kamu sampai kapan pun juga.”
Aku lalu berdiri dan menyerahkan dua kantong yang tadi aku bawa kepadanya.
“Aku sudah membereskan barang-barang kamu yang masih ketinggalan di apartemenku.
Semuanya ada di dalam kantong-kantong ini. Have a nice life,” ucapku, lalu
berdiri dan melangkah meninggalkannya. Brandon menatapku dengan mulut
terbuka.
Kemudian tanpa kusangka-sangka Brandon juga berdiri dan menarik lenganku.
“Apakah kamu bahkan tidak ingin tahu mengapa aku melakukan itu?” tanyanya.
Matanya menatapku dalam. Aku melihat ada kemarahan dan kebencian di situ.
“Oh, aku tahu alasannya,” jawabku.
Aku tahu alasan utama mengapa Brandon selingkuh, tidak lain karena seks.
Selama ini aku sangat bersyukur karena telah menemukan Brandon, laki-laki yang
berbeda dari pacar-pacarku sebelumnya. Dia memahami prinsipku yang tetap ingin
menjadi perawan hingga aku menikah. Aku bahkan tidak pernah menyangka
Brandon selingkuh karena dia tetap selalu perhatian terhadapku sampai Didi
menempelkan ide itu di kepalaku ketika aku menceritakan tentang perselingkuhan
Brandon.
“Cara Brandon memperlakukan Mbak kayak dia sedang menebus dosa. Dia
terlalu perhatian.”
Kata-kata Didi itulah yang membuatku mencoba mengingat-ingat, apakah aku
bisa melihat ada perubahan dalam diri Brandon selama beberapa bulan terakhir?
Aku baru sadar Brandon jadi semakin sering mengajakku ke luar makan malam dan
memberiku hadiah-hadiah romantis dan mahal. Awalnya hanya bunga mawar putih
setiap kali dia muncul di apartemen, tapi kemudian dia muncul dengan gelang dari
Tiffanys atau syal dari Burberry.
“Tolong jawab satu hal ini. Apakah dia satu-satunya atau ada perempuan lain
sebelum dia?” desisku.
Brandon tidak menjawab, tetapi dari sorot matanya aku tahu ternyata dugaan
Didi benar. Aku harus menarik napas dalam dan menahan diriku tidak
mengguyurkan satu pitcher bir yang ada di meja kami ke kepalanya. Bagaimana
mungkin aku bisa sebuta ini? Bagaimana mungkin Didi, adikku yang dua tahun
lebih muda dariku dan juga masih perawan dan rekor dating-nya sangat minim, bisa
lebih punya intuisi membaca gelagat Brandon daripada aku?
Kulepaskan cengkeraman Brandon dari lenganku dan bergegas melangkah ke
luar restoran. Aku tidak memedulikan tatapan beberapa orang di dalam restoran
yang cukup padat itu. Sinar matahari yang terik langsung menyambutku.
Kukenakan kembali kacamata hitam yang tadi aku gantungkan di kerah kausku.
Tiba-tiba kudengar pintu restoran terbuka dengan bantingan yang cukup keras,
dan kulihat Brandon sedang menuju ke arahku. Wajahnya seperti badai, penuh
dengan kemarahan. Aku tahu bahwa aku hanya akan mengundang masalah apabila
tidak menjauh darinya saat itu juga, tetapi aku penasaran ingin tahu apa yang ingin
dia katakan kepadaku sehingga membuatnya terlihat seperti itu.
“Apakah kamu tahu bagaimana rasanya tidak mendapatkan seks selama dua
tahun?!” teriaknya kepadaku.
Kukerutkan keningku, mencoba mengingatkannya bahwa kami sedang berada
di tempat umum dan tingkah lakunya yang seperti orang kesurupan menarik
perhatian semua orang yang ada di teras restoran. Kemudian aku tersadar oleh katakata
terakhir Brandon. Dia ternyata sudah tidak jujur terhadapku selama setahun
terakhir ini.
“Jadi, kamu sudah selingkuh selama setahun terakhir ini, ya?” tanyaku santai.
“Ya, kamu terlalu sibuk dengan hidup kamu sendiri sehingga kamu nggak
pernah memperhatikan aku. Ada empat perempuan lain sebelum dia, dan we did it
everywhere. Termasuk di atas tempat tidurku.” Brandon menutup penjelasannya.
Luapan kemarahan yang sudah aku coba tahan naik ke permukaan. Bagiamana
mungkin dia bisa mengatakan aku terlalu sibuk dengan kehidupanku sehingga
tidak memperhatikan dia? Selama tiga tahun dia pikir aku sedang berbuat apa?
“Apakah itu alasannya mengapa kamu keluar dari restoran sambil marahmarah?
Untuk mempermalukan diri kamu sendiri dengan mengumumkan
perselingkuhan kamu kepada seluruh Winston-Salem?” Meskipun darahku sudah
mendidih, anehnya suaraku masih terdengar tenang.
Aku mendengar seseorang berteriak, “Laki-laki itu perlu ditampar.”
“Setuju...,” sambut beberapa orang lainnya.
Seakan-akan baru sadar bahwa tidak hanya aku yang baru saja mendengar
pengakuannya, Brandon menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memastikan hal itu.
Ketika sadar apa yang telah dilakukannya, Brandon terlihat semakin marah dan
berjalan mendekatiku. Baru saja dia berjalan dua langkah, dua laki-laki berbadan
tinggi besar mencengkeramnya dan mendorongnya untuk menjauhiku. Salah satu
dari mereka berambut cokelat, dan yang satu lagi mengenakan topi baseball berlogo
Wake Forest University.
Walk away, man,” ucap laki-laki yang mengenakan topi Wake Forest University
itu.
Brandon kemudian berjalan menjauhiku, tetpai sebelumnya dia berteriak,
“Kamu lihat saja, tidak akan ada laki-laki yang mau dengan kamu! Tidak akan ada
laki-laki yang bisa tahan berhubungan dengan kamu! Akulah satu-satunya laki-laki
untuk kamu!”
Sepanjang sejarah aku tidak pernah dihina oleh siapa pun juga seperti Brandon
baru saja menghinaku. Aku sudah berniat menampar Brandon saat itu, tetapi
terlambat orang lain telah melakukannya untukku. Laki-laki yang berambut cokelat
telah melayangkan kepalan tinjunya ke sisi kanan wajah Brandon, dan aku
mendengar bunyi “crack” yang cukup keras.
Kulihat Brandon mundur beberapa langkah karena terkejut dengan serangan
tiba-tiba itu. Darah segar mulai menetes dari pelipisnya, yang kini ditandai garis
warna merah yang cukup panjang tepat di samping alisnya.
That‟s not the way to talk to a lady,” geram laki-laki yang baru melayangkan
kepalan tinjunya.
Brandon terlihat ingin melakukan serangan balik ke laki-laki itu. Aku yakin dia
akan bisa mengalahkan laki-laki berambut cokelat itu karena Brandon jelas-jelas
lebih tinggi dan tubuhnya lebih gempal. Akan tetapi, ketika ia melihat laki-laki yang
mengenakan topi Wake Forest itu sedang bertolak pinggang, Brandon berpikir dua
kali sebelum meluncurkan serangannya. Untuk pertama kalinya aku menyadari
bahwa meskipun laki-laki bertopi itu lebih kurus daripada Brandon, kedua
lengannya terlihat kekar. Cukup kekar untuk mencekik Brandon sampai dia
kehabisan napas. Setelah memberikan tatapan ganas kepadaku, Brandon kemudian
melangkah pergi yang diikuti oleh teriakan “booooo” dari beberapa orang yang
menonton kejadian itu.
Ma‟am... are you alright?” tanya laki-laki bertopi itu lagi, sambil berjalan ke
arahku. Aku tidak bisa betul-betul melihatnya karena wajahnya tertutup oleh bagian
luar topi tersebut.
Aku mengangkat tangan dengan telapak menghadap ke arah laki-laki bertopi
tersebut, dan mengangguk. “Thank you for that,” ucapku. Laki-laki bertopi itu
mengerti sinyalku, dan menghentikan langkahnya.
It was our pleasure,” balas laki-laki yang berambut cokelat, yang setelah aku
perhatikan mengingatkanku akan seekor Panda. Mungkin karena senyumnya yang
sumringah, tatapannya yang bersahabat, atau matanya yang dalam. Temannya yang
bertopi menyentuh ujung topinya.
Aku lalu berjalan menuju mobil, dan meluncur pulang. Malam itu juga aku
berangkat ke Washington D.C.
Pertanyaan Sandra menarikku kembali ke masa kini. “Jadi, Anda mencentang
Looking for a serious relationship sebagai pilihan Anda. Betul?”
“Ya. Saya sudah 27 tahun, dan sekarang tampaknya waktu yang tepat untuk
mulai suatu hubungan yang superserius,” jelasku. Ada beberapa alasan lain
tentunya, tetapi aku tidak akan menceritakannya kepada Sandra. Dia adalah agen
kencan butaku, bukan seorang psikolog.
Sandra tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasanku. “Saya mengerti
maksud Anda. Pokoknya, Anda tidak perlu khawatir. Banyak klien laki-laki kami
yang menginginkan hal yang sama.”
Aku mengangguk. Justru yang aku khawatirkan adalah tidak ada satu pun dari
laki-laki yang sesuai dengan kriteriaku itu bersedia menjalin hubungan serius
denganku. Selama tiga bulan berulang kali kuputar percakapan terakhirku dengan
Brandon. Entah mengapa, tetapi kata-katanya, “Kamu lihat saja, tidak akan ada lakilaki
yang mau berhubungan dengan kamu. Tidak akan ada laki-laki yang bisa tahan
berhubungan dengan kamu,” semakin hari semakin menggangguku. Apakah ada
yang salah dengaku? Apakah memang benar tidak ada laki-laki lain yang akan mau
berhubungan denganku? Kalau saja aku mendengar ucapan seperti ini tiga tahun
yang lalu sebelum aku mengenal Brandon, aku akan tertawa terbahak-bahak karena
jelas-jelas itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Entah bagaimana, tampaknya
selama tiga tahun aku bersama Brandon tanpa aku sadari lambat laun aku sudah
kehilangan jati diri dan kepercayaan diriku.
Berulang kali Didi memastikan aku bahwa Brandon hanyalah laki-laki idiot
yang tidak bisa menghargai diriku, dan Didi memintaku melupakan semua katakata
yang pernah diucapkan Brandon kepadaku. Terutama kata-kata yang
menyakitkan hatiku.
“Oke, pertanyaan terakhir.” Suara Sandra lagi-lagi menyelamatkanku dari
mengingat kembali kejadian tiga bulan yang lalu itu. “Untuk body type, Anda
menulis „Athletic, I dont‟ mind chubby but not obese‟.”
Aku tertawa mendengar tulisanku dibaca kembali oleh Sandra. “Oh.... man, I
sound so shallow now that you are reading it back to me.”
Sandra pun ikut tertawa. “Nggak... jangan khawatir tentang itu. Kalau itu
memang pilihan Anda, kami akan berusaha sebaik mungkin menemukan pasangan
yang cocok untuk Anda.”
Aku sangat berharap MBD tidak akan mengecewakanku karena sejujurnya
inilah satu-satunya jalanku bisa menunjukkan kepada Brandon bahw aaku bisa
menemukan laki-laki yang menginginkanku, bahwa mungkin mencintaiku.
Setelah selesai interview, Sandra lalu menjelaskan perjanjian yang harus aku
tanda tangani. Garis besar perjanjian itu berisikan tentang hak-hakku sebagai klien,
dan beberapa peraturan yang sebaiknya dipatuhi oleh setiap klien. Beberapa
peraturan itu adalah:
1. Untuk setiap kencan pertamaku, MBD akan mengaturnya untukku. Jika aku
menemukan kecocokan dengan date-ku maka mereka memberiku kebebasan
mengatur kencanku selanjutnya sendiri.
2. Aku harus makan di restoran yang telah dipilih oleh mereka untuk setiap
kencan pertamaku karena ini salah satu cara MBD menjaga keselamatanku.
3. Aku diwajibkan menelepon MBD jika akan terlambat lebih dari 15 menit
untuk kencanku agar date-ku tidak harus menunggu lama atau apabila
kencanku harus dijadwal ulang.
4. Setiap klien wajib membayar makanan mereka masing-masing. Awalnya aku
agak bingung dengan peraturan ini, tetapi kemudian aku dapat memahami
logikanya. Tentu saja MBD tidak akan membebankan setiap makan malam
atau makan siang kepada klien laki-laki.
Setelah kutandatangani perjanjian itu, kukeluarkan American Express-ku untuk
membayar biaya jasa mereka sebesar dua ribu dolar. Hal ini akan mengikat MBD
denganku selama enam bulan ke depan. Sandra kemudian memastikan semua
pertanyaanku sudah terjawab, lalu menggiringku ke luar ruangannya dan
mengantarku hingga ke mobil. Dia berjanji akan menghubungiku lagi secepatnya

untuk mengatur jadwal kencanku.


BLIND DATE - PART 2

No comments:

Post a Comment