1
www.myblinddate.com
TIK... TOK... TIK... TOK.... Bunyi jam dinding semakin membuatku tidak nyaman.
Meskipun
aku dapat mendengar musik klasik di antara bunyi jam dinding itu,s
emuanya
tidak bisa mengalahkan suara detak jantungku sendiri. Sambil pelan-pelan
meminum
kopi, sekali lagi kuperhatikan sekelilingku. Berada di dalam ruangan ini
mengingatkanku
akan butik-butik yang ada di Rodeo Drive. Hah... kayak aku
pernah
masuk saja ke butik-butik itu. Aku hanya pernah melihatnya ketika
menonton
acara The Osbournes di MTV. Walaupun begitu, yang jelas segala
sesuatunya
tentang ruangan ini meneriakkan kata MAHAL dan SUKSES. Mulai dari
karpet
tebal warna putih yang terhampar di kakiku hingga sofa modern warna
merah
darah yang aku duduki. Meja kaca dengan kaki warna putih di hadapanku
dipenuhi
dengan majalah-majalah fashion
edisi terbaru. Wajah Jessica Alba,
Angelina
Jolie,
Nicole Kidman, dan artis Hollywood lainnya menghiasi sampul majalahmajalah
itu.
Seorang wanita bernama Kirsten duduk di belakang meja kaca
berbentuk
seperti angka delapan. Di hadapan Kirsten terdapat papan bertuliskan
RECEPTION. Kirsten tersenyum ramah kepadaku. Aku pun membalas
senyumannya
dengan canggung.
Aku
masih tidak percaya bahwa aku ada di sini, lebih-lebih lagi di tempat ini.
Selama
ini aku selalu berpikir bahwa wanita yang memerlukan jasa blind date adalah
tipe
wanita yang:
1.
Berwajah jelek, hidung seperti nenek sihir, mata jereng atau terlalu besar
seperti
ikan mas koki, atau gigi gingsul mirip vampir.
2.
Berpenampilan buruk, termasuk tidak tahu cara memilih pakaian yang sesuai
dengan
bentuk tubuh sehingga terlihat seperti lemper.
3.
Tidak memiliki tata krama, misalnya suka berbicara dengan mulut penuh
makanan.
4.
Terlalu tua sehingga pilihannya jadi sangat terbatas.
5.
Dipaksa orangtua untuk menikah secepatnya.
6.
Senang menggoda, dan hanya menginginkan laki-laki untuk hiburan mereka.
Aku
tidak memiliki satu pun karakteristik itu. Pertama, aku tahu bahwa aku
tidak
cantik seperti bintang film atau supermodel, tetapi aku cukup menarik dengan
rambut
agak ikal dan wajah oval. Tubuhku cukup proporsional dengan tinggi 155
sentimeter
dan berat badan 52 kilogram. Kulitku meskipun tidak kuning langsat,
masih
tetap menggambarkan kulit wanita Asia pada umumnya, yaitu kuning
kemerah-merahan.
Kedua, banyak orang mengatakan selera bajuku patut ditiru
karena
aku selalu bisa memilih pakaian yang akan menonjolkan fisikku dan
menyempurnakan
penampilanku sebagai wanita Asia yang sukses hidup dan
bekerja
di Amerika. Ketiga, umurku masih 27 tahun, masih cukup muda. Keempat,
orangtuaku
tidak pernah memaksaku untuk menikah secepatnya, mereka bahkan
terkesan
tidak peduli apakah aku akan menikah atau tidak. Terakhir, meskipun aku
tidak
pernah mengalami masalah untuk mendapatkan laki-laki yang aku mau, aku
bukan
tipe wanita penggoda karena aku lebih memilih hubungan yang serius
daripada
one night stand.
Jadi,
mengapa aku ada di sini? Aku ada di sini karena usahaku coba mencari
calon
suami sendiri selama dua bulan tidak juga membuahkan hasil. Akhirnya, aku
harus
mengaku kalah dan datang ke tempat ini. Aku menemukan
www.MyBlindDate.com dari Didi, adikku yang sedang menyelesaikan studi
doktornya
di bidang psikologi di Washington D.C. Ia fans berat acara Oprah
Winfrey.
Di salah satu episodenya seminggu yang lalu, Oprah membahas mengenai
blind date, dan selebriti berkulit hitam paling sukses di Amerika itu
sangat
merekomendasikan
MyBlindDate atau MBD sebagai salah satu perusahaan kencan
buta
terbaik bagi wanita-wanita sibuk untuk bertemu calon suami. Usut punya usut,
ternyata
MBD mempunyai cabang di Greensboro, North Carolina, kota terdekat
dengan
tempat tinggalku. Setelah memberanikan diri menelepon MBD beberapa
hari
yang lalu dan membuat janji, Sabtu pagi ini aku bela-belain berkendaraan
menempuh
jarak selama 45 menit dari Winston-Salem.
Berdasarkan
informasi yang telah aku kumpulkan melalui internet, MBD
didirikan
sejak tahun 1985 atas dasar pengalaman wanita bernama Tracy Kelly dari
Chicago,
yang bernasib sama denganku. Jumlah klien mereka sudah mencapai
ribuan.
MBD memberikan pernyataan bahwa hampir setiap hari mereka menerima
berita
pertunangan ataupun pernikahan dari klien-klien mereka. Jadi, aku memiliki
cukup
keyakinan akan kesuksesannya.
Tidak
lama kemudian seorang wanita bule berambut pirang dengan tinggi
hampir
1.80 meter menghampiriku sambil tersenyum lebar. Otomatis aku langsung
merasa
cocok dengan wanita ini. Wajahnya mengingatkanku akan Reese
Witherspoon,
yang menurutku menggambarkan keramahan dan persahabatan.
“Hi, I‟m sorry that you have to
wait. I‟m Sandra,” ucap wanita bule itu.
Aku
mengangguk, lalu berdiri dan menjabat tangannya. Tanpa basa-basi lagi
Sandra
langsung menggiringku ke ruangannya. Kutinggalkan cangkir kopiku yang
masih
setengah penuh di meja lobi. Ruang kerja Sandra ternyata tidak berbeda
dengan
lobi yang baru aku tinggalkan. Semua perabot yang ada di dalamnya terlihat
modern
dan berteknologi canggih. Setelah mempersilakan aku duduk, Kirsten
datang
menyerahkan beberapa lembar kertas dengan tulisan tanganku di atasnya.
Kertas
itu berisi informasi mengenai diriku dan tipe laki-laki yang aku inginkan.
Setelah
Kirsten keluar ruangan, Sandra lalu duduk di belakang meja dan terlihat
menyimak
lembaran-lembaran kertas itu selama beberapa menit, kemudian
tersenyum
kepadaku.
“Titania
Larasati. Apakah saya mengucapkannya dengan benar?” tanya Sandra.
“Yes,” balasku, sambil tersenyum juga.
“Nama
yan gbagus.”
“Terima
kasih. Orangtua saya tergila-gila pada titanium.”
Sandra
tertawa mendengar komentarku.
“Oke,
kalau Anda tidak keberatan saya akan membacakan kembali apa yang
Anda
sudah tuliskan mengenai persyaratan yang Anda inginkan dari pasangan date
Anda.
Kami hanya ingin memastikan agar tidak terjadi salah paham.” Sandra
terdengar
serius, meskipun wajahnya masih tersenyum ramah.
Aku
mengangguk.
“Anda
menulis bahwa Anda ingin pasangan date
Anda tingginya antara 165
hingga
180 sentimeter?”
“Ya,
apakah itu akan bermasalah?” tanyaku ragu. Aku memang tidak suka lakilaki
yang
terlalu tinggi karena mereka akan membuatku merasa seperti kurcaci.
Dengan
ukuranku yang bisa dibilang kecil kalau dibandingkan dengan wanita
Amerika
pada umumnya, aku merasa lebih nyaman dengan laki-laki yang tingginya
antara
165 hingga 180 sentimeter.
“Nggak,
ini nggak akan bermasalah. Hanya saya pikir Anda memerlukan lakilaki
yang
lebih tinggi dari 165 sentimeter. Apakah Anda mengenakan sepatu hak
sewaktu
Kirsten mengukur tinggi Anda?” tanya Sandra.
“Nggak,
sepatu saya lepas,” jawabku.
Sandra
lalu berdiri dan melepaskan sepatu haknya. “Tinggi saya 160 sentimeter,
dan
tinggi Anda tidak jauh dari saya.”
Aku
lalu ikut berdiri dan mengukur tinggiku di samping Sandra. Benar juga,
ucapku
dalam hati.
“Benar,
kan?” Sandra tersenyum kepadaku.
“Mmmhhh...
Saya selalu berpikir bahwa saya lebih pendek dari ini,” gumamku.
Sandra
tertawa mendengarku. “Kebanyakan wanita lupa kalau mereka lebih
sering
pakai sepatu hak daripada tidak.” Sandra mencoba menenangkanku. “Saya
rasa
akan lebih baik bila Anda mengubah tinggi minimum pasangan Anda menjadi
170
sentimeter.”
Aku
menyetujui saran itu.
“Untuk
umur, Anda memilih antara 26 hingga 40. Betul?”
Aku
mengangguk. Didi telah mengingatkanku agar memilih laki-laki di atas
umur
30 tahun karena menurutnya laki-laki yang belum mencapai usia kepala tiga
kurang
dewasa. Aku tidak terlalu setuju dengan pendapatnya, mengingat
pengalaman
kedua orangtuaku. Usia bapakku lebih muda dua tahun dari ibuku,
dan
pernikahan merkea berjalan lancar-lancar saja. Umurku akan menginjak 28
beberapa
bulan lagi, aku yakin laki-laki berumur 26 tahun sudah cukup dewasa
untuk
dipertimbangkan sebagai prospek suami.
“Itu
juga tidak akan bermasalah. Kami ada banyak klien laki-laki yang masuk
dalam
kategori umur tersebut.”
Sandra
kemudian menambahkan, “Anda terbuka dipasangkan dengan laki-laki
dari
berbagai ras. Sekali lagi, itu akan membuat kami lebih mudah menemukan
pasnagan
date untuk Anda.” Sandra mengedipkan matanya kepadaku sambil
tersenyum.
Aku
tertawa melihat ekspresinya. Didi berkata kepadaku bahwa laki-laki dari
Amerika
Selatan cenderung sangat mencintai istrinya, meskipun mereka juga paling
sering
selingkuh. Laki-laki bule kebanyakan akan menjadi botak kalau sudah tua.
Hal
ini mengingatkanku akan Bruce Willis, yang kepalanya sudah dibiarkan botak
selama
sepuluh tahun terakhir untuk menutupi kenyataan dia sudah kehilangan
rambutnya
pada usia yang cukup dini. Laki-laki Asia biasanya kurang menghargai
istri,
sedangkan laki-laki African American malah justru kalah terhadap perempuan.
Sebenarnya,
aku tidak tahu mengapa aku mendengarkan Didi, padahal Didi sama
sekali
tidak berpengalaman dalam berpacaran.
“Anda
mengharuskan pasangan date Anda single dan unattached. Apakah Anda
bersedia
dating dengan laki-laki yang statusnya baru „pisah‟ dari istri mereka?”
tanya
Sandra.
Tanpa
berpikir aku langsung menjawab, “Nggak. Saya ingin mereka „single‟ sesingle-
single-nya. Tidak duda cerai, dan terutama tidak laki-laki yang
secara hukum
masih
terikat pernikahan, meskipun mereka mengatakan mereka sudah pisah.”
Ini
adalah salah satu persyaratan yang sempat kubahas panjang-lebar dengan
Didi.
Aku dan Didi setuju, aku sebaiknya tidak melayani laki-laki beristri yan
gmasih
senang “belanja”, tidak peduli apa pun alasan yang mereka kemukakan.
Pendapat
kami agak berbeda mengenai duda cerai. Menurut Didi, laki-laki yang
sudah
pernah bercerai bukan berarti laki-laki yang tidak bisa menjadi suami yang
baik.
Ada begitu banyak faktor yang bisa menjadi penyebab perceraian. Walaupun
begitu,
aku tidak mau mengambil risiko. Kami juga membahas mengenai duda yang
ditinggal
mati istrinya, baik duda yang tidak mempunyai anak maupun ada anak.
Akhirnya,
kami setuju bahwa aku harus menghindari duda jenis apa pun juga.
Sandra
mengangguk. “Anda mencentang boks untuk area North Carolina saja,”
lanjut
Sandra.
“Saya
rasa akan lebih baik bagi saya mulai dengan laki-laki yang tinggal cukup
dekat
dengan saya, tetapi saya bisa mengubahnya nanti kan kalau misalnya saya
tidak
bisa menemukan pasangan yang cocok setelah enam bulan?” Aku mencoba
menjelaskan
alasanku mencentang pilihan itu.
“Oh,
Anda tidak perlu khawatir soal itu. Saya cukup yakin Anda akan
menemukan
pasangan yang cocok dalam waktu enam bulan.” Sandra terdengar
yakin.
“Oh,
ya?” tanyaku bingung dan kaget.
Sandra
mengangguk. “Anda adalah tipe wanita yang biasanya dicari laki-laki
dalam
suatu relationship.”
“Oh,”
adalah satu-satunya kata yan gkeluar dari mulutku. Aku merasa terlalu
ge-er
untuk menanggapi pernyataan Sandra dengan kata lain, meskipun kalau aku
mau
jujur dengan diriku sendiri aku tahu itu memang kenyataannya. Aku memang
tidak
pernah mengalami masalah untuk menggaet laki-laki, tetapi mendengar
seseorang
mengkonfirmasikan sesuatu yang aku hanya bisa rasakan, masih tetap
membuatku
canggung.
Sandra
tertawa melihat reaksiku.
“Anda
tidak perlu menjawab pertanyaan berikut ini, tetapi kalau Anda bisa itu
akan
sangat membantu kami lebih memahami Anda dan menemukan pasangan
yang
paling cocok untuk Anda.”
“Go ahead,” ucapku, mengizinkan Sandra menyampaikan pertanyaannya.
“Apakah
yang membuat Anda datang ke MBD?”
Aku
tertawa sebelum menjawab. “Saya baru putus dari hubungan yang cukup
serius
beberapa bulan yang lalu. Setelah melakukan makeover,
termasuk memotong
pendek
rambut saya, membeli baju baru dengan warna yang lebih cerah, saya
memutuskan
melanjutkan hidup dan datang ke MBD.”
“Well said,” balas Sandra penuh pengertian. “People should quote those words
that
you just told me and turned it
into a movie or something.”
Aku
tertawa terbahak-bahak mendengar komentarnya. Kini aku memang bisa
menertawakan
keadaanku, tetapi tidak tiga bulan yang lalu. Aku tidak
menceritakan
kejadian sebenarnya bahwa aku melihat Brandon, pacarku selama tiga
tahun,
selingkuh dengan asistennya. Aku ingat betul kejadian pada akhir bulan Mei
lalu
itu. Aku baru saja sampai di apartemen pukul enam hari Jumat sore ketika
Brandon
menelepon untuk menunda date
kami karena dia harus lembur. Dia berjanji
akan
menelepon kembali setelah pekerjaannya selesai. Aku tentunya tidak
berkeberatan,
aku justru senang karena pacarku begitu tekun dengan pekerjaannya.
Beberapa
minggu ini memang Brandon sering pulang malam karena salah satu klien
terbesarnya
sedang terkena kasus. Sebagai salah satu pengacara termuda di
kantornya,
aku justru merasa bangga karena para partner di kantornya melibatkan
pacarku
untuk menyelesaikan kasus itu sehingga aku sama sekali tidak curiga akan
jam
kerjanya yang tiba-tiba berubah.
Aku
lalu menyempatkan diri membuatkan pasta jamur kesukaannya karena aku
tahu
dia pasti akan datang dengan wajah kelaparan, seperti biasanya. Akan tetapi,
setelah
menunggu hingga pukul tujuh malam dan Brandon masih belum telepon
juga,
akhirnya aku pun menghubungi kantornya. Anehnya tidak ada yang
mengangkat.
Aku lalu menghubungi telepon selularnya, tapi panggilanku langsung
masuk
ke voicemail. Dengan pemikiran bahwa aku akan memberikannya kejutan jika
aku
muncul di kantornya dengan membawa makan malam untuknya, aku
menempuh
jarak 30 menit untuk tiba di bangunan kantornya yang terlihat sepi
kecuali
bagian lobinya.
“Hello, Miss Titania, coming to see
Mr. Brandon?” tanya Leonard, satpam kantor
Brandon.
Ia tersenyum ramah dan aku bisa melihat deretan giginya yang putih,
kontras
sekali dengan kulitnya yang berwarna ebonit.
“Yes, is he still here? Saya bawakan dia makan malam,” balasku tidak kalah
ramahnya.
“Apakah kamu sudah makan malam?”
“You are a sweet woman. Ya, saya sudah makan sekitar satu jam yang lalu, thanks
for asking.”
Aku
tersenyum mendengar jawaban Leonard. Itulah salah satu sebab mengapa
aku
menyukai North Carolina, orang-orangnya sangat ramah.
“Mr.
Brandon masih di atas dengan Miss Bella. Sebentar, saya telepon beliau
dulu
untuk memberitahu bahwa Anda ada di sini,” ucap Leonard lagi. Ia lalu
mengangkat
telepon.
Aku
mengangguk. Rupanya memang kasus yang Brandon hadapi cukup serius
karena
bahkan Bella, asistennya, juga harus lembur.
“Tidak
ada yang menjawab.” Leonard terlihat sedikit bingung. “Mari, saya antar
Anda
ke ruangannya,” ucap Leonard. Aku tahu bahwa di kantor Brandon apabila
ada
nonpegawai yang ingin masuk ke dalam, maka ia harus ditemani oleh salah
satu
pegawai.
Leonard
mengiringiku ke lift dan mengantarku ke ruangan Brandon di tingkat
delapan.
Ketika pintu lift terbuka, lantai itu terlihat sepi dan redup. Leonard
kemudian
berjalan menyeberangi ruangan yang dipenuhi dengan meja-meja yang
dipisahkan
oleh beberapa sekat, tempat para asisten duduk pada siang hari. Aku
tidak
melihat Bella di mana pun juga. Aku hampir tidak mengenali ruangan ini.
Terakhir
kali aku ada di dalam ruangan ini ketika Brandon membawaku untuk
dikenalkan
kepada kolega-koleganya hampir dua tahun yang lalu, dan pada saat itu
semuanya
terlihat sibuk, bahkan ramai.
“Sepi
sekali,” gumamku. Aku masih belum curiga ada sesuatu yang aneh
dengan
keadaan ini.
Leonard
hanya mengangkat bahunya, dan terus berjalan menuju ruangan yang
berseberangan
dengan lift. Kami berdiri di depan pintu kayu berwarna cokelat tua
yang
tertutup. Jendela sepanjang dua meter, yang terletak di sebelah pintu, juga
tertutup
oleh kerai kayu horizontal. Ada sinar terang yang menembus ke luar,
menandakan
masih ada orang di dalamnya. Leonard bersiap-siap mengetuk pintu
itu,
tetapi aku berbisik perlahan.
“Biar
saya yang melakukan. Saya ingin membuat kejutan untuknya.”
Leonard
menyeringai, dan berjalan kembali menuju lift. Aku tersenyum melihat
wajah
Leonard. Dalam hati aku berjanji akan membuatkan kue cokelat untuknya,
yang
bisa dibawa Brandon pada hari Senin. Setelah menarik napas aku pun
membuka
pintu itu perlahan-lahan, sebisa mungkin tidak mengganggu konsentrasi
Brandon
apabila dia sedang bekerja. Akan tetapi, apa yang kulihat cukup
membuatku
ternganga. Pacarku dan Bella dalam posisi “doggy style”.
Pakaian
mereka
masih cukup lengkap di bagian atas, tetapi tidak ada sehelai pakaian pun
dari
pinggang ke bawah.
Aku
mendengar suara orang berteriak kaget, dan aku baru sadar bahwa suara
itu
adalah suaraku. Otomatis dua pasang mata langsung mengarah kepadaku. Mata
Brandon
langsung melebar ketika melihatku.
“Excuse me,” ucapku, dan buru-buru lari menuju lift. Aku tidak berhenti
berlari
hingga
sampai di dalam mobil. Aku bahkan tidak menghiraukan Leonard, yang
menanyakan
apakah ada masalah ketika melihatku berlari melewati lobi bagaikan
dikejar
setan. Aku tidak bisa berkata-kata, bahkan tidak mampu menangis. Aku
masih
shock.
Untung
saja aku selalu menolak tinggal bersama Brandon selama kami
berpacaran
sehingga aku masih punya tempat tinggal setelah kejadian itu.
Walaupun
begitu, aku merasa apartemenku tidak bisa memberikan kenyamanan
dan
keamanan yang aku inginkan. Selama dua minggu aku terpaksa tinggal dengan
Didi
di Washington D.C. untuk menghindar dari Brandon, yang setelah kutemukan
sedang
ML dengan asistennya selalu meneleponku, mendatangi apartemenku,
bahkan
menggangguku di kantor untuk meminta maaf. Setelah tahu aku tidak akan
pernah
memaafkannya, Brandon berubah menjadi seorang stalker. Ia
meneleponku
siang
dan malam hanya untuk menutup kembali telepon itu apabila aku
mengangkatnya.
Dengan rasa kesal akhirnya aku meneleponnya untuk
mengajaknya
bertemu dan memutuskan hubunganku dengannya selama-lamanya.
Aku
mengajaknya bertemu pada hari Minggu siang di tempat yang ramai untuk
mencegah
pertemuan itu berubah menjadi sebuah konfrontasi yang akan melibatkan
kekuatan
fisik. Selama tiga tahun kami bersama-sama, Brandon memang sama sekali
tidak
pernah berbuat kasar terhadapku. Akan tetapi, Brandon laki-laki dan secara
fisik
dia lebih kuat daripada aku. Apalagi Brandon sedang terluka, dan aku tahu
orang
yang dalam kondisi seperti ini akan memiliki kecenderungan mudah kalap
kalau
keinginannya tidak dipenuhi.
Brandon
sedang duduk sendiri di meja favorit kami di restoran yang dia pilih
ketika
aku datang. Sekali lagi aku harus mengakui Brandon adalah laki-laki paling
ganteng
yang pernah aku pacari. Kemeja biru yang dikenakannya menempel
dengan
sempurna pada bahunya yang tegap. Kedua lengannya yang berotot
ditutupi
oleh sedikit bulu berwarna cokelat muda. Dia tersenyum dan aku kembali
ke
realita. Didi pernah berkata bahwa senyum Brandon selalu terlihat palsu dan
tidak
tulus. Aku tidak pernah mengerti apa yang dimaksud Didi hingga saat itu.
Senyum
itu terlihat licik.
“Let‟s get this over with,” ucapku tegas, lalu duduk di kursi di hadapan Brandon.
Brandon
terlihat kaget mendengar nadaku, tetapi ketika melihatku duduk dia
pun
menatapku dengan penuh harap. Dia masih tersenyum, kemudian
pandangannya
tertuju ke dua kantong besar dari Old Navy yang ada di
genggamanku
dan senyumnya langsung hilang dalam sekejap mata.
“Do you want anything to eat?” tanyanya.
Seorang
waiter mendatangiku, tetapi aku tidak memesan apa-apa. Aku tahu, aku
tidak
akan mampu berlama-lama duduk berhadapan dengan Brandon tanpa merasa
ingin
menamparnya.
“Aku
ke sini untuk memberitahu kamu agar berhenti menggangguku. Aku
tidak
ingin ada hubungan apa-apa lagi dengan kamu sampai kapan pun juga.”
Aku
lalu berdiri dan menyerahkan dua kantong yang tadi aku bawa kepadanya.
“Aku
sudah membereskan barang-barang kamu yang masih ketinggalan di apartemenku.
Semuanya
ada di dalam kantong-kantong ini. Have
a nice life,” ucapku, lalu
berdiri
dan melangkah meninggalkannya. Brandon menatapku dengan mulut
terbuka.
Kemudian
tanpa kusangka-sangka Brandon juga berdiri dan menarik lenganku.
“Apakah
kamu bahkan tidak ingin tahu mengapa aku melakukan itu?” tanyanya.
Matanya
menatapku dalam. Aku melihat ada kemarahan dan kebencian di situ.
“Oh,
aku tahu alasannya,” jawabku.
Aku
tahu alasan utama mengapa Brandon selingkuh, tidak lain karena seks.
Selama
ini aku sangat bersyukur karena telah menemukan Brandon, laki-laki yang
berbeda
dari pacar-pacarku sebelumnya. Dia memahami prinsipku yang tetap ingin
menjadi
perawan hingga aku menikah. Aku bahkan tidak pernah menyangka
Brandon
selingkuh karena dia tetap selalu perhatian terhadapku sampai Didi
menempelkan
ide itu di kepalaku ketika aku menceritakan tentang perselingkuhan
Brandon.
“Cara
Brandon memperlakukan Mbak kayak dia sedang menebus dosa. Dia
terlalu
perhatian.”
Kata-kata
Didi itulah yang membuatku mencoba mengingat-ingat, apakah aku
bisa
melihat ada perubahan dalam diri Brandon selama beberapa bulan terakhir?
Aku
baru sadar Brandon jadi semakin sering mengajakku ke luar makan malam dan
memberiku
hadiah-hadiah romantis dan mahal. Awalnya hanya bunga mawar putih
setiap
kali dia muncul di apartemen, tapi kemudian dia muncul dengan gelang dari
Tiffany‟s atau syal dari Burberry.
“Tolong
jawab satu hal ini. Apakah dia satu-satunya atau ada perempuan lain
sebelum
dia?” desisku.
Brandon
tidak menjawab, tetapi dari sorot matanya aku tahu ternyata dugaan
Didi
benar. Aku harus menarik napas dalam dan menahan diriku tidak
mengguyurkan
satu pitcher bir yang ada di meja kami ke kepalanya. Bagaimana
mungkin
aku bisa sebuta ini? Bagaimana mungkin Didi, adikku yang dua tahun
lebih
muda dariku dan juga masih perawan dan rekor dating-nya
sangat minim, bisa
lebih
punya intuisi membaca gelagat Brandon daripada aku?
Kulepaskan
cengkeraman Brandon dari lenganku dan bergegas melangkah ke
luar
restoran. Aku tidak memedulikan tatapan beberapa orang di dalam restoran
yang
cukup padat itu. Sinar matahari yang terik langsung menyambutku.
Kukenakan
kembali kacamata hitam yang tadi aku gantungkan di kerah kausku.
Tiba-tiba
kudengar pintu restoran terbuka dengan bantingan yang cukup keras,
dan
kulihat Brandon sedang menuju ke arahku. Wajahnya seperti badai, penuh
dengan
kemarahan. Aku tahu bahwa aku hanya akan mengundang masalah apabila
tidak
menjauh darinya saat itu juga, tetapi aku penasaran ingin tahu apa yang ingin
dia
katakan kepadaku sehingga membuatnya terlihat seperti itu.
“Apakah
kamu tahu bagaimana rasanya tidak mendapatkan seks selama dua
tahun?!”
teriaknya kepadaku.
Kukerutkan
keningku, mencoba mengingatkannya bahwa kami sedang berada
di
tempat umum dan tingkah lakunya yang seperti orang kesurupan menarik
perhatian
semua orang yang ada di teras restoran. Kemudian aku tersadar oleh katakata
terakhir
Brandon. Dia ternyata sudah tidak jujur terhadapku selama setahun
terakhir
ini.
“Jadi,
kamu sudah selingkuh selama setahun terakhir ini, ya?” tanyaku santai.
“Ya,
kamu terlalu sibuk dengan hidup kamu sendiri sehingga kamu nggak
pernah
memperhatikan aku. Ada empat perempuan lain sebelum dia, dan we did it
everywhere. Termasuk di atas tempat tidurku.” Brandon menutup
penjelasannya.
Luapan
kemarahan yang sudah aku coba tahan naik ke permukaan. Bagiamana
mungkin
dia bisa mengatakan aku terlalu sibuk dengan kehidupanku sehingga
tidak
memperhatikan dia? Selama tiga tahun dia pikir aku sedang berbuat apa?
“Apakah
itu alasannya mengapa kamu keluar dari restoran sambil marahmarah?
Untuk
mempermalukan diri kamu sendiri dengan mengumumkan
perselingkuhan
kamu kepada seluruh Winston-Salem?” Meskipun darahku sudah
mendidih,
anehnya suaraku masih terdengar tenang.
Aku
mendengar seseorang berteriak, “Laki-laki itu perlu ditampar.”
“Setuju...,”
sambut beberapa orang lainnya.
Seakan-akan
baru sadar bahwa tidak hanya aku yang baru saja mendengar
pengakuannya,
Brandon menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memastikan hal itu.
Ketika
sadar apa yang telah dilakukannya, Brandon terlihat semakin marah dan
berjalan
mendekatiku. Baru saja dia berjalan dua langkah, dua laki-laki berbadan
tinggi
besar mencengkeramnya dan mendorongnya untuk menjauhiku. Salah satu
dari
mereka berambut cokelat, dan yang satu lagi mengenakan topi baseball berlogo
Wake
Forest University.
“Walk away, man,” ucap laki-laki yang mengenakan topi Wake Forest University
itu.
Brandon
kemudian berjalan menjauhiku, tetpai sebelumnya dia berteriak,
“Kamu
lihat saja, tidak akan ada laki-laki yang mau dengan kamu! Tidak akan ada
laki-laki
yang bisa tahan berhubungan dengan kamu! Akulah satu-satunya laki-laki
untuk
kamu!”
Sepanjang
sejarah aku tidak pernah dihina oleh siapa pun juga seperti Brandon
baru
saja menghinaku. Aku sudah berniat menampar Brandon saat itu, tetapi
terlambat
orang lain telah melakukannya untukku. Laki-laki yang berambut cokelat
telah
melayangkan kepalan tinjunya ke sisi kanan wajah Brandon, dan aku
mendengar
bunyi “crack” yang cukup keras.
Kulihat
Brandon mundur beberapa langkah karena terkejut dengan serangan
tiba-tiba
itu. Darah segar mulai menetes dari pelipisnya, yang kini ditandai garis
warna
merah yang cukup panjang tepat di samping alisnya.
“That‟s not the way to talk to a
lady,” geram laki-laki yang baru melayangkan
kepalan
tinjunya.
Brandon
terlihat ingin melakukan serangan balik ke laki-laki itu. Aku yakin dia
akan
bisa mengalahkan laki-laki berambut cokelat itu karena Brandon jelas-jelas
lebih
tinggi dan tubuhnya lebih gempal. Akan tetapi, ketika ia melihat laki-laki yang
mengenakan
topi Wake Forest itu sedang bertolak pinggang, Brandon berpikir dua
kali
sebelum meluncurkan serangannya. Untuk pertama kalinya aku menyadari
bahwa
meskipun laki-laki bertopi itu lebih kurus daripada Brandon, kedua
lengannya
terlihat kekar. Cukup kekar untuk mencekik Brandon sampai dia
kehabisan
napas. Setelah memberikan tatapan ganas kepadaku, Brandon kemudian
melangkah
pergi yang diikuti oleh teriakan “booooo” dari beberapa orang yang
menonton
kejadian itu.
“Ma‟am... are you alright?” tanya laki-laki bertopi itu lagi, sambil berjalan ke
arahku.
Aku tidak bisa betul-betul melihatnya karena wajahnya tertutup oleh bagian
luar
topi tersebut.
Aku
mengangkat tangan dengan telapak menghadap ke arah laki-laki bertopi
tersebut,
dan mengangguk. “Thank you for that,” ucapku. Laki-laki bertopi itu
mengerti
sinyalku, dan menghentikan langkahnya.
“It was our pleasure,” balas laki-laki yang berambut cokelat, yang setelah aku
perhatikan
mengingatkanku akan seekor Panda. Mungkin karena senyumnya yang
sumringah,
tatapannya yang bersahabat, atau matanya yang dalam. Temannya yang
bertopi
menyentuh ujung topinya.
Aku
lalu berjalan menuju mobil, dan meluncur pulang. Malam itu juga aku
berangkat
ke Washington D.C.
Pertanyaan
Sandra menarikku kembali ke masa kini. “Jadi, Anda mencentang
„Looking for a serious relationship‟ sebagai pilihan Anda. Betul?”
“Ya.
Saya sudah 27 tahun, dan sekarang tampaknya waktu yang tepat untuk
mulai
suatu hubungan yang superserius,” jelasku. Ada beberapa alasan lain
tentunya,
tetapi aku tidak akan menceritakannya kepada Sandra. Dia adalah agen
kencan
butaku, bukan seorang psikolog.
Sandra
tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasanku. “Saya mengerti
maksud
Anda. Pokoknya, Anda tidak perlu khawatir. Banyak klien laki-laki kami
yang
menginginkan hal yang sama.”
Aku
mengangguk. Justru yang aku khawatirkan adalah tidak ada satu pun dari
laki-laki
yang sesuai dengan kriteriaku itu bersedia menjalin hubungan serius
denganku.
Selama tiga bulan berulang kali kuputar percakapan terakhirku dengan
Brandon.
Entah mengapa, tetapi kata-katanya, “Kamu lihat saja, tidak akan ada lakilaki
yang
mau berhubungan dengan kamu. Tidak akan ada laki-laki yang bisa tahan
berhubungan
dengan kamu,” semakin hari semakin menggangguku. Apakah ada
yang
salah dengaku? Apakah memang benar tidak ada laki-laki lain yang akan mau
berhubungan
denganku? Kalau saja aku mendengar ucapan seperti ini tiga tahun
yang
lalu sebelum aku mengenal Brandon, aku akan tertawa terbahak-bahak karena
jelas-jelas
itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Entah bagaimana, tampaknya
selama
tiga tahun aku bersama Brandon tanpa aku sadari lambat laun aku sudah
kehilangan
jati diri dan kepercayaan diriku.
Berulang
kali Didi memastikan aku bahwa Brandon hanyalah laki-laki idiot
yang
tidak bisa menghargai diriku, dan Didi memintaku melupakan semua katakata
yang
pernah diucapkan Brandon kepadaku. Terutama kata-kata yang
menyakitkan
hatiku.
“Oke,
pertanyaan terakhir.” Suara Sandra lagi-lagi menyelamatkanku dari
mengingat
kembali kejadian tiga bulan yang lalu itu. “Untuk body type, Anda
menulis
„Athletic, I dont‟ mind chubby but
not obese‟.”
Aku
tertawa mendengar tulisanku dibaca kembali oleh Sandra. “Oh.... man, I
sound so shallow now that you are
reading it back to me.”
Sandra
pun ikut tertawa. “Nggak... jangan khawatir tentang itu. Kalau itu
memang
pilihan Anda, kami akan berusaha sebaik mungkin menemukan pasangan
yang
cocok untuk Anda.”
Aku
sangat berharap MBD tidak akan mengecewakanku karena sejujurnya
inilah
satu-satunya jalanku bisa menunjukkan kepada Brandon bahw aaku bisa
menemukan
laki-laki yang menginginkanku, bahwa mungkin mencintaiku.
Setelah
selesai interview, Sandra lalu menjelaskan perjanjian yang harus aku
tanda
tangani. Garis besar perjanjian itu berisikan tentang hak-hakku sebagai klien,
dan
beberapa peraturan yang sebaiknya dipatuhi oleh setiap klien. Beberapa
peraturan
itu adalah:
1.
Untuk setiap kencan pertamaku, MBD akan mengaturnya untukku. Jika aku
menemukan
kecocokan dengan date-ku maka mereka memberiku kebebasan
mengatur
kencanku selanjutnya sendiri.
2.
Aku harus makan di restoran yang telah dipilih oleh mereka untuk setiap
kencan
pertamaku karena ini salah satu cara MBD menjaga keselamatanku.
3.
Aku diwajibkan menelepon MBD jika akan terlambat lebih dari 15 menit
untuk
kencanku agar date-ku tidak harus menunggu lama atau apabila
kencanku
harus dijadwal ulang.
4.
Setiap klien wajib membayar makanan mereka masing-masing. Awalnya aku
agak
bingung dengan peraturan ini, tetapi kemudian aku dapat memahami
logikanya.
Tentu saja MBD tidak akan membebankan setiap makan malam
atau
makan siang kepada klien laki-laki.
Setelah
kutandatangani perjanjian itu, kukeluarkan American Express-ku untuk
membayar
biaya jasa mereka sebesar dua ribu dolar. Hal ini akan mengikat MBD
denganku
selama enam bulan ke depan. Sandra kemudian memastikan semua
pertanyaanku
sudah terjawab, lalu menggiringku ke luar ruangannya dan
mengantarku
hingga ke mobil. Dia berjanji akan menghubungiku lagi secepatnya
untuk
mengatur jadwal kencanku.
BLIND DATE - PART 2
No comments:
Post a Comment