Saturday, September 5, 2015

Crash Into You - AliaZalea - Bab 12

Bab 12

7 Januari OMG, 
laki-laki satu itu bikin gue gila. Gue gak tahu dia maunya apa! Dia flirt sama gue habis-habisan, tapi terus bilang dia akan nurutin permintaan gue dan nggak akan kontak gue lag? Maksudnya dia apa coba? *** “Kamu kok punya kunci sih?” tanyaku penasaran. Kafka tidak menjawab. Dia hanya membuka lebar pintu di hadapannya dan mendorongku masuk ke dalamnya dengan menempelkan telapak tangan pada punggungku. Ruangan yang dalam keadaan terang benderang oleh sinar dua lampu neon yang menempel pada langit-langit itu kelihatan cukup rapid an kosong, kecuali untuk sebuah meja kerja besar yang kelihatannya terbuat dari kayu kokoh, sebuah meja kayu bundar dengan enam kursi, dan sebuah TV plasma yang menempel pada dinding. Salah satu dinding ruangan itu tertutup gorden berwarna cokelat yang kelihatannya terbuat dari bahan yang sangat berat, sedangkan tiga dinding lainnya di cat dengan warna cokelat terang. Ada sesuatu yang aneh dengan ruangan itu, aku baru menyadari beberapa menit kemudian bahwa ruangan itu tidak memiliki warna fuchsia, kuning, ataupun oranye di dalamnya sama sekali. Ruangan itu kelihatan sangat maskulin hanya dengan kombinasi warna cokelat dan hitam. “Mmmhhh,” ucapku pelan Aku baru menyadari bahwa aku sudah mengucapkan “mmmhhh”-ku lebih keras daripada yang kuperkirakan ketika Kafka berkata, “Kenapa?” “Kenapa?” aku balik bertanya “Kamu kenapa ‘mmmhhh’?” Tanya Kafka sambil membiarkan pintu ruangan itu tertutup. Saat itu aku menyadari bahwa tanpa kita sadari, kata “mmmhhh” itu memiliki banyak makna. Terkadang kata itu diucapkan sebagai suatu persetujuan, tapi terkadang untuk menyuarakan ketidaksetujuan. Mungkin bukan kata “mmmhhh” itu yang menunjukkan makna yang dituju, tapi nada ketika kata itu diucapkan. Bah! Aku jadi pusing sendiri. Ketika menyadari bahwa pintu ruangan sudah tertutup, membuatku sendirian dengan Kafka yang kini menatapku karena menunggu jawaban atas pertanyaannya, kecanggunganku pun kembali. “Ruangan ini kok warnanya beda ya dari lantai bawah?” aku berhasil mengucapkan hal pertama yang terlintas di dalam pikiranku tanpa terbata-bata. Kafka tersenyum sambil kemudian berjalan menuju meja kayu dan membungkuk. Aku kemudian mendengar bunyi sebuah pintu kulkas dibuka. Kantor ini punya kulkas tersembunyi di bawah meja itu sepertinya. “Kamu mau minum apa?” aku ada produknya Coca-Colaatau air putih,” ucapnya. “Oh… air putih saja,” jawabku sambil melangkah mendekati Kafka. Tidak lama kemudian aku sudah menggenggam satu botol Evia. Kafka memilih untuk minum Sprite kalengan. Perlahan-lahan kuputar tutup botol air itu. Sebetulnya aku tidak haus, tapi aku minum seteguk hanya karena aku tidak tahu apa lagi yang bisa aku perbuat. Satu detik kemudian aku menyadari bahwa aku seharusnya menunggu untuk menelan air itu. “Yang pilih warna kelab ini Karin sama Maya. Sebagai satu-satunya owner yang laki-laki jelas-jelas aku langsung nggak setuju sama pilihan warna mereka, tapi mereka tetap ngotot. Akhirnya sebagai
kompensasi, mereka kasih aku kebebasan untuk ngedesain dan milih warna ruang kerja ini sesuai seleraku,” jelas Kafka panjang-lebar sambil menarik cincin di atas kaleng soda itu dan bunyi “POP” yang cukup keras terdengar. Air yang sedang dalam proses untuk ditelan langsung masuk ke lubang yang salah dan aku pun terbatuk-batuk. Tahu-tahu Kafka sudah berada di sampingku sambil menepuk-nepuk punggungku. “Minumnya pelan-pelan, Nad,” ucapnya Aku hanya bisa mengangguk dan memegangi dadaku sambil masih terbatuk-batuk. Karin tidak pernah berkata banyak mengenai dua partnernya. Selama ini aku selalu menyangka bahwa mereka pasti perempuan juga dan satu tipe dengan Karin. Maya memang sepertinya memenuhi criteria itu, tetapi Kafka tidak. Bagaimana mungkin Karin tidak pernah menceritakan hal ini padaku? Lalu aku menyadari bahwa pada dasarnya aku tidak pernah terlalu memperhatikan hal-hal yang keluar dari mulut Karin kecuali kalau itu menyangkut desan website kelabnya. Ini semua salahku, omelku pada diriku sendiri. Aku memerlukan setidak-tidaknya lima menit untuk bisa betul-betul mengendalikan batuk. Saat itu aku menyadari bahwa tepukan dipunggungku sudah berubah menjadi usapan. Yang jelas atasan dengan bahan satin berwarna putih yang kukenakan pada malam itu tidak bisa menghalangiku untuk merasakan kehangatan telapak tangan Kafka. “Better?” Tanya Kafka. Kini tangan nya sudah naik dan sedang memijat leherku yang seharusnya tersembunyi di bawah rambutku yang kubiarkan tergerai malam ini, otomatis bulu romaku langsung berdiri. Kuangkat kepalaku untuk mlihat wajah Kafka yang kelihatan terhibur dengan keadaanku. Matanya berbinar-binar seperti dia sedang menahan tawa. Di bawah sinar lampu neon di dalam ruangan ini, kusadari bahwa warna rambut Kafka tidak hitam, tapi cokelat gelap dan ada merahnya. Dan mungkin ini hanya trik lampu saja, tapi aku bersumpah bahwa lingkaran yang mengelilingi pupil matanya berwarna hijau, bukannya cokelat atau hitam seperti mata orang Asia pada umumnya. Ketika menyadari bahwa aku sedang memfokuskan perhatianku pada bola matanya, pijatan Kafka pada leherku terhenti. “Kamu tahu nggak kalau mata kamu ada hijaunya?” aku bahkan tidak menyadari bahwa aku sudah mengucapkan kata-kata itu sampai mendengar seseorang dengan suara yang mirip sekali dengan suaraku mengucapkannya. “Whatare you on about?” aksen bicara Kafka terdengar sangat asing di kupingku. Ketika dia mengatakan kata “About” dia mengucapkan sebagai “Aboot”. Samar-samar kudengar suara gemuruh orang sedang meneriakkan, “Ten… Nine… Eight… Seven…” sepertinya waktu untuk countdown akhirnya tiba juga. “Three… Two… One…” aku pun berjinjit sambil menarik kepala Kafka sebelum kemudian mencium bibirnya Cara kami berciuman terkesan seperti besok akan kiamat dan bahwa hari ini adalah hari terakhir kami bisa melakukan apa pun yang kami inginkan tanpa perlu mengkhawatirkan akibatnya. Ciuman itu basah, dalam, dan menyeluruh. Aku bisa merasakan bahwa aku harus mengambil napas sebentar lagi kalau tidak mau tiba-tiba pingsan ketika sedang mencium Kafka, tapi aku tidak rela melepaskannya. Aku lebih memerlukan bibirnya daripada aku memerlukan waktu 28 tahun untuk betul-betul mengerti ungkapan “I need you like I need air to breathe.” Kafka-lah yang menyelamatkan dri kegilaanku dengan berkata, “We need to slow down,” dengan napas
terengah-engah. Kedua tangannya merangkum wajahku dan dia manatap mataku dengan tajam. “I know,” balasku sambil menggenggam kedua tangan Kafka di sebelah kiri dan kanan wajahku. Dadaku terasa agak sakit karena oksigen yang tiba-tiba masuk terlalu cepat ke dalam paru-paruku. “Bilang ke aku kalau kamu mau slow down, Nad.” “Aku mau slow down.” “Say it like you mean it.” Suara Kafka sedikit bergetar ketika mengucapkannya. Aku hanya bisa menatapnya dengan mulut terbuka. Bagaimana aku bisa mengucapkan itu ketika pikiranku mengatakan lain? “Fuck a duck,” geramnya. Sebelum aku bisa memahami apa yang dikatakannya, dia sudah menyerangku lagi. Ternyata Kafka lebih Inggris daripada yang kuperkirakan, terkadang kosakata bahasa Inggris yang dia gunakan membuatku bingung dan bertanya-tanya apakah dia sedang memuji atau menghinaku. Pikiranku buyar ketika kurasakan perlahan-lahan tubuhku didorong ke belakang olehnya. Beberapa detik kemudian kurasakan bokongku menabrak sesuatu dan sebelum aku bisa menoleh untuk melihat apa benda itu, Kafka sudah mengangkat tubuhku dan mendudukkanku di atas meja kerja. Dia kemudian berusaha membuka kedua kakiku, tapi usaha itu dihalangi desain rok pensil sedengkul superketat berbahan spandex yang kukenakan. Kafka melepaskan bibirku untuk menatap rokku. “Kamu kenapa sih suka banget pakai spandex?” Tanya nya sambil mengerutkan dahi. Aku harus mengedipkan mata berkali-kali untuk melepaskan pikiranku dari bibir Kafka yang kini terlihat agak merah dan basah karena lipgloss warna pink-ku, ke pertanyaannya. “They’re comfortable,” jawabku akhirnya “Buat kamu mungkin. Tapi nggak untuk aku.” Aku hanya terkikik mendengar komentar dan melihat tatapan frustasi pada wajah Kafka “Aku nggak kebayang kalau kamu pakai spandex. Kecuali kamu penari baletm aku usulin sih jangan, soalnya nanti orang pikir kamu gay,” ucapku sambil tersenyum. “Kamu tahu maksudku bukan itu,” balas Kafka dengan nada datar. Pupil mataku melebar ketika mendengar nada serius Kafka. Aku kemudian mengangguk sedikit, mengonfirmasikan kepadanya bahwa aku mengerti maksudnya. Kuangkat tanganku untuk menghapus bekas lipgloss-ku dari bibirnya dengan jari-jariku. Kafka kelihatan agak terkejut ketika jari-jariku menyentuh bibirnya, tapi dia membiarkanku melakukannya. “Sori, bibir kamu ada lipgloss-ku,” jelasku setelah bibir itu sudah bersih “Aku nggak keberatan sama lipgloss kamu,” ucap Kafka “Oh?” kafka adalah orang pertama yang berpendapat seperti ini tentang lipgloss-ku. Semua mantan pacarku selalu protes dengan tebalnya lipgloss yang aku oleskan pada bibirku. “Sudah resiko sebagai laki-laki. Kalau kita memang nggak mau ada lipgloss di bibir kita ya… jangan nyium cewek. Aku sih lebih pilih ada lipgloss di mukaku daripada nggak nyium mereka.” Aku terdiam sejenak untuk membiarkan kata-kata Kafka ini terserap oleh otakku. “Kamu selalu pakai lipgloss yang sama, ya?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengangguk dengan wajah agak bingung karena tidak tahu arah pembicaraan ini, “Bibir kamu rasanya selalu sama soalnya. Rasa ceri,” jelas Kafka sambil menjilat bibirnya. “Kamu nggak suka ceri?” tanyaku hati-hati. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba merasa agak khawatir
Kafka tidak menyukai rasa lipgloss-ku. Tanpa kusangka-sangka, Kafka malah tertawa terkekeh-kekeh mendengar pertanyaanku itu. Aku baru menyadari beberapa detik kemudian alasannya dan ikut tertawa dengannya inilah pertama kalinya aku melihat wajah Kafka ketika dia sedang tertawa. Bukan tertawa karena mengejek, tapi betul-betul tertawa karena ada sesuatu yang lucu. Suara tawa yang lepas sehingga seluruh tubuhnya ikut bergoyang. Dan pada saat itulah aku menyadari bahwa ada sebabnya Tuhan membuatnya menjadi laki-laki yang supermisterius dan jarang tertawa. Begitu laki-laki satu ini memutuskan untuk menunjukkan tawanya kepada dunia, akan sangat tidak adil bagi kaum laki-laki lainnya karena mereka bisa tidak bakal mendapatkan perhatian kaum wanita sama sekali.
“Yang aku maksud hahaha…. Rasa ceri sebagai buah, bukan ceri yang satu lagi, hahaha….,” jelasku sambil mencoba mengontrol tawaku dan pikiranku yang sudah berlari entah ke mana. “Hahaha… aku tahu maksud kamu. Cuma, gara-gara kamu akhir-akhir ini pikiranku jadi banyak ngabisin waktu di got, hahaha,” jelas Kafka sambil masih mengikik. “Oh, itu sih bukan gara-gara aku, tapi salah kamu sendiri,” candaku. “Oke, sama teman kita bagi rata saja ya salahnya,” balas Kafka sambil kemudian mengulurkan tangan untuk mengajakku bersalaman. Kuraih tangan Kafka sambil kembali tertawa terbahak-bahak. “Jadi kamu nggak suka lipgloss rasa ceri?” tanyaku setelah Kafka melepaskan tanganku lagi. Aku sengaja mengulangi pertanyaanku sebelumnya tetapi dengan lebih jelas, sehingga Kafka tidak akan memikirkan hal yang tidak-tidak lagi ketika mendengarnya. “Oh… nggak. Aku suka ceri… atau stroberi… atau vanilla. Lipgloss rasa apa saja aku suka, asal itu nempel di bibir cewek yang aku suka.” Jantungku hampir saja berhenti ketika dia mengatakan kata “suka” pada kalimat itu. Apa pada dasarnya dia sedang mengakui bahwa dia menyukaiku? Aku mencoba menelan ludah dan melonggarkan teggorokanku sebelum memutuskan untuk bicara. “Jadi intinya bukan lipgloss-nya, tapi ceweknya?” tanyaku Kafka mengangguk. “Aku nggak mungkin bisa nyium cewek yang aku nggak suka.” Aku hampir saja terpekik ketika menyadari tangan Kafka mencengkeram kedua betisku. “Tolongin aku deh. Besok-besok kalau mau ketemu aku, jangan pakai spandex lagi, oke. Aku jadi susah kalau mau ngapa-ngapain kamu,” ucapnya. Dia kini mencoba meraba pahaku di balik rok, tapi dia harus berhenti setelah hanya beberapa senti meter. Rok itu memang tidak didesain untuk merentang lebih jauh lagi selain untuk mengakomondasikan kedua pahaku. “Memangnya kamu mau ngapain aku?” tanyaku dengan nada menggoda Kafka terdiam selama beberapa detik dengan mulut terbuka. Sepertinya kata-kataku sudah membuatnya tidak bisa berkata-kata. Tapi kemudian suatu senyuman muncul di sudut bibirnya. “I love it when you’re naughty,” bisiknya. Mau tidak mau aku tertawa ketika mendengarnya mengatakan kata “naughty” yang lebih terdengar seperti “nooh-ti” dan terkesan lebih seksi kalau dia yang mengucapkannya. “Aku suka cara kamu ngucapin ‘naughty’,” ucapku “Naughty?” sekali lagi dia mengucapkannya dengan aksen Inggris-nya. Dan aku langsung tertawa lagi ketika mendengar Kafka sekali lagi mengulangi kata itu. “Iya. Kayak gitu.
Aksen kamu bikin aku ngerasa kayak lagi hidup di abad kesembilan belas,” jelasku. Kafka mendengus sebelum menambahkan, “kalau kita hidup di abad kesembilan belas, aku nggak perlu khawatir soal spandex sama sekali. Kenapa sih perempuan nggak bisa pakai baju kayak waktu mereka di abad itu? Pakai rok yang gampang diangkat, tanpa knickers, dan nggak ada kait bra yang perlu di buka karena bra memang belum ada.” Aku menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa pada zaman itu wanita masih menggunakan korset bertali, yang bahkan lebih susah ditanggalkan daripada bra. “Tapi kamu mungkin akan lebih susah untuk ngebuka baju mereka karena semuanya masih pakai kancing dan nggak ada ritsleting,” balasku “omong-omong soal ritsleting, ini rok ada ritsletingnya nggak sih?” kafka mulai mereba-raba rokku bagian belakang tapi tentu saja dia tidak bisa menemukannya karena rok ini memang didesain tanpa ritsleting. “Memangny kalau ada ritsletingnya kenapa?” tanyaku iseng sambil melipat kedua tanganku di depan dada dan menyilangkan kakiku. Aku sudah menemukan kelemahan Kafka dan akan menggunakannya sebagai senjata, tapi pada saat yang bersamaan, sebuah fantasi bahwa aku dan Kafka melakukan-nya di atas meja kerja itu membuat darah di sekujur tubuhku memanas dengan sendirinya. Aku mencoba menahan diri agar tidak mulai mengipasi wajah dan leherku dengan tangan. “Apa perlu aku jelasin ke kamu?” Kafka kelihatan agak kesal dengan aksi girl-power-ku. Aku hanya mengangkat alis kanan, menunggu. Aku terpekik karena hampir saja kehilangan keseimbangan dan jatuh tersungkur ke lantai ketika tiba-tiba Kafka mencengkeram pergelangan tangan kananku, menghadapkan telapak tanganku ke atas dan menempelkannya di atas dada kirinya, tepat di atas jantung, sebelum kemudian menutupi tanganku dengan tangannya sendiri. Aku berhasil mendapatkan keseimbanganku kembali pada detik-detik terakhir dengan mencengkeram tepi meja dengan tangan kiriku dan tidak lagi menyilangkan kaki. Aku terlalu kaget bahkan untuk menarik tanganku kembali dari genggaman Kafka. “Sudah jelas?” Tanya Kafka padaku Ketika aku tidak juga memberikan reaksi, Kafka menekan tanganku dengan kedua tangannya sehingga aku betul-betul bisa merasakan detak jantungnya yang menurutku agak tidak karuan di bawah telapak tanganku. Kutatap Kafka yang sepertinya siap melakukan apa pun untuk membuktikan apa yang ingin dia buktikan padaku. Aku sendiri masih bingung tentang apa yang dia coba buktikan padaku dengan tidakannya ini. Buru-buru kuanggukan kepala meskipun aku tidak betul-betul mengerti maksudnya dan mencoba menarik tanganku dari genggamannya. Kafka mencengkeram tanganku. “No more games, Nadia.” “What? What games?” tanyaku bingung dan agak panic. Apa sih yang diinginkan laki-laki satu ini dariku? Kafka menatapku curiga. Seakan-akan dia tidak percaya akan omonganku. Ini orang sudah gila. Apa dia pikir aku bisa membaca pikirannya? Aku baru saja akan berteriak, “What in all hell are you talking about?” ketika tiba-tiba tanpa ada peringatan apa pun, pintu ruangan itu terbuka dan Karin berdiri di depan pintu dengan wajah penuh keraguan. Sepertinya dia sudah mendapatkan laporan dari si centeng dbawah tentang keberadaan kakaknya ini untuk menarik tanganku dan berhasil. Kafka langsung mengerlingkan matanya padaku sebelum memutar tubuhnya untuk menghadap tamu tak diundang itu. “Eh, kamu, aku sangkain siapa,” ucap Kafka santai sebelum melangkah ke sebelah kiriku dan menyandarkan bagian belakang pahanya pada tepi meja.
Aku tidak tahu bagaimana dia melakukannya, tapi Kafka betul-betul tidak kelihatan seperti orang bersalah sama sekali, sedangkan aku…. Aku rasanya sudah siap ditelan bumi. Kalau Karin tadi sampai tiga puluh detik lebih awal saja, maka dia akan menemukan kami dalam posisi yang aku yakin akan membuatnya terpaksa memecatku sebagai web designer kelabnya dengan tuduhan telah menggoda klien. Karin menatap Kafka sambil mengerutkan kening. Kemudian tatapannya jatuh padaku yang duduk di atas meja kerja itu di sebelah kakaknya. Wajah ragu Karin berubah menjadi terkejut, curiga sebelum kemudian mulai memerah.
“Aku Cuma… aku… aku lagi…,” dengan susah payah Karin mencoba menjelaskan keberadaanya. Aku tidak pernah melihat Karin canggung sama sekali, sehingga pemandangan baru ini membuatku tersenyum. “Aku nyariin Mas soalnya mau ngucapin Selamat Tahun Baru,” ucap Karin akhirnya. Kudengar Kafka tertawa sebelum kemudian berjalan mendekati adiknya itu. Mereka berpelukan selama beberapa detik sambil mengucapkan Selamat Tahun Baru kepada satu sama lain. Ada sesuatu yang manis ketika melihat Kafka memeluk Karin. Mereka tidak perlu mengatakannya, tapi aku tahu bahwa kakak-beradik ini memiliki hubungan yang erat. Dan cara Kafka memeluk Karin mengingatkanku akan kedua kakakku saat mereka sedang memelukku. Aku baru menyadari bahwa kemungkinan besar semua kakak laki-laki memang diwajibkan untuk jadi protektif dan posesif atas adik perempuan mereka. Inilah satu sisi lain lagi dari Kafka yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Aku tidak pernah menyangka bahwa iblis ini bisa punya adik yang mungkin dicintainya lebih daripada dia mencintai dirinya sendiri. Kutemukan diriku sedang tersenyum tanpa sebab. Aku sempat terkejut ketika melihat Karin kemudian menuju ke arahku dengan tangan yang terbuka lebar. Aku pun langsung melompat turun dari meja dan hampir saja membuat kakiku terkilir. Sepatu dengan tinggi hak sepuluh sentimeter tentunya tidak membantu keseimbangan seseorang kalau sedang berjalan, apalagi melompat. “Happy New Year ya,” ucap Karin sambil memelukku dengan erat. “Happy New Year juga,” balasku Kulihat Kafka tersenyum melihat kami berdua berpelukan. Aku yakin Kafka sedang teringat akan sesuatu karena meskipun dia sedang tersenyum ketika menatapku, tapi aku merasa dia tidak sedang betul-betul melihatku. Tatapannya kelihatan hilang pada sebuah memori masa lalu. Ketika Karin melepaskan pelukannya, dia langsung meminta diri dengan sedikit tergesa-gesa, beralasan bahwa ada banyak hal yang harus dilakukannya di bawah. Tapi ketika Kafka menawarkan bantuannya, Karin langsung menolak mentah-mentah dengan keantusiasan yang membuatku bertanya-tanya apakah dia hanya mencari-cari alasan agar bisa meninggalkan aku dan Kafka berdua saja? Baru satu detik Karin menghilang dari hadapan kami ketika HP-ku bordering. Aku celingukan mencari tasku karena aku tidak bisa ingat sama sekali di mana aku meletakkannya sebelum aku mencium Kafka. Ternyata tasku ada di atas meja kerja. Buru-buru kubuka tasku dan mencari HP-ku. Kulihat Kafka berjalan menuju pintu. Telepon itu ternyata dari Gita yang menanyakan keberadaanku karena dia sudah akan meninggalkan kelab. Dengan sesingkat mungkin aku menanyakan lokasinya di dalam kelab dan mengatakan bahwa aku akan datang menemuinya dalam waktu lima menit sebelum menutup telepon itu. “Sudah mau pulang?” Tanya Kafka “Iya, sudah dicariin. Lagian Tahun Baru-nya sudah lewat,” jawabku
“Tapi kita masih buka sampe jam empat kok mala mini.” “Jam empat?” teriakku terkejut. “Jadi kamu masih harus ada di sini sampai jam empat?” Kafka mengangguk pasrah, kemudian seperti waktu tiba-tiba terhenti, kami sama-sama terdiam sambil saling tatap tanpa berkedip selama beberapa detik. Kini giliranku yang pertama sadar dari semua itu dan perlahan-lahan berjalan menuju Kafka. Aku berdiri dengan sedikit ragu ketika sampai di hadapannya, sebelum kemudian mengatakan, “Selamat Tahun Baru ya, Kaf,” dan hanya karena aku pikir ini adalah sesuatu yang bisa dilakukan oleh dua teman pada malam Tahun Baru, aku berjingkat untuk mencium pipi Kafka. Tapi Kafka sengaja menolehkan kepalanya dan bibirku mendarat tepat pada bibirnya yang dibiarkan terbuka untuk menerima ciumanku. Ciuman itu bertahan lebih lama daripada yang kuperkirakan dan rela untuk kuakui sebagai ciuman terlembut yang pernah aku terima dari laki-laki mana pun. “Selamat Tahun Baru juga, Nad,” ucap Kafka sebelum kemudian menyingkir dari hadapanku agar aku bisa membuka pintu untuk keluar. Aku ragu sesaat. Apakah aku harus menanyakan maksud atas kata-kata yang diucapkannya sebelum Karin tadi tiba-tiba masuk? Sekali kucoba untuk memikirkan cara yang tepat untuk menanyakannya ketika kata-kata itu terpotong oleh komentar Kafka. “Aku suka sepatu yang kamu pakai. Kamu kelihatan seksi pakai sepatu itu,” ucapnya Aku awalnya hanya bisa menatap Kafka dengan mulut terbuka. Apa dia baru saja bilang bahwa aku seksi? Aku? Nadia si kutu buku ini? Nggak mungkin. Aku pasti sudah salah dengar. “Aku usulin kamu pakai sepatu itu kapan-kapan kalau ketemu aku lagi,” lanjutnya. Dan aku tahu bahwa Kafka memang sedang membicarakan tentang aku dan sepatku. Kutatap sepatu stripper-ku itu. Meskipun sepatu itu tidak nyaman sama sekali, harus kuakui bahwa bentuknya membuat kakiku kelihatan lebih seksi. Tanpa menyangka diri sendiri seksi dan mendengar orang lain mengatakannya adalah dua hal yang berbeda. Terutama jika orang lain itu adalah laki-laki yang kita sukai. “Thanks,” ucapku ragu “Thanks untuk sesi snogging-nya. Aku janji nggak akan ganggu kamu lagi lewat SMS sepanjang tahun ini.” Kukedipkan mataku berkali-kali untuk mencerna pergantian topic ini. “Oh… oke,” balasku akhirnya dengan sedikit terbata-bata. Sejujurnya aku bahkan sudah lupa sama sekali dengan perjanjian itu. Ketika aku mencium Kafka, itu karena aku memang ingin menciumnya, bukan karena aku kalah taruhan. Aku masih berdiri di atas tangga sambil menatap Kafka, seakan-akan menunggunya mengatakan sesuatu. Ap pun itu. Tapi Kafka tidak berkata apa-apa lagi, sehingga aku tidak punya pilihan lain selain mulai menuruni tangga. “Nad?” kudengar Kafka memanggilku setelah aku menuruni dua anak tangga YESSSS! Teriakku dalam hati. Kalau bisa sebetulnya aku ingin meneriakkan kata itu, tapi kecuali aku ingin Kafka tahu perasaanku tentangnya, aku memutuskan untuk menahan diri. Kuputar tubuhku 180 derajat sebelum berkata, “Ya?” dengan suara setenang mungkin. “Goodnight,” ucap Kafka sambil tersenyum dengan senyumannya itu. What! Bercanda dia. Itu saja yang dia akan katakana padaku? Tidakkah dia akan setidak-tidaknya memintaku untuk hangout sama dia hingga kelabnya tutup? Oke, mungkin tidak hingga kelabnya tutup karena sejujurnya aku tidak akan berani membawa mobilku untuk pulang ke kos sendirian pada jam empat pagi, tidak peduli bahwa ini adalah malam Tahun Baru dan pasti ada banyak orang yang masih

berkeliaran di jalan raya menjelang pagi. Pada intinya aku mngharapkan Kafka untuk mengatakan sesuatu yang lebih berharga daripada “Selamat malam”. “Goodnight, kaf,” balasku akhirnya setelah otakku cair kembali dari bekunya. Dan aku pun menghilang dari hadapannya tanpa menoleh lagi. Aku berharap Kafka tidak serius dengan kata-kata untuk tidak mengirimi aku SMS lagi. Apa yang akan aku lakukan tanpa SMS-SMS darinya? Sisa dari malam itu berlalu begitu saja. Aku bahkan tidak ingat bagaimana aku bisa kembali ke kosku karena jelas-jelas aku tidak ingat jalan mana saja yang aku ambil untuk pulang. Kepalaku penuh dengan Kafka. Aku baru bisa tertidur beberapa menit sebelum matahari terbit setelah semalaman mencoba memdedah semua tingkah laku dan kata-kata yang diucapkan olehnya padaku malam sebelumnya. Ketika aku bangun delapan jam kemudian dengan tubuh kaku seperti baru saja mendaki Gunung Everest dan kepala berat seakan-akan aku sudah minum alcohol berliter-liter malam sebelumnya, aku langsung tahu bahwa hari ini akan jadi hari terpanjang dalam hidupku. 


Crash Into You - AliaZalea - Bab 13

No comments:

Post a Comment