Bab
12
7 Januari OMG,
laki-laki satu itu bikin gue gila. Gue gak tahu dia maunya
apa! Dia flirt sama gue habis-habisan, tapi terus bilang dia akan nurutin
permintaan gue dan nggak akan kontak gue lag? Maksudnya dia apa coba? *** “Kamu
kok punya kunci sih?” tanyaku penasaran. Kafka tidak menjawab. Dia hanya
membuka lebar pintu di hadapannya dan mendorongku masuk ke dalamnya dengan
menempelkan telapak tangan pada punggungku. Ruangan yang dalam keadaan terang
benderang oleh sinar dua lampu neon yang menempel pada langit-langit itu
kelihatan cukup rapid an kosong, kecuali untuk sebuah meja kerja besar yang
kelihatannya terbuat dari kayu kokoh, sebuah meja kayu bundar dengan enam
kursi, dan sebuah TV plasma yang menempel pada dinding. Salah satu dinding
ruangan itu tertutup gorden berwarna cokelat yang kelihatannya terbuat dari bahan
yang sangat berat, sedangkan tiga dinding lainnya di cat dengan warna cokelat
terang. Ada sesuatu yang aneh dengan ruangan itu, aku baru menyadari beberapa
menit kemudian bahwa ruangan itu tidak memiliki warna fuchsia, kuning, ataupun
oranye di dalamnya sama sekali. Ruangan itu kelihatan sangat maskulin hanya
dengan kombinasi warna cokelat dan hitam. “Mmmhhh,” ucapku pelan Aku baru
menyadari bahwa aku sudah mengucapkan “mmmhhh”-ku lebih keras daripada yang
kuperkirakan ketika Kafka berkata, “Kenapa?” “Kenapa?” aku balik bertanya “Kamu
kenapa ‘mmmhhh’?” Tanya Kafka sambil membiarkan pintu ruangan itu tertutup.
Saat itu aku menyadari bahwa tanpa kita sadari, kata “mmmhhh” itu memiliki
banyak makna. Terkadang kata itu diucapkan sebagai suatu persetujuan, tapi terkadang
untuk menyuarakan ketidaksetujuan. Mungkin bukan kata “mmmhhh” itu yang
menunjukkan makna yang dituju, tapi nada ketika kata itu diucapkan. Bah! Aku
jadi pusing sendiri. Ketika menyadari bahwa pintu ruangan sudah tertutup,
membuatku sendirian dengan Kafka yang kini menatapku karena menunggu jawaban
atas pertanyaannya, kecanggunganku pun kembali. “Ruangan ini kok warnanya beda
ya dari lantai bawah?” aku berhasil mengucapkan hal pertama yang terlintas di
dalam pikiranku tanpa terbata-bata. Kafka tersenyum sambil kemudian berjalan
menuju meja kayu dan membungkuk. Aku kemudian mendengar bunyi sebuah pintu
kulkas dibuka. Kantor ini punya kulkas tersembunyi di bawah meja itu
sepertinya. “Kamu mau minum apa?” aku ada produknya Coca-Colaatau air putih,” ucapnya.
“Oh… air putih saja,” jawabku sambil melangkah mendekati Kafka. Tidak lama
kemudian aku sudah menggenggam satu botol Evia. Kafka memilih untuk minum
Sprite kalengan. Perlahan-lahan kuputar tutup botol air itu. Sebetulnya aku
tidak haus, tapi aku minum seteguk hanya karena aku tidak tahu apa lagi yang
bisa aku perbuat. Satu detik kemudian aku menyadari bahwa aku seharusnya
menunggu untuk menelan air itu. “Yang pilih warna kelab ini Karin sama Maya.
Sebagai satu-satunya owner yang laki-laki jelas-jelas aku langsung nggak setuju
sama pilihan warna mereka, tapi mereka tetap ngotot. Akhirnya sebagai
kompensasi,
mereka kasih aku kebebasan untuk ngedesain dan milih warna ruang kerja ini
sesuai seleraku,” jelas Kafka panjang-lebar sambil menarik cincin di atas
kaleng soda itu dan bunyi “POP” yang cukup keras terdengar. Air yang sedang
dalam proses untuk ditelan langsung masuk ke lubang yang salah dan aku pun
terbatuk-batuk. Tahu-tahu Kafka sudah berada di sampingku sambil menepuk-nepuk
punggungku. “Minumnya pelan-pelan, Nad,” ucapnya Aku hanya bisa mengangguk dan
memegangi dadaku sambil masih terbatuk-batuk. Karin tidak pernah berkata banyak
mengenai dua partnernya. Selama ini aku selalu menyangka bahwa mereka pasti
perempuan juga dan satu tipe dengan Karin. Maya memang sepertinya memenuhi
criteria itu, tetapi Kafka tidak. Bagaimana mungkin Karin tidak pernah
menceritakan hal ini padaku? Lalu aku menyadari bahwa pada dasarnya aku tidak
pernah terlalu memperhatikan hal-hal yang keluar dari mulut Karin kecuali kalau
itu menyangkut desan website kelabnya. Ini semua salahku, omelku pada diriku
sendiri. Aku memerlukan setidak-tidaknya lima menit untuk bisa betul-betul
mengendalikan batuk. Saat itu aku menyadari bahwa tepukan dipunggungku sudah
berubah menjadi usapan. Yang jelas atasan dengan bahan satin berwarna putih
yang kukenakan pada malam itu tidak bisa menghalangiku untuk merasakan
kehangatan telapak tangan Kafka. “Better?” Tanya Kafka. Kini tangan nya sudah
naik dan sedang memijat leherku yang seharusnya tersembunyi di bawah rambutku
yang kubiarkan tergerai malam ini, otomatis bulu romaku langsung berdiri.
Kuangkat kepalaku untuk mlihat wajah Kafka yang kelihatan terhibur dengan
keadaanku. Matanya berbinar-binar seperti dia sedang menahan tawa. Di bawah
sinar lampu neon di dalam ruangan ini, kusadari bahwa warna rambut Kafka tidak
hitam, tapi cokelat gelap dan ada merahnya. Dan mungkin ini hanya trik lampu
saja, tapi aku bersumpah bahwa lingkaran yang mengelilingi pupil matanya
berwarna hijau, bukannya cokelat atau hitam seperti mata orang Asia pada
umumnya. Ketika menyadari bahwa aku sedang memfokuskan perhatianku pada bola
matanya, pijatan Kafka pada leherku terhenti. “Kamu tahu nggak kalau mata kamu
ada hijaunya?” aku bahkan tidak menyadari bahwa aku sudah mengucapkan kata-kata
itu sampai mendengar seseorang dengan suara yang mirip sekali dengan suaraku
mengucapkannya. “Whatare you on about?” aksen bicara Kafka terdengar sangat
asing di kupingku. Ketika dia mengatakan kata “About” dia mengucapkan sebagai
“Aboot”. Samar-samar kudengar suara gemuruh orang sedang meneriakkan, “Ten…
Nine… Eight… Seven…” sepertinya waktu untuk countdown akhirnya tiba juga.
“Three… Two… One…” aku pun berjinjit sambil menarik kepala Kafka sebelum
kemudian mencium bibirnya Cara kami berciuman terkesan seperti besok akan
kiamat dan bahwa hari ini adalah hari terakhir kami bisa melakukan apa pun yang
kami inginkan tanpa perlu mengkhawatirkan akibatnya. Ciuman itu basah, dalam,
dan menyeluruh. Aku bisa merasakan bahwa aku harus mengambil napas sebentar
lagi kalau tidak mau tiba-tiba pingsan ketika sedang mencium Kafka, tapi aku
tidak rela melepaskannya. Aku lebih memerlukan bibirnya daripada aku memerlukan
waktu 28 tahun untuk betul-betul mengerti ungkapan “I need you like I need air
to breathe.” Kafka-lah yang menyelamatkan dri kegilaanku dengan berkata, “We
need to slow down,” dengan napas
terengah-engah.
Kedua tangannya merangkum wajahku dan dia manatap mataku dengan tajam. “I
know,” balasku sambil menggenggam kedua tangan Kafka di sebelah kiri dan kanan
wajahku. Dadaku terasa agak sakit karena oksigen yang tiba-tiba masuk terlalu
cepat ke dalam paru-paruku. “Bilang ke aku kalau kamu mau slow down, Nad.” “Aku
mau slow down.” “Say it like you mean it.” Suara Kafka sedikit bergetar ketika
mengucapkannya. Aku hanya bisa menatapnya dengan mulut terbuka. Bagaimana aku
bisa mengucapkan itu ketika pikiranku mengatakan lain? “Fuck a duck,” geramnya.
Sebelum aku bisa memahami apa yang dikatakannya, dia sudah menyerangku lagi.
Ternyata Kafka lebih Inggris daripada yang kuperkirakan, terkadang kosakata
bahasa Inggris yang dia gunakan membuatku bingung dan bertanya-tanya apakah dia
sedang memuji atau menghinaku. Pikiranku buyar ketika kurasakan perlahan-lahan
tubuhku didorong ke belakang olehnya. Beberapa detik kemudian kurasakan
bokongku menabrak sesuatu dan sebelum aku bisa menoleh untuk melihat apa benda
itu, Kafka sudah mengangkat tubuhku dan mendudukkanku di atas meja kerja. Dia
kemudian berusaha membuka kedua kakiku, tapi usaha itu dihalangi desain rok
pensil sedengkul superketat berbahan spandex yang kukenakan. Kafka melepaskan
bibirku untuk menatap rokku. “Kamu kenapa sih suka banget pakai spandex?” Tanya
nya sambil mengerutkan dahi. Aku harus mengedipkan mata berkali-kali untuk
melepaskan pikiranku dari bibir Kafka yang kini terlihat agak merah dan basah
karena lipgloss warna pink-ku, ke pertanyaannya. “They’re comfortable,” jawabku
akhirnya “Buat kamu mungkin. Tapi nggak untuk aku.” Aku hanya terkikik
mendengar komentar dan melihat tatapan frustasi pada wajah Kafka “Aku nggak
kebayang kalau kamu pakai spandex. Kecuali kamu penari baletm aku usulin sih
jangan, soalnya nanti orang pikir kamu gay,” ucapku sambil tersenyum. “Kamu
tahu maksudku bukan itu,” balas Kafka dengan nada datar. Pupil mataku melebar
ketika mendengar nada serius Kafka. Aku kemudian mengangguk sedikit,
mengonfirmasikan kepadanya bahwa aku mengerti maksudnya. Kuangkat tanganku
untuk menghapus bekas lipgloss-ku dari bibirnya dengan jari-jariku. Kafka
kelihatan agak terkejut ketika jari-jariku menyentuh bibirnya, tapi dia
membiarkanku melakukannya. “Sori, bibir kamu ada lipgloss-ku,” jelasku setelah
bibir itu sudah bersih “Aku nggak keberatan sama lipgloss kamu,” ucap Kafka
“Oh?” kafka adalah orang pertama yang berpendapat seperti ini tentang
lipgloss-ku. Semua mantan pacarku selalu protes dengan tebalnya lipgloss yang
aku oleskan pada bibirku. “Sudah resiko sebagai laki-laki. Kalau kita memang
nggak mau ada lipgloss di bibir kita ya… jangan nyium cewek. Aku sih lebih
pilih ada lipgloss di mukaku daripada nggak nyium mereka.” Aku terdiam sejenak
untuk membiarkan kata-kata Kafka ini terserap oleh otakku. “Kamu selalu pakai
lipgloss yang sama, ya?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengangguk dengan wajah agak
bingung karena tidak tahu arah pembicaraan ini, “Bibir kamu rasanya selalu sama
soalnya. Rasa ceri,” jelas Kafka sambil menjilat bibirnya. “Kamu nggak suka
ceri?” tanyaku hati-hati. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba merasa agak
khawatir
Kafka
tidak menyukai rasa lipgloss-ku. Tanpa kusangka-sangka, Kafka malah tertawa
terkekeh-kekeh mendengar pertanyaanku itu. Aku baru menyadari beberapa detik
kemudian alasannya dan ikut tertawa dengannya inilah pertama kalinya aku
melihat wajah Kafka ketika dia sedang tertawa. Bukan tertawa karena mengejek, tapi
betul-betul tertawa karena ada sesuatu yang lucu. Suara tawa yang lepas
sehingga seluruh tubuhnya ikut bergoyang. Dan pada saat itulah aku menyadari
bahwa ada sebabnya Tuhan membuatnya menjadi laki-laki yang supermisterius dan
jarang tertawa. Begitu laki-laki satu ini memutuskan untuk menunjukkan tawanya
kepada dunia, akan sangat tidak adil bagi kaum laki-laki lainnya karena mereka
bisa tidak bakal mendapatkan perhatian kaum wanita sama sekali.
“Yang aku maksud hahaha…. Rasa
ceri sebagai buah, bukan ceri yang satu lagi, hahaha….,” jelasku sambil mencoba
mengontrol tawaku dan pikiranku yang sudah berlari entah ke mana. “Hahaha… aku
tahu maksud kamu. Cuma, gara-gara kamu akhir-akhir ini pikiranku jadi banyak
ngabisin waktu di got, hahaha,” jelas Kafka sambil masih mengikik. “Oh, itu sih
bukan gara-gara aku, tapi salah kamu sendiri,” candaku. “Oke, sama teman kita
bagi rata saja ya salahnya,” balas Kafka sambil kemudian mengulurkan tangan
untuk mengajakku bersalaman. Kuraih tangan Kafka sambil kembali tertawa
terbahak-bahak. “Jadi kamu nggak suka lipgloss rasa ceri?” tanyaku setelah
Kafka melepaskan tanganku lagi. Aku sengaja mengulangi pertanyaanku sebelumnya
tetapi dengan lebih jelas, sehingga Kafka tidak akan memikirkan hal yang
tidak-tidak lagi ketika mendengarnya. “Oh… nggak. Aku suka ceri… atau stroberi…
atau vanilla. Lipgloss rasa apa saja aku suka, asal itu nempel di bibir cewek
yang aku suka.” Jantungku hampir saja berhenti ketika dia mengatakan kata
“suka” pada kalimat itu. Apa pada dasarnya dia sedang mengakui bahwa dia
menyukaiku? Aku mencoba menelan ludah dan melonggarkan teggorokanku sebelum
memutuskan untuk bicara. “Jadi intinya bukan lipgloss-nya, tapi ceweknya?”
tanyaku Kafka mengangguk. “Aku nggak mungkin bisa nyium cewek yang aku nggak
suka.” Aku hampir saja terpekik ketika menyadari tangan Kafka mencengkeram
kedua betisku. “Tolongin aku deh. Besok-besok kalau mau ketemu aku, jangan
pakai spandex lagi, oke. Aku jadi susah kalau mau ngapa-ngapain kamu,” ucapnya.
Dia kini mencoba meraba pahaku di balik rok, tapi dia harus berhenti setelah
hanya beberapa senti meter. Rok itu memang tidak didesain untuk merentang lebih
jauh lagi selain untuk mengakomondasikan kedua pahaku. “Memangnya kamu mau
ngapain aku?” tanyaku dengan nada menggoda Kafka terdiam selama beberapa detik
dengan mulut terbuka. Sepertinya kata-kataku sudah membuatnya tidak bisa
berkata-kata. Tapi kemudian suatu senyuman muncul di sudut bibirnya. “I love it
when you’re naughty,” bisiknya. Mau tidak mau aku tertawa ketika mendengarnya mengatakan
kata “naughty” yang lebih terdengar seperti “nooh-ti” dan terkesan lebih seksi
kalau dia yang mengucapkannya. “Aku suka cara kamu ngucapin ‘naughty’,” ucapku
“Naughty?” sekali lagi dia mengucapkannya dengan aksen Inggris-nya. Dan aku
langsung tertawa lagi ketika mendengar Kafka sekali lagi mengulangi kata itu.
“Iya. Kayak gitu.
Aksen
kamu bikin aku ngerasa kayak lagi hidup di abad kesembilan belas,” jelasku.
Kafka mendengus sebelum menambahkan, “kalau kita hidup di abad kesembilan
belas, aku nggak perlu khawatir soal spandex sama sekali. Kenapa sih perempuan
nggak bisa pakai baju kayak waktu mereka di abad itu? Pakai rok yang gampang
diangkat, tanpa knickers, dan nggak ada kait bra yang perlu di buka karena bra
memang belum ada.” Aku menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa pada zaman itu
wanita masih menggunakan korset bertali, yang bahkan lebih susah ditanggalkan
daripada bra. “Tapi kamu mungkin akan lebih susah untuk ngebuka baju mereka
karena semuanya masih pakai kancing dan nggak ada ritsleting,” balasku
“omong-omong soal ritsleting, ini rok ada ritsletingnya nggak sih?” kafka mulai
mereba-raba rokku bagian belakang tapi tentu saja dia tidak bisa menemukannya
karena rok ini memang didesain tanpa ritsleting. “Memangny kalau ada
ritsletingnya kenapa?” tanyaku iseng sambil melipat kedua tanganku di depan
dada dan menyilangkan kakiku. Aku sudah menemukan kelemahan Kafka dan akan
menggunakannya sebagai senjata, tapi pada saat yang bersamaan, sebuah fantasi
bahwa aku dan Kafka melakukan-nya di atas meja kerja itu membuat darah di
sekujur tubuhku memanas dengan sendirinya. Aku mencoba menahan diri agar tidak
mulai mengipasi wajah dan leherku dengan tangan. “Apa perlu aku jelasin ke
kamu?” Kafka kelihatan agak kesal dengan aksi girl-power-ku. Aku hanya mengangkat
alis kanan, menunggu. Aku terpekik karena hampir saja kehilangan keseimbangan
dan jatuh tersungkur ke lantai ketika tiba-tiba Kafka mencengkeram pergelangan
tangan kananku, menghadapkan telapak tanganku ke atas dan menempelkannya di
atas dada kirinya, tepat di atas jantung, sebelum kemudian menutupi tanganku
dengan tangannya sendiri. Aku berhasil mendapatkan keseimbanganku kembali pada
detik-detik terakhir dengan mencengkeram tepi meja dengan tangan kiriku dan
tidak lagi menyilangkan kaki. Aku terlalu kaget bahkan untuk menarik tanganku
kembali dari genggaman Kafka. “Sudah jelas?” Tanya Kafka padaku Ketika aku
tidak juga memberikan reaksi, Kafka menekan tanganku dengan kedua tangannya
sehingga aku betul-betul bisa merasakan detak jantungnya yang menurutku agak
tidak karuan di bawah telapak tanganku. Kutatap Kafka yang sepertinya siap
melakukan apa pun untuk membuktikan apa yang ingin dia buktikan padaku. Aku
sendiri masih bingung tentang apa yang dia coba buktikan padaku dengan
tidakannya ini. Buru-buru kuanggukan kepala meskipun aku tidak betul-betul
mengerti maksudnya dan mencoba menarik tanganku dari genggamannya. Kafka
mencengkeram tanganku. “No more games, Nadia.” “What? What games?” tanyaku
bingung dan agak panic. Apa sih yang diinginkan laki-laki satu ini dariku?
Kafka menatapku curiga. Seakan-akan dia tidak percaya akan omonganku. Ini orang
sudah gila. Apa dia pikir aku bisa membaca pikirannya? Aku baru saja akan
berteriak, “What in all hell are you talking about?” ketika tiba-tiba tanpa ada
peringatan apa pun, pintu ruangan itu terbuka dan Karin berdiri di depan pintu
dengan wajah penuh keraguan. Sepertinya dia sudah mendapatkan laporan dari si
centeng dbawah tentang keberadaan kakaknya ini untuk menarik tanganku dan
berhasil. Kafka langsung mengerlingkan matanya padaku sebelum memutar tubuhnya
untuk menghadap tamu tak diundang itu. “Eh, kamu, aku sangkain siapa,” ucap
Kafka santai sebelum melangkah ke sebelah kiriku dan menyandarkan bagian
belakang pahanya pada tepi meja.
Aku
tidak tahu bagaimana dia melakukannya, tapi Kafka betul-betul tidak kelihatan
seperti orang bersalah sama sekali, sedangkan aku…. Aku rasanya sudah siap
ditelan bumi. Kalau Karin tadi sampai tiga puluh detik lebih awal saja, maka
dia akan menemukan kami dalam posisi yang aku yakin akan membuatnya terpaksa
memecatku sebagai web designer kelabnya dengan tuduhan telah menggoda klien.
Karin menatap Kafka sambil mengerutkan kening. Kemudian tatapannya jatuh padaku
yang duduk di atas meja kerja itu di sebelah kakaknya. Wajah ragu Karin berubah
menjadi terkejut, curiga sebelum kemudian mulai memerah.
“Aku Cuma… aku… aku lagi…,”
dengan susah payah Karin mencoba menjelaskan keberadaanya. Aku tidak pernah
melihat Karin canggung sama sekali, sehingga pemandangan baru ini membuatku tersenyum.
“Aku nyariin Mas soalnya mau ngucapin Selamat Tahun Baru,” ucap Karin akhirnya.
Kudengar Kafka tertawa sebelum kemudian berjalan mendekati adiknya itu. Mereka
berpelukan selama beberapa detik sambil mengucapkan Selamat Tahun Baru kepada
satu sama lain. Ada sesuatu yang manis ketika melihat Kafka memeluk Karin.
Mereka tidak perlu mengatakannya, tapi aku tahu bahwa kakak-beradik ini
memiliki hubungan yang erat. Dan cara Kafka memeluk Karin mengingatkanku akan
kedua kakakku saat mereka sedang memelukku. Aku baru menyadari bahwa
kemungkinan besar semua kakak laki-laki memang diwajibkan untuk jadi protektif
dan posesif atas adik perempuan mereka. Inilah satu sisi lain lagi dari Kafka
yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Aku tidak pernah menyangka bahwa iblis
ini bisa punya adik yang mungkin dicintainya lebih daripada dia mencintai
dirinya sendiri. Kutemukan diriku sedang tersenyum tanpa sebab. Aku sempat
terkejut ketika melihat Karin kemudian menuju ke arahku dengan tangan yang
terbuka lebar. Aku pun langsung melompat turun dari meja dan hampir saja
membuat kakiku terkilir. Sepatu dengan tinggi hak sepuluh sentimeter tentunya
tidak membantu keseimbangan seseorang kalau sedang berjalan, apalagi melompat.
“Happy New Year ya,” ucap Karin sambil memelukku dengan erat. “Happy New Year
juga,” balasku Kulihat Kafka tersenyum melihat kami berdua berpelukan. Aku
yakin Kafka sedang teringat akan sesuatu karena meskipun dia sedang tersenyum
ketika menatapku, tapi aku merasa dia tidak sedang betul-betul melihatku. Tatapannya
kelihatan hilang pada sebuah memori masa lalu. Ketika Karin melepaskan
pelukannya, dia langsung meminta diri dengan sedikit tergesa-gesa, beralasan
bahwa ada banyak hal yang harus dilakukannya di bawah. Tapi ketika Kafka
menawarkan bantuannya, Karin langsung menolak mentah-mentah dengan keantusiasan
yang membuatku bertanya-tanya apakah dia hanya mencari-cari alasan agar bisa
meninggalkan aku dan Kafka berdua saja? Baru satu detik Karin menghilang dari
hadapan kami ketika HP-ku bordering. Aku celingukan mencari tasku karena aku
tidak bisa ingat sama sekali di mana aku meletakkannya sebelum aku mencium
Kafka. Ternyata tasku ada di atas meja kerja. Buru-buru kubuka tasku dan
mencari HP-ku. Kulihat Kafka berjalan menuju pintu. Telepon itu ternyata dari Gita
yang menanyakan keberadaanku karena dia sudah akan meninggalkan kelab. Dengan
sesingkat mungkin aku menanyakan lokasinya di dalam kelab dan mengatakan bahwa
aku akan datang menemuinya dalam waktu lima menit sebelum menutup telepon itu.
“Sudah mau pulang?” Tanya Kafka “Iya, sudah dicariin. Lagian Tahun Baru-nya
sudah lewat,” jawabku
“Tapi
kita masih buka sampe jam empat kok mala mini.” “Jam empat?” teriakku terkejut.
“Jadi kamu masih harus ada di sini sampai jam empat?” Kafka mengangguk pasrah,
kemudian seperti waktu tiba-tiba terhenti, kami sama-sama terdiam sambil saling
tatap tanpa berkedip selama beberapa detik. Kini giliranku yang pertama sadar
dari semua itu dan perlahan-lahan berjalan menuju Kafka. Aku berdiri dengan
sedikit ragu ketika sampai di hadapannya, sebelum kemudian mengatakan, “Selamat
Tahun Baru ya, Kaf,” dan hanya karena aku pikir ini adalah sesuatu yang bisa
dilakukan oleh dua teman pada malam Tahun Baru, aku berjingkat untuk mencium
pipi Kafka. Tapi Kafka sengaja menolehkan kepalanya dan bibirku mendarat tepat
pada bibirnya yang dibiarkan terbuka untuk menerima ciumanku. Ciuman itu
bertahan lebih lama daripada yang kuperkirakan dan rela untuk kuakui sebagai
ciuman terlembut yang pernah aku terima dari laki-laki mana pun. “Selamat Tahun
Baru juga, Nad,” ucap Kafka sebelum kemudian menyingkir dari hadapanku agar aku
bisa membuka pintu untuk keluar. Aku ragu sesaat. Apakah aku harus menanyakan
maksud atas kata-kata yang diucapkannya sebelum Karin tadi tiba-tiba masuk?
Sekali kucoba untuk memikirkan cara yang tepat untuk menanyakannya ketika
kata-kata itu terpotong oleh komentar Kafka. “Aku suka sepatu yang kamu pakai.
Kamu kelihatan seksi pakai sepatu itu,” ucapnya Aku awalnya hanya bisa menatap
Kafka dengan mulut terbuka. Apa dia baru saja bilang bahwa aku seksi? Aku?
Nadia si kutu buku ini? Nggak mungkin. Aku pasti sudah salah dengar. “Aku
usulin kamu pakai sepatu itu kapan-kapan kalau ketemu aku lagi,” lanjutnya. Dan
aku tahu bahwa Kafka memang sedang membicarakan tentang aku dan sepatku.
Kutatap sepatu stripper-ku itu. Meskipun sepatu itu tidak nyaman sama sekali,
harus kuakui bahwa bentuknya membuat kakiku kelihatan lebih seksi. Tanpa
menyangka diri sendiri seksi dan mendengar orang lain mengatakannya adalah dua
hal yang berbeda. Terutama jika orang lain itu adalah laki-laki yang kita
sukai. “Thanks,” ucapku ragu “Thanks untuk sesi snogging-nya. Aku janji nggak
akan ganggu kamu lagi lewat SMS sepanjang tahun ini.” Kukedipkan mataku
berkali-kali untuk mencerna pergantian topic ini. “Oh… oke,” balasku akhirnya
dengan sedikit terbata-bata. Sejujurnya aku bahkan sudah lupa sama sekali
dengan perjanjian itu. Ketika aku mencium Kafka, itu karena aku memang ingin
menciumnya, bukan karena aku kalah taruhan. Aku masih berdiri di atas tangga
sambil menatap Kafka, seakan-akan menunggunya mengatakan sesuatu. Ap pun itu.
Tapi Kafka tidak berkata apa-apa lagi, sehingga aku tidak punya pilihan lain
selain mulai menuruni tangga. “Nad?” kudengar Kafka memanggilku setelah aku
menuruni dua anak tangga YESSSS! Teriakku dalam hati. Kalau bisa sebetulnya aku
ingin meneriakkan kata itu, tapi kecuali aku ingin Kafka tahu perasaanku
tentangnya, aku memutuskan untuk menahan diri. Kuputar tubuhku 180 derajat
sebelum berkata, “Ya?” dengan suara setenang mungkin. “Goodnight,” ucap Kafka
sambil tersenyum dengan senyumannya itu. What! Bercanda dia. Itu saja yang dia
akan katakana padaku? Tidakkah dia akan setidak-tidaknya memintaku untuk
hangout sama dia hingga kelabnya tutup? Oke, mungkin tidak hingga kelabnya
tutup karena sejujurnya aku tidak akan berani membawa mobilku untuk pulang ke
kos sendirian pada jam empat pagi, tidak peduli bahwa ini adalah malam Tahun
Baru dan pasti ada banyak orang yang masih
berkeliaran
di jalan raya menjelang pagi. Pada intinya aku mngharapkan Kafka untuk
mengatakan sesuatu yang lebih berharga daripada “Selamat malam”. “Goodnight,
kaf,” balasku akhirnya setelah otakku cair kembali dari bekunya. Dan aku pun
menghilang dari hadapannya tanpa menoleh lagi. Aku berharap Kafka tidak serius
dengan kata-kata untuk tidak mengirimi aku SMS lagi. Apa yang akan aku lakukan
tanpa SMS-SMS darinya? Sisa dari malam itu berlalu begitu saja. Aku bahkan
tidak ingat bagaimana aku bisa kembali ke kosku karena jelas-jelas aku tidak
ingat jalan mana saja yang aku ambil untuk pulang. Kepalaku penuh dengan Kafka.
Aku baru bisa tertidur beberapa menit sebelum matahari terbit setelah semalaman
mencoba memdedah semua tingkah laku dan kata-kata yang diucapkan olehnya padaku
malam sebelumnya. Ketika aku bangun delapan jam kemudian dengan tubuh kaku
seperti baru saja mendaki Gunung Everest dan kepala berat seakan-akan aku sudah
minum alcohol berliter-liter malam sebelumnya, aku langsung tahu bahwa hari ini
akan jadi hari terpanjang dalam hidupku.
Crash Into You - AliaZalea - Bab 13
No comments:
Post a Comment