Bab
11
31 Desember
Gue nggak ngerti sama yang namanya laki-laki. Dan gue nggak Cuma
ngomongin sial Kafka doing, tapi laki-laki pada umumnya. Coba lihat saja
kakak-kakak gue. Mereka berdua itu memang aneh. Apa laki-laki itu memang
dilahirin dengan kelainan otak ya sampai-sampai kelakuan mereka bisa aneh bin
ajaib? *** Ternyata bosku benar, pada dasarnya hampir semua artis Indonesia
yang sudah punya nama dan beberapa yang film ataupun albumnya baru saja keluar
di pasaran tumplek di Empire malam itu. Aku bertemu dengan beberapa teman band
Jo yang sudah menduduki satu area di salah satu sudut kelab itu, yang aku tahu
sebagai area VIP. Dua perempuan yang hampir kelihatan seperti anak kembar
berjalan melewatiku ada gelas koktail di tangan mereka masing-masing, setelah
mereka berlalu aku baru menyadari bahwa mereka adalah juara pertama dan kedua
Indonesia Idol yang terbaru, dan aku yakin bahwa mereka masih di bawah umur
untuk minum alcohol. Akhirnya aku sampai juga di powder room alias toilet. Lain
dengan keadaan di luar yang binger-bingar, ruangan itu cukup sepi. Hanya ada
beberapa orang yang sedang memperbaiki dandanan mereka di depan cermin panjang
yang melintang di salah satu dinding berwarna oranye. Mungkin Empire adalah
satu-satunya kelab di Jakarta yang toiletnya sama funky-nya dengan kelabnya
sendiri. Ruangan itu terlihat seperti lobi hotel dengan sofa panjang yang cukup
nyaman untuk orang ngobrol sambil duduk-duduk santai dan lampu yang menerangi
ruangan itu membuat semua orang yang terkena sinarnya sepuluh kali lebih
menarik daripada aslinya. Yang paling penting adalah toilet itu tidak berbau
seperti toilet pada umumnya. Aku bahkan yakin bahwa pewangi ruangan yang
disemprotkan secara otomatis setiap lima menit sekali adalah J’adore. Intinya,
siapa pun desainer interior kelab ini, dia jenius. Aku duduk di salah satu
kursi di depan kaca itu dan mengeluarkan blotters-ku. Mama selalu bilang bahwa
wajahku pada dasarnya adalah pabrik minyak. Tidak peduli seberapa tebal bedak
yang sudah kutaburkan, wajahku pasti akan mengilat dalam waktu dua jam. “Lo
lihat nggak kakaknya Karin?” Tanya seorang wanita yang sedang mengoleskan
lipgloss ke bibirnya. “Hot banget nggak sih?” balas temannya yang sedang
menambahkan sedikit bedak pada hidungnya. “Karin bilang dia masih single. Kok
bisa ya?” lanjut wanita yang pertama “Apa dia gay?” wanita yang kedua mematut
wajahnya di cermin untuk memastikan bahwa bedaknya sudah rata. “Nggak mungkin.
Dia terlalu… terlalu… uhm… apa ya kata-kata yang tepat untuk ngegambarin dia…?
Laki, nah itu dia. Dia terlalu laki untuk jadi gay. Be-te-we, ada yang salah
nggak sih sama dandanan gue?” Kulihat wanita yang kedua menatap temannya,
“Nggak ada. Memangnya kenapa?” “Habis kakaknya si Karin itu nggak ngelirik gue
sama sekali. Gimana bisa coba dia nggak ngelirik gue? Cowok selalu ngelirik
gue.” “Humph, gue yakin tuh cowok memang banci. Percaya sama gue,” “Dia nggak
banci.” “Banci.” “Nggak banci. Mau taruhan?” “Serius lo?”
“Gue
bakal pastiin dia pulang sama gue malam ini.” “Seratus ribu?” “Dua ratus.”
“Setuju.” Aku mencoba menahan diri agar tidak memutar bola mataku. Untuk apa
wanita satu itu terobsesi dengan laki-laki yang jelas-jelas tidak tertarik
dengannya atau memang gay. Kubuang dua lembar blotters yang baru saja kugunakan
ke tempat sampah dan melangkah keluar dari powder room itu. Aku hampir saja
bertabrakan dengan segerombolan perempuan yang terburu-buru masuk ke powder
room. Salah satu dari mereka wajahnya kelihatan pucat abisss! Aku bersyukur aku
sudah keluar dari ruangan itu karena aku yakin bahwa untuk satu jam ke depan
aroma ruangan itu akan berganti dari J’adore menjadi J’muntah. Aku tidak tahu
bagaimana seseorang bisa minum alcohol sampai seperti itu. Apa mereka tidak
tahu batas toleransi alcohol mereka sendiri? Catatan untuk orang-orang yang
baru saja mau mencoba alcohol: kalau kamu mulai tertawa terbahak-bahak tanpa
ada sebab yang jelas, maka berhentilah minum. Gampang, kan? Kulirik jam
tanganku yang baru menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Kukelilingi kelab
itu untuk mencari teman-temanku, tapi di bawah kelap-kelip lampi, aku tidak
bisa membedakan wajah satu orang dengan yang lainnya. Seingatku salah satu dari
mereka mengenakan baju warna merah. Setelah menyipitkan mataku selama lima
menit dan tidak melihat warna merah di mana pun, aku memutuskan untuk menelepon
Gita sambil duduk di salah satu sofa yang bertebaran di sekeliling lantai
dansa. Untungnya DJ sudah mengalihkan musiknya yang menyinggung perasaanku
sebagai seorang wanita dengan lagu yang meminta orang untuk get the party
started. Sambil menyanyikan lirik lagu itu dengan suara perlahan aku merogoh ke
dalam tasku untuk mencari HP-ku yang tiba-tiba bergetar. Sepertinya Gita juga
sedang mencariku. Aku buru-buru meraih HP-ku, tapi ternyata getaran itu bukan
tanda panggilan dari Gita, hanya sebuah SMS dari Kafka. Kafka: Happy New Year.
Lagi ngapain? Nadia: Kamu kecepetan. Masih sejam lagi. Aku lagi gak ngapa2in
Kafka: Betul juga. New Year’s resolution kamu apa utk tahun depan? Nadia:
Berharap suapaya kamu stop sexually harass aku lewat SMS Kafka: Hahaha… Harapan
bukan resolution Nadia: Terserah aku dong Kafka: Oke. Apa yang kamu rela lakuin
supaya aku stop SMS kamu? Nadia: Sori. Aku gak negosiasi sama golongannya Osama
Kafka: Boleh aku kasih usul? Nadia: Kalo ada kata underwear-nya aku gak mo
denger Kafka: Satu snog session sama kamu & aku akan stop SMS kamu Nadia:
Snog? Kafka: You know… kissing? Make-out? Nadia: Hah! Kamu pikir aku mo
make-out sama kamu? Kafka: Mmmhhh… knp? Takut kamu gak bakalan bisa stop?
Nadia: You wish Kafka: C’mon, Nad2
Nadia:
No! dan sudah aku bilang, jangan panggil aku Nad2 Kafka: Oke, Nadia aja kalo
gitu. Jgn salahin aku kalo SMS-ku makin gencar ya thn depan Nadia: Kamu ini
lebih parah dari Osama, tau gak? Kafka: Tapi suka, kan? Nadia: Apa gak pernah
ada yg bilangin kamu kalo ego kamu selangit? Kafka: Mendingan punya ego daripada
rendah diri Nadia: U know what, aku capek dengerin kamu muji diri sendiri. Kalo
kamu mo make-out sama aku that bad, temuin aku di Empire b4 midnight. Tapi kalo
kamu telat satu detik aja, not only that I get to NOT make-out w/ u, tapi kamu
juga stop SMS aku. Deal? Kafka: That’s my gal. Nadia: I’m not your gal Kafka:
Not yet Kututup HP-ku sambil sekali lagi merasa ingin mencekik dan mencium
Kafka pada saat yang bersamaan, tapi mau tidak mau aku tersenyum. Entah kenapa,
meskipun dengan jumlah pekerjaan yang segunung, kesehatan Papa yang agak
mengkhawatirkan, dan Kafka yang terus menggangguku, tetapi beberapa bulan
belakangan ini aku merasa lebih bahagia dengan hidupku. Jam sudah menunjukkan
pukul sebelas malam dan kecuali Kafka itu keturunan Superman, dia tidak akan
bisa sampai di Empire dalam waktu dekat. Aku saja harus menempuh waktu dua jam
untuk sampai ke Empire, padahal aku hanya tinggal sekitar dua puluh kilometer
dari kelab itu. Jalan di kota Jakarta yang memang selalu macet, semakin parah
dengan kehadiran Tahun Baru.
Aku baru saja akan menghubungi
Gita lagi ketika ada seseorang yang menepuk bahuku dari belakang. Otomatis aku
langsung menoleh, Kafka sedang berdiri di belakangku sambil tersenyum. Pada
saat itu aku baru menyadari bahwa aku sudah merindukan senyuman itu selama
beberapa minggu ini. Aku langsung berdiri dari sofa tempatku duduk agar tidak
menyakiti otot leherku karena harus memandang ke atas. Seiring dengan itu
senyuman Kafka pun melebar sehingga memperlihatkan giginya. Aku baru menyadari
betapa rapinya deretan gigi itu. Aku mencoba mengingat-ingat apakah dia selalu
memiliki gigi serapi itu waktu SD, tapi aku tidak bisa ingat sama sekali. Malam
ini Kafka mengenakan kemeja lengan panjang berwarna abu-abu, dasi berwarna
hitam, dan jins berwarna gelap. Lengan kemeja itu terlipat rapi, meskipun
dasinya terikat longgar pada lehernya dengan kancing kemeja yang paling atas
dibiarkan terbuka. Dia kelihatan seperti anak berumur dua puluh tahun dengan
tubuh laki-laki berumur tiga puluh tahun. Aku tidak pernah tahu bahwa Kafka
sebetulnya hanya sekitar satu kepala lebih tinggi daripadaku. Entah kenapa tapi
aku selalu beranggap bahwa dia jauh lebih tinggi dari itu. Tapi, itu mungkin
karena malam ini aku mengenakan sepatu berhak supertinggi, sehingga perbedaan
ketinggian kami tidak terlalu nyata. Tiba-tiba aku merasa agak malu dan
canggung, seakan-akan inilah pertama kalinya aku berkenalan dengan Kafka,
seakan-akan semua flirting melalui SMS yang selama ini telah kami lakukan tidak
pernah terjadi. Lebih parahnya lagi aku ada firasat bahwa kecanggunganku itu
tidak ada urusannya dengan fakta bahwa dalam waktu kurang dari satu jam aku
harus make-out dengannya. Hal ini membuatku tiba-tiba berkeringat. “Kamu utang
satu sesi snogging sama aku,” teriaknya dalam usaha untuk mengalahkan suara
Usher. Dan
hanya
dengan begitu rasa canggungku reda dan aku tertawa terbahak-bahak. Ohhh… betapa
laki-laki ini bisa membuatku tertawa dengan kelakuan gilanya. “Kamu datang dari
mana sih?” tanyaku sambil berteriak juga. Aku bukan sedang berusaha menghindar,
tapi aku betul-betul ingin tahu dia datang dari mana. Saat itu tiba-tiba Empire
menjadi hening karena DJ sudah menghentikan music dan hampir seperti paduan
suara kudengar suara protes dari semua orang yang ada di kelab itu. “Yo… yo… yo…,”
ucap si DJ, “one hour to countdown. Are you ready to par-tay?” “stop talking,
just play the my-sac,” teriak sesorang dari arah kanan lantai, yang langsung
disambut oleh gemuruh tawa dari semua orang, termasuk aku dan Kafka. “I’m with
you, mate. Now say the magic words, people,” teriak si DJ Tiba-tiba semua orang
di sekelilingku mulai berteriak bersama-sama, “We want music! We want music! We
want music!” berkali-kali. Aku hanya bisa menatap sekelilingku dengan sedikit
terkesima. Para pengunjung setia Empire sepertinya memang memiliki bahasa dan
dunia mereka sendiri. Ketika kutolehkan kepalaku kulihat Kafka pun sedang
mengucapkan kata-kata itu. Hal itu membuatku bertanya-tanya seberapa sering kah
dia pergi ke Empire? Bagaimana mungkin dia bisa menemukan waktu untuk jadi
dokter dan masih menyempatkan diri untuk clubbing? Mungkin aku harus belajar
manajemen waktu darinya. “I can’t hear you,” ucap sang DJ. Dia bahkan
memperagakan aksi yang menandakan bahwa dia tidak bisa mendengar. “We want
music! We want music!” volume gemuruh suara itu semakin keras. Aku sempat
merasa khawatir atap kelab itu akan runtuh. “Still can’t hear you.” “We want
musiiiccc!” “What do you want?” “Musiiiccc!” “What do you want?”
“MUUUSSSIIICCCC! “I love it when you talk dirty” balas si DJ sambil tersenyum
lebar dan music pun berlanjut kembali dengan Ice Ice Baby-nya Vanilla Ice
Hampir semua orang langsung berteriak gembira ketika mendengar pilihan lagu
klasik itu. Beberapa orang yang lebih khawatir akan image mereka memilih untuk
tertawa melihat ini semua sambil memberikan tepuk tangan untuk aksi sang DJ
yang kini sedang membungkukkan tubuh sebagai tanda hormat kepada “fans”-nya.
Mau tidak mau aku harus tertawa dan ikut bertepuk tangan ketika melihat aksi
ini. Aku yakin bahwa Karin akan mengontrak DJ ini untuk enam bulan ke depan.
“C’mon,” ucap Kafka dan tanpa menunggu balasan dariku langsung menggenggam
tangan kananku. Genggamannya tidak posesif, dia hanya menjalinkan jari-jarinya
yang panjang itu dengan jari-jariku yang lebih pendek dan agak gendut. Aku
terkesima beberapa detik dan hanya bisa menatap tanganku. Sudah lama aku tidak
merasakan kehangatan sentuhan selembut itu dari seorang laki-laki dan aku
menutup mata beberapa detik agar bisa menyerap semua energy sentuhan itu. Aku
baru tersadar kembali ketika merasakan Kafka mengeratkan genggamannya. “Nad?”
ucapnya. Kuangkat tatapanku ke wajahnya yang masih tersenyum, tapi kini
senyuman itu terlihat ragu.
“Kita
mau ke mana?” suaraku terdengar serak. Tiba-tiba aku merasa canggung lagi. Kafka
tidak menjawab, malah mulai menuntunku mengitari para pengunjung kelab yang
menutupi jalan kami. Kusadari bahwa sepertinya Kafka memiliki banyak teman di
kelab ini dan hampir Sembilan puluh persen dari mereka adalah wanita.
Wanita-wanita cantik berwajah seperti bintang film dan bertubuh supermodel
lebih tepatnya. Bahkan aku yakin bahwa beberapa dari mereka adalah bintang film
dan supermodel. Mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi Kafka kelihatan tidak
nyaman dengan semua perhatian yang ditujukan padanya. Meskipun dia tetap ramah
kepada setiap wanita yang mendekatinya untuk mengatakan “Hi”, mencium pipinya,
atau bahkan memeluknya dengan agak ganas, tapi sepertinya dia mencoba tetap
menjaga jarak dengan mereka semua. Aku mencoba menegakkan kelapaku dan berlagak
seperti aku memang berhak mendampingi Kafka, meskipun detak jantungku
berantakan di bawah tatapan mata cemburu dan curiga yang dilemparkan oleh
mayoritas wanita-wanita itu. Aku bahkan yakin beberapa dari mereka sudah siap
menunjukkan cakar atau pun taring mereka bila perlu. Aku tidak tahu apakah
Kafka menyadari energy negative yang ditujukan kepadaku ini, tetapi selama
semua ini berlangsung Kafka tidak melepaskan genggamannya pada tanganku. Aku
sendiri sudah beberapa kali mencoba melepaskan diri dari genggaman itu dan
memberinya ruang untuk bergerak dengan lebih leluasa. Andaikan saja aku bisa
percaya bahwa dia memang menyadariku, tetapi firasatku mengatakan bahwa dia
sebetulnya menggunakan aku sebagai perisai untuk melindunginya dari semua
wanita itu. Aku memilih memercayai firasatku, karena laki-laki gila mana yang
akan menolak perhatian dari wanita-wanita muda, cantik, dan seksi, dan memilih
untuk melindungiku? Lima belas menit kemudian kami akhirnya terbebas dari
serangan para wanita dan Kafka menuntunku ke sebuah tangga di samping pintu
masuk yang letaknya memang agak tersembunyi. Ada tali beludru berwarna merah
yang melintang menutupi tangga itu. Sebuah plang dengan kata “RESTRICTED”
tergantung pada tali tersebut. Aku tidak tahu bahwa ada area yang lebih VIP
lagi daripada yang sudah aku lihat di dalam Empire. Aku pernah mendengar bahwa
ada beberapa kelab yang memiliki ruangan khusus untuk para tamu super-VIP
mereka, tapi kau tidak pernah berkesempatan melihatnya, meskipun selalu ingin
tahu apa yang dikerjakan oleh para super-VIP itu sehingga mereka tidak mau
berada di dalam satu ruangan dengan umat manusia yang lainnya. Karin
jelas-jelas tidak pernah menunjukkan area itu kepadaku ketika aku melakukan
survey. Aku tidak tahu apakah aku harus merasa tersinggung ketika menyadari hal
ini. Tiba-tiba seseorang muncul dari kegelapan untuk menanggalkan salah satu
ujung tali itu dari cantelannya, sehingga membuyarkan jalan pikiranku. “Thanks,
San,” ucap Kafka pada orang itu yang kalau dilihat dari penampilannya yang
mengenakan pakaian serbahitam kelihatan seperti maling. Tapi kalau ditambahkan
dengan bobot tubuhnya yang aku yakin setidak-tidaknya dua kali lebih berat
daripada aku, akhirnya aku menyimpulkan bahwa orang tersebut adalah seorang
centeng atau bodyguard kalau mau terdengar lebih beradab. Orang yang dipanggil
“San” oleh Kafka itu hanya mengangguk dan tersenyum tanpa mengatakan apa-apa.
Kalau merasa kehadiranku dengan Kafka janggal, dia tidak menunjukkan
pendapatnya itu sama sekali. Aku hanya bisa tersenyum singkat kepadanya sebelum
kemudian Kafka menarikku mulai menaiki anak tangga satu persatu. Area tangga
itu cukup lebar sehingga kami bisa berjalan bersebelahan. Dari sudut mataku aku
bisa melihat garis-garis tegas rahang Kafka dan bulu matanya yang panjang
meskipun tidak lentik. Lalu aku mencium aromanya, bukan Davidoff yang sudah
disemprotkan ke kemejanya, tetapi aroma harum kulitnya yang tidak bisa ditutupi
kolonye sewangi dan semahal apa pun. Tatapanku
kemudian
jatuh pada lehernya dan tiba-tiba pikiranku sudah kembali kepada mimpi
S&M-ku dengan Kafka dan aku harus menahan diri untuk tidak mengubur
hidungku dileher itu. Aroma Kafka memicu ingatanku akan mimpi itu. Baru
seminggu ini aku akhirnya bisa menikmati tidur yang nyenyak tanpa takut akan
bangun dengan napas memburu, tapi sepertinya waktuku untuk menikmati hak
istimewa itu sudah habis. Tanpa kusadari aku mengusap pergelangan tanganku,
tempat ujung cambuk mengenai kulitku di dalam mimpi itu. Tapi tentu saja tidak
ada bekasnya karena itu semua hanya mimpi. Kucoba mengatur napasku agar tidak
sesak napas. Ambil napas… buang… ambil napas… buang… ambil napas… buang… aku
melakukannya beberapa kali lagi hingga kurasakan ketegangan otot tubuhku reda.
Aku masih bisa mendengar suara music kelab, tapi lambat-laun suara itu semakin
teredam. Lain dengan di dalam kelab, tangga itu memiliki penerangan yang cukup
sehingga aku bisa melihat langkah kakiku dengan lebih jelas. Aku mendengar
bunyi krek… krek… krek… setiap kali aku menaiki anak tangga yang ditutupi karpet
berwarna ungu itu. Dinding tangga yang berwarna oranye dipenuhi foto yang
tersusun dengan rapi. Aku mengenali wajah Karin pada beberapa foto itu yang
kebanyakan sepertinya diambil di luar negeri. Di depan Arc de Triomphe di
Paris, di New York dengan latar belakang patung Liberty, di depan Sydney Opera
House, bahkan Taj Mahal. Kemudian aku terhenti pada satu foto yang aku yakin
adalah foto Kafka dengan Karin yang kelihatannya diambil baru-baru ini.
Satu-satunya alasan kenapa aku terhenti pada foto itu adalah selain karena itu
adalah foto satu-satunya foto hitam-putih di antara foto-foto berwarna, tapi
juga karena foto itu memiliki ukuran lebih besar daripada foto-foto lainnya.
Kafka dan Karin sedang tertawa terbahak-bahak. Aku tidak tahu di mana mereka mengambil
foto itu, sepertinya mereka betul-betul kelihatan gembira. “Kamu kenal Karin
dari mana?” tanyaku sambil menunjuk foto itu. Kafka yang juga telah
menghentikan langkahnya ketika menyadari bahwa perhatianku sedang tersita oleh
sesuatu, kelihatan mengerutkan dahi. “Karin itu adikku,” ucapnya pendek.
“What?” teriakku terkejut. “Sejak kapan?” sambungku dan bodohnya pertanyaan
itu. “Sejak aku umur enam tahun,” balas Kafka. Dan ketika melihatku tidak
bereaksi, dia menambahkan, “Aku sudah bilang ke orangtuaku untuk ngembaliin dia
ke panti asuhan saja, tapi kayaknya orangtuaku nggak nganggap komentar itu
lucu, soalnya mereka nggak bolehin aku main sama boneka G.I.Joe-ku selama
sebulan.” Untuk pertama kalinya Kafka kelihatan tersipu-sipu saat membagi
cerita ini padaku. Aku mencoba tersenyum karena sejujurnya menurutku cerita itu
memang lucu, tapi sepertinya aku masih terlalu terkejut dengan kenyataan bahwa
Kafka adalah kakak Karin, sehingga otot-otot wajahku tidak bisa bereaksi.
Kulirik foto itu sekali lagi dan menyadari bahwa Karin memang mirip dengan
Kafka. Bagaimana aku bisa tidak melihat persamaan ini sebelumnya? Pada saat itu
aku menyadari satu hal lagi. Bahwa kalau Kafka adalah Kakak Karin, berarti….
“Kamu Cuma dua bersaudara?”
tanyaku “Iya,” jawab Kafka “Nggak ada kakak atau adik laki-laki lagi?”
sambungku Kafka menggeleng dengan wajah agak bingung. Harus kuakui bahwa
reaksinya wajar. Karena aku berkelakuan seperti seorang pegawai kelurahan yang
sedang melakukan survey penduduk. “Ada saudara tiri laki-laki, mungkin?”
lanjutku Kini Kafka mulai kelihatan kesal dengan segala pertanyaanku. “Nggak
ada. Setahuku orangtuaku nggak
pernah
punya suami atau istri lain. Aku juga nggak punya saudara angkat laki-laki,
kalau itu pertanyaan kamu selanjutnya.” Wajahku langsung memerah, karena
sejujurnya itulah pertanyaan yang sudah ada di ujung lidahku. Jadi ini rupanya
laki-laki yang sudah membuat wanita yang kutemui di toilet, penasaran.
“Memangnya kenapa sih kamu nanya-nanya?” Tanya Kafka. Kugelengkan kepalaku
sambil berkata, “Nggak… nggak ada aoa-apa,” dan mulai berjalan menaiki tangga
lagi. “Kalau kamu, kenal Karin dari mana?” “Aku desainer dan webmaster website
Empire,” jelasku “Lho… kamu Nadia si web designer itu?” mendengar nada Kafka
aku langsung menolehkan kepalaku untuk menatap wajah Kafka. Ketika dia
menyadari bahwa aku sedang menunggunya member penjelasan lebih lanjut, Kafka
berkata, “Karin memang sering ngomongin tentang kamu, tapi selama ini aku nggak
pernah nyangka Nadia yang dia maksud itu kamu.” “Hahahaha… ngggak heran. Memang
banyak orang yang namanya Nadia kok di Jakarta.” Kafka menatapku sejenak dengan
ekspresi tak terbaca. Aku langsung jadi risi dengan tatapan itu dan mulai
menaiki anak tangga selanjutnya. Kafka mengikuti langkahku. Kami menaiki
beberapa anak tangga lagi di dalam diam. Tidak lama kemudian kami tiba di
lantai atas yang lantainya terbuat dari kayu berwarna gelap. Kami tidak
menjumpai siapa pun di lantai ini. Sejujurnya lantai atas tersebut sepertinya
berfungsi sebagai kantor kalau dilihat dari tata ruangnya. Terdapat tiga
ruangan, dua di sebelah kanan dan satu di sebelah kiri. Semua pintu ruangan itu
dalam keadaan tertutup. Aku mencoba menyembunyikan kekecewaanku ketika
menyadari bahwa tidak aka nada insiden menarik menyangkut tamu super-VIP yang
bisa aku ceritakan kepada sobat-sobatku. Kafka kemudian menuntunku menuju
ruangan yang terletak di paling ujung.dia baru melepaskan genggamannya pada
tanganku untuk mengeluarkan sebuah kunci dari kantong celana jinsnya dan
membuka pintu yang bertandakan “OWNER’S BOX”. Apa itu berarti bahwa inilah
ruangan tempat Karin dan kedua rekannya bekerja keras untuk menjaga kelab
mereka? Bagaimana mungkin Kafka bisa punya kunci ruangan itu?
Crash Into You - AliaZalea - Bab 12
No comments:
Post a Comment