Saturday, September 5, 2015

Crash Into You - AliaZalea - Bab 11

Bab 11 

31 Desember 
Gue nggak ngerti sama yang namanya laki-laki. Dan gue nggak Cuma ngomongin sial Kafka doing, tapi laki-laki pada umumnya. Coba lihat saja kakak-kakak gue. Mereka berdua itu memang aneh. Apa laki-laki itu memang dilahirin dengan kelainan otak ya sampai-sampai kelakuan mereka bisa aneh bin ajaib? *** Ternyata bosku benar, pada dasarnya hampir semua artis Indonesia yang sudah punya nama dan beberapa yang film ataupun albumnya baru saja keluar di pasaran tumplek di Empire malam itu. Aku bertemu dengan beberapa teman band Jo yang sudah menduduki satu area di salah satu sudut kelab itu, yang aku tahu sebagai area VIP. Dua perempuan yang hampir kelihatan seperti anak kembar berjalan melewatiku ada gelas koktail di tangan mereka masing-masing, setelah mereka berlalu aku baru menyadari bahwa mereka adalah juara pertama dan kedua Indonesia Idol yang terbaru, dan aku yakin bahwa mereka masih di bawah umur untuk minum alcohol. Akhirnya aku sampai juga di powder room alias toilet. Lain dengan keadaan di luar yang binger-bingar, ruangan itu cukup sepi. Hanya ada beberapa orang yang sedang memperbaiki dandanan mereka di depan cermin panjang yang melintang di salah satu dinding berwarna oranye. Mungkin Empire adalah satu-satunya kelab di Jakarta yang toiletnya sama funky-nya dengan kelabnya sendiri. Ruangan itu terlihat seperti lobi hotel dengan sofa panjang yang cukup nyaman untuk orang ngobrol sambil duduk-duduk santai dan lampu yang menerangi ruangan itu membuat semua orang yang terkena sinarnya sepuluh kali lebih menarik daripada aslinya. Yang paling penting adalah toilet itu tidak berbau seperti toilet pada umumnya. Aku bahkan yakin bahwa pewangi ruangan yang disemprotkan secara otomatis setiap lima menit sekali adalah J’adore. Intinya, siapa pun desainer interior kelab ini, dia jenius. Aku duduk di salah satu kursi di depan kaca itu dan mengeluarkan blotters-ku. Mama selalu bilang bahwa wajahku pada dasarnya adalah pabrik minyak. Tidak peduli seberapa tebal bedak yang sudah kutaburkan, wajahku pasti akan mengilat dalam waktu dua jam. “Lo lihat nggak kakaknya Karin?” Tanya seorang wanita yang sedang mengoleskan lipgloss ke bibirnya. “Hot banget nggak sih?” balas temannya yang sedang menambahkan sedikit bedak pada hidungnya. “Karin bilang dia masih single. Kok bisa ya?” lanjut wanita yang pertama “Apa dia gay?” wanita yang kedua mematut wajahnya di cermin untuk memastikan bahwa bedaknya sudah rata. “Nggak mungkin. Dia terlalu… terlalu… uhm… apa ya kata-kata yang tepat untuk ngegambarin dia…? Laki, nah itu dia. Dia terlalu laki untuk jadi gay. Be-te-we, ada yang salah nggak sih sama dandanan gue?” Kulihat wanita yang kedua menatap temannya, “Nggak ada. Memangnya kenapa?” “Habis kakaknya si Karin itu nggak ngelirik gue sama sekali. Gimana bisa coba dia nggak ngelirik gue? Cowok selalu ngelirik gue.” “Humph, gue yakin tuh cowok memang banci. Percaya sama gue,” “Dia nggak banci.” “Banci.” “Nggak banci. Mau taruhan?” “Serius lo?”
“Gue bakal pastiin dia pulang sama gue malam ini.” “Seratus ribu?” “Dua ratus.” “Setuju.” Aku mencoba menahan diri agar tidak memutar bola mataku. Untuk apa wanita satu itu terobsesi dengan laki-laki yang jelas-jelas tidak tertarik dengannya atau memang gay. Kubuang dua lembar blotters yang baru saja kugunakan ke tempat sampah dan melangkah keluar dari powder room itu. Aku hampir saja bertabrakan dengan segerombolan perempuan yang terburu-buru masuk ke powder room. Salah satu dari mereka wajahnya kelihatan pucat abisss! Aku bersyukur aku sudah keluar dari ruangan itu karena aku yakin bahwa untuk satu jam ke depan aroma ruangan itu akan berganti dari J’adore menjadi J’muntah. Aku tidak tahu bagaimana seseorang bisa minum alcohol sampai seperti itu. Apa mereka tidak tahu batas toleransi alcohol mereka sendiri? Catatan untuk orang-orang yang baru saja mau mencoba alcohol: kalau kamu mulai tertawa terbahak-bahak tanpa ada sebab yang jelas, maka berhentilah minum. Gampang, kan? Kulirik jam tanganku yang baru menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Kukelilingi kelab itu untuk mencari teman-temanku, tapi di bawah kelap-kelip lampi, aku tidak bisa membedakan wajah satu orang dengan yang lainnya. Seingatku salah satu dari mereka mengenakan baju warna merah. Setelah menyipitkan mataku selama lima menit dan tidak melihat warna merah di mana pun, aku memutuskan untuk menelepon Gita sambil duduk di salah satu sofa yang bertebaran di sekeliling lantai dansa. Untungnya DJ sudah mengalihkan musiknya yang menyinggung perasaanku sebagai seorang wanita dengan lagu yang meminta orang untuk get the party started. Sambil menyanyikan lirik lagu itu dengan suara perlahan aku merogoh ke dalam tasku untuk mencari HP-ku yang tiba-tiba bergetar. Sepertinya Gita juga sedang mencariku. Aku buru-buru meraih HP-ku, tapi ternyata getaran itu bukan tanda panggilan dari Gita, hanya sebuah SMS dari Kafka. Kafka: Happy New Year. Lagi ngapain? Nadia: Kamu kecepetan. Masih sejam lagi. Aku lagi gak ngapa2in Kafka: Betul juga. New Year’s resolution kamu apa utk tahun depan? Nadia: Berharap suapaya kamu stop sexually harass aku lewat SMS Kafka: Hahaha… Harapan bukan resolution Nadia: Terserah aku dong Kafka: Oke. Apa yang kamu rela lakuin supaya aku stop SMS kamu? Nadia: Sori. Aku gak negosiasi sama golongannya Osama Kafka: Boleh aku kasih usul? Nadia: Kalo ada kata underwear-nya aku gak mo denger Kafka: Satu snog session sama kamu & aku akan stop SMS kamu Nadia: Snog? Kafka: You know… kissing? Make-out? Nadia: Hah! Kamu pikir aku mo make-out sama kamu? Kafka: Mmmhhh… knp? Takut kamu gak bakalan bisa stop? Nadia: You wish Kafka: C’mon, Nad2
Nadia: No! dan sudah aku bilang, jangan panggil aku Nad2 Kafka: Oke, Nadia aja kalo gitu. Jgn salahin aku kalo SMS-ku makin gencar ya thn depan Nadia: Kamu ini lebih parah dari Osama, tau gak? Kafka: Tapi suka, kan? Nadia: Apa gak pernah ada yg bilangin kamu kalo ego kamu selangit? Kafka: Mendingan punya ego daripada rendah diri Nadia: U know what, aku capek dengerin kamu muji diri sendiri. Kalo kamu mo make-out sama aku that bad, temuin aku di Empire b4 midnight. Tapi kalo kamu telat satu detik aja, not only that I get to NOT make-out w/ u, tapi kamu juga stop SMS aku. Deal? Kafka: That’s my gal. Nadia: I’m not your gal Kafka: Not yet Kututup HP-ku sambil sekali lagi merasa ingin mencekik dan mencium Kafka pada saat yang bersamaan, tapi mau tidak mau aku tersenyum. Entah kenapa, meskipun dengan jumlah pekerjaan yang segunung, kesehatan Papa yang agak mengkhawatirkan, dan Kafka yang terus menggangguku, tetapi beberapa bulan belakangan ini aku merasa lebih bahagia dengan hidupku. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan kecuali Kafka itu keturunan Superman, dia tidak akan bisa sampai di Empire dalam waktu dekat. Aku saja harus menempuh waktu dua jam untuk sampai ke Empire, padahal aku hanya tinggal sekitar dua puluh kilometer dari kelab itu. Jalan di kota Jakarta yang memang selalu macet, semakin parah dengan kehadiran Tahun Baru.
Aku baru saja akan menghubungi Gita lagi ketika ada seseorang yang menepuk bahuku dari belakang. Otomatis aku langsung menoleh, Kafka sedang berdiri di belakangku sambil tersenyum. Pada saat itu aku baru menyadari bahwa aku sudah merindukan senyuman itu selama beberapa minggu ini. Aku langsung berdiri dari sofa tempatku duduk agar tidak menyakiti otot leherku karena harus memandang ke atas. Seiring dengan itu senyuman Kafka pun melebar sehingga memperlihatkan giginya. Aku baru menyadari betapa rapinya deretan gigi itu. Aku mencoba mengingat-ingat apakah dia selalu memiliki gigi serapi itu waktu SD, tapi aku tidak bisa ingat sama sekali. Malam ini Kafka mengenakan kemeja lengan panjang berwarna abu-abu, dasi berwarna hitam, dan jins berwarna gelap. Lengan kemeja itu terlipat rapi, meskipun dasinya terikat longgar pada lehernya dengan kancing kemeja yang paling atas dibiarkan terbuka. Dia kelihatan seperti anak berumur dua puluh tahun dengan tubuh laki-laki berumur tiga puluh tahun. Aku tidak pernah tahu bahwa Kafka sebetulnya hanya sekitar satu kepala lebih tinggi daripadaku. Entah kenapa tapi aku selalu beranggap bahwa dia jauh lebih tinggi dari itu. Tapi, itu mungkin karena malam ini aku mengenakan sepatu berhak supertinggi, sehingga perbedaan ketinggian kami tidak terlalu nyata. Tiba-tiba aku merasa agak malu dan canggung, seakan-akan inilah pertama kalinya aku berkenalan dengan Kafka, seakan-akan semua flirting melalui SMS yang selama ini telah kami lakukan tidak pernah terjadi. Lebih parahnya lagi aku ada firasat bahwa kecanggunganku itu tidak ada urusannya dengan fakta bahwa dalam waktu kurang dari satu jam aku harus make-out dengannya. Hal ini membuatku tiba-tiba berkeringat. “Kamu utang satu sesi snogging sama aku,” teriaknya dalam usaha untuk mengalahkan suara Usher. Dan
hanya dengan begitu rasa canggungku reda dan aku tertawa terbahak-bahak. Ohhh… betapa laki-laki ini bisa membuatku tertawa dengan kelakuan gilanya. “Kamu datang dari mana sih?” tanyaku sambil berteriak juga. Aku bukan sedang berusaha menghindar, tapi aku betul-betul ingin tahu dia datang dari mana. Saat itu tiba-tiba Empire menjadi hening karena DJ sudah menghentikan music dan hampir seperti paduan suara kudengar suara protes dari semua orang yang ada di kelab itu. “Yo… yo… yo…,” ucap si DJ, “one hour to countdown. Are you ready to par-tay?” “stop talking, just play the my-sac,” teriak sesorang dari arah kanan lantai, yang langsung disambut oleh gemuruh tawa dari semua orang, termasuk aku dan Kafka. “I’m with you, mate. Now say the magic words, people,” teriak si DJ Tiba-tiba semua orang di sekelilingku mulai berteriak bersama-sama, “We want music! We want music! We want music!” berkali-kali. Aku hanya bisa menatap sekelilingku dengan sedikit terkesima. Para pengunjung setia Empire sepertinya memang memiliki bahasa dan dunia mereka sendiri. Ketika kutolehkan kepalaku kulihat Kafka pun sedang mengucapkan kata-kata itu. Hal itu membuatku bertanya-tanya seberapa sering kah dia pergi ke Empire? Bagaimana mungkin dia bisa menemukan waktu untuk jadi dokter dan masih menyempatkan diri untuk clubbing? Mungkin aku harus belajar manajemen waktu darinya. “I can’t hear you,” ucap sang DJ. Dia bahkan memperagakan aksi yang menandakan bahwa dia tidak bisa mendengar. “We want music! We want music!” volume gemuruh suara itu semakin keras. Aku sempat merasa khawatir atap kelab itu akan runtuh. “Still can’t hear you.” “We want musiiiccc!” “What do you want?” “Musiiiccc!” “What do you want?” “MUUUSSSIIICCCC! “I love it when you talk dirty” balas si DJ sambil tersenyum lebar dan music pun berlanjut kembali dengan Ice Ice Baby-nya Vanilla Ice Hampir semua orang langsung berteriak gembira ketika mendengar pilihan lagu klasik itu. Beberapa orang yang lebih khawatir akan image mereka memilih untuk tertawa melihat ini semua sambil memberikan tepuk tangan untuk aksi sang DJ yang kini sedang membungkukkan tubuh sebagai tanda hormat kepada “fans”-nya. Mau tidak mau aku harus tertawa dan ikut bertepuk tangan ketika melihat aksi ini. Aku yakin bahwa Karin akan mengontrak DJ ini untuk enam bulan ke depan. “C’mon,” ucap Kafka dan tanpa menunggu balasan dariku langsung menggenggam tangan kananku. Genggamannya tidak posesif, dia hanya menjalinkan jari-jarinya yang panjang itu dengan jari-jariku yang lebih pendek dan agak gendut. Aku terkesima beberapa detik dan hanya bisa menatap tanganku. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan sentuhan selembut itu dari seorang laki-laki dan aku menutup mata beberapa detik agar bisa menyerap semua energy sentuhan itu. Aku baru tersadar kembali ketika merasakan Kafka mengeratkan genggamannya. “Nad?” ucapnya. Kuangkat tatapanku ke wajahnya yang masih tersenyum, tapi kini senyuman itu terlihat ragu.
“Kita mau ke mana?” suaraku terdengar serak. Tiba-tiba aku merasa canggung lagi. Kafka tidak menjawab, malah mulai menuntunku mengitari para pengunjung kelab yang menutupi jalan kami. Kusadari bahwa sepertinya Kafka memiliki banyak teman di kelab ini dan hampir Sembilan puluh persen dari mereka adalah wanita. Wanita-wanita cantik berwajah seperti bintang film dan bertubuh supermodel lebih tepatnya. Bahkan aku yakin bahwa beberapa dari mereka adalah bintang film dan supermodel. Mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi Kafka kelihatan tidak nyaman dengan semua perhatian yang ditujukan padanya. Meskipun dia tetap ramah kepada setiap wanita yang mendekatinya untuk mengatakan “Hi”, mencium pipinya, atau bahkan memeluknya dengan agak ganas, tapi sepertinya dia mencoba tetap menjaga jarak dengan mereka semua. Aku mencoba menegakkan kelapaku dan berlagak seperti aku memang berhak mendampingi Kafka, meskipun detak jantungku berantakan di bawah tatapan mata cemburu dan curiga yang dilemparkan oleh mayoritas wanita-wanita itu. Aku bahkan yakin beberapa dari mereka sudah siap menunjukkan cakar atau pun taring mereka bila perlu. Aku tidak tahu apakah Kafka menyadari energy negative yang ditujukan kepadaku ini, tetapi selama semua ini berlangsung Kafka tidak melepaskan genggamannya pada tanganku. Aku sendiri sudah beberapa kali mencoba melepaskan diri dari genggaman itu dan memberinya ruang untuk bergerak dengan lebih leluasa. Andaikan saja aku bisa percaya bahwa dia memang menyadariku, tetapi firasatku mengatakan bahwa dia sebetulnya menggunakan aku sebagai perisai untuk melindunginya dari semua wanita itu. Aku memilih memercayai firasatku, karena laki-laki gila mana yang akan menolak perhatian dari wanita-wanita muda, cantik, dan seksi, dan memilih untuk melindungiku? Lima belas menit kemudian kami akhirnya terbebas dari serangan para wanita dan Kafka menuntunku ke sebuah tangga di samping pintu masuk yang letaknya memang agak tersembunyi. Ada tali beludru berwarna merah yang melintang menutupi tangga itu. Sebuah plang dengan kata “RESTRICTED” tergantung pada tali tersebut. Aku tidak tahu bahwa ada area yang lebih VIP lagi daripada yang sudah aku lihat di dalam Empire. Aku pernah mendengar bahwa ada beberapa kelab yang memiliki ruangan khusus untuk para tamu super-VIP mereka, tapi kau tidak pernah berkesempatan melihatnya, meskipun selalu ingin tahu apa yang dikerjakan oleh para super-VIP itu sehingga mereka tidak mau berada di dalam satu ruangan dengan umat manusia yang lainnya. Karin jelas-jelas tidak pernah menunjukkan area itu kepadaku ketika aku melakukan survey. Aku tidak tahu apakah aku harus merasa tersinggung ketika menyadari hal ini. Tiba-tiba seseorang muncul dari kegelapan untuk menanggalkan salah satu ujung tali itu dari cantelannya, sehingga membuyarkan jalan pikiranku. “Thanks, San,” ucap Kafka pada orang itu yang kalau dilihat dari penampilannya yang mengenakan pakaian serbahitam kelihatan seperti maling. Tapi kalau ditambahkan dengan bobot tubuhnya yang aku yakin setidak-tidaknya dua kali lebih berat daripada aku, akhirnya aku menyimpulkan bahwa orang tersebut adalah seorang centeng atau bodyguard kalau mau terdengar lebih beradab. Orang yang dipanggil “San” oleh Kafka itu hanya mengangguk dan tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. Kalau merasa kehadiranku dengan Kafka janggal, dia tidak menunjukkan pendapatnya itu sama sekali. Aku hanya bisa tersenyum singkat kepadanya sebelum kemudian Kafka menarikku mulai menaiki anak tangga satu persatu. Area tangga itu cukup lebar sehingga kami bisa berjalan bersebelahan. Dari sudut mataku aku bisa melihat garis-garis tegas rahang Kafka dan bulu matanya yang panjang meskipun tidak lentik. Lalu aku mencium aromanya, bukan Davidoff yang sudah disemprotkan ke kemejanya, tetapi aroma harum kulitnya yang tidak bisa ditutupi kolonye sewangi dan semahal apa pun. Tatapanku
kemudian jatuh pada lehernya dan tiba-tiba pikiranku sudah kembali kepada mimpi S&M-ku dengan Kafka dan aku harus menahan diri untuk tidak mengubur hidungku dileher itu. Aroma Kafka memicu ingatanku akan mimpi itu. Baru seminggu ini aku akhirnya bisa menikmati tidur yang nyenyak tanpa takut akan bangun dengan napas memburu, tapi sepertinya waktuku untuk menikmati hak istimewa itu sudah habis. Tanpa kusadari aku mengusap pergelangan tanganku, tempat ujung cambuk mengenai kulitku di dalam mimpi itu. Tapi tentu saja tidak ada bekasnya karena itu semua hanya mimpi. Kucoba mengatur napasku agar tidak sesak napas. Ambil napas… buang… ambil napas… buang… ambil napas… buang… aku melakukannya beberapa kali lagi hingga kurasakan ketegangan otot tubuhku reda. Aku masih bisa mendengar suara music kelab, tapi lambat-laun suara itu semakin teredam. Lain dengan di dalam kelab, tangga itu memiliki penerangan yang cukup sehingga aku bisa melihat langkah kakiku dengan lebih jelas. Aku mendengar bunyi krek… krek… krek… setiap kali aku menaiki anak tangga yang ditutupi karpet berwarna ungu itu. Dinding tangga yang berwarna oranye dipenuhi foto yang tersusun dengan rapi. Aku mengenali wajah Karin pada beberapa foto itu yang kebanyakan sepertinya diambil di luar negeri. Di depan Arc de Triomphe di Paris, di New York dengan latar belakang patung Liberty, di depan Sydney Opera House, bahkan Taj Mahal. Kemudian aku terhenti pada satu foto yang aku yakin adalah foto Kafka dengan Karin yang kelihatannya diambil baru-baru ini. Satu-satunya alasan kenapa aku terhenti pada foto itu adalah selain karena itu adalah foto satu-satunya foto hitam-putih di antara foto-foto berwarna, tapi juga karena foto itu memiliki ukuran lebih besar daripada foto-foto lainnya. Kafka dan Karin sedang tertawa terbahak-bahak. Aku tidak tahu di mana mereka mengambil foto itu, sepertinya mereka betul-betul kelihatan gembira. “Kamu kenal Karin dari mana?” tanyaku sambil menunjuk foto itu. Kafka yang juga telah menghentikan langkahnya ketika menyadari bahwa perhatianku sedang tersita oleh sesuatu, kelihatan mengerutkan dahi. “Karin itu adikku,” ucapnya pendek. “What?” teriakku terkejut. “Sejak kapan?” sambungku dan bodohnya pertanyaan itu. “Sejak aku umur enam tahun,” balas Kafka. Dan ketika melihatku tidak bereaksi, dia menambahkan, “Aku sudah bilang ke orangtuaku untuk ngembaliin dia ke panti asuhan saja, tapi kayaknya orangtuaku nggak nganggap komentar itu lucu, soalnya mereka nggak bolehin aku main sama boneka G.I.Joe-ku selama sebulan.” Untuk pertama kalinya Kafka kelihatan tersipu-sipu saat membagi cerita ini padaku. Aku mencoba tersenyum karena sejujurnya menurutku cerita itu memang lucu, tapi sepertinya aku masih terlalu terkejut dengan kenyataan bahwa Kafka adalah kakak Karin, sehingga otot-otot wajahku tidak bisa bereaksi. Kulirik foto itu sekali lagi dan menyadari bahwa Karin memang mirip dengan Kafka. Bagaimana aku bisa tidak melihat persamaan ini sebelumnya? Pada saat itu aku menyadari satu hal lagi. Bahwa kalau Kafka adalah Kakak Karin, berarti….
“Kamu Cuma dua bersaudara?” tanyaku “Iya,” jawab Kafka “Nggak ada kakak atau adik laki-laki lagi?” sambungku Kafka menggeleng dengan wajah agak bingung. Harus kuakui bahwa reaksinya wajar. Karena aku berkelakuan seperti seorang pegawai kelurahan yang sedang melakukan survey penduduk. “Ada saudara tiri laki-laki, mungkin?” lanjutku Kini Kafka mulai kelihatan kesal dengan segala pertanyaanku. “Nggak ada. Setahuku orangtuaku nggak

pernah punya suami atau istri lain. Aku juga nggak punya saudara angkat laki-laki, kalau itu pertanyaan kamu selanjutnya.” Wajahku langsung memerah, karena sejujurnya itulah pertanyaan yang sudah ada di ujung lidahku. Jadi ini rupanya laki-laki yang sudah membuat wanita yang kutemui di toilet, penasaran. “Memangnya kenapa sih kamu nanya-nanya?” Tanya Kafka. Kugelengkan kepalaku sambil berkata, “Nggak… nggak ada aoa-apa,” dan mulai berjalan menaiki tangga lagi. “Kalau kamu, kenal Karin dari mana?” “Aku desainer dan webmaster website Empire,” jelasku “Lho… kamu Nadia si web designer itu?” mendengar nada Kafka aku langsung menolehkan kepalaku untuk menatap wajah Kafka. Ketika dia menyadari bahwa aku sedang menunggunya member penjelasan lebih lanjut, Kafka berkata, “Karin memang sering ngomongin tentang kamu, tapi selama ini aku nggak pernah nyangka Nadia yang dia maksud itu kamu.” “Hahahaha… ngggak heran. Memang banyak orang yang namanya Nadia kok di Jakarta.” Kafka menatapku sejenak dengan ekspresi tak terbaca. Aku langsung jadi risi dengan tatapan itu dan mulai menaiki anak tangga selanjutnya. Kafka mengikuti langkahku. Kami menaiki beberapa anak tangga lagi di dalam diam. Tidak lama kemudian kami tiba di lantai atas yang lantainya terbuat dari kayu berwarna gelap. Kami tidak menjumpai siapa pun di lantai ini. Sejujurnya lantai atas tersebut sepertinya berfungsi sebagai kantor kalau dilihat dari tata ruangnya. Terdapat tiga ruangan, dua di sebelah kanan dan satu di sebelah kiri. Semua pintu ruangan itu dalam keadaan tertutup. Aku mencoba menyembunyikan kekecewaanku ketika menyadari bahwa tidak aka nada insiden menarik menyangkut tamu super-VIP yang bisa aku ceritakan kepada sobat-sobatku. Kafka kemudian menuntunku menuju ruangan yang terletak di paling ujung.dia baru melepaskan genggamannya pada tanganku untuk mengeluarkan sebuah kunci dari kantong celana jinsnya dan membuka pintu yang bertandakan “OWNER’S BOX”. Apa itu berarti bahwa inilah ruangan tempat Karin dan kedua rekannya bekerja keras untuk menjaga kelab mereka? Bagaimana mungkin Kafka bisa punya kunci ruangan itu? 


Crash Into You - AliaZalea - Bab 12

No comments:

Post a Comment