Bab
10
25 November
Gue nggak bisa marah sama dia. Terserah apa itu yang dia sudah
kerjain yang bikin gue jengkel sama dia sebelumnya. Gue nggak bisa ingat satu
pun juga. Aneh . *** Dan dengan begitu seri pertama dari proses permintaan maaf
Kafka yang tiada ujung, berakhir. Setelah menunggu selama hampir dua puluh
tahun untuk mendengar kata maaf darinya yang tidak juga kunjung datang, aku
memang sudah merelakan itu semua dan mencoba melupakannya. Bahkan terkadang
kalau mood-ku sedang baik, aku bisa melihat humor dari pengalaman itu dan
memaafkannya. Tetapi ternyata aku salah, karena seperti usahaku yang sia-sia
untuk melupakan kejadian itu, aku juga masih belum bisa memaafkannya. Kata maaf
itu seperti membuka kembali luka yang sudah hampir sembuh. Rasa kesal dan marah
yang tidak terlampiaskan dan rasa malu yang harus aku tanggung pada masa-masa
sebelum Ebtanas SD itu kembali membanjiri pikiranku. Kini kusadari bahwa
kemarahanku padanya karena aku mendapatinya dengan perempuan lain, tidak ada
bandingannya dengan kemarahan yang aku rasakan sekarang. Ini jauh lebih parah.
“Bagaimana mungkin dia nggak tahu alasannya?” teriakku dalam hati dengan
frustasi. Dan aku masih tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaanku ketika
Kafka mengirimkan SMS lainnya enam jam kemudian. Kafka: Dah kelar marahnya?
Nadia: Blom Kafka: Ayolah, Nad. Kamu kan gak bisa selamanya marah soal itu. Aku
kan udah minta maaf. Lagian juga itu udah lama banget. Just let it go Nadia:
Itu mungkin udah lama buat kamu, tapi gak buat aku dan aku gk bisa ‘let it go’.
Okay?! Kafka: Why r u being so difficult about this? Nadia: Pake nannya, lagi
Kafka: Ooops. Sori. Aku mesti ngapain supaya kamu maafin aku? Nadia: Just leave
me alone Ketika aku merasa yakin bahwa Kafka untuk pertama kalinya benar-benar
mendengarkan permintaanku, aku menerima SMS permintaan maaf ketiga darinya
tepat 24 jam kemudian. I know you told me to leave you alone, tapi aku gak
bisa. Aku bener2 minta maaf untuk semuanya, Nad. Sms itu aku diamkan tidak
terjawab selama dua hari dan aku baru saja bisa mengembuskan napas lega ketika
tiba-tiba HP-ku mulai sering bordering dengan nama Kafka pada layarnya.
Lagi-lagi kubiarkan telepon-telepon itu tidak terangkat. Tapi ketika mailbox-ku
mulai penuh dengan pesan-pesan permohonan maaf darinya dengan berbagai variasi,
mulai dari penuh canda dan humor, penuh kelembutan yang disambung dengan
kemarahan dan ancaman akan mendatangi rumahku ketika aku masih juga menolak
untuk menjawab teleponnya, hingga beberapa permohonan maaf yang paling tulus
yang pernah aku dengar sehingga membuat mataku berkaca-kaca. Entail bagaimana
atau kapan hal itu terjadi, tetapi kini hatiku tidak lagi penuh dengan
kemarahan
padanya,
yang tersisa hanyalah setitik kejengkelan. Iya, aku mungkin sudah memaafkannya,
tapi bukan berarti bahwa Kafka harus tahu tentang itu. Aku berniat untuk
betul-betul membuatnya menyesal tentang apa yang telah dilakukannya padaku dan
aku baru akan berhenti setelah merasa puas dengan aksi mogok untuk berhubungan
dengannya itu. Dan aku mungkin masih akan tetap bersikeras dengan rencanaku itu
kalau saja tidak ada SMS Kafka selanjutnya yang datang sekitar tiga hari
kemudian. Kafka: Nadia, kalo kamu masih gak mo ngomong juga sama aku, aku
bakalan telepon ortu kamu dan bilang ke mereka apa yang kamu kerjain di Bali
Nadia: Bilang aja. Paling mereka Cuma ketawa Kafka: Tapi mereka gak akan ketawa
kan kalo aku bilangin soal yang di rumah sakit? Nadia: Dasar teroris. Bisanya
ngancem aja! Kafka: Ha 3x Nadia: Malah ketawa, lagi. Itu bukan pujian. Kafka:
Aku ketawa soalnya akhirnya kamu mo ngomong juga sama aku Nadia: Terpaksa
Kafka: C’mon SUMPAH MATI AKU MINTA MAAF! Nadia: Kafka: I promise I won’t do any
of it ever again Nadia: Kafka: Sweetheart. Please Nadia: Gak usah pake
sweetheart2an deh Kafka: Pumpkin? Nadia: NO! Kafka: Bunny? Nadia: Kafka, stop
it Kafka: I love it when u say my name Nadia: Ini SMS. Aku Cuma ketik nama
kamu, bukan nyebut nama kamu Kafka: Aku bisa telepon kamu supaya kamu bisa
ngomong langsung. Gmn? Nadia: Ya ampuuuunnn… okay, fine Kafka: Fine, what?
Nadia: Fine. Kamu aku maafin asal kamu berhenti Menuhin mailbox aku sama pesen2
kamu Kafka: Yakin? Nadia: Yakin Kafka: Jadi kamu udh gk marah lagi sama aku?
Nadia: Masih sedikit, tapi nanti juga pergi Kafka: Perlu aku sodorin kelingking
sbg tanda kalo kita udah baikan? Nadia: Don’t push it Bagaimana aku bisa
jengkel apalagi marah dengan orang seperti Kafka? Hanya dalam waktu kurang dari
empat bulan, dia sudah bisa meruntuhkan dinding kebencian yang telah aku bangun
selama hampir dua puluh tahun ini khusus untuk menjaga diriku agar tidak lagi
disakiti olehnya. Selama ini di dalam setiap hubungan jangka panjangku, aku
tidak pernah merasa lebih terhibur daripada tiga minggu belakangan ini dengan
kehadirannya. So what kalau dia misalnya memang tidur dengan perempuan atau
mungkin
beberapa
perempuan lain, toh dia selalu menyempatkan diri untuk mengirimkan SMS padaku.
Dan so what juga kalau dia adalah sumber kejengkelanku sewaktu aku SD, toh dia
sudah minta maaf dengan berbagai kosakata yang bisa diucapkan oleh manusia
untuk minta maaf. Itu menunjukkan bahwa dia setidak-tidaknya memedulikanku,
kan? Pada dasarnya, hari itu aku akhirnya bisa menidurkan isu masa kecilku. Dan
meskipun aku masih belum mendapatkan jawaban yang pasti, aku menolak untuk
merasa terganggu dengan kenyataan bahwa walaupun Kafka sudah bertingkah laku
supersweet, tapi dia tidak pernah mengutarakan niatnya untuk membawa hubungan
kami ke level yang lebih serius. It’s okay, kami selalu bisa jadi teman dulu,
kan? ***
“Kamu mau ke mana Tahun Baru?”
Tanya Kak Mikhel padaku ketika kami sepakat untuk mengunjungi orangtuaku pada
Hari Natal saat kami semua dapat libur. Kami ngobrol di halaman belakang sambil
menunggu hingga papaku bangun dari tidur siangnya dan Mama selesai membuat
brownies. Seperti aku, kedua Kakakku sudah tidak tinggal dengan orangtuaku
ketika mereka mulai bekerja. Setelah lama menyewa, tahun lalu akhirnya Kak
Mikhel mampu membeli rumah sendiri, sedangkan Kak Viktor, meskipun dia juga
masih mengontrak, aku yakin dia akan mencontoh Kak Mikhel sebentar lagi. Kalau
saja gajiku sebesar mereka berdua yang kini sama-sama bekerja di perusahaan
minyak milik Inggris dan Amerika, mungkin aku akan memilih untuk beli rumah
juga daripada harus kos. Papaku selalu bilang bahwa rumah itu terhitung sebagai
investasi jangka panjang, meskipun belinya pakai kredit dari bank dan bunganya
cukup besar, tapi setidak-tidaknya uang yang sudah kita keluarkan tidak akan
terbuang percuma tanpa hasil seperti halnya kalau kita kos atau mengontrak.
“Nggak tahu, lagi. Kantorku dapat undangan dari Empire, mungkin kita mau pergi
ke sana,” jelasku. Beberapa hari yang lalu aku menerima undangan dari
Karin,klienku yang berumur 23 tahun, untuk merayakan Tahun Baru bersama-sama di
kelabnya. Bosku mengatakan bahwa aku harus pergi sekalian untuk networking
dengan teman-teman Karin yang pasti juga anak orang kaya dan mungkin
membutuhkan jasa web design. Aku rasanya sudah mau mementung kepala bosku
ketika dia mengatakan itu. Meskipun aku tidak keberatan merayakan Tahun Baru di
kelab yang paling “IN” di Jakarta itu, tapi aku sama sekali tidak tertarik
bertemu dengan Karin di luar konteks kerja. Aku tidak yakin bahwa aku bisa
tahan dengan gayanya yang seperti Paris Hilton minus rambut pirangnya, tanpa
ingin mencekiknya. No… no… no… aku sudah cukup merasa tidak percaya diri dengan
hanya berhadapan dengan satu Karin, maka aku yakin bahwa kepercayaan diriku
akan rontok menjadi abu kalau dihadapkan dengan sepuluh Karin. “Oh ya? Gue
ikutan dong,” pinta Kak Viktor Aku sebetulnya ingin langsung menolak permintaan
itu karena sejujurnya aku tidak mau berada dekat-dekat dengan kakakku kalau aku
sedang ingin hangout dengan teman-temanku, bisa dijamin bahwa Tahun Baru-ku
akan runyam kalau Kak Viktor ikut. Dia lebih parah daripada polisi razia. Aku
bisa membayangkan beberapa peraturan yang akan keluar dari mulutnya kalau dia
ikut ke Empire: jangan pakai baju yang terlalu minim, jangan minum alcohol,
jangan nge-dance terlalu heboh, jangan dekat-dekat sama laki-laki tak dikenal,
dan jangan pergi ke toilet sendiri takutnya nanti diculik orang. Selain itu,
Kak Viktor memiliki penyakit yang cukup parah dan tidak bisa disembuhkan, yaitu
dia cenderung menyukai perempuan yang jauh di luar jangkauannya, contohnya
perempuan seperti Karin. Karena seperti juga aku, kedua kakakku bertampang
biasa-biasa saja, aku tidak mau dia langsung jatuh cinta
pada
Karin yang aku yakin hanya akan menginjak-injak hati kakakku saja. “Nanti aku
Tanya dulu ya apa masih ada ekstra undangan,” ucapku akhirnya karena tidak tega
melihat wajah Kak Viktor yang sudah seperti anjing kecil yang tidak tahu jalan
pulang. Ketika aku mengatakan hal tersebut, tiba-tiba ada SMS masuk. Aku tidak perlu
melirik layar untuk tahu bahwa itu dari Kafka. Aku memutuskan membiarkannya.
“SMS-nya nggak mau di baca?” Tanya Kak Mikhel sambil menatapku dengan sedikit
curiga. “Nggak. Nanti saja. Kalau penting pasti mereka telepon kok,” balasku
“Dari Dokter K, ya?” pertanyaan Kak Viktor itu membuat mataku langsung
terbelalak. Dari mana mereka tahu? Aku jelas-jelas tidak pernah bercerita
apa-apa kepada mereka. “Oke… pertama, itu bukan urusan siapa-siapa kecuali aku.
Kedua, kenapa juga sih semua jadi ikutan Mama manggil Kafka ‘Dokter K’?”
Pertama kali aku mendengar Kafka dipanggil “Dokter K” (diucapkan “Key” seperti
pengucapan huruf “K” dalam bahasa Inggris, bukan “Ka” seperti pengucapannya
dalam bahasa Indonesia) adalah oleh mamaku seminggu setelah kepulangan papa dari
rumah sakit. Awalnya aku sempat bingung siapakah orang yang dimaksud oleh mama,
tetapi setelah agak lama, nama panggilan itu menempel juga di kepalaku. Dan
ternyata ada untungnya juga untuk menyebut Kafka sebagai “Dokter K”, karena
dengan cara ini kepalaku bisa membedakan Kafka sebagai anak laki-laki yang aku
kenal sewaktu SD dengan Kafka sebagai dokter papa-ku. Meskipun mama sudah
menggunakan nama panggilan ini selama hampir tiga bulan, tetapi aku tidak
pernah mendengar kedua kakakku menggunakannya, sehingga mendengarnya diucapkan
oleh Kak Viktor untuk pertama kali membuatku sedikit terkejut Bukannya
menghiraukan protesku, kedua kakakku malah justru mulai berspekulasi sendiri.
Sumpah deh, laki-laki itu sama bilang gosipnya kayak perempuan, terkadang bahkan
lebih parah. Mungkin inilah sebabnya kenapa kedua kakakku masih belum menikah
di umur mereka yang sudah melewati tiga puluh, atau mungkin mereka jadi suka
menggosip karena mereka belum menikah? Mmmmmhhhh…. Aku harus menanyakan
fenomena ini kepada Adri, mungkin dia akan tahu jawabannya. “Tuh kan bener kata
gue, nih anak ada hubungan sama ‘Dokter K’” “Jangan-jangan omongan Mama benar,
lagi. Lo inget kan apa yang dia bilang?” “Yang masalah ‘Dokter K’ mau ngomong
sama Nadia di luar?” “Dan mereka pergi lama banget..” “Tahu-tahu pas balik
Nadia bajunya agak kusut, rambutnya berantakan, dan mukanya merah?” Aku menarik
napas terkejut. Apa aku memang kelihatan seperti itu sewaktu kembali ke kamar
papa? Seingatku mama hanya menatapku dengan ekspresi ingin tahu tapi tidak
mengatakan apa-apa. Pada saat itu aku sangat mensyukuri bahwa untuk pertama
kalinya mama tidak langsung menginterogasiku, tapi kalau aku tahu bahwa dia
akan menceritakan semua ini ke kedua kakakku, aku jauh lebih memilih dia
membicarakan hal ini denganku terlebih dahulu sebelum mulai berspekulasi. “Bisa
nggak sih nggak ngomongin aku kayak aku lagi nggak ada di sini dan bisa dengar
semua yang diomongin?” omelku tanpa berusaha menutupi kekesalanku. “Memangnya
kamu ngapain sih sama dia sampai…” “Kami nggak ngapa-ngapain,” teriakku
Tiba-tiba kudengar suara mama dari dalam rumah berteriak, “Eee… hhh jangan
berisik! Papa kalian lagi tidur.” Aku dan kedua kakakku langsung terdiam dan
saling tatap. Tidak ada seorang pun dari kami yang berani
mengatakan
bahwa Mama juga sedang berteriak, maka akan sama salahnya dengan kami kalau
sampai Papa terbangun, kalau tidak mau habis diceramahi oleh Mama karena
melawan orangtua. Pada saat itu aku menemukan satu lagi alasan kenapa kedua
kakakku masih belum juga menikah. Mungkin mereka memiliki “Mommy’s” skirt
syndrome”, yaitu suatu efek yang biasanya dimiliki oleh anak laki-laki yang
takut setengah mati pada ibu mereka, sehingga tidak pernah bisa betul-betul
menjadi dewasa, karena mereka tidak bisa melepaskan pegangan mereka pada “rok”
sang ibu. “Nad, tapi kalau memang kamu ngapa-ngapain sama dia, kamu bakal
bilang ke kita, kan?” bisik Kak Viktor “Lho, kok ngomongnya gitu?” teriakku
sambil mengerutkan dahi. “Sssttt…” ucap kedua kakakku berbarengan. Setelah
yakin bahwa aku tidak akan berteriak lagi dan berisiko untuk di omeli oleh
Mama, Kak Mikhel menawarkan penjelasan “Viktor gak suka saja cara dia
ngelihatin kamu,” katanya sambil memutar bola matanya seakan-akan dia sendiri
menganggap reaksi Kak Viktor itu berlebihan “Cara dia…” aku menelan ludah
sebelum melanjutkan kata-kataku, “Memangnya dia ngelihatin aku kayak apa?”
tanyaku sambil menatap kakak keduaku yang sedang memperhatikanku dengan wajah
serius “Kayak kamu es kelapa muda pas bulan puasa.” Jawab Kak Viktor yang
disambut tawa menggelegar Kak Mikhel disusul aku yang mengatakan, “Husss,”
sambil menajamkan telinga untuk mendengar teguran Mama lagi. Tapi sepertinya
Mama sudah kembali sibuk dengan brownies-nya “Kenapa lo ketawa, Kel? Gue
serius,” Kak Viktor menegaskan “Oke… oke… sori. Bukan maksud gue untuk
ngetawain elo, Cuma kadang-kadang bahasa yang lo pakai suka kedengaran kayak
lirik lagu dangdut.” Dari wajahnya aku tahu bahwa Kak Viktor sama sekali tidak
menghargai komentar itu, tapi dia berhasil menahan diri agar tidak mencekik
atau melayangkan kepalan tinjunya ke wajah Kak Mikhel. Mungkin itu adalah
pilihan yang bijak karena Kak Viktor dengan tubuh kurus kering kerontangnya
tidak akan pernah bisa menang adu fisik dengan Kak Mikhel. “Kalau dia bukan
dokter Papa dan ngenalin kita sama Oom Bram yang sudah nolongin kita, mungkin
dari kemarin-kemarin udah gue hajar tuh anak,” komentar Kak Viktor sebelum
kemudian mengempaskan tubuh ke sandaran kursi. “Eh, jangan, Kak,” tanpa
kusadari aku sudah membongkar rahasiaku sendiri. Aku baru menyadarinya ketika
kedua kakakku menatapku dengan mata terbelalak “Kamu bilang kamu sama dia nggak
ngapa-ngapain, tapi kok…” Kak Mikhel memulai serangannya. Mulutku hanya
mega-megap mencoba mengeluarkan kata-kata yang bisa menyelamatku dari situasi ini,
tapi tidak ada satu patah kata pun yang terlintas. “Siapa mau brownies?” seumur
hidupku aku tidak pernah selega itu melihat mama. Aku langsung melompat berdiri
untuk mengambil nampan yang penuh dengan brownies, es krim vanilla Haagen-Dasz,
beberapa mangkuk serta sendok kecil dari tangannya. Kak Mikhel menatapku tajam,
dan aku tahu berarti bahwa dia akan mencari kesempatan untuk berbicara denganku
lagi sebelum aku pulang, sementara Kak Viktor sudah siap mencekikku dalam usaha
mendapatkan fakta hubunganku dengan Kafka. Sedangkan aku? Aku hanya
berpura-pura sibuk dengan brownies Mama sambil memikirkan cara untuk melarikan
diri secepat mungkin dari rumah orangtuaku
tanpa
sepengetahuan kedua kakakku. ***
Akhirnya malam Tahun Baru tiba
dan aku berada di Empire bersama teman-teman kerjaku. Aku berhasil menghindari
Kak Viktor dan permohonnya untuk ikut dengan mengatakan bahwa undangannya
terbatas. Aku, Gita, dan dua rekan kerjaku sesame web designer yang lain tiba
di Empire beberapa menit sebelum jam sepuluh malam. Kudengar Ludacris sedang
meminta semua orang untuk Stand Up dari seluruh penjuru ruangan. Kelab itu
sudah penuh sesak sebagaimana kelab seharusnya pada malam Tahun Baru. Lantai
kelab sudah penuh orang yang mencoba mengikuti ketukan lagu. Aku betul-betul
tidak tahu bagaimana kaum wanita bisa tidak merasa tersinggung mendengar lirik
lagu itu. Sumpah, kalau ada laki-laki yang mengucapkan kata-kata lagu itu
padaku, aku akan langsung menamparnya bolak-balik, sebelum kemudian memanggil
polisi dan melaporkan sexual harassment. Tiba-tiba kulihat Karin, si pemilik
klub/Gisele Bundchen protégé/ anak orang kaya/ sumber networking itu
menghampiriku. Dia mengenakan pakaian yang hanya bisa digambarkan sebagai
norak, tapi kombinasi warna yang dikenakannya itu kelihatan cocok menempel pada
tubuhnya. Aggghhh… aku benci orang seperti ini. Kualihkan perhatianku ke
samping Karin dan menemukan satu lagi alasan untuk membenci perempuan itu.
Seorang selebriti yang aku kenal sebagai drummer salah satu band rock yang
sedang naik daun di Indonesia sedang berdiri di sampingnya. Sejujurnya, drummer
itu memang bisa dibilang sebagai drummer paling ganteng di seluruh Indonesia,
tapi selama ini aku selalu menyangka bahwa laki-laki itu pasti ada cacatnya,
mungkin orang aslinya pendek dengan wajah jerawatan. Aku harus membuang
jauh-jauh prasangka burukku itu ketika menyadari bahwa drummer tersebut tidak
memiliki cacat sedikit pun, bahkan kelihatan lebih ganteng daripada di TV.
“Nadiaaaa,” teriak Karin dengan antusias dan langsung memelukku. Aku paling
benci dengan orang yang sok akrab denganku. Aku mencoba mengingatkan diriku
akan tugasku dan berpura-pura antusias juga. “Kariiinnn,” teriakku sambil
membalas pelukan Paris Hilton wannabe itu. Aku tahu bahwa Gita dan rekan
kerjaku yang lain sedang menatapku dengan mulut ternganga. Bukan rahasia di
kantorku bahwa aku tidak menyukai Karin. Di luar uang dengan jumlah yang cukup
besar yang masuk setiap bulannya ke rekening bank perusahaan tempatku bekerja,
tidak ada satu hal pun yang aku inginkan darinya. “This is Jo,” Karin langsung
memperkenalkan drummer ganteng yang kini sedang tersenyum lebar. Itulah satu
hal lagi yang aku benci tentang Karin. Dia sering sekali berbicara dakam bahasa
Inggris padaku, seakan-akan bahasa Indonesia itu tidak cukup berharga untuk
digunakan olehnya. “Pacarku”, tambah Karin Forgive me, Father, for I have
sinned, but I truly hate this woman, teriakku dalam hati. Perlu nggak sih dia
bilang Jo itu pacarnya, toh aku nggak buta, aku sudah tahu dari cara Jo memeluk
pinggang Karin bahwa mereka bukan kakak-beradik. Untuk mengalihkan perhatian,
aku pun memperkenalkan ketiga rekan kerjaku yang sepertinya tidak bisa
berkata-kata ketika disalami oleh Jo. “You like the music?” teriak Karin padaku
sambil menunjuk ke atas. Aku kurang pasti music apa yang dimaksud oleh Karin.
Musiknya Jo atau music kelab. Sejujurnya kalau aku boleh memilih, aku tidak
akan memilih dua-duanya. Tapi akhirnya aku memberikan jawaban yang paling aman.
“Bolehlah,” jawabku dan berpura-pura mengentakkan kepalaku bersama dengan music
rap yang sedang
terlantun.
Aku tahu bahwa aku sudah melacurkan diriku dengan berpura-pura ramah dan
menyukai Karin, tapi Empire adalah salah satu klien premium perusahaanku dan
kami tidak bisa kehilangan account ini. “Good. DJ-nya baru. Gue impor dia dari
Aussie, just for tonight. Kalau dia memang bagus, gue mau ambil dia permanen.”
Jelas Karin. Aha! Rupanya dia sedang membicarakan music kelabnya Kuanggukkan
kepalaku seakan-akan aku mengerti apa yang dibicarakan oleh klienku ini. Kemudian
kulihat Karin melambaikan tangan kepada seseorang dan berkata bahwa dia harus
pergi, tapi sebelumnya dia berpesan agar aku dan rekan-rekan kerjaku untuk have
fun Satu detik kemudian Karin dan Jo sudah menghilang dari hadapanku. Gita dan
yang lain memutuskan untuk langsung turun ke lantai dansa, sedangkan aku
memilih untuk pergi ke powder room dulu (Di Empire, orang tidak akan menemukan
kata sekasar “toilet” di mana pun). Aku pernah menanyakan hal ini kepada Karin
ketika aku melakukan survey pertama kali. Karin dengan antusias menjelaskan
bahwa kata “TOILET” hanya akan digunakan oleh kaum borjuis, dan karena semua
orang yang datang ke Empire adalah para royalty Indonesia, maka mereka wajib
diperlakukan sesuai dengan kedudukan social mereka. Yang mau kulakukan pada
saat itu sebetulnya adalah meninggalkan Karin dengan otaknya yang dangkal, tapi
mengingat bahwa dia adalah klien, aku hanya bisa tertawa garing ketika
mendengar penjelasan ini.
Crash Into You - AliaZalea - Bab 11
No comments:
Post a Comment