Saturday, September 5, 2015

Crash Into You - AliaZalea - Bab 10

Bab 10 

25 November 
Gue nggak bisa marah sama dia. Terserah apa itu yang dia sudah kerjain yang bikin gue jengkel sama dia sebelumnya. Gue nggak bisa ingat satu pun juga. Aneh . *** Dan dengan begitu seri pertama dari proses permintaan maaf Kafka yang tiada ujung, berakhir. Setelah menunggu selama hampir dua puluh tahun untuk mendengar kata maaf darinya yang tidak juga kunjung datang, aku memang sudah merelakan itu semua dan mencoba melupakannya. Bahkan terkadang kalau mood-ku sedang baik, aku bisa melihat humor dari pengalaman itu dan memaafkannya. Tetapi ternyata aku salah, karena seperti usahaku yang sia-sia untuk melupakan kejadian itu, aku juga masih belum bisa memaafkannya. Kata maaf itu seperti membuka kembali luka yang sudah hampir sembuh. Rasa kesal dan marah yang tidak terlampiaskan dan rasa malu yang harus aku tanggung pada masa-masa sebelum Ebtanas SD itu kembali membanjiri pikiranku. Kini kusadari bahwa kemarahanku padanya karena aku mendapatinya dengan perempuan lain, tidak ada bandingannya dengan kemarahan yang aku rasakan sekarang. Ini jauh lebih parah. “Bagaimana mungkin dia nggak tahu alasannya?” teriakku dalam hati dengan frustasi. Dan aku masih tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaanku ketika Kafka mengirimkan SMS lainnya enam jam kemudian. Kafka: Dah kelar marahnya? Nadia: Blom Kafka: Ayolah, Nad. Kamu kan gak bisa selamanya marah soal itu. Aku kan udah minta maaf. Lagian juga itu udah lama banget. Just let it go Nadia: Itu mungkin udah lama buat kamu, tapi gak buat aku dan aku gk bisa ‘let it go’. Okay?! Kafka: Why r u being so difficult about this? Nadia: Pake nannya, lagi Kafka: Ooops. Sori. Aku mesti ngapain supaya kamu maafin aku? Nadia: Just leave me alone Ketika aku merasa yakin bahwa Kafka untuk pertama kalinya benar-benar mendengarkan permintaanku, aku menerima SMS permintaan maaf ketiga darinya tepat 24 jam kemudian. I know you told me to leave you alone, tapi aku gak bisa. Aku bener2 minta maaf untuk semuanya, Nad. Sms itu aku diamkan tidak terjawab selama dua hari dan aku baru saja bisa mengembuskan napas lega ketika tiba-tiba HP-ku mulai sering bordering dengan nama Kafka pada layarnya. Lagi-lagi kubiarkan telepon-telepon itu tidak terangkat. Tapi ketika mailbox-ku mulai penuh dengan pesan-pesan permohonan maaf darinya dengan berbagai variasi, mulai dari penuh canda dan humor, penuh kelembutan yang disambung dengan kemarahan dan ancaman akan mendatangi rumahku ketika aku masih juga menolak untuk menjawab teleponnya, hingga beberapa permohonan maaf yang paling tulus yang pernah aku dengar sehingga membuat mataku berkaca-kaca. Entail bagaimana atau kapan hal itu terjadi, tetapi kini hatiku tidak lagi penuh dengan kemarahan
padanya, yang tersisa hanyalah setitik kejengkelan. Iya, aku mungkin sudah memaafkannya, tapi bukan berarti bahwa Kafka harus tahu tentang itu. Aku berniat untuk betul-betul membuatnya menyesal tentang apa yang telah dilakukannya padaku dan aku baru akan berhenti setelah merasa puas dengan aksi mogok untuk berhubungan dengannya itu. Dan aku mungkin masih akan tetap bersikeras dengan rencanaku itu kalau saja tidak ada SMS Kafka selanjutnya yang datang sekitar tiga hari kemudian. Kafka: Nadia, kalo kamu masih gak mo ngomong juga sama aku, aku bakalan telepon ortu kamu dan bilang ke mereka apa yang kamu kerjain di Bali Nadia: Bilang aja. Paling mereka Cuma ketawa Kafka: Tapi mereka gak akan ketawa kan kalo aku bilangin soal yang di rumah sakit? Nadia: Dasar teroris. Bisanya ngancem aja! Kafka: Ha 3x Nadia: Malah ketawa, lagi. Itu bukan pujian. Kafka: Aku ketawa soalnya akhirnya kamu mo ngomong juga sama aku Nadia: Terpaksa Kafka: C’mon SUMPAH MATI AKU MINTA MAAF! Nadia: Kafka: I promise I won’t do any of it ever again Nadia: Kafka: Sweetheart. Please Nadia: Gak usah pake sweetheart2an deh Kafka: Pumpkin? Nadia: NO! Kafka: Bunny? Nadia: Kafka, stop it Kafka: I love it when u say my name Nadia: Ini SMS. Aku Cuma ketik nama kamu, bukan nyebut nama kamu Kafka: Aku bisa telepon kamu supaya kamu bisa ngomong langsung. Gmn? Nadia: Ya ampuuuunnn… okay, fine Kafka: Fine, what? Nadia: Fine. Kamu aku maafin asal kamu berhenti Menuhin mailbox aku sama pesen2 kamu Kafka: Yakin? Nadia: Yakin Kafka: Jadi kamu udh gk marah lagi sama aku? Nadia: Masih sedikit, tapi nanti juga pergi Kafka: Perlu aku sodorin kelingking sbg tanda kalo kita udah baikan? Nadia: Don’t push it Bagaimana aku bisa jengkel apalagi marah dengan orang seperti Kafka? Hanya dalam waktu kurang dari empat bulan, dia sudah bisa meruntuhkan dinding kebencian yang telah aku bangun selama hampir dua puluh tahun ini khusus untuk menjaga diriku agar tidak lagi disakiti olehnya. Selama ini di dalam setiap hubungan jangka panjangku, aku tidak pernah merasa lebih terhibur daripada tiga minggu belakangan ini dengan kehadirannya. So what kalau dia misalnya memang tidur dengan perempuan atau mungkin
beberapa perempuan lain, toh dia selalu menyempatkan diri untuk mengirimkan SMS padaku. Dan so what juga kalau dia adalah sumber kejengkelanku sewaktu aku SD, toh dia sudah minta maaf dengan berbagai kosakata yang bisa diucapkan oleh manusia untuk minta maaf. Itu menunjukkan bahwa dia setidak-tidaknya memedulikanku, kan? Pada dasarnya, hari itu aku akhirnya bisa menidurkan isu masa kecilku. Dan meskipun aku masih belum mendapatkan jawaban yang pasti, aku menolak untuk merasa terganggu dengan kenyataan bahwa walaupun Kafka sudah bertingkah laku supersweet, tapi dia tidak pernah mengutarakan niatnya untuk membawa hubungan kami ke level yang lebih serius. It’s okay, kami selalu bisa jadi teman dulu, kan? ***
“Kamu mau ke mana Tahun Baru?” Tanya Kak Mikhel padaku ketika kami sepakat untuk mengunjungi orangtuaku pada Hari Natal saat kami semua dapat libur. Kami ngobrol di halaman belakang sambil menunggu hingga papaku bangun dari tidur siangnya dan Mama selesai membuat brownies. Seperti aku, kedua Kakakku sudah tidak tinggal dengan orangtuaku ketika mereka mulai bekerja. Setelah lama menyewa, tahun lalu akhirnya Kak Mikhel mampu membeli rumah sendiri, sedangkan Kak Viktor, meskipun dia juga masih mengontrak, aku yakin dia akan mencontoh Kak Mikhel sebentar lagi. Kalau saja gajiku sebesar mereka berdua yang kini sama-sama bekerja di perusahaan minyak milik Inggris dan Amerika, mungkin aku akan memilih untuk beli rumah juga daripada harus kos. Papaku selalu bilang bahwa rumah itu terhitung sebagai investasi jangka panjang, meskipun belinya pakai kredit dari bank dan bunganya cukup besar, tapi setidak-tidaknya uang yang sudah kita keluarkan tidak akan terbuang percuma tanpa hasil seperti halnya kalau kita kos atau mengontrak. “Nggak tahu, lagi. Kantorku dapat undangan dari Empire, mungkin kita mau pergi ke sana,” jelasku. Beberapa hari yang lalu aku menerima undangan dari Karin,klienku yang berumur 23 tahun, untuk merayakan Tahun Baru bersama-sama di kelabnya. Bosku mengatakan bahwa aku harus pergi sekalian untuk networking dengan teman-teman Karin yang pasti juga anak orang kaya dan mungkin membutuhkan jasa web design. Aku rasanya sudah mau mementung kepala bosku ketika dia mengatakan itu. Meskipun aku tidak keberatan merayakan Tahun Baru di kelab yang paling “IN” di Jakarta itu, tapi aku sama sekali tidak tertarik bertemu dengan Karin di luar konteks kerja. Aku tidak yakin bahwa aku bisa tahan dengan gayanya yang seperti Paris Hilton minus rambut pirangnya, tanpa ingin mencekiknya. No… no… no… aku sudah cukup merasa tidak percaya diri dengan hanya berhadapan dengan satu Karin, maka aku yakin bahwa kepercayaan diriku akan rontok menjadi abu kalau dihadapkan dengan sepuluh Karin. “Oh ya? Gue ikutan dong,” pinta Kak Viktor Aku sebetulnya ingin langsung menolak permintaan itu karena sejujurnya aku tidak mau berada dekat-dekat dengan kakakku kalau aku sedang ingin hangout dengan teman-temanku, bisa dijamin bahwa Tahun Baru-ku akan runyam kalau Kak Viktor ikut. Dia lebih parah daripada polisi razia. Aku bisa membayangkan beberapa peraturan yang akan keluar dari mulutnya kalau dia ikut ke Empire: jangan pakai baju yang terlalu minim, jangan minum alcohol, jangan nge-dance terlalu heboh, jangan dekat-dekat sama laki-laki tak dikenal, dan jangan pergi ke toilet sendiri takutnya nanti diculik orang. Selain itu, Kak Viktor memiliki penyakit yang cukup parah dan tidak bisa disembuhkan, yaitu dia cenderung menyukai perempuan yang jauh di luar jangkauannya, contohnya perempuan seperti Karin. Karena seperti juga aku, kedua kakakku bertampang biasa-biasa saja, aku tidak mau dia langsung jatuh cinta
pada Karin yang aku yakin hanya akan menginjak-injak hati kakakku saja. “Nanti aku Tanya dulu ya apa masih ada ekstra undangan,” ucapku akhirnya karena tidak tega melihat wajah Kak Viktor yang sudah seperti anjing kecil yang tidak tahu jalan pulang. Ketika aku mengatakan hal tersebut, tiba-tiba ada SMS masuk. Aku tidak perlu melirik layar untuk tahu bahwa itu dari Kafka. Aku memutuskan membiarkannya. “SMS-nya nggak mau di baca?” Tanya Kak Mikhel sambil menatapku dengan sedikit curiga. “Nggak. Nanti saja. Kalau penting pasti mereka telepon kok,” balasku “Dari Dokter K, ya?” pertanyaan Kak Viktor itu membuat mataku langsung terbelalak. Dari mana mereka tahu? Aku jelas-jelas tidak pernah bercerita apa-apa kepada mereka. “Oke… pertama, itu bukan urusan siapa-siapa kecuali aku. Kedua, kenapa juga sih semua jadi ikutan Mama manggil Kafka ‘Dokter K’?” Pertama kali aku mendengar Kafka dipanggil “Dokter K” (diucapkan “Key” seperti pengucapan huruf “K” dalam bahasa Inggris, bukan “Ka” seperti pengucapannya dalam bahasa Indonesia) adalah oleh mamaku seminggu setelah kepulangan papa dari rumah sakit. Awalnya aku sempat bingung siapakah orang yang dimaksud oleh mama, tetapi setelah agak lama, nama panggilan itu menempel juga di kepalaku. Dan ternyata ada untungnya juga untuk menyebut Kafka sebagai “Dokter K”, karena dengan cara ini kepalaku bisa membedakan Kafka sebagai anak laki-laki yang aku kenal sewaktu SD dengan Kafka sebagai dokter papa-ku. Meskipun mama sudah menggunakan nama panggilan ini selama hampir tiga bulan, tetapi aku tidak pernah mendengar kedua kakakku menggunakannya, sehingga mendengarnya diucapkan oleh Kak Viktor untuk pertama kali membuatku sedikit terkejut Bukannya menghiraukan protesku, kedua kakakku malah justru mulai berspekulasi sendiri. Sumpah deh, laki-laki itu sama bilang gosipnya kayak perempuan, terkadang bahkan lebih parah. Mungkin inilah sebabnya kenapa kedua kakakku masih belum menikah di umur mereka yang sudah melewati tiga puluh, atau mungkin mereka jadi suka menggosip karena mereka belum menikah? Mmmmmhhhh…. Aku harus menanyakan fenomena ini kepada Adri, mungkin dia akan tahu jawabannya. “Tuh kan bener kata gue, nih anak ada hubungan sama ‘Dokter K’” “Jangan-jangan omongan Mama benar, lagi. Lo inget kan apa yang dia bilang?” “Yang masalah ‘Dokter K’ mau ngomong sama Nadia di luar?” “Dan mereka pergi lama banget..” “Tahu-tahu pas balik Nadia bajunya agak kusut, rambutnya berantakan, dan mukanya merah?” Aku menarik napas terkejut. Apa aku memang kelihatan seperti itu sewaktu kembali ke kamar papa? Seingatku mama hanya menatapku dengan ekspresi ingin tahu tapi tidak mengatakan apa-apa. Pada saat itu aku sangat mensyukuri bahwa untuk pertama kalinya mama tidak langsung menginterogasiku, tapi kalau aku tahu bahwa dia akan menceritakan semua ini ke kedua kakakku, aku jauh lebih memilih dia membicarakan hal ini denganku terlebih dahulu sebelum mulai berspekulasi. “Bisa nggak sih nggak ngomongin aku kayak aku lagi nggak ada di sini dan bisa dengar semua yang diomongin?” omelku tanpa berusaha menutupi kekesalanku. “Memangnya kamu ngapain sih sama dia sampai…” “Kami nggak ngapa-ngapain,” teriakku Tiba-tiba kudengar suara mama dari dalam rumah berteriak, “Eee… hhh jangan berisik! Papa kalian lagi tidur.” Aku dan kedua kakakku langsung terdiam dan saling tatap. Tidak ada seorang pun dari kami yang berani
mengatakan bahwa Mama juga sedang berteriak, maka akan sama salahnya dengan kami kalau sampai Papa terbangun, kalau tidak mau habis diceramahi oleh Mama karena melawan orangtua. Pada saat itu aku menemukan satu lagi alasan kenapa kedua kakakku masih belum juga menikah. Mungkin mereka memiliki “Mommy’s” skirt syndrome”, yaitu suatu efek yang biasanya dimiliki oleh anak laki-laki yang takut setengah mati pada ibu mereka, sehingga tidak pernah bisa betul-betul menjadi dewasa, karena mereka tidak bisa melepaskan pegangan mereka pada “rok” sang ibu. “Nad, tapi kalau memang kamu ngapa-ngapain sama dia, kamu bakal bilang ke kita, kan?” bisik Kak Viktor “Lho, kok ngomongnya gitu?” teriakku sambil mengerutkan dahi. “Sssttt…” ucap kedua kakakku berbarengan. Setelah yakin bahwa aku tidak akan berteriak lagi dan berisiko untuk di omeli oleh Mama, Kak Mikhel menawarkan penjelasan “Viktor gak suka saja cara dia ngelihatin kamu,” katanya sambil memutar bola matanya seakan-akan dia sendiri menganggap reaksi Kak Viktor itu berlebihan “Cara dia…” aku menelan ludah sebelum melanjutkan kata-kataku, “Memangnya dia ngelihatin aku kayak apa?” tanyaku sambil menatap kakak keduaku yang sedang memperhatikanku dengan wajah serius “Kayak kamu es kelapa muda pas bulan puasa.” Jawab Kak Viktor yang disambut tawa menggelegar Kak Mikhel disusul aku yang mengatakan, “Husss,” sambil menajamkan telinga untuk mendengar teguran Mama lagi. Tapi sepertinya Mama sudah kembali sibuk dengan brownies-nya “Kenapa lo ketawa, Kel? Gue serius,” Kak Viktor menegaskan “Oke… oke… sori. Bukan maksud gue untuk ngetawain elo, Cuma kadang-kadang bahasa yang lo pakai suka kedengaran kayak lirik lagu dangdut.” Dari wajahnya aku tahu bahwa Kak Viktor sama sekali tidak menghargai komentar itu, tapi dia berhasil menahan diri agar tidak mencekik atau melayangkan kepalan tinjunya ke wajah Kak Mikhel. Mungkin itu adalah pilihan yang bijak karena Kak Viktor dengan tubuh kurus kering kerontangnya tidak akan pernah bisa menang adu fisik dengan Kak Mikhel. “Kalau dia bukan dokter Papa dan ngenalin kita sama Oom Bram yang sudah nolongin kita, mungkin dari kemarin-kemarin udah gue hajar tuh anak,” komentar Kak Viktor sebelum kemudian mengempaskan tubuh ke sandaran kursi. “Eh, jangan, Kak,” tanpa kusadari aku sudah membongkar rahasiaku sendiri. Aku baru menyadarinya ketika kedua kakakku menatapku dengan mata terbelalak “Kamu bilang kamu sama dia nggak ngapa-ngapain, tapi kok…” Kak Mikhel memulai serangannya. Mulutku hanya mega-megap mencoba mengeluarkan kata-kata yang bisa menyelamatku dari situasi ini, tapi tidak ada satu patah kata pun yang terlintas. “Siapa mau brownies?” seumur hidupku aku tidak pernah selega itu melihat mama. Aku langsung melompat berdiri untuk mengambil nampan yang penuh dengan brownies, es krim vanilla Haagen-Dasz, beberapa mangkuk serta sendok kecil dari tangannya. Kak Mikhel menatapku tajam, dan aku tahu berarti bahwa dia akan mencari kesempatan untuk berbicara denganku lagi sebelum aku pulang, sementara Kak Viktor sudah siap mencekikku dalam usaha mendapatkan fakta hubunganku dengan Kafka. Sedangkan aku? Aku hanya berpura-pura sibuk dengan brownies Mama sambil memikirkan cara untuk melarikan diri secepat mungkin dari rumah orangtuaku
tanpa sepengetahuan kedua kakakku. ***
Akhirnya malam Tahun Baru tiba dan aku berada di Empire bersama teman-teman kerjaku. Aku berhasil menghindari Kak Viktor dan permohonnya untuk ikut dengan mengatakan bahwa undangannya terbatas. Aku, Gita, dan dua rekan kerjaku sesame web designer yang lain tiba di Empire beberapa menit sebelum jam sepuluh malam. Kudengar Ludacris sedang meminta semua orang untuk Stand Up dari seluruh penjuru ruangan. Kelab itu sudah penuh sesak sebagaimana kelab seharusnya pada malam Tahun Baru. Lantai kelab sudah penuh orang yang mencoba mengikuti ketukan lagu. Aku betul-betul tidak tahu bagaimana kaum wanita bisa tidak merasa tersinggung mendengar lirik lagu itu. Sumpah, kalau ada laki-laki yang mengucapkan kata-kata lagu itu padaku, aku akan langsung menamparnya bolak-balik, sebelum kemudian memanggil polisi dan melaporkan sexual harassment. Tiba-tiba kulihat Karin, si pemilik klub/Gisele Bundchen protégé/ anak orang kaya/ sumber networking itu menghampiriku. Dia mengenakan pakaian yang hanya bisa digambarkan sebagai norak, tapi kombinasi warna yang dikenakannya itu kelihatan cocok menempel pada tubuhnya. Aggghhh… aku benci orang seperti ini. Kualihkan perhatianku ke samping Karin dan menemukan satu lagi alasan untuk membenci perempuan itu. Seorang selebriti yang aku kenal sebagai drummer salah satu band rock yang sedang naik daun di Indonesia sedang berdiri di sampingnya. Sejujurnya, drummer itu memang bisa dibilang sebagai drummer paling ganteng di seluruh Indonesia, tapi selama ini aku selalu menyangka bahwa laki-laki itu pasti ada cacatnya, mungkin orang aslinya pendek dengan wajah jerawatan. Aku harus membuang jauh-jauh prasangka burukku itu ketika menyadari bahwa drummer tersebut tidak memiliki cacat sedikit pun, bahkan kelihatan lebih ganteng daripada di TV. “Nadiaaaa,” teriak Karin dengan antusias dan langsung memelukku. Aku paling benci dengan orang yang sok akrab denganku. Aku mencoba mengingatkan diriku akan tugasku dan berpura-pura antusias juga. “Kariiinnn,” teriakku sambil membalas pelukan Paris Hilton wannabe itu. Aku tahu bahwa Gita dan rekan kerjaku yang lain sedang menatapku dengan mulut ternganga. Bukan rahasia di kantorku bahwa aku tidak menyukai Karin. Di luar uang dengan jumlah yang cukup besar yang masuk setiap bulannya ke rekening bank perusahaan tempatku bekerja, tidak ada satu hal pun yang aku inginkan darinya. “This is Jo,” Karin langsung memperkenalkan drummer ganteng yang kini sedang tersenyum lebar. Itulah satu hal lagi yang aku benci tentang Karin. Dia sering sekali berbicara dakam bahasa Inggris padaku, seakan-akan bahasa Indonesia itu tidak cukup berharga untuk digunakan olehnya. “Pacarku”, tambah Karin Forgive me, Father, for I have sinned, but I truly hate this woman, teriakku dalam hati. Perlu nggak sih dia bilang Jo itu pacarnya, toh aku nggak buta, aku sudah tahu dari cara Jo memeluk pinggang Karin bahwa mereka bukan kakak-beradik. Untuk mengalihkan perhatian, aku pun memperkenalkan ketiga rekan kerjaku yang sepertinya tidak bisa berkata-kata ketika disalami oleh Jo. “You like the music?” teriak Karin padaku sambil menunjuk ke atas. Aku kurang pasti music apa yang dimaksud oleh Karin. Musiknya Jo atau music kelab. Sejujurnya kalau aku boleh memilih, aku tidak akan memilih dua-duanya. Tapi akhirnya aku memberikan jawaban yang paling aman. “Bolehlah,” jawabku dan berpura-pura mengentakkan kepalaku bersama dengan music rap yang sedang

terlantun. Aku tahu bahwa aku sudah melacurkan diriku dengan berpura-pura ramah dan menyukai Karin, tapi Empire adalah salah satu klien premium perusahaanku dan kami tidak bisa kehilangan account ini. “Good. DJ-nya baru. Gue impor dia dari Aussie, just for tonight. Kalau dia memang bagus, gue mau ambil dia permanen.” Jelas Karin. Aha! Rupanya dia sedang membicarakan music kelabnya Kuanggukkan kepalaku seakan-akan aku mengerti apa yang dibicarakan oleh klienku ini. Kemudian kulihat Karin melambaikan tangan kepada seseorang dan berkata bahwa dia harus pergi, tapi sebelumnya dia berpesan agar aku dan rekan-rekan kerjaku untuk have fun Satu detik kemudian Karin dan Jo sudah menghilang dari hadapanku. Gita dan yang lain memutuskan untuk langsung turun ke lantai dansa, sedangkan aku memilih untuk pergi ke powder room dulu (Di Empire, orang tidak akan menemukan kata sekasar “toilet” di mana pun). Aku pernah menanyakan hal ini kepada Karin ketika aku melakukan survey pertama kali. Karin dengan antusias menjelaskan bahwa kata “TOILET” hanya akan digunakan oleh kaum borjuis, dan karena semua orang yang datang ke Empire adalah para royalty Indonesia, maka mereka wajib diperlakukan sesuai dengan kedudukan social mereka. Yang mau kulakukan pada saat itu sebetulnya adalah meninggalkan Karin dengan otaknya yang dangkal, tapi mengingat bahwa dia adalah klien, aku hanya bisa tertawa garing ketika mendengar penjelasan ini. 



Crash Into You - AliaZalea - Bab 11

No comments:

Post a Comment