Saturday, September 5, 2015

Crash Into You - AliaZalea - Bab 9

Bab 9 

16 November 
Memang dia pikir dia siapa? Berani-beraninya ngelawan gue, kalau memang mau kuat-kuatan, hayo deh. Nanti lihat saja siapa yang menang *** Aku memang sudah dikenal sebagai seseorang yang tidak bisa mengambil keputusan dengan cepat, aku memerlukan waktu untuk mempertimbangkan segala sesuatunya sebelum suatu keputusan bisa diambil. Tapi biasanya kalau aku sudah memutuskan sesuatu maka aku akan memastikan bahwa aku akan mengikuti dan berpegang teguh pada keputusan itu. Prinsip itu pun kuterapkan pada masalahku dengan Kafka. Setelah puas menangis dan membuat mataku bengkak, aku mulai berpikir dan akhirnya memutuskan untuk membalas keisengan Kafka padaku, dan aku tidak akan berhenti hingga kami impas. Biar dia tahu rasa. Giliranku untuk mengantar Papa ke rumah sakit pun tiba. Untuk pertama kalinya setelah hampir dua bulan aku akan bertatap muka lagi dengannya. Ketika kudengar nama papaku di panggil oleh suster, aku pun mengambil napas dalam-dalam dan mempersiapkan diriku untuk memasuki medan perang. Kulihat Kafka tersenyum ketika melihat orangtuaku, dan senyumannya semakin lebar ketika melihatku. Kutampilkan senyuman semanis mungkin dan menganggukkan kepalaku kepadanya. Kali ini aku memilih untuk duduk di samping mamaku yang kebetulan memang duduk persis di hadapan Kafka yang tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali karena sudah tertangkap basah olehku tidur dengan wanita lain sementara dia flirt habis-habisan denganku. Mmmhhh… aku akui dia memang pro, tapi aku menolak untuk mengaku kalah sebelum perang betul-betul di mulai. Tanpa kusangka-sangka pertemuan itu dimulai dengan Kafka yang menyodorkan sebuah kartu nama kepada mamaku. “Tante, seperti yang sudah saya janjikan, ini kartu nama pengacara keluarga saya,” Awalnya aku hanya bisa menatap Kafka bingung, sebelum kemudian mengalihkan perhatian kepada kartu nama yang kini dipegang mama. Aku, yang tidak pernah berhubungan dengan hukum tidak tahu-menahu tentang kebonafidan kantor pengacara yang tertera pada kartu nama itu, tetapi aku berjanji untuk segera mencari informasi mengenainya setelah pulang dari pertemuan ini. Puas dengan keputusan ini, kini beberapa pertanyaan mulai muncul di dalam pikiranku. Untuk apa orangtuaku pelu pengacara? Dan kalaupun mereka memang memerlukan jasa ini, kenapa mereka tidak minta tolong kepada aku atau kedua kakakku, sebagai anak-anak mereka untuk mendapat informasi ini? Yang jelas aku bertanya-tanya kenapa mereka justru harus minta tolong kepada Kafka? Tapi sebelum aku bisa menyuarakan protesku, Kafka melanjutkan, “Oom Bram ini salah satu partner di sana dan kalau nanti buat janji untuk konsultasi, sebut saja nama saya, jadi Oom Bram tahu bahwa Oom dan Tante-lah orang yang saya maksud. Saya sudah kasih sedikit rangkuman tentang masalah yang Oom dan Tante hadapi dengan bursa HongKong, Oom Bram bilang dia akan coba bantu,” Pada saat itu aku menyadari apa yang sedang terjadi. Tanpa sepengetahuanku, ternyata Mama sudah meminta pendapat Kafka untuk menyelesaikan masalah sahamnya yang amblas di bursa saham HongKong itu. Hal ini membuatku bertanya-tanya apakah kedua kakakku tahu-menahu tantang hal ini.
“Oh. Makasih sekali ya, Dok,” ucap Mama sambil tersenyum Kafka hanya mengangguk sambil tersenyum mendengar ucapan terima kasih dari Mama, yang kelihatan semakin memuja Kafka. Sedangkan aku tidak tahu apakah aku harus merasa berterima kasih atas bantuan Kafka atau merasa tersinggung karena dia telah mencampuri urusan keluargaku. Aku rasanya sudah siap mencekik mama. Untuk apa dia menceritakan masalah sensitive itu kepada orang asing seperti Kafka ? kusadari bahwa kini aku sedang mencoba memutuskan siapakah penyebab utama kejengkelanku. Mama yang sudah membeberkan masalah ini atau Kafka yang sudah mencoba untuk membantu? Sebelum aku bisa memutuskan, pembicaraan kami sudah berlanjut untuk membahas kesehatan Papa. Pertemuan itu pun berakhir dengan Kafka memberitahukan bahwa sepertinya kondisi jantung papa sudah jauh lebih baik dan bahwa papa hanya perlu bertemu dengannya lagi bulan januari tahun depan. Kafka hanya pesan kepada Mama supaya selalu memonitor tekanan darah papa agar tidak terlalu tinggi “Jantung, seperti juga bagian tubuh yang lain, kalau sudah sekali diserang, maka akan lebih rentan untuk terkena serangan lagi. Tanpa sadar kadang mereka sebetulnya mengundang serangan itu,” jelas Kafka sambil melirik padaku. Mungkin aku hanya paranoid, tapi apa Kafka memang betul-betul sedang membicarakan tentang jantung papa? “Jadi harus dijaga betul-betul ya, dok?” Tanya mama dengan wajah khawatir. “Iya. Untuk sementara ini jantung Oom memang kelihatan membaik dan bisa bertahan, tapi kita nggak pernah tahu kapan dia tiba-tiba memutuskan untuk give up. Pokoknya makanan harus di jaga supaya tekanan darahnya nggak melonjak-lonjak. Memang saya tahu ini agak sulit, karena kadang kita mau apa yang kita mau,” lanjut Kafka Kali ini dia betul-betul menatapku ketika mengatakannya. “Betul, Dok. Oom ini suka sekali makan gorengan,” mama melaporkan dengan antusias dan langsung mendapatkan kerlingan mata dari papa. Kafka tertawa dan berkata, “Itu memang sudah sifat manusia. Semakin kita nggak boleh dapat, semakin kita mau hal itu.” Oke, aku kini yakin seratus persen bahwa Kafka sedang membicarakan hubunganku dengannya, bukan tentang kesehatan papa. “Begini saja. Kalau memang Oom suka makan gorengan dan sulit untuk berhenti, gimana kalau kita mulai dengan dibatasi dulu? Misalnya hanya satu potong seminggu sekali setiap hari Minggu?” Aku menolak untuk melepaskan tatapanku pada wajah Kafka meskipun wajahku sudah merah seperti tomat dan jantungku sudah melonjak-lonjak tidak karuan. Rasa kesalku karena campur tangan Kafka di dalam menyelesaikan masalah saham keluargaku di HongKong terlupakan sejenak. Sejak kapan pembicaraan mengenai pisang goreng bisa membuatku bereaksi seperti ini? Kucoba mengembuskan napas dari sela-sela gigi agar tidak mendengus. Sepertinya Kafka memang berniat untuk menyabotase segala usahaku untuk membencinya. Oke, aku harus mengubah cara mainku sedikit dan menyesuaikannya dengan Kafka. Aku tidak boleh kalah. Aku harus menang. MENANG… MENANG… Aku merasa cukup bangga dengan diriku karena bisa melalui pertemuan itu tanpa mempermalukan diri sendiri dengan memicu kemarahan yang ditujukan kepada Kafka di dalam diriku. Caranya adalah dengan memikirkan tentang semua keisengan yang telah dilakukannya padaku sewaktu SD dan ketika aku kehabisan memori mengenai pengalaman buruk masa SD-ku itu, aku mulai membayangkan Kafka sedang bercinta dengan wanita lain. Ternyata dua hal itu betul-betul membantuku untuk tetap
mengobarkan api kemarahanku. ***
Dalam waktu kurang dari enam jam aku sudah bisa meluruskan cerita mengenai bantuan dari Kafka itu, yang ternyata diketahui oleh Kak Mikhel, tetapi tidak oleh Kak Viktor. Seperti juga aku, Kak Viktor langsung mengamuk begitu mengetahui tentang urusan pengacara itu. Akhirnya papa harus tangan dengan mengatakan bahwa daripada bertengkar mengenai perkara ini, kami sebaiknya mengatur jadwal pertemuan dengan pengacara Kafka untuk mengetahui apakah dia memang bisa membantu. Tanggung jawab itu kami jatuhkan kepada Kak Mikhel yang langsung mengiyakan setelah menerima ancaman akan diasingkan oleh aku dan Kak Viktor. Kak Mikhel-lah yang telah meminta bantuan Kafka, maka dialah yang harus berurusan dengan masalah ini. Setelah satu masalah itu bisa teratasi, aku bisa memfokuskan pikiranku pada hal penting lainnya, yaitu membuat Kafka bertekuk lutut di hadapanku. Sesuai dengan rencanaku untuk menyesuaikan cara mainku dengan Kafka, flirting melalu SMS kami pun berlanjut. Kadang aku menang, kadang aku langsung. Ronde I – Satu poin untuk Kafka Kafka: kamu kenapa pake scarf waktu nganter papa kamu tempo hari? Lagi sakit? Nadia: gak. Aku Cuma gak mau bikin kamu kaget sama cupang yang ada di leherku. Kafka: mau aku tambahin di paha kamu? Nadia: grow up Kafka: ooohhh… aku rasa kamu tahu waktu kamu duduk di pangkuan aku kalau aku udah grow up Nadia: eeewww…. Ronde II – Satu sama Kafka: aku gak pernah ngerti kenapa orang mo coba 3some. Terlalu rame & pasti ada satu org yang akhirnya gak kebagian Nadia: kamu pasti yang gak kebagian ya, makannya ngomel? Kafka: kok tau? Ada pengalaman pribadi? Nadia: please deh. 3some Cuma buat org yang gak pede sama performanya. Siapa yang perlu 3 some kalo udah ada Viagra? Ronde III – Satu poin lagi untuk Kafka Nadia: biasanya cowok senengnya apa sih buat hadiah ultah ke 40? Kafka: tergantung orangnya Nadia: ini buat bosku. Kalo buku gimana? Kafka: pastiin itu fiksi dan banyak gambarnya Nadia: ada saran judul? Kafka: favoritku Penthouse atau Playboy Nadia: you need to get laid, mate.
Kafka: I’m game if you are, doll. Tempatku? Malam ini, jam 8? Nadia: sori, udah fully book Kafka: kamu bakal lebih puas kalo sama aku Ronde IV – Di-drop karena salah satu pemain membawa-bawa nama ortu Kafka: hadiah apa yang bagus buat perempuan ya? Nadia: kamu seneng S&M, kan? Gimana kalo cambuk sama borgol? Tipe “cewek” yang kamu suka pasti langsung nyembah2 kamu. Kafka: thanks buat idenya, tapi kayaknya mamaku bakalan langsung kena serangan jantung kalo aku kasih begituan Dan terkadang SMS darinya membuatku bingung antara ingin melemparkan sepatuku padanya dan memeluknya Bagian 1 Kafka: how’s your day? Nadia: sibuk bgt Kafka: jgn lupa makan. Minum air putih yg banyak + vitamin C & B-kompleks. Jkt lagi panas bgt soalnya. Nadia: OK Kafka: aku serius lho. Jangan pingsan di jalan Nadia: iya, Pak Dokter. Bagian 2 Kafka: Nad, masih bangun? Nadia: Gak, udah tidur Kafka: Mau ditemenin? Nadia: Gak makasih Kafka: Kalo tadi dah tidur kok masih jwb SMS-ku? Nadia: SMS kamu ngebangunin aku Kafka: Bilang aja kamu nungguin SMS aku Nadia: Terserah deh Kafka: Nad? Nadia: Ya? Kafka: G’nite Nadia: Nite. Kafka: Nad… Nadia: Apaan lagi sih?! Kafka: Sweet dreams Nadia: kamu garing banget deh! Kafka: garingnya kayak apa?
Nadia: Kaf, ini jam 3 pagi. Ngobrolnya besok aja ya Bagian 3 Kafka: Nad, bilang happy b’day Nadia: Happy maaf b’day. Kamu ultah? Kafka: Yep Nadia: Serius? Kafka: Gak sih. Gak serius Nadia: ??? Kafka: Cuma iseng. Gak ada topic Nadia: Aggghhh… kamu kurang kerjaan Kafka: Sori… Bagian 4 Kafka: kamu kok diem aja dah beberapa hari. Gak ada cerita? Nadia: Aku baru beli sepatu baru Kafka: oh ya? Bentuk? Warna? Nadia: Black stilettos Kafka:platform? Nadia: emangnya aku stripper? Kafka: Ha 3x. kapan aku bisa liat sepatunya? Nadia: gak akan Kafka: knp? Nadia: soalnya aku kelihatan kayak stripper kalo pake sepatu itu Kafka: strippers are good Nadia: they are NOT Kafka: yes they are Nadia: NO THEY ARE NOT Kafka: well, I’m sure you look good in any shoes. Stripper looking or not ***
Aku tahu bahwa aku harus mengakui kekalahanku di dalam permainan yang sudah aku desain sendiri pada Minggu ketiga bulan November. Bagaimana aku bisa terus merasa jengkel setelah mendengar kabar bahwa ternyata Oom Bram, pengacara Kafka, memang betul-betul serius untuk membantu orangtuaku? Terlebih lagi ketika tahu bahwa dia, bekerja sama dengan beberapa pengacara di HongKong tidak akan meminta bayaran, kecuali kalau mereka bisa memenangkan kasus ini. Tetapi mereka mengingatkan bahwa prose situ akan melelahkan untuk kami karena mungkin akan memakan waktu mulai dari lima hingga sepuluh tahun. Orangtuaku yang sudah merelakan uang itu sebagai uang hilang langsung setuju dengan perjanjian itu yang pada dasarnya tidak ada ruginya untuk dicoba dan siap untuk melalui proses ini dengan hati terbuka.
Selain itu, bagaimana aku masih bisa marah dan ingin balas dendam pada Kafka setelah satu seri SMS paling menyebalkan tapi juga paling manis yang pernah aku terima dari siapa pun? Kafka: Nad? Nadia: Yep? Kafka: Lagi sibuk? Nadia: Gak, knp? Kafka: Aku mo minta maaf Nadia: soal? Kafka: semua keisenganku ke kamu waktu SD Nadia: besok kiamat ya? Kafka: setau aku gak. Emangnya knp? Nadia: kalo gitu kamu abis kesambet setan apa sampe ngomongnya tiba2 jadi aneh Kafka: aku serius nih! Nadia: knp sekarang? Kafka: maksud kamu? Nadia: knp kamu baru minta maaf sekarang, knp gak dari dulu2? Kafka: aku baru ketemu kamu lagi Nadia: knp gak dari waktu kita pertama ketemu lagi? Kafka: baru berani minya maaf sekarang Nadia: oh… Kafka: kamu masih marah ya sama aku soal waktu kita SD? Nadia: soal yang mana persisnya? Waktu kamu bilang aku pipis di celana? Waktu kamu jambak rambut aku? Waktu kamu ngatain NKOTB banci? Atau waktu kamu bilang ke semua orang aku yg maksa kamu utk cium aku? Kafka: WOW, ternyata kamu masih marah Nadia: aku gak marah. Aku Cuma gk tau knp kamu kok jahat bgt sama aku. Memangnya aku pernah ada salah ya sama kamu sampe kamu sebegitu dendamnya sama aku? Kafka: gak kamu gak salah apa2 kok Nadia: jadi knp? Kafka: aku juga gk tau, tapi setiap kali liat kamu keisenganku selalu timbul Nadia: jadi kamu nyalahin aku? Kafka: Noooo! Nadia: jadi? Kafka: waktu kamu nyebut2 soal itu di Bali, aku jadi mulai mikirin hal itu lagi, tapi sampe sekarang aku tetep gak tau alasan persisnya knp aku iseng bgt sama kamu Nadia: kamu perlu kasih aku alasan yang lebih jelas dari itu Kafka: memangnya kamu bener2 nangis ya habis denger berita kalo kamu yang maksa aku utk cium kamu? Nadia: tersedu2 selama berhari2 Kafka: serius? Nadia: superserius

Kafka: kalo gitu maafin aku ya Nadia: enak aja kamu minta maaf. Kamu udah bikin masa SD-ku sengsara, tau gak? Kafka: lho, katanya tadi gak marah soal itu? Nadia: I lied, okay?! Kafka: Nad? Nadia: go away! Kafka: Nad-Nad? Nadia: don’t call me that Kafka: knp? Nadia: just don’t


Crash Into You - AliaZalea - Bab 10 

No comments:

Post a Comment