Bab
9
16 November
Memang dia pikir dia siapa? Berani-beraninya ngelawan gue, kalau
memang mau kuat-kuatan, hayo deh. Nanti lihat saja siapa yang menang *** Aku
memang sudah dikenal sebagai seseorang yang tidak bisa mengambil keputusan
dengan cepat, aku memerlukan waktu untuk mempertimbangkan segala sesuatunya
sebelum suatu keputusan bisa diambil. Tapi biasanya kalau aku sudah memutuskan
sesuatu maka aku akan memastikan bahwa aku akan mengikuti dan berpegang teguh
pada keputusan itu. Prinsip itu pun kuterapkan pada masalahku dengan Kafka.
Setelah puas menangis dan membuat mataku bengkak, aku mulai berpikir dan
akhirnya memutuskan untuk membalas keisengan Kafka padaku, dan aku tidak akan
berhenti hingga kami impas. Biar dia tahu rasa. Giliranku untuk mengantar Papa
ke rumah sakit pun tiba. Untuk pertama kalinya setelah hampir dua bulan aku
akan bertatap muka lagi dengannya. Ketika kudengar nama papaku di panggil oleh
suster, aku pun mengambil napas dalam-dalam dan mempersiapkan diriku untuk
memasuki medan perang. Kulihat Kafka tersenyum ketika melihat orangtuaku, dan
senyumannya semakin lebar ketika melihatku. Kutampilkan senyuman semanis
mungkin dan menganggukkan kepalaku kepadanya. Kali ini aku memilih untuk duduk
di samping mamaku yang kebetulan memang duduk persis di hadapan Kafka yang
tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali karena sudah tertangkap basah
olehku tidur dengan wanita lain sementara dia flirt habis-habisan denganku.
Mmmhhh… aku akui dia memang pro, tapi aku menolak untuk mengaku kalah sebelum
perang betul-betul di mulai. Tanpa kusangka-sangka pertemuan itu dimulai dengan
Kafka yang menyodorkan sebuah kartu nama kepada mamaku. “Tante, seperti yang
sudah saya janjikan, ini kartu nama pengacara keluarga saya,” Awalnya aku hanya
bisa menatap Kafka bingung, sebelum kemudian mengalihkan perhatian kepada kartu
nama yang kini dipegang mama. Aku, yang tidak pernah berhubungan dengan hukum
tidak tahu-menahu tentang kebonafidan kantor pengacara yang tertera pada kartu
nama itu, tetapi aku berjanji untuk segera mencari informasi mengenainya
setelah pulang dari pertemuan ini. Puas dengan keputusan ini, kini beberapa
pertanyaan mulai muncul di dalam pikiranku. Untuk apa orangtuaku pelu
pengacara? Dan kalaupun mereka memang memerlukan jasa ini, kenapa mereka tidak
minta tolong kepada aku atau kedua kakakku, sebagai anak-anak mereka untuk
mendapat informasi ini? Yang jelas aku bertanya-tanya kenapa mereka justru
harus minta tolong kepada Kafka? Tapi sebelum aku bisa menyuarakan protesku,
Kafka melanjutkan, “Oom Bram ini salah satu partner di sana dan kalau nanti
buat janji untuk konsultasi, sebut saja nama saya, jadi Oom Bram tahu bahwa Oom
dan Tante-lah orang yang saya maksud. Saya sudah kasih sedikit rangkuman
tentang masalah yang Oom dan Tante hadapi dengan bursa HongKong, Oom Bram
bilang dia akan coba bantu,” Pada saat itu aku menyadari apa yang sedang
terjadi. Tanpa sepengetahuanku, ternyata Mama sudah meminta pendapat Kafka
untuk menyelesaikan masalah sahamnya yang amblas di bursa saham HongKong itu.
Hal ini membuatku bertanya-tanya apakah kedua kakakku tahu-menahu tantang hal
ini.
“Oh.
Makasih sekali ya, Dok,” ucap Mama sambil tersenyum Kafka hanya mengangguk
sambil tersenyum mendengar ucapan terima kasih dari Mama, yang kelihatan
semakin memuja Kafka. Sedangkan aku tidak tahu apakah aku harus merasa
berterima kasih atas bantuan Kafka atau merasa tersinggung karena dia telah
mencampuri urusan keluargaku. Aku rasanya sudah siap mencekik mama. Untuk apa
dia menceritakan masalah sensitive itu kepada orang asing seperti Kafka ?
kusadari bahwa kini aku sedang mencoba memutuskan siapakah penyebab utama
kejengkelanku. Mama yang sudah membeberkan masalah ini atau Kafka yang sudah
mencoba untuk membantu? Sebelum aku bisa memutuskan, pembicaraan kami sudah
berlanjut untuk membahas kesehatan Papa. Pertemuan itu pun berakhir dengan
Kafka memberitahukan bahwa sepertinya kondisi jantung papa sudah jauh lebih
baik dan bahwa papa hanya perlu bertemu dengannya lagi bulan januari tahun
depan. Kafka hanya pesan kepada Mama supaya selalu memonitor tekanan darah papa
agar tidak terlalu tinggi “Jantung, seperti juga bagian tubuh yang lain, kalau
sudah sekali diserang, maka akan lebih rentan untuk terkena serangan lagi.
Tanpa sadar kadang mereka sebetulnya mengundang serangan itu,” jelas Kafka
sambil melirik padaku. Mungkin aku hanya paranoid, tapi apa Kafka memang
betul-betul sedang membicarakan tentang jantung papa? “Jadi harus dijaga betul-betul
ya, dok?” Tanya mama dengan wajah khawatir. “Iya. Untuk sementara ini jantung
Oom memang kelihatan membaik dan bisa bertahan, tapi kita nggak pernah tahu
kapan dia tiba-tiba memutuskan untuk give up. Pokoknya makanan harus di jaga
supaya tekanan darahnya nggak melonjak-lonjak. Memang saya tahu ini agak sulit,
karena kadang kita mau apa yang kita mau,” lanjut Kafka Kali ini dia
betul-betul menatapku ketika mengatakannya. “Betul, Dok. Oom ini suka sekali
makan gorengan,” mama melaporkan dengan antusias dan langsung mendapatkan
kerlingan mata dari papa. Kafka tertawa dan berkata, “Itu memang sudah sifat
manusia. Semakin kita nggak boleh dapat, semakin kita mau hal itu.” Oke, aku
kini yakin seratus persen bahwa Kafka sedang membicarakan hubunganku dengannya,
bukan tentang kesehatan papa. “Begini saja. Kalau memang Oom suka makan
gorengan dan sulit untuk berhenti, gimana kalau kita mulai dengan dibatasi
dulu? Misalnya hanya satu potong seminggu sekali setiap hari Minggu?” Aku
menolak untuk melepaskan tatapanku pada wajah Kafka meskipun wajahku sudah
merah seperti tomat dan jantungku sudah melonjak-lonjak tidak karuan. Rasa
kesalku karena campur tangan Kafka di dalam menyelesaikan masalah saham
keluargaku di HongKong terlupakan sejenak. Sejak kapan pembicaraan mengenai
pisang goreng bisa membuatku bereaksi seperti ini? Kucoba mengembuskan napas
dari sela-sela gigi agar tidak mendengus. Sepertinya Kafka memang berniat untuk
menyabotase segala usahaku untuk membencinya. Oke, aku harus mengubah cara
mainku sedikit dan menyesuaikannya dengan Kafka. Aku tidak boleh kalah. Aku
harus menang. MENANG… MENANG… Aku merasa cukup bangga dengan diriku karena bisa
melalui pertemuan itu tanpa mempermalukan diri sendiri dengan memicu kemarahan
yang ditujukan kepada Kafka di dalam diriku. Caranya adalah dengan memikirkan
tentang semua keisengan yang telah dilakukannya padaku sewaktu SD dan ketika
aku kehabisan memori mengenai pengalaman buruk masa SD-ku itu, aku mulai
membayangkan Kafka sedang bercinta dengan wanita lain. Ternyata dua hal itu
betul-betul membantuku untuk tetap
mengobarkan
api kemarahanku. ***
Dalam waktu kurang dari enam
jam aku sudah bisa meluruskan cerita mengenai bantuan dari Kafka itu, yang
ternyata diketahui oleh Kak Mikhel, tetapi tidak oleh Kak Viktor. Seperti juga
aku, Kak Viktor langsung mengamuk begitu mengetahui tentang urusan pengacara
itu. Akhirnya papa harus tangan dengan mengatakan bahwa daripada bertengkar
mengenai perkara ini, kami sebaiknya mengatur jadwal pertemuan dengan pengacara
Kafka untuk mengetahui apakah dia memang bisa membantu. Tanggung jawab itu kami
jatuhkan kepada Kak Mikhel yang langsung mengiyakan setelah menerima ancaman
akan diasingkan oleh aku dan Kak Viktor. Kak Mikhel-lah yang telah meminta
bantuan Kafka, maka dialah yang harus berurusan dengan masalah ini. Setelah
satu masalah itu bisa teratasi, aku bisa memfokuskan pikiranku pada hal penting
lainnya, yaitu membuat Kafka bertekuk lutut di hadapanku. Sesuai dengan
rencanaku untuk menyesuaikan cara mainku dengan Kafka, flirting melalu SMS kami
pun berlanjut. Kadang aku menang, kadang aku langsung. Ronde I – Satu poin
untuk Kafka Kafka: kamu kenapa pake scarf waktu nganter papa kamu tempo hari?
Lagi sakit? Nadia: gak. Aku Cuma gak mau bikin kamu kaget sama cupang yang ada
di leherku. Kafka: mau aku tambahin di paha kamu? Nadia: grow up Kafka: ooohhh…
aku rasa kamu tahu waktu kamu duduk di pangkuan aku kalau aku udah grow up
Nadia: eeewww…. Ronde II – Satu sama Kafka: aku gak pernah ngerti kenapa orang
mo coba 3some. Terlalu rame & pasti ada satu org yang akhirnya gak kebagian
Nadia: kamu pasti yang gak kebagian ya, makannya ngomel? Kafka: kok tau? Ada
pengalaman pribadi? Nadia: please deh. 3some Cuma buat org yang gak pede sama
performanya. Siapa yang perlu 3 some kalo udah ada Viagra? Ronde III – Satu
poin lagi untuk Kafka Nadia: biasanya cowok senengnya apa sih buat hadiah ultah
ke 40? Kafka: tergantung orangnya Nadia: ini buat bosku. Kalo buku gimana?
Kafka: pastiin itu fiksi dan banyak gambarnya Nadia: ada saran judul? Kafka:
favoritku Penthouse atau Playboy Nadia: you need to get laid, mate.
Kafka:
I’m game if you are, doll. Tempatku? Malam ini, jam 8? Nadia: sori, udah fully
book Kafka: kamu bakal lebih puas kalo sama aku Ronde IV – Di-drop karena salah
satu pemain membawa-bawa nama ortu Kafka: hadiah apa yang bagus buat perempuan
ya? Nadia: kamu seneng S&M, kan? Gimana kalo cambuk sama borgol? Tipe
“cewek” yang kamu suka pasti langsung nyembah2 kamu. Kafka: thanks buat idenya,
tapi kayaknya mamaku bakalan langsung kena serangan jantung kalo aku kasih
begituan Dan terkadang SMS darinya membuatku bingung antara ingin melemparkan
sepatuku padanya dan memeluknya Bagian 1 Kafka: how’s your day? Nadia: sibuk
bgt Kafka: jgn lupa makan. Minum air putih yg banyak + vitamin C & B-kompleks.
Jkt lagi panas bgt soalnya. Nadia: OK Kafka: aku serius lho. Jangan pingsan di
jalan Nadia: iya, Pak Dokter. Bagian 2 Kafka: Nad, masih bangun? Nadia: Gak,
udah tidur Kafka: Mau ditemenin? Nadia: Gak makasih Kafka: Kalo tadi dah tidur
kok masih jwb SMS-ku? Nadia: SMS kamu ngebangunin aku Kafka: Bilang aja kamu
nungguin SMS aku Nadia: Terserah deh Kafka: Nad? Nadia: Ya? Kafka: G’nite
Nadia: Nite. Kafka: Nad… Nadia: Apaan lagi sih?! Kafka: Sweet dreams Nadia:
kamu garing banget deh! Kafka: garingnya kayak apa?
Nadia:
Kaf, ini jam 3 pagi. Ngobrolnya besok aja ya Bagian 3 Kafka: Nad, bilang happy
b’day Nadia: Happy maaf b’day. Kamu ultah? Kafka: Yep Nadia: Serius? Kafka: Gak
sih. Gak serius Nadia: ??? Kafka: Cuma iseng. Gak ada topic Nadia: Aggghhh…
kamu kurang kerjaan Kafka: Sori… Bagian 4 Kafka: kamu kok diem aja dah beberapa
hari. Gak ada cerita? Nadia: Aku baru beli sepatu baru Kafka: oh ya? Bentuk?
Warna? Nadia: Black stilettos Kafka:platform? Nadia: emangnya aku stripper?
Kafka: Ha 3x. kapan aku bisa liat sepatunya? Nadia: gak akan Kafka: knp? Nadia:
soalnya aku kelihatan kayak stripper kalo pake sepatu itu Kafka: strippers are
good Nadia: they are NOT Kafka: yes they are Nadia: NO THEY ARE NOT Kafka:
well, I’m sure you look good in any shoes. Stripper looking or not ***
Aku tahu bahwa aku harus
mengakui kekalahanku di dalam permainan yang sudah aku desain sendiri pada
Minggu ketiga bulan November. Bagaimana aku bisa terus merasa jengkel setelah
mendengar kabar bahwa ternyata Oom Bram, pengacara Kafka, memang betul-betul
serius untuk membantu orangtuaku? Terlebih lagi ketika tahu bahwa dia, bekerja
sama dengan beberapa pengacara di HongKong tidak akan meminta bayaran, kecuali
kalau mereka bisa memenangkan kasus ini. Tetapi mereka mengingatkan bahwa prose
situ akan melelahkan untuk kami karena mungkin akan memakan waktu mulai dari
lima hingga sepuluh tahun. Orangtuaku yang sudah merelakan uang itu sebagai
uang hilang langsung setuju dengan perjanjian itu yang pada dasarnya tidak ada
ruginya untuk dicoba dan siap untuk melalui proses ini dengan hati terbuka.
Selain
itu, bagaimana aku masih bisa marah dan ingin balas dendam pada Kafka setelah
satu seri SMS paling menyebalkan tapi juga paling manis yang pernah aku terima
dari siapa pun? Kafka: Nad? Nadia: Yep? Kafka: Lagi sibuk? Nadia: Gak, knp?
Kafka: Aku mo minta maaf Nadia: soal? Kafka: semua keisenganku ke kamu waktu SD
Nadia: besok kiamat ya? Kafka: setau aku gak. Emangnya knp? Nadia: kalo gitu
kamu abis kesambet setan apa sampe ngomongnya tiba2 jadi aneh Kafka: aku serius
nih! Nadia: knp sekarang? Kafka: maksud kamu? Nadia: knp kamu baru minta maaf
sekarang, knp gak dari dulu2? Kafka: aku baru ketemu kamu lagi Nadia: knp gak
dari waktu kita pertama ketemu lagi? Kafka: baru berani minya maaf sekarang
Nadia: oh… Kafka: kamu masih marah ya sama aku soal waktu kita SD? Nadia: soal
yang mana persisnya? Waktu kamu bilang aku pipis di celana? Waktu kamu jambak
rambut aku? Waktu kamu ngatain NKOTB banci? Atau waktu kamu bilang ke semua
orang aku yg maksa kamu utk cium aku? Kafka: WOW, ternyata kamu masih marah
Nadia: aku gak marah. Aku Cuma gk tau knp kamu kok jahat bgt sama aku.
Memangnya aku pernah ada salah ya sama kamu sampe kamu sebegitu dendamnya sama
aku? Kafka: gak kamu gak salah apa2 kok Nadia: jadi knp? Kafka: aku juga gk
tau, tapi setiap kali liat kamu keisenganku selalu timbul Nadia: jadi kamu
nyalahin aku? Kafka: Noooo! Nadia: jadi? Kafka: waktu kamu nyebut2 soal itu di
Bali, aku jadi mulai mikirin hal itu lagi, tapi sampe sekarang aku tetep gak
tau alasan persisnya knp aku iseng bgt sama kamu Nadia: kamu perlu kasih aku
alasan yang lebih jelas dari itu Kafka: memangnya kamu bener2 nangis ya habis
denger berita kalo kamu yang maksa aku utk cium kamu? Nadia: tersedu2 selama
berhari2 Kafka: serius? Nadia: superserius
Kafka:
kalo gitu maafin aku ya Nadia: enak aja kamu minta maaf. Kamu udah bikin masa
SD-ku sengsara, tau gak? Kafka: lho, katanya tadi gak marah soal itu? Nadia: I
lied, okay?! Kafka: Nad? Nadia: go away! Kafka: Nad-Nad? Nadia: don’t call me
that Kafka: knp? Nadia: just don’t
Crash Into You - AliaZalea - Bab 10
No comments:
Post a Comment