Bab
8 30 Oktober Normal nggak sih berfantasi tentang laki-laki yang kita bahkan
nggak suka? Gue benar-benar nggak suka sama dia, tapi kenapa dia selalu ada di
pikiran gue? Kayaknya gue mesti pergi ke neurology untuk cek apa jangan-jangan
ada yang salah sama fungsi otak gue *** Beberapa hari setelah mimpiku itu aku
tidak bisa tidur dengan nyenyak karena setiap kali mulai memasuki siklus REM,
aku langsung terbangun, takut mimpiku akan terulang lagi. Tapi Kafka tidak
hanya menghantui waktu tidurku, dia juga selalu ada di pikiranku ketika aku
dalam keadaan terbangun dan sadar seratus persen. Sepertinya Kafka tidak puas
dengan hanya menyiksa fisikku, dia juga harus mengganggu kesehatan mentalku.
Untuk betul-betul menghapuskannya dari pikiranku aku sampai rela mengikuti satu
sesi kelas yoga yang seharusnya bisa menenangkan pikiranku dan mengeluarkan
unsure-unsur Kafka dari dalam diriku. Tapi sekali lagi sepertinya Kafka tidak
rela melepaskanku, karena dia masih tetap mengirimkan SMS-SMS yang tidak
senonoh padaku. Bodohnya lagi adalah meskipun memiliki kebebasan untuk tidak
menghiraukan SMS itu, aku tidak bisa. Setiap kali dia mengirimkan SMS, aku
harus membalasnya, sehingga akhirnya aku tenggelam dengan rasa bahwa aku
memerlukan SMS-SMS itu di dalam hidupku. Aku tidak tahu bagaimana ini bisa
terjadi, tapi sepertinya aku mulai terobsesi dengan SMS Kafka, atau mungkin
hanya dengan Kafka-nya. Kenyataan itu aku sadari ketika aku mulai mengharapkan
SMS dari Kafka untuk mengisi hari-hariku. Aku mulai memperlakukan SMS itu
seperti dosis insulin yang perlu diambil oleh para pengidap penyakit diabetes
mellitus. Aku tidak pernah terobsesi dengan laki-laki manapun sepanjang hidupku,
bahkan dengan pacar-pacarku, aku selalu memastikan bahwa akulah orang yang
diobsesikan bukan yang terobsesi. Jadi kenapa hal itu harus beda dengan Kafka?
Satu-satunya penjelasan adalah karena Kafka jauh lebih HOT dibandingkan dengan
pcar-pacarku. Bahkan kalaupun mereka semua digabungkan, hasilnya masih tetap
kalah dengan Kafka. Parahnya lagi, aku mulai memikirkan apakah aku dan Kafka
bisa betul-betul cocok. Kalau saja aku tahu tanggal lahirnya, aku mungkin sudah
berkutat untuk melakukan riset kecocokan zodiac kami. Seminggu kemudian keadaan
juga tidak membaik karena aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri, “Apa
yang Kafka mau dariku?” di satu sisi aku rasa dia menyukaiku karena laki-laki
mana yang akan mencumbu seorang perempuan dan mengirimkan SMS-SMS dengan
kata-kata yang aku yakin akan kena sensor oleh Lembaga Sensor Film, kalau dia
tidak betul-betul menyukai perempuan itu? Tapi di sisi lain, aku khawatir Kafka
hanya menggunakanku sebagai sasaran keisengannya saja. Aku tidak terbiasa
dengan situasi yang tidak pasti seperti ini dan tidak tahu bagaimana
menghadapinya. Mungkin itu sebabnya kenapa selama ini aku selalu menghindar
dari laki-laki seperti Kafka. Tipe laki-laki yang terlalu HOT untukku dan jauh
diluar ligaku. Tipe yang menghiasi fantasi dan mimpiku tetapi tidak dunia
nyataku. Aku selalu menghindari mereka karena tahu bahwa mereka hanya bisa
membawa patah hati, bukan kasih sayang. Well… mungkin mereka bisa memberikan
kasih sayang. Tetapi bukan untuk perempuan sepertiku. Tapi tingkah laku Kafka
selama sebulan ini telah membuatku berani bermimpi. Dia telah memberiku harapan
bahwa ternyata pendapatku mengenai laki-laki sepertinya salah, bahwa ternyata
aku cukup menarik untuk mendapatkan perhatian dari laki-laki sepertinya. Mulai
merasa panic
dengan
harapan yang terlalu meluap-luap dan kemungkinan besar akan tumpah kemana-mana
sebelum aku bisa mematikan api yang menyebabkan apa pun yang ada di dalam panci
itu menjadi tidak tenang, aku menelepon ketiga sobatku untuk pertemuan darurat.
“Apaan sih yang darurat banget sampai nggak bisa nunggu? Albert ngamuk sama gue
nih jadinya,” ucap Jana yang datang sendiri tanpa calon suami ataupun anak
kembarnya. Mendengar nama Albert disebut-sebut aku langsung teringat akan wajah
wedding planner Jana itu. Dia laki-laki paling gay dan nyentrik yang pernah
kutemui. Albert selalu memanggil semua orang “Darling”. Pertama kali bertemu
dengannya aku tidak menyadari bahwa itu memang kepribadiannya dan tidak ada apa
pun yang dapat kulakukan untuk mengubahnya. “Lho… memang apa urusannya Albert
ngamuk sama elo?” Tanya Dara sambil menghirup cappuccino. “Gue perlu fitting
kebaya resepsi gue lagi, soalnya kayaknya gue nambah berat badan. Dia harus
buru-buru ngerjainnya karena gue harus ketemu elo,” Jana akan menikah seminggu
lagi dan aku merasa agak sedikit bersalah karena tidak bisa membantu banyak
dalam mempersiapkan pesta pernikahannya itu. Meskipun Jana memaafkan situasiku
setelah tahu keadaan papaku. “Mmmhhh,” ucap Adri. Dan hanya dengan desahan itu
kamu bertiga langsung menatapnya. “Kenapa lo ‘mmmhhh’, Dri?” tanyaku “Memangnya
nggak boleh gue ‘mmmhhh’?” balas Adri cuek sambil mencoba memancing sebongkah
es dari gelas raspberry ice chocolate-nya dengan dua sedotan. Aku dan kedua
sobatku yang lain menatap Adri curiga. Tapi kali ini sepertinya memang Adri
tidak bermaksud apa-apa ketika mengucapkan kata itu. Kami yang sudah terbiasa
dengan sifat Adri yang diam-diam tetapi sebetulnya lebih tahu dan mengerti apa
yang sedang terjadi di sekitarnya selalu waswas kalau saja dia akan mempraktikkan
kemampuannya untuk menganalisis orang dengan sempurna kepada kami bertiga Adri
yang masih sibuk dengan esnya baru menyadari tatapan kami dan berkata, “Kenapa
pada ngelihatin gue kayak gitu sih?” tapi tidak ada satu pun dari kami yang
memberikan penjelasan “So emergency-nya menyangkut ‘siapa’ atau ‘apa’?” lanjut
Adri sebelum kemudian mengisap bongkahan es yang sudah berhasil masuk ke
mulutnya Tiba-tiba aku menjadi ragu untuk menceritakan masalahku. Aku bahkan
tidak tahu apakah ini bisa dikategorikan sebagai keadaan darurat. Tentu saja
fitting kebaya Jana kelihatan lebih penting dibandingkan dengan hubunganku
dengan Kafka, kalau itu bisa dikategorikan sebagai hubungan.
Aku sudah memutar otakku untuk
memikirkan suatu cara agar bisa membicarakan masalahku dengan Kafka tanpa
terdengar desperate, tapi tidak satu ide pun keluar. “Gue cewek gampangan,”
ucapku sebelum aku bisa menghentikan lidahku. Dan sepertinya kata-kata itu
kuucapkan dengan cukup keras karena beberapa pelanggan Starbucks menatapku sambil
nyengir. Oh great… tuhan sepertinya memang ingin menyiksaku karena sudah
beberapa bulan ini tidak pernah menyempatkan diri untuk mengucapkan kata syukur
pada-nya. “Hah?” teriak Jana dengan mata terbelalak. “Okay, I need to drink
something,” dan tanpa meminta izin terlebih dahulu langsung ngembat gelas
kopiku. Sepertinya karma memang sedang berpihak padaku karena Jana baru saja
minum satu teguk sebelum dia terbatuk-batuk. “Yuck, apaan nih?” tanyanya sambil
membuka tutup gelas dan mengintip black coffe-ku. “Bagusss… gue jadi ada
temannya,” ucap Dara sambil bertepuk tangan gembira. Sedangkan Adri hanya
tertawa
terkekeh-kekeh sambil menggeleng-geleng. Aku kurang tahu apakah dia bereaksi
seperti itu karena mendengar pengakanku atau karena melihat kelakuan Jana yang
kini sedang mendorong gelas kopiku kembali ke arahku dengan jari kelingkingnya
bagaikan kopiku itu racun tikus. “Kenapa lo pikir lo cewek gampangan?” lanjut
Jana “Karen ague sudah ngebolehin cowok yang bukan pacar gue nyiumin gue sampai
bibir gue bengkak,” bisikku cepat sebelum aku kehilangan keberanian Jana hanya
mengangkat bahu masih dengan wajah sedikit terkesima, sepertinya dia belum bisa
menerima kenyataan bahwa aku menganggap diriku sebagai cewek gampangan. Adri
melambaikan tangan untuk memintaku melanjutkan ceritaku. Dan dengan hati-hati
dan suara berbisik aku pun menceritakan aktivitasku baru-baru ini. Aku mencoba
merangkumnya agar lebih terdengar seperti film dengan rate PG daripada film
untuk delapan belas tahun ke atas. Meskipun begitu, aku masih membuat mereka
bertiga terpekik-pekik. Kulihat wajah Dara memerah, sedangkan Jana berkata,
“Humph… sofa, kreatif juga dia.” Mau tidak mau nama Kafka keluar juga, karena
tentunya mereka ingin tahu siapakah laki-laki yang sudah membuatku “terobsesi”.
Ceritaku memakan waktu agak lama karena aku harus mengikutsertakan hal-hal
penting yang terjadi antara aku dan Kafka ketika kami SD. “Tunggu… tunggu… jadi
pada dasarnya cowok super HOT itu dokter bokap lo oh ya omong-omong papa lo
gimana kabarnya?” ucap Jana tanpa titik dan koma. “Sudah baikan sih. Tapi mesti
rutin cek jantungnya,” jawabku. Ketika ketiga sobatku tidak mengeluarkan
kata-kata lagi, aku pun mendesak, “Jadi apa menurut lo pada dia Cuma iseng saja
sama gue?” “Nad, sori… betulin ya kalau gue salah, tapi gue ada rasa kok
kayaknya ada sesuatu yang lo nggak mau bilang ke kami tentang Kafka deh,” ucap
Adri Tuh kan. Aku yakin Adri bukan hanya seorang psikolog, tapi dia juga dukun.
Bagaimana dia bisa tahu sih bahwa aku memang menyembunyikan sesuatu dari mereka?
“Uhm… oke… gue Cuma bingung saja. Apa yang laki-laki kayak Kafka mau dari gue,”
jelasku. Ketika melihat kebingungan di mata ketiga sobatku, aku harus
menjelaskan panjang-lebar mengenai pendapatku tentang laki-laki seperti Kafka.
Mereka mendengarkanku dengan seksama dan bisa kulihat mata Dara yang mulai
terbelalak ketika aku mengatakan bahwa adalah mustahil bagi Kafka untuk bisa
menyukaiku. “Gue mau Tanya deh. Apa elo memang mau punya hubungan serius sama
dia atau lo hanya terobsesi tentang perasaan dia ke elo karena lo Cuma mau
buktiin ke diri lo sendiri bahwa lo nggak akan bisa ngedapatin laki-laki kayak
dia?” pertanyaan Dara ini membuatku terdiam karena aku tidak tahu jawabannya.
Seumur hidupku aku tidak pernah menyangka bahwa pertanyaan seperti ini akan
keluar dari mulut Dara. Adri-lah yang biasanya berperan sebagai filsuf di dalam
lingkaran persahabatan kami. “Atau mungkin lo berharap bahwa dia betul-betul
ada rasa sama elo dan dengan begitu bisa ngebuktiin bahwa teori lo tentang
laki-laki kayak dia itu salah?” lanjut Dara Whoa… Dara semakin membuatku
bingung. Seharusnya aku tidak kaget bahwa Dara bisa langsung melihat dilemma
yang kuhadapi, karena di antara kami semua Dara-lah yang paling berpengalaman
didekati oleh laki-laki sejenis Kafka. Meskipun aku yakin bahwa Dara tidak
pernah memiliki dilemma seperti yang kini kuhadapi. Dia kelihatan seperti
supermodel, bukan seperti wanita biasa sepertiku, maka orang yang melihatnya
jalan dengan laki-laki seperti Kafka pasti tidak akan bingung. Tetapi, kalau
sampai
ada yang melihatku jalan dengan Kafka, maka dia pasti akan menyangka bahwa aku
menggunakan pellet untuk mendapatkannya.
“Nad, meskipun Kafka itu
mungkin superhot dan menurut lo bukan tipe laki-laki yang biasa lo date atau
yang biasa kelihatan tertarik sama elo, tapi satu hal yang elo mesti ingat
adalah bahwa pada dasarnya Kafka itu laki-laki. Dan kebanyakan laki-laki suka
sama perempuan yang tahu cara ngejaga diri sendiri, seperti elo ini,” sambung
Dara. “Jadi dengan begitu, kita bisa menyimpulkan bahwa Kafka bukan Cuma iseng
doang sama elo,” ucap Adri sambil tersenyum. “Tapi satu hal yang elo mesti tahu
adalah bahwa flirting gila-gilaan tidak menjamin bahwa dia mau serius sama elo,
kadang-kadang malah sebaliknya. Laki-laki itu bisa serius sama satu perempuan
tapi masih flirt sama perempuan lain,” sambung Jana yang langsung menerima
tatapan siap dibunuh oleh Adri “Nggak usah melototin gue kayak gitu deh, Dri.
Itu memang apa adanya, kan? Nadia harus tahu itu,” Jana mencoba membela diri.
Aku tahu kata-kata Jana benar. Aku tidak bisa menyalahkan Jana yang
membentangkan fakta agar aku bisa melihat keadaan ini dengan lebih realistis.
Selama ini aku dan Kafka memang belum memiliki percakapan yang normal sekali
pun. Setiap percakapan kami meskipun tidak dimulai tapi selalu berakhir dengan
flirting. “Oke, itu semua asumsi saja. Meskipun gue berharap bahwa asumsi gue
dan Dara lebih benar daripada asumsi Jana,” suara Adri membangunkanku dari
lamunan. “Tapi mungkin ada baiknya kalau lo Tanya langsung ke orangnya,”
lanjutnya. Mendengar usul dari Adri mataku langsung terbelalak. Aku lebih
memilih bunuh diri daripada harus “menembak” laki-laki lebih dulu, apalagi
laki-laki seperti Kafka yang kemungkinan besar akan menertawakanku sebelum
kemudian menolakku. Melihat reaksiku, Adri langsung menambahkan, “Biar jelas
dan nggak ada salah paham. Mungkin dia juga lagi nunggu sinyal dari elo untuk
ngasih dia tanda ‘Oke’ untuk jadi lebih serius sama elo.” “Memangnya lo mau
serius sama dia?” Jana nyeletuk. Saat itu aku baru tahu jawaban dari dilemaku.
Aku mengangguk. “Gue nggak tahu apa kami memang cocok, tapi gue
setidak-tidaknya mau coba untuk kenal dia lebih jauh,” jelasku. Kulihat ketiga
sobatku mengangguk sambil tersenyum. “Kalau gitu lo ada tiga pilihan untuk
nyelesaiin masalah ini.” Aku langsung membuka telingaku lebar-lebar dan
menunggu apa yang akan Adri katakana selanjutnya. “Pertama, lo bisa sabar dan
kasih Kafka waktu sampai dia berani untuk mutusin apa dia sudah siap untuk
serius atau dia masih dalam tahap penjajakan,” Aku menggeleng untuk menandakan
bahwa aku tidak bisa menerima solusi ini. Jantungku tidak akan bisa tahan
dengan sesuatu yang tidak pasti seperti ini lagi. “Kedua, lo bisa Tanya ke dia
tentang perasaan dia ke elo,” Adri mengedipkan mata kanannya ketika mengatakan
ini, “dan lo pasrah saja sama reaksi dia. Ini memang risikonya tinggi karena
dia bisa nginjak-nginjak harga diri dan hati lo, tapi… ada kemungkinan dia
bakalan bilang dia sudah cinta mati sama elo dari SD.” “Menurut lo dia sudah
cinta sama gue dari SD?” tanyaku penuh harap. “Definitely,” jawab Adri yakin
“Itu sebabnya mungkin kenapa dia suka gangguin elo terus,” sambung Jana.
“Kalau
dia ketemu sama elonya waktu SMA mungkin dia sudah nembak elo, tapi berhubung
ini SD gitu lho,” lanjut Dara. Pada saat itulah aku mengerti kenapa tiga
perempuan ini adalah sobatku, mereka lebih percaya pada diriku daripada aku
sendiri. Aku langsung membayangkan sisi positif dari skenario kedua ini dan
memutuskan bahwa ini pilihan yang bisa kupertimbangkan. Aku mengharapkan bahwa
Adri bisa mengeluarkan ide yang lebih baik lagi dengan pilihan yang ketiga.
“Yang ketiga apa?” tanyaku antusias. “Ketiga, lo bisa telepon dia dan bilang
betapa lo mau coba aktivitas yang kemarin lo lakuin sama dia di sofa- di atas
tempat tidur.” Kata-kata ini keluar dari Jana yang langsung disambut tawa kami
semua. “Oke… itu memang lucu, tapi serius ini. Apa pilihan gue yang ketiga,
Dri?” tanyaku setelah tawa kami agak reda. “Lo telepon dia…” “Yeee… lo bakalan
ngulang apa yang Jana omongin lagi,” omelku memotong omongan Adri “Eh… nggak
semua orang ya pikirannya sekotor ibu satu itu,” balas Adri sambil tertawa dan
mengerling pada Jana Setelah yakin bahwa tidak ada yang akan memotong
kata-katanya lagi, Adri melanjutkan, “Seperti yang tadi gue sudah bilang. Lo
telepon dia…,” kutegakkan punggungku menunggu kata-kata selanjutnya, “dan
bilang bahwa lo mau nikahin dia besok supaya lo bisa nyiumin dia kapan saja dan
di mana saja lo mau, punya anak sebanyak-banyaknya dari dia, dan hidup bahagia
selama-lamanya.” Pertama-tama kamu semua menyangka bahwa Adri serius, tapi
ketika melihat wajahnya yang merah karena tidak bisa menahan tawanya lagi, kami
semua langung tertawa bersama-sama. “Sialan lo,” ucapku. Aku sebetulnya mau
meneriakkan makian itu, tetapi aku tidak mau menjadi pusat perhatian para
pelanggan Starbucks lagi. ***
Seminggu kemudian, ketika aku
sedang berada diresepsi pernikahan Jana (yang lebih tepat untuk disebut sebagai
pertunjukan fashion karena penuh dengan orang-orang paling cantik dan ganteng
dengan pakaian paling glamor yang pernah kulihat sepanjang hidupku), dan
menemukan diriku sama sekali tidak tertarik pada semua laki-laki single yang
ada karena yang ada di pikiranku hanya Kafka, kusadari bahwa aku harus
mengumpulkan cukup keberanian untuk berbicara dengan Kafka setelah pulang dari
acara itu. Aku akan mengambil resiko dan mengikuti saran Adri yang kedua, yaitu
untuk menanyakan perasaan Kafka padaku dan siap menerima apa pun
konsekuensinya. Bayangan bahwa Kafka mungkin sudah menyukaiku semenjak SD
membuatku bersemangat untuk berbicara dengannya. Aku pun sudah siap untuk
melakukan harakiri kalau Kafka menolakku. Kupikir karena itu adalah hari Minggu
sore, maka kemungkinan besar aku tidak akan mengganggu pekerjaannya. Aku tidak
tahu apa yang bisa dilakukan oleh seorang dokter pada hari Minggu sore, tapi
aku berharap mereka aka nada di rumah dengan keluarga mereka dan mempersiapkan
diri untuk hari Senin. Pada saat itu aku baru sadar bahwa meskipun kami
bertengkar setiap hari selama hampir dua tahun semasa SD, tetapi aku sama
sekali tidak mengenal Kafka. Aku tidak tahu apakah dia punya keluarga. Apakah
dia memiliki kakak atau adik, atau apakah dia anak tunggal? Apa keluarganya
tinggal di Jakarta? Apa orangtuanya merasa bangga karena dia sudah menjadi
dokter? Oh my God… apa yang sudah terjadi padaku? Sejak kapan aku memikirkan
tentang keluarga seorang laki-laki yang bahkan
bukan
pacarku? Sepertinya akhir-akhir ini di dalam pikiranku banyak terlintas hal-hal
yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya. Sebelum aku bertemu dengan Kafka lagi.
Aku berjalan bolak-balik di kamar kosku untuk mengatur napas agar bisa
berbicara dengan nada normal dan tidak terdengar panic. Setelah yakin bahwa aku
tidak akan tiba-tiba muntah begitu mendengar suaranya, aku pun menekan nomor HP
Kafka. Aku harus menunggu agak lama sebelum kudengar suara Kafka di ujung
saluran telepon. “Nadia?” Kafka terdengar ragu. Hatiku langsung berbunga-bunga
ketika mendengarnya menyebut namaku. Itu berarti bahwa nomor HP-ku sudah
tercatat di dalam address book-nya sehingga dia sudah tahu bahwa akulah yang
menelepon sebelum mendengar suaraku, “Hei, Kaf,” balasku, mencoba terdengar
tenang tapi tidak berhasil karena suaraku terdengar terlalu ceria. “Oom nggak
apa-apa, kan?” aku merasa agak jengkel ketika menyadari bahwa dia jelas-jelas
menyangka bahwa aku tidak akan meneleponnya kalau bukan karena papaku. “Oh iya…
Papa baik-baik saja,” balasku, mencoba terdengar semanis mungkin “Jadi kenapa
kamu telepon aku?” mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi Kafka terdengar
seperti sedang kehabisan napas. “Eh… kamu kok kedengarannya kayak orang habis
jogging gitu sih? Kamu lagi di gym, ya?” “Nggak aku lagi di rumah.” Meskipun
Kafka terdengar ramah, tetapi cara dia bicara terdengar terlalu formal. Lain
sekali dengan cara dia mengirimkan SMS padaku, dan tiba-tiba saja aku
kehilangan keberanianku. “Nad?” kudengar Kafka memanggilku “Ya?” jawabku
otomatis “Kamu kenapa telepon aku?” “Oh ya… aku telepon soalnya… aku Cuma… aku
mau…. Aku mau Tanya sesuatu ke kamu,” akhirnya aku bisa juga mengeluarkan
kata-kata itu . “Oke,” ucap Kafka. Firasatku mengatakan untuk mengakhiri
pembicaraan itu sampai di situ, tapi terlambat. “Aku mau Tanya kenapa kamu…”
Kata-kataku terhenti ketika kudengar suara seseorang wanita bertanya, “Who’s
that?” “A friend of mine,” balas Kafka. Aku merasa seperti baru saja ditampar
olehnya dan mataku mulai terasa panas. Ternyata Kafka tidak menganggapku lebih
dari sekadar teman. Kalau Kafka memperlakukan semua temannya seperti dia
memperlakukanku, dengan mengirimkan SMS-SMS sensual dan menciumku sampai aku
kehabisan napas, maka aku bertanya-tanya bagaimanakah dia memperlakukan orang
yang special untuknya. “Well, can you please tell your friend to call back
later and come back to bed,” ucap wanita itu lagi dan disusul dengan bunyi yang
hanya bisa digambarkan sebagai ciuman. Bed? Apa aku tidak salah dengar?
Sekarang sudah jam empat sore, kenapa Kafka masih berada di tempat tidur?
Dengan seorang wanita, lagi. Tiba-tiba bayangan dia tubuh manusia yang tidak mengenakan
satu helai pakaian pun di atas tempat tidur dengan seprei yang sudah kusut
terlintas di kepalaku. Oh my Goooddd! Betapa bodohnya aku yang selama ini
menyangka bahwa Kafka bukan hanya iseng denganku. Sekarang sudah terbukti, di
MEMANG hanya iseng denganku. “In a minute,” kudengar Kafka berkata samar-samar
dan disusul dengan, “Nad, kamu tadi mau Tanya
apa?”
kini suaranya lebih jelas. Aku langsung terbangun dari shock-ku. “Nggak… nggak
ada,” ucapku dan tanpa menunggu jawaban dari Kafka aku langsung menutup telepon
itu. Meskipun mataku sudah semakin memanas dan tenggorokanku sesak, tetapi aku
tidak bisa menangis. Aku tidak bisa menangisi kesalahan yang disebabkan
kebodohanku sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa menyangka bahwa laki-laki
seperti Kafka bisa tertarik padaku? Aku terlalu plain untuknya. Aku tidak
cantik dan tubuhku tidak seperti supermodel. Pada detik itu aku kembali
menyadari semua kekuranganku. Sudah selama bertahun-tahun belakangan ini aku
tidak pernah lagi peduli tentang pendapat orang mengenai penampilanku seperti
ketika aku SD sampai SMA, tapi sekarang memori tentang Kafka yang tidak mau
mengakui bahwa dia sudah menciumku waktu SD, kembali. Apakah Kafka masih
melihatku sebagai anak perempuan itu? Anak perempuan yang tidak menarik sama sekali
dan membosankan. Tanpa kusadari tetesan air mata sudah mengalir dan membasahi
pipiku.
No comments:
Post a Comment