Saturday, September 5, 2015

Crash Into You - AliaZalea - Bab 8

Bab 8 30 Oktober Normal nggak sih berfantasi tentang laki-laki yang kita bahkan nggak suka? Gue benar-benar nggak suka sama dia, tapi kenapa dia selalu ada di pikiran gue? Kayaknya gue mesti pergi ke neurology untuk cek apa jangan-jangan ada yang salah sama fungsi otak gue *** Beberapa hari setelah mimpiku itu aku tidak bisa tidur dengan nyenyak karena setiap kali mulai memasuki siklus REM, aku langsung terbangun, takut mimpiku akan terulang lagi. Tapi Kafka tidak hanya menghantui waktu tidurku, dia juga selalu ada di pikiranku ketika aku dalam keadaan terbangun dan sadar seratus persen. Sepertinya Kafka tidak puas dengan hanya menyiksa fisikku, dia juga harus mengganggu kesehatan mentalku. Untuk betul-betul menghapuskannya dari pikiranku aku sampai rela mengikuti satu sesi kelas yoga yang seharusnya bisa menenangkan pikiranku dan mengeluarkan unsure-unsur Kafka dari dalam diriku. Tapi sekali lagi sepertinya Kafka tidak rela melepaskanku, karena dia masih tetap mengirimkan SMS-SMS yang tidak senonoh padaku. Bodohnya lagi adalah meskipun memiliki kebebasan untuk tidak menghiraukan SMS itu, aku tidak bisa. Setiap kali dia mengirimkan SMS, aku harus membalasnya, sehingga akhirnya aku tenggelam dengan rasa bahwa aku memerlukan SMS-SMS itu di dalam hidupku. Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi, tapi sepertinya aku mulai terobsesi dengan SMS Kafka, atau mungkin hanya dengan Kafka-nya. Kenyataan itu aku sadari ketika aku mulai mengharapkan SMS dari Kafka untuk mengisi hari-hariku. Aku mulai memperlakukan SMS itu seperti dosis insulin yang perlu diambil oleh para pengidap penyakit diabetes mellitus. Aku tidak pernah terobsesi dengan laki-laki manapun sepanjang hidupku, bahkan dengan pacar-pacarku, aku selalu memastikan bahwa akulah orang yang diobsesikan bukan yang terobsesi. Jadi kenapa hal itu harus beda dengan Kafka? Satu-satunya penjelasan adalah karena Kafka jauh lebih HOT dibandingkan dengan pcar-pacarku. Bahkan kalaupun mereka semua digabungkan, hasilnya masih tetap kalah dengan Kafka. Parahnya lagi, aku mulai memikirkan apakah aku dan Kafka bisa betul-betul cocok. Kalau saja aku tahu tanggal lahirnya, aku mungkin sudah berkutat untuk melakukan riset kecocokan zodiac kami. Seminggu kemudian keadaan juga tidak membaik karena aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri, “Apa yang Kafka mau dariku?” di satu sisi aku rasa dia menyukaiku karena laki-laki mana yang akan mencumbu seorang perempuan dan mengirimkan SMS-SMS dengan kata-kata yang aku yakin akan kena sensor oleh Lembaga Sensor Film, kalau dia tidak betul-betul menyukai perempuan itu? Tapi di sisi lain, aku khawatir Kafka hanya menggunakanku sebagai sasaran keisengannya saja. Aku tidak terbiasa dengan situasi yang tidak pasti seperti ini dan tidak tahu bagaimana menghadapinya. Mungkin itu sebabnya kenapa selama ini aku selalu menghindar dari laki-laki seperti Kafka. Tipe laki-laki yang terlalu HOT untukku dan jauh diluar ligaku. Tipe yang menghiasi fantasi dan mimpiku tetapi tidak dunia nyataku. Aku selalu menghindari mereka karena tahu bahwa mereka hanya bisa membawa patah hati, bukan kasih sayang. Well… mungkin mereka bisa memberikan kasih sayang. Tetapi bukan untuk perempuan sepertiku. Tapi tingkah laku Kafka selama sebulan ini telah membuatku berani bermimpi. Dia telah memberiku harapan bahwa ternyata pendapatku mengenai laki-laki sepertinya salah, bahwa ternyata aku cukup menarik untuk mendapatkan perhatian dari laki-laki sepertinya. Mulai merasa panic
dengan harapan yang terlalu meluap-luap dan kemungkinan besar akan tumpah kemana-mana sebelum aku bisa mematikan api yang menyebabkan apa pun yang ada di dalam panci itu menjadi tidak tenang, aku menelepon ketiga sobatku untuk pertemuan darurat. “Apaan sih yang darurat banget sampai nggak bisa nunggu? Albert ngamuk sama gue nih jadinya,” ucap Jana yang datang sendiri tanpa calon suami ataupun anak kembarnya. Mendengar nama Albert disebut-sebut aku langsung teringat akan wajah wedding planner Jana itu. Dia laki-laki paling gay dan nyentrik yang pernah kutemui. Albert selalu memanggil semua orang “Darling”. Pertama kali bertemu dengannya aku tidak menyadari bahwa itu memang kepribadiannya dan tidak ada apa pun yang dapat kulakukan untuk mengubahnya. “Lho… memang apa urusannya Albert ngamuk sama elo?” Tanya Dara sambil menghirup cappuccino. “Gue perlu fitting kebaya resepsi gue lagi, soalnya kayaknya gue nambah berat badan. Dia harus buru-buru ngerjainnya karena gue harus ketemu elo,” Jana akan menikah seminggu lagi dan aku merasa agak sedikit bersalah karena tidak bisa membantu banyak dalam mempersiapkan pesta pernikahannya itu. Meskipun Jana memaafkan situasiku setelah tahu keadaan papaku. “Mmmhhh,” ucap Adri. Dan hanya dengan desahan itu kamu bertiga langsung menatapnya. “Kenapa lo ‘mmmhhh’, Dri?” tanyaku “Memangnya nggak boleh gue ‘mmmhhh’?” balas Adri cuek sambil mencoba memancing sebongkah es dari gelas raspberry ice chocolate-nya dengan dua sedotan. Aku dan kedua sobatku yang lain menatap Adri curiga. Tapi kali ini sepertinya memang Adri tidak bermaksud apa-apa ketika mengucapkan kata itu. Kami yang sudah terbiasa dengan sifat Adri yang diam-diam tetapi sebetulnya lebih tahu dan mengerti apa yang sedang terjadi di sekitarnya selalu waswas kalau saja dia akan mempraktikkan kemampuannya untuk menganalisis orang dengan sempurna kepada kami bertiga Adri yang masih sibuk dengan esnya baru menyadari tatapan kami dan berkata, “Kenapa pada ngelihatin gue kayak gitu sih?” tapi tidak ada satu pun dari kami yang memberikan penjelasan “So emergency-nya menyangkut ‘siapa’ atau ‘apa’?” lanjut Adri sebelum kemudian mengisap bongkahan es yang sudah berhasil masuk ke mulutnya Tiba-tiba aku menjadi ragu untuk menceritakan masalahku. Aku bahkan tidak tahu apakah ini bisa dikategorikan sebagai keadaan darurat. Tentu saja fitting kebaya Jana kelihatan lebih penting dibandingkan dengan hubunganku dengan Kafka, kalau itu bisa dikategorikan sebagai hubungan.
Aku sudah memutar otakku untuk memikirkan suatu cara agar bisa membicarakan masalahku dengan Kafka tanpa terdengar desperate, tapi tidak satu ide pun keluar. “Gue cewek gampangan,” ucapku sebelum aku bisa menghentikan lidahku. Dan sepertinya kata-kata itu kuucapkan dengan cukup keras karena beberapa pelanggan Starbucks menatapku sambil nyengir. Oh great… tuhan sepertinya memang ingin menyiksaku karena sudah beberapa bulan ini tidak pernah menyempatkan diri untuk mengucapkan kata syukur pada-nya. “Hah?” teriak Jana dengan mata terbelalak. “Okay, I need to drink something,” dan tanpa meminta izin terlebih dahulu langsung ngembat gelas kopiku. Sepertinya karma memang sedang berpihak padaku karena Jana baru saja minum satu teguk sebelum dia terbatuk-batuk. “Yuck, apaan nih?” tanyanya sambil membuka tutup gelas dan mengintip black coffe-ku. “Bagusss… gue jadi ada temannya,” ucap Dara sambil bertepuk tangan gembira. Sedangkan Adri hanya
tertawa terkekeh-kekeh sambil menggeleng-geleng. Aku kurang tahu apakah dia bereaksi seperti itu karena mendengar pengakanku atau karena melihat kelakuan Jana yang kini sedang mendorong gelas kopiku kembali ke arahku dengan jari kelingkingnya bagaikan kopiku itu racun tikus. “Kenapa lo pikir lo cewek gampangan?” lanjut Jana “Karen ague sudah ngebolehin cowok yang bukan pacar gue nyiumin gue sampai bibir gue bengkak,” bisikku cepat sebelum aku kehilangan keberanian Jana hanya mengangkat bahu masih dengan wajah sedikit terkesima, sepertinya dia belum bisa menerima kenyataan bahwa aku menganggap diriku sebagai cewek gampangan. Adri melambaikan tangan untuk memintaku melanjutkan ceritaku. Dan dengan hati-hati dan suara berbisik aku pun menceritakan aktivitasku baru-baru ini. Aku mencoba merangkumnya agar lebih terdengar seperti film dengan rate PG daripada film untuk delapan belas tahun ke atas. Meskipun begitu, aku masih membuat mereka bertiga terpekik-pekik. Kulihat wajah Dara memerah, sedangkan Jana berkata, “Humph… sofa, kreatif juga dia.” Mau tidak mau nama Kafka keluar juga, karena tentunya mereka ingin tahu siapakah laki-laki yang sudah membuatku “terobsesi”. Ceritaku memakan waktu agak lama karena aku harus mengikutsertakan hal-hal penting yang terjadi antara aku dan Kafka ketika kami SD. “Tunggu… tunggu… jadi pada dasarnya cowok super HOT itu dokter bokap lo oh ya omong-omong papa lo gimana kabarnya?” ucap Jana tanpa titik dan koma. “Sudah baikan sih. Tapi mesti rutin cek jantungnya,” jawabku. Ketika ketiga sobatku tidak mengeluarkan kata-kata lagi, aku pun mendesak, “Jadi apa menurut lo pada dia Cuma iseng saja sama gue?” “Nad, sori… betulin ya kalau gue salah, tapi gue ada rasa kok kayaknya ada sesuatu yang lo nggak mau bilang ke kami tentang Kafka deh,” ucap Adri Tuh kan. Aku yakin Adri bukan hanya seorang psikolog, tapi dia juga dukun. Bagaimana dia bisa tahu sih bahwa aku memang menyembunyikan sesuatu dari mereka? “Uhm… oke… gue Cuma bingung saja. Apa yang laki-laki kayak Kafka mau dari gue,” jelasku. Ketika melihat kebingungan di mata ketiga sobatku, aku harus menjelaskan panjang-lebar mengenai pendapatku tentang laki-laki seperti Kafka. Mereka mendengarkanku dengan seksama dan bisa kulihat mata Dara yang mulai terbelalak ketika aku mengatakan bahwa adalah mustahil bagi Kafka untuk bisa menyukaiku. “Gue mau Tanya deh. Apa elo memang mau punya hubungan serius sama dia atau lo hanya terobsesi tentang perasaan dia ke elo karena lo Cuma mau buktiin ke diri lo sendiri bahwa lo nggak akan bisa ngedapatin laki-laki kayak dia?” pertanyaan Dara ini membuatku terdiam karena aku tidak tahu jawabannya. Seumur hidupku aku tidak pernah menyangka bahwa pertanyaan seperti ini akan keluar dari mulut Dara. Adri-lah yang biasanya berperan sebagai filsuf di dalam lingkaran persahabatan kami. “Atau mungkin lo berharap bahwa dia betul-betul ada rasa sama elo dan dengan begitu bisa ngebuktiin bahwa teori lo tentang laki-laki kayak dia itu salah?” lanjut Dara Whoa… Dara semakin membuatku bingung. Seharusnya aku tidak kaget bahwa Dara bisa langsung melihat dilemma yang kuhadapi, karena di antara kami semua Dara-lah yang paling berpengalaman didekati oleh laki-laki sejenis Kafka. Meskipun aku yakin bahwa Dara tidak pernah memiliki dilemma seperti yang kini kuhadapi. Dia kelihatan seperti supermodel, bukan seperti wanita biasa sepertiku, maka orang yang melihatnya jalan dengan laki-laki seperti Kafka pasti tidak akan bingung. Tetapi, kalau
sampai ada yang melihatku jalan dengan Kafka, maka dia pasti akan menyangka bahwa aku menggunakan pellet untuk mendapatkannya.
“Nad, meskipun Kafka itu mungkin superhot dan menurut lo bukan tipe laki-laki yang biasa lo date atau yang biasa kelihatan tertarik sama elo, tapi satu hal yang elo mesti ingat adalah bahwa pada dasarnya Kafka itu laki-laki. Dan kebanyakan laki-laki suka sama perempuan yang tahu cara ngejaga diri sendiri, seperti elo ini,” sambung Dara. “Jadi dengan begitu, kita bisa menyimpulkan bahwa Kafka bukan Cuma iseng doang sama elo,” ucap Adri sambil tersenyum. “Tapi satu hal yang elo mesti tahu adalah bahwa flirting gila-gilaan tidak menjamin bahwa dia mau serius sama elo, kadang-kadang malah sebaliknya. Laki-laki itu bisa serius sama satu perempuan tapi masih flirt sama perempuan lain,” sambung Jana yang langsung menerima tatapan siap dibunuh oleh Adri “Nggak usah melototin gue kayak gitu deh, Dri. Itu memang apa adanya, kan? Nadia harus tahu itu,” Jana mencoba membela diri. Aku tahu kata-kata Jana benar. Aku tidak bisa menyalahkan Jana yang membentangkan fakta agar aku bisa melihat keadaan ini dengan lebih realistis. Selama ini aku dan Kafka memang belum memiliki percakapan yang normal sekali pun. Setiap percakapan kami meskipun tidak dimulai tapi selalu berakhir dengan flirting. “Oke, itu semua asumsi saja. Meskipun gue berharap bahwa asumsi gue dan Dara lebih benar daripada asumsi Jana,” suara Adri membangunkanku dari lamunan. “Tapi mungkin ada baiknya kalau lo Tanya langsung ke orangnya,” lanjutnya. Mendengar usul dari Adri mataku langsung terbelalak. Aku lebih memilih bunuh diri daripada harus “menembak” laki-laki lebih dulu, apalagi laki-laki seperti Kafka yang kemungkinan besar akan menertawakanku sebelum kemudian menolakku. Melihat reaksiku, Adri langsung menambahkan, “Biar jelas dan nggak ada salah paham. Mungkin dia juga lagi nunggu sinyal dari elo untuk ngasih dia tanda ‘Oke’ untuk jadi lebih serius sama elo.” “Memangnya lo mau serius sama dia?” Jana nyeletuk. Saat itu aku baru tahu jawaban dari dilemaku. Aku mengangguk. “Gue nggak tahu apa kami memang cocok, tapi gue setidak-tidaknya mau coba untuk kenal dia lebih jauh,” jelasku. Kulihat ketiga sobatku mengangguk sambil tersenyum. “Kalau gitu lo ada tiga pilihan untuk nyelesaiin masalah ini.” Aku langsung membuka telingaku lebar-lebar dan menunggu apa yang akan Adri katakana selanjutnya. “Pertama, lo bisa sabar dan kasih Kafka waktu sampai dia berani untuk mutusin apa dia sudah siap untuk serius atau dia masih dalam tahap penjajakan,” Aku menggeleng untuk menandakan bahwa aku tidak bisa menerima solusi ini. Jantungku tidak akan bisa tahan dengan sesuatu yang tidak pasti seperti ini lagi. “Kedua, lo bisa Tanya ke dia tentang perasaan dia ke elo,” Adri mengedipkan mata kanannya ketika mengatakan ini, “dan lo pasrah saja sama reaksi dia. Ini memang risikonya tinggi karena dia bisa nginjak-nginjak harga diri dan hati lo, tapi… ada kemungkinan dia bakalan bilang dia sudah cinta mati sama elo dari SD.” “Menurut lo dia sudah cinta sama gue dari SD?” tanyaku penuh harap. “Definitely,” jawab Adri yakin “Itu sebabnya mungkin kenapa dia suka gangguin elo terus,” sambung Jana.
“Kalau dia ketemu sama elonya waktu SMA mungkin dia sudah nembak elo, tapi berhubung ini SD gitu lho,” lanjut Dara. Pada saat itulah aku mengerti kenapa tiga perempuan ini adalah sobatku, mereka lebih percaya pada diriku daripada aku sendiri. Aku langsung membayangkan sisi positif dari skenario kedua ini dan memutuskan bahwa ini pilihan yang bisa kupertimbangkan. Aku mengharapkan bahwa Adri bisa mengeluarkan ide yang lebih baik lagi dengan pilihan yang ketiga. “Yang ketiga apa?” tanyaku antusias. “Ketiga, lo bisa telepon dia dan bilang betapa lo mau coba aktivitas yang kemarin lo lakuin sama dia di sofa- di atas tempat tidur.” Kata-kata ini keluar dari Jana yang langsung disambut tawa kami semua. “Oke… itu memang lucu, tapi serius ini. Apa pilihan gue yang ketiga, Dri?” tanyaku setelah tawa kami agak reda. “Lo telepon dia…” “Yeee… lo bakalan ngulang apa yang Jana omongin lagi,” omelku memotong omongan Adri “Eh… nggak semua orang ya pikirannya sekotor ibu satu itu,” balas Adri sambil tertawa dan mengerling pada Jana Setelah yakin bahwa tidak ada yang akan memotong kata-katanya lagi, Adri melanjutkan, “Seperti yang tadi gue sudah bilang. Lo telepon dia…,” kutegakkan punggungku menunggu kata-kata selanjutnya, “dan bilang bahwa lo mau nikahin dia besok supaya lo bisa nyiumin dia kapan saja dan di mana saja lo mau, punya anak sebanyak-banyaknya dari dia, dan hidup bahagia selama-lamanya.” Pertama-tama kamu semua menyangka bahwa Adri serius, tapi ketika melihat wajahnya yang merah karena tidak bisa menahan tawanya lagi, kami semua langung tertawa bersama-sama. “Sialan lo,” ucapku. Aku sebetulnya mau meneriakkan makian itu, tetapi aku tidak mau menjadi pusat perhatian para pelanggan Starbucks lagi. ***
Seminggu kemudian, ketika aku sedang berada diresepsi pernikahan Jana (yang lebih tepat untuk disebut sebagai pertunjukan fashion karena penuh dengan orang-orang paling cantik dan ganteng dengan pakaian paling glamor yang pernah kulihat sepanjang hidupku), dan menemukan diriku sama sekali tidak tertarik pada semua laki-laki single yang ada karena yang ada di pikiranku hanya Kafka, kusadari bahwa aku harus mengumpulkan cukup keberanian untuk berbicara dengan Kafka setelah pulang dari acara itu. Aku akan mengambil resiko dan mengikuti saran Adri yang kedua, yaitu untuk menanyakan perasaan Kafka padaku dan siap menerima apa pun konsekuensinya. Bayangan bahwa Kafka mungkin sudah menyukaiku semenjak SD membuatku bersemangat untuk berbicara dengannya. Aku pun sudah siap untuk melakukan harakiri kalau Kafka menolakku. Kupikir karena itu adalah hari Minggu sore, maka kemungkinan besar aku tidak akan mengganggu pekerjaannya. Aku tidak tahu apa yang bisa dilakukan oleh seorang dokter pada hari Minggu sore, tapi aku berharap mereka aka nada di rumah dengan keluarga mereka dan mempersiapkan diri untuk hari Senin. Pada saat itu aku baru sadar bahwa meskipun kami bertengkar setiap hari selama hampir dua tahun semasa SD, tetapi aku sama sekali tidak mengenal Kafka. Aku tidak tahu apakah dia punya keluarga. Apakah dia memiliki kakak atau adik, atau apakah dia anak tunggal? Apa keluarganya tinggal di Jakarta? Apa orangtuanya merasa bangga karena dia sudah menjadi dokter? Oh my God… apa yang sudah terjadi padaku? Sejak kapan aku memikirkan tentang keluarga seorang laki-laki yang bahkan
bukan pacarku? Sepertinya akhir-akhir ini di dalam pikiranku banyak terlintas hal-hal yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya. Sebelum aku bertemu dengan Kafka lagi. Aku berjalan bolak-balik di kamar kosku untuk mengatur napas agar bisa berbicara dengan nada normal dan tidak terdengar panic. Setelah yakin bahwa aku tidak akan tiba-tiba muntah begitu mendengar suaranya, aku pun menekan nomor HP Kafka. Aku harus menunggu agak lama sebelum kudengar suara Kafka di ujung saluran telepon. “Nadia?” Kafka terdengar ragu. Hatiku langsung berbunga-bunga ketika mendengarnya menyebut namaku. Itu berarti bahwa nomor HP-ku sudah tercatat di dalam address book-nya sehingga dia sudah tahu bahwa akulah yang menelepon sebelum mendengar suaraku, “Hei, Kaf,” balasku, mencoba terdengar tenang tapi tidak berhasil karena suaraku terdengar terlalu ceria. “Oom nggak apa-apa, kan?” aku merasa agak jengkel ketika menyadari bahwa dia jelas-jelas menyangka bahwa aku tidak akan meneleponnya kalau bukan karena papaku. “Oh iya… Papa baik-baik saja,” balasku, mencoba terdengar semanis mungkin “Jadi kenapa kamu telepon aku?” mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi Kafka terdengar seperti sedang kehabisan napas. “Eh… kamu kok kedengarannya kayak orang habis jogging gitu sih? Kamu lagi di gym, ya?” “Nggak aku lagi di rumah.” Meskipun Kafka terdengar ramah, tetapi cara dia bicara terdengar terlalu formal. Lain sekali dengan cara dia mengirimkan SMS padaku, dan tiba-tiba saja aku kehilangan keberanianku. “Nad?” kudengar Kafka memanggilku “Ya?” jawabku otomatis “Kamu kenapa telepon aku?” “Oh ya… aku telepon soalnya… aku Cuma… aku mau…. Aku mau Tanya sesuatu ke kamu,” akhirnya aku bisa juga mengeluarkan kata-kata itu . “Oke,” ucap Kafka. Firasatku mengatakan untuk mengakhiri pembicaraan itu sampai di situ, tapi terlambat. “Aku mau Tanya kenapa kamu…” Kata-kataku terhenti ketika kudengar suara seseorang wanita bertanya, “Who’s that?” “A friend of mine,” balas Kafka. Aku merasa seperti baru saja ditampar olehnya dan mataku mulai terasa panas. Ternyata Kafka tidak menganggapku lebih dari sekadar teman. Kalau Kafka memperlakukan semua temannya seperti dia memperlakukanku, dengan mengirimkan SMS-SMS sensual dan menciumku sampai aku kehabisan napas, maka aku bertanya-tanya bagaimanakah dia memperlakukan orang yang special untuknya. “Well, can you please tell your friend to call back later and come back to bed,” ucap wanita itu lagi dan disusul dengan bunyi yang hanya bisa digambarkan sebagai ciuman. Bed? Apa aku tidak salah dengar? Sekarang sudah jam empat sore, kenapa Kafka masih berada di tempat tidur? Dengan seorang wanita, lagi. Tiba-tiba bayangan dia tubuh manusia yang tidak mengenakan satu helai pakaian pun di atas tempat tidur dengan seprei yang sudah kusut terlintas di kepalaku. Oh my Goooddd! Betapa bodohnya aku yang selama ini menyangka bahwa Kafka bukan hanya iseng denganku. Sekarang sudah terbukti, di MEMANG hanya iseng denganku. “In a minute,” kudengar Kafka berkata samar-samar dan disusul dengan, “Nad, kamu tadi mau Tanya

apa?” kini suaranya lebih jelas. Aku langsung terbangun dari shock-ku. “Nggak… nggak ada,” ucapku dan tanpa menunggu jawaban dari Kafka aku langsung menutup telepon itu. Meskipun mataku sudah semakin memanas dan tenggorokanku sesak, tetapi aku tidak bisa menangis. Aku tidak bisa menangisi kesalahan yang disebabkan kebodohanku sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa menyangka bahwa laki-laki seperti Kafka bisa tertarik padaku? Aku terlalu plain untuknya. Aku tidak cantik dan tubuhku tidak seperti supermodel. Pada detik itu aku kembali menyadari semua kekuranganku. Sudah selama bertahun-tahun belakangan ini aku tidak pernah lagi peduli tentang pendapat orang mengenai penampilanku seperti ketika aku SD sampai SMA, tapi sekarang memori tentang Kafka yang tidak mau mengakui bahwa dia sudah menciumku waktu SD, kembali. Apakah Kafka masih melihatku sebagai anak perempuan itu? Anak perempuan yang tidak menarik sama sekali dan membosankan. Tanpa kusadari tetesan air mata sudah mengalir dan membasahi pipiku.


No comments:

Post a Comment