Saturday, September 5, 2015

Crash Into You - AliaZalea - Bab 14

Bab 14 

28 februari 
Lupain dia. Lupain dia. LUPAIN DIA. Dia sudah pergi dan nggak akan kembali lagi. Gue harus cari cara suapaya benar-benar bisa ngehapus dia dari pikiran dan memori gue. Bagian otak yang mana ya yang berhubungan sama memori? Hippopotamus? Yee… itu sih kuda nil, kali. Hippo apa dong ya? Hippocampus. Nah, itu dia. Mungkin gue bisa minta dokter untuk ngangkat hippocampus gue sepenuhnya. *** Langkah pertama yang kulakukan untuk memulai melupakan Kafka adalah dengan menghapus nomor HP-nya dari HP-ku, dengan begitu aku tidak akan pernah tergoda lagi untuk mencoba menghubunginya. Langkah kedua adalah dengan merobek kartu nama Kafka yang masih kusimpan di laci mejaku. Aku masih harus memutuskan apakah aku akan melakukan langkah ketiga dan keempat, mengundurkan diri sebagai web designer Empire dan menolak mengatar Papa bertemu dengan Kafka kalau sudah giliranku. Akhirnya aku menunda pelaksanaan dua langkah terakhir itu sampai aku betul-betul tidak bisa melupakan Kafka setelah melakukan dua langkah yang pertama. Bulan Februari tiba, saat ini giliranku untuk mengantar Papa cek jantung. Sebetulnya bisa saja aku meminta Kak Viktor untuk melakukannya, tetapi aku berpikir inilah kesempatan terakhirku untuk betul-betul meyakinkan diri apakah Kafka sudah melupakanku atau belum. Aku tahu bahwa aku sudah berjanji untuk melupakan Kafka, tapi di dalam lubuk hati kecilku, aku masih mengharapkan ada keajaiban terjadi yang akan mengembalikan Kafka padaku. Selama perjalanan menuju rumah sakit aku mengucapkan satu kata saja berkali-kali di dalam hati. Please… please… please… aku memohon agar kafka mau berbicara lagi denganku. Aku memohon agar dia menghargai hubungan yang selama ini sudah kami jalin. Dan aku memohon agar dia tidak lagi mengabaikanku. Untuk pertemuan kali ini Mama tidak bisa ikut karena sedang tidak enak badan, jadi Kafka hanya menemui aku dan papa. Aku menempelkan senyum ramah pada wajahku ketika melihat Kafka yang membalas dengan senyuman yang tidak kalah ramahnya. Tapi entah kenapa, senyuman itu terkesan di paksa. Dia kemudian berlanjut dengan menanyakan keberadaan mamaku. Dia bahkan kelihatan khawatir ketika papaku berkata bahwa mamaku sedang tidak enak badan dan mengusulkan agar mamaku banyak istirahat saja untuk beberapa hari, minum air putih banyak-banyak dan vitamin C. aku sebetulnya sudah menyiapkan beberapa topic basa-basi yang ingin kuutarakan sebagai prolog dari beberapa pertanyaan penting yang sudah berputar-putar di kepalaku selama hampir dua bulan ini, seperti: tidakkah dia mendapatkan semua SMS-ku? Kenapa dia tidak pernah mengangkat teleponku? Apa yang dia rasakan tentangku? Dan pertanyaan paling penting yang ingin aku tanyakan adalah “Apakah aku telah melakukan kesalahan sehingga dia meninggalkanku begitu saja?” meskipun aku tahu aku tidak mungkin bersalah atas pelantaran kafka, tetapi sebagai seorang perempuan yang sedang patah hati, pertanyaan seperti itu mau tidak mau muncul juga di benakku. Tapi melihat bahwa Kafka kelihatn superserius dan sepertinya tidak tertarik sama sekali untuk berbasa-basi hari ini, kutunda niatku itu untuk waktu yang lebih tepat. Aku berusaha menenangkan hatiku dengan mengatakan bahwa aku di sini memang untuk memeriksa kesehatan jantung papa, bukan untuk menyelesaikan dilemma cintaku. Saat ini kesehatan papa lebih
penting daripada hatiku, aku bisa menunggu. Tapi ketika lima belas menit kemudian kafka masih juga kelihatan serius dan sama sekali tidak menghiraukanku, aku jadi resah dan mulai mengayunkan kaki kananku yang kusilangkan di atas kaki kiri dengan tidak sabaran. Lima belas menit lagi berlalu sebelum kerutan di kening Kafka menghilang dan dia tersenyum pada papaku. Kutempelkan senyuman paling manis pada wajahku, kalau saja dia menoleh padaku, tetapi itu semua sia-sia karena kafka bertindak seperti aku tidak berada di dalam ruangan itu bersamaannya. “Sepertinya jantung Oom memang semakin membaik. Pokoknya apa pun yang Oom sekarang lakukan untuk menjaga kesehatan, diteruskan saja,” ucap Kafka sambil menutup file pasien yang ada di hadapannya. Akhirnya Kafka memberiku kesempatan untuk memaksanya agar menatapku. “Kapan Papa harus kembali untuk cek lagi?” tanyaku, tapi sekali lagi sia-sia ketika Kafka malah justru meraih kalender di mejanya dan mulai membolak-balik beberapa lembar halamannya. “Gimana kalau kita ketemu lagi bulan Mei? Minggu kedua mungkin?” Tanya Kafka lalu menatap papaku untuk mendapatkan kepastian. Menyerah untuk tetap menunggu agar Kafka menatapku, kukeluarkan agenda dari dalam tasku untuk melihat jadwalku pada bulan Mei yang masih kosong melompong kecuali untuk tanggal 4 yang merupakan ultahnya Adri. “Tanggal berapa?” tanyaku dan sudah siap untuk melingkari salah satu tanggal dengan pena warna merah. “Nanti suster yang akan konfirmasi,” balas Kafka sebelum kemudian berdiri dari kursinya Aku sudah semakin putus asa. Aku rasanya ingin berteriak, “Why won’t you look at me?” tapi tentunya aku tidak bisa melakukannya karena papa ada di situ dan meskipun aku memang mencintai laki-laki yang sudah mengisi fantasi dan mimpiku ini, tapi aku tidak rela mempertontonkan rasa cintaku ini pada dunia. Terutama karena aku semakin yakin bahwa aku telah bertepuk sebelah tangan. Aku tidak mau mempermalukan diriku hingga sejauh ini. Aku masih punya harga diri sebagai wanita. Perlahan-lahan kumasukkan agendaku kembali k etas dan berdiri. “Sampai ketemu tiga bulan lagi, Oom.” Kafka lalu menjabat tangan papaku. “Salam untuk Tante dan mudah-mudahan cepat sembuh.” Aku hanya bisa menatap tangan Kafka ketika dia menjulurkannya ke hadapanku. Jadi ini saja yang akan aku terima setelah menunggu kabar darinya selama dua bulan? Sebuah jabat tangan? Di bahkan tidak kelihatan rela melakukannya. Aku berdebat dengan diriku sendiri. Kalau tidak menjabat tangannya, maka aku akan kelihatan seperti anak kecil yang ngambek. Sedangkan kalau aku menjabat tangannya, maka Kafka akan menyangka bahwa dia tidak bersalah sama sekali dengan melantarkan aku. “Nadia?” suara Papa membangunkanku dari lamunan “Ya?” kutatap wajah papa “Dokter Kafka nungguin salaman dari kamu,” jelas papaku “Oh… ya. Betul,” ucapku dan langsung merasa seperti orang paling goblok di satu dunia ini. Buru-buru kujabat tangan Kafka dan melepaskan tangan itu dalam waktu kurang dari satu detik. Aku tidak yakin apakah aku yang melepaskan tangannya atau Kafka yang melepaskan tanganku lebih dulu. Oh, my God! Segitu tidak sukanyakah dia sama aku sampai menjabat tanganku saja dia tidak sudi? Tanpa menatap Kafka lagi, aku langsung menggandeng tangan papa dan keluar dari ruangan itu. Betapa bodohnya aku yang mengharapkan adanya jendela kesempatan bahwa Kafka masih menginginkanku,
bahwa dia tidak betul-betul sedang menghindari dariku. Dengan perlakuannya padaku selama satu jam terakhir ini pada dasarnya Kafka sudah meneriakkan, “I’m NOT interested, so leave me alone, bee-yatch,” Selama perjalanan pulang dari rumah sakit aku mengucapkan satu kata saja berkali-kali di dalam hati. Stupid! Stupid! Stupid! Tingkah laku Kafka yang dingin telah mengonfirmasikan ketakutanku selama ini. Suatu ketakutan yang semakin hari semakin bisa dikategorikan sebagai paranoid. Yaitu bahwa kalau saja orang tahu diriku yang sebenarnya, maka mereka tidak akan mau mengenalku lagi. Pada detik itu aku mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang terngiang di kepalaku semenjak malam Tahun Baru. Kenapa aku merasa lebih bahagia dengan hidupku di antara segala bencana yang terjadi di sekelilingku? Itu karena Kafka. Satu-satunya orang yang tahu sifatku yang sebenarnya dan sampai saat itu belum lari pontang-panting dari hadapanku. Ternyata aku salah karena meskipun memakan waktu yang lebih lama daripada yang aku perkirakan, tetapi ternyata Kafka lari juga akhirnya. Kini aku tahu bahwa aku tidak paranoid. Manakah yang lebih parah? Ditinggalkan karena kepribadian kita atau karena penampilan kita? Khusus di dalam kasusku sepertinya aku ditinggalkan karena kekuranganku di kedua departemen itu. Dan tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaanku ketika aku menyadari hal itu. ***
Pada akhir Februari aku sudah seperti sedang mendapat PMS yang berkelanjutan karena telah mencoba berbagai cara utnuk menghapuskan Kafka dari dalam pikiranku, tapi tetap tidak berhasil. Kemarahanku gampang sekali terpicu, terutama oleh hal-hal yang sebetulnya sudah lama membuatku kesal tetapi tidak kutunjukkan karena takut orang tidak akan menyukaiku lagi kalau aku mengutarakannya. Misalnya seperti rekan kerjaku yang terlambat lima menit untuk menghadiri pertemuan, rekan kerja yang meminta pendapatku tentang desain website yang telah mereka buat, tetapi sebetulnya memintaku mengerjakan pekerjaan mereka, dan rekan kerjaku yang ngegosip dalam jarak pendengaranku pada jam kantor. Parahnya lagi, aku mulai sering memarahi beberapa dari mereka dengan blak-blakan tanpa peduli apa yang mereka pikirkan tentangku, bahkan mengatakan bahwa beberapa dari mereka tidak kompeten di depan bosku dan seluruh staf perusahaan ketika pertemuan bulanan. Pada dasarnya aku sudah berkelakuan seperti seorang “BE-YATCH”, dan untuk pertama kalinya aku tidak peduli. Aku sudah lelah mencoba mengakomondasikan semua orang dan mengorbankan diriku. Melihat kelakuanku yang tidak keruan ini, bosku akhirnya mengusulkan agar aku mengambil cuti. Aku tentunya menolak mentah-mentah ide itu karena kalau aku mengambil cuti berarti aku akan memiliki lebih banyak waktu luang lagi untuk memikirkan Kafka. No! enam belas jam dalam sehari sudah cukup bagiku untuk disiksa oleh Kafka, aku tidak perlu menambahnya jadi 24 jam. Tetapi setelah peringatan halus itu aku mencoba memperbaiki tingkah lakuku dan mencari cara untuk melupakan Kafka, dengan tidak melibatkan orang-orang kantorku, memarahi mereka dan membuatku jadi kandidat yang tepat untuk di pecat karena kelakuan yang tidak senonoh di tempat kerja. Salah satu cara yang cukup ekstrem yang kucoba untuk melupakan Kafka adalah dengan mempraktikkan metode terapi yang kutemukan di Internet dan disebut sebagai terapi karet gelang, yaitu jenis terapi untuk melupakan seseorang dengan mengalungkan karet gelang pada pergelangan tanganku. Cara mengaplikasikan metode ini adalah dengan menjepret karet gelang tersebut sehingga menimbulkan rasa sakit pada pergelangan tanganku setiap kali Kafka terlintas di pikiranku. Rasa sakit yang di timbulkan oleh jepretan karet gelang seharusnya berfungsi sebagai suatu “reinforcement negative”,
agar aku enggan memikirkan Kafka lagi. Namun setelah seminggu menjalankan terapi ini hasilnya hanyalah pergelangan tangan yang merah karena habis kena jepret dan ingatanku tentang Kafka yang tetap jelas dan detail. Rasanya aku sudah siap untuk membunuh siapa pun yang menciptakan terapi ini berikut orang-orang yang merekomendasinya. *** Ketika hari ulang tahunku yang ke-29 tiba, aku terlalu patah hati untuk merayakannya dengan siapa pun, tapi atas paksaan yang berubah menjadi ancaman dari ketiga sobatku, akhirnya aku menyerah dan menerima kenyataan bahwa mereka tidak akan diam sebelum aku rela merayakan ultahku dengan mereka. Aku harus menunggu dua hari sebelum bisa merayakannya karena tahun ini ulang tahunku jatuh pada hari Kamis. Jana mengusulkan untuk merayakannya dengan makan pizza plus nonton DVD di rumahnya. Aku awalnya menolak karena tidak mau mengganggu privasi pasangan pengantin baru, tapi Jana meyakinkanku bahwa suaminya tidak keberatan sama sekali. Akhirnya aku setuju dengan usul ini karena sejujurnya rumah Jana memang surganya orang yang senang menonton film sepertiku, selain itu aku juga terlalu malas untuk mengusulkan ide lain. Rumah Jana memiliki ruangan teater pribadi yang bisa mengakomondasikan sepuluh orang dengan nyaman dengan koleksi DVD asli, bukan bajakan yang memenuhi tiga baris rak yang lebih tinggi daripada aku. Sebagai hadiah dari ketiga sobatku, mereka telah merencanakan perayaan ulang tahunku ini dan tidak memperbolehkanku membayar sepersen pun untuk semua makanan dan minuman yang tersedia di ruang teater sore itu. Selain itu, mereka juga memperbolehkanku untuk memilih filmnya. Suatu kehormatan yang tidak bisa aku lewatkan karena kami memiliki selera yang sangat berbeda satu sama lain, sehingga biasanya kami harus hom-pim-pah yang diikuti oleh suwit untuk memilih. Dan meskipun aku malu mengakui bahwa kami masih berkelakuan seperti anak SD, tetapi itulah cara yang menurut kami adil. “Oke, gue ada Swimfan, Fatal Attraction, dan Disclosure. Mau yang mana?” tanyaku sambil menggenggam tiga casing DVD. “Disclosure itu yang Demi Moore sama Robert Redford, ya?” Tanya Dara sambil membuka kotak pizza super supreme. “Bukan, itu sih Indecent Proposal. Ini yang Demi Moore sama Michael Douglas,” jelasku. “Ceritanya yang gimana ya?” lanjut Dara sambil mulai menyerang pizza itu dengan membabi-buta. Di antara kami berempat Dara-lah yang pengetahuannya paling terbatas tentang dunia perfilman, meskipun dia menikmatinya, tapi dia jauh dari kata ngefans. Aku lalu menceritakan dengan singkat inti cerita film itu. “Mmmhhh… kayaknya terlalu berat deh buat nonton film model begituan hari ini. Kalau yang lainnya ceritanya gimana?” Tanya Dara lagi. “Gue pilih Swimfan,” celetuk Jana yang sedang menekan satu tombol pada sebuah remote control dan otomatis kerai mulai turun untuk menutup jendela, membuat ruangan teater itu jadi sedikit gelap. “Nah, yang itu ceritanya gimana?” sambung Dara. Sekali lagi aku menceritakan inti cerita film yang diproduksinya memang lebih baru daripada Fatal Attraction, tetapi inti ceritanya hampir sama itu. “Perasaan gue semua film yang lo pilih kok tentang cewek yang suka nge-stalk cowok sih?” ucap Adri yang kini sudah duduk di atas sofa sambil melipat kakinya “Nggak juga kok. Demi Moore nggak nge-stalk Michael Douglas di Disclosure,” bantahku
“Not technically, tapi tetap saja Demi Moore mau balas dendam sama Michael, kan? Jadi intinya cerita tiga film itu sama,” lanjut Adri. “Balas dendam karena ditolak,” sambar Jana. “Humph… benar juga lo, Dri. Gue nggak pernah lihat persamaan itu sebelumnya.” Sejujurnya aku sendiri juga tidak melihat adanya persamaan di antara ketiga film yang aku pilih itu sampai Adri mengutarakannya. Yang jelas aku tidak secara sadar memilih film dengan inti cerita yang sama, aku hanya memilih film yang menarik perhatianku saja. Menyadari bahwa kalau kami tetap membicarakan tentang ini, maka lambat-laun ketiga sobatku akan bisa mencium masalahku, aku pun melakukan serangan balik. “Oke, terserah deh inti cerita filmnya apa, tapi jadinya pada mau nonton yang mana?” tanyaku dengan tidak sabaran. “Yang ulang tahun yang pilih,” ucap Jana. “Gue sih terserah elo saja,” dukung Dara. Adri tidak mengatakan apa-apa lagi, tapi dia hanya mengangkat bahunya tanda pasrah. Kuberikan casing DVD Fatal Attraction kepada Jana yang segera memasukkan piringannya ke dalam player. Aku pun duduk dengan nyaman di atas sofa panjang, diapit oleh Dara dan Adri, menunggu hingga film itu dimulai. Kami baru menonton separo film itu ketika sobat-sobatku mulai mengomentari. “Gila banget deh ini perempuan. Segitu nafsunya dia sama nih laki-laki sampai ngejar-ngejar kayak begitu.” Ucap Jana. “Nakutin nggak sih?” sambung Adri. “Banget,” lanjut Dara Entah kenapa tapi tiba-tiba aku merasa perlu untuk membela Gleen Close. “Tapi nggak semuanya salah perempuannya dong. Laki-lakinya juga yang cari gara-gara,” bantahku. “Benar juga. Siapa suruh tuh laki-laki masih belanja kalau sudah nikah coba?” dukung Jana sambil meneguk minumannya. “Siapa suruh juga buat si laki-laki untuk sok berminat padahal dia Cuma mau one night stand? Itu kan bikin perempuannya jadi bingung,” tambahku. “Tapi harusnya perempuannya bisa ngebedain dong antara laki-laki yang benar-benar serius sama yang nggak,” bantah Dara. “Untuk perempuan yang normal sih biasanya mereka tahu cara ngebedain dua hal itu dan kebanyakan dari kita juga ada rasa malu, jadi biasanya kalau sudah ditolak sekali, kita bakalan mundur teratur,” seperti biasa Adri mencoba untuk menengahi, tapi kali ini usahanya malah justru membuatku tersinggung. “Jadi menurut lo kelakuan gue nggak normal dan bahwa gue nggak punya rasa malu?” tanyaku sambil melompat berdiri dari sofa. Tanpa kusadari aku sudah berteriak dengan cukup keras sehingga Jana menekan tombol MUTE pada remote control yang digenggamannya dan ruangan teater jadi hening untuk beberapa detik. “Apa maksud lo dengan ‘gue’? kita lagi ngebahas kelakuannya Gleen Close di film ini, kan?” Tanya Jana hati-hati. Dua sobatku yang lain kini juga sedang menatapku tajam. “Iya… Gleen Close. Tadi gue bilang apa menurut lo kelakuan Gleen Close nggak normal dan bahwa dia nggak tahu malu?” ucapku mengulangi pertanyaanku.
“Nggak. Gue yakin tadi lo bilang ‘jadi menurut lo kelakuan gue nggak normal dan bahwa lo nggak tahu malu’?” sanggah Dara yang disambut anggukan Adri dan Jana. Aku terdiam sejenak untuk memikirkan jalan keluar dari di lemaku ini. Tanpa kusangka-sangka ternyata kekecawaanku pada Kafka menampakkan wajahnya juga meskipun aku sudah berusaha untuk menahan rasa itu. Aku seharusnya memilih film komedi romantic saja tadi. Kenapa aku harus memilih film-film dengan tema “crazy stalker women”? aggghhh…. Aku seperti sedang menggali kuburanku sendiri. Aku tidak berniat menceritakan tentang perkembangan hubunganku dengan Kafka kepada sobat-sobatku, tapi sepertinya kini aku tidak memiliki pilihan lain.
“Nad?” suara Adri terdengar khawatir ketika mengatakannya Kutarik napas dalam-dalam. “Oke. Gue ada sesuatu yang gue mesti cerita ke elo semua.” Kumulai penjelasanku dengan suara perlahan. Dan sepertinya aku terdengar labih serius daripada yang aku rencanakan karena Jana langsung mematikan TV, Adri menuntunku untuk kembali duduk di sofa, dan Dara meletakkan potongan pizza yang baru setengah termakan kembali ke kotaknya di atas meja. “Lo pada masih ingat Kafka, kan?” pertanyaan itu disambut oleh anggukan serasi dari ketiga sobatku. “Well. Kayaknya gue… gue cinta sama dia.” Akhirnya aku bisa mengucapkan kata-kata itu. Jana dan Dara langsung terpekik gembira dan Adri tersenyum lebar. Namun kata-kataku selanjutnya membuat mereka bertiga kelihatan bingung dan tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. “Tapi dia nggak… dia nggak…. Intinya dia nggak suka sama gue,” ucapku dengan susah payah dan mulai menggigit bagian dalam mulutku dalam usaha untuk menahan tangis. Sudah selama satu bulan ini aku berhasil memendam semua rasa ini sendiri, tapi sekarang semua kesedihan dan kekecewaan tidak terbendung lagi dan aku mulai menangis. “Yang bikin gue kesel sama dia… hiks… hiks… hiks… adalah karena selama ini… hiks… hiks… hiks… dia sudah bikin gue percaya… hiks… hiks… kalau dia interested sama gue.” Untungnya kemudian Jana menempelkan selembar tisu pada telapak tanganku sehingga aku bisa membersit hidungku. Dara menggenggam tanganku, memintaku agar melanjutkan ceritaku. “Tapi tahu-tahu sehabis Tahun Baru… hiks… hiks… dia berhenti kontak gue sama sekali,” ucapku akhirnya. Ketiga sobatku terdiam beberapa menit, kemudian mulai berebutan berbicara. “What a jerk,” omel Jana. “Dasar laki-laki, laki-laki,” ucap Dara sambil menggeleng-geleng dan mengeluarkan suara yang mirip ayam berkotek. “Cup… cup… dah… dah… jangan nangisin dia kayak begini Cuma gara-gara dia nggak kontak elo, oke. Lo ini Nadia, perempuan paling baik yang gue pernah tahu. Dianya saja yang terlalu goblok untuk menghargai elo.” Kata-kata Adri membuatku merasa bersalah karena jelas sobat-sobat menyangka bahwa Kafka adalah penjahatnya dan aku adalah korban yang telah teraniaya. Aku pun berusaha membela Kafka. “Tapi ini semua bukan hiks… salahnya dia doing. Ini salah hiks… gue juga,” ucapku sambil menghapus air mata yang sudah membanjiri pipiku. “Maksudnya?” hanya Dara yang menyuarakan pertanyaan itu, tetapi aku tahu bahwa Jana dan Adri juga memikirkan hal yang sama Akhirnya dengan susah payah dan harus berhenti beberapa kali untuk membersit hidungku, aku berhasil menceritakan dengan detail segala sesuatu yang terjadi di antara aku dan Kafka sebelum dan sesudah
Tahun Baru. “Lo pada tahu kan hiks…. Kalau gue nggak pernah hiks… ngejar cowok?” pertanyaanku mendapat anggukan antusias dari Dara dan Jana, tetapi Adri hanya menggerakkan kepalanya sedikit ke kiri. “Dan memang bukan tugas perempuan untuk ngejar laki-laki,” dukung Jana “Tapi gue ngejar dia, Jan. gue coba untuk hiks… ngedapatin dia,” raungku. “Well… bukan hal baru buat perempuan untuk ngejar sesuatu yang dia mau,” sambung Jana tanpa ragu-ragu dengan wajah yang cukup meyakinkan tanpa meringis. “Parahnya lagi… hiks… gue tahu dia di luar jangkauan gue, hiks… tapi gu tetep nyoba, karena gue pikir dia suka sama gue,” lanjutku. Ketiga sobatku tidak mengatakan apa-apa. “Gue Cuma hiks… masih belum bisa percaya saja kalau dia tega ngeginiin gue,” tambahku.
Sebagai orang yang paling berpengalaman dengan kaum laki-laki, Dara mencoba menenanganku. “Dia itu laki-laki, Nad. Sudah di darah mereka untuk ngaco kayak begitu. Terutama laki-laki yang hot, mereka ada kecenderungan untuk lebih ngaco daripada yang nggak hot, karena orang lebih mau maafin kelakuan mereka.” Aku mengangguk menanggapi komentar ini. “Dan itulah salah satu sebab kenapa gue nggak pernah date laki-laki yang terlalu hot buat gue,” celetuk Adri yang langsung disambut tertawa cekikikan Jana dan Dara. “Eh, lo pada, kenapa ngetawain gue?” omel Adri sambil mengerutkan dahinya. “Elo bukan Cuma nggak pernah nge-date laki-laki hot, Dri, tapi lo nggak pernah nge-date. Titik.” Jawab Jana. Adri kelihatan berpikir sejenak sebelum membalas, “Well, that’s true. Tapi intinya adalah ada alasan kenapa gue milih untuk tetap single. Terserah deh sama pendapat orang yang bilang laki-laki sama perempuan itu sama, soalnya kadang-kadang gue suka bertanya-tanya apa laki-laki itu sebetulnya alien, bukan manusia kayak kita.” Adri terdengar berapi-api ketika mengutarakan dukungannya, tetapi ketika menerima kerlingan Jana, Adri buru-buru menambahkan, “Minus suami lo tentunya, Jan.” “Nggak kok, gue setuju sama elo kalau laki-laki itu kadang-kadang suka aneh jalan pikirannya,” ucap Jana. “Lho, kalau lo setuju sama pendapat gue, kenapa lo tadi pakai melototi gue kayak gitu?” Tanya Adri kesal. “Gue nggak melototin elo kok,” bantah Jana. “Jana melototin gue kan tadi, Ra?” Adri meminta dukungan Dara yang kelihatan pasrah sebelum kemudian mengangkat kotak tisu dari meja dan menertawakannya padaku. Melihat kelakuan ketiga sobatku, aku jadi tertawa. Pertama-tama mereka menatapku seperti aku sudah gila karena tiba-tiba tertawa sendiri, tapi kemudian mereka tertawa juga. Kami mulai dari cekikikan, tapi sebelum lama kami sudah tertawa terbahak-bahak. Butuh waktu agak lama bagi kami untuk bisa tenang lagi. “Gue Cuma sedih karena untuk beberapa bulan gue pikir kalau Kafka sudah nerima gue apa adanya, meskipun dia tahu sifat asli gue kayak apa. Dia satu-satunya orang di dunia ini yang tahu sifat asli gue.” Gumamku. “Kita tahu sifat asli elo dan kita nerima elo. Kenapa elo mesti malu sama sifat lo yang selalu perhatian dan baik…” “Gue selalu berpikir kalau gue nggak pantas untuk temenan sama lo bertiga,” kupotong omongan Adri
dan mendapat tatapan bingung ketiga sobatku. Kulanjutkan dengan menjelaskan area-area di mana aku merasa kurang kalau dibandingkan dengan mereka semua. “Ya ampun, Nadia. Gue minta maaf kalau selama ini lo ngerasa kayak gitu tentang gue,” ucap Adri yang diikuti kata-kata yang sama oleh Jana. “Lo ini lemnya kita berempat, Nad. Kalau nggak ada elo, mungkin gue, Adri, dan Jana sekarang sudah mencar ke mana-mana karena terlalu sibuk sama urusan masing-masing,” jelas Dara. “Lo yang selalu punya inisiatif untuk ngajakin ngumpul dan ngejaga tali persahabatan kita untuk tetap hidup,” sambung Jana. “Jadi jangan pernah ngerasa kayak gitu lagi oke. Kita tahu elo dan sifat-sifat asli lo. Lo ini pintar, penyayang, perhatian… intinya elo ini baik, dan jangan pernah lo ragu tentang itu,” tandas Adri. Aku terdiam sejenak untuk menatap wajah ketiga sobatku yang kelihatan sangat bersungguh-sungguh. Aku tidak tahu bagaimana kami bisa berakhir di sini, di dalam percakapan ini. Satu menit kami sedang membicarakan Kafka, menit selanjutnya aku sudah menumpahkan segala unek-unek yang sudah kupendam selama satu decade lebih, ke mereka semua. “Gue sebetulnya paling sebal kalau orang nyeritain masalah mereka ke gue dan mengharapkan gue untuk menjadi pendengar yang baik, seakan-akan gue nggak punya hidup gue sendiri dan harus ngedengerin ceita nggak bermutu mereka,” ucapku tiba-tiba. Dan seperti mengerti kodeku, Adri dan Dara mengungkapkan hal-hal yang selama ini tidak diketahui oleh orang lain tentang mereka juga. “Gue hampir tinggal kelas waktu pertama kali pindah ke Amerika karena nggak bisa ngikutin pelajaran,” aku Adri dengan muka memerah yang membuatku ternganga karena selama ini aku menyangka bahwa orang seambisius Adri tidak akan pernah mungkin mengalami masalah dalam belajar. “Ortu gue nggak pernah kasih perhatian cukup ke gue, mereka selalu lebih milih Mbak Olin daripada gue,” ucap Dara sambil tersenyum garing. Tiba-tiba aku mulai sedikit mengerti kenapa Dara selalu mencoba menarik perhatian setiap orang, itu semua untuk mengompensasi kurangnya perhatian di rumah. “Gue capek karena orangtua gue selalu mengharapkan sesuatu yang lebih dari gue Cuma gara-gara gue seorang Oetomo,” Jana mengatakan ini dengan penuh humor dn aku pun tersenyum, menghargai usahanya untuk membuatku merasa baikkan. Pernyataan mereka membuatku tersenyum dan merasaa bahwa ternyata semua orang pasti akan selalu merasa kurang dan tidak puas terhadap sesuatu, tetapi kita harus tetap hidup dan mencoba untuk mengatasi rasa ketidaknyamanan itu. Ku buka tanganku lebar-lebar dan ketiga sobatku langsung memelukku. Pelukan mereka membuatku semakin yakin bahwa mereka betul-betul menyayangiku dan menerimaku apa adanya. Jana-lah orang pertama yang melepaskan pelukannya, “ Masih sedih soal Kafka, Nad?” tanyanya. Aku yang dulu, yang tidak pernah mau menyusahkan orang lain, mungkin akan langsung menggeleng, tapi aku sudah tidak perlu menyembunyikan perasaanku lagi di hadapan mereka. “Masih. Sedikit.” Ucapku sambil mencoba tersenyum. “Ada yang bisa kita bantu?” lanjut Jana dengan suara sehalus mungkin. “Kecuali kalau lo semua kenal laki-laki yang tampangnya kayak Christian Bale dan mau nge-date sama gue, kayaknya nggak ada yang bisa lo pada bantu,” balasku bercanda. “Mmmhhh… gue nggak tahu kalau Christian Bale ya, tapi gue tahu cowok cukup ganteng yang interested sama elo,” ucap Jana tiba-tiba.

“Gue bercanda, lagi.” Balasku “Gue serius nih,” bantah Jana. “Gue nggak perlu cowok ganteng, cute, hot, seksi, pokoknya cowok yang bisa bikin gue ngiler. Keadaan gue sampai gue kayak gini sekarang gara-gara mereka. Gue Cuma mau cowok yang biasa-biasa saja, asal dia baik sama gue dan nggak akan menelantarkan gue,” jelasku sambil menyandarkan punggungku pada sandaran sofa. “Nggak mungkin cowok yang bikin kita ngiler itu buaya kok, Nad.” Jana terdengar optimis ketika mengatakannya. “Tapi rata-rata mereka memang buaya, kan?” celetuk Dara. Jana hanya tersenyum mendengar celetukan Dara. Ternyata Jana memang betul-betul serius tentang laki-laki yang katanya interested denganku ketika dia mulai menceritakan tentang Elang, salah satu teman arsiteknya yang melihatku di resepsi pernikahannya beberapa bulan yang lalu itu dan minta untuk dikenalkan kepadaku oleh Jana. Menurut Jana, Elang orangnya cute, baik, pintar, dan sudah mapan. Dan yang lebih penting adalah dia orangnya penuh perhatian dan selalu sensitive dengan perasaan wanita sehingga dia tidak akan memperlakukanku seperti Kafka memperlakukanku. “Jadi gini saja. Gue bakal telepon Elang besok pagi atau mungkin nanti malam untuk ngasih nomor telepon lo ke dia, oke?” ternyata Jana superserius. Dia bahkan terdengar sangat antusias menawarkan bantuannya, sehingga aku hampir tidak tega untuk menolaknya. “Hampir”, tapi aku tetap menolaknya. “Tapi Jan, gue nggak tahu apa gue siap untuk ketemu cowok baru sebelum gue bisa betul-betul ngelupain Kafka.” Ucapku. Meskipun awalnya aku tidak tahu bahwa inilah alasan utama kenapa aku menolak, tetapi secepat kilat kusadari kebenaran dari alasan ini. “Nah, itulah fungsinya cowok baru, Nad, untuk ngelupain yang lama. Lebih cepat lebih baik,” Dara nyeletuk dan langsung menerima protes Adri dan Jana. “Husss… lo nih benar-benar aliran sesat.” Omel Adri “Karma, Ra, ingat karma,” sambung Jana. “Yee…. Hari hini masih percaya karma. Gue saja yang sudah praktikin metode itu dari gue umur empat belas, masih oke-oke saja, kan?” sanggah Dara. “Karma tuh nggak ada, lagi. Percaya sama gue,” lanjutnya dengan yakin. Lain dengan Dara, aku adalah orang yang percaya seratus persen dengan karma, maka dari itu aku selalu mencoba untuk tetap di jalan yang lurus supaya aku, anakku, cucu, dan cicitku tidak akan sial hidupnya. Dan meskipun Dara adalah sahabat terdekatku dan aku cinta mati padanya, tetapi bukan berarti aku buta akan kecacatannya. Mungkin Dara tidak bisa melihat ini, tapi dia sudah menerima karmanya dengan belum pernah memiliki hubungan serius dengan laki-laki semenjak SMP. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak menghiraukan komentar Dara. “Pokoknya nanti kalau lo ketemu sama Elang, lo jelasin saja ke dia kalau lo mau mulai casual dulu, supaya dia nggak salah sangka,” ucap Jana sambil memberikan senyuman penuh dengan dukungan padaku. Aku baru akan protes lagi ketika Adri memotongku, “Lo coba saja dulu, Nad. Kalau misalnya nanti nggak cocok, lo kan nggak rugi apa-apa.” Akhirnya aku mengangguk, menyetujui rencana itu. Aku tidak tahu apakah aku baru saja setuju untuk menyelam sambil minum air atau malah sudah jatuh tertimpa tangga? Aku bahkan tidak tahu apakah dua peribahasa itu tepat untuk menggambarkan situasiku. Aku rasa aku akan tahu dalam waktu dekat ini. 


Crash Into You - AliaZalea - Bab 15

No comments:

Post a Comment