Bab 14
28 februari
Lupain
dia. Lupain dia. LUPAIN DIA. Dia sudah pergi dan nggak akan kembali lagi. Gue
harus cari cara suapaya benar-benar bisa ngehapus dia dari pikiran dan memori
gue. Bagian otak yang mana ya yang berhubungan sama memori? Hippopotamus? Yee…
itu sih kuda nil, kali. Hippo apa dong ya? Hippocampus. Nah, itu dia. Mungkin
gue bisa minta dokter untuk ngangkat hippocampus gue sepenuhnya. *** Langkah
pertama yang kulakukan untuk memulai melupakan Kafka adalah dengan menghapus
nomor HP-nya dari HP-ku, dengan begitu aku tidak akan pernah tergoda lagi untuk
mencoba menghubunginya. Langkah kedua adalah dengan merobek kartu nama Kafka
yang masih kusimpan di laci mejaku. Aku masih harus memutuskan apakah aku akan
melakukan langkah ketiga dan keempat, mengundurkan diri sebagai web designer
Empire dan menolak mengatar Papa bertemu dengan Kafka kalau sudah giliranku.
Akhirnya aku menunda pelaksanaan dua langkah terakhir itu sampai aku
betul-betul tidak bisa melupakan Kafka setelah melakukan dua langkah yang
pertama. Bulan Februari tiba, saat ini giliranku untuk mengantar Papa cek
jantung. Sebetulnya bisa saja aku meminta Kak Viktor untuk melakukannya, tetapi
aku berpikir inilah kesempatan terakhirku untuk betul-betul meyakinkan diri
apakah Kafka sudah melupakanku atau belum. Aku tahu bahwa aku sudah berjanji
untuk melupakan Kafka, tapi di dalam lubuk hati kecilku, aku masih mengharapkan
ada keajaiban terjadi yang akan mengembalikan Kafka padaku. Selama perjalanan
menuju rumah sakit aku mengucapkan satu kata saja berkali-kali di dalam hati.
Please… please… please… aku memohon agar kafka mau berbicara lagi denganku. Aku
memohon agar dia menghargai hubungan yang selama ini sudah kami jalin. Dan aku
memohon agar dia tidak lagi mengabaikanku. Untuk pertemuan kali ini Mama tidak
bisa ikut karena sedang tidak enak badan, jadi Kafka hanya menemui aku dan
papa. Aku menempelkan senyum ramah pada wajahku ketika melihat Kafka yang
membalas dengan senyuman yang tidak kalah ramahnya. Tapi entah kenapa, senyuman
itu terkesan di paksa. Dia kemudian berlanjut dengan menanyakan keberadaan
mamaku. Dia bahkan kelihatan khawatir ketika papaku berkata bahwa mamaku sedang
tidak enak badan dan mengusulkan agar mamaku banyak istirahat saja untuk
beberapa hari, minum air putih banyak-banyak dan vitamin C. aku sebetulnya
sudah menyiapkan beberapa topic basa-basi yang ingin kuutarakan sebagai prolog
dari beberapa pertanyaan penting yang sudah berputar-putar di kepalaku selama
hampir dua bulan ini, seperti: tidakkah dia mendapatkan semua SMS-ku? Kenapa
dia tidak pernah mengangkat teleponku? Apa yang dia rasakan tentangku? Dan
pertanyaan paling penting yang ingin aku tanyakan adalah “Apakah aku telah
melakukan kesalahan sehingga dia meninggalkanku begitu saja?” meskipun aku tahu
aku tidak mungkin bersalah atas pelantaran kafka, tetapi sebagai seorang
perempuan yang sedang patah hati, pertanyaan seperti itu mau tidak mau muncul
juga di benakku. Tapi melihat bahwa Kafka kelihatn superserius dan sepertinya
tidak tertarik sama sekali untuk berbasa-basi hari ini, kutunda niatku itu
untuk waktu yang lebih tepat. Aku berusaha menenangkan hatiku dengan mengatakan
bahwa aku di sini memang untuk memeriksa kesehatan jantung papa, bukan untuk
menyelesaikan dilemma cintaku. Saat ini kesehatan papa lebih
penting daripada hatiku, aku
bisa menunggu. Tapi ketika lima belas menit kemudian kafka masih juga kelihatan
serius dan sama sekali tidak menghiraukanku, aku jadi resah dan mulai
mengayunkan kaki kananku yang kusilangkan di atas kaki kiri dengan tidak
sabaran. Lima belas menit lagi berlalu sebelum kerutan di kening Kafka
menghilang dan dia tersenyum pada papaku. Kutempelkan senyuman paling manis
pada wajahku, kalau saja dia menoleh padaku, tetapi itu semua sia-sia karena
kafka bertindak seperti aku tidak berada di dalam ruangan itu bersamaannya.
“Sepertinya jantung Oom memang semakin membaik. Pokoknya apa pun yang Oom sekarang
lakukan untuk menjaga kesehatan, diteruskan saja,” ucap Kafka sambil menutup
file pasien yang ada di hadapannya. Akhirnya Kafka memberiku kesempatan untuk
memaksanya agar menatapku. “Kapan Papa harus kembali untuk cek lagi?” tanyaku,
tapi sekali lagi sia-sia ketika Kafka malah justru meraih kalender di mejanya
dan mulai membolak-balik beberapa lembar halamannya. “Gimana kalau kita ketemu
lagi bulan Mei? Minggu kedua mungkin?” Tanya Kafka lalu menatap papaku untuk
mendapatkan kepastian. Menyerah untuk tetap menunggu agar Kafka menatapku,
kukeluarkan agenda dari dalam tasku untuk melihat jadwalku pada bulan Mei yang
masih kosong melompong kecuali untuk tanggal 4 yang merupakan ultahnya Adri.
“Tanggal berapa?” tanyaku dan sudah siap untuk melingkari salah satu tanggal
dengan pena warna merah. “Nanti suster yang akan konfirmasi,” balas Kafka
sebelum kemudian berdiri dari kursinya Aku sudah semakin putus asa. Aku rasanya
ingin berteriak, “Why won’t you look at me?” tapi tentunya aku tidak bisa
melakukannya karena papa ada di situ dan meskipun aku memang mencintai
laki-laki yang sudah mengisi fantasi dan mimpiku ini, tapi aku tidak rela
mempertontonkan rasa cintaku ini pada dunia. Terutama karena aku semakin yakin
bahwa aku telah bertepuk sebelah tangan. Aku tidak mau mempermalukan diriku
hingga sejauh ini. Aku masih punya harga diri sebagai wanita. Perlahan-lahan
kumasukkan agendaku kembali k etas dan berdiri. “Sampai ketemu tiga bulan lagi,
Oom.” Kafka lalu menjabat tangan papaku. “Salam untuk Tante dan mudah-mudahan
cepat sembuh.” Aku hanya bisa menatap tangan Kafka ketika dia menjulurkannya ke
hadapanku. Jadi ini saja yang akan aku terima setelah menunggu kabar darinya
selama dua bulan? Sebuah jabat tangan? Di bahkan tidak kelihatan rela
melakukannya. Aku berdebat dengan diriku sendiri. Kalau tidak menjabat
tangannya, maka aku akan kelihatan seperti anak kecil yang ngambek. Sedangkan
kalau aku menjabat tangannya, maka Kafka akan menyangka bahwa dia tidak
bersalah sama sekali dengan melantarkan aku. “Nadia?” suara Papa membangunkanku
dari lamunan “Ya?” kutatap wajah papa “Dokter Kafka nungguin salaman dari
kamu,” jelas papaku “Oh… ya. Betul,” ucapku dan langsung merasa seperti orang
paling goblok di satu dunia ini. Buru-buru kujabat tangan Kafka dan melepaskan
tangan itu dalam waktu kurang dari satu detik. Aku tidak yakin apakah aku yang
melepaskan tangannya atau Kafka yang melepaskan tanganku lebih dulu. Oh, my
God! Segitu tidak sukanyakah dia sama aku sampai menjabat tanganku saja dia
tidak sudi? Tanpa menatap Kafka lagi, aku langsung menggandeng tangan papa dan
keluar dari ruangan itu. Betapa bodohnya aku yang mengharapkan adanya jendela
kesempatan bahwa Kafka masih menginginkanku,
bahwa dia tidak betul-betul
sedang menghindari dariku. Dengan perlakuannya padaku selama satu jam terakhir
ini pada dasarnya Kafka sudah meneriakkan, “I’m NOT interested, so leave me
alone, bee-yatch,” Selama perjalanan pulang dari rumah sakit aku mengucapkan
satu kata saja berkali-kali di dalam hati. Stupid! Stupid! Stupid! Tingkah laku
Kafka yang dingin telah mengonfirmasikan ketakutanku selama ini. Suatu
ketakutan yang semakin hari semakin bisa dikategorikan sebagai paranoid. Yaitu
bahwa kalau saja orang tahu diriku yang sebenarnya, maka mereka tidak akan mau
mengenalku lagi. Pada detik itu aku mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang
terngiang di kepalaku semenjak malam Tahun Baru. Kenapa aku merasa lebih
bahagia dengan hidupku di antara segala bencana yang terjadi di sekelilingku?
Itu karena Kafka. Satu-satunya orang yang tahu sifatku yang sebenarnya dan
sampai saat itu belum lari pontang-panting dari hadapanku. Ternyata aku salah
karena meskipun memakan waktu yang lebih lama daripada yang aku perkirakan,
tetapi ternyata Kafka lari juga akhirnya. Kini aku tahu bahwa aku tidak paranoid.
Manakah yang lebih parah? Ditinggalkan karena kepribadian kita atau karena
penampilan kita? Khusus di dalam kasusku sepertinya aku ditinggalkan karena
kekuranganku di kedua departemen itu. Dan tidak ada kata yang bisa
menggambarkan perasaanku ketika aku menyadari hal itu. ***
Pada akhir Februari aku sudah seperti sedang mendapat PMS yang
berkelanjutan karena telah mencoba berbagai cara utnuk menghapuskan Kafka dari
dalam pikiranku, tapi tetap tidak berhasil. Kemarahanku gampang sekali terpicu,
terutama oleh hal-hal yang sebetulnya sudah lama membuatku kesal tetapi tidak
kutunjukkan karena takut orang tidak akan menyukaiku lagi kalau aku
mengutarakannya. Misalnya seperti rekan kerjaku yang terlambat lima menit untuk
menghadiri pertemuan, rekan kerja yang meminta pendapatku tentang desain
website yang telah mereka buat, tetapi sebetulnya memintaku mengerjakan
pekerjaan mereka, dan rekan kerjaku yang ngegosip dalam jarak pendengaranku
pada jam kantor. Parahnya lagi, aku mulai sering memarahi beberapa dari mereka
dengan blak-blakan tanpa peduli apa yang mereka pikirkan tentangku, bahkan
mengatakan bahwa beberapa dari mereka tidak kompeten di depan bosku dan seluruh
staf perusahaan ketika pertemuan bulanan. Pada dasarnya aku sudah berkelakuan
seperti seorang “BE-YATCH”, dan untuk pertama kalinya aku tidak peduli. Aku
sudah lelah mencoba mengakomondasikan semua orang dan mengorbankan diriku.
Melihat kelakuanku yang tidak keruan ini, bosku akhirnya mengusulkan agar aku
mengambil cuti. Aku tentunya menolak mentah-mentah ide itu karena kalau aku
mengambil cuti berarti aku akan memiliki lebih banyak waktu luang lagi untuk
memikirkan Kafka. No! enam belas jam dalam sehari sudah cukup bagiku untuk
disiksa oleh Kafka, aku tidak perlu menambahnya jadi 24 jam. Tetapi setelah
peringatan halus itu aku mencoba memperbaiki tingkah lakuku dan mencari cara
untuk melupakan Kafka, dengan tidak melibatkan orang-orang kantorku, memarahi
mereka dan membuatku jadi kandidat yang tepat untuk di pecat karena kelakuan
yang tidak senonoh di tempat kerja. Salah satu cara yang cukup ekstrem yang
kucoba untuk melupakan Kafka adalah dengan mempraktikkan metode terapi yang
kutemukan di Internet dan disebut sebagai terapi karet gelang, yaitu jenis
terapi untuk melupakan seseorang dengan mengalungkan karet gelang pada
pergelangan tanganku. Cara mengaplikasikan metode ini adalah dengan menjepret
karet gelang tersebut sehingga menimbulkan rasa sakit pada pergelangan tanganku
setiap kali Kafka terlintas di pikiranku. Rasa sakit yang di timbulkan oleh
jepretan karet gelang seharusnya berfungsi sebagai suatu “reinforcement
negative”,
agar aku enggan memikirkan
Kafka lagi. Namun setelah seminggu menjalankan terapi ini hasilnya hanyalah
pergelangan tangan yang merah karena habis kena jepret dan ingatanku tentang
Kafka yang tetap jelas dan detail. Rasanya aku sudah siap untuk membunuh siapa
pun yang menciptakan terapi ini berikut orang-orang yang merekomendasinya. ***
Ketika hari ulang tahunku yang ke-29 tiba, aku terlalu patah hati untuk
merayakannya dengan siapa pun, tapi atas paksaan yang berubah menjadi ancaman
dari ketiga sobatku, akhirnya aku menyerah dan menerima kenyataan bahwa mereka
tidak akan diam sebelum aku rela merayakan ultahku dengan mereka. Aku harus
menunggu dua hari sebelum bisa merayakannya karena tahun ini ulang tahunku
jatuh pada hari Kamis. Jana mengusulkan untuk merayakannya dengan makan pizza
plus nonton DVD di rumahnya. Aku awalnya menolak karena tidak mau mengganggu
privasi pasangan pengantin baru, tapi Jana meyakinkanku bahwa suaminya tidak
keberatan sama sekali. Akhirnya aku setuju dengan usul ini karena sejujurnya
rumah Jana memang surganya orang yang senang menonton film sepertiku, selain
itu aku juga terlalu malas untuk mengusulkan ide lain. Rumah Jana memiliki
ruangan teater pribadi yang bisa mengakomondasikan sepuluh orang dengan nyaman
dengan koleksi DVD asli, bukan bajakan yang memenuhi tiga baris rak yang lebih
tinggi daripada aku. Sebagai hadiah dari ketiga sobatku, mereka telah
merencanakan perayaan ulang tahunku ini dan tidak memperbolehkanku membayar
sepersen pun untuk semua makanan dan minuman yang tersedia di ruang teater sore
itu. Selain itu, mereka juga memperbolehkanku untuk memilih filmnya. Suatu
kehormatan yang tidak bisa aku lewatkan karena kami memiliki selera yang sangat
berbeda satu sama lain, sehingga biasanya kami harus hom-pim-pah yang diikuti
oleh suwit untuk memilih. Dan meskipun aku malu mengakui bahwa kami masih
berkelakuan seperti anak SD, tetapi itulah cara yang menurut kami adil. “Oke,
gue ada Swimfan, Fatal Attraction, dan Disclosure. Mau yang mana?” tanyaku
sambil menggenggam tiga casing DVD. “Disclosure itu yang Demi Moore sama Robert
Redford, ya?” Tanya Dara sambil membuka kotak pizza super supreme. “Bukan, itu
sih Indecent Proposal. Ini yang Demi Moore sama Michael Douglas,” jelasku.
“Ceritanya yang gimana ya?” lanjut Dara sambil mulai menyerang pizza itu dengan
membabi-buta. Di antara kami berempat Dara-lah yang pengetahuannya paling
terbatas tentang dunia perfilman, meskipun dia menikmatinya, tapi dia jauh dari
kata ngefans. Aku lalu menceritakan dengan singkat inti cerita film itu.
“Mmmhhh… kayaknya terlalu berat deh buat nonton film model begituan hari ini.
Kalau yang lainnya ceritanya gimana?” Tanya Dara lagi. “Gue pilih Swimfan,”
celetuk Jana yang sedang menekan satu tombol pada sebuah remote control dan
otomatis kerai mulai turun untuk menutup jendela, membuat ruangan teater itu
jadi sedikit gelap. “Nah, yang itu ceritanya gimana?” sambung Dara. Sekali lagi
aku menceritakan inti cerita film yang diproduksinya memang lebih baru daripada
Fatal Attraction, tetapi inti ceritanya hampir sama itu. “Perasaan gue semua
film yang lo pilih kok tentang cewek yang suka nge-stalk cowok sih?” ucap Adri
yang kini sudah duduk di atas sofa sambil melipat kakinya “Nggak juga kok. Demi
Moore nggak nge-stalk Michael Douglas di Disclosure,” bantahku
“Not technically, tapi tetap
saja Demi Moore mau balas dendam sama Michael, kan? Jadi intinya cerita tiga
film itu sama,” lanjut Adri. “Balas dendam karena ditolak,” sambar Jana. “Humph…
benar juga lo, Dri. Gue nggak pernah lihat persamaan itu sebelumnya.”
Sejujurnya aku sendiri juga tidak melihat adanya persamaan di antara ketiga
film yang aku pilih itu sampai Adri mengutarakannya. Yang jelas aku tidak
secara sadar memilih film dengan inti cerita yang sama, aku hanya memilih film
yang menarik perhatianku saja. Menyadari bahwa kalau kami tetap membicarakan
tentang ini, maka lambat-laun ketiga sobatku akan bisa mencium masalahku, aku
pun melakukan serangan balik. “Oke, terserah deh inti cerita filmnya apa, tapi
jadinya pada mau nonton yang mana?” tanyaku dengan tidak sabaran. “Yang ulang
tahun yang pilih,” ucap Jana. “Gue sih terserah elo saja,” dukung Dara. Adri
tidak mengatakan apa-apa lagi, tapi dia hanya mengangkat bahunya tanda pasrah.
Kuberikan casing DVD Fatal Attraction kepada Jana yang segera memasukkan
piringannya ke dalam player. Aku pun duduk dengan nyaman di atas sofa panjang,
diapit oleh Dara dan Adri, menunggu hingga film itu dimulai. Kami baru menonton
separo film itu ketika sobat-sobatku mulai mengomentari. “Gila banget deh ini
perempuan. Segitu nafsunya dia sama nih laki-laki sampai ngejar-ngejar kayak
begitu.” Ucap Jana. “Nakutin nggak sih?” sambung Adri. “Banget,” lanjut Dara
Entah kenapa tapi tiba-tiba aku merasa perlu untuk membela Gleen Close. “Tapi
nggak semuanya salah perempuannya dong. Laki-lakinya juga yang cari gara-gara,”
bantahku. “Benar juga. Siapa suruh tuh laki-laki masih belanja kalau sudah
nikah coba?” dukung Jana sambil meneguk minumannya. “Siapa suruh juga buat si
laki-laki untuk sok berminat padahal dia Cuma mau one night stand? Itu kan
bikin perempuannya jadi bingung,” tambahku. “Tapi harusnya perempuannya bisa
ngebedain dong antara laki-laki yang benar-benar serius sama yang nggak,” bantah
Dara. “Untuk perempuan yang normal sih biasanya mereka tahu cara ngebedain dua
hal itu dan kebanyakan dari kita juga ada rasa malu, jadi biasanya kalau sudah
ditolak sekali, kita bakalan mundur teratur,” seperti biasa Adri mencoba untuk
menengahi, tapi kali ini usahanya malah justru membuatku tersinggung. “Jadi
menurut lo kelakuan gue nggak normal dan bahwa gue nggak punya rasa malu?”
tanyaku sambil melompat berdiri dari sofa. Tanpa kusadari aku sudah berteriak
dengan cukup keras sehingga Jana menekan tombol MUTE pada remote control yang
digenggamannya dan ruangan teater jadi hening untuk beberapa detik. “Apa maksud
lo dengan ‘gue’? kita lagi ngebahas kelakuannya Gleen Close di film ini, kan?”
Tanya Jana hati-hati. Dua sobatku yang lain kini juga sedang menatapku tajam.
“Iya… Gleen Close. Tadi gue bilang apa menurut lo kelakuan Gleen Close nggak
normal dan bahwa dia nggak tahu malu?” ucapku mengulangi pertanyaanku.
“Nggak. Gue yakin tadi lo
bilang ‘jadi menurut lo kelakuan gue nggak normal dan bahwa lo nggak tahu
malu’?” sanggah Dara yang disambut anggukan Adri dan Jana. Aku terdiam sejenak
untuk memikirkan jalan keluar dari di lemaku ini. Tanpa kusangka-sangka
ternyata kekecawaanku pada Kafka menampakkan wajahnya juga meskipun aku sudah
berusaha untuk menahan rasa itu. Aku seharusnya memilih film komedi romantic
saja tadi. Kenapa aku harus memilih film-film dengan tema “crazy stalker
women”? aggghhh…. Aku seperti sedang menggali kuburanku sendiri. Aku tidak
berniat menceritakan tentang perkembangan hubunganku dengan Kafka kepada
sobat-sobatku, tapi sepertinya kini aku tidak memiliki pilihan lain.
“Nad?” suara Adri terdengar khawatir ketika mengatakannya
Kutarik napas dalam-dalam. “Oke. Gue ada sesuatu yang gue mesti cerita ke elo
semua.” Kumulai penjelasanku dengan suara perlahan. Dan sepertinya aku
terdengar labih serius daripada yang aku rencanakan karena Jana langsung
mematikan TV, Adri menuntunku untuk kembali duduk di sofa, dan Dara meletakkan
potongan pizza yang baru setengah termakan kembali ke kotaknya di atas meja.
“Lo pada masih ingat Kafka, kan?” pertanyaan itu disambut oleh anggukan serasi
dari ketiga sobatku. “Well. Kayaknya gue… gue cinta sama dia.” Akhirnya aku
bisa mengucapkan kata-kata itu. Jana dan Dara langsung terpekik gembira dan
Adri tersenyum lebar. Namun kata-kataku selanjutnya membuat mereka bertiga
kelihatan bingung dan tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. “Tapi dia nggak…
dia nggak…. Intinya dia nggak suka sama gue,” ucapku dengan susah payah dan
mulai menggigit bagian dalam mulutku dalam usaha untuk menahan tangis. Sudah
selama satu bulan ini aku berhasil memendam semua rasa ini sendiri, tapi
sekarang semua kesedihan dan kekecewaan tidak terbendung lagi dan aku mulai
menangis. “Yang bikin gue kesel sama dia… hiks… hiks… hiks… adalah karena
selama ini… hiks… hiks… hiks… dia sudah bikin gue percaya… hiks… hiks… kalau
dia interested sama gue.” Untungnya kemudian Jana menempelkan selembar tisu
pada telapak tanganku sehingga aku bisa membersit hidungku. Dara menggenggam
tanganku, memintaku agar melanjutkan ceritaku. “Tapi tahu-tahu sehabis Tahun
Baru… hiks… hiks… dia berhenti kontak gue sama sekali,” ucapku akhirnya. Ketiga
sobatku terdiam beberapa menit, kemudian mulai berebutan berbicara. “What a
jerk,” omel Jana. “Dasar laki-laki, laki-laki,” ucap Dara sambil
menggeleng-geleng dan mengeluarkan suara yang mirip ayam berkotek. “Cup… cup…
dah… dah… jangan nangisin dia kayak begini Cuma gara-gara dia nggak kontak elo,
oke. Lo ini Nadia, perempuan paling baik yang gue pernah tahu. Dianya saja yang
terlalu goblok untuk menghargai elo.” Kata-kata Adri membuatku merasa bersalah
karena jelas sobat-sobat menyangka bahwa Kafka adalah penjahatnya dan aku
adalah korban yang telah teraniaya. Aku pun berusaha membela Kafka. “Tapi ini
semua bukan hiks… salahnya dia doing. Ini salah hiks… gue juga,” ucapku sambil
menghapus air mata yang sudah membanjiri pipiku. “Maksudnya?” hanya Dara yang
menyuarakan pertanyaan itu, tetapi aku tahu bahwa Jana dan Adri juga memikirkan
hal yang sama Akhirnya dengan susah payah dan harus berhenti beberapa kali
untuk membersit hidungku, aku berhasil menceritakan dengan detail segala
sesuatu yang terjadi di antara aku dan Kafka sebelum dan sesudah
Tahun Baru. “Lo pada tahu kan
hiks…. Kalau gue nggak pernah hiks… ngejar cowok?” pertanyaanku mendapat
anggukan antusias dari Dara dan Jana, tetapi Adri hanya menggerakkan kepalanya
sedikit ke kiri. “Dan memang bukan tugas perempuan untuk ngejar laki-laki,”
dukung Jana “Tapi gue ngejar dia, Jan. gue coba untuk hiks… ngedapatin dia,”
raungku. “Well… bukan hal baru buat perempuan untuk ngejar sesuatu yang dia
mau,” sambung Jana tanpa ragu-ragu dengan wajah yang cukup meyakinkan tanpa
meringis. “Parahnya lagi… hiks… gue tahu dia di luar jangkauan gue, hiks… tapi
gu tetep nyoba, karena gue pikir dia suka sama gue,” lanjutku. Ketiga sobatku
tidak mengatakan apa-apa. “Gue Cuma hiks… masih belum bisa percaya saja kalau
dia tega ngeginiin gue,” tambahku.
Sebagai orang yang paling berpengalaman dengan kaum laki-laki,
Dara mencoba menenanganku. “Dia itu laki-laki, Nad. Sudah di darah mereka untuk
ngaco kayak begitu. Terutama laki-laki yang hot, mereka ada kecenderungan untuk
lebih ngaco daripada yang nggak hot, karena orang lebih mau maafin kelakuan
mereka.” Aku mengangguk menanggapi komentar ini. “Dan itulah salah satu sebab
kenapa gue nggak pernah date laki-laki yang terlalu hot buat gue,” celetuk Adri
yang langsung disambut tertawa cekikikan Jana dan Dara. “Eh, lo pada, kenapa
ngetawain gue?” omel Adri sambil mengerutkan dahinya. “Elo bukan Cuma nggak
pernah nge-date laki-laki hot, Dri, tapi lo nggak pernah nge-date. Titik.”
Jawab Jana. Adri kelihatan berpikir sejenak sebelum membalas, “Well, that’s
true. Tapi intinya adalah ada alasan kenapa gue milih untuk tetap single.
Terserah deh sama pendapat orang yang bilang laki-laki sama perempuan itu sama,
soalnya kadang-kadang gue suka bertanya-tanya apa laki-laki itu sebetulnya
alien, bukan manusia kayak kita.” Adri terdengar berapi-api ketika mengutarakan
dukungannya, tetapi ketika menerima kerlingan Jana, Adri buru-buru menambahkan,
“Minus suami lo tentunya, Jan.” “Nggak kok, gue setuju sama elo kalau laki-laki
itu kadang-kadang suka aneh jalan pikirannya,” ucap Jana. “Lho, kalau lo setuju
sama pendapat gue, kenapa lo tadi pakai melototi gue kayak gitu?” Tanya Adri
kesal. “Gue nggak melototin elo kok,” bantah Jana. “Jana melototin gue kan
tadi, Ra?” Adri meminta dukungan Dara yang kelihatan pasrah sebelum kemudian
mengangkat kotak tisu dari meja dan menertawakannya padaku. Melihat kelakuan ketiga
sobatku, aku jadi tertawa. Pertama-tama mereka menatapku seperti aku sudah gila
karena tiba-tiba tertawa sendiri, tapi kemudian mereka tertawa juga. Kami mulai
dari cekikikan, tapi sebelum lama kami sudah tertawa terbahak-bahak. Butuh
waktu agak lama bagi kami untuk bisa tenang lagi. “Gue Cuma sedih karena untuk
beberapa bulan gue pikir kalau Kafka sudah nerima gue apa adanya, meskipun dia
tahu sifat asli gue kayak apa. Dia satu-satunya orang di dunia ini yang tahu
sifat asli gue.” Gumamku. “Kita tahu sifat asli elo dan kita nerima elo. Kenapa
elo mesti malu sama sifat lo yang selalu perhatian dan baik…” “Gue selalu
berpikir kalau gue nggak pantas untuk temenan sama lo bertiga,” kupotong
omongan Adri
dan mendapat tatapan bingung
ketiga sobatku. Kulanjutkan dengan menjelaskan area-area di mana aku merasa
kurang kalau dibandingkan dengan mereka semua. “Ya ampun, Nadia. Gue minta maaf
kalau selama ini lo ngerasa kayak gitu tentang gue,” ucap Adri yang diikuti
kata-kata yang sama oleh Jana. “Lo ini lemnya kita berempat, Nad. Kalau nggak
ada elo, mungkin gue, Adri, dan Jana sekarang sudah mencar ke mana-mana karena
terlalu sibuk sama urusan masing-masing,” jelas Dara. “Lo yang selalu punya
inisiatif untuk ngajakin ngumpul dan ngejaga tali persahabatan kita untuk tetap
hidup,” sambung Jana. “Jadi jangan pernah ngerasa kayak gitu lagi oke. Kita
tahu elo dan sifat-sifat asli lo. Lo ini pintar, penyayang, perhatian… intinya
elo ini baik, dan jangan pernah lo ragu tentang itu,” tandas Adri. Aku terdiam
sejenak untuk menatap wajah ketiga sobatku yang kelihatan sangat
bersungguh-sungguh. Aku tidak tahu bagaimana kami bisa berakhir di sini, di
dalam percakapan ini. Satu menit kami sedang membicarakan Kafka, menit
selanjutnya aku sudah menumpahkan segala unek-unek yang sudah kupendam selama
satu decade lebih, ke mereka semua. “Gue sebetulnya paling sebal kalau orang
nyeritain masalah mereka ke gue dan mengharapkan gue untuk menjadi pendengar
yang baik, seakan-akan gue nggak punya hidup gue sendiri dan harus ngedengerin
ceita nggak bermutu mereka,” ucapku tiba-tiba. Dan seperti mengerti kodeku,
Adri dan Dara mengungkapkan hal-hal yang selama ini tidak diketahui oleh orang
lain tentang mereka juga. “Gue hampir tinggal kelas waktu pertama kali pindah
ke Amerika karena nggak bisa ngikutin pelajaran,” aku Adri dengan muka memerah
yang membuatku ternganga karena selama ini aku menyangka bahwa orang seambisius
Adri tidak akan pernah mungkin mengalami masalah dalam belajar. “Ortu gue nggak
pernah kasih perhatian cukup ke gue, mereka selalu lebih milih Mbak Olin
daripada gue,” ucap Dara sambil tersenyum garing. Tiba-tiba aku mulai sedikit
mengerti kenapa Dara selalu mencoba menarik perhatian setiap orang, itu semua
untuk mengompensasi kurangnya perhatian di rumah. “Gue capek karena orangtua
gue selalu mengharapkan sesuatu yang lebih dari gue Cuma gara-gara gue seorang
Oetomo,” Jana mengatakan ini dengan penuh humor dn aku pun tersenyum,
menghargai usahanya untuk membuatku merasa baikkan. Pernyataan mereka membuatku
tersenyum dan merasaa bahwa ternyata semua orang pasti akan selalu merasa
kurang dan tidak puas terhadap sesuatu, tetapi kita harus tetap hidup dan
mencoba untuk mengatasi rasa ketidaknyamanan itu. Ku buka tanganku lebar-lebar
dan ketiga sobatku langsung memelukku. Pelukan mereka membuatku semakin yakin
bahwa mereka betul-betul menyayangiku dan menerimaku apa adanya. Jana-lah orang
pertama yang melepaskan pelukannya, “ Masih sedih soal Kafka, Nad?” tanyanya.
Aku yang dulu, yang tidak pernah mau menyusahkan orang lain, mungkin akan
langsung menggeleng, tapi aku sudah tidak perlu menyembunyikan perasaanku lagi
di hadapan mereka. “Masih. Sedikit.” Ucapku sambil mencoba tersenyum. “Ada yang
bisa kita bantu?” lanjut Jana dengan suara sehalus mungkin. “Kecuali kalau lo
semua kenal laki-laki yang tampangnya kayak Christian Bale dan mau nge-date
sama gue, kayaknya nggak ada yang bisa lo pada bantu,” balasku bercanda.
“Mmmhhh… gue nggak tahu kalau Christian Bale ya, tapi gue tahu cowok cukup
ganteng yang interested sama elo,” ucap Jana tiba-tiba.
“Gue bercanda, lagi.” Balasku
“Gue serius nih,” bantah Jana. “Gue nggak perlu cowok ganteng, cute, hot,
seksi, pokoknya cowok yang bisa bikin gue ngiler. Keadaan gue sampai gue kayak
gini sekarang gara-gara mereka. Gue Cuma mau cowok yang biasa-biasa saja, asal
dia baik sama gue dan nggak akan menelantarkan gue,” jelasku sambil
menyandarkan punggungku pada sandaran sofa. “Nggak mungkin cowok yang bikin
kita ngiler itu buaya kok, Nad.” Jana terdengar optimis ketika mengatakannya.
“Tapi rata-rata mereka memang buaya, kan?” celetuk Dara. Jana hanya tersenyum
mendengar celetukan Dara. Ternyata Jana memang betul-betul serius tentang
laki-laki yang katanya interested denganku ketika dia mulai menceritakan
tentang Elang, salah satu teman arsiteknya yang melihatku di resepsi
pernikahannya beberapa bulan yang lalu itu dan minta untuk dikenalkan kepadaku
oleh Jana. Menurut Jana, Elang orangnya cute, baik, pintar, dan sudah mapan.
Dan yang lebih penting adalah dia orangnya penuh perhatian dan selalu sensitive
dengan perasaan wanita sehingga dia tidak akan memperlakukanku seperti Kafka
memperlakukanku. “Jadi gini saja. Gue bakal telepon Elang besok pagi atau
mungkin nanti malam untuk ngasih nomor telepon lo ke dia, oke?” ternyata Jana
superserius. Dia bahkan terdengar sangat antusias menawarkan bantuannya,
sehingga aku hampir tidak tega untuk menolaknya. “Hampir”, tapi aku tetap
menolaknya. “Tapi Jan, gue nggak tahu apa gue siap untuk ketemu cowok baru
sebelum gue bisa betul-betul ngelupain Kafka.” Ucapku. Meskipun awalnya aku
tidak tahu bahwa inilah alasan utama kenapa aku menolak, tetapi secepat kilat
kusadari kebenaran dari alasan ini. “Nah, itulah fungsinya cowok baru, Nad,
untuk ngelupain yang lama. Lebih cepat lebih baik,” Dara nyeletuk dan langsung
menerima protes Adri dan Jana. “Husss… lo nih benar-benar aliran sesat.” Omel
Adri “Karma, Ra, ingat karma,” sambung Jana. “Yee…. Hari hini masih percaya
karma. Gue saja yang sudah praktikin metode itu dari gue umur empat belas,
masih oke-oke saja, kan?” sanggah Dara. “Karma tuh nggak ada, lagi. Percaya
sama gue,” lanjutnya dengan yakin. Lain dengan Dara, aku adalah orang yang
percaya seratus persen dengan karma, maka dari itu aku selalu mencoba untuk
tetap di jalan yang lurus supaya aku, anakku, cucu, dan cicitku tidak akan sial
hidupnya. Dan meskipun Dara adalah sahabat terdekatku dan aku cinta mati
padanya, tetapi bukan berarti aku buta akan kecacatannya. Mungkin Dara tidak
bisa melihat ini, tapi dia sudah menerima karmanya dengan belum pernah memiliki
hubungan serius dengan laki-laki semenjak SMP. Akhirnya aku memutuskan untuk
tidak menghiraukan komentar Dara. “Pokoknya nanti kalau lo ketemu sama Elang,
lo jelasin saja ke dia kalau lo mau mulai casual dulu, supaya dia nggak salah
sangka,” ucap Jana sambil memberikan senyuman penuh dengan dukungan padaku. Aku
baru akan protes lagi ketika Adri memotongku, “Lo coba saja dulu, Nad. Kalau
misalnya nanti nggak cocok, lo kan nggak rugi apa-apa.” Akhirnya aku
mengangguk, menyetujui rencana itu. Aku tidak tahu apakah aku baru saja setuju
untuk menyelam sambil minum air atau malah sudah jatuh tertimpa tangga? Aku
bahkan tidak tahu apakah dua peribahasa itu tepat untuk menggambarkan
situasiku. Aku rasa aku akan tahu dalam waktu dekat ini.
Crash Into You - AliaZalea - Bab 15
No comments:
Post a Comment