Saturday, September 5, 2015

Crash Into You - AliaZalea - Bab 15

Bab 15 

6 Maret 

Aggghhh…. Bisa nggak sih cowok itu jadi normal dan ngomong jelas-jelas apa yang ada di pikirkan mereka? Gue kan sudah dewasa, gue bisa terima kok kalau misalnya dia bilang dia memang nggak suka sama gue. Mesipun itu mungkin akan ngebunuh gue, tapi gue tetap bisa terima kalau itu memang kenyataannya. *** Bertekad untuk melupakan Kafka sepenuhnya, aku membuka pikiranku lebar-lebar ketika bertemu dengan Elang yang ternyata memang segala sesuatu yang telah digembar-gemborkan oleh Jana. Dan kalau saja kepalaku tidak masih terpaku pada Kafka, maka aku pasti akan merasa tersanjung oleh perhatian yang diberikan Elang padaku. Lain dengan Kafka yang memang sudah memiliki sejarah denganku, bersama Elang aku mulai dari angka nol. Keuntungannya adalah bahwa aku memulai lembaran baru yang masih putih bersih tanpa ada memori trauma atau persepsi apa pun mengenainya. Sisi negatifnya adalah bahwa karena aku tidak mengenalnya sama sekali, maka aku harus melakukan tahap penjajakan yang cukup lama. Pada kencan pertama, pada dasarnya kami hanya membicarakan tentang Kafka dan usahaku untuk melupakannya. Elang dengan rela dan sabar mendengarkan ceritaku, dan tanpa di minta dia langsung berkata bahwa dia mengerti kalau misalnya aku memerlukan waktu untuk sendiri dulu. Tersentuh pada kesensitifannya, aku langsung mengajaknya untuk kencan yang kedua. Hal ini terus berlanjut sehingga tahu-tahu aku sudah menghabiskan setiap akhir mingguku dengan Elang selama sebulan terakhir ini. Meskipun begitu, Kafka masih tetap ada di dalam pikiranku, walaupun sudah tidak sesering dulu lagi. Aku kini bahkan bisa pergi bertemu dengan Karin tanpa harus waswas dia akan menyebutkan nama Kafka di hadapanku atau bahkan bertemu dengan Kafka sekalian. Aku tidak tahu penjelasan apa yang dikatakan oleh Kafka kepada Karin ketika dia hampir memergoki kami di Onwer’s Box kelabnya itu, tetapi klienku itu sama sekali tidak pernah menyinggung perkara tersebut. Awalnya aku tidak tahu apakah aku seharusnya merasa lega dengan keadaan ini atau justru kecewa. Tapi setelah setiap kali mencoba mengingat betapa beruntungnya aku dengan kecuekan Karin dan akhirnya justru merasa kesal, maka aku menyimpulkan bahwa kekecewaanlah yang kurasakan karena Kafka jelas-jelas tidak pernah menceritakan tentang sejarahku dengannya pada adiknya itu. Menginjak bulan april aku sudah mulai merasa sedikit nyaman dengan kehidupan keseharianku yang baru dan bebas dari Kafka. Janji kencan dengan Elang hari sabtu? Beres. Kesehatan jantung Papa sehat dan stabil. Website setiap klien di bawah naunganku? So far belum ada yang mengeluh kepada bosku dan mengatakan bahwa aku tidak kompeten. Cekcok dengan rekan kerjaku tanpa ada alasan yang jelas? Hanya satu kali dan itu pun tidak di depan semua orang dan menurutku hanya bisa dikategorikan sebagai diskusi karena perbedaan pendapat yang akhirnya bisa terselesaikan dengan damai. Berapa kali Kafka terlintas di dalam pikiranku? Hanya sekitar sepuluh kali setiap hari yang merupakan kemajuan pesat kalau mengingat bahwa Kafka selalu muncul di dalam pikiranku setiap lima menit selama bulan Januari hingga Februari. Dan mudah-mudahan pada akhir minggu ini aku sudah bisa menurunkan angka itu menjadi satu digit saja. Kini setidak-tidaknya rasa sakit yang menyerang jantungku kalau tiba-tiba teringat akan Kafka sudah tidak separah dulu lagi.
Karena sudah melakukan kesalahan yang cukup fatal dengan Kafka, aku berusaha sebisa mungkin untuk menguah tatacara pendekatanku dengan Elang dengan melakukan segala sesuatu yang tidak kulakukan ketika dengan Kafka dan tidak melakukan hal-hal yang kulakukan dengan Kafka. Intinya aku kembali sembunyi dibalik topengku sebagai orang yang ramah, tapi kini aku mencoba mebuat diriku mengerti bahwa sifat ramahku bukanlah topeng melainkan wajahku yang sebenarnya. Awalnya aku merasa agak canggung, tapi semakin hari aku semakin yakin bahwa sobat-sobatku benar. Inilah diriku yang sebenarnya. Nadia yang ramah, sopan, penuh perhatian, baik, dan penyayang. Setelah berpikir-pikir lagi, aku menyadari bahwa tingkah lakuku kalau sudah berurusan dengan Kafka adalah suatu pengecualian yang harus kuabaikan. Dan sepertinya usaha pengabaianku cukup berhasil karena hubunganku dengan Elang tidak ada mirip-miripnya dengan hubunganku dengan Kafka. Hingga kini Elang masih tetap sopan dan tidak pernah menyebutkan satu kata pun yang menyerempet urusan pakaian dalam, dia bahkan belum pernah memberiku ciuman atau menggandeng tanganku tanpa seizinku. Yang jelas dia belum pernah melihatku bertingkah laku liar seperti melakukan aksi striptease karena mabuk berat. Dengan Elang aku kembali kepada pola pendekatanku dengan semua pacarku yang terdahulu, yaitu pola yang terasa nyaman dan terbukti efektif karena tidak ada dari mereka yang pernah pergi meninggalkanku tanpa ada kabar berita. Dan kusadari bahwa inilah jenis hubungan yang kuperlukan. Sesuatu yang meskipun kelihatan membosankan tetapi aman. Jenis hubungan saat kalau aku mau aku bisa menarik diriku kapan saja tanpa ada penyesalan yang mendalam. Tetapi lain dengan sebelum-sebelumnya, kini aku merasa bersalah kepada Elang karena telah membuatnya percaya bahwa perasaanku padanya lebih dalam daripada yang kini kurasakan. Selama enam minggu belakangan ini aku sudah mencoba untuk meyakinkan diriku bahwa perasaan tidak enak yang kualami setiap kali keluar dengan Elang lambat-laun akan hilang setelah aku sudah mulai terbiasa dengannya. Tapi kini aku tahu bahwa perasaan tidak enak itu tidak akan pernah pergi selama hubungan kami masih di dasari alasan yang salah, dan aku tahu bahwa aku harus segera mengakhiri sandiwara ini sebelum betul-betul menyakiti seorang laki-laki sebaik Elang. *** Ketika bulan Mei tiba, aku sudah siap untuk mengakhiri hubunganku dengan Elang, tetapi sebelumnya aku harus melalui mala mini terlebih dahulu. Seminggu yang lalu sebuah undangan datang dari Empire dengan tanda tangan ketiga pemiliknya. Kelab itu akan merayakan ulang tahunnya yang pertama. Kali ini aku memutuskan untuk pergi bukan karena paksaan dari bosku, tetapi karena ingin membutikan kepada diriku sendiri bahwa keputusanku mengakhiri hubungan dengan Elang bukan Karena aku masih menyimpan rasa untuk Kafka. Dan aku yakin bahwa cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan pergi ke acara ini dengan harapan bahwa aku akan bertemu dengan Kafka dan aku tidak akan merasakan apa-apa. Tidak ada rasa seperti ada yang menusuk jantungku dengan pisau, memasukkan gumpalan kapas ke dalam mulutku sehingga aku tidak bisa bernapas, atau sesuatu yang terbang-terbang di dalam perutku. Aku TIDAK AKAN merasakan apa-apa. Tepat pukul delapan malam Elang menjemputku dari rumah kosku untuk menuju Empire. Selama perjalanan yang memakan waktu satu jam itu, keringat dingin mulai membasahi cheongsam yang kukenakan. Dan sepertinya perayaan ulang tahun Empire ini akan lebih meriah dariapada acara Tahun Baru karena pelataran parkir sudah superpadat sehingga memerlukan waktu setengah jam untuk mendapatkan tempat parkir. Seakan-akan itu belum cukup, di hadapan pintu masuk kelab, karpet merah
terbentang dan di penuhi artis Indonesia yang sedang berpose untuk diambil fotonya atau menjawab pertanyaan para reporter. Intinya acara ulang tahun kelab ini kelihatannya akan lebih meriah daripada malam penganugerahan Piala Citra atau malam final Indonesia Idol. Aku yang masih terkesima dengan pemandangan di hadapanku hanya bisa terdiam dan memerintahkan kakiku untuk tetap bergerak. Elang yang sepertinya lebih bisa memahami keadaanku di sekelilingnya, tidak melepaskan genggaman tangannya dan menuntunku melalui karpet merah itu, menuju pintu masuk. Selama berjalan, tidak hentinya aku mendengar para reporter berteriak untuk meminta salah satu artis agar berpose untuk mereka, bunyi klik…. Klik… klik…, dan merasakan kerlipan blitz kamera mereka. Ketika kami sampai di pintu masuk kelab, dapat kurasakan bagian belakang cheongsam-ku sudah basah kuyup. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa keadaan fisikku ini disebabkan cuaca Jakarta yang sangat ekstrem akhir-akhir ini, tetapi keyakinan ini amblas ketika aku baru mengambil satu langkah memasuki Empire dan berhadapan langsung dengan sumber kepanikanku. Dia mengenakan satu set jas berwarna hitam, berikut rompinya, dibawahnya dia mengenakan kemeja berwarna putih dengan cuff-links berwarna emas, tanpa dasi. Seakan-akan apa yang dia kenakan belum cukup untuk membuatku ingin menendang diriku sendiri, kepala hampir plontos ala David Beckham-nya membuat langkahku terhenti di tempat. Aku hanya bisa menatapnya dengan mulut terbuka. Selama ini aku menyangka bahwa Kafka itu looks good, tetapi malam ini…. OH, MY GOD…. Dia membawa kata “good” ke level yang lebih tinggi lagi. Seperti kalau melihat Oreo brownies, aku ingin melarikan lidahku untuk merasakannya. Merasakan seluruh tubuhnya, dari ujung rambut hingga ujung kaki, sebelum kemudian mengambil sendok, memakannya sedikit demi sedikit untuk betul-betul menikmatinya dan mengucapkan kata “mmmhhh” ketika rasa brownies itu menyentuh lidahku dan meleleh di dalam mulutku. Elang yang menyadari bahwa aku sedang bengong segera mengikuti arah mataku dan berkata, “Ahh, jadi ini yang namanya Kafka.” Mendengar kata-kata itu aku langsung menelan ludah sebelum menoleh dan melihat Elang sedang tersenyum penuh pengertian. Ohhh…. Aku memang tidak berhak untuk berdiri di sebelah orang sebaik Elang. Dengan perasaan bersalah aku mengangguk. Untungnya kemudian seorang staf Empire atau mungkin staf event organizer acara ini yang mengenakan pakaian serba-hitam meminta kami untuk terus melangkah maju agar tidak membuat macet aliran tamu yang datang, sehingga aku tersadar kembali dari shock-ku. Seperi merasakan kehadiranku, Kafka menoleh dan mata kami bertemu. Tanpa ada seutas rambut pun yang menutupi matanya, untuk pertama kalinya aku menerima efek penuh dari tatapan matanya yang teduh itu. Sekilas aku seperti melihat semua perasaan yang tidak terkatakan olehnya. Percampuran antara pertanyaan, harapan, kekecewaan, dan kemarahan, semua perasaan yang juga kurasakan ketika melihatnya. Tapi lebih dari apapun, tatapannya itu menyulutkan rasa untukku. Dan meskipun rasa itu tidak dalam, tetapi aku lebih memilih ekspresi seperti ini daripada perlakuan dinginnya padaku. Tapi kemudian tatapan Kafka beralih kepada Elang yang berdiri di sampingku dan ketika tatapan itu kembali kepadaku, ekspresinya sudah berganti menjadi sesuatu yang hanya bisa kugambarkan sebagai kekosongan, seperti seseorang yang tidak mampu merasakan apa-apa, bahkan cintaku yang sudah meluap-luap sampai-sampai hanya melihatnya lagi saja setelah tiga bulan ini membuatku sesak napas. Dan pada detik itu aku menyadari bahwa kedatanganku ke Empire malam ini adalah kesalahan paling fatal yang pernah kulakukan sepanjang hidupku. Kenapa aku melakukan ini pada diriku sendiri? Masih
mengharapkan mimpi yang jelas-jelas tidak akan pernah menjadi kenyataan. Kalau saja tanganku tidak sedang digenggam erat oleh Elang. Aku mungkin sudah lari keluar kelab itu seperti sedang dikejar setan. Dan ternyata itulah yang kuperlakukan untuk mengatasi situasi yang ada di hadapanku. Aku lebih rela mati daripada menunjukkan kepada Kafka bahwa dia sudah menyakitiku dengan tidak menghiraukanku sehingga membuat takut berhadapan dengannya. Kutarik napas dalam-dalam dan bersiap-siap untuk melambaikan tangan kepada Kafka ketika tiba-tiba Karin muncul di hadapanku dan menutupi Kafka dari pandanganku. “Nadia, you made it,” ucap Karin antusias sambil memeluk dan mencium pipi kiri daan kananku dengan mengatakan “muah” setiap kali pipi kami bertemu.
Aku membalas pelukan dan ciuman itu tetapi terlalu mengahargai harga diriku untuk mengikuti ciuman ala Tyra Banks dan memutuskan untuk merapatkan bibirku dan tidak mengatakan “muah”. Karin lalu berlanjut dengan memintaku untuk berputar dihadapannya agar dia bisa betul-betul menilai pakaian, sepatu, dan aksesori yang kukenakan malam itu. Dia kemudian tersenyum dan aku yakin bahwa penampilanku memenuhi standarnya. “And who’s this?” Tanya Karin sambil dengan tidak sopannya menatapn Elang dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kini giliran Elang yang menerima tatapan kritis Karin. Sebelum aku bisa membuka mulut, elang sudah berkata, “Elang. Date Nadia untuk malam ini,” sambil mengulurkan tangannya, siap menjabat tanga Karin. Date-ku ini tidak kelihatan risi sama sekali di bawah tatapan Karin. Dan memang tidak memiliki alasan untuk merasa risi. Sejujurnya, setelah Kafka mungkin Elang adalah laki-laki nonselebriti yang mendapatkan paling banyak perhatian, tidak hanya dari perempuan, tapi juga beberapa laki-laki di Empire malam itu. Salah satu lengkungan alis Karin yang sempurna itu naik beberapa derajat ketika mendengar penjelasan elang tentang statusnya, yang membuatku bertanya-tanya kenapa dia kelihatannya tidak menyetujui hubunganku dengan Elang. Dan kenapa aku harus peduli tentang perasaan klienku ini terhadap Elang? Toh aku tidak perlu persetujuannya untuk nge-date dengan siapa pun yang aku mau. Ketika aku mulai khawatir bahwa Karin akan menolak untuk menjabat tangan date-ku, dia mengulurkan tangan dan menjabat tangan Elang dengan singkat. Aku tahu bahwa Elang menyadari bahwa Karin sedang memberikan perlakuan dingin padanya, karena tanda-tanda yang diberikan oleh Karin tidak bisa dikatakan halus, tetapi tidak sekali pun senyuman yang menghiasi wajah Elang menghilang. Untuk mengalihkan perhatian Karin dari Elang, aku membuka topic baru. “Omong-omong sejak kapan Empire ganti dekor?” ucapku sambil manatap sekelilingku yang kelihatan cukup terang sehingga aku bisa melihat sebuah panggung cukup besar yang terletak di sudut kelab, dan di atasnya ada beberapa TV flat-screen. Kusadari bahwa musik yang terlantun dari speaker adalah lagu Aerosmith, bukan jenis musik yang biasa di dengar oleh pengunjung Empire, belum lagi musik itu dipasang dengan volume yang cukup rendah, sehingga aku bisa berbicara dengan Karin tanpa harus berteriak. Sebulan yang lalu ketika aku bertemu dengan Karin untuk membahas informasi apa yang ingin di iklankan di website Empira tentang perayaan ulang tahun ini, klienku itu berkelakuan seperti dia sedang menyimpan rahasia Negara dan tidak mengatakan padaku apa yang dia rencanakan. Dia hanya memintaku untuk menambahkan kata-kata “COME AND CELEBRATE OUR 1st ANNIVERSARY. DOOR OPENS AT 8 PM” dengan huruf Arial Black berwarna merah darah dan efek Ease In. kata-kata inilah yang pertama kali menyambut setiap orang
yang membuka website Empire. “ini ide Maya untuk anniversary Empire,” jelas Karin dengan mata berbinar-binar. Ketika melihat tatapan bingungku, dia menambahkan, “Karaoke Night” dengan antusias. Mulutku hanya bisa membentuk huruf O tanpa mengeluarkan suara. Aku sedang mencoba untuk memutuskan apakah ini adalah ide paling brilian yang pernah dikeluarkan oleh seseorang atau justru paling tidak masuk akal. Aku belum pernah mendengar konsep clubbing yang digabungkan dengan karaoke, dan aku tidak yakin bahwa kedua konsep ini BISA digabungk. “So what do you think?” pertanyaan Karin membuyarkan jalan pikiranku. “Uhm… idenya agak beda dari biasanya,” jawabku hati-hati, padahal yang sebetulnya ingin aku katakana adalah, “Lady, are you crazy?” “Yesss… I know. Isn’t it brilliant?” Aku hanya mengangguk karena bukannya aku bisa mengatakan hal yang bertolak belakang dengan pendapat klienku yang kelihatan lebih antusias daripada anak kecil ketika bertemu dengan Santa Claus untuk pertama kali. Selama sepuluh menit ke depan Karin menyempatkan diri untuk menjelaskan konsep Karaoke Night itu dengan panjang-lebar. Meskipun tatapanku mengarah pada wajah Karin, tetapi pikiranku sudah melayang entah ke mana. Mungkin ini perasaanku saja, tetapi aku bisa merasakan tatapan Kafka padaku, membelai kulitku sehingga membuat bulu-bulu di tanganku berdiri. Tetapi aku menolak untuk berjinjit dan melihat ke belakang Karin untuk memastikan apakah Kafka masih berdiri di sana atau tidak. Setelah Karin selesai dengan penjelasannya dan meninggalkan aku berdua dengan Elang. Kafka sudah tidak kelihatan di mana pun. Dan seharusnya aku bisa mengembuskan napas lega, tetapi perutku justru terasa seperti sedang diikat dengan simpul jangkar. “Jadi itu adik kafka?” Tanya Elang padaku. Aku cukup terkejut Elang masih ingat tentang Karin, seingatku hanya menyebutkan namanya satu kali, yaitu ketika kencan kami yang pertama. Aku pun mengangguk dan Elang tidak mengatakan apa-apa lagi. Selama dua jam kemudian, setelah mendengar pidato terima kasih yang diucapkan oleh Maya (Akhirnya aku bisa juga melihat pemilik Empire yang satu lagi. Yang aku tidak tahu adalah bahwa Maya ini adalah Maya Saputra, salah satu pengarang lagu paling top Indonesia), aku mendengar dua puluh persen populasi pengunjung Empire malam itu menampilkan bakat mereka di atas panggung dengan menyanyikan berbagai macam lagu. Mulai dari Baby Got Back hingga The Thong Song, dari selamanya cinta milik Yana Julio hingga kau dan aku-nya nidji, banyak dari mereka memiliki suara yang lumayan, terutama beberapa artis sinetron yang sama sekali tidak kusangka bisa menyanyi, tapi banyak juga dari orang-orang itu tidak bisa membedakan kunci G dengan kunci F, atau A minor dengan A mayor. Meskipun begitu, para pengunjung Empire kelihatan antusias dengan hiburan ini dan terus meneriakkan dukungan mereka, bahkan nge-dance dengan lagu apa pun yang dipilih oleh si pemegang mic saat itu. Sejujurnya aku menikmati malam itu lebih daripada yang ingin kuakui. Aku tidak bisa ingat terakhir kali aku tertawa hingga pipiku sakit dan leherku serak. Tawaku semakin menjadi ketika melihat cara Elang nge-dance ala Mansyur s. tidak peduli bahwa lagu yang sedang dinyanyikan adalah hip-hop, rock, ataupun pop. Tapi di antara semua tawaku, pikiranku tidak bisa jauh dari Kafka, terutama ketika tanpa kusadari atau kuinginkan tubuhku sudah bereaksi terhadap Kafka. Beberapa kali aku merasakan embusan angin dingin pada tengkukku dan membuatku bergidik sebelum kemudian kulihat bahwa Kafka sedang memperhatikanku dari seberang ruangan sambil menyipitkan mata. Rompi hitam yang dikenakannya sudah ditanggalkan kancingnya dan dia menggenggam gelas pendek, yang aku yakin isinya
bukan es teh, di tangan kanannya. Dia kelihatan seperti bos mafia yang sedang marah. Awalnya aku bertanya-tanya kenapa dia tidak turun ke lantai seperti Maya dan Karin yang kelihatan sedang bersosialisasi dengan para pengunjung dan menikmati suasana riuh-rendah Empire malam itu, tapi setelah dua jam dan melihat wajah Kafka tidak berganti ekspresi, aku yakin bahwa dia sedang berusaha untuk menakut-nakutiku dengan tatapannya. Sekali lagi aku menolak memberinya keputusan itu. Aku tahu detik ketika tatapan Kafka tidak lagi terpaku padaku, itulah ketika kurasakan darah mulai mengalir di sekujur tubuhku dan aku bisa bernapas lagi, tetapi kutolehkan kepalaku juga, hanya untuk memastikan. Yep… Kafka sudah menghilang entah ke mana. Dan aku seharusnya merasa lega, tetapi tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan apa yang kurasakan saat itu. Untuk menghapus kebingunganku, aku member tahu Elang bahwa aku haus dan perlu minum dan Elang menuntunku ke salah satu sofa sebelum melambaikan tangan untuk memanggil salah satu staf Empire dan memesan minum. Aku sedang menghirup Mojito-ku dan merasakan alcohol di dalam minuman itu melonggarkan otot-ototku, ketika lagu Timbaland berakhir dan kulihat Karin naik ke panggung dan mengambil alih mic. “Hei, semua. Are you all having fun?” Tanya Karin yang disambut teriakan “yeah” dan tepuk tangan semua orang. “I just would like to thank all of you for coming tonight and celebrating Empire’s first year,” lanjut Karin sambil tersenyum. “Minggu ini nggak Cuma Empire yang ulang tahun, tapi juga Kafka, kakak gue tercinta yang as you know owns one-third of this club.” Ucapan Karin ini disambut teriakan selamat ulang tahun dari beberapa orang. Aku hanya bisa terdiam dan secara reflex mulai celingukan mencari Kafka. Rupanya Kafka Taurus bintangnya. Kusimpan informasi itu baik-baik untuk ditarik kembali jika perlu. “Mas Kafka? Where are you?” Karin lalu juga celingukan untuk mencari keberadaan kakaknya itu, dan tidak lama kemudian sebuah spotlight sudah bersinar kepada Kafka yang sedang menyandarkan tubuh dengan santai pada sebuah pilar, disebelahnya menempel seorang wanita cantik dan seksi dengan pakaian superminim. Aku harus menelan ludah ketika menyadari kerongkonganku terasa kering dan perutku terasa mual. Kecemburuan yang tidak tergambarkan sedang menyerangku, siapakah wanita itu? Apakah ini wanita yang sama yang memintanya untuk kembali ke tempat tidur ketika aku menelepon Kafka berbulan-bulan yang lalu? Kenapa dia harus menempel kepada Kafka seperti perangko? Apakah ini pacar Kafka? Apakah mereka intim? “Jadi gimana kalau kita sama-sama nyanyi lagu Happy Brithday untuk kakak gue ini?” daan seperti sedang berada di dalam kelas kesenian, semua orang mulai menyanyikan lagu itu. Aku harus menarik napas berkali-kali untuk mengusir kunang-kunang yang mulai menghiasi penglihatanku.
“Happy birthday to you…. Happy birthday to you… happy birthday dear kafkaaa…. Happy birthday too…. Youuu…” Kulihat Kafka tersenyum dan memberikan ciuman mesra kepada wanita seksi, cantik, tinggi, langsing yang berdiri di sampingnya itu, daan aku tidak bisa melihat apa-apa lagi setelah itu selain kemarahanku pada laki-laki satu ini, yang kelihatannya memang betul-betul berniat untuk mengobrak-abrik perasaanku. Tiba-tiba Kafka sudah berada di atas panggung dan sedang memeluk Karin. Dia kemudian mengambil mic yang disodorkan adiknya itu dan mengucapkan terima kasihnya kepada semua orang. Ketika dia mengembalikan mic itu, Karin berkata, “Satu hal yang kalian nggak tahu tentang kakak gue ini
adalah bahwa dia jago ngasih orang lapdance.” Kata-kata ini langsung disambut riuh-rendah dari semua orang. Beberapa wanita bahkan berani berteriak, “Give me some lapdance, baby.” Yang langsung disambut elu-elu dari banyak wanita yang lain. Sepertinya mereka semua tidak peduli bahwa “pacar” Kafka (aku menyimpulkan bahwa perempuan yang tadi menempel pada Kafka adalah pacarnya, dari cara Kafka menciumnya sebelum naik ke panggung) berada di dalam kelab daan bisa mendengar komentar mereka itu. Untungnya kunang-kunang di mataku sudah menghilang dan aku bisa memfokuskan perhatian pada keadaan di sekelilingku lagi. Kudengar teriakan. “Lapdance, lapDANCE, LAPDANCE,” dengan volume yang semakin lama semakin keras.kafka kelihatan sudah siap untuk membunuh Karin yang sedang tertawa terbahak-bahak, tapi tidak lama kemudian Kafka pun mulai tertawa dengan wajah yang memerah sambil menggeleng-geleng. Dia kelihatan malu dengan segala perhatian yang tertuju padanya. Dan meskipun aku sedang marah sekali pada laki-laki ini tapi aku tetap tidak bisa mengalihkan perhatianku dari wajahnya. Bugger him. Lalu dia mengambil mic yang dipegang oleh Karin dan berkata, “Although I would love to give someone a lapdance tonighy, but I can’t,” kata-kata ini disambut suara kekecewaan banyak wanita. Kemudian kulihat Karin membisikkan sesuatu pada telinga Kafka. Mic yang digenggamannya sudah diturunkan ketika percakapan ini berlangsung sehingga tidak ada yang bisa mendengar apa yang dibisikkan Karin kepada kakaknya, tapi sepertinya itu sesuatu yang cukup memalukan kalau dilihat dari gelengan kepala kafka yang antusias. Tapi ketika dari gerak bibirnya sepertinya Karin sedang memohon padanya, kafka akhirnya menyerah dan mengembuskan napas sebelum mengangkat mic itu lagi. “Karena mala mini gue nggak bisa ngasih orang lapdance, sebagai gantinya adik gue minta supaya gue nyanyi karaoke saja,” ucapnya. Karin langsung bertepuk gembira, diikuti semua pengunjung Empire. Kuletakkan gelas Mojito ke atas meja di hadapanku daan kulipat tanganku di depan dada, menunggu dengan penuh antisipasi. Semua pengunjung Empire langsung bersorak ketika Kafka berjalan menuju Art, DJ bule dari Aussie yang kini sudah di kontrak secara permanen oleh Karin semenjak Tahun Baru, dan mulai berdiskusi. “Lagu apa yang dia bakalan pilih kira-kira?” bisik Elang padaku. Aku hampir saja meloncat dari kursiku ketika mendengar suaranya. Aku sudah lupa bahwa Elang adalah date-ku malam ini dan dia sedang duduk di sampingku. “Asal itu bukan lagu rap dan ngomongin tentang ukuran bokong perempuan sih aku nggak keberatan,” balasku sambil tertawa garing, mencoba untuk menutupi rasa bersalahku karena sudah tidak menghiraukannya. Untungnya Elang melihat humor dari kata-kataku dan tertawa. “Okay, everyone, so our boy has picked a classic. I don’t know whether he will be able to hit those high notes, but I guess we will find out soon enough. So give it up for Kafka, a men who is so brave and so sure of his masculinity that he chose to sing this particular song.” Sekali lagi semua orang langsung tertawa ketika mendengar komentar Art ini. Aku pun jadi bertanya-tanya, lagu apa yang akan dinyanyikan oleh Kafka? Aku mencoba mengingat-ingat lagu-lagu lama yang memiliki nada-nada tinggi. Mmmmhhhh….. semua lagunya Steven Tyler dan Sting selalu bernada tinggi. Tapi dua artis laki-laki itu cukup sukses untuk menjaga maskulinitas mereka meskipun pada dasarnya suara mereka terdengar seperti suara perempuan. “Gue pilih lagu ini karena gue memang suka band ini.” Ketika mengatakan ini mata Kafka sedang menyapu ruangan mencari sesuatu atau mungkin seseorang. Aku menyangka bahwa dia sedang mencari

“pacar-nya” itu, tapi kemudian tatapannya jatuh padaku dan dia tidak mengedipkan mata. Entah kenapa tapi tatapannya tiba-tiba membuatku was-was. “Although, dulu gue lebih milih disambar petir atau dipotong lehernya dripada ngakuin itu.” Lanjutnya dan tersenyum…. Padaku. Bukan senyuman isengnya, tetapi suatu senyuman yang biasanya diberikan oleh laki-laki kalau mereka tahu mereka salah, dan berharap bahwa kesalahan itu akan dimaafkan. Kepalaku langsung berputar dan berputar. Nggak nggak…. Dia nggak mungkin akan nyanyiin lagu mereka. Dia benci band itu. Tapi kemudian ketakutanku menjadi kenyataan ketika kudengar intro lagu favoritku terlantung dari speaker dan kafka mulai menyanyi dengan nada yang cukup intune dengan Jordan Knight. I know I hurt you, that’s the last thing I meant to do sometimes I can be caraless and blind, can you forgive the fool that I’ve been? 


No comments:

Post a Comment