Bab 15
6 Maret
Aggghhh…. Bisa
nggak sih cowok itu jadi normal dan ngomong jelas-jelas apa yang ada di
pikirkan mereka? Gue kan sudah dewasa, gue bisa terima kok kalau misalnya dia
bilang dia memang nggak suka sama gue. Mesipun itu mungkin akan ngebunuh gue,
tapi gue tetap bisa terima kalau itu memang kenyataannya. *** Bertekad untuk
melupakan Kafka sepenuhnya, aku membuka pikiranku lebar-lebar ketika bertemu
dengan Elang yang ternyata memang segala sesuatu yang telah digembar-gemborkan
oleh Jana. Dan kalau saja kepalaku tidak masih terpaku pada Kafka, maka aku
pasti akan merasa tersanjung oleh perhatian yang diberikan Elang padaku. Lain
dengan Kafka yang memang sudah memiliki sejarah denganku, bersama Elang aku
mulai dari angka nol. Keuntungannya adalah bahwa aku memulai lembaran baru yang
masih putih bersih tanpa ada memori trauma atau persepsi apa pun mengenainya.
Sisi negatifnya adalah bahwa karena aku tidak mengenalnya sama sekali, maka aku
harus melakukan tahap penjajakan yang cukup lama. Pada kencan pertama, pada
dasarnya kami hanya membicarakan tentang Kafka dan usahaku untuk melupakannya.
Elang dengan rela dan sabar mendengarkan ceritaku, dan tanpa di minta dia
langsung berkata bahwa dia mengerti kalau misalnya aku memerlukan waktu untuk
sendiri dulu. Tersentuh pada kesensitifannya, aku langsung mengajaknya untuk
kencan yang kedua. Hal ini terus berlanjut sehingga tahu-tahu aku sudah
menghabiskan setiap akhir mingguku dengan Elang selama sebulan terakhir ini.
Meskipun begitu, Kafka masih tetap ada di dalam pikiranku, walaupun sudah tidak
sesering dulu lagi. Aku kini bahkan bisa pergi bertemu dengan Karin tanpa harus
waswas dia akan menyebutkan nama Kafka di hadapanku atau bahkan bertemu dengan
Kafka sekalian. Aku tidak tahu penjelasan apa yang dikatakan oleh Kafka kepada
Karin ketika dia hampir memergoki kami di Onwer’s Box kelabnya itu, tetapi
klienku itu sama sekali tidak pernah menyinggung perkara tersebut. Awalnya aku
tidak tahu apakah aku seharusnya merasa lega dengan keadaan ini atau justru
kecewa. Tapi setelah setiap kali mencoba mengingat betapa beruntungnya aku
dengan kecuekan Karin dan akhirnya justru merasa kesal, maka aku menyimpulkan
bahwa kekecewaanlah yang kurasakan karena Kafka jelas-jelas tidak pernah
menceritakan tentang sejarahku dengannya pada adiknya itu. Menginjak bulan
april aku sudah mulai merasa sedikit nyaman dengan kehidupan keseharianku yang
baru dan bebas dari Kafka. Janji kencan dengan Elang hari sabtu? Beres.
Kesehatan jantung Papa sehat dan stabil. Website setiap klien di bawah
naunganku? So far belum ada yang mengeluh kepada bosku dan mengatakan bahwa aku
tidak kompeten. Cekcok dengan rekan kerjaku tanpa ada alasan yang jelas? Hanya
satu kali dan itu pun tidak di depan semua orang dan menurutku hanya bisa
dikategorikan sebagai diskusi karena perbedaan pendapat yang akhirnya bisa
terselesaikan dengan damai. Berapa kali Kafka terlintas di dalam pikiranku?
Hanya sekitar sepuluh kali setiap hari yang merupakan kemajuan pesat kalau
mengingat bahwa Kafka selalu muncul di dalam pikiranku setiap lima menit selama
bulan Januari hingga Februari. Dan mudah-mudahan pada akhir minggu ini aku
sudah bisa menurunkan angka itu menjadi satu digit saja. Kini setidak-tidaknya
rasa sakit yang menyerang jantungku kalau tiba-tiba teringat akan Kafka sudah
tidak separah dulu lagi.
Karena sudah melakukan
kesalahan yang cukup fatal dengan Kafka, aku berusaha sebisa mungkin untuk
menguah tatacara pendekatanku dengan Elang dengan melakukan segala sesuatu yang
tidak kulakukan ketika dengan Kafka dan tidak melakukan hal-hal yang kulakukan dengan
Kafka. Intinya aku kembali sembunyi dibalik topengku sebagai orang yang ramah,
tapi kini aku mencoba mebuat diriku mengerti bahwa sifat ramahku bukanlah
topeng melainkan wajahku yang sebenarnya. Awalnya aku merasa agak canggung,
tapi semakin hari aku semakin yakin bahwa sobat-sobatku benar. Inilah diriku
yang sebenarnya. Nadia yang ramah, sopan, penuh perhatian, baik, dan penyayang.
Setelah berpikir-pikir lagi, aku menyadari bahwa tingkah lakuku kalau sudah
berurusan dengan Kafka adalah suatu pengecualian yang harus kuabaikan. Dan
sepertinya usaha pengabaianku cukup berhasil karena hubunganku dengan Elang
tidak ada mirip-miripnya dengan hubunganku dengan Kafka. Hingga kini Elang
masih tetap sopan dan tidak pernah menyebutkan satu kata pun yang menyerempet
urusan pakaian dalam, dia bahkan belum pernah memberiku ciuman atau menggandeng
tanganku tanpa seizinku. Yang jelas dia belum pernah melihatku bertingkah laku
liar seperti melakukan aksi striptease karena mabuk berat. Dengan Elang aku
kembali kepada pola pendekatanku dengan semua pacarku yang terdahulu, yaitu
pola yang terasa nyaman dan terbukti efektif karena tidak ada dari mereka yang
pernah pergi meninggalkanku tanpa ada kabar berita. Dan kusadari bahwa inilah
jenis hubungan yang kuperlukan. Sesuatu yang meskipun kelihatan membosankan
tetapi aman. Jenis hubungan saat kalau aku mau aku bisa menarik diriku kapan
saja tanpa ada penyesalan yang mendalam. Tetapi lain dengan sebelum-sebelumnya,
kini aku merasa bersalah kepada Elang karena telah membuatnya percaya bahwa
perasaanku padanya lebih dalam daripada yang kini kurasakan. Selama enam minggu
belakangan ini aku sudah mencoba untuk meyakinkan diriku bahwa perasaan tidak
enak yang kualami setiap kali keluar dengan Elang lambat-laun akan hilang
setelah aku sudah mulai terbiasa dengannya. Tapi kini aku tahu bahwa perasaan
tidak enak itu tidak akan pernah pergi selama hubungan kami masih di dasari
alasan yang salah, dan aku tahu bahwa aku harus segera mengakhiri sandiwara ini
sebelum betul-betul menyakiti seorang laki-laki sebaik Elang. *** Ketika bulan
Mei tiba, aku sudah siap untuk mengakhiri hubunganku dengan Elang, tetapi
sebelumnya aku harus melalui mala mini terlebih dahulu. Seminggu yang lalu
sebuah undangan datang dari Empire dengan tanda tangan ketiga pemiliknya. Kelab
itu akan merayakan ulang tahunnya yang pertama. Kali ini aku memutuskan untuk
pergi bukan karena paksaan dari bosku, tetapi karena ingin membutikan kepada
diriku sendiri bahwa keputusanku mengakhiri hubungan dengan Elang bukan Karena aku
masih menyimpan rasa untuk Kafka. Dan aku yakin bahwa cara terbaik untuk
melakukannya adalah dengan pergi ke acara ini dengan harapan bahwa aku akan
bertemu dengan Kafka dan aku tidak akan merasakan apa-apa. Tidak ada rasa
seperti ada yang menusuk jantungku dengan pisau, memasukkan gumpalan kapas ke
dalam mulutku sehingga aku tidak bisa bernapas, atau sesuatu yang
terbang-terbang di dalam perutku. Aku TIDAK AKAN merasakan apa-apa. Tepat pukul
delapan malam Elang menjemputku dari rumah kosku untuk menuju Empire. Selama
perjalanan yang memakan waktu satu jam itu, keringat dingin mulai membasahi
cheongsam yang kukenakan. Dan sepertinya perayaan ulang tahun Empire ini akan
lebih meriah dariapada acara Tahun Baru karena pelataran parkir sudah
superpadat sehingga memerlukan waktu setengah jam untuk mendapatkan tempat
parkir. Seakan-akan itu belum cukup, di hadapan pintu masuk kelab, karpet merah
terbentang dan di penuhi
artis Indonesia yang sedang berpose untuk diambil fotonya atau menjawab
pertanyaan para reporter. Intinya acara ulang tahun kelab ini kelihatannya akan
lebih meriah daripada malam penganugerahan Piala Citra atau malam final
Indonesia Idol. Aku yang masih terkesima dengan pemandangan di hadapanku hanya
bisa terdiam dan memerintahkan kakiku untuk tetap bergerak. Elang yang
sepertinya lebih bisa memahami keadaanku di sekelilingnya, tidak melepaskan
genggaman tangannya dan menuntunku melalui karpet merah itu, menuju pintu
masuk. Selama berjalan, tidak hentinya aku mendengar para reporter berteriak untuk
meminta salah satu artis agar berpose untuk mereka, bunyi klik…. Klik… klik…,
dan merasakan kerlipan blitz kamera mereka. Ketika kami sampai di pintu masuk
kelab, dapat kurasakan bagian belakang cheongsam-ku sudah basah kuyup. Aku
mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa keadaan fisikku ini disebabkan cuaca
Jakarta yang sangat ekstrem akhir-akhir ini, tetapi keyakinan ini amblas ketika
aku baru mengambil satu langkah memasuki Empire dan berhadapan langsung dengan
sumber kepanikanku. Dia mengenakan satu set jas berwarna hitam, berikut
rompinya, dibawahnya dia mengenakan kemeja berwarna putih dengan cuff-links
berwarna emas, tanpa dasi. Seakan-akan apa yang dia kenakan belum cukup untuk
membuatku ingin menendang diriku sendiri, kepala hampir plontos ala David
Beckham-nya membuat langkahku terhenti di tempat. Aku hanya bisa menatapnya
dengan mulut terbuka. Selama ini aku menyangka bahwa Kafka itu looks good,
tetapi malam ini…. OH, MY GOD…. Dia membawa kata “good” ke level yang lebih
tinggi lagi. Seperti kalau melihat Oreo brownies, aku ingin melarikan lidahku
untuk merasakannya. Merasakan seluruh tubuhnya, dari ujung rambut hingga ujung
kaki, sebelum kemudian mengambil sendok, memakannya sedikit demi sedikit untuk
betul-betul menikmatinya dan mengucapkan kata “mmmhhh” ketika rasa brownies itu
menyentuh lidahku dan meleleh di dalam mulutku. Elang yang menyadari bahwa aku
sedang bengong segera mengikuti arah mataku dan berkata, “Ahh, jadi ini yang
namanya Kafka.” Mendengar kata-kata itu aku langsung menelan ludah sebelum
menoleh dan melihat Elang sedang tersenyum penuh pengertian. Ohhh…. Aku memang
tidak berhak untuk berdiri di sebelah orang sebaik Elang. Dengan perasaan
bersalah aku mengangguk. Untungnya kemudian seorang staf Empire atau mungkin
staf event organizer acara ini yang mengenakan pakaian serba-hitam meminta kami
untuk terus melangkah maju agar tidak membuat macet aliran tamu yang datang,
sehingga aku tersadar kembali dari shock-ku. Seperi merasakan kehadiranku,
Kafka menoleh dan mata kami bertemu. Tanpa ada seutas rambut pun yang menutupi
matanya, untuk pertama kalinya aku menerima efek penuh dari tatapan matanya
yang teduh itu. Sekilas aku seperti melihat semua perasaan yang tidak
terkatakan olehnya. Percampuran antara pertanyaan, harapan, kekecewaan, dan
kemarahan, semua perasaan yang juga kurasakan ketika melihatnya. Tapi lebih
dari apapun, tatapannya itu menyulutkan rasa untukku. Dan meskipun rasa itu
tidak dalam, tetapi aku lebih memilih ekspresi seperti ini daripada perlakuan
dinginnya padaku. Tapi kemudian tatapan Kafka beralih kepada Elang yang berdiri
di sampingku dan ketika tatapan itu kembali kepadaku, ekspresinya sudah
berganti menjadi sesuatu yang hanya bisa kugambarkan sebagai kekosongan,
seperti seseorang yang tidak mampu merasakan apa-apa, bahkan cintaku yang sudah
meluap-luap sampai-sampai hanya melihatnya lagi saja setelah tiga bulan ini
membuatku sesak napas. Dan pada detik itu aku menyadari bahwa kedatanganku ke
Empire malam ini adalah kesalahan paling fatal yang pernah kulakukan sepanjang
hidupku. Kenapa aku melakukan ini pada diriku sendiri? Masih
mengharapkan mimpi yang
jelas-jelas tidak akan pernah menjadi kenyataan. Kalau saja tanganku tidak
sedang digenggam erat oleh Elang. Aku mungkin sudah lari keluar kelab itu
seperti sedang dikejar setan. Dan ternyata itulah yang kuperlakukan untuk
mengatasi situasi yang ada di hadapanku. Aku lebih rela mati daripada
menunjukkan kepada Kafka bahwa dia sudah menyakitiku dengan tidak
menghiraukanku sehingga membuat takut berhadapan dengannya. Kutarik napas
dalam-dalam dan bersiap-siap untuk melambaikan tangan kepada Kafka ketika
tiba-tiba Karin muncul di hadapanku dan menutupi Kafka dari pandanganku.
“Nadia, you made it,” ucap Karin antusias sambil memeluk dan mencium pipi kiri
daan kananku dengan mengatakan “muah” setiap kali pipi kami bertemu.
Aku membalas pelukan dan ciuman itu tetapi terlalu mengahargai
harga diriku untuk mengikuti ciuman ala Tyra Banks dan memutuskan untuk
merapatkan bibirku dan tidak mengatakan “muah”. Karin lalu berlanjut dengan
memintaku untuk berputar dihadapannya agar dia bisa betul-betul menilai
pakaian, sepatu, dan aksesori yang kukenakan malam itu. Dia kemudian tersenyum
dan aku yakin bahwa penampilanku memenuhi standarnya. “And who’s this?” Tanya
Karin sambil dengan tidak sopannya menatapn Elang dari ujung rambut hingga
ujung kaki. Kini giliran Elang yang menerima tatapan kritis Karin. Sebelum aku
bisa membuka mulut, elang sudah berkata, “Elang. Date Nadia untuk malam ini,”
sambil mengulurkan tangannya, siap menjabat tanga Karin. Date-ku ini tidak
kelihatan risi sama sekali di bawah tatapan Karin. Dan memang tidak memiliki
alasan untuk merasa risi. Sejujurnya, setelah Kafka mungkin Elang adalah
laki-laki nonselebriti yang mendapatkan paling banyak perhatian, tidak hanya dari
perempuan, tapi juga beberapa laki-laki di Empire malam itu. Salah satu
lengkungan alis Karin yang sempurna itu naik beberapa derajat ketika mendengar
penjelasan elang tentang statusnya, yang membuatku bertanya-tanya kenapa dia
kelihatannya tidak menyetujui hubunganku dengan Elang. Dan kenapa aku harus
peduli tentang perasaan klienku ini terhadap Elang? Toh aku tidak perlu
persetujuannya untuk nge-date dengan siapa pun yang aku mau. Ketika aku mulai
khawatir bahwa Karin akan menolak untuk menjabat tangan date-ku, dia
mengulurkan tangan dan menjabat tangan Elang dengan singkat. Aku tahu bahwa
Elang menyadari bahwa Karin sedang memberikan perlakuan dingin padanya, karena
tanda-tanda yang diberikan oleh Karin tidak bisa dikatakan halus, tetapi tidak
sekali pun senyuman yang menghiasi wajah Elang menghilang. Untuk mengalihkan
perhatian Karin dari Elang, aku membuka topic baru. “Omong-omong sejak kapan
Empire ganti dekor?” ucapku sambil manatap sekelilingku yang kelihatan cukup
terang sehingga aku bisa melihat sebuah panggung cukup besar yang terletak di
sudut kelab, dan di atasnya ada beberapa TV flat-screen. Kusadari bahwa musik
yang terlantun dari speaker adalah lagu Aerosmith, bukan jenis musik yang biasa
di dengar oleh pengunjung Empire, belum lagi musik itu dipasang dengan volume
yang cukup rendah, sehingga aku bisa berbicara dengan Karin tanpa harus
berteriak. Sebulan yang lalu ketika aku bertemu dengan Karin untuk membahas
informasi apa yang ingin di iklankan di website Empira tentang perayaan ulang
tahun ini, klienku itu berkelakuan seperti dia sedang menyimpan rahasia Negara
dan tidak mengatakan padaku apa yang dia rencanakan. Dia hanya memintaku untuk
menambahkan kata-kata “COME AND CELEBRATE OUR 1st ANNIVERSARY. DOOR OPENS AT 8
PM” dengan huruf Arial Black berwarna merah darah dan efek Ease In. kata-kata
inilah yang pertama kali menyambut setiap orang
yang membuka website Empire.
“ini ide Maya untuk anniversary Empire,” jelas Karin dengan mata
berbinar-binar. Ketika melihat tatapan bingungku, dia menambahkan, “Karaoke
Night” dengan antusias. Mulutku hanya bisa membentuk huruf O tanpa mengeluarkan
suara. Aku sedang mencoba untuk memutuskan apakah ini adalah ide paling brilian
yang pernah dikeluarkan oleh seseorang atau justru paling tidak masuk akal. Aku
belum pernah mendengar konsep clubbing yang digabungkan dengan karaoke, dan aku
tidak yakin bahwa kedua konsep ini BISA digabungk. “So what do you think?”
pertanyaan Karin membuyarkan jalan pikiranku. “Uhm… idenya agak beda dari
biasanya,” jawabku hati-hati, padahal yang sebetulnya ingin aku katakana
adalah, “Lady, are you crazy?” “Yesss… I know. Isn’t it brilliant?” Aku hanya
mengangguk karena bukannya aku bisa mengatakan hal yang bertolak belakang
dengan pendapat klienku yang kelihatan lebih antusias daripada anak kecil
ketika bertemu dengan Santa Claus untuk pertama kali. Selama sepuluh menit ke
depan Karin menyempatkan diri untuk menjelaskan konsep Karaoke Night itu dengan
panjang-lebar. Meskipun tatapanku mengarah pada wajah Karin, tetapi pikiranku sudah
melayang entah ke mana. Mungkin ini perasaanku saja, tetapi aku bisa merasakan
tatapan Kafka padaku, membelai kulitku sehingga membuat bulu-bulu di tanganku
berdiri. Tetapi aku menolak untuk berjinjit dan melihat ke belakang Karin untuk
memastikan apakah Kafka masih berdiri di sana atau tidak. Setelah Karin selesai
dengan penjelasannya dan meninggalkan aku berdua dengan Elang. Kafka sudah
tidak kelihatan di mana pun. Dan seharusnya aku bisa mengembuskan napas lega,
tetapi perutku justru terasa seperti sedang diikat dengan simpul jangkar. “Jadi
itu adik kafka?” Tanya Elang padaku. Aku cukup terkejut Elang masih ingat
tentang Karin, seingatku hanya menyebutkan namanya satu kali, yaitu ketika
kencan kami yang pertama. Aku pun mengangguk dan Elang tidak mengatakan apa-apa
lagi. Selama dua jam kemudian, setelah mendengar pidato terima kasih yang
diucapkan oleh Maya (Akhirnya aku bisa juga melihat pemilik Empire yang satu
lagi. Yang aku tidak tahu adalah bahwa Maya ini adalah Maya Saputra, salah satu
pengarang lagu paling top Indonesia), aku mendengar dua puluh persen populasi
pengunjung Empire malam itu menampilkan bakat mereka di atas panggung dengan
menyanyikan berbagai macam lagu. Mulai dari Baby Got Back hingga The Thong
Song, dari selamanya cinta milik Yana Julio hingga kau dan aku-nya nidji,
banyak dari mereka memiliki suara yang lumayan, terutama beberapa artis
sinetron yang sama sekali tidak kusangka bisa menyanyi, tapi banyak juga dari
orang-orang itu tidak bisa membedakan kunci G dengan kunci F, atau A minor
dengan A mayor. Meskipun begitu, para pengunjung Empire kelihatan antusias
dengan hiburan ini dan terus meneriakkan dukungan mereka, bahkan nge-dance
dengan lagu apa pun yang dipilih oleh si pemegang mic saat itu. Sejujurnya aku
menikmati malam itu lebih daripada yang ingin kuakui. Aku tidak bisa ingat
terakhir kali aku tertawa hingga pipiku sakit dan leherku serak. Tawaku semakin
menjadi ketika melihat cara Elang nge-dance ala Mansyur s. tidak peduli bahwa
lagu yang sedang dinyanyikan adalah hip-hop, rock, ataupun pop. Tapi di antara
semua tawaku, pikiranku tidak bisa jauh dari Kafka, terutama ketika tanpa
kusadari atau kuinginkan tubuhku sudah bereaksi terhadap Kafka. Beberapa kali
aku merasakan embusan angin dingin pada tengkukku dan membuatku bergidik
sebelum kemudian kulihat bahwa Kafka sedang memperhatikanku dari seberang
ruangan sambil menyipitkan mata. Rompi hitam yang dikenakannya sudah
ditanggalkan kancingnya dan dia menggenggam gelas pendek, yang aku yakin isinya
bukan es teh, di tangan kanannya.
Dia kelihatan seperti bos mafia yang sedang marah. Awalnya aku bertanya-tanya
kenapa dia tidak turun ke lantai seperti Maya dan Karin yang kelihatan sedang
bersosialisasi dengan para pengunjung dan menikmati suasana riuh-rendah Empire
malam itu, tapi setelah dua jam dan melihat wajah Kafka tidak berganti
ekspresi, aku yakin bahwa dia sedang berusaha untuk menakut-nakutiku dengan
tatapannya. Sekali lagi aku menolak memberinya keputusan itu. Aku tahu detik
ketika tatapan Kafka tidak lagi terpaku padaku, itulah ketika kurasakan darah
mulai mengalir di sekujur tubuhku dan aku bisa bernapas lagi, tetapi kutolehkan
kepalaku juga, hanya untuk memastikan. Yep… Kafka sudah menghilang entah ke
mana. Dan aku seharusnya merasa lega, tetapi tidak ada kata-kata yang bisa
menggambarkan apa yang kurasakan saat itu. Untuk menghapus kebingunganku, aku
member tahu Elang bahwa aku haus dan perlu minum dan Elang menuntunku ke salah
satu sofa sebelum melambaikan tangan untuk memanggil salah satu staf Empire dan
memesan minum. Aku sedang menghirup Mojito-ku dan merasakan alcohol di dalam
minuman itu melonggarkan otot-ototku, ketika lagu Timbaland berakhir dan
kulihat Karin naik ke panggung dan mengambil alih mic. “Hei, semua. Are you all
having fun?” Tanya Karin yang disambut teriakan “yeah” dan tepuk tangan semua
orang. “I just would like to thank all of you for coming tonight and
celebrating Empire’s first year,” lanjut Karin sambil tersenyum. “Minggu ini
nggak Cuma Empire yang ulang tahun, tapi juga Kafka, kakak gue tercinta yang as
you know owns one-third of this club.” Ucapan Karin ini disambut teriakan
selamat ulang tahun dari beberapa orang. Aku hanya bisa terdiam dan secara
reflex mulai celingukan mencari Kafka. Rupanya Kafka Taurus bintangnya.
Kusimpan informasi itu baik-baik untuk ditarik kembali jika perlu. “Mas Kafka?
Where are you?” Karin lalu juga celingukan untuk mencari keberadaan kakaknya
itu, dan tidak lama kemudian sebuah spotlight sudah bersinar kepada Kafka yang
sedang menyandarkan tubuh dengan santai pada sebuah pilar, disebelahnya
menempel seorang wanita cantik dan seksi dengan pakaian superminim. Aku harus
menelan ludah ketika menyadari kerongkonganku terasa kering dan perutku terasa
mual. Kecemburuan yang tidak tergambarkan sedang menyerangku, siapakah wanita
itu? Apakah ini wanita yang sama yang memintanya untuk kembali ke tempat tidur
ketika aku menelepon Kafka berbulan-bulan yang lalu? Kenapa dia harus menempel
kepada Kafka seperti perangko? Apakah ini pacar Kafka? Apakah mereka intim?
“Jadi gimana kalau kita sama-sama nyanyi lagu Happy Brithday untuk kakak gue
ini?” daan seperti sedang berada di dalam kelas kesenian, semua orang mulai
menyanyikan lagu itu. Aku harus menarik napas berkali-kali untuk mengusir
kunang-kunang yang mulai menghiasi penglihatanku.
“Happy birthday to you…. Happy birthday to you… happy birthday
dear kafkaaa…. Happy birthday too…. Youuu…” Kulihat Kafka tersenyum dan
memberikan ciuman mesra kepada wanita seksi, cantik, tinggi, langsing yang
berdiri di sampingnya itu, daan aku tidak bisa melihat apa-apa lagi setelah itu
selain kemarahanku pada laki-laki satu ini, yang kelihatannya memang
betul-betul berniat untuk mengobrak-abrik perasaanku. Tiba-tiba Kafka sudah
berada di atas panggung dan sedang memeluk Karin. Dia kemudian mengambil mic
yang disodorkan adiknya itu dan mengucapkan terima kasihnya kepada semua orang.
Ketika dia mengembalikan mic itu, Karin berkata, “Satu hal yang kalian nggak
tahu tentang kakak gue ini
adalah bahwa dia jago ngasih
orang lapdance.” Kata-kata ini langsung disambut riuh-rendah dari semua orang.
Beberapa wanita bahkan berani berteriak, “Give me some lapdance, baby.” Yang
langsung disambut elu-elu dari banyak wanita yang lain. Sepertinya mereka semua
tidak peduli bahwa “pacar” Kafka (aku menyimpulkan bahwa perempuan yang tadi
menempel pada Kafka adalah pacarnya, dari cara Kafka menciumnya sebelum naik ke
panggung) berada di dalam kelab daan bisa mendengar komentar mereka itu.
Untungnya kunang-kunang di mataku sudah menghilang dan aku bisa memfokuskan
perhatian pada keadaan di sekelilingku lagi. Kudengar teriakan. “Lapdance,
lapDANCE, LAPDANCE,” dengan volume yang semakin lama semakin keras.kafka
kelihatan sudah siap untuk membunuh Karin yang sedang tertawa terbahak-bahak,
tapi tidak lama kemudian Kafka pun mulai tertawa dengan wajah yang memerah
sambil menggeleng-geleng. Dia kelihatan malu dengan segala perhatian yang
tertuju padanya. Dan meskipun aku sedang marah sekali pada laki-laki ini tapi
aku tetap tidak bisa mengalihkan perhatianku dari wajahnya. Bugger him. Lalu
dia mengambil mic yang dipegang oleh Karin dan berkata, “Although I would love
to give someone a lapdance tonighy, but I can’t,” kata-kata ini disambut suara
kekecewaan banyak wanita. Kemudian kulihat Karin membisikkan sesuatu pada
telinga Kafka. Mic yang digenggamannya sudah diturunkan ketika percakapan ini
berlangsung sehingga tidak ada yang bisa mendengar apa yang dibisikkan Karin
kepada kakaknya, tapi sepertinya itu sesuatu yang cukup memalukan kalau dilihat
dari gelengan kepala kafka yang antusias. Tapi ketika dari gerak bibirnya
sepertinya Karin sedang memohon padanya, kafka akhirnya menyerah dan
mengembuskan napas sebelum mengangkat mic itu lagi. “Karena mala mini gue nggak
bisa ngasih orang lapdance, sebagai gantinya adik gue minta supaya gue nyanyi
karaoke saja,” ucapnya. Karin langsung bertepuk gembira, diikuti semua
pengunjung Empire. Kuletakkan gelas Mojito ke atas meja di hadapanku daan
kulipat tanganku di depan dada, menunggu dengan penuh antisipasi. Semua
pengunjung Empire langsung bersorak ketika Kafka berjalan menuju Art, DJ bule
dari Aussie yang kini sudah di kontrak secara permanen oleh Karin semenjak
Tahun Baru, dan mulai berdiskusi. “Lagu apa yang dia bakalan pilih kira-kira?”
bisik Elang padaku. Aku hampir saja meloncat dari kursiku ketika mendengar
suaranya. Aku sudah lupa bahwa Elang adalah date-ku malam ini dan dia sedang
duduk di sampingku. “Asal itu bukan lagu rap dan ngomongin tentang ukuran
bokong perempuan sih aku nggak keberatan,” balasku sambil tertawa garing,
mencoba untuk menutupi rasa bersalahku karena sudah tidak menghiraukannya.
Untungnya Elang melihat humor dari kata-kataku dan tertawa. “Okay, everyone, so
our boy has picked a classic. I don’t know whether he will be able to hit those
high notes, but I guess we will find out soon enough. So give it up for Kafka,
a men who is so brave and so sure of his masculinity that he chose to sing this
particular song.” Sekali lagi semua orang langsung tertawa ketika mendengar
komentar Art ini. Aku pun jadi bertanya-tanya, lagu apa yang akan dinyanyikan
oleh Kafka? Aku mencoba mengingat-ingat lagu-lagu lama yang memiliki nada-nada
tinggi. Mmmmhhhh….. semua lagunya Steven Tyler dan Sting selalu bernada tinggi.
Tapi dua artis laki-laki itu cukup sukses untuk menjaga maskulinitas mereka
meskipun pada dasarnya suara mereka terdengar seperti suara perempuan. “Gue
pilih lagu ini karena gue memang suka band ini.” Ketika mengatakan ini mata
Kafka sedang menyapu ruangan mencari sesuatu atau mungkin seseorang. Aku
menyangka bahwa dia sedang mencari
“pacar-nya” itu, tapi
kemudian tatapannya jatuh padaku dan dia tidak mengedipkan mata. Entah kenapa
tapi tatapannya tiba-tiba membuatku was-was. “Although, dulu gue lebih milih
disambar petir atau dipotong lehernya dripada ngakuin itu.” Lanjutnya dan
tersenyum…. Padaku. Bukan senyuman isengnya, tetapi suatu senyuman yang
biasanya diberikan oleh laki-laki kalau mereka tahu mereka salah, dan berharap
bahwa kesalahan itu akan dimaafkan. Kepalaku langsung berputar dan berputar.
Nggak nggak…. Dia nggak mungkin akan nyanyiin lagu mereka. Dia benci band itu.
Tapi kemudian ketakutanku menjadi kenyataan ketika kudengar intro lagu
favoritku terlantung dari speaker dan kafka mulai menyanyi dengan nada yang
cukup intune dengan Jordan Knight. I know I hurt you, that’s the last thing I
meant to do sometimes I can be caraless and blind, can you forgive the fool
that I’ve been?
No comments:
Post a Comment