Bab 16
5 April
Gue nggak
berhak ngedapatin dia. Gue sudah bohong sama dia. Dia terlalu baik untuk gue.
Gue nggak bisa sama-sama dia lagi. *** MENDENGAR kata-kata itu keluar dari
mulut Kafka yang kini sedang menatapku dalam, seakan-akan hanya ada aku dan dia
di dalam ruangan itu, bukannya 250 orang yang kini sedang meneriakkan dukungan
mereka sambil tertawa karena mereka tidak percaya bahwa seorang laki-laki
semaskulin Kafka akan menyanyikan lagu NKOTB, membuatku terdiam dengan mulut
ternganga tidak bisa berkata-kata. Perasaan galau, campur aduk antara rasa
marah dan luluh. Kenapa dia harus menyanyikan lagu yang kata-katanya pada dasarnya
memohon agar aku tidak pergi meninggalkannya? Kenapa dia harus melakukan aksi
sedramatis ini hanya untuk meminta maaf? Apa dia tidak bisa mengatakan kata
maaf seperti orang-orang pada umumnya? Kemudian pertanyaan lain mulai muncul di
kepalaku. Kenapa dia harus melakukan hal ini sekarang dan tidak tiga jam yang
lalu ketika aku melihatnya di pintu masuk kelab atau ketika aku sedang
nge-dance dengan Elang? Kemudian aku ingat tatapan matanya ketika melihat Elang
dan aku tahu kenapa dia melakukan hal ini. Dia sengaja memilih lagu itu karena
dia tahu bahwa inilah satu-satunya cara untuk membuatku mengerti tentang
perasaannya padaku. Dan aku memang mengerti, aku mengerti bahwa dia benar-benar
belum puas untuk menyiksaku dengan membuatku jatuh cinta padanya sebelum
kemudian meninggalkanku begitu saja. Dia tidak suka melihatku senang dan
tertawa dengan Elang, seorang laki-laki yang jelas-jelas menyukaiku apa adanya,
lima bulan setelah “dibuang” oleh Kafka. Dan setelah dua puluh tahun ini dia
masih menilai NKOTB bukan sebagai band yang bonafide tetapi hanya sebagai bahan
tertawaan belaka. Untuk pertama kalinya, lagu NKOTB tidak bisa membawa
ketenangan, melainkan kemarahan di dalam diriku. Buru-buru aku berdiri dari
kursi sofa untuk mencegah agar kepalaku tidak meledak karena kemarahan yang
kurasakan. Hampir saja aku menumpahkan Mojito-ku ketika kakiku tidak sengaja
menabrak meja. Kurasakan tangan seseorang menyentuh lenganku dan ketika aku
menoleh kulihat Elang sedang menatapku bingung. Dia juga sudah berdiri dari sofa.
“Lang, aku minta maaf, tapi aku harus pergi dari sini sekarang juga,” ucapku.
Kata-kataku seolah tumpah-tindih dengan cepat, dan dalam hati aku
bertanya-tanya apakah Elang mengerti apa yang baru kukatakan. “Kenapa, Nad?”
Tanya Elang agak bingung, tetapi ketika dia melihat wajahku yang kemungkinan
besar kelihatan pucat, dia langsung terlihat khawatir. “Aku… aku… aku harus
keluar dari sini,” balasku dan mencoba mengedipkan mataku berkali-kali untuk
mengusir tusukan-tusukan jarum yang sudah menyerangnya. Andaikan saja aku tipe
orang yang bisa melakukan kekerasan kalau sedang marah, maka mungkin aku sudah
melempar gelas Mojito-ku ke arah Kafka dan adu fisik saat itu juga, tapi tentu
saja aku tipe perempuan yang malah justru akan menangis kalau sedang marah atau
kesal, sehingga kelihatan lemah dan cengeng. “I’II go with you,” ucap Elang,
tetapi buru-buru kugelengkan kepalaku dan berkata. “Nggak… nggak apa-apa. Aku
Cuma perlu ke toilet,” jelasku dan tanpa menunggu balasan darinya aku langsung
pergi meninggalkan Elang.
Kudengar Kafka menyentuh nada
falsetto dan semua orang bertepuk tangan dan berteriak gembira. Aku tahu bahwa
masih ada sekitar tiga puluh detik lagi sebelum lagu itu berakhir. Bukannya
menuju ke toilet seperti yang kukatakan kepada Elang, kulangkahkan kakiku
menuju pintu keluar. Aku harus bisa menarik napas lagi ketika sudah berada di
luar kelab dan menghirup udara malam Jakarta. Suasana di luar kelab kelihatan
cukup kosong, hanya ada beberapa staf Empire yang seliweran, tidak ada reporter
dengan kamera. Thank you, God. Aku berjalan ke arah kanan, mencoba mencari area
tempat aku bisa menenangkan diriku dengan damai. Sedetik kemudian aku tahu
kenapa tidak banya orang yang berlalu-lalang, hujan rintik-rintik mulai turun.
Andaikan saja aku membawa mobilku, maka aku bisa bersembunyi di dalamnya untuk
beberapa menit sehingga aku bisa mengontrol kedua tanganku yang sudah gemeteran
tidak terkendali. Aku melihat kilat dan bunyi gemuruh yang menyusul, tetapi aku
tidak peduli dan mulai berjalan di bawah hujan. Aku tidak tahu ke mana aku akan
pergi, yang aku tahu adalah aku harus menjauh dari situ untuk beberapa menit
sampai kulitku tidak terasa seperti sedang dibakar, jantungku tidak lagi
meronta-ronta tidak keruan, dan pikiranku jernih kembali. Kulirik jam tanganku
yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Iya, sudah waktunya bagiku untuk
pulang ke rumah, mandi dengan air hangat, berbaring di atas tempat tidurku yang
nyaman, dan menangis sepuasnya. Entah kenapa tapi meskipun mataku terasa pedas,
tetapi tidak air mata yang keluar. Aku pun berbelok ke kiri, bermaksud untuk
mengambil satu putaran gedung Empire sebelum berteduh. Aku tahu bahwa Elang
pasti sedang mencariku, aku berjanji untuk menjelaskan semuanya padanya malam
ini juga. Pelataran parkir kelihatan sepi tapi cukup terang. Kemudian kudengar
langkah kaki di belakangku dan kutarik napasku dalam-dalam, siap untuk meminta
Elang agar mengantarku pulang, tetapi ketika kuputar tubuhku yang kutemui
adalah Kafka yang sedang menatapku dengan mata seperti orang yang sudah
kehilangan akal sehatnya. Meskipun aku tahu dan yakin bahwa Kafka tidak akan
pernah main tangan dengan perempuan, tapi ada sesuatu pada tatapan matanya itu
yang membuatku ragu. Untuk pertama kalinya aku takut bahwa dia akan melakukan
kekerasan fisik padaku karena kecemburuan yang telah membutakan matanya. Dalam
hati aku langsung tertawa ketika mencapai kesimpulan ini. Orang hanya bisa
melakukan “crime of passion” karena mereka cemburu, kecemburuan hanya akan
timbul kalau ada rasa cinta, dan aku tahu bahwa kata cinta adalah hal terakhir
yang ada di pikiran Kafka tentangku saat ini. Saat itu aku tahu bahwa Kafka
tidak akan menyakitiku. “Ngapain kamu di sini?” tanyaku dengan suara yang agak
bergetar. Kata-kata itu tidak terdengar sekasar dan setidak sopan yang
kuinginkan. Untung saja ada kilat dan gemuruh yang datang pada saat itu
sehingga membuat kata-kataku terdengar lebih mengancam. “Nyariin kamu,” jawab
Kafka pendek sambil mengambil satu langkah mendekatiku. “Buat apa? Belum puas
kamu gangguin aku? Masih mau…,” aku belum selesai dengan omonganku ketika Kafka
memotong. “Dia pacar kamu?” tanyanya dengan nada yang terdengar agak putus asa.
“Hah?” “Laki-laki yang sama kamu terus sepanjang malam. Dia pacar kamu?”
Kurasakan hujan mulai turun dengan lebih deras dan aku tahu bahwa aku harus
berteduh kalau tidak mau basah kuyup. Kukepalkan kedua tanganku, kutegakkan
tulang belakangku, kuangkat daguku, dan menatapnya dari ujung hidungku. “Itu
bukan urusan kamu,” ucapku tajam. Aku bersyukur bahwa suaraku sudah tidak
bergetar lagi, dan aku mengambil langkah untuk melewatinya. Tapi langkahku
terhenti oleh tangan Kafka
yang mencengkeram sikuku dengan cukup kuat, berusaha memutar tubuhku agar
menghadapnya. Dan aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi sentuhannya itu
menyulut sesuatu…. Sesuatu yang buruk di dalam diriku yang sudah aku coba
pendam, yaitu keinginanku untuk melukai dia seperti dia telah melukai aku.
Tanpa kusadari aku berteriak, “Don’t touch me,” sambil berusaha membebaskan
lenganku dari cengkeraman itu. Tapi Kafka seperti tidak mendengarku atau
menolak untuk mendengar karena dia justru mengeratkan cengkeramannya dan
berkata, “Nadia, stop it. What are you doing?” Dan pada saat itu langit terbuka
dan hujan turun dengan deras. “Laki-laki sialan. Kadal sakit jiwa. Lepasin
aku,” teriakku lagi. Tubuhku sudah menggeliat mencoba melepaskan diri dan detik
berikutnya Kafka sudah memeluk pinggangku dari belakang dan menarikku ke dalam
pelukannya sehingga punggungku menempel pada dadanya dan kakiku tidak lagi menyentuh
aspal. Dengan sekuat tenaga aku berontak. Aku mencoba menendangnya, tetapi
dengan posisiku yang terbalik, kakiku hanya bisa menendang angin. Kuangkat
kedua tanganku ke belakang dan mencoba mencakar wajahnya, tetapi sepertinya
Kafka sudah mengantisipasi itu dengan memindahkan kedua tangannya dari
pinggangku sebelum kemudian memaksa turun kedua lenganku dan menguncinya dengan
melingkarkan kedua lengannya pada dadaku. “Stop it, woman,” bentak Kafka. Aku
tidak menghiraukan bentakannya dan tetap mencoba melepaskan diri. Aku tidak
peduli rambutku yang malam itu aku konde dan ditusuk dengan dua sumpit logam di
bagian kiri dan kanan sudah terurai sehingga kini menempel pada pipiku. Aku
yakin bahwa make-up-ku sudah luntur disapu air mata (ya… air mata pengkhianat
itu memutuskan untuk keluar sekarang, di saat yang paling tidak tepat) dan
hujan, dengan garis-garis hitam bekas mascara di mana-mana. Aku bahkan tidak
peduli bahwa cheongsam yang menempel pada kulitku karena basah kini sudah naik
dan belahan kakinya berada di pinggang bukan lagi dipaha. “You asshole… aggghhh….
Buat apa kamu nyanyi lagu itu? Dari dulu sampai sekarang kamu nggak pernah
berhenti gangguin aku,” sepatu kananku melayang. Aku mendengar Kafka
menggeramkan sesuatu yang terdengar seperti, “calm down,” tapi aku tidak
berhenti meronta-ronta untuk memastikan. “Belum puas kamu ngegantungin aku
berbulan-bulan sebelum ninggalin aku tanpa ada penjelasan apa-apa?” kini
giliran sepatu kiriku yang melayang, dan sekali lagi kudengar Kafka mengatakan
sesuatu yang tidak jelas. “Apa kamu mau bikin aku ngerasa lebih murah daripada
yang sudah aku rasain sekarang? Kamu ambil hatiku terus kamu injak-injak.”
Kudengar bunyi kraaa…k yang cukup keras dan tahu bahwa aku
baru saja merobek sesuatu, kemungkinan besar adalah cheongsam-ku. “Kamu bikin
aku cinta sama kamu, tapi kamu Cuma mainin aku. Aku nggak pernah mau lihat kamu
lagi. Sekarang lepasin aku.” Aku sudah berteriak seperti orang gila. Tidak
peduli bahwa aku sudah menumpahkan perasaanku terhadap Kafka, juga tidak peduli
kalau ada orang yang bisa mendengarnya, tapi tentu saja tidak ada yang bisa
mendengar teriakanku di antara suara hujan lebat dan gemuruh Guntur. “NADIAAA!
BERHENTI SEKARANG JUGA SEBELUM KAMU NGELUKAIN DIRI KAMU SENDIRI,” bentakan
Kafka kali ini membuatku terdiam dan berhenti meronta-ronta. Napasku
terengah-engah dan tanpa kusadari hampir semua otot pada tubuhku mulai kejang,
bahkan ada yang kram. Aku merasakan sentuhan rahang Kafka pada pelipis sebelum
dia berkata dengan pelan dan pasti, “Untuk ngejawab pertanyaan kamu yang
pertama, aku nyanyi lagu itu buat kamu, untuk minta maaf, bukan untuk ngeganggu
kamu,” meskipun aku ingin mencacinya, tetapi aku masih terlalu lelah untuk
berkata-
kata. “Kedua, aku nggak
pernah ngegantung kamu, tapi aku memang berhenti kontak kamu lagi. Aku Cuma
menghormati permintaan kamu.” Aku menggeram kesal tapi tidak punya energy untuk
melakukan lebih dari itu. “Ketiga, aku menghargai kamu, apalagi hati kamu lebih
dari apa pun” Tiba-tiba Kafka melepaskanku. Aku terjatuh sambil terpekik kecil,
“Aduhhh.” Untungnya aku tak beralas kaki lagi, jadi lebih bisa menjaga
keseimbangan sehingga tidak jatuh tersungkur. Kutarik napas dalam-dalam sebelum
kemudian memutar tubuhku untuk menatapnya. Kafka menatapku dengan mata agak
kuyu. Dadanya naik-turun dan aku tahu bahwa seperti juga aku, dia sudah
kehabisan napas mencoba untuk mengontrol kemarahanku. Garis bibirnya kelihatan
lurus, seakan-akan dia sedang bersusah payah menahan diri untuk tidak
mengatakan yang sebetulnya ingin dia katakana. Kemudian dia menutup mata
beberapa detik dan ketika dia membuka matanya lagi dan melihatku, dia harus
mengedipkan matanya berkali-kali, seakan-akan dia tidak percaya apa yang sedang
dilihatnya. Tindak-tanduknya… reaksinya atas kata-kataku… kata-kata yang diucapkannya….
Semua tentangnya malam ini membuatku bingung dan waswas. Ada sesuatu yang salah
dengan semua ini, tetapi aku tidak tahu. “Kafka, are you okay?” tanyaku dan
tanpa kusadari aku sudah mengambil beberapa langkah mendekatinya. “Kamu
serius?” pertanyaan Kafka yang tidak masuk akal itu membuatku terhenti dan
menatapnya bingung. “Apa kamu betul-betul cinta sama aku?” lanjutnya ketika aku
tidak mengatakan apa-apa. Oh, shit! Apa yang harus kukatakan? Aku tidak akan
mungkin bisa mengiyakan pertanyaan itu sekarang… setelah pikiranku sudah
sedikit jernih dan tidak semarah tadi. Melihat keraguanku Kafka berkata lagi,
“Aku dengar apa yang kamu omongin dan kamu nggak bisa narik itu kembali.”
Double shit! Aku harus lari. Aggghhh… aku tidak akan pernah bisa menunjukkan
mukaku lagi di hadapannya, kini dia sudah tahu perasaanku terhadapnya. Nadia…
ambil satu langkah mundur… putar tubuh lo…. Dan lari. Sekarang juga sebelum
semuanya terlambat. Oh… tapi aku tahu bahwa meskipun aku lari, Kafka akan
menemukanku, di mana pun itu. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa tahu ini karena
ini tidak masuk akal, tetapi sepertinya ada sesuatu yang telah mengikatku
dengan Kafka, suatu kekuatan alam yang sangat mendasar, sehingga kami akan
selalu menarik satu sama lainnya. Seperti sisi positif dan negative magnet.
Kututup mataku dan kuangkat wajahku ke langit. Kuembuskan napasku dan pada
detik itu aku menyerah. Betul-betul menyerah dan mengaku kalah dalam permainan
ini. Tuhan, kalau ini rasanya untuk betul-betul jatuh cinta dengan laki-laki
seperti Kafka, ambil saja kembali semuanya. SE-MUA-NYA. Aku tidak mau satu
titik pun dari semua ini. Aku menunggu adanya suatu tanda atau suara dari atas
tapi aku hanya mendengar dan merasakan tetesan hujan mengenai wajahku. Satu dua
tiga empat… satu dua tiga empat… satu dua tiga empat… aku menghitung setiap
tetesan itu. Andaikan hidup sebegini mudahnya untuk ditebak dan dicari polanya.
Aku seharusnya sudah menggigil kedinginan, tapi tubuhku terasa panas. Aku tidak
tahu berapa lama aku berdiri dalam posisi itu, tapi kemudian kurasakan sentuhan
pada pipi kiri dan kananku dan kubuka mataku. Tatapan mata Kafka yang teduh
menyambutku. “Kalau kamu nggak bisa ngucapin kata-kata itu, aku yang akan
ucapin,” ucap Kafka perlahan. Otomatis kugelengkan kepalaku lemah, mencoba
untuk mengusir apa pun yang akan aku dengar. Nggak. Aku nggak perlu mendengar
kata-kata cintaku dilempar kembali ke mukaku. Aku tidak perlu mendengar bahwa
dia merasa tersanjung dan berterima kasih karena aku sudah mencintainya, tetapi
dia tidak
merasakan hal yang sama. “I
love you, Nad-Nad. Dari dulu sampai sekarang…” “Jangan, Kaf.” Potongku sambil
tetap menggeleng. Hancur sudah semuanya. Dia sudah mengambil segala-galanya
dariku, aku sudah tidak mampu merasakan apa-apa lagi. “Jangan apa, Nad?” Tanya
Kafka lembut. Dia kini harus menekuk lututnya agar matanya bisa sejajar dengan
mataku. Tanpa sepatu berhak, kepalaku hanya mencapai bahunya. “Sekarang bukan
waktunya untuk bercanda. Ini semua nggak lucu,” aku tersedak dan hampir tidak
bisa mengeluarkan kata-kata itu. Tiba-tiba Kafka mencengkeram kedua lenganku
bagian atas dn mengguncangkan tubuhku seperti aku ini boneka. “Kamu mau tahu
apa yang nggak lucu?” teriaknya. “Aku sudah suka sama kamu dari waktu aku umur
sepuluh tahun, tapi aku tahu kalau anak sepintar dan sebaik kamu nggak akan mau
sama anak sebandel aku? Dan karena kamu selalu nyuekin aku, sehari-hari aku
bisanya Cuma ngegangguin kamu dan bikin kamu marah atau nangis supaya aku dapat
perhatian kamu! Aku selalu ngerasa kayak orang paling jahat satu dunia ini
setiap kali aku ngisengin kamu, tapi aku selalu bilang ke diriku sendiri suatu
hari nanti aku akan bisa minta maaf. Tapi sebelum itu kesampaian, kamu sudah
ngilang. Dan selama dua puluh tahun ini aku ngebawa rasa bersalahku ke mana pun
aku pergi.” “Kamu nggak…” Kata-kataku terhenti karena tatapan tajam Kafka.
Rupanya dia belum selesai. “Dan tahu-tahu beberapa bulan yang lalu kamu muncul
di hadapan aku dan aku kayak dikasih kesempatan kedua sama Tuhan untuk
memperbaiki semua kesalahan yang pernah aku buat ke kamu, tapi sekali lagi aku
belum sempat minta maaf sebelum kamu lari ngibrit dari hadapan aku. Saat itu
aku pikir kalau aku sudah kehilangan semua kesempatan untuk memperbaiki semua
ini, tapi tiba-tiba kamu muncul lagi di ruang praktik aku dan aku tahu bahwa
aku atau kamu nggak akan bisa menghindar lagi dari satu sama lain sampai
masalah kita selesai.” Aku tersentak ketika mendengar kalimat Kafka yang
terakhir, yang pada dasarnya meneriakkan apa yang hanya ada di dalam pikiranku
kembali padaku. Kusadari bahwa hujan sudah mulai reda karena Kafka tidak perlu
berteriak-teriak lagi dan aku bisa mendengar semua kata-katanya dengan jelas.
Dia melepaskanku dan mundur beberapa langkah. Lalu dia menutup matanya sambil
mengangkat kedua tangannya untuk memijat pelipisnya seperti orang yang sudah
terserang migraine atau orang yang sangat tersiksa dengan segala beban hidup
yang sudah ditumpahkan padanya. Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat, tapi
yang jelas aku tidak tega melihatnya seperti ini. Tidak ada seorang pun yang
berhak untuk kelihatan sebegini tersiksanya, apa pun kesalahan mereka. Aku
ingin memeluknya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa dia
tidak perlu memberikan penjelasan apa –apa padaku sekarang, tetapi kenyataannya
adalah aku tidak bisa menggerakkan otot-ototku sama sekali karena menunggu apa
yang akan keluar dari mulutnya selanjutnya. Aku tidak bisa menahan diriku untuk
berharap.
Matanya masih tertutup ketika kudengar suaranya lagi. “Selama
ini aku pikir masalah kita itu Cuma rasa bersalah aku ke kamu tapi setelah aku
betul-betul kenal kamu, aku tahu itu Cuma sebagian kecil dari masalah kita,”
dia menurunkan kedua tangannya sebelum membuka mata dan tepat menatapku. “Waktu
aku ngelihat kamu nangis di rumah sakit pas papa kamu kena serangan jantung,
aku akhirnya sadar semua yang aku rasakan tentang kamu itu bukan rasa suka atau
bersalah, tapi cinya. Aku cinta
sama kamu. Kamu masih pintar,
masih baik, masih bisa adu mulut sama aku, pokoknya kamu masih seperti dulu, tapi
yang aku nggak pernah sangka dari kamu adalah you can wrap me in your little
finger… so tight and I don’t even mind it,” lanjutnya. “Dan aku coba, Nad,
sumpah aku sudah coba untuk nunjukin ke kamu perasaan aku, tapi buntutnya
seperti biasa aku Cuma bisa gangguin kamu lagi. Kebiasaan lama susah
hilangnya.” Kafka terlihat meringis ketika mengatakannya. Aku belum sempat
mencerna semua kata-katanya ketika dia sudah melanjutkan, “Tapi kamu tahu apa
yang paling nggak lucu lagi?” tanyanya dan aku tahu bahwa pertanyaan ini
retoris, tapi aku tetap menggeleng. “Waktu kita mulai SMS-an dan satu hari aku
bangun dan aku nggak sabar untuk SMS kamu, Cuma untuk Tanya kabar kamu. And let
me tell you, aku benci SMS, terima apalagi ngirim, tapi aku bela-belain karena
kamu jelas-jelas nggak mau ngomong sama aku langsung dan itu satu-satunya cara
supaya aku tetap bisa kontak kamu. Saat itu aku sadar seberapa kalau aku ini
cinta mati sama kamu yang hanya bisa ngelihat aku kayak aku ini…” Kafka
berhenti sesaat dan kelihatan mengalami masalah untuk keluar dengan suatu
perumpamaan yang tepat. Dia kelihatan menggemaskan ketika melakukannya, dia
mungkin sudah akan menginjak umur tiga puluh, tapi mentalnya tidak akan bisa
lebih dewasa daripada anak berumur sepuluh tahun, dan aku tidak keberatan
bahkan merasa terhibur akan hal itu. Pada detik itu aku tahu bahwa aku tidak
lagi peduli apa yang akan dia katakana atau lakukan karena apa pun itu tidak
akan bisa membuatku tidak lagi mencintainya atau lebih mencintainya daripada
pada detik itu. “Nyamuk,” tiba-tiba Kafka berteriak dan membuyarkan jalan
pikiranku. “Iya… kamu ngelihatin aku kayak nyamuk yang Cuma bisa ganggu kamu
saja. Dan aku sama sekali nggak bisa nyalahin kamu karena kamu memang punya hak
untuk bertingkah laku kayak gitu,” lanjutnya. Kemudian Kafka maju beberapa
langkah dan meraih kedua tanganku. “Maafin aku, Nad, atas semuanya… kalau kamu
masih nggak percaya aku mohon kamu kasih aku kesempatan untuk ngbuktiin kalau
aku betul-betul serius sama kamu. Aku tahu aku suka nggak stabil, tapi kamu
jenis perempuan yang tahu cara ngatasin itu. Kamu tahu cara nge-handle aku. Aku
nggak tahu sejauh mana hubungan kamu sama laki-laki yang datang sama kamu mala
mini, apa dia teman, date, pacar, calon suami… aku nggak peduli…. Please, Nadia….”
Satu-satunya yang keluar dari mulutku adalah “Why?” “Because I love you… so
much I can’t think straight, dan aku nggak pernah bisa, nggak akan pernah bisa
dan nggak akan rela ngelihat kamu sama laki-laki lain.” Oh, my God. Untuk
kategori “shit”, kata-kata Kafka baru saja mendudukkanku pada posisi “trple
espresso venti shit,” dia telah melewati “Oh, shit”, “double shit”. Bahkan
“Holy shit”. Bagaimana mungkin dia bisa melakukan ini? Dia telah membuatku
semenjak mencintainya, aku bahkan tidak tahu bahwa hal itu bisa terjadi. Segala
sesuatu mulai terasa tidak nyata di sekelilingku. Apa aku sedang bermimpi? Aku
menahan diri untuk tidak mencubit diriku sendiri. Akhirnya aku hanya bisa
mengerutkan dahiku dalam usaha untuk tetap bersentuhan dengan dunia nyata. Aku tidak
bisa meragukan ketulusan dan keseriusan kata-katanya itu, semuanya terlihat
pada tatapan matanya, tetapi ini semua terlalu banyak untuk dicerna dan ditelan
dalam satu percakapan. Lalu akal sehatku mulai bekerja dan
pertanyaan-pertanyaan mulai timbul. Salah satunya adalah, “Bagaimana dia bisa
menjelaskan pertanyaan cintanya padaku padahal masih punya hubungan intim
dengan perempuan lain?” “Kamu nggak bisa minta ini semua dari aku kalau kamu
sendiri masih punya perempuan lain yang
nempel sama kamu kayak perangko,”
aku bahkan tidak tahu bahwa aku sudah mengucapkan apa yang terlintas di dalam
pikiranku sampai aku mendengar suara Kafka. “Aku minta maaf soal malam ini, aku
Cuma ngelakuin itu untuk bikin kamu jealous. Dan aku tahu kalau itu goblok,
childish, dan kemungkinan besar aku sudah nyakitin hati perempuan lain untuk
ngedapatin hati kamu, tapi itu satu-satunya ide yang keluar waktu aku lihat
kamu sama laki-laki lain malam ini. I was jealous and… and… that will not
happen again, I promise,” balas Kafka sambil meremas kedua tanganku untuk
meyakinkanku. Wajahnya menatapku dengan penuh harap dan aku pun mengembuskan
napasku. “Elang, cowok yang kamu lihat sama-sama aku mala mini, dia bukan pacar
aku. Kami sudah sering keluar selama sebulan ini, dan aku memang suka sama dia
sebagai teman, tapi itu saja,” ucapku pelan. “Really?” Kafka terdengar tidak
percaya. “Really,” jawabku. “Apa ada orang lain lagi yang sekarang dekat sama
kamu?” Tanya Kafka Kugelengkan kepalaku. “Kamu?” tanyaku. “Apa perlu kamu
Tanya?” balas Kafka dan kelihatan tersinggung. Aku terdiam sesaat sebelum
menyuarakan pertanyaanku selanjutnya. “Siapa perempuan yang ada sama kamu
beberapa bulan yang lalu waktu aku telepon kamu?” aku benar-benar berminta
untuk mengemukakan segala pernyataan yang aku perkirakan akan menimbulkan
masalah “kepercayaan” kalau masih dibiarkan tidak terjawab. Kafka buru-buru
membantah, “Kapan kamu telepon aku? Kamu nggak pernah telepon…,” lalu dia
terdiam sebelum berkata, “Ooohhh… mamaku maksud kamu?” “Mama kamu?” teriakku terkejut.
Aku menyangka bahwa dia akan berkata bahwa itu temannya, mantan pacarnya, atau
bahkan pacarnya, tapi aku tidak pernah memperkirakan jawaban ini. “Memang nya
kamu pikir itu siapa?” ketika melihatku tidak bereaksi Kafka menjelaskan,
“Weekend itu aku ngerasa benar-benar nggak enak badan, jadi aku pergi ke rumah
orangtuaku suapaya ada yang bisa ngurusin aku, soalnya aku Cuma tinggal sendiri
dirumahku, jadi agak ribet kalau misalnya aku perlu pergi ke dokter.” Melihatku
masih tidak bereaksi Kafka melanjutkan. “Mamaku sudah bilang untuk jangan kerja
weekend itu, tapi kamu telepon dan aku pikir ada emergency, makannya aku
angkat.” Oke, penjelasannya cukup masuk akal, tetapi itu tidak menjelaskan
suara ciuman yang aku dengar. “Memangnya kamu selalu sebegitu mesranya ya sama
mama kamu?” tanyaku, maju terus pantang mundur. “Hah?” Kafka kelihatan bingung
sekali dan aku tidak menyalahkannya. “Di telepon… aku dengar suara ciuman,”
jelasku. “Ooohhh,” ucap Kafka lalu dia kelihatan tersipu-sipu sebelum
melanjutkan, “itu kebiasaan waktu kecil. Kalau aku lagi sakit, Mama bakalan
cium keningku dan aku balas dengan nyium pipinya. Itu ritual supaya cepat
sembuh yang kebawa sampai sekarang.” Ya ampuuunnnn…. Ternyata aku benar,
mentalitas Kafka tidak berkembang seiring dengan pertumbuhan tubuhnya. Aku jadi
curiga jangan-jangan dia masih perlu minum susu sebelum tidur atau lebih parah
lagi, dia masih ngemut jempolnya kalau tidur. Tidak tahu apakah aku harus
merasa kesal atau tertawa, akhirnya aku memutuskan untuk menggeleng. Kok bisa
sih aku jatuh cinta sama laki-laki seperti ini? Seseorang yang mengungkapkan
kata cinta dengan menjambak rambutku, mengata-ngatai selera musikku, sebelum
akhirnya menerorku melalui SMS. Ini semua tidak masuk akal. Tapi ketika aku
ingat bahwa dialah yang sudah menjagaku ketika aku mabuk, menenangkanku ketika
aku menangis,
memastikan agar jantung
papaku tetap dalam keadaan baik, bahkan menawarkan bantuannya dalam urusan
saham orangtuaku yang amblas, maka aku tidak lagi bertanya-tanya. Jana pernah
bilang kepadaku bahwa cinta itu terkadang tidak masuk akal karena rasa ini
bersangkut dengan hati dan perasaan bukan akal sehat. Sebagai orang yang selalu
mengandalkan logika daripada hati, aku tidak pernah memahami kata-kata itu,
hingga sekarang.
“Aku SMS dan telepon kamu berkali-kali setelah Tahun Baru,
tapi kamu nggak pernah balas,” ucapku pelan. “You did?” Kafka kelihatan ragu.
“Jujur, aku nggak oernah terima telepon atau SMS dari kamu, kalau aku tahu aku
pasti sudah kontak kamu. Well…. Kalau aku bisa ngedapatin nomor kamu lagi.
HP-ku crash selepas Tahun Baru jadi semua informasi di dalamnya hilang,
termasuk nomor kamu. Aku bawa HP ke service center dan HP-ku ditahan hampir
sebulan di sana, tapi mereka tetap nggak bisa ngebetulin. Akhirnya aku harus
ganti HP dan nomor.” Aku hanya terdiam dan menunggu entah apa. “Aku nggak tahu
caranya untuk minta nomor kamu dari mama kamu, karena kamu sendiri bilang bahwa
kamu nggak mau aku kontak kamu lagi,” lanjutnya dengan cepat. Kemudian, “Aku
sudah kasih nomorku yang baru ke mama kamu dan kakak kamu.” Aku tahu bahwa aku
tidak perlu memastikan kebenaran dari penjelasan Kafka ini kepada kakakku dan
mamaku, aku tahu bahwa dia mengaatakan yang sebenarnya. Bagaimana mungkin aku
bisa sebodoh ini selama ini dengan tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa HP
Kafka crash sehingga tidak bisa menghubungiku? Ah… cinta itu memang buta.
Semuanya hanya masalah miskomunikasi yang berakhir dengan membuatku
berspekulasi yang tidak-tidak tentangnya. Ingin rasanya aku membunuh kakakku
dan mamaku sekalian. Kalau saja mereka memberikan nomor Kafka yang baru padaku
dari dulu-dulu, maka aku bisa menghindari perasaan patah hati yang sudah
menyalahkan mereka karena kemungkinan besar mereka menyangka bahwa aku sudah
tahu pergantian nomor ini lebih dulu daripada mereka. Toh Kafka seharusnya
adalah temanku. “Tapi kenapa kamu nggak minta nomor telepon aku waktu ketemu
aku bulan Februari? Kamu nyuekin aku dan bahkan nggak mau mandang aku sama
sekali sepanjang pertemuan,” omelku. “Itu karena selama dua bulan aku sudah
coba untuk ngehapus kamu dari pikiranku, tapi waktu aku lihat kamu lagi…,”
Kafka terdengar tersedak, sebelum melanjutkan, “Kamu nggak tahu seberapa
susahnya aku nahan diri untuk nggak memohon supaya kamu mau ngomong sama aku
lagi.” “Tapi aku memang mau ngomong sama kamu. Aku kangen sama semua SMS gila
kamu dan humor kamu yang terkadang bikin aku bingung antara mau mukulin kamu
sama martil atau tertawa sekencang-kencangnya. Aku kangen sama kamu, Kaf,”
Kafka tidak perlu membalas kata-kataku untuk tahu bagaimana perasaannya
terhadapku. Dia hanya menarikku ke dalam pelukannya dan memelukku seakan-akan
dia tidak akan melepaskanku sampai lima puluh tahun lagi. Oh, Kafka, dengannya
aku yakin hidupku tidak akan pernah membosankan karena dia akan memastikan
bahwa aku tetap terhibur dengan segala keanehannya, dan aku… aku akan menimati
setiap detiknya. Ya…. Aku bisa hidup seperti ini. Tiba-tiba tubuhku terasa
dingin. Awalnya aku sangka bahwa itu Cuma perasaanku saja, efek dari sadarnya
aku akan seberapa dalamnya aku mencintainya dan dia mencintaiku, tetapi
tiba-tiba tanganku sudah mati rasa, gigiku bergemeletuk, dan tubuhku menggigil,
aku tahu bahwa aku betul-betul kedinginan.
“Sekarang kamu sudah tahu
perasaan aku ke kamu,” samar-samar kudengar suara Kafka. “Apa kamu ada sesuatu
yang kamu mau bilang ke aku?” ketika aku tidak juga mengatakan apa-apa dia
melepaskan pelukannya untuk menatapku, “Nadia?” Aku hanya bisa menatapnya dan
menatapnya… dan menatapnya lagi. “A… ahhh… I’m…,” aku mencoba untuk berkata-kata,
tetapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar karena lidahku beku. “I’m cold,”
ucapku akhirnya dan untuk seperempat detik aku kehingan penglihatanku.
Tenggorokanku terasa kering dan kepalaku mulai pusing dan aku tahu bahwa besok
aku tidak akan bisa bangun dari tempat tidur karena flu. “Oh God. I’m an
idiot,” teriak Kafka sebelum buru-buru menanggalkan jasnya dan menyampirkannya
pada bahuku, lalu memelukku dengan erat sambil mengusap-usap punggungku.
Kehangatan langsung menyelimutiku. Ingin rasanya kuangkat kedua tangan untuk
memeluk tubuhnya yang besar, hangat, dan terasa aman itu, tapi aku terlalu
kedinginan untuk melakukan itu semua.
Crash Into You - AliaZalea - Bab 17
No comments:
Post a Comment