Saturday, September 5, 2015

Crash Into You - AliaZalea - Bab 16

Bab 16 

5 April 

Gue nggak berhak ngedapatin dia. Gue sudah bohong sama dia. Dia terlalu baik untuk gue. Gue nggak bisa sama-sama dia lagi. *** MENDENGAR kata-kata itu keluar dari mulut Kafka yang kini sedang menatapku dalam, seakan-akan hanya ada aku dan dia di dalam ruangan itu, bukannya 250 orang yang kini sedang meneriakkan dukungan mereka sambil tertawa karena mereka tidak percaya bahwa seorang laki-laki semaskulin Kafka akan menyanyikan lagu NKOTB, membuatku terdiam dengan mulut ternganga tidak bisa berkata-kata. Perasaan galau, campur aduk antara rasa marah dan luluh. Kenapa dia harus menyanyikan lagu yang kata-katanya pada dasarnya memohon agar aku tidak pergi meninggalkannya? Kenapa dia harus melakukan aksi sedramatis ini hanya untuk meminta maaf? Apa dia tidak bisa mengatakan kata maaf seperti orang-orang pada umumnya? Kemudian pertanyaan lain mulai muncul di kepalaku. Kenapa dia harus melakukan hal ini sekarang dan tidak tiga jam yang lalu ketika aku melihatnya di pintu masuk kelab atau ketika aku sedang nge-dance dengan Elang? Kemudian aku ingat tatapan matanya ketika melihat Elang dan aku tahu kenapa dia melakukan hal ini. Dia sengaja memilih lagu itu karena dia tahu bahwa inilah satu-satunya cara untuk membuatku mengerti tentang perasaannya padaku. Dan aku memang mengerti, aku mengerti bahwa dia benar-benar belum puas untuk menyiksaku dengan membuatku jatuh cinta padanya sebelum kemudian meninggalkanku begitu saja. Dia tidak suka melihatku senang dan tertawa dengan Elang, seorang laki-laki yang jelas-jelas menyukaiku apa adanya, lima bulan setelah “dibuang” oleh Kafka. Dan setelah dua puluh tahun ini dia masih menilai NKOTB bukan sebagai band yang bonafide tetapi hanya sebagai bahan tertawaan belaka. Untuk pertama kalinya, lagu NKOTB tidak bisa membawa ketenangan, melainkan kemarahan di dalam diriku. Buru-buru aku berdiri dari kursi sofa untuk mencegah agar kepalaku tidak meledak karena kemarahan yang kurasakan. Hampir saja aku menumpahkan Mojito-ku ketika kakiku tidak sengaja menabrak meja. Kurasakan tangan seseorang menyentuh lenganku dan ketika aku menoleh kulihat Elang sedang menatapku bingung. Dia juga sudah berdiri dari sofa. “Lang, aku minta maaf, tapi aku harus pergi dari sini sekarang juga,” ucapku. Kata-kataku seolah tumpah-tindih dengan cepat, dan dalam hati aku bertanya-tanya apakah Elang mengerti apa yang baru kukatakan. “Kenapa, Nad?” Tanya Elang agak bingung, tetapi ketika dia melihat wajahku yang kemungkinan besar kelihatan pucat, dia langsung terlihat khawatir. “Aku… aku… aku harus keluar dari sini,” balasku dan mencoba mengedipkan mataku berkali-kali untuk mengusir tusukan-tusukan jarum yang sudah menyerangnya. Andaikan saja aku tipe orang yang bisa melakukan kekerasan kalau sedang marah, maka mungkin aku sudah melempar gelas Mojito-ku ke arah Kafka dan adu fisik saat itu juga, tapi tentu saja aku tipe perempuan yang malah justru akan menangis kalau sedang marah atau kesal, sehingga kelihatan lemah dan cengeng. “I’II go with you,” ucap Elang, tetapi buru-buru kugelengkan kepalaku dan berkata. “Nggak… nggak apa-apa. Aku Cuma perlu ke toilet,” jelasku dan tanpa menunggu balasan darinya aku langsung pergi meninggalkan Elang.
Kudengar Kafka menyentuh nada falsetto dan semua orang bertepuk tangan dan berteriak gembira. Aku tahu bahwa masih ada sekitar tiga puluh detik lagi sebelum lagu itu berakhir. Bukannya menuju ke toilet seperti yang kukatakan kepada Elang, kulangkahkan kakiku menuju pintu keluar. Aku harus bisa menarik napas lagi ketika sudah berada di luar kelab dan menghirup udara malam Jakarta. Suasana di luar kelab kelihatan cukup kosong, hanya ada beberapa staf Empire yang seliweran, tidak ada reporter dengan kamera. Thank you, God. Aku berjalan ke arah kanan, mencoba mencari area tempat aku bisa menenangkan diriku dengan damai. Sedetik kemudian aku tahu kenapa tidak banya orang yang berlalu-lalang, hujan rintik-rintik mulai turun. Andaikan saja aku membawa mobilku, maka aku bisa bersembunyi di dalamnya untuk beberapa menit sehingga aku bisa mengontrol kedua tanganku yang sudah gemeteran tidak terkendali. Aku melihat kilat dan bunyi gemuruh yang menyusul, tetapi aku tidak peduli dan mulai berjalan di bawah hujan. Aku tidak tahu ke mana aku akan pergi, yang aku tahu adalah aku harus menjauh dari situ untuk beberapa menit sampai kulitku tidak terasa seperti sedang dibakar, jantungku tidak lagi meronta-ronta tidak keruan, dan pikiranku jernih kembali. Kulirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Iya, sudah waktunya bagiku untuk pulang ke rumah, mandi dengan air hangat, berbaring di atas tempat tidurku yang nyaman, dan menangis sepuasnya. Entah kenapa tapi meskipun mataku terasa pedas, tetapi tidak air mata yang keluar. Aku pun berbelok ke kiri, bermaksud untuk mengambil satu putaran gedung Empire sebelum berteduh. Aku tahu bahwa Elang pasti sedang mencariku, aku berjanji untuk menjelaskan semuanya padanya malam ini juga. Pelataran parkir kelihatan sepi tapi cukup terang. Kemudian kudengar langkah kaki di belakangku dan kutarik napasku dalam-dalam, siap untuk meminta Elang agar mengantarku pulang, tetapi ketika kuputar tubuhku yang kutemui adalah Kafka yang sedang menatapku dengan mata seperti orang yang sudah kehilangan akal sehatnya. Meskipun aku tahu dan yakin bahwa Kafka tidak akan pernah main tangan dengan perempuan, tapi ada sesuatu pada tatapan matanya itu yang membuatku ragu. Untuk pertama kalinya aku takut bahwa dia akan melakukan kekerasan fisik padaku karena kecemburuan yang telah membutakan matanya. Dalam hati aku langsung tertawa ketika mencapai kesimpulan ini. Orang hanya bisa melakukan “crime of passion” karena mereka cemburu, kecemburuan hanya akan timbul kalau ada rasa cinta, dan aku tahu bahwa kata cinta adalah hal terakhir yang ada di pikiran Kafka tentangku saat ini. Saat itu aku tahu bahwa Kafka tidak akan menyakitiku. “Ngapain kamu di sini?” tanyaku dengan suara yang agak bergetar. Kata-kata itu tidak terdengar sekasar dan setidak sopan yang kuinginkan. Untung saja ada kilat dan gemuruh yang datang pada saat itu sehingga membuat kata-kataku terdengar lebih mengancam. “Nyariin kamu,” jawab Kafka pendek sambil mengambil satu langkah mendekatiku. “Buat apa? Belum puas kamu gangguin aku? Masih mau…,” aku belum selesai dengan omonganku ketika Kafka memotong. “Dia pacar kamu?” tanyanya dengan nada yang terdengar agak putus asa. “Hah?” “Laki-laki yang sama kamu terus sepanjang malam. Dia pacar kamu?” Kurasakan hujan mulai turun dengan lebih deras dan aku tahu bahwa aku harus berteduh kalau tidak mau basah kuyup. Kukepalkan kedua tanganku, kutegakkan tulang belakangku, kuangkat daguku, dan menatapnya dari ujung hidungku. “Itu bukan urusan kamu,” ucapku tajam. Aku bersyukur bahwa suaraku sudah tidak bergetar lagi, dan aku mengambil langkah untuk melewatinya. Tapi langkahku
terhenti oleh tangan Kafka yang mencengkeram sikuku dengan cukup kuat, berusaha memutar tubuhku agar menghadapnya. Dan aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi sentuhannya itu menyulut sesuatu…. Sesuatu yang buruk di dalam diriku yang sudah aku coba pendam, yaitu keinginanku untuk melukai dia seperti dia telah melukai aku. Tanpa kusadari aku berteriak, “Don’t touch me,” sambil berusaha membebaskan lenganku dari cengkeraman itu. Tapi Kafka seperti tidak mendengarku atau menolak untuk mendengar karena dia justru mengeratkan cengkeramannya dan berkata, “Nadia, stop it. What are you doing?” Dan pada saat itu langit terbuka dan hujan turun dengan deras. “Laki-laki sialan. Kadal sakit jiwa. Lepasin aku,” teriakku lagi. Tubuhku sudah menggeliat mencoba melepaskan diri dan detik berikutnya Kafka sudah memeluk pinggangku dari belakang dan menarikku ke dalam pelukannya sehingga punggungku menempel pada dadanya dan kakiku tidak lagi menyentuh aspal. Dengan sekuat tenaga aku berontak. Aku mencoba menendangnya, tetapi dengan posisiku yang terbalik, kakiku hanya bisa menendang angin. Kuangkat kedua tanganku ke belakang dan mencoba mencakar wajahnya, tetapi sepertinya Kafka sudah mengantisipasi itu dengan memindahkan kedua tangannya dari pinggangku sebelum kemudian memaksa turun kedua lenganku dan menguncinya dengan melingkarkan kedua lengannya pada dadaku. “Stop it, woman,” bentak Kafka. Aku tidak menghiraukan bentakannya dan tetap mencoba melepaskan diri. Aku tidak peduli rambutku yang malam itu aku konde dan ditusuk dengan dua sumpit logam di bagian kiri dan kanan sudah terurai sehingga kini menempel pada pipiku. Aku yakin bahwa make-up-ku sudah luntur disapu air mata (ya… air mata pengkhianat itu memutuskan untuk keluar sekarang, di saat yang paling tidak tepat) dan hujan, dengan garis-garis hitam bekas mascara di mana-mana. Aku bahkan tidak peduli bahwa cheongsam yang menempel pada kulitku karena basah kini sudah naik dan belahan kakinya berada di pinggang bukan lagi dipaha. “You asshole… aggghhh…. Buat apa kamu nyanyi lagu itu? Dari dulu sampai sekarang kamu nggak pernah berhenti gangguin aku,” sepatu kananku melayang. Aku mendengar Kafka menggeramkan sesuatu yang terdengar seperti, “calm down,” tapi aku tidak berhenti meronta-ronta untuk memastikan. “Belum puas kamu ngegantungin aku berbulan-bulan sebelum ninggalin aku tanpa ada penjelasan apa-apa?” kini giliran sepatu kiriku yang melayang, dan sekali lagi kudengar Kafka mengatakan sesuatu yang tidak jelas. “Apa kamu mau bikin aku ngerasa lebih murah daripada yang sudah aku rasain sekarang? Kamu ambil hatiku terus kamu injak-injak.”
Kudengar bunyi kraaa…k yang cukup keras dan tahu bahwa aku baru saja merobek sesuatu, kemungkinan besar adalah cheongsam-ku. “Kamu bikin aku cinta sama kamu, tapi kamu Cuma mainin aku. Aku nggak pernah mau lihat kamu lagi. Sekarang lepasin aku.” Aku sudah berteriak seperti orang gila. Tidak peduli bahwa aku sudah menumpahkan perasaanku terhadap Kafka, juga tidak peduli kalau ada orang yang bisa mendengarnya, tapi tentu saja tidak ada yang bisa mendengar teriakanku di antara suara hujan lebat dan gemuruh Guntur. “NADIAAA! BERHENTI SEKARANG JUGA SEBELUM KAMU NGELUKAIN DIRI KAMU SENDIRI,” bentakan Kafka kali ini membuatku terdiam dan berhenti meronta-ronta. Napasku terengah-engah dan tanpa kusadari hampir semua otot pada tubuhku mulai kejang, bahkan ada yang kram. Aku merasakan sentuhan rahang Kafka pada pelipis sebelum dia berkata dengan pelan dan pasti, “Untuk ngejawab pertanyaan kamu yang pertama, aku nyanyi lagu itu buat kamu, untuk minta maaf, bukan untuk ngeganggu kamu,” meskipun aku ingin mencacinya, tetapi aku masih terlalu lelah untuk berkata-
kata. “Kedua, aku nggak pernah ngegantung kamu, tapi aku memang berhenti kontak kamu lagi. Aku Cuma menghormati permintaan kamu.” Aku menggeram kesal tapi tidak punya energy untuk melakukan lebih dari itu. “Ketiga, aku menghargai kamu, apalagi hati kamu lebih dari apa pun” Tiba-tiba Kafka melepaskanku. Aku terjatuh sambil terpekik kecil, “Aduhhh.” Untungnya aku tak beralas kaki lagi, jadi lebih bisa menjaga keseimbangan sehingga tidak jatuh tersungkur. Kutarik napas dalam-dalam sebelum kemudian memutar tubuhku untuk menatapnya. Kafka menatapku dengan mata agak kuyu. Dadanya naik-turun dan aku tahu bahwa seperti juga aku, dia sudah kehabisan napas mencoba untuk mengontrol kemarahanku. Garis bibirnya kelihatan lurus, seakan-akan dia sedang bersusah payah menahan diri untuk tidak mengatakan yang sebetulnya ingin dia katakana. Kemudian dia menutup mata beberapa detik dan ketika dia membuka matanya lagi dan melihatku, dia harus mengedipkan matanya berkali-kali, seakan-akan dia tidak percaya apa yang sedang dilihatnya. Tindak-tanduknya… reaksinya atas kata-kataku… kata-kata yang diucapkannya…. Semua tentangnya malam ini membuatku bingung dan waswas. Ada sesuatu yang salah dengan semua ini, tetapi aku tidak tahu. “Kafka, are you okay?” tanyaku dan tanpa kusadari aku sudah mengambil beberapa langkah mendekatinya. “Kamu serius?” pertanyaan Kafka yang tidak masuk akal itu membuatku terhenti dan menatapnya bingung. “Apa kamu betul-betul cinta sama aku?” lanjutnya ketika aku tidak mengatakan apa-apa. Oh, shit! Apa yang harus kukatakan? Aku tidak akan mungkin bisa mengiyakan pertanyaan itu sekarang… setelah pikiranku sudah sedikit jernih dan tidak semarah tadi. Melihat keraguanku Kafka berkata lagi, “Aku dengar apa yang kamu omongin dan kamu nggak bisa narik itu kembali.” Double shit! Aku harus lari. Aggghhh… aku tidak akan pernah bisa menunjukkan mukaku lagi di hadapannya, kini dia sudah tahu perasaanku terhadapnya. Nadia… ambil satu langkah mundur… putar tubuh lo…. Dan lari. Sekarang juga sebelum semuanya terlambat. Oh… tapi aku tahu bahwa meskipun aku lari, Kafka akan menemukanku, di mana pun itu. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa tahu ini karena ini tidak masuk akal, tetapi sepertinya ada sesuatu yang telah mengikatku dengan Kafka, suatu kekuatan alam yang sangat mendasar, sehingga kami akan selalu menarik satu sama lainnya. Seperti sisi positif dan negative magnet. Kututup mataku dan kuangkat wajahku ke langit. Kuembuskan napasku dan pada detik itu aku menyerah. Betul-betul menyerah dan mengaku kalah dalam permainan ini. Tuhan, kalau ini rasanya untuk betul-betul jatuh cinta dengan laki-laki seperti Kafka, ambil saja kembali semuanya. SE-MUA-NYA. Aku tidak mau satu titik pun dari semua ini. Aku menunggu adanya suatu tanda atau suara dari atas tapi aku hanya mendengar dan merasakan tetesan hujan mengenai wajahku. Satu dua tiga empat… satu dua tiga empat… satu dua tiga empat… aku menghitung setiap tetesan itu. Andaikan hidup sebegini mudahnya untuk ditebak dan dicari polanya. Aku seharusnya sudah menggigil kedinginan, tapi tubuhku terasa panas. Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri dalam posisi itu, tapi kemudian kurasakan sentuhan pada pipi kiri dan kananku dan kubuka mataku. Tatapan mata Kafka yang teduh menyambutku. “Kalau kamu nggak bisa ngucapin kata-kata itu, aku yang akan ucapin,” ucap Kafka perlahan. Otomatis kugelengkan kepalaku lemah, mencoba untuk mengusir apa pun yang akan aku dengar. Nggak. Aku nggak perlu mendengar kata-kata cintaku dilempar kembali ke mukaku. Aku tidak perlu mendengar bahwa dia merasa tersanjung dan berterima kasih karena aku sudah mencintainya, tetapi dia tidak
merasakan hal yang sama. “I love you, Nad-Nad. Dari dulu sampai sekarang…” “Jangan, Kaf.” Potongku sambil tetap menggeleng. Hancur sudah semuanya. Dia sudah mengambil segala-galanya dariku, aku sudah tidak mampu merasakan apa-apa lagi. “Jangan apa, Nad?” Tanya Kafka lembut. Dia kini harus menekuk lututnya agar matanya bisa sejajar dengan mataku. Tanpa sepatu berhak, kepalaku hanya mencapai bahunya. “Sekarang bukan waktunya untuk bercanda. Ini semua nggak lucu,” aku tersedak dan hampir tidak bisa mengeluarkan kata-kata itu. Tiba-tiba Kafka mencengkeram kedua lenganku bagian atas dn mengguncangkan tubuhku seperti aku ini boneka. “Kamu mau tahu apa yang nggak lucu?” teriaknya. “Aku sudah suka sama kamu dari waktu aku umur sepuluh tahun, tapi aku tahu kalau anak sepintar dan sebaik kamu nggak akan mau sama anak sebandel aku? Dan karena kamu selalu nyuekin aku, sehari-hari aku bisanya Cuma ngegangguin kamu dan bikin kamu marah atau nangis supaya aku dapat perhatian kamu! Aku selalu ngerasa kayak orang paling jahat satu dunia ini setiap kali aku ngisengin kamu, tapi aku selalu bilang ke diriku sendiri suatu hari nanti aku akan bisa minta maaf. Tapi sebelum itu kesampaian, kamu sudah ngilang. Dan selama dua puluh tahun ini aku ngebawa rasa bersalahku ke mana pun aku pergi.” “Kamu nggak…” Kata-kataku terhenti karena tatapan tajam Kafka. Rupanya dia belum selesai. “Dan tahu-tahu beberapa bulan yang lalu kamu muncul di hadapan aku dan aku kayak dikasih kesempatan kedua sama Tuhan untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah aku buat ke kamu, tapi sekali lagi aku belum sempat minta maaf sebelum kamu lari ngibrit dari hadapan aku. Saat itu aku pikir kalau aku sudah kehilangan semua kesempatan untuk memperbaiki semua ini, tapi tiba-tiba kamu muncul lagi di ruang praktik aku dan aku tahu bahwa aku atau kamu nggak akan bisa menghindar lagi dari satu sama lain sampai masalah kita selesai.” Aku tersentak ketika mendengar kalimat Kafka yang terakhir, yang pada dasarnya meneriakkan apa yang hanya ada di dalam pikiranku kembali padaku. Kusadari bahwa hujan sudah mulai reda karena Kafka tidak perlu berteriak-teriak lagi dan aku bisa mendengar semua kata-katanya dengan jelas. Dia melepaskanku dan mundur beberapa langkah. Lalu dia menutup matanya sambil mengangkat kedua tangannya untuk memijat pelipisnya seperti orang yang sudah terserang migraine atau orang yang sangat tersiksa dengan segala beban hidup yang sudah ditumpahkan padanya. Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat, tapi yang jelas aku tidak tega melihatnya seperti ini. Tidak ada seorang pun yang berhak untuk kelihatan sebegini tersiksanya, apa pun kesalahan mereka. Aku ingin memeluknya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa dia tidak perlu memberikan penjelasan apa –apa padaku sekarang, tetapi kenyataannya adalah aku tidak bisa menggerakkan otot-ototku sama sekali karena menunggu apa yang akan keluar dari mulutnya selanjutnya. Aku tidak bisa menahan diriku untuk berharap.
Matanya masih tertutup ketika kudengar suaranya lagi. “Selama ini aku pikir masalah kita itu Cuma rasa bersalah aku ke kamu tapi setelah aku betul-betul kenal kamu, aku tahu itu Cuma sebagian kecil dari masalah kita,” dia menurunkan kedua tangannya sebelum membuka mata dan tepat menatapku. “Waktu aku ngelihat kamu nangis di rumah sakit pas papa kamu kena serangan jantung, aku akhirnya sadar semua yang aku rasakan tentang kamu itu bukan rasa suka atau bersalah, tapi cinya. Aku cinta
sama kamu. Kamu masih pintar, masih baik, masih bisa adu mulut sama aku, pokoknya kamu masih seperti dulu, tapi yang aku nggak pernah sangka dari kamu adalah you can wrap me in your little finger… so tight and I don’t even mind it,” lanjutnya. “Dan aku coba, Nad, sumpah aku sudah coba untuk nunjukin ke kamu perasaan aku, tapi buntutnya seperti biasa aku Cuma bisa gangguin kamu lagi. Kebiasaan lama susah hilangnya.” Kafka terlihat meringis ketika mengatakannya. Aku belum sempat mencerna semua kata-katanya ketika dia sudah melanjutkan, “Tapi kamu tahu apa yang paling nggak lucu lagi?” tanyanya dan aku tahu bahwa pertanyaan ini retoris, tapi aku tetap menggeleng. “Waktu kita mulai SMS-an dan satu hari aku bangun dan aku nggak sabar untuk SMS kamu, Cuma untuk Tanya kabar kamu. And let me tell you, aku benci SMS, terima apalagi ngirim, tapi aku bela-belain karena kamu jelas-jelas nggak mau ngomong sama aku langsung dan itu satu-satunya cara supaya aku tetap bisa kontak kamu. Saat itu aku sadar seberapa kalau aku ini cinta mati sama kamu yang hanya bisa ngelihat aku kayak aku ini…” Kafka berhenti sesaat dan kelihatan mengalami masalah untuk keluar dengan suatu perumpamaan yang tepat. Dia kelihatan menggemaskan ketika melakukannya, dia mungkin sudah akan menginjak umur tiga puluh, tapi mentalnya tidak akan bisa lebih dewasa daripada anak berumur sepuluh tahun, dan aku tidak keberatan bahkan merasa terhibur akan hal itu. Pada detik itu aku tahu bahwa aku tidak lagi peduli apa yang akan dia katakana atau lakukan karena apa pun itu tidak akan bisa membuatku tidak lagi mencintainya atau lebih mencintainya daripada pada detik itu. “Nyamuk,” tiba-tiba Kafka berteriak dan membuyarkan jalan pikiranku. “Iya… kamu ngelihatin aku kayak nyamuk yang Cuma bisa ganggu kamu saja. Dan aku sama sekali nggak bisa nyalahin kamu karena kamu memang punya hak untuk bertingkah laku kayak gitu,” lanjutnya. Kemudian Kafka maju beberapa langkah dan meraih kedua tanganku. “Maafin aku, Nad, atas semuanya… kalau kamu masih nggak percaya aku mohon kamu kasih aku kesempatan untuk ngbuktiin kalau aku betul-betul serius sama kamu. Aku tahu aku suka nggak stabil, tapi kamu jenis perempuan yang tahu cara ngatasin itu. Kamu tahu cara nge-handle aku. Aku nggak tahu sejauh mana hubungan kamu sama laki-laki yang datang sama kamu mala mini, apa dia teman, date, pacar, calon suami… aku nggak peduli…. Please, Nadia….” Satu-satunya yang keluar dari mulutku adalah “Why?” “Because I love you… so much I can’t think straight, dan aku nggak pernah bisa, nggak akan pernah bisa dan nggak akan rela ngelihat kamu sama laki-laki lain.” Oh, my God. Untuk kategori “shit”, kata-kata Kafka baru saja mendudukkanku pada posisi “trple espresso venti shit,” dia telah melewati “Oh, shit”, “double shit”. Bahkan “Holy shit”. Bagaimana mungkin dia bisa melakukan ini? Dia telah membuatku semenjak mencintainya, aku bahkan tidak tahu bahwa hal itu bisa terjadi. Segala sesuatu mulai terasa tidak nyata di sekelilingku. Apa aku sedang bermimpi? Aku menahan diri untuk tidak mencubit diriku sendiri. Akhirnya aku hanya bisa mengerutkan dahiku dalam usaha untuk tetap bersentuhan dengan dunia nyata. Aku tidak bisa meragukan ketulusan dan keseriusan kata-katanya itu, semuanya terlihat pada tatapan matanya, tetapi ini semua terlalu banyak untuk dicerna dan ditelan dalam satu percakapan. Lalu akal sehatku mulai bekerja dan pertanyaan-pertanyaan mulai timbul. Salah satunya adalah, “Bagaimana dia bisa menjelaskan pertanyaan cintanya padaku padahal masih punya hubungan intim dengan perempuan lain?” “Kamu nggak bisa minta ini semua dari aku kalau kamu sendiri masih punya perempuan lain yang
nempel sama kamu kayak perangko,” aku bahkan tidak tahu bahwa aku sudah mengucapkan apa yang terlintas di dalam pikiranku sampai aku mendengar suara Kafka. “Aku minta maaf soal malam ini, aku Cuma ngelakuin itu untuk bikin kamu jealous. Dan aku tahu kalau itu goblok, childish, dan kemungkinan besar aku sudah nyakitin hati perempuan lain untuk ngedapatin hati kamu, tapi itu satu-satunya ide yang keluar waktu aku lihat kamu sama laki-laki lain malam ini. I was jealous and… and… that will not happen again, I promise,” balas Kafka sambil meremas kedua tanganku untuk meyakinkanku. Wajahnya menatapku dengan penuh harap dan aku pun mengembuskan napasku. “Elang, cowok yang kamu lihat sama-sama aku mala mini, dia bukan pacar aku. Kami sudah sering keluar selama sebulan ini, dan aku memang suka sama dia sebagai teman, tapi itu saja,” ucapku pelan. “Really?” Kafka terdengar tidak percaya. “Really,” jawabku. “Apa ada orang lain lagi yang sekarang dekat sama kamu?” Tanya Kafka Kugelengkan kepalaku. “Kamu?” tanyaku. “Apa perlu kamu Tanya?” balas Kafka dan kelihatan tersinggung. Aku terdiam sesaat sebelum menyuarakan pertanyaanku selanjutnya. “Siapa perempuan yang ada sama kamu beberapa bulan yang lalu waktu aku telepon kamu?” aku benar-benar berminta untuk mengemukakan segala pernyataan yang aku perkirakan akan menimbulkan masalah “kepercayaan” kalau masih dibiarkan tidak terjawab. Kafka buru-buru membantah, “Kapan kamu telepon aku? Kamu nggak pernah telepon…,” lalu dia terdiam sebelum berkata, “Ooohhh… mamaku maksud kamu?” “Mama kamu?” teriakku terkejut. Aku menyangka bahwa dia akan berkata bahwa itu temannya, mantan pacarnya, atau bahkan pacarnya, tapi aku tidak pernah memperkirakan jawaban ini. “Memang nya kamu pikir itu siapa?” ketika melihatku tidak bereaksi Kafka menjelaskan, “Weekend itu aku ngerasa benar-benar nggak enak badan, jadi aku pergi ke rumah orangtuaku suapaya ada yang bisa ngurusin aku, soalnya aku Cuma tinggal sendiri dirumahku, jadi agak ribet kalau misalnya aku perlu pergi ke dokter.” Melihatku masih tidak bereaksi Kafka melanjutkan. “Mamaku sudah bilang untuk jangan kerja weekend itu, tapi kamu telepon dan aku pikir ada emergency, makannya aku angkat.” Oke, penjelasannya cukup masuk akal, tetapi itu tidak menjelaskan suara ciuman yang aku dengar. “Memangnya kamu selalu sebegitu mesranya ya sama mama kamu?” tanyaku, maju terus pantang mundur. “Hah?” Kafka kelihatan bingung sekali dan aku tidak menyalahkannya. “Di telepon… aku dengar suara ciuman,” jelasku. “Ooohhh,” ucap Kafka lalu dia kelihatan tersipu-sipu sebelum melanjutkan, “itu kebiasaan waktu kecil. Kalau aku lagi sakit, Mama bakalan cium keningku dan aku balas dengan nyium pipinya. Itu ritual supaya cepat sembuh yang kebawa sampai sekarang.” Ya ampuuunnnn…. Ternyata aku benar, mentalitas Kafka tidak berkembang seiring dengan pertumbuhan tubuhnya. Aku jadi curiga jangan-jangan dia masih perlu minum susu sebelum tidur atau lebih parah lagi, dia masih ngemut jempolnya kalau tidur. Tidak tahu apakah aku harus merasa kesal atau tertawa, akhirnya aku memutuskan untuk menggeleng. Kok bisa sih aku jatuh cinta sama laki-laki seperti ini? Seseorang yang mengungkapkan kata cinta dengan menjambak rambutku, mengata-ngatai selera musikku, sebelum akhirnya menerorku melalui SMS. Ini semua tidak masuk akal. Tapi ketika aku ingat bahwa dialah yang sudah menjagaku ketika aku mabuk, menenangkanku ketika aku menangis,
memastikan agar jantung papaku tetap dalam keadaan baik, bahkan menawarkan bantuannya dalam urusan saham orangtuaku yang amblas, maka aku tidak lagi bertanya-tanya. Jana pernah bilang kepadaku bahwa cinta itu terkadang tidak masuk akal karena rasa ini bersangkut dengan hati dan perasaan bukan akal sehat. Sebagai orang yang selalu mengandalkan logika daripada hati, aku tidak pernah memahami kata-kata itu, hingga sekarang.
“Aku SMS dan telepon kamu berkali-kali setelah Tahun Baru, tapi kamu nggak pernah balas,” ucapku pelan. “You did?” Kafka kelihatan ragu. “Jujur, aku nggak oernah terima telepon atau SMS dari kamu, kalau aku tahu aku pasti sudah kontak kamu. Well…. Kalau aku bisa ngedapatin nomor kamu lagi. HP-ku crash selepas Tahun Baru jadi semua informasi di dalamnya hilang, termasuk nomor kamu. Aku bawa HP ke service center dan HP-ku ditahan hampir sebulan di sana, tapi mereka tetap nggak bisa ngebetulin. Akhirnya aku harus ganti HP dan nomor.” Aku hanya terdiam dan menunggu entah apa. “Aku nggak tahu caranya untuk minta nomor kamu dari mama kamu, karena kamu sendiri bilang bahwa kamu nggak mau aku kontak kamu lagi,” lanjutnya dengan cepat. Kemudian, “Aku sudah kasih nomorku yang baru ke mama kamu dan kakak kamu.” Aku tahu bahwa aku tidak perlu memastikan kebenaran dari penjelasan Kafka ini kepada kakakku dan mamaku, aku tahu bahwa dia mengaatakan yang sebenarnya. Bagaimana mungkin aku bisa sebodoh ini selama ini dengan tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa HP Kafka crash sehingga tidak bisa menghubungiku? Ah… cinta itu memang buta. Semuanya hanya masalah miskomunikasi yang berakhir dengan membuatku berspekulasi yang tidak-tidak tentangnya. Ingin rasanya aku membunuh kakakku dan mamaku sekalian. Kalau saja mereka memberikan nomor Kafka yang baru padaku dari dulu-dulu, maka aku bisa menghindari perasaan patah hati yang sudah menyalahkan mereka karena kemungkinan besar mereka menyangka bahwa aku sudah tahu pergantian nomor ini lebih dulu daripada mereka. Toh Kafka seharusnya adalah temanku. “Tapi kenapa kamu nggak minta nomor telepon aku waktu ketemu aku bulan Februari? Kamu nyuekin aku dan bahkan nggak mau mandang aku sama sekali sepanjang pertemuan,” omelku. “Itu karena selama dua bulan aku sudah coba untuk ngehapus kamu dari pikiranku, tapi waktu aku lihat kamu lagi…,” Kafka terdengar tersedak, sebelum melanjutkan, “Kamu nggak tahu seberapa susahnya aku nahan diri untuk nggak memohon supaya kamu mau ngomong sama aku lagi.” “Tapi aku memang mau ngomong sama kamu. Aku kangen sama semua SMS gila kamu dan humor kamu yang terkadang bikin aku bingung antara mau mukulin kamu sama martil atau tertawa sekencang-kencangnya. Aku kangen sama kamu, Kaf,” Kafka tidak perlu membalas kata-kataku untuk tahu bagaimana perasaannya terhadapku. Dia hanya menarikku ke dalam pelukannya dan memelukku seakan-akan dia tidak akan melepaskanku sampai lima puluh tahun lagi. Oh, Kafka, dengannya aku yakin hidupku tidak akan pernah membosankan karena dia akan memastikan bahwa aku tetap terhibur dengan segala keanehannya, dan aku… aku akan menimati setiap detiknya. Ya…. Aku bisa hidup seperti ini. Tiba-tiba tubuhku terasa dingin. Awalnya aku sangka bahwa itu Cuma perasaanku saja, efek dari sadarnya aku akan seberapa dalamnya aku mencintainya dan dia mencintaiku, tetapi tiba-tiba tanganku sudah mati rasa, gigiku bergemeletuk, dan tubuhku menggigil, aku tahu bahwa aku betul-betul kedinginan.

“Sekarang kamu sudah tahu perasaan aku ke kamu,” samar-samar kudengar suara Kafka. “Apa kamu ada sesuatu yang kamu mau bilang ke aku?” ketika aku tidak juga mengatakan apa-apa dia melepaskan pelukannya untuk menatapku, “Nadia?” Aku hanya bisa menatapnya dan menatapnya… dan menatapnya lagi. “A… ahhh… I’m…,” aku mencoba untuk berkata-kata, tetapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar karena lidahku beku. “I’m cold,” ucapku akhirnya dan untuk seperempat detik aku kehingan penglihatanku. Tenggorokanku terasa kering dan kepalaku mulai pusing dan aku tahu bahwa besok aku tidak akan bisa bangun dari tempat tidur karena flu. “Oh God. I’m an idiot,” teriak Kafka sebelum buru-buru menanggalkan jasnya dan menyampirkannya pada bahuku, lalu memelukku dengan erat sambil mengusap-usap punggungku. Kehangatan langsung menyelimutiku. Ingin rasanya kuangkat kedua tangan untuk memeluk tubuhnya yang besar, hangat, dan terasa aman itu, tapi aku terlalu kedinginan untuk melakukan itu semua. 


Crash Into You - AliaZalea - Bab 17

No comments:

Post a Comment