Bab 17
5 Mei
Apakah semuanya
sudah betul-betul selesai? Gue masih nggak bisa percaya akhirnya semua jadi
begini. Ahhh… kepala gue berat, hidung dan tenggorokan gue gatal, dan badan gue
sakit semua. Tapi kalau diminta, so pasti gue akan melakukan ini semua lagi.
*** Andai saja kisah cintaku dan Kafka bisa berakhir dengan romantic seperti di
cerita dongeng – Cinderella, Snow White, atau Ariel si putrid duyung. Bahkan
Fiona pun mendapatkan cerita romantisnya dengan diselamatkan oleh Shrek dari
istana yang dijaga seekor naga dengan semburan apinya. Dan di satu sisi memang
aku menemukan pengeranku, tapi tidak seromantis itu. Kenyataannya adalah bahwa
malam di Empire itu diakhiri dengan kemunculan Elang yang ketika melihatku
berada di dalam pelukan Kafka Cuma berkata, “Jadi kamu di sini rupanya.”
Sebelum kemudian dengan santai memperkenalkan dirinya kepada Kafka. Aku hanya
perlu menggerakkan kepalaku ke kanan agar bisa melihat wajah Elang, sebelum
Kafka mengeratkan pelukannya. Seperti juga kedua kakakku, dia akan jadi tipe
laki-laki superposesif terhadapku, dan untuk pertama kalinya aku tidak
keberatan. Kusadari bahwa kedua laki-laki itu sedang menilai satu sama lain
dengan satu tatapan singkat yang meliputi ujung rambut hingga ujung kaki. Aku
tidak bisa melihat ekspresi wajah Kafka Karena wajahku masih terkubur di depan
kemejanya, tapi aku bisa melihat ekspresi wajah Elang yang kini kusadari
sebetulnya jauh lebih ganteng daripada Kafka, yang jauh dari kata bersahabat.
Aku cukup terkejut ketika mereka bisa bertukar salam, bahkan berjabat tangan
tanpa salah satu dari mereka atau bahkan keduanya berakhir dengan babak belur.
Ahhh… sepertinya mimpiku tidak akan pernah jadi kenyataan. Aku bukanlah
perempuan yang haus darah, tetapi perempuan pada umumnya menyukai hal-hal
romantic. Dan tidak ada yang lebih romantic daripada melihat dua orang
laki-laki HOT, yaitu Elang dan Kafka, memperebutkan cinta seorang wanita biasa,
di dalam situasi ini berarti aku. Dan keterkejutanku belum berakhir sampai di
situ, karena kemudian kudengar suara Elang bertanya, “Nadia, kenapa , man?” Dan
Kafka menjawab, “Kedinginan habis kehujanan.” Lalu suara Elang lagi, “Kalau dia
yang kehujanan, kenapa lo juga basah?” “Soalnya gue juga kehujanan, sama
seperti Nadia,” jawab Kafka “Lo berdua masa kecil kurang bahagia apa sampai
main hujan-hujanan segala?” balas Elang Kemudian mereka terdiam sejenak dan
kupikir inilah saatnya Kafka akan meninju Elang. YESS! Akhirnya aku bisa
melihat dua laki-laki berantem karena aku. Tapi aku hanya berakhir kecewa
ketika kudengar mereka berdua mulai tertawa terbahak-bahak. Ugh… aku nggak
pernah ngerti humornya laki-laki, dan andai saja bibirku tidak beku, aku
mungkin sudah menyuarakan kekesalanku. Kucoba untuk menjauh dari dada Kafka
yang meskipun hangat tetapi karena dilapisi pakaian basah tidak cukup untuk
mencegah jari-jari tanganku yang mulai mati rasa. Aku perlu selimut agar tidak
kedinginan lagi. Aku ingin berteriak kepada mereka untuk segera menyelesaikan
percakapan ini, tapi mereka terlalu sibuk menikmati aktivitas “male bonding”
untuk memedulikanku. “Kebetulan lo nyebut-nyebut urusan masa kecil. Gue nggak
tahu kalau Nadia, tapi kalau gue… Masa kecil gue bahagia banget karena gue
sudah kenal sama dia,” ucap Kafka dan meskipun aku tahu bahwa kata-
katanya terdengar seperti
diambil dari suatu roman picisa, tetapi aku tetap meleleh juga ketika
mendengarnya. “Heh… sekarang gue ngerti kenapa Nadia cinta mati sama elo.
Soalnya biar kata gue bertapa seminggu di Bromo, gue nggak bakalan bisa punya
ilham untuk ngeluarin kata-kata yang baru lo omongin tentang dia,” Elang
mengucapkan ini sambil tertawa terkekeh-kekeh dan kurasakan tubuh Kafka menegak
dan perlukannya melonggar sedikit. Aku tidak perlu melihat wajahnya untuk tahu
bahwa dia sedang tersenyum lebar. Bugger it. Sepertinya kini aku tidak perlu
lagi mengatakan betapa cintanya aku pada Kafka kepada Kafka, karena dia sudah
mendengarnya dari Elang. Seperti mengetahui bahwa dia telah melewati suatu
garis yang seharusnya tidak ia lewati, Elang berkata, “Aaa… omong-omong lo yang
mau bawa dia pulang apa gue?” “Ya guelah,” jawab Kafka dengan agak sedikit
ganas, yang membuat Elang mundur selangkah sambil mengangkat kedua tanganya
tanda menyerah. “Kalau gitu, gue usulin supaya elo bawa dia pulang sekarang
soalnya bibirnya sudah biru,” kata Elang sambil menunjuk kepadaku. God bless
this bloke, dia benar-benar orang baik. Dihadapkan dengan gata santai Elang,
Kafka sepertinya tidak tahu apa yang harus dia perbuat, akhirnya dia hanya
berkata, “Oh… right,” sebelum kemudian mulai menuntunku pergi. Pada detik ini
rasa kantuk menyerangku dengan tiba-tiba dan aku bersusah-payah untuk tetap
membuka mataku. Ohhh… kayaknya enak kalau aku bisa tidur sekarang. Sebentar
lagi… sebentar lagi aku sudah bisa mengganti cheongsam yang basah ini dengan
piama kesayanganku, merangkak ke atas tempat tidurku yang supernyaman, dan
tidur dengan nyenyak sampai lusa. Dengan begitu kupertintahkan kedua kakiku
untuk tetap berjalan. “Dan mungkin lo mau langsung bawa dia ke mobil supaya
orang nggak bertanya-tanya kalau nanti lihat dia basah kuyup begitu. Oh ya,
sekalian nih lo bawa tas Nadia, tadi ketinggalan di dalam.” Langkahku dan Kafka
terhenti untuk meraih tas tanganku yang disodorkan oleh Elang, lalu mengambil
beberapa langkah menjauhi Elang, tapi sebelum jauh dia berhenti dan memutar
tubuhnya. “Thanks, man,” ucap Kafka. “Partiin lo betul-betul jaga dia soalnya
kalau nggak nanti lo bakal disamperin sama Jana, sobatnya Nadia. Dan gue
bilangin saja ke elo. Lo nggak mau sampai itu kejadian,” balas Elang. Mendengar
pernyataan Elang aku jadi bertanya-tanya. Apa yang dilakukan Jana sampai dia
takut sama sobatku yang setahuku tidak pernah meninggikan suaranya itu. Tapi
sebelum aku bisa mendalami lagi permasalahan ini, Kafka sudah setangah menuntun
dan setengah menggendongku menuju mobil yang diparkir di area VIP, tidak jauh
dari situ. Tanpa peduli bahwa aku akan membasahi kursi mobilnya yang untungnya
berlapiskan kulit, Kafka langsung mendudukkanku di kursi penumpang sebelum
buru-buru menuju kursi pengemudi. Dia baru saja menstarter mobilnya ketika
kulihat Elang berlari-lari ke arah kami sambil menenteng sepatuku. Kafka
menurunkan jendela untuk mengambil sepatu itu sebelum meletakkannya di kursi
belakang, kemudian dia langsung tancap gas. *** Aku terbangun oleh sinar terang
yang menyinari wajahku. Kepalaku berat, seperti ada yang memukulnya dengan
martil berkali-kali. Kufokuskan mataku untuk melihat ke sekelilingku dan
menyadari bahwa perabot yang ada di kamar itu bukan milikku. Segala sesuatunya
kelihatan terlalu antic dan kuno. Dan
untuk satu detik aku
bertanya-tanya apakah aku sedang bermimpi. Suatu mimpi saat aku sudah dilempar
ke era tahun 1800-an. Tapi rasa sakit pada kepalaku mengingatkan bahwa ini
semua nyata, bukan mimpi. Tiba-tiba perasaan déjà vu menyerangku. NOT AGAIN!
Teriakku dalam hati. Secepat tanganku yang terasa kaku bisa bergerak, kuangkat
selimut yang menutupi tubuhku dan mengintip ke bawah. Phewww,,, tubuhku
ditutupi oleh kaus kedodoran berwarna hitam. Kutarik napas dalam-dalam dan
mencium bau aneh, seperti kayu cendana. Terakhir kali aku mencium bau seperti
ini adalah ketika pemakaman kakekku hampir dua puluh tahun yang lalu, beberapa
bulan sebelum aku pindah ke Jakarta. Beliau disemayamkan di rumah duka di
Makassar selama dua hari untuk menunggu agar semua keluarga bisa berkumpul. Aku
tidak pernah suka akan bau itu, karena selalu mengingatkanku akan wajah kakekku
yang tertidur di dalam peti. Wajahnya agak membiru dan sedikit bengkak, efek
dari serangan jantung yang mengakhiri hidupnya. Yang jelas wajah itu terlihat
sangat tidak natural dan sedikit mengerikan untuk dilihat oleh anak berumur
sepuluh tahun. Aku tidak tahu kenapa Mama bersikeras agar aku mencium jasad
kakekku untuk yang terakhir kalinya sebelum kemudian peti itu ditutup. Kututup
mataku rapat-rapat dan mendekatkan bibirku pada kening kakek. Kuingat bahwa
kulitnya terasa dingin di bawah sentuhan bibirku.
Kutarik napasku sekali lagi untuk memastikan bahwa indra
penciumanku tidak sedang kacau, dan sekali lagi bau kayu cendana menyambutku.
Bloody brilliant, sekarang aku akan memiliki beberapa mimpi buruk karena
memoriku sudah terpicu bau ini. Di mana sih aku? Tiba-tiba kudengar pintu
terbuka dan wajah seorang wanita bule setengah baya yang kelihatan khawatir,
muncul di hadapanku. Dia mendekat kemudian meletakkan telapak tangannya ke
keningku dan berkata, “Sudah turun panasnya.” Siapa pula wanita bule yang
sekarang sedang berbicara dengan bahasa Indonesia superfasih ini? Sebelum aku
bisa mengutarakan pertanyaanku, dia sudah menghilang dan aku mendengar bunyi
pintu ditutup dan sekali lagi aku seorang diri di dalam kamar itu. Dengan susah
payah kuangkat kepalaku. “Owww,” ucapku pelan. Kudengar pintu kamar sekali lagi
dibuka dan langkah berat yang agak terburu-buru terdengar mendekatiku. “Nad?”
Aku tidak perlu melihat wajahnya untuk tahu pemilik suara itu. Dua tangan besar
dan kuat memintaku untuk kembali berbaring. Kalau tidak sedang merasa terlalu
lelah bercampur bingung, mungkin aku sudah melakukan perlawanan, tapi aku hanya
merelakan tubuhku untuk kembali dibaringkan dan ditutupi selimut. Kurasakan
kasur di sebelah kananku agak menurun di bawah beban berat, disusul dengan
tangan Kafka yang melingkari pinggangku sebelum tubuhnya dengan sangat
berhati-hati menyelimuti tubuhku dari belakang. Kurasakan kehangatan tubuhnya
pada punggungku. “Tidur saja dulu lagi, nanti aku bangunin satu jam lagi untuk
minum obat,” bisiknya dan mencium rambutku sambil berkata sesuatu yang
terdengar seperti “I love you”, dan aku pun tertidur lagi. Kafka memang
membangunkanku lagi untuk memintaku makan bubur yang sudah disediakan agar bisa
minum obat. Dan dalam situasi lain aku kemungkinan akan protes, tetapi kali ini
aku hanya pasrah ketika Kafka mulai menyuapiku. Dia sama sekali tidak terlihat
tidak sabaran dengan kunyahan pelanku. Sembari aku mengunyah dia berkata, “Sori
ya kalau aku bawa kamu ke rumah orangtuaku, soalnya ini yang paling dekat dari
Empire dan aku nggak mau ambil risiko kalau kamu harus lebih lama lagi pakai
baju yang basah. Suhu badan kamu sekarang memang sudah turun, tapi tadi malam
kamu demam cukup tinggi.” Aku hanya diam saja mendengar penjelasan Kafka. “Apa
kamu ada janji sama orang hari ini?” lanjutnya. Sekarang hari Minggu, bukan
hari kerja. Jadi paling yang meneleponku adalah sobat-sobatku atau
keluargaku. Kugelengkan
kepalaku. “Apa kamu mau HP kamu?” Tanya Kafka lagi sambil terus menyuapiku.
Sekali lagi kugelengkan kepalaku dan Kafka pun mengangguk. “Kamu nggak marah,
kan, kalau aku bawa kamu ke sini? Soalnya aku nggak tahu alamat rumah kamu.”
Kuanggukan kepalaku tanda mengerti, tetapi Kafka kelihatan terkejut dan
bertanya, “Kamu marah?” dengan nada khawatir. Kugelengkan kepalaku dan mencoba
untuk tersenyum dan Kafka kelihatan mengembuskan napas lega. “Oh ya, hanya
sebagai informasi, bukan aku yang ganti baju kamu, tapi mamaku. Jadi kamu nggak
usah khawatir, aku nggak lihat apa-apa kok tadi malam,” lanjutnya sambil menunjuk
kaus yang kukenakan. Kenapa dia kellihatan sangat ketakutan? Apa dia takut aku
akan marah karena sekali lagi dia membawaku ke tempat asing bukannya ke kamar
hotelku atau rumahku? Aku sudah tidak punya tenaga untuk marah. Aku malahan
merasa berterima kasih karena dia sekali lagi sudah menjagaku tanpa diminta.
Aku hanya bisa memaksa lima suapan masuk ke dalam perutku sebelum aku merasa
terlalu lelah untuk mengunyah. Kafka lalu menyodorkan obat yang harus kuminum
sebelum membiarkanku tidur lagi. Setelah itu aku tenggelam di antara alam mimpi
dan sadar. Beberapa kali aku dibangunkan untuk makan sesuap bubur dan minum
obat, tapi aku terlalu teler dan hanya melakukan itu semua secara reflex,
sebelum kemudian tewas lagi. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku dalam keadaan
setengah sadar, ketika kurasakan usapan lembut pada bahuku. “Sweetheart, can
you wake up? You need to drink your medicine?” ucap suara lembut yang sangat
keibuan. Kubuka mataku pelan-pelan dan melihat wajah ibu bule yang aku temui
sebelumnya, sedang tersenyum padaku. Mengingat-ingat penjelasan Kafka padaku
sebelumnya, aku bertanya-tanya apakah ini mama Kafka. Aku tidak pernah berpikir
bahwa Kafka itu blasteran. Well… itu menjelaskan kenapa kulitnya putih bersih,
rambutnya yang kadang kelihatan ada merahnya kalau dibawah sinar lampu, dan
matanya yang ada hijaunya. Itu juga menjelaskan bentuk tubuh Karin yang
superbongsor. Aku mencoba untuk duduk, tetapi badanku terasa kaku dan agak
lengket. Tanpa kusadari kaus yang kukenakan sudah basah Karena keringat. Lalu
kusadari bahwa kini kaus yang kukenakan berwarna putih, bukan hitam lagi. Aku
rupanya sudah terlalu teler untuk menyadari proses pergantian kaus ini. Mama
Kafka (aku memutuskan bahwa wanita bule ini memanglah mama Kafka) membantuku
untuk duduk dengan meletakkan beberapa buah bantal di belakang punggungku.
“Bisa makan?” tanyanya dan duduk di sampingku di atas tempat tidur. Aku
mengangguk, lalu tanpa ancang-ancang dia berkata, “Sayaaa,” dan dia menyodorkan
suapan bubur padaku. Waduhhh! Aku merasa seperti masih SD dengan perlakuan
seperti ini. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mamaku menyuapiku. Aku
sudah terlalu lama hidup mandiri sehingga lupa rasanya untuk dimanjakan seperti
ini. Kehangatan yang tiba-tiba menyelimuti tubuhku menandakan bahwa aku
sebetulnya merindukan perlakuan seperti ini. Kubuka mulutku dan menelan suapan
pertama yang disusul suapan kedua dan ketiga dengan cepat. Tanpa
kusangka-sangka ternyata aku lapar. Tentu saja aku lapar, inilah pertama kali
otot-otot mulutku tidak terlalu lelah untuk mengunyah dan perutku bisa menerima
makanan lagi dalam waktu… mmmhhh apa sekarang masih hari minggu atau sudah
berganti ke hari senin? Setelah bubur satu piring itu ludes dan meminum obat
yang disodorkan oleh mama Kafka, kusandarkan kembali kepalaku ke bantal.
Kepalaku sudah tidak pusing lagi dan meskipun tubuhku masih terasa lemas,
tetapi otot-ototku tidak
sesakit sebelumnya.
Kufokuskan mataku pada jam dinding di kamar itu, jam sepuluh kurang lima menit.
Pagi kalau dilihat dari sinar matahari yang masuk melalu jendela. “Sebelum
Kafka pergi tadi dia titip pesan ke Tante untuk mastiin supaya kamu istirahat
di sini sampai dia pulang nanti jam lima. Dia harus pergi karena ada praktik,”
ucap mama Kafka. Benar saja, ternyata hari ini sudah hari senin. Hal pertama
yang aku ingat adalah bahwa aku harus menelepon Adri untuk mengucapkan selamat
ulang tahun. Hal kedua adalah bahwa aku harus mandi. Aku bahkan tidak berani
menarik napas karena khawatir bau badanku yang kini menempel di tubuhku telah
menodai selimut yang kugunakan. Kupaksa tubuhku untuk duduk dan mencoba untuk
berdiri. “Lho, ini mau ke mana?” teriak mama Kafka panic dan langsung menopang
tubuhku dengan bahunya. Aku hanya mengeluarkan kata, “mandi”, sebelum mama
Kafka menuntunku ke kamar mandi di dalam kamar tidur itu. “Bisa sendiri?”
tanyanya lagi dan aku mengangguk. Meskipun kelihatan agak ragu tapi setelah
menunjukkan letak handuk dan kimono katun yang bisa kugunakan, dia kemudian
menutup pintu kamar mandi dan meninggalkanku sendiri.
Setengah jam kemudian aku keluar dari kamar mandi dan berbau
seperti Kafka. Kutemukan satu set pakaian bersih di atas tempat tidur yang
sudah dibereskan dengan rapi, berikut celana dalam dan bra yang kukenakan dua
hari yang lalu. Tetapi tidak ada siapa-siapa di dalam kamar itu selain aku.
Pelan-pelan kukenakan pakaian itu dan bertanya-tanya milik siapakah kaus yang
kukenakan kali ini. Kucoba untuk mencari hair-dryer agar bisa mengeringkan
rambutku yang basah, tetapi aku tidak menemukannya di mana-mana. Aku baru
menyadari bahwa kamar tersebut pasti adalah kamar laki-laki kalau dilihat dari
segala sesuatunya. Mulai dari warna cat hingga bedcover, mulai dari brand
shampoo hingga parfum yang ada di kamar mandi. Parahnya lagi, aku curiga bahwa
ini adalah kamar tidur Kafka. Aku baru saja akan mengintip ke dalam lemari
pakaian untuk mengumpulkan bukti lebih lanjut yang akan mengonfirmasikan
kecurigaan, ketika pintu kamar sekali lagi dibuka tanpa diketuk dan Karin
melangkah masuk. Tangannya kemudian menyodorkan sebuah telepon wireless padaku.
“Mas Kafka,” ucapnya pendek. Ekspresinya tidak terbaca. Secara reflex kuraih
telepon itu. “Halo,” ucapku dengan agak sedikit ragu sambil memperhatikan Karin
dari sudut mataku. Gadis itu sudah mengambil singgasana di atas tempat tidur.
“Mamaku bilang kamu sudah bangun,” kudengar suara Kafka dan tiba-tiba kurasakan
seperti ada kupu-kupu di dalam perutku. “I-iya,” balasku sedikit tergagap.
Untungnya Kafka sepertinya tidak mendengar kegagapanku dan lanjut bertanya,
“Gimana kamu rasanya? Masih pusing?” “Nggak. Sudah nggak pusing.” “Sudah minum
obat?” “Sudah.” “Jangan banyak gerak dulu kalau belum kuat. Kalau perlu aa-apa
minta saja sama mamaku.” Yeah right. Like that ever gonna happen. Memangnya dia
pikir aku sebegitu kurang ajarnyakah sampai mau mengeksploitasi kebaikan yang
sudah aku terima? Kalau bisa sebetulnya aku ingin bilang terima kasih
sebanyak-banyaknya kepada mamanya dan menelepon taksi untuk membawaku pulang ke
rumah kosku sekarang juga. Tapi aku tahu bahwa Kafka melakukan ini karena
khawatir dan meskipun itu
membuatku sedikit jengkel
tetapi harus kuakui bahwa tingkah lakunya sweet juga. “Aku sudah nggak apa-apa
kok. Ini baru selesai mandi,” jelasku akhirnya. “Sendiri?” Kafka terdengar
terkejut. “Ya iyalah, memangnya sama siapa” balasku dengan nada lebih keras
daripada yang kurencanakan. Kulihat alis Karin naik beberapa derajat sambil
menatapku. Kafka malah tertawa cekikikan mendengarku sebelum berkata lagi,
“Nanti malam mandi lagi?” Kutarik napas dalam-dalam untuk mengontrol emosiku
sebelum mengatakan, “Kayaknya sih gitu? Memangnya kenapa?” “Tungguin aku
pulang, aku juga mau mandi nanti malam?” Butuh beberapa detik sebelum aku
menyadari makna kata-katanya itu dan ketika aku memahaminya aku langsung
berteriak, “Kafka, kamu sudah gila!” dan meledek lah tawa kafka di telepon.
Kalau saja dia berada di hadapanku aku mungkin sudah mencekiknya. Senang banget
sih ini orang gangguin aku, omelku dalam hati. Sedetik kemudian aku baru sadar
bahwa Karin ada bersamaku di dalam kamar, dan dia sedang menggeleng-geleng. Oh
great, benar-benar bakalan di pecat deh gue sekarang jadi web designer Empire
karena sudah memaki-maki klien. Sambil mengangkat jari telunjukku sebagai tanda
permisi aku masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya. “Nad?” kudengar suara
Kafka diantara tawanya. “Kaf, bisa nggak sih kamu nggak gangguin aku untuk satu
hari saja?” desisku. “Ya nggak bisalah,” jawab Kafka tanpa ragu-ragu
seakan-akan ini adalah permintaan yang paling tidak masuk akal yang pernah dia
dengar. Aku menahan diri untuk tidak menggeram. “Kenapa nggak bisa?” aku mulai
melangkah bolak-balik dari shower ke toilet “Karena aku cinta sama kamu, of
course,” balas Kafka dengan lancarnya.Seakan-akan itu adalah penjelasan paling
masuk akal yang bisa diberikan oleh siapa pun. Aku bisa membayangkannya sedang
memutar bola matanya dengan tidak sabaran. “Oh,” ucapku terkejut sehingga
langkahku terhenti. Crikey. He is smooth, very smooth. Dihapadan dengan
pernyataan seperti ini aku mau ngomong apa,coba? Dia sekarang rupanya sudah tahu
bahwa satu-satunya cara untuk membuatku berhenti ngomel adalah dengan
mengucapkan kalimat “Aku cinta kamu.” “Nad?” “Ya?” “Aku nanti pulang jam lima.
Jangan pergi ke mana-mana, tungu sampai aku datang, oke?” WHATT! Dia mau aku
nunggu sampai dia balik? Sudah gila, kali. Aku perlu pulang, mandi, dan ganti
pakaian. Aku tidak bisa bertemu Kafka dengan tampang seperti ini. Seperti orang
yang baru bangun tidur. Rambut sedikit acak-acakan, kulit yang kelihatan kering
tanpa sentuhan lotion dan tanpa make-up. “Omong-omong Karin masih ada di situ
nggak?” “Oh… uhm… sebentar ya,” ucapku dan siap untuk keluar dari kamar mandi
ketika kata-kata Kafka selanjutnya membuat langkahku terhenti. “I love you,
Nad-Nad,” ucap Kafka Aku terdiam beberapa detik sebelum dengan agak tergagap
membalas, “Lo-love you too.” “I know,” balasnya. “Aggghhh…. Ego kamu ini…”
“Selangit,” potong Kafka. “Yes, I know. Kamu sudah pernah bilang begitu ke
aku,” lanjutnya “Are we moving too fast dengan semua I love you stuff?” tanyaku
sedikit ragu.
“No, definitely not. It’s
about a goddamn time,” balas Kafka antusias. “Oh, okay then,” ucapku pasrah.
Buat apa lagi aku mengingkari hatiku yang jelas-jelas memang mencintai
laki-laki satu ini? “Okay then,” mau tidak mau aku tertawa mendengar balasan
Kafka ini. “Sebentar ya aku panggilin Karin.” Kulongokkan kepalaku keluar dari
kamar mandi dan menemukan Karin terbaring terlentang di atas tempat tidurku…
err…. Maksudku tempat tidur Kafka yang tadi aku tiduri. Buru-buru kuserahkan
gagang telepon itu padanya. Karin mengambil gagang telepon itu dariku sambil
tersenyum. “Hellooo,” ucapnya dengan ceria. Setelah itu aku hanya mendengarnya
mengucapkan “oh”, “oke”, “iya”, dan “no problem”. Selama percakapan sepanjang
lima menit itu berlangsung, aku mengelilingi kamar itu untuk mencari tasku. Aku
menemukannya tergeletak di atas peti hitam yang di sandarkan pada kaki tempat
tidur. Kukeluarkan HP-ku untuk memeriksa pesan-pesan di dalam mailbox-ku,
tetapi kutemukan bahwa HP-ku mati total kehabisan baterai. Kemudian kudengar
Karin mengakhiri pembicaraan itu dan menutup telepon. “Bisa tolong bantuin
gue?” pintaku “Sure. Mas Kafka bilang untuk bantu Mbak sebisa mungkin,” ucap
Karin dan langsung melangkah turun dari tempat tidur. Aku tidak menghiraukan
Karin yang kini memanggilku dengan Mbak bukannya “elo”, seperti biasanya dan
berkata, “Bisa tolong teleponin taksi?” “Where are you going?” “Pulang,”
jawabku singkat. “Apa ada emergency?” “Nggak ada, tapi gue harus pulang,”
jelasku. Ketika kulihat keraguan di mata Karin, aku menegaskan, “Sudah waktunya
gue pulang.” Karin menggeleng. “Mas Kafka bilang Mbak sebaiknya tunggu sampai
dia datang. Nanti dia yang antar Mbak pulang.” Kutatap mata Karin, mencoba
membaca gelagatnya, tapi kelihatannya dia betul-betul serius menuruti permintaan
Kafka. Akhirnya aku mengaku kalah dan mengempaskan diriku ke atas tempat tidur.
Crash Into You - AliaZalea - Bab 18
No comments:
Post a Comment