Saturday, September 5, 2015

Crash Into You - AliaZalea - Bab 17

Bab 17 

5 Mei

Apakah semuanya sudah betul-betul selesai? Gue masih nggak bisa percaya akhirnya semua jadi begini. Ahhh… kepala gue berat, hidung dan tenggorokan gue gatal, dan badan gue sakit semua. Tapi kalau diminta, so pasti gue akan melakukan ini semua lagi. *** Andai saja kisah cintaku dan Kafka bisa berakhir dengan romantic seperti di cerita dongeng – Cinderella, Snow White, atau Ariel si putrid duyung. Bahkan Fiona pun mendapatkan cerita romantisnya dengan diselamatkan oleh Shrek dari istana yang dijaga seekor naga dengan semburan apinya. Dan di satu sisi memang aku menemukan pengeranku, tapi tidak seromantis itu. Kenyataannya adalah bahwa malam di Empire itu diakhiri dengan kemunculan Elang yang ketika melihatku berada di dalam pelukan Kafka Cuma berkata, “Jadi kamu di sini rupanya.” Sebelum kemudian dengan santai memperkenalkan dirinya kepada Kafka. Aku hanya perlu menggerakkan kepalaku ke kanan agar bisa melihat wajah Elang, sebelum Kafka mengeratkan pelukannya. Seperti juga kedua kakakku, dia akan jadi tipe laki-laki superposesif terhadapku, dan untuk pertama kalinya aku tidak keberatan. Kusadari bahwa kedua laki-laki itu sedang menilai satu sama lain dengan satu tatapan singkat yang meliputi ujung rambut hingga ujung kaki. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajah Kafka Karena wajahku masih terkubur di depan kemejanya, tapi aku bisa melihat ekspresi wajah Elang yang kini kusadari sebetulnya jauh lebih ganteng daripada Kafka, yang jauh dari kata bersahabat. Aku cukup terkejut ketika mereka bisa bertukar salam, bahkan berjabat tangan tanpa salah satu dari mereka atau bahkan keduanya berakhir dengan babak belur. Ahhh… sepertinya mimpiku tidak akan pernah jadi kenyataan. Aku bukanlah perempuan yang haus darah, tetapi perempuan pada umumnya menyukai hal-hal romantic. Dan tidak ada yang lebih romantic daripada melihat dua orang laki-laki HOT, yaitu Elang dan Kafka, memperebutkan cinta seorang wanita biasa, di dalam situasi ini berarti aku. Dan keterkejutanku belum berakhir sampai di situ, karena kemudian kudengar suara Elang bertanya, “Nadia, kenapa , man?” Dan Kafka menjawab, “Kedinginan habis kehujanan.” Lalu suara Elang lagi, “Kalau dia yang kehujanan, kenapa lo juga basah?” “Soalnya gue juga kehujanan, sama seperti Nadia,” jawab Kafka “Lo berdua masa kecil kurang bahagia apa sampai main hujan-hujanan segala?” balas Elang Kemudian mereka terdiam sejenak dan kupikir inilah saatnya Kafka akan meninju Elang. YESS! Akhirnya aku bisa melihat dua laki-laki berantem karena aku. Tapi aku hanya berakhir kecewa ketika kudengar mereka berdua mulai tertawa terbahak-bahak. Ugh… aku nggak pernah ngerti humornya laki-laki, dan andai saja bibirku tidak beku, aku mungkin sudah menyuarakan kekesalanku. Kucoba untuk menjauh dari dada Kafka yang meskipun hangat tetapi karena dilapisi pakaian basah tidak cukup untuk mencegah jari-jari tanganku yang mulai mati rasa. Aku perlu selimut agar tidak kedinginan lagi. Aku ingin berteriak kepada mereka untuk segera menyelesaikan percakapan ini, tapi mereka terlalu sibuk menikmati aktivitas “male bonding” untuk memedulikanku. “Kebetulan lo nyebut-nyebut urusan masa kecil. Gue nggak tahu kalau Nadia, tapi kalau gue… Masa kecil gue bahagia banget karena gue sudah kenal sama dia,” ucap Kafka dan meskipun aku tahu bahwa kata-
katanya terdengar seperti diambil dari suatu roman picisa, tetapi aku tetap meleleh juga ketika mendengarnya. “Heh… sekarang gue ngerti kenapa Nadia cinta mati sama elo. Soalnya biar kata gue bertapa seminggu di Bromo, gue nggak bakalan bisa punya ilham untuk ngeluarin kata-kata yang baru lo omongin tentang dia,” Elang mengucapkan ini sambil tertawa terkekeh-kekeh dan kurasakan tubuh Kafka menegak dan perlukannya melonggar sedikit. Aku tidak perlu melihat wajahnya untuk tahu bahwa dia sedang tersenyum lebar. Bugger it. Sepertinya kini aku tidak perlu lagi mengatakan betapa cintanya aku pada Kafka kepada Kafka, karena dia sudah mendengarnya dari Elang. Seperti mengetahui bahwa dia telah melewati suatu garis yang seharusnya tidak ia lewati, Elang berkata, “Aaa… omong-omong lo yang mau bawa dia pulang apa gue?” “Ya guelah,” jawab Kafka dengan agak sedikit ganas, yang membuat Elang mundur selangkah sambil mengangkat kedua tanganya tanda menyerah. “Kalau gitu, gue usulin supaya elo bawa dia pulang sekarang soalnya bibirnya sudah biru,” kata Elang sambil menunjuk kepadaku. God bless this bloke, dia benar-benar orang baik. Dihadapkan dengan gata santai Elang, Kafka sepertinya tidak tahu apa yang harus dia perbuat, akhirnya dia hanya berkata, “Oh… right,” sebelum kemudian mulai menuntunku pergi. Pada detik ini rasa kantuk menyerangku dengan tiba-tiba dan aku bersusah-payah untuk tetap membuka mataku. Ohhh… kayaknya enak kalau aku bisa tidur sekarang. Sebentar lagi… sebentar lagi aku sudah bisa mengganti cheongsam yang basah ini dengan piama kesayanganku, merangkak ke atas tempat tidurku yang supernyaman, dan tidur dengan nyenyak sampai lusa. Dengan begitu kupertintahkan kedua kakiku untuk tetap berjalan. “Dan mungkin lo mau langsung bawa dia ke mobil supaya orang nggak bertanya-tanya kalau nanti lihat dia basah kuyup begitu. Oh ya, sekalian nih lo bawa tas Nadia, tadi ketinggalan di dalam.” Langkahku dan Kafka terhenti untuk meraih tas tanganku yang disodorkan oleh Elang, lalu mengambil beberapa langkah menjauhi Elang, tapi sebelum jauh dia berhenti dan memutar tubuhnya. “Thanks, man,” ucap Kafka. “Partiin lo betul-betul jaga dia soalnya kalau nggak nanti lo bakal disamperin sama Jana, sobatnya Nadia. Dan gue bilangin saja ke elo. Lo nggak mau sampai itu kejadian,” balas Elang. Mendengar pernyataan Elang aku jadi bertanya-tanya. Apa yang dilakukan Jana sampai dia takut sama sobatku yang setahuku tidak pernah meninggikan suaranya itu. Tapi sebelum aku bisa mendalami lagi permasalahan ini, Kafka sudah setangah menuntun dan setengah menggendongku menuju mobil yang diparkir di area VIP, tidak jauh dari situ. Tanpa peduli bahwa aku akan membasahi kursi mobilnya yang untungnya berlapiskan kulit, Kafka langsung mendudukkanku di kursi penumpang sebelum buru-buru menuju kursi pengemudi. Dia baru saja menstarter mobilnya ketika kulihat Elang berlari-lari ke arah kami sambil menenteng sepatuku. Kafka menurunkan jendela untuk mengambil sepatu itu sebelum meletakkannya di kursi belakang, kemudian dia langsung tancap gas. *** Aku terbangun oleh sinar terang yang menyinari wajahku. Kepalaku berat, seperti ada yang memukulnya dengan martil berkali-kali. Kufokuskan mataku untuk melihat ke sekelilingku dan menyadari bahwa perabot yang ada di kamar itu bukan milikku. Segala sesuatunya kelihatan terlalu antic dan kuno. Dan
untuk satu detik aku bertanya-tanya apakah aku sedang bermimpi. Suatu mimpi saat aku sudah dilempar ke era tahun 1800-an. Tapi rasa sakit pada kepalaku mengingatkan bahwa ini semua nyata, bukan mimpi. Tiba-tiba perasaan déjà vu menyerangku. NOT AGAIN! Teriakku dalam hati. Secepat tanganku yang terasa kaku bisa bergerak, kuangkat selimut yang menutupi tubuhku dan mengintip ke bawah. Phewww,,, tubuhku ditutupi oleh kaus kedodoran berwarna hitam. Kutarik napas dalam-dalam dan mencium bau aneh, seperti kayu cendana. Terakhir kali aku mencium bau seperti ini adalah ketika pemakaman kakekku hampir dua puluh tahun yang lalu, beberapa bulan sebelum aku pindah ke Jakarta. Beliau disemayamkan di rumah duka di Makassar selama dua hari untuk menunggu agar semua keluarga bisa berkumpul. Aku tidak pernah suka akan bau itu, karena selalu mengingatkanku akan wajah kakekku yang tertidur di dalam peti. Wajahnya agak membiru dan sedikit bengkak, efek dari serangan jantung yang mengakhiri hidupnya. Yang jelas wajah itu terlihat sangat tidak natural dan sedikit mengerikan untuk dilihat oleh anak berumur sepuluh tahun. Aku tidak tahu kenapa Mama bersikeras agar aku mencium jasad kakekku untuk yang terakhir kalinya sebelum kemudian peti itu ditutup. Kututup mataku rapat-rapat dan mendekatkan bibirku pada kening kakek. Kuingat bahwa kulitnya terasa dingin di bawah sentuhan bibirku.
Kutarik napasku sekali lagi untuk memastikan bahwa indra penciumanku tidak sedang kacau, dan sekali lagi bau kayu cendana menyambutku. Bloody brilliant, sekarang aku akan memiliki beberapa mimpi buruk karena memoriku sudah terpicu bau ini. Di mana sih aku? Tiba-tiba kudengar pintu terbuka dan wajah seorang wanita bule setengah baya yang kelihatan khawatir, muncul di hadapanku. Dia mendekat kemudian meletakkan telapak tangannya ke keningku dan berkata, “Sudah turun panasnya.” Siapa pula wanita bule yang sekarang sedang berbicara dengan bahasa Indonesia superfasih ini? Sebelum aku bisa mengutarakan pertanyaanku, dia sudah menghilang dan aku mendengar bunyi pintu ditutup dan sekali lagi aku seorang diri di dalam kamar itu. Dengan susah payah kuangkat kepalaku. “Owww,” ucapku pelan. Kudengar pintu kamar sekali lagi dibuka dan langkah berat yang agak terburu-buru terdengar mendekatiku. “Nad?” Aku tidak perlu melihat wajahnya untuk tahu pemilik suara itu. Dua tangan besar dan kuat memintaku untuk kembali berbaring. Kalau tidak sedang merasa terlalu lelah bercampur bingung, mungkin aku sudah melakukan perlawanan, tapi aku hanya merelakan tubuhku untuk kembali dibaringkan dan ditutupi selimut. Kurasakan kasur di sebelah kananku agak menurun di bawah beban berat, disusul dengan tangan Kafka yang melingkari pinggangku sebelum tubuhnya dengan sangat berhati-hati menyelimuti tubuhku dari belakang. Kurasakan kehangatan tubuhnya pada punggungku. “Tidur saja dulu lagi, nanti aku bangunin satu jam lagi untuk minum obat,” bisiknya dan mencium rambutku sambil berkata sesuatu yang terdengar seperti “I love you”, dan aku pun tertidur lagi. Kafka memang membangunkanku lagi untuk memintaku makan bubur yang sudah disediakan agar bisa minum obat. Dan dalam situasi lain aku kemungkinan akan protes, tetapi kali ini aku hanya pasrah ketika Kafka mulai menyuapiku. Dia sama sekali tidak terlihat tidak sabaran dengan kunyahan pelanku. Sembari aku mengunyah dia berkata, “Sori ya kalau aku bawa kamu ke rumah orangtuaku, soalnya ini yang paling dekat dari Empire dan aku nggak mau ambil risiko kalau kamu harus lebih lama lagi pakai baju yang basah. Suhu badan kamu sekarang memang sudah turun, tapi tadi malam kamu demam cukup tinggi.” Aku hanya diam saja mendengar penjelasan Kafka. “Apa kamu ada janji sama orang hari ini?” lanjutnya. Sekarang hari Minggu, bukan hari kerja. Jadi paling yang meneleponku adalah sobat-sobatku atau
keluargaku. Kugelengkan kepalaku. “Apa kamu mau HP kamu?” Tanya Kafka lagi sambil terus menyuapiku. Sekali lagi kugelengkan kepalaku dan Kafka pun mengangguk. “Kamu nggak marah, kan, kalau aku bawa kamu ke sini? Soalnya aku nggak tahu alamat rumah kamu.” Kuanggukan kepalaku tanda mengerti, tetapi Kafka kelihatan terkejut dan bertanya, “Kamu marah?” dengan nada khawatir. Kugelengkan kepalaku dan mencoba untuk tersenyum dan Kafka kelihatan mengembuskan napas lega. “Oh ya, hanya sebagai informasi, bukan aku yang ganti baju kamu, tapi mamaku. Jadi kamu nggak usah khawatir, aku nggak lihat apa-apa kok tadi malam,” lanjutnya sambil menunjuk kaus yang kukenakan. Kenapa dia kellihatan sangat ketakutan? Apa dia takut aku akan marah karena sekali lagi dia membawaku ke tempat asing bukannya ke kamar hotelku atau rumahku? Aku sudah tidak punya tenaga untuk marah. Aku malahan merasa berterima kasih karena dia sekali lagi sudah menjagaku tanpa diminta. Aku hanya bisa memaksa lima suapan masuk ke dalam perutku sebelum aku merasa terlalu lelah untuk mengunyah. Kafka lalu menyodorkan obat yang harus kuminum sebelum membiarkanku tidur lagi. Setelah itu aku tenggelam di antara alam mimpi dan sadar. Beberapa kali aku dibangunkan untuk makan sesuap bubur dan minum obat, tapi aku terlalu teler dan hanya melakukan itu semua secara reflex, sebelum kemudian tewas lagi. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku dalam keadaan setengah sadar, ketika kurasakan usapan lembut pada bahuku. “Sweetheart, can you wake up? You need to drink your medicine?” ucap suara lembut yang sangat keibuan. Kubuka mataku pelan-pelan dan melihat wajah ibu bule yang aku temui sebelumnya, sedang tersenyum padaku. Mengingat-ingat penjelasan Kafka padaku sebelumnya, aku bertanya-tanya apakah ini mama Kafka. Aku tidak pernah berpikir bahwa Kafka itu blasteran. Well… itu menjelaskan kenapa kulitnya putih bersih, rambutnya yang kadang kelihatan ada merahnya kalau dibawah sinar lampu, dan matanya yang ada hijaunya. Itu juga menjelaskan bentuk tubuh Karin yang superbongsor. Aku mencoba untuk duduk, tetapi badanku terasa kaku dan agak lengket. Tanpa kusadari kaus yang kukenakan sudah basah Karena keringat. Lalu kusadari bahwa kini kaus yang kukenakan berwarna putih, bukan hitam lagi. Aku rupanya sudah terlalu teler untuk menyadari proses pergantian kaus ini. Mama Kafka (aku memutuskan bahwa wanita bule ini memanglah mama Kafka) membantuku untuk duduk dengan meletakkan beberapa buah bantal di belakang punggungku. “Bisa makan?” tanyanya dan duduk di sampingku di atas tempat tidur. Aku mengangguk, lalu tanpa ancang-ancang dia berkata, “Sayaaa,” dan dia menyodorkan suapan bubur padaku. Waduhhh! Aku merasa seperti masih SD dengan perlakuan seperti ini. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mamaku menyuapiku. Aku sudah terlalu lama hidup mandiri sehingga lupa rasanya untuk dimanjakan seperti ini. Kehangatan yang tiba-tiba menyelimuti tubuhku menandakan bahwa aku sebetulnya merindukan perlakuan seperti ini. Kubuka mulutku dan menelan suapan pertama yang disusul suapan kedua dan ketiga dengan cepat. Tanpa kusangka-sangka ternyata aku lapar. Tentu saja aku lapar, inilah pertama kali otot-otot mulutku tidak terlalu lelah untuk mengunyah dan perutku bisa menerima makanan lagi dalam waktu… mmmhhh apa sekarang masih hari minggu atau sudah berganti ke hari senin? Setelah bubur satu piring itu ludes dan meminum obat yang disodorkan oleh mama Kafka, kusandarkan kembali kepalaku ke bantal. Kepalaku sudah tidak pusing lagi dan meskipun tubuhku masih terasa lemas, tetapi otot-ototku tidak
sesakit sebelumnya. Kufokuskan mataku pada jam dinding di kamar itu, jam sepuluh kurang lima menit. Pagi kalau dilihat dari sinar matahari yang masuk melalu jendela. “Sebelum Kafka pergi tadi dia titip pesan ke Tante untuk mastiin supaya kamu istirahat di sini sampai dia pulang nanti jam lima. Dia harus pergi karena ada praktik,” ucap mama Kafka. Benar saja, ternyata hari ini sudah hari senin. Hal pertama yang aku ingat adalah bahwa aku harus menelepon Adri untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Hal kedua adalah bahwa aku harus mandi. Aku bahkan tidak berani menarik napas karena khawatir bau badanku yang kini menempel di tubuhku telah menodai selimut yang kugunakan. Kupaksa tubuhku untuk duduk dan mencoba untuk berdiri. “Lho, ini mau ke mana?” teriak mama Kafka panic dan langsung menopang tubuhku dengan bahunya. Aku hanya mengeluarkan kata, “mandi”, sebelum mama Kafka menuntunku ke kamar mandi di dalam kamar tidur itu. “Bisa sendiri?” tanyanya lagi dan aku mengangguk. Meskipun kelihatan agak ragu tapi setelah menunjukkan letak handuk dan kimono katun yang bisa kugunakan, dia kemudian menutup pintu kamar mandi dan meninggalkanku sendiri.
Setengah jam kemudian aku keluar dari kamar mandi dan berbau seperti Kafka. Kutemukan satu set pakaian bersih di atas tempat tidur yang sudah dibereskan dengan rapi, berikut celana dalam dan bra yang kukenakan dua hari yang lalu. Tetapi tidak ada siapa-siapa di dalam kamar itu selain aku. Pelan-pelan kukenakan pakaian itu dan bertanya-tanya milik siapakah kaus yang kukenakan kali ini. Kucoba untuk mencari hair-dryer agar bisa mengeringkan rambutku yang basah, tetapi aku tidak menemukannya di mana-mana. Aku baru menyadari bahwa kamar tersebut pasti adalah kamar laki-laki kalau dilihat dari segala sesuatunya. Mulai dari warna cat hingga bedcover, mulai dari brand shampoo hingga parfum yang ada di kamar mandi. Parahnya lagi, aku curiga bahwa ini adalah kamar tidur Kafka. Aku baru saja akan mengintip ke dalam lemari pakaian untuk mengumpulkan bukti lebih lanjut yang akan mengonfirmasikan kecurigaan, ketika pintu kamar sekali lagi dibuka tanpa diketuk dan Karin melangkah masuk. Tangannya kemudian menyodorkan sebuah telepon wireless padaku. “Mas Kafka,” ucapnya pendek. Ekspresinya tidak terbaca. Secara reflex kuraih telepon itu. “Halo,” ucapku dengan agak sedikit ragu sambil memperhatikan Karin dari sudut mataku. Gadis itu sudah mengambil singgasana di atas tempat tidur. “Mamaku bilang kamu sudah bangun,” kudengar suara Kafka dan tiba-tiba kurasakan seperti ada kupu-kupu di dalam perutku. “I-iya,” balasku sedikit tergagap. Untungnya Kafka sepertinya tidak mendengar kegagapanku dan lanjut bertanya, “Gimana kamu rasanya? Masih pusing?” “Nggak. Sudah nggak pusing.” “Sudah minum obat?” “Sudah.” “Jangan banyak gerak dulu kalau belum kuat. Kalau perlu aa-apa minta saja sama mamaku.” Yeah right. Like that ever gonna happen. Memangnya dia pikir aku sebegitu kurang ajarnyakah sampai mau mengeksploitasi kebaikan yang sudah aku terima? Kalau bisa sebetulnya aku ingin bilang terima kasih sebanyak-banyaknya kepada mamanya dan menelepon taksi untuk membawaku pulang ke rumah kosku sekarang juga. Tapi aku tahu bahwa Kafka melakukan ini karena khawatir dan meskipun itu
membuatku sedikit jengkel tetapi harus kuakui bahwa tingkah lakunya sweet juga. “Aku sudah nggak apa-apa kok. Ini baru selesai mandi,” jelasku akhirnya. “Sendiri?” Kafka terdengar terkejut. “Ya iyalah, memangnya sama siapa” balasku dengan nada lebih keras daripada yang kurencanakan. Kulihat alis Karin naik beberapa derajat sambil menatapku. Kafka malah tertawa cekikikan mendengarku sebelum berkata lagi, “Nanti malam mandi lagi?” Kutarik napas dalam-dalam untuk mengontrol emosiku sebelum mengatakan, “Kayaknya sih gitu? Memangnya kenapa?” “Tungguin aku pulang, aku juga mau mandi nanti malam?” Butuh beberapa detik sebelum aku menyadari makna kata-katanya itu dan ketika aku memahaminya aku langsung berteriak, “Kafka, kamu sudah gila!” dan meledek lah tawa kafka di telepon. Kalau saja dia berada di hadapanku aku mungkin sudah mencekiknya. Senang banget sih ini orang gangguin aku, omelku dalam hati. Sedetik kemudian aku baru sadar bahwa Karin ada bersamaku di dalam kamar, dan dia sedang menggeleng-geleng. Oh great, benar-benar bakalan di pecat deh gue sekarang jadi web designer Empire karena sudah memaki-maki klien. Sambil mengangkat jari telunjukku sebagai tanda permisi aku masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya. “Nad?” kudengar suara Kafka diantara tawanya. “Kaf, bisa nggak sih kamu nggak gangguin aku untuk satu hari saja?” desisku. “Ya nggak bisalah,” jawab Kafka tanpa ragu-ragu seakan-akan ini adalah permintaan yang paling tidak masuk akal yang pernah dia dengar. Aku menahan diri untuk tidak menggeram. “Kenapa nggak bisa?” aku mulai melangkah bolak-balik dari shower ke toilet “Karena aku cinta sama kamu, of course,” balas Kafka dengan lancarnya.Seakan-akan itu adalah penjelasan paling masuk akal yang bisa diberikan oleh siapa pun. Aku bisa membayangkannya sedang memutar bola matanya dengan tidak sabaran. “Oh,” ucapku terkejut sehingga langkahku terhenti. Crikey. He is smooth, very smooth. Dihapadan dengan pernyataan seperti ini aku mau ngomong apa,coba? Dia sekarang rupanya sudah tahu bahwa satu-satunya cara untuk membuatku berhenti ngomel adalah dengan mengucapkan kalimat “Aku cinta kamu.” “Nad?” “Ya?” “Aku nanti pulang jam lima. Jangan pergi ke mana-mana, tungu sampai aku datang, oke?” WHATT! Dia mau aku nunggu sampai dia balik? Sudah gila, kali. Aku perlu pulang, mandi, dan ganti pakaian. Aku tidak bisa bertemu Kafka dengan tampang seperti ini. Seperti orang yang baru bangun tidur. Rambut sedikit acak-acakan, kulit yang kelihatan kering tanpa sentuhan lotion dan tanpa make-up. “Omong-omong Karin masih ada di situ nggak?” “Oh… uhm… sebentar ya,” ucapku dan siap untuk keluar dari kamar mandi ketika kata-kata Kafka selanjutnya membuat langkahku terhenti. “I love you, Nad-Nad,” ucap Kafka Aku terdiam beberapa detik sebelum dengan agak tergagap membalas, “Lo-love you too.” “I know,” balasnya. “Aggghhh…. Ego kamu ini…” “Selangit,” potong Kafka. “Yes, I know. Kamu sudah pernah bilang begitu ke aku,” lanjutnya “Are we moving too fast dengan semua I love you stuff?” tanyaku sedikit ragu.

“No, definitely not. It’s about a goddamn time,” balas Kafka antusias. “Oh, okay then,” ucapku pasrah. Buat apa lagi aku mengingkari hatiku yang jelas-jelas memang mencintai laki-laki satu ini? “Okay then,” mau tidak mau aku tertawa mendengar balasan Kafka ini. “Sebentar ya aku panggilin Karin.” Kulongokkan kepalaku keluar dari kamar mandi dan menemukan Karin terbaring terlentang di atas tempat tidurku… err…. Maksudku tempat tidur Kafka yang tadi aku tiduri. Buru-buru kuserahkan gagang telepon itu padanya. Karin mengambil gagang telepon itu dariku sambil tersenyum. “Hellooo,” ucapnya dengan ceria. Setelah itu aku hanya mendengarnya mengucapkan “oh”, “oke”, “iya”, dan “no problem”. Selama percakapan sepanjang lima menit itu berlangsung, aku mengelilingi kamar itu untuk mencari tasku. Aku menemukannya tergeletak di atas peti hitam yang di sandarkan pada kaki tempat tidur. Kukeluarkan HP-ku untuk memeriksa pesan-pesan di dalam mailbox-ku, tetapi kutemukan bahwa HP-ku mati total kehabisan baterai. Kemudian kudengar Karin mengakhiri pembicaraan itu dan menutup telepon. “Bisa tolong bantuin gue?” pintaku “Sure. Mas Kafka bilang untuk bantu Mbak sebisa mungkin,” ucap Karin dan langsung melangkah turun dari tempat tidur. Aku tidak menghiraukan Karin yang kini memanggilku dengan Mbak bukannya “elo”, seperti biasanya dan berkata, “Bisa tolong teleponin taksi?” “Where are you going?” “Pulang,” jawabku singkat. “Apa ada emergency?” “Nggak ada, tapi gue harus pulang,” jelasku. Ketika kulihat keraguan di mata Karin, aku menegaskan, “Sudah waktunya gue pulang.” Karin menggeleng. “Mas Kafka bilang Mbak sebaiknya tunggu sampai dia datang. Nanti dia yang antar Mbak pulang.” Kutatap mata Karin, mencoba membaca gelagatnya, tapi kelihatannya dia betul-betul serius menuruti permintaan Kafka. Akhirnya aku mengaku kalah dan mengempaskan diriku ke atas tempat tidur. 


Crash Into You - AliaZalea - Bab 18

No comments:

Post a Comment