Bab
2
29 Agustus
Jangan sampai gue ketemu dia lagi. Bagaimanapun caranya terserah,
tapi gue harus menghindar. *** “Nadia… eh… ditanya kok diam saja sih?” omelan
Adri membangunkanku dari lamunan. “Eh iya… kenapa, Dri?” tanyaku dan berusaha
mengontrol wajahku agar tidak memarah. Dari cermin, kulihat Adri memutar bola
matanya sebelum mengulangi pertanyaannya. “Lo tadi malam ke mana?” “Gue ketemu
sama temen gue, jadi gue tidur di kamar dia tadi malam,” jelasku sambil
memercikkan air pada wajahku untuk membersihkan sisa-sisa cleanser. Aku
berusaha mengatakan hal yang paling dekat dengan keadaan yang sebenarnya tanpa
betul-betul menceritakan kejadian tadi malam. Karena aku sendiri masih belum
jelas mengenai hal tersebut. Dari cermin kulihat Adri sedang menyipitkan
matanya curiga. Memang susah kalau punya sobat psikolog. “Teman kerja?”
tanyanya. “Hah?” “Teman yang ketemu sama elo tadi malam, dia teman kerja?”
“Bukan. Teman SD gue,” jawabku “Dari Makassar?” Aku pun mengangguk. Aku memang
baru mengenal ketiga sobatku ketika orientasi masuk SMP sebagai anak pindahan
dari Ujung Pandang (Pada saat itu Presiden Republik Indonesia masih Soeharto
dan Makassar disebut sebagai UjungPandang). Dara dan Adri sudah mengenal satu
sama lain semenjak mereka SD kelas satu, sedangkan Jana menjadi orang ketiga
yang memasuki lingkarang persahabatan itu ketika dia baru pindah dari sekolah
lain sewaktu kelas empat SD. Pada dasarnya ketiga sobatku sudah mengenal satu
sama lain cukup lama ketika tiga sekawan itu kemudian menjadi empat sekawan
dengan adanya aku. “Tumben lo nggak bersihin muka dulu sebelum tidur.” Nah lho…
bagaimana aku bisa menjelaskan perkara ini kepada Adri? Ketiga sobatku tahu
kebiasaanku: karena memiliki kulit paling sensitive, aku jadi orang paling
rajin untuk menjaga kesehatan kulit. Aku rela menghabiskan uang banyak untuk
perawatan wajah, oleh karena itu aku tidak akan pernah tertangkap basah tidur
dengan masih mengenakan make-up. Tiba-tiba pintu kamar mandi dibuka dan kulihat
Dara dengan rambut berantakan melangkah masuk. Aku pun mengembuskan napas lega
karena terbebas dari kecurigaan Adri. “Minggir, gue mau kencing.” Dara berjalan
dengan langkah sedikit sempoyongan menuju toilet karena belum sadar betul dari
kantuk atau mungkin mabuknya, tetapi Adri menolak menyerahkan singgasananya.
“Lo kencing kan bisa di bidet,” ucap Adri. Aku mengambil kesempatan ini untuk
menghindar sebelum Adri memutuskan untuk membahas status “Missing in action”-ku
tadi malam. Kusambar handuk kecil dari batang logam tempatnya disampirkan dan
melangkah keluar dari kamar mandi. Samar-samar kudengar suara Dara dan Adri
yang masih berdebat urusan penggunaan yang tepat untuk toilet dan bidet.
Kulihat Jana masih tertidur dengan
mulut
agak ternganga. Kunyalakan TV dengan volume rendah agar tidak membangunkannya
dan mencoba mencari channel yang menarik perhatianku sambil menyeka sisa-sisa
air dari wajahku dengan handuk. Aku terhenti pada channel yang sedang
menayangkan film 10 Things I Hate About You. Aku lalu duduk bersila di atas
tempat tidur dan meletakkan handuk di sampingku. Entah kenapa, tapi film ini
selalu bisa membuatku tertawa setiap kali melihatnya. Aku selalu menginginkan
saudara perempuan, tidak peduli itu kakak ataupun adik. Yang jelas aku selalu
iri dengan Kat dan Bianca Stratford, yang meskipun selalu berbeda dengan
pendapat, tetapi pada akhirnya akan rela melakukan apa saja untuk satu sama
lain. Sayangnya permintaanku tidak pernah terkabul, sehingga aku harus puas
dengan dua kakak laki-laki yang umurnya cukup jauh denganku sehingga membuat
mereka menjadi superprotektif bahkan terkesan posesif terhadapku. Aku selalu
protes kepada papa dan mamaku bahwa aku akan jadi perawan tua selama kedua
kakakku membuat ancaman yang sama kepada semua anak laki-laki yang mencoba
mendekatiku. Inti dari ancaman itu adalah bahwa mereka dijamin akan babak belur
kalau sampai membuatku sedih, apalagi sampai menangis. Untung kemudian satu per
satu dari mereka mulai meninggalkan rumah ketika aku SMA. Kak Mikhel, kakakku
yang paling besarlah yang menghilang lebih dulu karena harus kuliah di Bandung.
Setahun kemudian, Kak Viktor menyusul untuk kos di Depok. Meskipun mereka
berdua selalu meluangkan waktu untuk pulang setidak-tidaknya tiga bulan sekali,
tetapi pada dasarnya untuk pertama kalinya selama lima belas tahun hidupku aku
benar-benar bebas dari cengkeraman mereka. Anehnya, kurang dari satu bulan
kemudian, aku mulai merindukan tatapan-tatapan curiga atau komentar-komentar
penuh ancaman yang selalu diutarakan oleh kedua kakakku kepad setiap anak
laki-laki yang aku undang ataupun mengundang diri mereka untuk datang ke
rumahku.
Entah bagaimana, tetapi dengan
popularitasku sebagai murid yang aktif di organisasi semenjak SD hingga kuliah
dan sering bertemu dengan banyak laki-laki, aku masih berstatus single di
umurku yang sudah 28 ini. Bagaimana mungkin Jana, sobatku yang sama sekali
tidak pernah pacaran selama SMP dan SMA kini sudah mau menikah lebih dulu
daripada aku? Aku bukannya iri dengan status Jana yang sebentar lagi akan
menjadi “Nyonya”, aku hanya bingung. Tentunya selama ini aku sudah menghabiskan
waktuku dengan laki-laki yang salah kalau hingga kini aku masih belum juga
menikah. Lain dengan Dara yang sering sekali gonta-ganti pacar sampai terkadang
aku mengalami masalah untuk mengingat siapakah pacarnya bulan ini, aku adalah
tipe perempuan yang selalu memiliki hubungan yang cukup awet dengan laki-laki.
Pacar pertamaku bernama Mario, hubungan itu bertahan selama hampir tiga tahun
sehingga aku lulus SMA. Kemudian sewaktu kuliah aku hanya berganti pacar
sebanyak dua kali dan ketika aku mulai kerja hingga sekarang, aku hanya ada dia
pacar lainnya. Pacar terakhirku, Fendi baru saja menikah sekitar sebulan yang
lalu setelah putus dariku tiga bulan sebelumnya. Mungkin inilah pertama kalinya
dalam hidupku semenjak aku SMA saat aku tidak sedang memiliki hubungan yang
special dengan seseorang laki-laki tertentu selama lebih dari tiga bulan berturut-turut.
Selama ini aku menyangka bahwa aku adalah tipe wanita yang tidak bisa single,
oleh karena itu selalu memastikan bahwa aku punya seorang laki-laki yang
mendampingiku. Tapi kini, harus kuakui bahwa aku mulai menikmati status baruku
sebagai wanita single. Sekarang aku mulai mengerti kenapa Adri tidak pernah
terlihat risih sebagai satu-satunya orang di dalam lingkaran persahabatan kami
yang sudah dan masih tetap single semenjak dia pulang dari Amerika beberapa
bulan yang lalu.
Lamunanku
terpotong tiba-tiba oleh suara Dara yang berteriak membangunkan Jana. “Calon
pengantin, tolong bangun, ya. Ini sudah mau jam Sembilan. Jam sarapan sudah mau
habis.” Ketika Jana tidak juga bergerak, Dara kemudian mulai menarik selimut
yang menutupi tubuhnya. Kelakuan iseng Dara tidak menggangguku sama sekali.
Tetapi bukannya bangun, Jana malah menarik kakinya sehingga tubuhnya meringkuk
dan melanjutkan tidurnya. Karena Jana tidak bereaksi, akhirnya Dara mengalihkan
perhatiannya padaku. “Omong-omong lo tadi malam ke mana sih?” tanyanya sambil
kemudian duduk bersila di sampingku. Aku baru saja akan memberikan penjelasan
yang sama yang telah kuberikan kepada Adri ketika tiba-tiba sobatku yang satu
itu keluar dari kamar mandi dengan mulut penuh busa dan tengah menggenggam sikat
gigi berwarna merah. Rupanya dia tengah menggosok gigi dan tidak bisa menunggu
satu detik pun untuk mengutarakan pendapatnya. Alhasil aku dan Dara berteriak
untuk memintanya kembali ke kamar mandi dan kumur sebelum memutuskan untuk
bicara. Kurang dari sepuluh detik kemudian Adri muncul kembali, minus busa odol
di mulutnya. “Gue tadi Cuma mau bilang kalau gue setuju banget kita turun
sarapan. Gue laper banget, gila.” Begitu mendengar kata “sarapan”, Dara
langsung melupakan pertanyaan yang tadi diutarakannya padaku. Kulihat dia
berjalan menuju lemari pakaian untuk menarik jaketnya dari gantungan. “Terus
Jana kita tinggalin sendirian di sini dengan keadaan masih drunk, gitu?”
tanyaku panik. “Lo pada gila,” omelku. “Memangnya lo mau nungguin dia sampai
bangun, sambil kelaparan, gitu?” balas Adri yang kini juga sedang melingkarkan
syal pada bahunya. Aku ragu sesaat. Di satu sisi aku tahu bahwa perutku memang
sudah minta diisi, tetapi pada sisi lain, aku tidak berani meninggalkan Jana
dengan keadaan setengah sadar, sendirian di dalam kamar hotel. Bagaimana kalau
dia tiba-tiba bangun dan tidak bisa ingat dia sedang berada di mana? Tetapi aku
tahu bahwa alasan utama kenapa aku tidak mau turun sarapan adalah karena aku
takut bertemu dengan Kafka lagi. “Omong-omong perut lo gimana?” Tanya Dara.
“Masih mual?” lanjutnya. Adri langsung membuka telinganya lebar-lebar untuk
mendengar jawabanku. “Nggak, sudah nggak apa-apa. Kayaknya memang gara-gara gue
minum martininya kecepetan tadi malam,” jawabku. Dara pun mengangguk setuju,
kulihat Adri sedang mengenakan sandalnya sebelum kemudian mematut dirinya di
depan cermin. Setelah puas dengan penampilannya, dia pun menatapku dan berkata,
“Yuk.” “Gue belum mandi,” aku pun beralasan. Meskipun aku ingin tahu hal apa
saja yang terjadi tadi malam dengan Kafka, bukan berarti bahwa aku siap untuk
bertemu dengannya tiga puluh menit setelah aku ‘pada dasarnya’ lari
pontang-panting dari hadapannya. Kalau memang aku harus bertemu dengan Kafka
lagi, aku akan berusaha sebisa mungkin untuk menunda pertemuan itu hingga
detik-detik terakhir. Kalau bisa segala percakapan yang aku akan miliki
dengannya dilakukan melalui media telepon atau e-mail. Suatu hal yang mungkin
tidak akan pernah terjadi karena aku tidak tahu nomor telepon ataupun
e-mail-nya. Aku pun tersenyum pada diriku sendiri yang menyadari betapa
cerdiknya rencanaku ini. “Kita juga belum pada mandi,” bantah Dara sambil
bertolak pinggang. “Iya, tahu. Bau lo pada bisa gue cium dari sini,” ledekku.
Dara hanya memutar bola matanya dengan tidak sabaran. “Ikutan nggak?”
“Breakfast
sampai jam berapa ya?” tanyaku sambil melepaskan ikatan rambut dan mencium
rambutku yang seperti dugaanku, berbau seperti asbak. “Setengah sebelas,” jawab
Adri yang sudah berjalan menuju pintu karena dia sudah tahu tanpa aku harus
mengatakannya bahwa aku tidak akan turun sarapan dengan mereka. “Lo pada turun
duluan deh. Gue kayaknya mau mandi dulu. Rambut gue baunya kayak lantai bar.”
Aku pun mematikan TV dan melangkah turun dari tempat tidur untuk kembali menuju
kamar mandi. Kulihat Dara hanya mengangkat bahu sebelum kemudian mengikuti Adri
keluar dari kamar. Sebelum pintu kamar tertutup aku bisa mendengar Dara
membahas tentang makanan apa yang akan dia serang terlebih dahulu dari meja
buffet pagi ini. Aku pun tersenyum sendiri mendengarnya. Satu hal yang kusadari
semenjak mengenal Dara adalah bahwa dia makannya banyak. Dan, selera dan porsi
makannya itu sepertinya tidak pernah memengaruhi bentuk badannya yang selalu
tinggi semampai itu. Entah di mana dia menyimpan semua makanan itu.
Kutanggalkan kausku sambil memikirkan pertemuanku dengan Kafka. Aku tidak tahu
bagaimana aku bisa beramah-tamah padanya, orang yang telah membuat masa SD-ku
sengsara. Satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah aku masih terlalu
kaget ketika bertemu dengannya lagi sehingga tak mampu memberikan reaksi lain
selain menanyakan kabarnya. Lagi pula aku memang dikenal sebagai orang yang
ramah, sehingga adalah hal yang wajar jika aku bisa melalui suatu percakapan
dengan laki-laki yang paling aku benci sepanjang hidupku tanpa mengeluarkan
sumpah-serapah.
Puas dengan penjelasan ini aku
pun melangkah masuk ke dalam bathub dan mengatur suhu air agar sesuai dengan
keinginanku. Tiba-tiba kudengar telepon kamar hotel berbunyi. Aku tadinya mau
membiarkan telepon itu tetap bordering, tetapi aku tidak mau sampai suara itu
membangunkan Jana. Mau tidak mau kumatikan air dan melangkah keluar dari
bathtub. Tanpa menghiraukan tubuhku yang telanjang aku pun mengangkat gagang
telepon yang terletak di samping toilet. “Halo,” ucapku “Nadia?” Tanya suara
diujung kabel telepon. “Ya?” jawabku otomatis, meskipun dalam hati aku bingung
siapa orang ini. “Nad, ini Kafka.” Satu-satunya hal yang muncul di kepalaku
pada saat itu adalah dari mana dia bisa tahu nomor kamar hotelku? “Hei,”
ucapku. Entah kenapa tapi tiba-tiba detak jantungku jadi sedikit tidak teratur.
“Kamu tahu nomor kamarku dari mana?” Bukannya menjawab, Kafka hanya
terkekeh-kekeh. “Kamu nggak turun sarapan?” tanyanya setelah tawanya reda.
“Sudah kok. Ini baru balik,” ucapku. Aku tidak tahu kenapa aku berbohong,
tetapi aku takut kalau aku bilang aku belum sarapan nanti dia akan mengajakku
sarapan dengannya yang aku yakin akan berakhir dengan “Pertumpahan darah”.
Kafka meledak tertawa, kali ini sepertinya dia benar-benar mendapati jawabanku
superlucu yang membuatku mempertanyakan kesehatan mentalnya. Meskipun aku
dikenal sebagai orang yang ramah, tetapi orang tidak pernah berpendapat bahwa
aku ini lucu. “Aku cariin kamu tadi di restoran, tapi kok nggak ketemu, ya?” Kafka
sepertinya sedang bersusah-payah untuk menahan tawa ketika mengatakan hal ini.
Mampus gue, ketahuan deh bohongnya, ucapku dalam hati. “Iya ya?” tanyaku
berpura-pura bingung.
Tentunya
Kafka tidak mempercayai kebingunganku sama sekali dan bertanya, “Kamu hari ini
rencananya mau ke mana?” Yang sebenarnya ingin kukatakan adalah, “Ke mana saja
asal nggak ketemu kamu,” tapi tentu saja aku tidak bisa mengatakan hal ini.
“Uhm… belum tahu juga. Tapi kayaknya kami mau ke pantai saja,” jawabku
akhirnya, sambil mencoba untuk mengingat-ingat percakapanku dengan ketiga
sobatku kemarin siang tentang rencana hari ini, yang pada dasarnya tidak
diakhiri dengan satu keputusan tertentu. Kudengar Kafka mengembuskan napasnya
dengan cukup keras sebelum bertanya, “Kamu kapan rencana pulang?” Pergantian
arah percakapan ini membuatku sedikit terkejut karena aku sedang berusaha
memikirkan suatu cara untuk membujuk ketiga sobatku agar mau pergi ke pantai
lagi setelah selama tiga haru berturut-turut menghabiskan waktu di tempat yang
sama. Kebohonganku akan ketahuan kalau ternyata nanti Kafka menemukanku masih
berada di hotel siang ini. Pertanyaan Kafka membuatku sedikit tergagap ketika
mengatakan, “Be-besok siang.” Kudengar Kafka tertawa sebelum bertanya, “Ke
Jakarta?” “Iya,” jawabku dengan sedikit curiga. Dari mana dia bisa yakin bahwa
aku kini bermukim di Jakarta? Hanya keluarga dan teman dekat saja yang tahu
bahwa aku dan keluargaku pindah ke Jakarta setelah aku lulus SD, dan Kafka
tidak termasuk di dalam dua kategori itu. “Kamu naik Garuda?” Tanya Kafka lagi.
“Iya,” jawabku semakin curiga “Kebetulan. Aku juga.” “Kamu pulangnya ke Jakarta
juga?” tanyaku terkejut “Iya,” balas Kafka datar Hal pertama yang terpikir
olehku adalah betapa sialnya hidupku saat ini sampai-sampai harus satu pesawat
dengan iblis satu itu. Hal kedua adalah kenapa aku bisa sampai tinggal satu
kota dengannya. Meskipun Jakarta memang kota besar dan kemungkinan bahwa kami
akan pernah bertemu lagi sangat kecil, tetapi aku tetap berharap bahwa Kafka
tinggal di kota, pulau, atau bahkan benua yang berbeda denganku. Aku seperti
baru saja keluar dari kandang singa dan masuk ke mulut buaya (atau keluar dari
mulut buaya dan masuk ke kandang singa? Terserah deh). Kenapa juga sih aku
harus bertemu dengannya lagi? “Nad?” kudengar suara Kafka lagi. “Eh iya… well,
that’s great,” ucapku sambil perlahan-lahan duduk di atas toilet. Tiba-tiba
rasa mualku kembali lagi. “Kamu free nggak untuk makan malam bareng aku nanti
malam?” NGGAK! Teriakku dalam hati. “I don’t know. Aku mesti Tanya sama
teman-temanku. Kalau nggak salah mereka mau coba makanan khas Bali.” Dalam
usahaku mencoba menghindar, satu-satunya hal yang terpekik olehku adalah bahwa
kebanyakan orang tidak tahu makanan Bali itu seperti apa, maka mereka jarang
mau mencoba. Memang sudah sifat manusia untuk takut mencoba hal-hal baru di
dalam hidup mereka. Aku berharap Kafka termasuk dalam golongan itu. “Oh ya? Di
mana?” “Be-belum tahu lagi, Kaf.” Pertanyaan Kafka yang terdengar mencecar
membuatku semakin tergagap. “Kamu keberatan kalau misalnya aku ikutan? Aku
sudah lama juga nggak makan nasi Bali.”
Kata-kata
Kafka langsung membuatku ingin membanting gagang telepon yang sedang kupegang.
Bagaimana, oh, bagaimana caranya untuk membuat laki-laki satu ini sadar bahwa
aku tidak berniat bertemu dengannya lagi, kenapa permintaannya itu membuat
jantungku baru saja melakukan senam kesegaran jasmani? Rupanya aku sudah
terdiam lebih lama daripada yang kuperkirakan karena kudengar Kafka bertanya,
“Nad, kamu masih bisa dengar aku, kan?” “Kaf…,” ucapku. Aku belum pasti apa
yang akan kukatakan. Tetapi aku berusaha mengisi keheningan dengan kata-kata,
karena dengan begitu mungkin suatu ide akan tiba-tiba muncul dengan sendirinya.
“Nad, kamu nggak takut kan ketemu aku lagi?” “Hah? Maksud kamu?” suaraku
melengking ketika mengatakan ini. Kafka malah justru tertawa mendengar
balasanku ini. “Aku Cuma mau ngobrol saja sama kamu. Aku janji nggak akan
ngapa-ngapain kamu.” “Terakhir kali kamu janji untuk nggak ngapa-ngapain aku,
toh akhirnya kamu bikin aku nangis juga,” sebelum aku bisa mengontrol lidahku,
kata-kata itu sudah meluncur. Kafka terdiam sejenak ketika mendengar kata-kata
itu. “Kapan aku pernah bikin kamu nangis?” “Yang waktu itu, Kaf,” balasku tidak
sabaran. Bagaimana mungkin dia bisa lupa kejadian satu itu? Kejadian yang
paling memalukan sepanjang hidupku. Belum lagi karena semua orang tidak
berhenti meledekku tentang itu selama berminggu-minggu. “Coba kamu ceritain
lagi ke aku. Mungkin nanti aku bisa ingat,” bujuk Kafka Aku sudah pernah jatuh
ke dalam perangkap ini sebelumnya. Apa Kafka pikir aku masih senaif ketika aku
SD? Dia salah pilih korban. “Kaf, aku mau mandi. Nanti aku telepon kamu soal
dinner, oke?” tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung menutup telepon.
Dalam hitungan detik telepon itu berbunyi lagi, tetapi aku tidak lagi peduli
kalau deringnya yang keras akan membangunkan Jana. Aku pun melangkah masuk ke
bathtub dan mulai menyirami tubuhku dengan air hangat.
Breathe… breathe… clear… clear…
clear my head… at peace. I am at peace, ucapku dalam hati. Aku belajar
menggunakan metode seperti ini untuk menenangkan pikiranku di kelas
Self-improvement yang kuambil beberapa bulan yang lalu atas permintaan
kantorku. Selama ini aku selalu berpikir bahwa kelas itu hanya membuang-buang
waktuku dan uang perusahaan saja, dan pendapatku masih tidak berubah ketika
lima menit kemudian otot-otot tubuhku masih tetap tegang. Aku mengembuskan
napas frustasi dan memilih metode yang terbukti lebih efektif untuk menenangkan
pikiranku. Aku mulai menyanyikan salah satu lagu New Kids on the Block. Dari
sebegitu banyaknya boy band yang ada di industry music, favoritku selalu NKOTB.
Orang lain banyak yang sudah berganti ke Take That, Backstreet Boys, ‘N Sync,
98 degrees, bahkan The Moffats seiring dengan waktu, tetapi aku tetap setia
dengan Jordan yang jago main piano, Joey dengan tatapan matanya yang mematikan,
Jonathan yang diam-diam tapi seksi, Donny sang bad ass, dan suara berat Danny.
Music mereka selalu bisa menggambarkan apa yang ada di hatiku, meskipun dulu
ketika bahasa Inggris-ku masih minim, alasan utama kenapa aku menyukai NKOTB
adalah karena menurutku kelima anggotanya cute abisss! Tapi setelah aku
beranjak dewasa dan betul-betul bisa mengerti arti dari lirik-lirik lagu
mereka, aku jadi paham kenapa orang banyak yang tergila-gila dengan mereka.
Siapa coba yang bisa menolak segerombolan cowok super-cute yang bisa
menciptakan lagu dan menunjukkan bahwa
mereka
peduli pada apa yang terjadi dengan anak-anak di seluruh dunia ini? Belum lagi
karena videonya penuh dengan potongan-potongan klip anak-anak kecil dari
berbagai Negara yang ceria dan penuh tawa. Gemas jadinya. Ketiga sobatku selalu
menertawakan selera jadulku ini, dan mereka bahkan lebih tertawa lagi ketika
datang ke rumahku untuk pertama kali ketika kami masih SMP dan menemukan poster
NKOTB berukuran raksasa yang kutempelkan di atas tempat tidurku. Sayangnya aku
tidak sempat menonton konser live mereka karena ketika mereka datang ke
Jakarta, aku masih SD dan Mama tidak mengizinkanku untuk datang ke Jakarta
hanya untuk menjadi histeris karena lima cowok dari Amerika yang menurutnya
suaranya seperti anak perempuan itu. Kedua kakakku mencoba menenangkanku yang
menangis selama berhari-hari ketika mendengar komentar Mama tentang idolaku dan
juga karena tidak bisa menonton konser mereka. Memang kini aku sudah tidak lagi
menempelkan poster NKOTB di mana pun di dalam kamarku, tetapi aku masih tetap
ngefans sama mereka. Sambil menyanyikan lirik lagu itu dengan suara pelan aku
jadi teringat akan masa-masa SD-ku. Lain dengan Kafka yang sepertinya memang
tidak bisa mengingat masa-masa SD-nya yang dihabiskan untuk menyiksaku, aku
ingat setiap detik dari satu tahun yang lebih yang aku habiskan dengannya. Aku
ingat bahwa dia selalu menyempatkan diri untuk menarik karet yang mengikat
rambutku sampai lepas atau menjambak rambutku kalau aku berada dalam jarak
lengannya, tergantung mood-nya hari itu. Ketika kami sama-sama mengambil les
renang, dia sengaja mendorongku ke dalam kolam renang sebelum aku sempat
berganti ke pakaian renangku dan alhasil aku harus pulang dengan mengenakan
kaus dan celana panjang kedodoran milik guru renangku karena pakaianku basah
semua. Aku bisa menerima semua keisengannya itu hanya sebagai… ya keisengan
yang biasa dilakukan oleh anak laki-laki, tapi kemudian keisengannya itu
berubah menjadi ejekan ketika suatu hari dia melihat bros dengan foto NKOTB
yang kutempelkan pada tas sekolahku dan mulai mencaci-maki boy band kecintaanku
itu dengan mengatakan bahwa mereka suaranya hanya pas-pasan dan kemungkinan
besar kalau manggung live pasti lip-sync. Masih belum puas dengan cacian ini,
dia menambahkan, “Dan kamu tahu nggak mereka itu semua banci?” aku rasanya
sudah mau membunuhnya saat itu juga. Tapi semua ejekan dan keisengan yang
dilakukan olehnya tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya siang itu, yang
tercatat di dalam buku harianku sebagai salah satu hari paling bersejarah,
tetapi juga paling mengenaskan di dalam hidupku
Crash Into You - AliaZalea - Bab 3
No comments:
Post a Comment