“Nadia pipis di celana, Nadia
pipis di celana,” Kafka menyanyikan kata-kata itu dengan nada mengejek sebelum
kemudian tertawa terbahak-bahak, diikuti oleh Kris dan Gempur. Mereka adalah
anak-anak kelas lima paling bandel di sekolah ini, dengan Kafka Ananta sebagai
ujung tombaknya. “Aku nggak pipis di celana,” bantahku sekeras-kerasnya. Kafka
terdiam sambil menatap rok merahku yang basah di bagian depannya, kemudian
sekali lagi dia tertawa dan mulai menyanyikan lagu ciptaannya berjudul “Nadia
Pipis di Celana” dengan lebih kencang. Aku sudah siap menangis mendengar lagu
yang penuh ejekan ini. Rokku memang basah di bagian depannya, tetapi bukan
karena air kencing melainkan karena Ayu, teman sekelasku tidak sengaja
mengarahkan selang yang sedang mengucurkan air dengan cukup deras ke arahku.
Kami sedang melakukan piket pagi itu aku dan Ayu kebagian mencuci ember yang
ada di dalam kelas, yang biasanya digunakan para guru untuk mencuci serbuk
kapur yang mengenai tangan mereka. Ayu sudah mengatakan maaf berpuluh-puluh
kali selama lima belas menit ini dan meskipun kesal padanya, aku tidak bisa
marah karena dia memang tidak sengaja. Hari itu hari senin, anak-anak lain
sudah berada di lapangan untuk upacara yang akan di mulai sebentar lagi,
sehingga kelasku kosong melompong. Aku dan Ayu sedang memikirkan cara untuk
mengeringkan rokku ketika Kafka dan pasukannya lewat di depan kelasku sebelum
kemudian melangkah masuk untuk mengetahui kenapa aku, anak kesayangan
guru-guru, belum turun ke lapangan. “Kafka ini Cuma air,” omel Ayu yang sedang
mencoba mengeringkan rokku dengan tisu. Aku sedang berdiri dan Ayu sedang
berlutut di hadapanku. “Hahaha… kalau Cuma air kok baunya aneh?” Gempur
bertanya yang langsung didukung anggukan konco-konconya. “Memang ada baunya?”
tanyaku sambil berbisik pada Ayu. Tanpa ragu-ragu Ayu langsung mencium rokku.
“Aku nggak nyium bau apa-apa,” ucapnya. Bel pun berbunyi yang menandakan bahwa
upacara akan segera dimulai. Aku mulai panas-dingin karena takut dihukum oleh
Ibu Endang, wali kelasku, gara-gara belum berada di lapangan seperti
seharusnya. Tiba-tiba kudengar gelegar suara Pak Jack, kepala sekolah kami
“Kalian masih di sini? Upacara sudah mau dimulai.” Ayu langsung bangun dari
hadapanku dan menatap Pak Jack dengan mata terbelalak. Pak Jack memang dikenal
sebagai guru paling galak, semua anak takut padanya, termasuk aku. Ketiga anak
laki-laki itu langsung kabur, tetapi sebelumnya Kafka sempat mengatakan dengan
suara rendah sehingga Pak Jack yang berdiri di depan pintu tidak bisa
mendengar. “Kamu turun saja ke bawah, roknya nggak terlalu basah kok,” ucapnya
dengan senyuman khasnya yang penuh keisengan. “Nggak terlalu basah gimana, aku
sudah seperti tikus kecebur got,” balasku. “Nggak kok, kamu nggak kayak tikus
kecebur got. Itu terlalu dangkal, kalau sumur, naaahhh… itu lebih mungkin.”
Setelah mengatakan ini Kafka langsung tertawa terbahak-bahak sambil berjalan
santai ke arah pintu.
“Kafka,
kamu nggak lucu,” omelku, tapi Kafka hanya melangkah mundur sambil nyengir dan
menghilang dari hadapanku, mengikuti kedua temannya yang sudah ngacir terlebih
dahulu. Aku tidak tahu kenapa Kafka yang aku kenal semenjak kami kelas satu SD
dan selama ini tidak pernah ada masalah denganku tiba-tiba mulai suka
menggangguku ketika kami menginjak kelas lima. Selama ini aku tidak pernah
peduli padanya karena meskipun dia bandel, tetapi dia tidak pernah memilihku
sebagai korbannya, hingga beberapa bulan yang lalu. Dan semenjak itu pula
hari-hariku jadi mulai berantakan. Awalnya aku tidak menghiraukannya dengan
harapan bahwa dia akan berhenti dengan sendirinya. Tetapi semakin aku tidak
menghiraukannya, keisengannya semakin hari justru semakin menjadi. Pak Jack
bertolak pinggang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ketiga anak
itu. Aku menggeram kesal. “Nadia, kamu nggak turun?” suara Pak Jack langsung
terdengar ramah ketika menanyakan hal itu. Aku akui bahwa aku memang anak emas
guru-guru di sekolahku. Selain karena hampir selalu juara kelas, aku juga
selalu menurut dan tidak pernah membuat masalah dengan siapa pun. “Sebentar
lagi, Pak,” balasku yang disambut anggukan Pak Jack sebelum beliau pun
menghilang dari hadapanku. Aku bisa saja meminta bantuan Pak Jack, tetapi aku
terlalu malu untuk berbicara dengan guru laki-laki. “Aduh, gimana dong, Yu, bel
kedua sudah mau bunyi bentar lagi.” Aku mulai panik. Kulirik rokku dan
berteriak terkejut ketika menyadari keadaannya yang lebih parah daripada
setengah jam yang lalu sebelum Ayu mencoba mengeringkannya dengan tisu. Rok itu
masih tetap basah dan sekarang ada beberapa serpihan putih yang menempel. “Ini sih
lebih parah dari yang tadi,” geramku. “Sori ya, Nad, aku nggak sengaja,” Nada
Ayu yang penuh dengan penyesalan membuatku merasa bersalah karena telah
menyuarakan kefrustasianku. Aku menutup mataku untuk berpikir. Aku tidak
mungkin turun ke lapangan dengan keadaan seperti ini. Aku harus meminta Ayu
agar mencari Ibu Endang secepatnya. Aku rasa sekolahku pasti punya rok cadangan
yang bisa kupinjam selama menunggu rokku kering. Ketika aku mengemukakan
pendapat itu, Ayu langsung setuju dan menghilang juga dari hadapanku. Aku
tiba-tiba merasa pusing dan harus duduk. Aku pun duduk dikursi terdekat sebelum
kemudian meletakkan kepala di antara kedua telapak tanganku dan menutup mata,
tetapi sakit di kepalaku justru semakin menjadi. Nyut… nyut… nyut… dan ketika
kubuka mataku kembali aku tahu bahwa aku sudah tidak berada di ruangan kelas
SD-ku itu. Kuperhatikan sekelilingku untuk mencoba menebak keberadaanku.
Ruangan ini terlihat terang karena disirami sinar matahari yang masuk melalui
jendela besar yang terbentang di hadapanku. Perlahan-lahan kuangkat kepalaku
dari atas bantal, menggeram, dan memaksa tubuhku untuk duduk. Kepalaku rasanya
sudah mau pecah dan mulutku terasa kering, efek samping dari terlalu banyak
alcohol di dalam darah. Sekali lagi kuperhatikan sekelilingku. Kini dengan
keadaan duduk aku bisa lebih memahaminya. Sepertinya aku berada di dalam kamar
hotel. Kamar hotel yang mewah kalau di lihat dari set sofa yang ada di sebelah
kiri dan TV plasma yang menempel pada dinding di depan tempat tidur. Selain itu
kamar hotel ini juga memiliki meja kerja yang sepertinya terbuat dari kayu
antic. Sebuah laptop berwarna putih terbuka di atas meja itu. Kusingkapkan
selimut yang menutupi tubuhku, bermaksud untuk berdiri, tetapi kemudian kulihat
bahwa aku tidak mengenakan apa-apa di bawah selimut itu selain bra dan celana
dalamku. Buru-buru kutarik selimut itu hingga ke dagu. Sekali lagi aku
mengintip ke dalam selimut untuk memastikan bahwa aku memang hanya mengenakan
pakaian dalam. Pemandangan di bawah sana tidak berubah dari sepuluh
detik
yang lalu dan untuk kedua kalinya pagi itu, aku menggeram. Tempat tidur yang
kutiduri berukuran King dan masih terlihat cukup rapi, meskipun keempat bantal
extra besar yang ada di atasnya terlihat sudah ditiduri. Yang dua olehku, sedangkan
yang dua lagi oleh seseorang yang bukan aku. Aku mencoba mengingat-ingat apa
yang telah kulakukan semalam. Aku hanya bisa mengingat suara music yang
superkeras, lampu yang gemerlapan, suara tawa ketiga sobatku, dan
bergelas-gelas Apple Martini. Entah berapa banyak alcohol yang sudah masuk ke
dalam tubuhku. Para bartender seharusnya dilarang untuk menyatukan alcohol
dengan buah-buahan karena rasa manis atau asam dari buah itu benar-benar bisa
menyembunyikan rasa pahit yang seharusnya ada, sehingga seseorang tidak tahu
bahwa dia sudah mabuk sampai dia terbangun di kamar hotel yang bukan miliknya.
Ya Tuhan… jadi ini kamarnya siapa? Meskipun kamar ini memang mirip sekali
dengan kamar hotelku, tetapi aku yakin ini bukan kamarku yang memiliki dua
tempat tidur berukuran Queen, bukannya satu berukuran King. Tiba-tiba aku
menyadari bahwa ada suara shower yang sedang dihidupkan. Itu berarti bahwa aku
tidak sendirian di dalam kamr hotel. Aku mencoba menenangkan rasa panic yang
mulai muncul ke permukaan. Nadia… tenang… itu mungkin Cuma salah satu sobat lo
yang lagi mandi. Tapi di dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku tahu bahwa
orang di dalam kamar mandi itu pasti bukan temanku. Perlahan-lahan aku bangun
dari tempat tidur dan tanpa menghiraukan tubuhku yang setengah telanjang aku
mulai mengelilingi ruangan untuk mencari bajuku. Kutemukan jinsku tersampir
pada lengan sofa, dibawahnya kutemukan kausku. Aku segera mengenakan keduanya
sebelum kemudian mulai mencari sepatuku. Kutemukan sepatuku di bawah kursi meja
kerja, pada saat itulah aku menyadari bahwa ada satu set sepatu laki-laki
persis di sebelah sepatuku. Aku harus menutup mulutku agar tidak meneriakkan
keterkejutanku. Sepatu laki-laki?! Panik, buru-buru kutarik sepatuku dari bawah
kursi. Selama melakukan ini semua aku berpikir, tadi malam aku nggak bercinta
sama laki-laki tidak dikenal, kan? Bukannya itu sesuatu yang baru karena aku
sudah bukan perawan lagi semenjak kuliah, tetapi aku tidak mau melakukannya
dengan laki-laki yang aku bahkan tidak bisa ingat wajahnya. Tiba-tiba aku
menyadari bahwa sudah tidak ada bunyi shower lagi. Kusabet sepatuku, dan tanpa
mengenakannya aku langsung berlari menuju pintu keluar. Aku baru saja berhasil
membuka pintu itu ketika kudengar pintu kamar mandi di belakangku dibuka, disusul
dengan suara berat yang hanya bisa dimiliki oleh laki-laki. “Mau ke mana
buru-buru?” Aku terpekik karena terkejut dan langsung memutar tubuhku dan harus
menarik napas ketika berhadapan dengan dada paling bidang yang pernah kulihat
sepanjang hidupku sebagai wanita dewasa. Kemudian kutarik mataku ke atas untuk
menatap pemilik dada itu dan suhu tubuhku langsung naik sepuluh derajat. Kalau
saja punggungku tidak bisa menempel pada daun pintu, aku mungkin akan mengambil
satu langkah mundur saat itu juga. Ternyata dia tidak hanya memiliki dada yang
bidang dan perut yang bisa digunakan sebagai papan untuk membilas baju, tetapi
dia juga memiliki wajah yang bisa membuat semua wanita histeris hanya karena
melihatnya. Wajah itu memang tidak bisa digolongkan ganteng karena garis-garis
rahangnya terlalu kuat untuk disatukan dengan hidung yang berukuran kecil,
meskipun mancung. Selain itu alisnya juga terlalu tebal. Tapi ada sesuatu yang
membuatku tidak bisa memalingkan tatapanku dari wajah itu. Aku baru menyadari
setelah beberapa menit bahwa daya tarik laki-laki ini adalah aura misterius
yang ada pada dirinya, seakan-akan dia tahu sesuatu yang kita tidak tahu. “Iya…
aku… harus… pergi,” ucapku terbata-bata karena aku baru menyadari bahwa
laki-laki ini pada
dasarnya
sedang telanjang kecuali handuk putih yang tergantung rendah pada pinggulnya.
Entah apa yang bisa kulihat kalau berani menarik handuk itu ke bawah. Aku
segera memerintahkan bagian diriku yang sepertinya ingin bercentil-centil ria
pagi ini untuk membuang jauh-jauh segala pikiran kotor yang direncanakannya.
“Kamu harus pergi ke mana hari Sabtu pagi begini?” Tanya laki-laki itu sambil
melangkah keluar dari kamar mandi dan masuk ke kamar dan dengan begitu berada
lebih dekat denganku. Aku hanya bisa menatap wajah laki-laki itu sambil memeluk
kedua sepatuku seolah benda itu adalah benda paling berharga yang pernah
kumiliki. Otakku beku sehingga tidak ada satu kata pun yang terlintas di dalam
pikiranku. Tanpa kusangka-sangka laki-laki itu kemudian tersenyum sambil menyisir
rambut basahnya dengan jari-jari. “Kamu nggak ingat aku, ya?” tanyanya. Aku
menatapnya terkejut. Apa aku seharusnya mengenal dia? Aku yakin kalau aku
sampai kenal dengan laki-laki berwajah seperti ini aku tidak akan lupa. Apa dia
artis? Kusipitkan mataku mencoba untuk memastikan. Nggak, dia bukan artis,
tetapi ada sesuatu yang familier dengan matanya yang sekarang sepertinya sedang
menelanjangiku. Mata itu sekarang lebih gelap, mungkin karena telah melihat
hal-hal yang mengejutkannya selama dua puluh tahun ini, tetapi aku masih bisa
melihat kebandelan yang dulu juga. “Kafka?” ucapku pelan. “Hei, Nad-Nad,” ucap
Kafka, sambil menyeringai.
Crash Into You - AliaZalea - Part 1
No comments:
Post a Comment