Saturday, September 5, 2015

Crash Into You - AliaZalea - Bab 4

Bab 4 

12 September 
Dunia ini memang nggak adil. Hahaha… who am I kidding. Kalau dunia ini adil, itu namanya bukan dunia, tapi surga. Apa jangan-jangan ada tuyul yang ikut sama gue dari Bali dan bikin gue jadi sial ya? *** “NADIA?” ucap Kafka yang berdiri di belakang meja kerja dokter dari kayu jati. Dari wajahnya, sepertinya dia sama terkejutnya denganku, bahkan mungkin lebih terkejut lagi. Aku hanya bisa menatap Kafka sambil melongo seperti orang idiot. Kucoba mengedipkan mataku berkali-kali, berharap dan berdoa agar ini semua hanyalah mimpi buruk. Tetapi setelah mengedip berkali-kali dan wajah Kafka malah justru kelihatan semakin jelas, aku harus menerima kenyataan bahwa aku tidak sedang bermimpi. Ini semua kenyataan. “Kamu…?” akhirnya aku bisa berkata-kata. Mamaku langsung mengerlingkan mata padaku mendengar nada bicaraku yang memang kurang sopan. “Kamu ngapain di sini?” ucapku dan Kafka bersamaan. “Aku ngantar papaku,” jawabku merasa sedikit tersinggung dengan pertanyaan Kafka, meskipun aku juga baru saja mengutarakan pertanyaan yang sama padanya. Tapi aku merasa pertanyaan itu memang lebih masuk akal untuk diutarakan olehku, karena jelas-jelas aku sekarang sedang berada di ruang dokter. Kalau aku mau mincing ikan aku akan pergi ke laut, bukan ke dokter, kan? “Nadia, kamu kenal sama Pak Dokter?” kudengar suara mamaku. Papaku yang sepertinya terlalu lelah untuk mengikuti arah pembicaraan ini memilih duduk di salah satu kursi yang ada di depan meja kerja dokter sambil menyipitkan mata pada Kafka. “Dokter?” ucapku bingung. Dan pada saat itu aku baru betul-betul menyadari Kafka memang mengenakan jaket putih yang biasanya dikenakan para dokter. NGGAK MUNGKIN! Teriakku dalam hati. Kafka nggak mungkin dokternya papa. Dia masih terlalu muda untuk jadi ahli kardiologi. Aku mencoba mengingat-ingat apakah Kafka pernah jadi juara kelas sewaktu kami SD dan aku yakin aku tidak pernah melihatnya ikut ujian beasiswa sekolah yang biasanya diperuntukkan bagi anak-anak yang berhasil meraih ranking tiga besar di kelas masing-masing. “Kamu Dokter Kafka?” tanyaku curiga. Kafka hanya menunjuk kepada plak ukiran kayu di atas meja kerjanya yang bertuliskan Dr. Kafka Ananta. Ternyata memang hanya ada satu Kafka di dunia ini, dan ini menjelaskan perasaan tidak enak yang sudah kurasakan beberapa hari ini. Ohhh… rasanya aku mau bunuh diri saja atau mungkin meminta orang lain membunuhku. Sel-sel otakku sepertinya mengalami korsleting dengan banyaknya pertanyaan yang ingin kulontarkan kepada Kafka tetapi tidak bisa kuucapkan di depan orangtuaku. “Silahkan duduk, Ibu,” ucap Kafka sopan. Mamaku menuruti permintaan Kafka dan duduk di satu-satunya kursi yang masih tersedia. Dari tatapan matanya aku tahu bahwa mamaku sebetulnya ingin menginterogasi statusku dengan Kafka, tetapi untungnya kali ini dia berhasil menahan diri dan hanya tersenyum penuh arti padaku. Aku masih berusaha mencerna semua informasi ini ketika terdengar ketukan pintu dan seorang suster masuk sambil mendorong sebuah kursi untukku. Setelah tersenyum dan mengucapkan terima kasih, aku pun mengempaskan diriku di kursi itu. Perasaan galauku tidak membaik ketika aku menyadari bahwa
Kafka sedang melemparkan senyum isengnya padaku. Aku tidak perlu jadi psychic untuk tahu apa yang sedang ada di pikirannya. Kuberikan tatapanku yang paling ganas padanya dan Kafka mengalihkan perhatian pada formulir yang tadi sudah kuisi. Ruangan itu hening beberapa detik. “Apa Bapak ada keturunan darah tinggi sama jantung?” Tanya Kafka sambil menatap papaku dengan serius. Aku harus menarik napas ketika melihat pergantian ini. Hanya dalam hitungan detik dia berubah dari laki-laki iseng yang kutemui ketika terbangun di kamar hotelnya beberapa hari yang lalu menjadi seorang laki-laki dewasa yang betul-betul serius dalam pekerjaannya. Yang jelas detik itu dia kelihatan seperti seorang dokter. “Iya, Dok, beberapa anggota keluarga si Oom ini memang punya darah tinggi dan jantung,” jelas mamaku. “Sakit di dada yang Oom alami selama ini apa seperti di tusuk-tusuk jarum atau seperti ketindihan batu dan nggak bisa napas?” Aku hampir saja mendengus ketika mendengar Kafka menggunakan kata “Oom” untuk papaku. Dengan susah payah aku mencoba mengendalikan perasaanku yang sepertinya siap untuk meledak-ledak. Jelas-jelas mamaku yang duluan menggunakan kata itu, Kafka hanya mencoba menjadi pendengar yang baik dengan menggunakan kata yang sama, ucapku pada diriku sendiri, mencoba merasionalkan tindakan Kafka. “Kadang dua-duanya, Dok,” papaku menjawab. Kulihat Kafka menuliskan sesuatu pada selembar kertas lain. “Kalau rasa sakit itu terjadi, biasanya berapa lama?” “Terkadang bisa sampai semenit,” jelas papaku. Kafka mengangguk dan sekali lagi menuliskan sesuatu pada kertas itu. Mamaku terlihat khawatir dan takut ketika mendengar penjelasan papaku ini. Khawatir bahwa mamaku akan tiba-tiba menangis, kutarik kursiku agar bisa duduk lebih dekat dengannya dan meremas bahunya. Mamaku menoleh padaku dan meremas tanganku. “Dan semua ini biasanya terjadi pada pagi hari, ya?” Kafka terlihat sangat serius ketika menanyakan hal ini, yang membuatku bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang signifikan tentang informasi itu. Kulihat kedua orangtuaku mengangguk untuk mengonfirmasikan pernyataan itu. “Jadi bagaimana, Dok?” Tanya mamaku Kafka menatap mamaku dan berkata, “Kalau dilihat dari gejalanya, sepertinya Oom memang mengalami beberapa serangan jantung.” “Beberapa?” teriakku dan Mama bersamaaan. “Dalam caliber kecil,” sambung Kafka buru-buru dalam usahanya untuk menenangkan kami berdua. Dia bahkan tersenyum. Papaku tidak mengatakan apa-apa, aku jadi curiga apa dia sudah tahu bahwa apa yang dia alami selama tiga bulan belakangan ini bisa dibilang cukup serius. “Jadi saran.. ehm… ehm… Dokter… bagaimana?” dengan susah payah aku mengucapkan kata “Dokter”. Aku masih belum terbiasa dengan status Kafka, si pembuat onar itu sebagai seorang dokter yang harus kupercayai. Kafka menatapku dan berkata dengan pelan tapi pasti. “Saya sarankan supaya Oom menjalani beberapa tes. Kita bisa mulai dengan tes darah untuk melihat beberapa hal, tapi terutama kadar kolesterol dalam darah. Kalau nanti memang perlu, baru kita lakukan EKG dan Cardiac Stress Testing.” “EKG,” gumamku. Latar belakangku memang bukan dari dunia kedokteran, tapi aku sudah menonton
cukup banyak seri ER dan Grey’s Anatomy untuk tahu fungsi tes tersebut. “Electrocardiography,” sambung Kafka. “Untuk memonitor aktivitas jantung supaya kita bisa melihat apakah ada kelainan pada detak jantung Oom.” “Apa pasien harus menginap untuk dites?” Tanya mamaku dengan hati-hati. Aku menarik napas menunggu jawaban dari Kafka. Aku tahu betul bahwa kalau jawabannya adalah “Iya”, sudah dapat kupastikan bahwa papaku tidak akan mau melakukannya. Papaku adalah jenis orang yang sama sekali tidak suka tidur di tempat tidur yang bukan tempat tidurnya sendiri. Itulah sebabnya kenapa papaku jarang sekali mau diajak travel kalau kami harus menginap. “Oh, nggak. Pasien bisa langsung pulang. Hanya mungkin datang untuk beberapa jam saja.” Entah kenapa, tapi sepertinya ketika Kafka mengucapkan ini dia menatapku dan tersenyum simpul. Mungkin dia bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba menyelimuti ruangan itu ketika kami menunggu jawaban darinya, dan mencoba menenangkan kami semua. “Apa tes darahnya harus di sini atau boleh di tempat lain?” tanyaku. Berdasarkan cerita yang sudah kudengar, banyak dokter dan rumah sakit yang lebih mengutamakan factor materi daripada kesehatan pasiennya. Banyak dari mereka yang bahkan akan memaksa agar segala macam tes harus dilakukan di rumah sakit karena jasa tersebut tidak ditawarkan di tempat lain. Menurutku semua itu omong-kosong saja. “Dimana saja boleh selama mereka bisa melakukan tes yang diminta. Cari saja lab yang dekat sama rumah Oom dan Tante, tidak perlu datang ke sini,” ucap Kafka. Humph… sepertinya Kafka memang seorang dokter sejati, bukan pedagang obat yang bersembunyi di belakang jaket putih dan menyebut diri mereka dokter. Meskipun rumah sakit ini bukanlah yang terdekat dari rumahku, tapi inilah yang menurutku paling kompeten, jadi pada dasarnya pilihan kami untuk datang ke rumah sakit ini tidak bisa dibantah lagi. “Apa Oom sudah ada dokter penyakit dalam?” Mamaku mengiyakan pertanyaan ini dan memberitahu Kafka nama dokter penyakit dalam papa. Mama kemudian mengajukan beberapa pertanyaan kepada Kafka yang dijawabnya dengan singkat dan padat. Kuperhatikan bahwa sepertinya Kafka memang cukup ahli di bidangnya karena dia mencoba menjelaskan segala sesuatunya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh kami semua. Dua puluh menit kemudian kami pun keluar dari ruang dokter itu dengan perasaan lebih pasti tentang langkah selanjutnya yang harus kami ambil. Dalam perjalanan pulang Mama dan Papa sama sekali tidak menanyakan tentang hubunganku dengan Kafka. Pikiran mereka sepertinya penuh dengan keadaan kesehatan Papa yang memang jauh lebih penting. Meskipun begitu, aku baru bisa betul-betul bernapas lagi setelah keluar dari halaman rumah orangtuaku dan mobilku sudah meluncur kembali ke jalan raya menuju kantor. ***
Selama beberapa hari aku tenggelam dalam pekerjaanku dan terbebas dari keharusan untuk bertemu dengan Kafka lagi karena aku, Kak Mikhel dan Kak Viktor sepakat untuk merotasi tugas membawa Papa ke rumah sakit. Tetapi sepertinya aku tidak bisa lari dari Kafka, karena kini Mama semakin sering menyebutkan nama “Dokter Kafka” dengan nada antusias dan penuh pujian. Padahal aku sudah siap muntah setiap kali mendengar nama itu disebut-sebut. “Nadia, kamu ditanyain sama Dokter Kafka kemarin,” ucap Mamaku suatu hari ketika aku meneleponnya untuk menanyakan perkembangan keadaan Papa. Saking terkejutnya aku sampai menyobek bungkus Oreo dengan terlalu ganas, membuat semua Oreo berhamburan ke atas meja kerjaku di kantor. Gita, seorang web designer yang masih junior, melongokkan kepala dari atas kubikel di depanku. Aku hanya melambaikan tangan, menandakan bahwa situasi masih terkendali. Wajah Gita kemudian menghilang dan aku kembali memfokuskan perhatianku pada percakapan dengan mamaku yang sepertinya tidak sadar akan efek dari informasi yang baru saja disampaikannya padaku. “Kamu nggak pernah bilang Dokter Kafka itu temen SD kamu?” lanjutnya dengan nada sedikit menuduh. Aku mengembuskan napas dengan sedikit kesal sambil mulai mengumpulkan beberapa Oreo yang masih ada di atas mejaku dan tidak terjatuh ke karpet. Humph… Kafka sudah cerita apa saja ke mamaku? Awas saja kalau dia sampai cerita kejadian di Bali. Aku akan… akan… akan… yah pokoknya ngapain dialah. Dan kalau bisa, apa pun yang akan kulakukan padanya itu bisa membuatnya babak-belur. “Dia bukan temanku, Ma. Kebetulan saja dia juga murid di SD yang sama di tahun yang sama,” ucapku akhirnya sambil berusaha menyelamatkan satu Oreo yang menggelinding di atas meja dan hampir jatuh ke karpet. “Berarti dia masih muda sekali, ya?” mamaku berdecak kagum. “Tapi dia itu benar-benar baik banget. Perhatian sama papa kamu. Belum lagi…” mama lanjut menyebutkan dengan detail setiap hal yang telah dilakukan oleh Kafka untuk papaku. Rasanya aku ingin menutup telepon saat itu juga, tapi aku belum dapat update tentang papa. “Papa gimana, Ma?” tanyaku, memotong omongan mamaku. Saat itu Gita muncul sambil membawa mangkuk. Aku mengucapkan terima kasih tanpa suara padanya dan mulai menempatkan Oreo yang masih bisa dimakan ke dalam mangkuk itu. Gita hanya mengangguk sambil mencomot satu Oreo sebelum kemudian kembali ke kubikelnya. Mamaku terdiam sejenak karena aku memotong alur pembicaraannya, bukan karena tersinggung, tapi karena dia harus memfokuskan pikirannya pada hal baru. Selain sebagai orang yang ramah, mamku juga terkenal sebagai orang yang pikirannya suka lompat dari satu topic ke topic yang lain tanpa ada titik ataupun koma, dan dia berharap orang lain bisa mengikutinya. “Papa… kata Dokter Kafka sih cukup baik, Cuma memang makanannya harus lebih dikontrol lagi supaya tekanan darahnya bisa lebih stabil dan nggak terlalu tinggi.” “Kan Dokter Budi sudah bilang dari dulu supaya Papa jangan makan makanan yang terlalu berminyak,” balasku sambil berlutut dan mulai memungut Oreo yang berserakan di karpet di bawah meja kerjaku satu per satu untuk dibuang ke tempat sampah. Aku tahu betul bahwa selama setahun belakangan ini Dokter Budi, internis langganan Papa, sudah mewanti-wanti orangtuaku soal ini. Aku tiba-tiba jadi curiga kenapa mamaku terdengar seperti merasa bersalah. “Papa sudah nggak makan pisang goreng setiap pagi lagi kan, Ma?” “Nggak sih… Cuma…”
“Cuma apa? Nggak pakai Cuma, Ma. Kalau memang nggak boleh ya nggak boleh.” “Tapi Mama suka kasihan sama Papa kamu. Dia kan memang sukanya pisang goreng.” “Ya aku juga sukanya makan cokelat setiap hari tapi aku nggak bisa soalnya nanti jerawatan,” balasku dengan sedikit tajam. Aku sudah berhasil membuang semua Oreo yang tadi berada di karpet ke tempat sampah dan duduk kembali di kursiku. Mamaku terdiam, yang membuatku jadi merasa bersalah karena sudah mengomelinya. “Kafka ngomong apa lagi?” “Dokter Kafka?” Aku terpaksa menggigit lidahku agar tidak berteriak frustasi. “Iya,” jawabku pendek. Dalam hati aku menyumpah, “Ya iyalah Kafka yang itu. Mana aku kenal Kafka yang lain? Satu Kafka saja sudah cukup. Amit-amit, amit-amit kalau sampai ada dua,” sambil mengetukkan buku jariku ke meja kerja. “Oh iya, Mama kan bilang kamu kerja dan agak sibuk jadi mungkin nggak bisa nemenin Papa untuk beberapa pertemuan ke depan, terus dia kelihatan agak kecewa gitu lho, Nad. Mama kan jadi nggak tega. Jadi Mama kasih saja nomor HP kamu, jadi kan dia bisa kontak kamu kapan saja.” “Hah?” teriakku terkejut dan sekali lagi kepala Gita muncul dari atas kubikel untuk mengetahui apa yang terjadi. Kali ini aku mengabaikannya dan hanya memutar kursiku agar membelakanginya. “Lho, kok kamu kaget gitu? Nggak apa-apa kan kalau Dokter Kafka mau kontak kamu?” “Mama kasih nomor HP aku?” aku masih tidak bisa memercayai nasibku yang semakin hari kok rasanya semakin sial saja. Aku tidak menerima balasan atas pertanyaanku ini. Aku justru mendengar suara-suara yang teredam dari ujung saluran telepon. Sepertinya Mama sedang berbicara dengan orang lain. “Halo,” ucapku. “Ma?” untuk menyakinkan bahwa percakapan ini bermasalah bukan karena sinyal HP yang lemah aku pun melirik kepada HP yang berada di genggamanku. Hp-ku menunjukkan bahwa sinyalnya penuh. Sekali lagi aku mencoba memanggil mamaku, tapi sepertinya dia kini terlibat dalam percakapan tentang bermacam-macam cara memasak tahu Jepang, atau mungkin kembang tahu. Setelah beberapa menit mencoba mengikuti arah percakapan itu dan aku malah jadi semakin bingung, akhirnya aku memutuskan menunggu hingga mamaku selesai berbicara dengan siapa pun yang sedang ngobrol dengannya dan kembali menumpukkan perhatiannya padaku. Kuambil satu Oreo dari dalam mangkuk dan mulai memakannya sedikit demi sedikit. Di antara semua semua biscuit yang dijual di pasaran, favoritku memang Oreo semenjak aku pergi ke Singapura sewaktu SMP dan merasakan biscuit dengan jumlah kalori yang sama dengan burger McDonald’s itu. “Sori, Nadia, sudah dulu ya teleponnya,” ucap mamaku tiba-tiba, dan sebelum bisa betul-betul sadar apakah Mama memang sedang berbicara padaku, dia sudah menutup telepon itu. Kutatap HP-ku dengan gemas, seakan-akan benda itu adalah wajah mamaku. Jelas-jelas aku dongkol, tapi aku akhirnya hanya menggeleng dan menyimpan HP-ku kembali ke dalam tas. Jam makan siang sudah berlalu dan aku harus kembali kerja lagi. “Ada masalah, Nad?” Tanya Gita. Kali ini dia tidak hanya melongokkan kepalanya di atas kubikel, tetapi berdiri di pintu masuk kubikelku. “Nggak ada,” jawabku sambil tersenyum. Gita sepertinya tidak memercayai kata-kataku, tetapi dia tidak memaksaku. Dia hanya mengangkat kedua alisnya seakan-akan menantangku untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Ketika aku tetap tidak mengucapkan apa-apa, dia akhirnya meninggalkanku sendiri
dengan pikiranku. Meskipun aku orang yang paling ramah di kantor ini, sebetulnya tidak banyak orang yang tahu tentang kehidupan pribadiku. Dan aku mau tetap menjaga privacy itu. Lain dengan ketiga sobatku yang selalu kelihatan nyaman dengan diri mereka sendiri, aku selalu merasa bahwa aku sangat kurang. Kurang cantik dibandingkan Jana, kurang gaul daripada Dara, dan kurang ambisius dibandingkan Adri. Intinya, aku merasa bahwa aku tidak memiliki kelebihan apa pun yang bisa kutonjolkan. Inilah yang membuatku jadi kurang percaya diri. Alhasil, aku tidak pernah betul-betul jadi diriku sendiri di depan orang lain. Semua orang yang mengenalku hanya tahu bahwa aku orang yang ramah dan selalu siap membantu. Tapi kenyataannya adalah, aku melakukan itu semua agar orang menyukaiku dan mau jadi temanku. Tidak ada yang tahu bahwa aku orangnya tidak suka basa-basi dan bahwa aku menyimpan buku harian, satu-satunya tempat aku bisa betul-betul menumpahkan semua yang kurasakan tanpa harus mengkhawatirkan pendapat orang lain jika mendengar apa yang telah kutuliskan di dalamnya. Mungkin satu-satunya orang yang pernah melihat sifat asliku adalah Kafka. Aku berani menunjukkan diriku yang sebenarnya padanya karena aku tidak perlu mengkhawatirkan pendapatnya tentangku, karena aku tidak peduli akan pendapatnya. ***
Aku sedang sibuk browsing Internet untuk mencari tahu tentang bermacam-macam penyakit jantung ketika tiba-tiba suara Josh Groban terlantun. Kulirik layar HP-ku dan langsung mengerutkan keningku. “Unknown”. Itulah kata yang tertuliskan pada layar. Aku paling benci dengan orang yang menggunakan fasilitas semacam ini. Menurutku nomor telepon adalah hak milik umum dan kecuali dia adalah Presiden Republik Indonesia (itu pun tidak betul-betul pengecualian juga), orang seharusnya tidak diperbolehkan menyembunyikan nomor telepon mereka. Kubiarkan telepon itu berbunyi. Kalau memang telepon itu penting, maka mereka akan meninggalkan voicemail atau mengirimkan SMS. Untungnya aku memang tidak pernah memberikan nomor HP-ku kepada klien, jadi aku bisa pasti bahwa yang menelepon bukanlah salah satu klienku. Dan nomor telepon keluarga dekat-ku, orang-orang di kantorku dan teman-temanku sudah tercatat di dalam address book HP-ku, jadi nama mereka pasti akan langsung muncul di layar kalau memang mereka yang menelepon. Tidak lama kemudian lagi Broken Vow itu pun berhenti dan aku kembali focus pada risetku. Papa sudah menjalankan segala macam tes yang harus dilakukan, termasuk EKG dan tes stress jantung. Untuk pertemuan selanjutnya, saat Kafka akan memberitahu hasil semua tes itu, akulah yang akan mengantarkan Papa. Oleh karena itu aku melakukan riset ini supaya bisa lebih memahami keadaan kesehatan Papa ketika Kafka menjelaskan hasil tes itu nanti. Aku tidak pernah tahu bahwa ternyata ada bermacam-macam jenis penyakit jantung. Ada yang menyerang arteri saja, ada yang berurusan khusus dengan otot jantung, pembuluh darah, atau bahkan organ jantung itu sendiri. Ada pula penyakit jantung yang disebabkan tekanan darah tinggi. Penyakit jantung jenis inilah yang aku takutkan diderita papaku. Aku sedang mencoba mengingat-ingat nama semua jenis penyakit ini ketika sekali lagi suara Josh Groban terdengar dan ketika kulirik layar, ternyata si “Unknown” lagi yang menelepon. “Halo, siapa nih?” ucapku menjawab telepon itu dengan nada acuh tak acuh. Aku tidak perlu terlalu beramah-tamah dengan orang yang kemungkinan besar hanya mau iseng. “Mudah-mudahan itu bukan cara kamu ngejawab setiap telepon. Kayaknya orang bakalan langsung mikir kalau mereka salah sambung,” ucap suara yang tidak aku kenal dari ujung saluran telepon.
“Mas, kayaknya salah sambung deh,” balasku dan sudah siap untuk menutup teleponku. “Eh, Nad, jangan ditutup. Ini Kafka.” Aku tidak tahu apa yang kupikirkan ketika melakukannya, tetapi aku menyalahkan semua ini pada Oreo yang dengan jumlah kalorinya telah memperlambat fungsi jantungku memompa darah ke otak, sehingga menyebabkan organ tersebut tidak bisa berfungsi dengan sempurna. “Ooo… hhh, cari Nadia, ya? Dia lagi nggak ada di sini. Dia lagi ke kamar mandi. Telepon lagi saja nanti,” jawabku lalu buru-buru menutup telepon dan loncat-loncat seperti orang kesetanan sambil berteriak kesal di dalam kamar kosku. “Dasar goblooo…k. apa nggak ada alasan lain?” teriakku memarahi diriku sendiri. What is wrong with me? Aku berharap bahwa Kafka percaya akan kebohonganku, tetapi aku tahu bahwa meskipun otak Kafka mungkin agak kurang sewaktu SD, tetapi bukan berarti dia bodoh. Toh buktinya dia sekarang sudah jadi seorang dokter yang cukup bergengsi, lulusan The Royal College of Surgeon di Inggris pula. Aku tahu semua ini karena sebegitu bencinya aku sama makhluk satu ini sampai-sampai aku pergi ke website rumah sakit spesialis jantung tempatnya praktik untuk mencari tahu tentang latar belakang pendidikannya. Dia bukan hanya lulusan Inggris, tetapi dia juga menyelesaikan residency-nya di sebuah rumah sakit bernama Beaumont, di Dublin, Irlandia selama dua tahun setelah mengambil spesialisasi Kardiologi. Kalau saja aku tahu bahwa informasi selengkap ini tersedia di website rumah sakit, mungkin aku sudah mengusulkan papaku untuk pergi ke dokter lain, sehingga menghindari dilemma yang sekarang kuhadapi karena harus bertemu dengan Kafka lagi. Sekali lagi kudengar teleponku berbunyi dan tanpa harus melihat layar, aku sudah tahu itu adalah Kafka. “Halo, Kaf, sori, tadi aku lagi di kamar mandi,” ucapku terburu-buru. “Nadia?” kudengar suara mamaku yang terdengar agak panic. “Mama?” ucapku terkejut, bercampur lega, tetapi juga agak sedikit kesal karena Kafka tidak meneleponku balik. “Nadia, Papa baru kena serangan jantung dan akan dibawa ke UGD…” Tiba-tiba aku tidak bisa mendengar apa pun yang mamaku sedang coba katakana. Kalau sampai papaku harus dibawa ke UGD, berarti keadaan jantungnya lebih parah daripada yang kuperkirakan. Seperti tiba-tiba terbangun dari mimpi, aku langsung mengambil ahli keadaan dan memberitahu Mama bahwa aku akan berangkat sekarang juga ke rumah sakit. Kulirik Jam dinding yang sudah menunjukkan jam delapan malam. Aku hanya sempat mengambil tas dan kunci mobilku sambil berusaha mengenakan sepatuku pada saat yang bersamaan. Setelah itu aku berlari menuju mobilku sambil menelepon keadaan kedua kakakku yang ternyata sudah ditelepon lebih dulu oleh Mama. 


Crash Into You - AliaZalea - Bab 5

No comments:

Post a Comment