Bab
4
12 September
Dunia ini memang nggak adil. Hahaha… who am I kidding. Kalau
dunia ini adil, itu namanya bukan dunia, tapi surga. Apa jangan-jangan ada
tuyul yang ikut sama gue dari Bali dan bikin gue jadi sial ya? *** “NADIA?”
ucap Kafka yang berdiri di belakang meja kerja dokter dari kayu jati. Dari
wajahnya, sepertinya dia sama terkejutnya denganku, bahkan mungkin lebih
terkejut lagi. Aku hanya bisa menatap Kafka sambil melongo seperti orang idiot.
Kucoba mengedipkan mataku berkali-kali, berharap dan berdoa agar ini semua
hanyalah mimpi buruk. Tetapi setelah mengedip berkali-kali dan wajah Kafka
malah justru kelihatan semakin jelas, aku harus menerima kenyataan bahwa aku
tidak sedang bermimpi. Ini semua kenyataan. “Kamu…?” akhirnya aku bisa
berkata-kata. Mamaku langsung mengerlingkan mata padaku mendengar nada bicaraku
yang memang kurang sopan. “Kamu ngapain di sini?” ucapku dan Kafka bersamaan.
“Aku ngantar papaku,” jawabku merasa sedikit tersinggung dengan pertanyaan
Kafka, meskipun aku juga baru saja mengutarakan pertanyaan yang sama padanya.
Tapi aku merasa pertanyaan itu memang lebih masuk akal untuk diutarakan olehku,
karena jelas-jelas aku sekarang sedang berada di ruang dokter. Kalau aku mau
mincing ikan aku akan pergi ke laut, bukan ke dokter, kan? “Nadia, kamu kenal
sama Pak Dokter?” kudengar suara mamaku. Papaku yang sepertinya terlalu lelah
untuk mengikuti arah pembicaraan ini memilih duduk di salah satu kursi yang ada
di depan meja kerja dokter sambil menyipitkan mata pada Kafka. “Dokter?” ucapku
bingung. Dan pada saat itu aku baru betul-betul menyadari Kafka memang
mengenakan jaket putih yang biasanya dikenakan para dokter. NGGAK MUNGKIN!
Teriakku dalam hati. Kafka nggak mungkin dokternya papa. Dia masih terlalu muda
untuk jadi ahli kardiologi. Aku mencoba mengingat-ingat apakah Kafka pernah
jadi juara kelas sewaktu kami SD dan aku yakin aku tidak pernah melihatnya ikut
ujian beasiswa sekolah yang biasanya diperuntukkan bagi anak-anak yang berhasil
meraih ranking tiga besar di kelas masing-masing. “Kamu Dokter Kafka?” tanyaku
curiga. Kafka hanya menunjuk kepada plak ukiran kayu di atas meja kerjanya yang
bertuliskan Dr. Kafka Ananta. Ternyata memang hanya ada satu Kafka di dunia
ini, dan ini menjelaskan perasaan tidak enak yang sudah kurasakan beberapa hari
ini. Ohhh… rasanya aku mau bunuh diri saja atau mungkin meminta orang lain
membunuhku. Sel-sel otakku sepertinya mengalami korsleting dengan banyaknya
pertanyaan yang ingin kulontarkan kepada Kafka tetapi tidak bisa kuucapkan di
depan orangtuaku. “Silahkan duduk, Ibu,” ucap Kafka sopan. Mamaku menuruti
permintaan Kafka dan duduk di satu-satunya kursi yang masih tersedia. Dari
tatapan matanya aku tahu bahwa mamaku sebetulnya ingin menginterogasi statusku
dengan Kafka, tetapi untungnya kali ini dia berhasil menahan diri dan hanya
tersenyum penuh arti padaku. Aku masih berusaha mencerna semua informasi ini
ketika terdengar ketukan pintu dan seorang suster masuk sambil mendorong sebuah
kursi untukku. Setelah tersenyum dan mengucapkan terima kasih, aku pun
mengempaskan diriku di kursi itu. Perasaan galauku tidak membaik ketika aku
menyadari bahwa
Kafka
sedang melemparkan senyum isengnya padaku. Aku tidak perlu jadi psychic untuk
tahu apa yang sedang ada di pikirannya. Kuberikan tatapanku yang paling ganas
padanya dan Kafka mengalihkan perhatian pada formulir yang tadi sudah kuisi.
Ruangan itu hening beberapa detik. “Apa Bapak ada keturunan darah tinggi sama
jantung?” Tanya Kafka sambil menatap papaku dengan serius. Aku harus menarik
napas ketika melihat pergantian ini. Hanya dalam hitungan detik dia berubah
dari laki-laki iseng yang kutemui ketika terbangun di kamar hotelnya beberapa
hari yang lalu menjadi seorang laki-laki dewasa yang betul-betul serius dalam
pekerjaannya. Yang jelas detik itu dia kelihatan seperti seorang dokter. “Iya,
Dok, beberapa anggota keluarga si Oom ini memang punya darah tinggi dan
jantung,” jelas mamaku. “Sakit di dada yang Oom alami selama ini apa seperti di
tusuk-tusuk jarum atau seperti ketindihan batu dan nggak bisa napas?” Aku
hampir saja mendengus ketika mendengar Kafka menggunakan kata “Oom” untuk
papaku. Dengan susah payah aku mencoba mengendalikan perasaanku yang sepertinya
siap untuk meledak-ledak. Jelas-jelas mamaku yang duluan menggunakan kata itu,
Kafka hanya mencoba menjadi pendengar yang baik dengan menggunakan kata yang
sama, ucapku pada diriku sendiri, mencoba merasionalkan tindakan Kafka. “Kadang
dua-duanya, Dok,” papaku menjawab. Kulihat Kafka menuliskan sesuatu pada
selembar kertas lain. “Kalau rasa sakit itu terjadi, biasanya berapa lama?”
“Terkadang bisa sampai semenit,” jelas papaku. Kafka mengangguk dan sekali lagi
menuliskan sesuatu pada kertas itu. Mamaku terlihat khawatir dan takut ketika
mendengar penjelasan papaku ini. Khawatir bahwa mamaku akan tiba-tiba menangis,
kutarik kursiku agar bisa duduk lebih dekat dengannya dan meremas bahunya.
Mamaku menoleh padaku dan meremas tanganku. “Dan semua ini biasanya terjadi
pada pagi hari, ya?” Kafka terlihat sangat serius ketika menanyakan hal ini,
yang membuatku bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang signifikan tentang
informasi itu. Kulihat kedua orangtuaku mengangguk untuk mengonfirmasikan
pernyataan itu. “Jadi bagaimana, Dok?” Tanya mamaku Kafka menatap mamaku dan
berkata, “Kalau dilihat dari gejalanya, sepertinya Oom memang mengalami
beberapa serangan jantung.” “Beberapa?” teriakku dan Mama bersamaaan. “Dalam
caliber kecil,” sambung Kafka buru-buru dalam usahanya untuk menenangkan kami
berdua. Dia bahkan tersenyum. Papaku tidak mengatakan apa-apa, aku jadi curiga
apa dia sudah tahu bahwa apa yang dia alami selama tiga bulan belakangan ini
bisa dibilang cukup serius. “Jadi saran.. ehm… ehm… Dokter… bagaimana?” dengan
susah payah aku mengucapkan kata “Dokter”. Aku masih belum terbiasa dengan
status Kafka, si pembuat onar itu sebagai seorang dokter yang harus kupercayai.
Kafka menatapku dan berkata dengan pelan tapi pasti. “Saya sarankan supaya Oom
menjalani beberapa tes. Kita bisa mulai dengan tes darah untuk melihat beberapa
hal, tapi terutama kadar kolesterol dalam darah. Kalau nanti memang perlu, baru
kita lakukan EKG dan Cardiac Stress Testing.” “EKG,” gumamku. Latar belakangku
memang bukan dari dunia kedokteran, tapi aku sudah menonton
cukup
banyak seri ER dan Grey’s Anatomy untuk tahu fungsi tes tersebut.
“Electrocardiography,” sambung Kafka. “Untuk memonitor aktivitas jantung supaya
kita bisa melihat apakah ada kelainan pada detak jantung Oom.” “Apa pasien
harus menginap untuk dites?” Tanya mamaku dengan hati-hati. Aku menarik napas
menunggu jawaban dari Kafka. Aku tahu betul bahwa kalau jawabannya adalah
“Iya”, sudah dapat kupastikan bahwa papaku tidak akan mau melakukannya. Papaku
adalah jenis orang yang sama sekali tidak suka tidur di tempat tidur yang bukan
tempat tidurnya sendiri. Itulah sebabnya kenapa papaku jarang sekali mau diajak
travel kalau kami harus menginap. “Oh, nggak. Pasien bisa langsung pulang.
Hanya mungkin datang untuk beberapa jam saja.” Entah kenapa, tapi sepertinya
ketika Kafka mengucapkan ini dia menatapku dan tersenyum simpul. Mungkin dia
bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba menyelimuti ruangan itu ketika kami
menunggu jawaban darinya, dan mencoba menenangkan kami semua. “Apa tes darahnya
harus di sini atau boleh di tempat lain?” tanyaku. Berdasarkan cerita yang
sudah kudengar, banyak dokter dan rumah sakit yang lebih mengutamakan factor
materi daripada kesehatan pasiennya. Banyak dari mereka yang bahkan akan
memaksa agar segala macam tes harus dilakukan di rumah sakit karena jasa
tersebut tidak ditawarkan di tempat lain. Menurutku semua itu omong-kosong
saja. “Dimana saja boleh selama mereka bisa melakukan tes yang diminta. Cari
saja lab yang dekat sama rumah Oom dan Tante, tidak perlu datang ke sini,” ucap
Kafka. Humph… sepertinya Kafka memang seorang dokter sejati, bukan pedagang
obat yang bersembunyi di belakang jaket putih dan menyebut diri mereka dokter.
Meskipun rumah sakit ini bukanlah yang terdekat dari rumahku, tapi inilah yang
menurutku paling kompeten, jadi pada dasarnya pilihan kami untuk datang ke
rumah sakit ini tidak bisa dibantah lagi. “Apa Oom sudah ada dokter penyakit
dalam?” Mamaku mengiyakan pertanyaan ini dan memberitahu Kafka nama dokter
penyakit dalam papa. Mama kemudian mengajukan beberapa pertanyaan kepada Kafka
yang dijawabnya dengan singkat dan padat. Kuperhatikan bahwa sepertinya Kafka
memang cukup ahli di bidangnya karena dia mencoba menjelaskan segala sesuatunya
dengan bahasa yang mudah dipahami oleh kami semua. Dua puluh menit kemudian
kami pun keluar dari ruang dokter itu dengan perasaan lebih pasti tentang
langkah selanjutnya yang harus kami ambil. Dalam perjalanan pulang Mama dan
Papa sama sekali tidak menanyakan tentang hubunganku dengan Kafka. Pikiran
mereka sepertinya penuh dengan keadaan kesehatan Papa yang memang jauh lebih
penting. Meskipun begitu, aku baru bisa betul-betul bernapas lagi setelah
keluar dari halaman rumah orangtuaku dan mobilku sudah meluncur kembali ke
jalan raya menuju kantor. ***
Selama
beberapa hari aku tenggelam dalam pekerjaanku dan terbebas dari keharusan untuk
bertemu dengan Kafka lagi karena aku, Kak Mikhel dan Kak Viktor sepakat untuk
merotasi tugas membawa Papa ke rumah sakit. Tetapi sepertinya aku tidak bisa
lari dari Kafka, karena kini Mama semakin sering menyebutkan nama “Dokter
Kafka” dengan nada antusias dan penuh pujian. Padahal aku sudah siap muntah
setiap kali mendengar nama itu disebut-sebut. “Nadia, kamu ditanyain sama
Dokter Kafka kemarin,” ucap Mamaku suatu hari ketika aku meneleponnya untuk
menanyakan perkembangan keadaan Papa. Saking terkejutnya aku sampai menyobek
bungkus Oreo dengan terlalu ganas, membuat semua Oreo berhamburan ke atas meja
kerjaku di kantor. Gita, seorang web designer yang masih junior, melongokkan
kepala dari atas kubikel di depanku. Aku hanya melambaikan tangan, menandakan
bahwa situasi masih terkendali. Wajah Gita kemudian menghilang dan aku kembali
memfokuskan perhatianku pada percakapan dengan mamaku yang sepertinya tidak
sadar akan efek dari informasi yang baru saja disampaikannya padaku. “Kamu
nggak pernah bilang Dokter Kafka itu temen SD kamu?” lanjutnya dengan nada
sedikit menuduh. Aku mengembuskan napas dengan sedikit kesal sambil mulai
mengumpulkan beberapa Oreo yang masih ada di atas mejaku dan tidak terjatuh ke
karpet. Humph… Kafka sudah cerita apa saja ke mamaku? Awas saja kalau dia
sampai cerita kejadian di Bali. Aku akan… akan… akan… yah pokoknya ngapain
dialah. Dan kalau bisa, apa pun yang akan kulakukan padanya itu bisa membuatnya
babak-belur. “Dia bukan temanku, Ma. Kebetulan saja dia juga murid di SD yang
sama di tahun yang sama,” ucapku akhirnya sambil berusaha menyelamatkan satu
Oreo yang menggelinding di atas meja dan hampir jatuh ke karpet. “Berarti dia
masih muda sekali, ya?” mamaku berdecak kagum. “Tapi dia itu benar-benar baik
banget. Perhatian sama papa kamu. Belum lagi…” mama lanjut menyebutkan dengan
detail setiap hal yang telah dilakukan oleh Kafka untuk papaku. Rasanya aku
ingin menutup telepon saat itu juga, tapi aku belum dapat update tentang papa.
“Papa gimana, Ma?” tanyaku, memotong omongan mamaku. Saat itu Gita muncul
sambil membawa mangkuk. Aku mengucapkan terima kasih tanpa suara padanya dan
mulai menempatkan Oreo yang masih bisa dimakan ke dalam mangkuk itu. Gita hanya
mengangguk sambil mencomot satu Oreo sebelum kemudian kembali ke kubikelnya.
Mamaku terdiam sejenak karena aku memotong alur pembicaraannya, bukan karena
tersinggung, tapi karena dia harus memfokuskan pikirannya pada hal baru. Selain
sebagai orang yang ramah, mamku juga terkenal sebagai orang yang pikirannya
suka lompat dari satu topic ke topic yang lain tanpa ada titik ataupun koma,
dan dia berharap orang lain bisa mengikutinya. “Papa… kata Dokter Kafka sih
cukup baik, Cuma memang makanannya harus lebih dikontrol lagi supaya tekanan
darahnya bisa lebih stabil dan nggak terlalu tinggi.” “Kan Dokter Budi sudah
bilang dari dulu supaya Papa jangan makan makanan yang terlalu berminyak,”
balasku sambil berlutut dan mulai memungut Oreo yang berserakan di karpet di
bawah meja kerjaku satu per satu untuk dibuang ke tempat sampah. Aku tahu betul
bahwa selama setahun belakangan ini Dokter Budi, internis langganan Papa, sudah
mewanti-wanti orangtuaku soal ini. Aku tiba-tiba jadi curiga kenapa mamaku
terdengar seperti merasa bersalah. “Papa sudah nggak makan pisang goreng setiap
pagi lagi kan, Ma?” “Nggak sih… Cuma…”
“Cuma
apa? Nggak pakai Cuma, Ma. Kalau memang nggak boleh ya nggak boleh.” “Tapi Mama
suka kasihan sama Papa kamu. Dia kan memang sukanya pisang goreng.” “Ya aku
juga sukanya makan cokelat setiap hari tapi aku nggak bisa soalnya nanti
jerawatan,” balasku dengan sedikit tajam. Aku sudah berhasil membuang semua
Oreo yang tadi berada di karpet ke tempat sampah dan duduk kembali di kursiku.
Mamaku terdiam, yang membuatku jadi merasa bersalah karena sudah mengomelinya.
“Kafka ngomong apa lagi?” “Dokter Kafka?” Aku terpaksa menggigit lidahku agar
tidak berteriak frustasi. “Iya,” jawabku pendek. Dalam hati aku menyumpah, “Ya
iyalah Kafka yang itu. Mana aku kenal Kafka yang lain? Satu Kafka saja sudah
cukup. Amit-amit, amit-amit kalau sampai ada dua,” sambil mengetukkan buku
jariku ke meja kerja. “Oh iya, Mama kan bilang kamu kerja dan agak sibuk jadi
mungkin nggak bisa nemenin Papa untuk beberapa pertemuan ke depan, terus dia
kelihatan agak kecewa gitu lho, Nad. Mama kan jadi nggak tega. Jadi Mama kasih
saja nomor HP kamu, jadi kan dia bisa kontak kamu kapan saja.” “Hah?” teriakku
terkejut dan sekali lagi kepala Gita muncul dari atas kubikel untuk mengetahui
apa yang terjadi. Kali ini aku mengabaikannya dan hanya memutar kursiku agar
membelakanginya. “Lho, kok kamu kaget gitu? Nggak apa-apa kan kalau Dokter
Kafka mau kontak kamu?” “Mama kasih nomor HP aku?” aku masih tidak bisa
memercayai nasibku yang semakin hari kok rasanya semakin sial saja. Aku tidak
menerima balasan atas pertanyaanku ini. Aku justru mendengar suara-suara yang
teredam dari ujung saluran telepon. Sepertinya Mama sedang berbicara dengan
orang lain. “Halo,” ucapku. “Ma?” untuk menyakinkan bahwa percakapan ini
bermasalah bukan karena sinyal HP yang lemah aku pun melirik kepada HP yang
berada di genggamanku. Hp-ku menunjukkan bahwa sinyalnya penuh. Sekali lagi aku
mencoba memanggil mamaku, tapi sepertinya dia kini terlibat dalam percakapan
tentang bermacam-macam cara memasak tahu Jepang, atau mungkin kembang tahu.
Setelah beberapa menit mencoba mengikuti arah percakapan itu dan aku malah jadi
semakin bingung, akhirnya aku memutuskan menunggu hingga mamaku selesai
berbicara dengan siapa pun yang sedang ngobrol dengannya dan kembali
menumpukkan perhatiannya padaku. Kuambil satu Oreo dari dalam mangkuk dan mulai
memakannya sedikit demi sedikit. Di antara semua semua biscuit yang dijual di
pasaran, favoritku memang Oreo semenjak aku pergi ke Singapura sewaktu SMP dan
merasakan biscuit dengan jumlah kalori yang sama dengan burger McDonald’s itu.
“Sori, Nadia, sudah dulu ya teleponnya,” ucap mamaku tiba-tiba, dan sebelum bisa
betul-betul sadar apakah Mama memang sedang berbicara padaku, dia sudah menutup
telepon itu. Kutatap HP-ku dengan gemas, seakan-akan benda itu adalah wajah
mamaku. Jelas-jelas aku dongkol, tapi aku akhirnya hanya menggeleng dan
menyimpan HP-ku kembali ke dalam tas. Jam makan siang sudah berlalu dan aku
harus kembali kerja lagi. “Ada masalah, Nad?” Tanya Gita. Kali ini dia tidak
hanya melongokkan kepalanya di atas kubikel, tetapi berdiri di pintu masuk
kubikelku. “Nggak ada,” jawabku sambil tersenyum. Gita sepertinya tidak
memercayai kata-kataku, tetapi dia tidak memaksaku. Dia hanya mengangkat kedua
alisnya seakan-akan menantangku untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Ketika
aku tetap tidak mengucapkan apa-apa, dia akhirnya meninggalkanku sendiri
dengan
pikiranku. Meskipun aku orang yang paling ramah di kantor ini, sebetulnya tidak
banyak orang yang tahu tentang kehidupan pribadiku. Dan aku mau tetap menjaga
privacy itu. Lain dengan ketiga sobatku yang selalu kelihatan nyaman dengan
diri mereka sendiri, aku selalu merasa bahwa aku sangat kurang. Kurang cantik
dibandingkan Jana, kurang gaul daripada Dara, dan kurang ambisius dibandingkan
Adri. Intinya, aku merasa bahwa aku tidak memiliki kelebihan apa pun yang bisa
kutonjolkan. Inilah yang membuatku jadi kurang percaya diri. Alhasil, aku tidak
pernah betul-betul jadi diriku sendiri di depan orang lain. Semua orang yang
mengenalku hanya tahu bahwa aku orang yang ramah dan selalu siap membantu. Tapi
kenyataannya adalah, aku melakukan itu semua agar orang menyukaiku dan mau jadi
temanku. Tidak ada yang tahu bahwa aku orangnya tidak suka basa-basi dan bahwa
aku menyimpan buku harian, satu-satunya tempat aku bisa betul-betul menumpahkan
semua yang kurasakan tanpa harus mengkhawatirkan pendapat orang lain jika mendengar
apa yang telah kutuliskan di dalamnya. Mungkin satu-satunya orang yang pernah
melihat sifat asliku adalah Kafka. Aku berani menunjukkan diriku yang
sebenarnya padanya karena aku tidak perlu mengkhawatirkan pendapatnya
tentangku, karena aku tidak peduli akan pendapatnya. ***
Aku sedang sibuk browsing
Internet untuk mencari tahu tentang bermacam-macam penyakit jantung ketika
tiba-tiba suara Josh Groban terlantun. Kulirik layar HP-ku dan langsung
mengerutkan keningku. “Unknown”. Itulah kata yang tertuliskan pada layar. Aku
paling benci dengan orang yang menggunakan fasilitas semacam ini. Menurutku
nomor telepon adalah hak milik umum dan kecuali dia adalah Presiden Republik
Indonesia (itu pun tidak betul-betul pengecualian juga), orang seharusnya tidak
diperbolehkan menyembunyikan nomor telepon mereka. Kubiarkan telepon itu
berbunyi. Kalau memang telepon itu penting, maka mereka akan meninggalkan
voicemail atau mengirimkan SMS. Untungnya aku memang tidak pernah memberikan
nomor HP-ku kepada klien, jadi aku bisa pasti bahwa yang menelepon bukanlah
salah satu klienku. Dan nomor telepon keluarga dekat-ku, orang-orang di
kantorku dan teman-temanku sudah tercatat di dalam address book HP-ku, jadi
nama mereka pasti akan langsung muncul di layar kalau memang mereka yang
menelepon. Tidak lama kemudian lagi Broken Vow itu pun berhenti dan aku kembali
focus pada risetku. Papa sudah menjalankan segala macam tes yang harus
dilakukan, termasuk EKG dan tes stress jantung. Untuk pertemuan selanjutnya,
saat Kafka akan memberitahu hasil semua tes itu, akulah yang akan mengantarkan
Papa. Oleh karena itu aku melakukan riset ini supaya bisa lebih memahami
keadaan kesehatan Papa ketika Kafka menjelaskan hasil tes itu nanti. Aku tidak
pernah tahu bahwa ternyata ada bermacam-macam jenis penyakit jantung. Ada yang
menyerang arteri saja, ada yang berurusan khusus dengan otot jantung, pembuluh
darah, atau bahkan organ jantung itu sendiri. Ada pula penyakit jantung yang
disebabkan tekanan darah tinggi. Penyakit jantung jenis inilah yang aku
takutkan diderita papaku. Aku sedang mencoba mengingat-ingat nama semua jenis
penyakit ini ketika sekali lagi suara Josh Groban terdengar dan ketika kulirik
layar, ternyata si “Unknown” lagi yang menelepon. “Halo, siapa nih?” ucapku
menjawab telepon itu dengan nada acuh tak acuh. Aku tidak perlu terlalu
beramah-tamah dengan orang yang kemungkinan besar hanya mau iseng.
“Mudah-mudahan itu bukan cara kamu ngejawab setiap telepon. Kayaknya orang
bakalan langsung mikir kalau mereka salah sambung,” ucap suara yang tidak aku
kenal dari ujung saluran telepon.
“Mas, kayaknya salah sambung deh,” balasku dan
sudah siap untuk menutup teleponku. “Eh, Nad, jangan ditutup. Ini Kafka.” Aku
tidak tahu apa yang kupikirkan ketika melakukannya, tetapi aku menyalahkan semua
ini pada Oreo yang dengan jumlah kalorinya telah memperlambat fungsi jantungku
memompa darah ke otak, sehingga menyebabkan organ tersebut tidak bisa berfungsi
dengan sempurna. “Ooo… hhh, cari Nadia, ya? Dia lagi nggak ada di sini. Dia
lagi ke kamar mandi. Telepon lagi saja nanti,” jawabku lalu buru-buru menutup
telepon dan loncat-loncat seperti orang kesetanan sambil berteriak kesal di
dalam kamar kosku. “Dasar goblooo…k. apa nggak ada alasan lain?” teriakku
memarahi diriku sendiri. What is wrong with me? Aku berharap bahwa Kafka
percaya akan kebohonganku, tetapi aku tahu bahwa meskipun otak Kafka mungkin
agak kurang sewaktu SD, tetapi bukan berarti dia bodoh. Toh buktinya dia
sekarang sudah jadi seorang dokter yang cukup bergengsi, lulusan The Royal College
of Surgeon di Inggris pula. Aku tahu semua ini karena sebegitu bencinya aku
sama makhluk satu ini sampai-sampai aku pergi ke website rumah sakit spesialis
jantung tempatnya praktik untuk mencari tahu tentang latar belakang
pendidikannya. Dia bukan hanya lulusan Inggris, tetapi dia juga menyelesaikan
residency-nya di sebuah rumah sakit bernama Beaumont, di Dublin, Irlandia
selama dua tahun setelah mengambil spesialisasi Kardiologi. Kalau saja aku tahu
bahwa informasi selengkap ini tersedia di website rumah sakit, mungkin aku
sudah mengusulkan papaku untuk pergi ke dokter lain, sehingga menghindari
dilemma yang sekarang kuhadapi karena harus bertemu dengan Kafka lagi. Sekali
lagi kudengar teleponku berbunyi dan tanpa harus melihat layar, aku sudah tahu
itu adalah Kafka. “Halo, Kaf, sori, tadi aku lagi di kamar mandi,” ucapku
terburu-buru. “Nadia?” kudengar suara mamaku yang terdengar agak panic. “Mama?”
ucapku terkejut, bercampur lega, tetapi juga agak sedikit kesal karena Kafka
tidak meneleponku balik. “Nadia, Papa baru kena serangan jantung dan akan
dibawa ke UGD…” Tiba-tiba aku tidak bisa mendengar apa pun yang mamaku sedang
coba katakana. Kalau sampai papaku harus dibawa ke UGD, berarti keadaan
jantungnya lebih parah daripada yang kuperkirakan. Seperti tiba-tiba terbangun
dari mimpi, aku langsung mengambil ahli keadaan dan memberitahu Mama bahwa aku
akan berangkat sekarang juga ke rumah sakit. Kulirik Jam dinding yang sudah
menunjukkan jam delapan malam. Aku hanya sempat mengambil tas dan kunci mobilku
sambil berusaha mengenakan sepatuku pada saat yang bersamaan. Setelah itu aku
berlari menuju mobilku sambil menelepon keadaan kedua kakakku yang ternyata
sudah ditelepon lebih dulu oleh Mama. Crash Into You - AliaZalea - Bab 5
No comments:
Post a Comment