Bab 5
21 September
Sori lama nggak ngasih kabar. Gue sibuk banget nih. Belum soal
kerja, terus ketakutan urusan jantung Papa. Pakai ditambah sama si kuya satu
tuh yang nggak bosan-bosannya gangguin gue. Apa dia nggak bisa cari korban
lainnya apa? Kenapa mesti gue? *** AKULAH yang terakhir sampai di rumah sakit
karena memang kosku paling jauh dan di daerah yang cukup macet untuk hari Sabtu
malam. Kutemukan Mama sedang dipeluk oleh Kak Mikhel, aku tidak melihat Kak
Viktor sama sekali. Buru-buru aku berlari menghampiri mereka. “Papa… gimana…
Ma?” tanyaku sambil berusaha menarik napas. Lain dengan ketiga sobatku, aku
memang paling tidak atletis di antara kami berempat. Dengan keaktifanku di OSIS
aku sama sekali tidak punya waktu untuk melakukan apa-apa lagi. Boro-boro
olahraga, biasanya sepulang sekolah aku sudah mau pingsan rasanya, tambahan
lagi dengan penyakit darah rendahku, aku lebih mudah merasa lelah. Kulihat Kak
Mikhel hanya mengangguk dengan wajah serius dan aku tiba-tiba panic, terutama
ketika menyadari bahwa wajah mamaku sudah basah kuyup oleh air mata. NOOO! Hatiku
berteriak. Nggak mungkin. Menurut Kak Viktor yang membawa Papa untuk dites
seminggu lalu, Papa masih sehat-sehat saja. “Kak?” kutatap wajah Kak Mikhel dan
tiba-tiba aku tidak bisa lagi membendung air mataku. Kutenggelamkan wajahku di
antara kedua tanganku dan menangis sejadi-jadinya. “Nad?” kudengar suara Kak
Mikhel dan mamaku yang mengucapkan namaku pada saat yang bersamaan. “Lho, ini
kenapa kok tiba-tiba nangis?” lanjut Kak Mikhel yang terdengar bingung. Aku
masih tidak berani menunjukkan wajahku. Aku harusnya lebih banya menghabiskan
waktu dengan Papa selama ini. Setidak-tidaknya aku tidak perlu kos, aku bisa
tinggal di rumah dengan mereka, meskipun itu berarti aku harus menempuh jarak
dua jam setiap pagi untuk ke kantor dan dua jam lagi untuk pulang. Aku
seharusnya tidak perlu menghiraukan Kafka dan tetap menemani papaku setiap kali
dia perlu pergi ke dokter beberapa minggu belakangan ini. Kemudian kudengar ada
bunyi roda yang bersentuhan dengan lantai rumah sakit dan tangisku jadi semakin
keras. Aku seperti sedang berada dalam sinetron saat para dokter baru saja
selesai memeriksa jasad pasien dan membawa jasad itu keluar dari ruang otopsi
agar anggota keluarga bisa melihatnya. “Nadia.” Kudengar bisikan suara mamaku
dan aku langsung menyerangnya dengan pelukan yang cukup ganas. Mamaku hampir
saja jatuh karena serangan itu. “Mama hiks… aku minta maaf, Ma…” ucapku di
antara isak tangisku. Tiba-tiba kudengar suara Kak Viktor menuduh Kak Mikhel.
“Kel, lo apain si Nadia sampai jadi begitu?” “Mana gue tahu. Dia tahu-tahu saja
nangis nggak ada sebab. Cewek tuh memang aneh,” balas Kak Mikhel sambil tertawa
yang disusul oleh Kak Viktor. “Sssttt,” ucap mamaku dan kedua kakakku langsung
terdiam dan meninggalkan aku dengan Mama sendiri. Ternyata Papa benar, Kak Mikhel
dan Kak Viktor memang tidak punya hati. Bagaimana mungkin mereka masih bisa
tertawa? Papa mereka baru meninggal. Oh Papa… meskipun sering membuatku stress,
tetapi dia tetap papaku dan aku cinta dia. Pada saat itu aku teringat akan
semua hal yang pernah Papa lakukan untukku. Papa yang mengantarkanku ke sekolah
pada hari pertamaku masuk SD, Papa yang
mengantarku
ke rumah sakit ketika kepalaku berdarah karena jatuh dari ayunan, Papa
membawaku ke Dunia Fantasi sewaktu aku berumuran dua belas tahun dan harus membersihkan
bajuku dari muntahan setelah turun dari Ontang-Anting, dan Papa yang menghadiri
wisuda S1-ku di Melbourne, meskipun dia tidak suka travel. “Nadia,” ucap mamaku
dengan lembut. “Kenapa nangis, sayang?” Sepertinya situasi menangisku cukup
parah karena Mama hanya akan menggunakan kata “Sayang” untuk anak-anaknya dalam
situasi superdarurat saja. “Papa, Ma… hiks… Papa sudah… sudah hiks hiks… nggak
ada.” Dengan susah payah aku berusaha mengucapkan kata-kata itu. Mamaku
melepaskan pelukannya dan menatap wajahku. Dia kelihatan bingung. Wajahnya
sudah bersih dari air mata, meskipun matanya masih terlihat agak bengkak. Lalu
tiba-tiba tangannya sudah melayang ke keningku, suatu hal yang biasa dilakukan
olehnya untuk memeriksa apakah aku sakit. “Nggak panas,” gumam Mama. “Aku hiks…
nggak sakit, Ma,” jelasku dan berusaha menyingkirkan tangan Mama dari keningku.
“Habis kamu ngomongnya ngaco. Mama jadi khawatir,” ucap Mama. “Ngaco… hiks…
gimana?” aku berusaha mencari tisu dari dalam tasku. Ketika menemukannya aku
langsung mengusap mataku. “Kamu bilang Papa sudah nggak ada.” Mendengar Mama
mengucapkan kata-kata itu dengan enteng membuatku jadi marah. “Tapi Papa memang
hiks hiks… sudah nggak ada, kan, hiks… Ma?” ucapku sambil bertolak pinggang.
Apa Mama sama-sama tidak punya hati seperti kedua Kakak laki-lakiku itu? Mama
sudah menikah dengan Papa selama hampir empat puluh tahun, setidak-tidaknya dia
bisa menunjukkan sedikit belas kasihan… Tiba-tiba Mama tertawa terbahak-bahak.
Dia bahkan harus menyandarkan tubuh ke dinding dan membungkuk sambil memegangi
dada. Pada saat itu aku betul-betul khawatir Mama tiba-tiba jadi gila karena
terlalu stress. Aku tidak pernah bertemu wanita mana yang akan tertawa
terbahak-bahak setelah suaminya meninggal, minus Anna Nicole Smith tentunya.
Mantan bintang Playboy itu mungkin bahkan langsung mengadakan pesta
besar-besaran setelah suaminya yang umurnya delapan puluh tahun itu masuk liang
kubur, meninggalkan Anna Nicole sebagai pewaris hartanya yang berjumlah
miliaran dolar. Aku baru saja akan mengatakan pada Mama apa yang ada di
pikiranku ketika tiba-tiba kulihat Kafka berjalan ke arah kami dengan langkah
pasti. Langkah yang hanya dimiliki oleh laki-laki yang betul-betul merasa
nyaman dengan dirinya sendiri. Entah kenapa, tapi tiba-tiba aku mengalami
masalah bernapas. Dia hanya mengenakan kaus polo berwarna abu-abu, celana
panjang khaki, dan sepatu gaya moccasins. Aku harus akui bahwa sobat-sobatku
benar. Kafka memang “HOT”, seperti roti yang baru keluar dari pemanggangan.
Selama lebih dari dua decade ini aku hanya mengingat semua tingkah laku
isengnya padaku sehingga sama sekali tidak pernah memperhatikan wajahnya.
Rambutnya yang ikal dibiarkan tumbuh agak panjang sehingga sedikit menutupi
kening. Dia sebetulnya lebih terlihat seperti seorang mahasiswa kedokteran,
bukan dokter. Yang jelas dia kelihatan jauh lebih muda daripada umurnya. Aku
jadi curiga apakah wajah awet mudanya itu memang berkah dari Tuhan atau karena
bantuan jarum dan pisau. Kafka langsung tersenyum ketika melihatku dan di balik
matanya yang kini aku sadari kelihatan-apa kata yang lebih tepat untuk
menggambarkan matanya… “teduh”, itulah kata yang tepat- dia kelihatan agak
khawatir. Aku bisa tenggelam di mata itu, pikirku dan harus menggeleng ketika
menyadari kata-kata
yang
baru saja terlintas di dalam pikiranku. Kata-kata itu lebih tepat untuk
diucapkan oleh wanita-wanita pemimpin yang membayangkan diri mereka sebagai
seorang putri yang suatu hari akan dibangunkan dari tidur panjang dengan satu
ciuman dari seorang pangeran. Lalu mereka akan hidup bahagia selama-lamanya.
Bullshit. Buru-buru kusapu sisa-sisa air mata pada wajahku dan menelan
sisa-sisa kesedihanku. Aku tidak mau dia melihatku menangis lagi. Setelah yakin
bahwa wajahku sudah kering, bukannya membalas senyumannya, aku memilih
mengerutkan dahi dan memasang muka cemberut. Ngapain pula setan satu ini ada di
sini? Omelku dalam hati. Aku sebetulnya ingin menghindar, tetapi tidak tahu ke
mana aku harus pergi. Aku bahkan tidak tahu ke mana kedua kakakku menghilang.
“Selamat malam, Tante,” ucap Kafka pada mamaku yang langsung berhenti tertawa
dan menegakkan tubuh. Aku baru menyadari beberapa detik kemudian bahwa Mama
terlihat tersipu-sipu. Oh my Goooddd, aku bisa merasakan muntah mendesak di
tenggorokanku. Sejak kapan orang dewasa bisa tahan, bahkan memuja Kafka?
Seingatku tidak ada satu guru pun yang bisa tetap menjaga kesabaran mereka
kalau dihadapkan dengan Kafka, tapi sejak kapan juga jantungku jadi
berdebar-debar seperti ini setiap kali melihatnya? Oke, aku mengaku kalah.
“Saya datang secepat mungkin
setelah ditelepon rumah sakit. Maaf, kalau agak terlambat,” lanjut Kafka. “Oh…
Dokter Kafka memang tinggalnya di mana?” Aku sudah siap mencekik Mama. Penting
nggak sih dia menanyakan hal itu? Lagian juga sebagai dokter, Kafka tidak
mungkin akan… “Saya tinggal nggak jauh dari sini, Tante,” ucap Kafka sambil
mengeluarkan kartu nama dan memberikan satu pada Mama dan satu padaku. Dia
melanjutkan penjelasannya tentang lokasi rumahnya dengan sangat detail. Oke,
mungkin aku salah, Kafka kelihatan tidak peduli sama sekali kalau pasiennya
tahu di mana dia tinggal. Aku sedang melirik kartu nama yang ada di tanganku
ketika Kafka menariknya dari genggamanku dan menuliskan sesuatu di baliknya
sebelum mengembalikannya padaku. Seperti juga ketika waktu dia mengembalikan
clutch-ku di Bali, dia menggenggam tanganku sebelum menjatuhkan kartu nama itu
di atas telapak tanganku. Sekali lagi kusadari betapa kecilnya tanganku di
bandingkan dengan tangannya. “Itu nomor HP-ku. Jadi kamu bisa telepon aku
langsung kalau ada emergency lagi sama papa kamu,” ucap Kafka pelan. Kualihkan
perhatianku dari tanganku ke wajahnya. Emergency lagi? Apa aku tidak salah
dengar? Tidak akan pernah ada emergency lain yang akan menyangkut Papa yang
pada detik ini tubuhnya sudah semakin mendingin, dan aku belum sempat
melihatnya sama sekali. “Kafka kamu nggak lucu,” desisku sambil menatap Kafka
tajam. Aku tidak menyangka bahwa setelah hampir dua puluh tahun kosakata bahasa
Indonesia-ku tidak berkembang banyak, karena aku masih menggunakan kata-kata
yang sama ketika aku SD. Kafka kelihatan terkejut dengan kata-kataku. Kutarik
tanganku dari genggamannya dengan paksa, tapi Kafka malah justru mengeratkan
genggamannya. “Nad, maksud kamu apa?” suara Kafka terdengar berat dan ia menyipitkan
matanya ketika menanyakan ini. Aku berusaha untuk mundur selangkah, bukan hal
yang gampang mengingat betapa eratnya genggaman Kafka pada tanganku. Aku
mencoba menelan tangisku dan menahan diri agar tidak tersedak. “Bisa-bisanya
kamu Tanya ke aku
maksud
aku apa.” Kutarik napasku dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Papaku sudah
meninggal, Kaf. Aku nggak pernah dan nggak akan pernah telepon kamu kalau ada
emergency lagi, karena nggak pernah akan ada emergency lagi.” Dan untuk yang
kedua kalinya malam itu dalam selang waktu kurang dari tiga puluh menit, aku
menangis lagi. “Nad.” Kafka mencoba menarikku ke dalam pelukannya. Aku berusaha
mendorongnya agar menjauh, suatu usaha yang sia-sia karena aku seperti sedang
berusaha mendorong dinding beton. Akhirnya aku menyerah dan membiarkannya
memelukku, mengusap-usap punggungku, bahkan mencium rambutku. Setelah sekitar
sepuluh menit dan tangisku sudah agak reda, Kafka berkata, “Nadia, Papa kamu
baik-baik saja.” Aku hanya menggeleng tidak percaya. “Sumpah aku nggak bohong,”
lanjut Kafka dan mengeratkan pelukannya. Mendengar nada Kafka yang penuh dengan
kepastian, aku pun mencoba melepaskan diri dari pelukannya supaya bisa menatap
wajahnya. Ketika tatapanku jatuh pada Kafka yang kemudian mengangguk, untuk
pertama kalinya secercah harapan muncul di benakku. “Apa? Tapi mamaku…
maksudku.. Kak Mikhel… tapi…” aku tergagap menjelaskan kebingunganku. Kutarik
napas dalam sebelum berbicara lagi, “Kamu yakin?” tanyaku masih ragu. Kafka
mengangguk. “Aku minta papa kamu masuk kamar rawat inap, karena jantungnya
masih perlu dimonitor untuk beberapa hari ini. Aku belum tahu kenapa tiba-tiba
kok serangan jantungnya jadi akut, tapi begitu aku tahu sebabnya, kamu dan
keluarga kamu akan tahu juga,” lanjutnya Aku masih tidak bisa memercayai
kata-katanya. Aku menoleh kepada Mama yang sedang menatap kami dengan mata
terbelalak. “Ma?” tanyaku padanya yang disambut dengan anggukan pasti darinya
Dan darah mulai mengalir kembali ke sekujur tubuhku. Kuembuskan napas lega.
Kemudian kurasakan dua tangan besar pada sisi kiri dan kanan wajahku, memintaku
menatap pemiliknya. “Jangan nangis lagi, ya. Aku nggak bisa kalau lihat kamu
nangis.” Ucap Kafka dengan nada yang kalau tidak diucapkan oleh Kafka mungkin
bisa aku kategorikan sebagai lembut. Tetapi aku tahu bahwa kata ”lembut” dan
“Kafka” tidak akan mungkin ditemukan dalam satu kalimat. Tetapi sekali lagi aku
salah, karena Kafka kemudian menggunakan ibu jarinya untuk mengusap air mata
yang membasahi pipiku dan membelai untaian rambutku yang sudah terlepas dari
ikatan kuncir kudanya dan kini terjuntai layu pada keningku. Tiba-tiba aku
teringat akan pengalaman SD-ku ketika Kafka mengucapkan kata-kata seperti itu
juga sebelum kemudian menyebarkan gosip tentangku. Entah kenapa, tapi kali ini
aku percaya bahwa dia tidak akan mengulang kelakuan kekanak-kanakannya itu. Aku
tidak tahu apa yang telah terjadi di antara SD kelas 6 hingga pertemuanku
dengan Kafka di Bali dan malam ini. Apa aku bahkan menatap laki-laki yang sama?
Atau ternyata tanpa sepengetahuanku Kafka memiliki saudara kembar yang mirip
sekali dengannya tetapi memiliki sifat yang bertolak belakang? Atau mungkin
klon yang superbaik? Tidak aneh kalau mengingat bahwa Kafka adalah seorang
dokter dan zaman sekarang ilmu kedokteran sudah cukup canggih untuk bisa
melakukan hal ini. Pada intinya, segala tindakan Kafka membuatku bingung. Aku
tersadar kembali ke realita ketika mendengar ada orang sedang terbatuk-batuk.
Kafka kelihatan belum rela melepaskan wajahku, tetapi melihat wajah sangar Kak
Viktor, dia terpaksa melakukannya kalau tidak mau dikenal sebagai Dokter Kafka
yang matanya bengkak dan berwarna biru selama beberapa hari ke depan.
“Papa
mau ketemu kita semua,” ucap Kak Viktor sambil menyipitkan matanya pada Kafka
yang kelihatan tidak terpengaruh sama sekali oleh ancaman kepalan tinju kakakku
yang siap melayang sebentar lagi. Aku lalu meninggalkan sisi Kafka untuk
menggandeng Mama dan mengikuti Kak Viktor menuju kamar Papa yang ternyata
berada di ujung lorong itu. Ketika aku menoleh, kulihat Kafka sedang berbicara
dengan seorang suster, tetapi dia menoleh untuk melambaikan tangannya padaku
sambil tersenyum. ***
Selama Papa menginap di rumah
sakit, Kafka selalu datang untuk memeriksa keadaan pasiennya itu tepat jam tiga
sore, setelah dia selesai dengan jam praktiknya. Dan hari ini pun tidak ada
pengecualian. Kali ini Kafka mengenakan celana panjang berwarna hitam dengan
sedikit garis-garis tipis berwarna biru. Kemeja putihnya yang superputih itu
dihiasi dasi berwarna biru tua dengan bercak-bercak hitam. Sejujurnya dia lebih
kelihatan seperti seorang model yang baru selesai pemotretan majalah fashion
daripada seorang dokter yang baru selesai praktik. Papaku yang sudah bangun
dari tidur siangnya kelihatan semakin membaik, dan Kafka memberitahukan bahwa
dia sudah diperbolehkan pulang besok. Aku sangat bersyukur dengan berita ini
karena tingkat kesabaranku dengan Papa sudah hampir habis. Selama beberapa hari
ini Papa bertingkah laku seperti balita yang superbawel. Dia tidak suka makanan
yang diberikan rumah sakit dan minta dibelikan makanan-makanan yang jelas-jelas
dilarang oleh dokter. Dia juga minta dibawakan bantal, guling, dan selimut dari
tempat tidurnya di rumah. Sebetulnya kalau tidak dengan campur tangan Kak
Viktor, Papa sudah mewek minta dibawakan tempat tidur dan kasurnya sekalian.
Dan satu hal yang hampir membuatku tertawa meskipun kesal adalah ketika Papa
minta kamarnya disemprot Old Spice, kolonye yang biasa digunakannya, karena
menurutnya kamar itu baunya seperti rumah sakit. Kulihat Kak Mikhel sudah siap
nyeletuk bahwa Papa memang sekarang sedang berada di rumah sakit, buru-buru aku
mengerling padanya dan Kak Mikhel pun dengan susah payah mencoba menahan diri.
“Kalau begitu saya tinggal dulu ya, Oom, Tante. Tolong saya ditelepon saja
kalau memang ada hal yang perlu ditanyakan. Nadia punya nomor HP saya.” Kulihat
Mama menatap Kafka seperti laki-laki satu ini adalaha malaikat penyelamat yang
baru turun dari surga. Kuputar bola mataku dan mengalihkan perhatian pada TV
yang sedang menayangkan sinetron dengan jalan cerita yang sangat tidak bermutu,
tetapi sinetron itu pun akan kelihatan menarik kalau dengan menumpukan
perhatianku padanya berarti bahwa aku bisa menghindari Kafka. Setiap kali Kafka
datang untuk menemui Papa, dia selalu berusaha mendekatiku dan menanyakan
kabarku, yang selalu aku balas dengan sopan tapi dingin. Dia memang mulai
kelihatan kesal dengan tingkah lakuku, tapi selama ini dia tidak berani
memojokkanku di depan orangtuaku, sehingga selama beberapa hari ini aku cukup
aman. “Nad, bisa kita bicara sebentar di luar?” Pertanyaan Kafka membuatku
terkejut, sepertinya dia sudah tidak lagi peduli bahwa orangtuaku ada di situ
dan kini sedang menatap kami berdua dengan pandangan ingin tahu. Karena tidak
mau membuat keadaan jadi semakin tidak enak, aku memutuskan mengabulkan
permintaan Kafka dan melangkah keluar dari kamar Papa. Kafka mengikutiku dan
menutup pintu dengan perlahan sebelum kemudian menghadapku.
Crash Into You - AliaZalea - Bab 6
No comments:
Post a Comment