Saturday, September 5, 2015

Crash Into You - AliaZalea - Bab 5

Bab 5 

21 September
 Sori lama nggak ngasih kabar. Gue sibuk banget nih. Belum soal kerja, terus ketakutan urusan jantung Papa. Pakai ditambah sama si kuya satu tuh yang nggak bosan-bosannya gangguin gue. Apa dia nggak bisa cari korban lainnya apa? Kenapa mesti gue? *** AKULAH yang terakhir sampai di rumah sakit karena memang kosku paling jauh dan di daerah yang cukup macet untuk hari Sabtu malam. Kutemukan Mama sedang dipeluk oleh Kak Mikhel, aku tidak melihat Kak Viktor sama sekali. Buru-buru aku berlari menghampiri mereka. “Papa… gimana… Ma?” tanyaku sambil berusaha menarik napas. Lain dengan ketiga sobatku, aku memang paling tidak atletis di antara kami berempat. Dengan keaktifanku di OSIS aku sama sekali tidak punya waktu untuk melakukan apa-apa lagi. Boro-boro olahraga, biasanya sepulang sekolah aku sudah mau pingsan rasanya, tambahan lagi dengan penyakit darah rendahku, aku lebih mudah merasa lelah. Kulihat Kak Mikhel hanya mengangguk dengan wajah serius dan aku tiba-tiba panic, terutama ketika menyadari bahwa wajah mamaku sudah basah kuyup oleh air mata. NOOO! Hatiku berteriak. Nggak mungkin. Menurut Kak Viktor yang membawa Papa untuk dites seminggu lalu, Papa masih sehat-sehat saja. “Kak?” kutatap wajah Kak Mikhel dan tiba-tiba aku tidak bisa lagi membendung air mataku. Kutenggelamkan wajahku di antara kedua tanganku dan menangis sejadi-jadinya. “Nad?” kudengar suara Kak Mikhel dan mamaku yang mengucapkan namaku pada saat yang bersamaan. “Lho, ini kenapa kok tiba-tiba nangis?” lanjut Kak Mikhel yang terdengar bingung. Aku masih tidak berani menunjukkan wajahku. Aku harusnya lebih banya menghabiskan waktu dengan Papa selama ini. Setidak-tidaknya aku tidak perlu kos, aku bisa tinggal di rumah dengan mereka, meskipun itu berarti aku harus menempuh jarak dua jam setiap pagi untuk ke kantor dan dua jam lagi untuk pulang. Aku seharusnya tidak perlu menghiraukan Kafka dan tetap menemani papaku setiap kali dia perlu pergi ke dokter beberapa minggu belakangan ini. Kemudian kudengar ada bunyi roda yang bersentuhan dengan lantai rumah sakit dan tangisku jadi semakin keras. Aku seperti sedang berada dalam sinetron saat para dokter baru saja selesai memeriksa jasad pasien dan membawa jasad itu keluar dari ruang otopsi agar anggota keluarga bisa melihatnya. “Nadia.” Kudengar bisikan suara mamaku dan aku langsung menyerangnya dengan pelukan yang cukup ganas. Mamaku hampir saja jatuh karena serangan itu. “Mama hiks… aku minta maaf, Ma…” ucapku di antara isak tangisku. Tiba-tiba kudengar suara Kak Viktor menuduh Kak Mikhel. “Kel, lo apain si Nadia sampai jadi begitu?” “Mana gue tahu. Dia tahu-tahu saja nangis nggak ada sebab. Cewek tuh memang aneh,” balas Kak Mikhel sambil tertawa yang disusul oleh Kak Viktor. “Sssttt,” ucap mamaku dan kedua kakakku langsung terdiam dan meninggalkan aku dengan Mama sendiri. Ternyata Papa benar, Kak Mikhel dan Kak Viktor memang tidak punya hati. Bagaimana mungkin mereka masih bisa tertawa? Papa mereka baru meninggal. Oh Papa… meskipun sering membuatku stress, tetapi dia tetap papaku dan aku cinta dia. Pada saat itu aku teringat akan semua hal yang pernah Papa lakukan untukku. Papa yang mengantarkanku ke sekolah pada hari pertamaku masuk SD, Papa yang
mengantarku ke rumah sakit ketika kepalaku berdarah karena jatuh dari ayunan, Papa membawaku ke Dunia Fantasi sewaktu aku berumuran dua belas tahun dan harus membersihkan bajuku dari muntahan setelah turun dari Ontang-Anting, dan Papa yang menghadiri wisuda S1-ku di Melbourne, meskipun dia tidak suka travel. “Nadia,” ucap mamaku dengan lembut. “Kenapa nangis, sayang?” Sepertinya situasi menangisku cukup parah karena Mama hanya akan menggunakan kata “Sayang” untuk anak-anaknya dalam situasi superdarurat saja. “Papa, Ma… hiks… Papa sudah… sudah hiks hiks… nggak ada.” Dengan susah payah aku berusaha mengucapkan kata-kata itu. Mamaku melepaskan pelukannya dan menatap wajahku. Dia kelihatan bingung. Wajahnya sudah bersih dari air mata, meskipun matanya masih terlihat agak bengkak. Lalu tiba-tiba tangannya sudah melayang ke keningku, suatu hal yang biasa dilakukan olehnya untuk memeriksa apakah aku sakit. “Nggak panas,” gumam Mama. “Aku hiks… nggak sakit, Ma,” jelasku dan berusaha menyingkirkan tangan Mama dari keningku. “Habis kamu ngomongnya ngaco. Mama jadi khawatir,” ucap Mama. “Ngaco… hiks… gimana?” aku berusaha mencari tisu dari dalam tasku. Ketika menemukannya aku langsung mengusap mataku. “Kamu bilang Papa sudah nggak ada.” Mendengar Mama mengucapkan kata-kata itu dengan enteng membuatku jadi marah. “Tapi Papa memang hiks hiks… sudah nggak ada, kan, hiks… Ma?” ucapku sambil bertolak pinggang. Apa Mama sama-sama tidak punya hati seperti kedua Kakak laki-lakiku itu? Mama sudah menikah dengan Papa selama hampir empat puluh tahun, setidak-tidaknya dia bisa menunjukkan sedikit belas kasihan… Tiba-tiba Mama tertawa terbahak-bahak. Dia bahkan harus menyandarkan tubuh ke dinding dan membungkuk sambil memegangi dada. Pada saat itu aku betul-betul khawatir Mama tiba-tiba jadi gila karena terlalu stress. Aku tidak pernah bertemu wanita mana yang akan tertawa terbahak-bahak setelah suaminya meninggal, minus Anna Nicole Smith tentunya. Mantan bintang Playboy itu mungkin bahkan langsung mengadakan pesta besar-besaran setelah suaminya yang umurnya delapan puluh tahun itu masuk liang kubur, meninggalkan Anna Nicole sebagai pewaris hartanya yang berjumlah miliaran dolar. Aku baru saja akan mengatakan pada Mama apa yang ada di pikiranku ketika tiba-tiba kulihat Kafka berjalan ke arah kami dengan langkah pasti. Langkah yang hanya dimiliki oleh laki-laki yang betul-betul merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Entah kenapa, tapi tiba-tiba aku mengalami masalah bernapas. Dia hanya mengenakan kaus polo berwarna abu-abu, celana panjang khaki, dan sepatu gaya moccasins. Aku harus akui bahwa sobat-sobatku benar. Kafka memang “HOT”, seperti roti yang baru keluar dari pemanggangan. Selama lebih dari dua decade ini aku hanya mengingat semua tingkah laku isengnya padaku sehingga sama sekali tidak pernah memperhatikan wajahnya. Rambutnya yang ikal dibiarkan tumbuh agak panjang sehingga sedikit menutupi kening. Dia sebetulnya lebih terlihat seperti seorang mahasiswa kedokteran, bukan dokter. Yang jelas dia kelihatan jauh lebih muda daripada umurnya. Aku jadi curiga apakah wajah awet mudanya itu memang berkah dari Tuhan atau karena bantuan jarum dan pisau. Kafka langsung tersenyum ketika melihatku dan di balik matanya yang kini aku sadari kelihatan-apa kata yang lebih tepat untuk menggambarkan matanya… “teduh”, itulah kata yang tepat- dia kelihatan agak khawatir. Aku bisa tenggelam di mata itu, pikirku dan harus menggeleng ketika menyadari kata-kata
yang baru saja terlintas di dalam pikiranku. Kata-kata itu lebih tepat untuk diucapkan oleh wanita-wanita pemimpin yang membayangkan diri mereka sebagai seorang putri yang suatu hari akan dibangunkan dari tidur panjang dengan satu ciuman dari seorang pangeran. Lalu mereka akan hidup bahagia selama-lamanya. Bullshit. Buru-buru kusapu sisa-sisa air mata pada wajahku dan menelan sisa-sisa kesedihanku. Aku tidak mau dia melihatku menangis lagi. Setelah yakin bahwa wajahku sudah kering, bukannya membalas senyumannya, aku memilih mengerutkan dahi dan memasang muka cemberut. Ngapain pula setan satu ini ada di sini? Omelku dalam hati. Aku sebetulnya ingin menghindar, tetapi tidak tahu ke mana aku harus pergi. Aku bahkan tidak tahu ke mana kedua kakakku menghilang. “Selamat malam, Tante,” ucap Kafka pada mamaku yang langsung berhenti tertawa dan menegakkan tubuh. Aku baru menyadari beberapa detik kemudian bahwa Mama terlihat tersipu-sipu. Oh my Goooddd, aku bisa merasakan muntah mendesak di tenggorokanku. Sejak kapan orang dewasa bisa tahan, bahkan memuja Kafka? Seingatku tidak ada satu guru pun yang bisa tetap menjaga kesabaran mereka kalau dihadapkan dengan Kafka, tapi sejak kapan juga jantungku jadi berdebar-debar seperti ini setiap kali melihatnya? Oke, aku mengaku kalah.
“Saya datang secepat mungkin setelah ditelepon rumah sakit. Maaf, kalau agak terlambat,” lanjut Kafka. “Oh… Dokter Kafka memang tinggalnya di mana?” Aku sudah siap mencekik Mama. Penting nggak sih dia menanyakan hal itu? Lagian juga sebagai dokter, Kafka tidak mungkin akan… “Saya tinggal nggak jauh dari sini, Tante,” ucap Kafka sambil mengeluarkan kartu nama dan memberikan satu pada Mama dan satu padaku. Dia melanjutkan penjelasannya tentang lokasi rumahnya dengan sangat detail. Oke, mungkin aku salah, Kafka kelihatan tidak peduli sama sekali kalau pasiennya tahu di mana dia tinggal. Aku sedang melirik kartu nama yang ada di tanganku ketika Kafka menariknya dari genggamanku dan menuliskan sesuatu di baliknya sebelum mengembalikannya padaku. Seperti juga ketika waktu dia mengembalikan clutch-ku di Bali, dia menggenggam tanganku sebelum menjatuhkan kartu nama itu di atas telapak tanganku. Sekali lagi kusadari betapa kecilnya tanganku di bandingkan dengan tangannya. “Itu nomor HP-ku. Jadi kamu bisa telepon aku langsung kalau ada emergency lagi sama papa kamu,” ucap Kafka pelan. Kualihkan perhatianku dari tanganku ke wajahnya. Emergency lagi? Apa aku tidak salah dengar? Tidak akan pernah ada emergency lain yang akan menyangkut Papa yang pada detik ini tubuhnya sudah semakin mendingin, dan aku belum sempat melihatnya sama sekali. “Kafka kamu nggak lucu,” desisku sambil menatap Kafka tajam. Aku tidak menyangka bahwa setelah hampir dua puluh tahun kosakata bahasa Indonesia-ku tidak berkembang banyak, karena aku masih menggunakan kata-kata yang sama ketika aku SD. Kafka kelihatan terkejut dengan kata-kataku. Kutarik tanganku dari genggamannya dengan paksa, tapi Kafka malah justru mengeratkan genggamannya. “Nad, maksud kamu apa?” suara Kafka terdengar berat dan ia menyipitkan matanya ketika menanyakan ini. Aku berusaha untuk mundur selangkah, bukan hal yang gampang mengingat betapa eratnya genggaman Kafka pada tanganku. Aku mencoba menelan tangisku dan menahan diri agar tidak tersedak. “Bisa-bisanya kamu Tanya ke aku
maksud aku apa.” Kutarik napasku dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Papaku sudah meninggal, Kaf. Aku nggak pernah dan nggak akan pernah telepon kamu kalau ada emergency lagi, karena nggak pernah akan ada emergency lagi.” Dan untuk yang kedua kalinya malam itu dalam selang waktu kurang dari tiga puluh menit, aku menangis lagi. “Nad.” Kafka mencoba menarikku ke dalam pelukannya. Aku berusaha mendorongnya agar menjauh, suatu usaha yang sia-sia karena aku seperti sedang berusaha mendorong dinding beton. Akhirnya aku menyerah dan membiarkannya memelukku, mengusap-usap punggungku, bahkan mencium rambutku. Setelah sekitar sepuluh menit dan tangisku sudah agak reda, Kafka berkata, “Nadia, Papa kamu baik-baik saja.” Aku hanya menggeleng tidak percaya. “Sumpah aku nggak bohong,” lanjut Kafka dan mengeratkan pelukannya. Mendengar nada Kafka yang penuh dengan kepastian, aku pun mencoba melepaskan diri dari pelukannya supaya bisa menatap wajahnya. Ketika tatapanku jatuh pada Kafka yang kemudian mengangguk, untuk pertama kalinya secercah harapan muncul di benakku. “Apa? Tapi mamaku… maksudku.. Kak Mikhel… tapi…” aku tergagap menjelaskan kebingunganku. Kutarik napas dalam sebelum berbicara lagi, “Kamu yakin?” tanyaku masih ragu. Kafka mengangguk. “Aku minta papa kamu masuk kamar rawat inap, karena jantungnya masih perlu dimonitor untuk beberapa hari ini. Aku belum tahu kenapa tiba-tiba kok serangan jantungnya jadi akut, tapi begitu aku tahu sebabnya, kamu dan keluarga kamu akan tahu juga,” lanjutnya Aku masih tidak bisa memercayai kata-katanya. Aku menoleh kepada Mama yang sedang menatap kami dengan mata terbelalak. “Ma?” tanyaku padanya yang disambut dengan anggukan pasti darinya Dan darah mulai mengalir kembali ke sekujur tubuhku. Kuembuskan napas lega. Kemudian kurasakan dua tangan besar pada sisi kiri dan kanan wajahku, memintaku menatap pemiliknya. “Jangan nangis lagi, ya. Aku nggak bisa kalau lihat kamu nangis.” Ucap Kafka dengan nada yang kalau tidak diucapkan oleh Kafka mungkin bisa aku kategorikan sebagai lembut. Tetapi aku tahu bahwa kata ”lembut” dan “Kafka” tidak akan mungkin ditemukan dalam satu kalimat. Tetapi sekali lagi aku salah, karena Kafka kemudian menggunakan ibu jarinya untuk mengusap air mata yang membasahi pipiku dan membelai untaian rambutku yang sudah terlepas dari ikatan kuncir kudanya dan kini terjuntai layu pada keningku. Tiba-tiba aku teringat akan pengalaman SD-ku ketika Kafka mengucapkan kata-kata seperti itu juga sebelum kemudian menyebarkan gosip tentangku. Entah kenapa, tapi kali ini aku percaya bahwa dia tidak akan mengulang kelakuan kekanak-kanakannya itu. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi di antara SD kelas 6 hingga pertemuanku dengan Kafka di Bali dan malam ini. Apa aku bahkan menatap laki-laki yang sama? Atau ternyata tanpa sepengetahuanku Kafka memiliki saudara kembar yang mirip sekali dengannya tetapi memiliki sifat yang bertolak belakang? Atau mungkin klon yang superbaik? Tidak aneh kalau mengingat bahwa Kafka adalah seorang dokter dan zaman sekarang ilmu kedokteran sudah cukup canggih untuk bisa melakukan hal ini. Pada intinya, segala tindakan Kafka membuatku bingung. Aku tersadar kembali ke realita ketika mendengar ada orang sedang terbatuk-batuk. Kafka kelihatan belum rela melepaskan wajahku, tetapi melihat wajah sangar Kak Viktor, dia terpaksa melakukannya kalau tidak mau dikenal sebagai Dokter Kafka yang matanya bengkak dan berwarna biru selama beberapa hari ke depan.
“Papa mau ketemu kita semua,” ucap Kak Viktor sambil menyipitkan matanya pada Kafka yang kelihatan tidak terpengaruh sama sekali oleh ancaman kepalan tinju kakakku yang siap melayang sebentar lagi. Aku lalu meninggalkan sisi Kafka untuk menggandeng Mama dan mengikuti Kak Viktor menuju kamar Papa yang ternyata berada di ujung lorong itu. Ketika aku menoleh, kulihat Kafka sedang berbicara dengan seorang suster, tetapi dia menoleh untuk melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum. ***

Selama Papa menginap di rumah sakit, Kafka selalu datang untuk memeriksa keadaan pasiennya itu tepat jam tiga sore, setelah dia selesai dengan jam praktiknya. Dan hari ini pun tidak ada pengecualian. Kali ini Kafka mengenakan celana panjang berwarna hitam dengan sedikit garis-garis tipis berwarna biru. Kemeja putihnya yang superputih itu dihiasi dasi berwarna biru tua dengan bercak-bercak hitam. Sejujurnya dia lebih kelihatan seperti seorang model yang baru selesai pemotretan majalah fashion daripada seorang dokter yang baru selesai praktik. Papaku yang sudah bangun dari tidur siangnya kelihatan semakin membaik, dan Kafka memberitahukan bahwa dia sudah diperbolehkan pulang besok. Aku sangat bersyukur dengan berita ini karena tingkat kesabaranku dengan Papa sudah hampir habis. Selama beberapa hari ini Papa bertingkah laku seperti balita yang superbawel. Dia tidak suka makanan yang diberikan rumah sakit dan minta dibelikan makanan-makanan yang jelas-jelas dilarang oleh dokter. Dia juga minta dibawakan bantal, guling, dan selimut dari tempat tidurnya di rumah. Sebetulnya kalau tidak dengan campur tangan Kak Viktor, Papa sudah mewek minta dibawakan tempat tidur dan kasurnya sekalian. Dan satu hal yang hampir membuatku tertawa meskipun kesal adalah ketika Papa minta kamarnya disemprot Old Spice, kolonye yang biasa digunakannya, karena menurutnya kamar itu baunya seperti rumah sakit. Kulihat Kak Mikhel sudah siap nyeletuk bahwa Papa memang sekarang sedang berada di rumah sakit, buru-buru aku mengerling padanya dan Kak Mikhel pun dengan susah payah mencoba menahan diri. “Kalau begitu saya tinggal dulu ya, Oom, Tante. Tolong saya ditelepon saja kalau memang ada hal yang perlu ditanyakan. Nadia punya nomor HP saya.” Kulihat Mama menatap Kafka seperti laki-laki satu ini adalaha malaikat penyelamat yang baru turun dari surga. Kuputar bola mataku dan mengalihkan perhatian pada TV yang sedang menayangkan sinetron dengan jalan cerita yang sangat tidak bermutu, tetapi sinetron itu pun akan kelihatan menarik kalau dengan menumpukan perhatianku padanya berarti bahwa aku bisa menghindari Kafka. Setiap kali Kafka datang untuk menemui Papa, dia selalu berusaha mendekatiku dan menanyakan kabarku, yang selalu aku balas dengan sopan tapi dingin. Dia memang mulai kelihatan kesal dengan tingkah lakuku, tapi selama ini dia tidak berani memojokkanku di depan orangtuaku, sehingga selama beberapa hari ini aku cukup aman. “Nad, bisa kita bicara sebentar di luar?” Pertanyaan Kafka membuatku terkejut, sepertinya dia sudah tidak lagi peduli bahwa orangtuaku ada di situ dan kini sedang menatap kami berdua dengan pandangan ingin tahu. Karena tidak mau membuat keadaan jadi semakin tidak enak, aku memutuskan mengabulkan permintaan Kafka dan melangkah keluar dari kamar Papa. Kafka mengikutiku dan menutup pintu dengan perlahan sebelum kemudian menghadapku. 


Crash Into You - AliaZalea - Bab 6

No comments:

Post a Comment