Bab
6
1 Oktober
Kenapa juga Mama kok kayaknya cinta mati sama dia sih? Apa Mama nggak
bisa lihat tuh anak keturunan iblis? Oke… oke… gue tahu gue nggak boleh ngatain
ortunya, karena gue yakin dia jadi iblis bukan gara-gara keturunan tapi karena
dia sendiri. Apa bisa ya kayak gitu? Idihhh… kok jadi mikirin dia gini sih? ***
“Ada apa, Kaf?” tanyaku datar dengan kedua tangan bersedekap. Bahasa tubuhku
sangat menunjukkan betapa malasnya aku berbicara padanya. Kafka tersenyum
sebelum bertanya, “Kamu gimana kabarnya?” Mendengar nada Kafka yang sepertinya
memang betul-betul khawatir dengan keadaanku, aku langsung jadi merasa bersalah
karena menghindarinya beberapa hari ini. Kuturunkan tanganku dan membiarkannya
jatuh ke bawah. “Biasa saja,” jawabku “Kamu kelihatan capek. Kamu nggak lupa
makan sama tidur, kan?” Aku tergelak. “Papaku lagi di rumah sakit, Kaf. Aku
nggak bisa tidur selama beberapa hari ini karena tidur di sofa sampai badanku
pegal semua, aku terlalu sibuk antara kerja dan mastiin supaya papa dan mamaku
baik-baik saja sampai kadang-kadang aku baru ingat aku lupa makan setelah tiba-tiba
kepalaku pusing. Oh ya… satu lagi. Aku juga harus cari akal supaya bisa
menghindar dari kamu, tapi jangan terlalu kelihatan sampai orangtuaku curiga.
Apa itu ngejawab pertanyaan kamu?” Kafka menatapku sambil menahan senyum yang
membuatku jadi ikut tersenyum, tapi senyuman itu sirna ketika mendengar
pertanyaan Kafka selanjutnya. “Kamu kenapa menghindar dari aku?” Aku harus
menggerakkan rahang bawahku dan berusaha menutup mulutku kembali. Kafka masih
menunggu jawabanku, yang membuatku tiba-tiba jadi panic. Apa dia perlu
menanyakan hal itu? Dia jelas-jelas tahu kenapa aku menghindarinya. Bukan hanya
karena kejadian di Bali, tapi juga karena kejadian tempo hari ketika dia
melihatku menangis. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa Kafka tidak
pernah lagi melihatku melakukan suatu hal yang menunjukkan kelemahanku, seperti
menangis, semenjak insiden hampir dua puluh tahun yang lalu itu. “Aku… jadi…
waktu itu… tempo hari… pada dasarnya…” aku betul-betul tidak bisa membentuk
satu kalimat yang jelas. Bukannya membantuku, Kafka malah menatapku dengan
wajah sepertinya dia siap menciumku yang membuatku jadi mundur selangkah untuk
meluruskan pikiran. Kuatur jalan pikiranku selama beberapa detik. “Kaf…” ucapku
pelan. Aku ingin menanyakan apakah kami memang bercinta sewaktu di Bali, tetapi
aku tidak tahu bagaimana menanyakannya tanpa terdengar seperti orang bego.
Setelah pulang dari sana aku masih belum sempat ke dokter untuk memeriksa
kesehatan, sehingga tidak tahu apakah aku masih bersih atau sudah terjangkit
STD, meskipun aku sudah dapat memastikan bahwa aku tidak hamil karena siklus
haidku berjalan seperti biasa. “Ya?” balas Kafka sambil mengambil langkah maju
sebelum kemudian mencengkeram pergelangan tanganku, menghentikan rencanaku
untuk mundur beberapa langkah lagi. Untung kemudian ada seorang suster yang
datang dan meminta Kafka untuk memeriksa sesuatu, sehingga mau tidak mau Kafka
harus melepaskanku. Dan aku bisa menarik napas lagi. Tanpa kusadari, aku
menahan napas bersamaan dengan sentuhan Kafka itu. Suster yang sekarang sedang
menunggu hingga Kafka selesai
memeriksa
laporan yang ada di hadapannya kelihatan masih muda dan jelas-jelas cinta mati
sama Kafka. Tiba-tiba aku merasa bahwa aku harus pergi dari hadapan Kafka. Aku
tidak bisa berada dalam satu ruangan dengannya, menghirup udara yang sama
dengannya. Aku baru memutar tubuhku untuk kembali menuju kamar papaku ketika
kudengar Kafka berkata, “Jangan ke mana-mana dulu, Nad. Kita belum selesai
bicara.” Langkahku pun terhenti dan kuputar tubuhku untuk menatap Kafka yang
perhatiannya ternyata masih terpaku pada laporan yang tadi juga. Kini suster
muda itu menatapku dengan sedikit curiga campur cemburu. Entah kenapa, tapi
tiba-tiba aku merasa kurang pe-de. Meskipun aku cukup bersyukur dengan
penampilanku, tetapi aku jauh dari kata “cantik”. Menurutku satu-satunya hal
yang menarik dari diriku adalah rambutku yang lurus, hitam, dan panjang. Lain
dengan Dara yang tinggi semampai, tinggiku hanya 150 senitmeter lebih sedikit.
Lain dengan Jana yang bisa membuat laki-laki mana pun menoleh, kebanyakan orang
tidak bisa mengingat wajahku. Dan lain dengan Adri yang kulitnya mulus meskipun
agak gelap, aku harus melaser kulit wajahku agar bebas dari jerawat. Intinya
aku ini biasa-biasa saja dan aku tahu bahwa suster itu tahu bahwa aku tahu
bahwa aku tidak sekelas dengan Kafka (Wow… banyak sekali kata “bahwa” dalam
satu kalimat). Aku jaaauuuhhh di bawahnya. Beberapa menit kemudian Kafka
selesai mengevaluasi laporan itu dan mendiktekan beberapa hal yang harus
dilakukan oleh suster tersebut. Meskipun Kafka sudah selesai bicara, suster itu
tetap berdiri di hadapannya. Sepertinya dia menunggu kalau saja Kafka
memerlukan bantuan untuk mencuci mobilnya atau mengambil cuciannya dari
Laundrette. Aku hampir saja terkikik ketika Kafka bertanya apakah suster itu
perlu apa-apa lagi darinya dan suster itu menggeleng dengan wajah memerah. Aku
jadi bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa jangan-jangan Kafka dan suster ini
punya hubungan lain selain dokter dan suster itu di luar rumah sakit? Oh… kenapa
juga aku jadi mikirin itu? Siapa juga yang peduli kalau Kafka ada affair sama
susternya, sudah punya pacar kek, atau sudah menikah dan punya sepuluh anak?
Tiba-tiba mataku jatuh kepada jari-jari Kafka untuk mencari cincin yang mungkin
melingkar di sana. Nggak, nggak ada cincinnya. Phewww…. Kuembuskan napas lega.
Setidak-tidaknya kalau aku memang tidur sama Kafka, aku tidak tidur dengan
pacar, tunangan, apalagi suami orang. Kecuali… uh-oh… jangan-jangan Kafka
adalah tipe laki-laki yang sudah menikah tapi tidak mau mengenakan cincin, atau
mungkin cincinnya dikalungkan di leher bukannya melingkar di jarinya… atau,..
aku ini sudah paranoid. Kubuang jauh-jauh semua pikiran itu ketika kulihat
suster tersebut melangkah pergi dengan wajah kecewa. “Sori ya, Nad,” ucap Kafka
yang kini sedang menumpahkan perhatian penuhnya padaku. “It’s okay,” jawabku.
“Tadi kamu mau ngomong apa sama aku?” “Ooohhh… nggak. Cuma…” kulirik mataku ke
kiri dan ke kanan untuk memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa yang bisa
mendengar percakapan ini. Aku lalu mendekatkan kepalaku kepada Kafka yang
menunduk agar bisa mendengar bisikanku. “Kita tidur bareng nggak sih di Bali?”
Nah… akhirnya keluar juga tuh pertanyaan. Ternyata nggak sesusah yang aku
bayangkan. “Kalau iya memangnya kenapa?” Tanya Kafka dengan nada sedikit
tersinggung. Bisa-bisanya dia merasa tersinggung. Laki-laki gila mana yang mau
tidur sama perempuan yang tidak seratus persen sadar? Seharusnya aku yang
berteriak “DATERAPE.” “Kalau gitu aku perlu Tanya beberapa pertanyaan ke kamu.”
Kafka
tidak mengatakan apa-apa, sehingga aku melanjutkan, “Pertama, apa kita pakai
kondom? Kedua, apa aku perlu cek untuk STD?” “Menurut kamu gimana?” Aggghhh…
aku rasanya mau menampar Kafka saat itu juga. Kenapa dia membalas semua
pertanyaanku dengan pertanyaan lagi? Apa belum puas dia menyiksaku selama ini?
Kenapa setiap kali aku berhadapan dengan laki-laki satu ini aku selalu naik
darah? Aku ini orang yang ramah, tapi Kafka memang tidak berhak mendapatkan
keramahanku. “Aku nggak tahu, Kaf, itu sebabnya aku nanya kamu. Apa kamu pikir
gampang buat aku untuk nanya pertanyaan-pertanyaan ini ke kamu?” Tanpa
kusangka-sangka Kafka mencengkeram pergelangan tanganku dan menarikku dengan
paksa ke salah satu kamar pasien yang kosong. Dia menutup pintu tepat
dibelakangnya sebelum kemudian mengahadapku lagi. Aku harus mengedipkan mata
berkali-kali untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan yang menyelimutiku. Hanya
ada sedikit cahaya lampu yang masuk dari sela-sela di bawah pintu. Meskipun di
luar masih terang, tetapi gorden beludru berwarna biru yang menutupi jendela,
mampu mencegah sinar matahari untuk masuk. “Kamu betul-betul nggak ingat sama
sekali?” kudengar Kafka bertanya. Suaranya terdengar berat. Perlahan-lahan aku
bisa melihat bayangan tubuhnya. Setelah beberapa detik aku bisa melihat
wajahnya dengan dahi yang berkerut. Sejujurnya dia kelihatan marah. Kugelengkan
kepala sambil menggigit mulutku bagian dalam, senewen. Aku tidak tahu kenapa
aku merasa bersalah, seperti aku sudah tertangkap mengambil mangga milik
tetangga sebelah. “Mmmhhh… sayang. Aku baru tahu kamu ternyata kelihatan lebih
menarik kalau nggak pakai baju.” Ucap Kafka sambil melangkah mendekatiku. Hanya
dalam hitungan detik, nada Kafka sudah berubah. Kini, dia kelihatan seperti
binatang buas yang sudah siap menerkam mangsa yang tidak berdaya, yaitu aku.
Mataku langsung terbelalak, bukan hanya karena kata-katanya, tetapi juga
tindakannya. Bagaimana bisa sih laki-laki ini gonta-ganti emosi lebih cepat
daripada aku bisa menekan tombol ON dan OFF lampu? Aku mencoba memperkirakan
jarak ke pintu, tetapi tahu bahwa aku akan kalah cepat dengannya kalau
memutuskan untuk melarikan diri. Apalagi karena dia sudah semakin mendekat dan
menutupi satu-satunya jalan bagiku untuk kabur. Akhirnya aku memutuskan mengambil
langkah mundur setiap kali dia mengambil langkah maju. “Kamu belajar striptease
dari mana? Lanjutnya dan mengambil satu langkah maju. “Striptease?” aku
mengambil dua langkah mundur. Dia kelihatan agak terkejut melihat tindakanku,
tapi kemudian ada senyum simpul yang muncul di sudut bibirnya. Senyum itu
mengingatkanku akan film-film horor yang pernah kutonton, ketika karekater
antagonis menikmati tatapan ketakutan pada wajah calon korbannya sebelum
membunuhnya. “Aku nggak keberatan kalau bisa ngelihat kamu naked lagi.” Dia
mengambil dua langkah, yang membuatku hampir tersandung kakiku sendiri saat
mencoba mengambil beberapa langkah mundur tanpa melepaskan tatapanku pada
matanya yang kini berbinar geli melihat keteledoranku. Suara tawa Kafka
menyuntikkan dosis keberanian dalam diriku. “Aku nggak takut sama kamu, Kaf,”
ucapku tegas. Meskipun kata-kata itu jadi tidak berarti karena aku sekali lagi
melangkah mundur. “Oh ya?” Kafka terdengar sinis ketika mengucapkan dua kata
ini. Aku menggeleng dan pinggangku bertabrakan dengan tempat tidur besi yang
ada di kamar itu. Untuk
beberapa
detik tatapanku beralih dari matanya, dalam usaha menyisiri satu sisi tempat
tidur itu. “Jadi kenapa napas kamu kelihatan kayak orang ketakutan?” Aku
berhasil mencapai kepala tempat tidur itu dan melangkah menuju sofa yang
bersandar pada dinding dekat pintu masuk. Sekali lagi kucoba memperhitungkan
jarak ke satu-satunya jalan keluarku dan kali ini aku yakin bahwa kalau aku
lari, maka aku akan bisa keluar dari kamar ini sebelum Kafka bisa
menghentikanku. Aku mencoba untuk menarik napas dalam-dalam dan mengambil
ancang-ancang untuk aksi “Wonder Woman”-ku itu. Satu… dua…ti…
Ummpphh… semua udara di
sekitarku tiba-tiba hilang dan kutemukan diriku terduduk di sofa dengan wajah
Kafka berada kurang dari sepuluh sentimeter di hadapanlu. Aku bisa merasakan
dan mencium napasnya yang beraroma seperti cengkeh. Terakhir kali aku diserang
oleh laki-laki seperti ini dan justru merasa level libidoku semakin naik adalah…
uhm… sebetulnya kayaknya hal itu tidak pernah terjadi padaku sebelum ini.
Tubuhku jadi kaku dan saluran pernapasanku seperti tersumbat karena terlalu
kaget ketika menyadari hal ini. Aku tidak bisa mengalihkan perhatianku dari
wajah Kafka yang dengan sengaja menggunakan kedua tangannya untuk mengurung
tubuhku. Aku masih takut pada Kafka, tapi selain itu aku juga merasa… merasa…
ya ampuuu….nnn, aku tidak percaya bahwa aku menginginkan ini! Aku ingin menarik
kepala Kafka dan menciumnya hingga kami sama-sama kehabisan napas. “Boleh aku cium
kamu?” bisaik Kafka. IYA BOLEHHHH!! Teriakku dalam hati. Tetapi tubuhku tidak
mengikuti pikiranku karena aku merasakan kepalaku menggeleng cepat. Kepala
Kafka semakin mendekat dan aku bisa merasakan napasnya membelai bibirku.
“Yakin?” tanyanya lagi dan bukannya mengangguk aku justru menggeleng. Dan detik
selanjutnya berlalu dengan agak kabur. Kurasakan bibir Kafka menyerang bibirku
dengan ganas. Satu tangannya sudah meremas kuncir kudaku dan memaksaku untuk
mengangkat wajahku ke arahnya agar dia bisa punya akses lebih muda diletakkan
pada lengan sofa untuk menopang tubuhnya agar bisa tetap membungkuk di
hadapanku. Aku baru akan membuka mulutku untuk protes ketika Kafka menggunakan
kesempatan ini untuk menyerang lebih ganas lagi. “Kaf,” ucapku ketika Kafka
melepaskanku untuk satu detik. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa laki-laki
yang sedang mengobrak-abrik bibirku saat ini adalah Kafka, mimpi burukku, yang
telah aku coba hindari selama beberapa hari ini. Aku tidak menyadari bahwa aku
telah mengucapkan namanya dengan nada seperti pertanyaan ketika kudengar Kafka
menjawab, “Ehm?” di antara ciumannya. Pada saat itu juga bel peringatan
berbunyi didalam kepalaku. Kuangkat kedua tanganku ke atas dadanya supaya bisa
mendorongnya agar menjauhiku, tapi ketika telapak tanganku menyentuh dadanya
yang oh… tegap sekali, aku justru menarik dasinya sehingga dia kehilangan
keseimbangannya dan jatuh di atas pangkuanku. Stop! Apa aku sudah gila?
Teriakku dalam hati. Aku seharusnya sudah menendang laki-laki ini pada area di
antara kedua pahanya, bukan justru mencoba untuk memutar tubuhku tanpa
melepaskan bibirnya dan merapatkan tubuhku pada tubuhnya. Puas dengan posisiku,
aku menyerang Kafka dengan lebih antusias. “Ahhh…” desah Kafka yang memberikan
reaksi positif atas tindakanku. Pada detik itu aku menyadari bahwa Adri pasti
gila karena bisa tetap single. Apa dia tidak pernah merindukan sentuhan
laki-laki pada tubuhnya? Tapi itu tidak adil. Mungkin Adri memang tidak pernah
merasakan
sentuhan laki-laki seperti ini, itu sebabnya dia tidak pernah merindukannya.
“Mmmhh…,” ucapku sambil menyisirkan jari-jariku pada rambutnya yang ternyata
sehalus rambut bayi. Sepertinya Kafka memiliki gaya sendiri untuk men-style
rambutnya. Lain dengan kebanyakan laki-laki zaman sekarang yang memakai gel
rambut sampai sekilo banyaknya dan menyebabkan rambut mereka jadi sekeras batu,
Kafka lebih memilih gaya natural. Alhasil, selain halus, rambut itu juga hanya
berbau sampo khusus untuk laki-laki yang segar. Yang jelas Kafka aromanya lebih
harum daripada bayi yang baru saja dimandikan. Aku menarik napas dalam-dalam
dan menghirup aroma kulitnya, embusan napasnya, dan parfumnya. Ketika aku
melepaskan bibir Kafka untuk mengambil napas, kurasakan Kafka sedang mencoba
untuk menarik legging-ku ke bawah tapi tidak berhasil karena terhalang sabuk di
luar kemejaku. Dari tatapan matanya aku tahu bahwa hanya ada satu hal yang ada
di dalam pikirannya itu. Aku tahu saat laki-laki sudah melewati batas kemampuan
mereka untuk berhenti. Apa aku akan melakukannya dengan Kafka? Lagi? Di dalam
kamar rumah sakit? Aku akui bahwa memang kamar itu tidak sedang digunakan dan
gelap gulita sehingga tidak akan ada orang yang bisa melihat apa yang terjadi
di dalamnya, tetapi tetap saja… seseorang bisa tiba-tiba masuk dan menemukan
kami dalam posisi yang aku yakin bisa membuat Kafka dipecat. Belum lagi ini
akan membuatku dan keluargaku malu setengah mati. Tapi sepertinya akal sehatku
sedang mengambil cuti pada detik itu dan tanpa kusadari, dengan tangan yang
sedikit gemetar aku mulai meraba dada Kafka. Tanpa menganggalkan dasinya kubuka
kancing kemejanya satu persatu lalu kubiarkan tanganku menyentuh kaus putihnya.
Kurasakan otot-ototnya bereaksi di bawah sentuhanku. Tidak ada satu bagian
tubuhnya yang tertinggal dari sentuhanku. Bahu, dada, tulang rusuk, pinggang,
dan berakhir di kepala sabuknya. Aku ragu sesaat. Mata Kafka menantangku untuk
melakukan satu-satunya hal yang dia tahu akan kulakukan tetapi ragu
melakukannya. Aku yakin bahwa aku sudah gila ketika aku mulai melonggarkan sabuk
itu dari ikatannya. “Oh no,” desah Kafka yang membuatku menghentikan apa yang
sedang aku lakukan. “Kamu nggak mau…” aku belum selesai mengatakan apa yang
ingin aku kataka ketika Kafka menggenggam kepalaku di antara kedua tangannya
dan menyerang bibirku lagi. Kafka membawa bibirnya pelan-pelan mencium cekungan
pada dasar leherku. Dan akal sehatku hilang ketika kurasakan lidahnya
bersentuhan dengan kulitku. Aku hanya bisa mendesah sambil menopang tubuhku
pada bahu Kafka agar tidak meleleh saat itu juga. “Sweet. Just as I thought,”
bisik Kafka. Kusembunyikan wajah di lehernya. Aku tidak mau dia melihat bahwa
mataku sudah mulai berkaca-kaca karena ekstasi yang kurasakan. Kurasakan bibir
Kafka mencium pelipisku, kemudian dia berbisik, “I want to take you right here
right now.” Kutarik wajahku dari leher Kafka dan kucium bibirnya untuk
mencegahnya berbicara lagi. Kehangatan menyambutku. Tidak rela bahwa hanya dia
yang bisa menyiksaku, aku pun mulai mengeksplorasi lehernya. Ternyata kulit
Kafka tidak hanya sewangi kulit bayi. Tapi juga sehalus kulit bayi. Kafka
berhenti menciumku untuk beberapa detik untuk berkata, “God that feels good.”
Pada detik itu aku menyadari kekuasaan yang dimiliki oleh seorang wanita untuk
memuaskan laki-laki hanya dengan ciumannya. Aku memiliki dua pilihan, aku bisa
berhenti menciumi lehernya atau…
Tanpa
kusangka-sangka Kafka mencengkeram kedua bahuku dan menjauhkan bibirku dari
kulitnya. Aku mencoba kembali melanjutkan aktivitasku, tetapi cengkeraman Kafka
membuatku terhenti. Kutatap wajahnya yang kini sedang menatapku sambil
mengernyitkan dahi. Seakan-akan dia tidak mengenaliku. Aku bingung sesaat
ketika melihat kelakuannya, tapi kemudian dia mendekatkan wajahku pada bibirnya
sebelum memberikan satu kecupan lembut di sudut bibirku. Kafka kemudian membawa
kepalaku ke lekungan lehernya lalu memelukku dengan erat. Aku betul-betul
bingung dengan kelakuan aneh bin ajaib Kafka, tetapi aku merasa terlalu nyaman
untuk mempertanyakan ini semua. Perlahan-lahan aku mencoba mengatur napasku
kembali. Leher Kafka terasa hangat di samping pipiku. Aku bisa merasakan detak
jantungnya di depan dadaku. Dap dap… dap dap… dap dap… mungkin ini hanya
perasaanku saja, tetapi sepertinya detak jantung itu lebih cepat daripada
normal. “Kamu nggak apa-apa?” bisik Kafka. Pertanyaan Kafka membangunkanku yang
hampir saja terlena di dalam pelukan Kafka. Aku mengangguk menjawab
pertanyaanya. “Aku harus berhenti sebelum semuanya kelewatan, “ lanjutnya.
Mungkin kata-kata ini tidak akan masuk akal kalau dikatakan dalam konteks lain,
tapi pada saat itu, aku memahami apa yang dia katakana. Diam-diam aku
tersenyum. Aku tidak menyangka bahwa Kafka bisa berkelakuan manis juga. Tanpa
kusangka-sangka Kafka mencium keningku dan aku meleleh. “Sori, aku nggak maksud
untuk maksa kamu,” ucapnya. Aku mengangguk. Kubiarkan diriku tenggelam di dalam
pelukan Kafka. Kuhirup aromanya dalam-dalam dan berpikir. What the hell just
happened? Dan apa yang akan kami lakukan setelah ini? “Nad?” “Ehm?” jawabku
tanpa mengangkat kepala “Kamu ternyata jauh lebih liar daripada yang kupikir
selama ini.” Ucapnya sambil tertawa dan membelai rambutku. Aku ikut tertawa
dengannya. “Is that good or bad?” lanjutku setelah tawaku reda. “It’s
fantastic. You’re fantastic,” bisik Kafka Aku tersenyum ketika mendengar
komentarnya. Kami lalu berdiam diri lagi selama beberapa menit di dalam
keheningan dan menikmati rasa damai yang tiba-tiba menyelimuti kami berdua.
Kurapatkan tubuhku pada tubuhnya dan perlahan-lahan mengembuskan napas. Ketika
merasa bahwa kakiku mulai akan kram, kuangkat kepalaku untuk menatap wajahnya.
Kafka ternyata sedang menutup mata. Ketika dia membuka mata itu dan tersenyum,
suatu lampu merah yang terlewatkan olehku selama satu jam terakhir ini muncul
kembali. Senyum itu… senyum yang benar-benar Kafka. Senyum yang selalu
diberikannya padaku sebelum kemudian dia melakukan sesuatu yang akan membuatku
sangat marah padanya sampai aku tidak bisa berkata-kata. Dan dalam waktu kurang
dari satu detik aku langsung melompat berdiri dari pangkuannya dan hampir saja
jatuh kalau tidak buru-buru mendapatkan keseimbanganku kembali.
Crash Into You - AliaZalea - Bab 7
No comments:
Post a Comment