Saturday, September 5, 2015

Crash Into You - AliaZalea - Bab 6

Bab 6 

1 Oktober 
Kenapa juga Mama kok kayaknya cinta mati sama dia sih? Apa Mama nggak bisa lihat tuh anak keturunan iblis? Oke… oke… gue tahu gue nggak boleh ngatain ortunya, karena gue yakin dia jadi iblis bukan gara-gara keturunan tapi karena dia sendiri. Apa bisa ya kayak gitu? Idihhh… kok jadi mikirin dia gini sih? *** “Ada apa, Kaf?” tanyaku datar dengan kedua tangan bersedekap. Bahasa tubuhku sangat menunjukkan betapa malasnya aku berbicara padanya. Kafka tersenyum sebelum bertanya, “Kamu gimana kabarnya?” Mendengar nada Kafka yang sepertinya memang betul-betul khawatir dengan keadaanku, aku langsung jadi merasa bersalah karena menghindarinya beberapa hari ini. Kuturunkan tanganku dan membiarkannya jatuh ke bawah. “Biasa saja,” jawabku “Kamu kelihatan capek. Kamu nggak lupa makan sama tidur, kan?” Aku tergelak. “Papaku lagi di rumah sakit, Kaf. Aku nggak bisa tidur selama beberapa hari ini karena tidur di sofa sampai badanku pegal semua, aku terlalu sibuk antara kerja dan mastiin supaya papa dan mamaku baik-baik saja sampai kadang-kadang aku baru ingat aku lupa makan setelah tiba-tiba kepalaku pusing. Oh ya… satu lagi. Aku juga harus cari akal supaya bisa menghindar dari kamu, tapi jangan terlalu kelihatan sampai orangtuaku curiga. Apa itu ngejawab pertanyaan kamu?” Kafka menatapku sambil menahan senyum yang membuatku jadi ikut tersenyum, tapi senyuman itu sirna ketika mendengar pertanyaan Kafka selanjutnya. “Kamu kenapa menghindar dari aku?” Aku harus menggerakkan rahang bawahku dan berusaha menutup mulutku kembali. Kafka masih menunggu jawabanku, yang membuatku tiba-tiba jadi panic. Apa dia perlu menanyakan hal itu? Dia jelas-jelas tahu kenapa aku menghindarinya. Bukan hanya karena kejadian di Bali, tapi juga karena kejadian tempo hari ketika dia melihatku menangis. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa Kafka tidak pernah lagi melihatku melakukan suatu hal yang menunjukkan kelemahanku, seperti menangis, semenjak insiden hampir dua puluh tahun yang lalu itu. “Aku… jadi… waktu itu… tempo hari… pada dasarnya…” aku betul-betul tidak bisa membentuk satu kalimat yang jelas. Bukannya membantuku, Kafka malah menatapku dengan wajah sepertinya dia siap menciumku yang membuatku jadi mundur selangkah untuk meluruskan pikiran. Kuatur jalan pikiranku selama beberapa detik. “Kaf…” ucapku pelan. Aku ingin menanyakan apakah kami memang bercinta sewaktu di Bali, tetapi aku tidak tahu bagaimana menanyakannya tanpa terdengar seperti orang bego. Setelah pulang dari sana aku masih belum sempat ke dokter untuk memeriksa kesehatan, sehingga tidak tahu apakah aku masih bersih atau sudah terjangkit STD, meskipun aku sudah dapat memastikan bahwa aku tidak hamil karena siklus haidku berjalan seperti biasa. “Ya?” balas Kafka sambil mengambil langkah maju sebelum kemudian mencengkeram pergelangan tanganku, menghentikan rencanaku untuk mundur beberapa langkah lagi. Untung kemudian ada seorang suster yang datang dan meminta Kafka untuk memeriksa sesuatu, sehingga mau tidak mau Kafka harus melepaskanku. Dan aku bisa menarik napas lagi. Tanpa kusadari, aku menahan napas bersamaan dengan sentuhan Kafka itu. Suster yang sekarang sedang menunggu hingga Kafka selesai
memeriksa laporan yang ada di hadapannya kelihatan masih muda dan jelas-jelas cinta mati sama Kafka. Tiba-tiba aku merasa bahwa aku harus pergi dari hadapan Kafka. Aku tidak bisa berada dalam satu ruangan dengannya, menghirup udara yang sama dengannya. Aku baru memutar tubuhku untuk kembali menuju kamar papaku ketika kudengar Kafka berkata, “Jangan ke mana-mana dulu, Nad. Kita belum selesai bicara.” Langkahku pun terhenti dan kuputar tubuhku untuk menatap Kafka yang perhatiannya ternyata masih terpaku pada laporan yang tadi juga. Kini suster muda itu menatapku dengan sedikit curiga campur cemburu. Entah kenapa, tapi tiba-tiba aku merasa kurang pe-de. Meskipun aku cukup bersyukur dengan penampilanku, tetapi aku jauh dari kata “cantik”. Menurutku satu-satunya hal yang menarik dari diriku adalah rambutku yang lurus, hitam, dan panjang. Lain dengan Dara yang tinggi semampai, tinggiku hanya 150 senitmeter lebih sedikit. Lain dengan Jana yang bisa membuat laki-laki mana pun menoleh, kebanyakan orang tidak bisa mengingat wajahku. Dan lain dengan Adri yang kulitnya mulus meskipun agak gelap, aku harus melaser kulit wajahku agar bebas dari jerawat. Intinya aku ini biasa-biasa saja dan aku tahu bahwa suster itu tahu bahwa aku tahu bahwa aku tidak sekelas dengan Kafka (Wow… banyak sekali kata “bahwa” dalam satu kalimat). Aku jaaauuuhhh di bawahnya. Beberapa menit kemudian Kafka selesai mengevaluasi laporan itu dan mendiktekan beberapa hal yang harus dilakukan oleh suster tersebut. Meskipun Kafka sudah selesai bicara, suster itu tetap berdiri di hadapannya. Sepertinya dia menunggu kalau saja Kafka memerlukan bantuan untuk mencuci mobilnya atau mengambil cuciannya dari Laundrette. Aku hampir saja terkikik ketika Kafka bertanya apakah suster itu perlu apa-apa lagi darinya dan suster itu menggeleng dengan wajah memerah. Aku jadi bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa jangan-jangan Kafka dan suster ini punya hubungan lain selain dokter dan suster itu di luar rumah sakit? Oh… kenapa juga aku jadi mikirin itu? Siapa juga yang peduli kalau Kafka ada affair sama susternya, sudah punya pacar kek, atau sudah menikah dan punya sepuluh anak? Tiba-tiba mataku jatuh kepada jari-jari Kafka untuk mencari cincin yang mungkin melingkar di sana. Nggak, nggak ada cincinnya. Phewww…. Kuembuskan napas lega. Setidak-tidaknya kalau aku memang tidur sama Kafka, aku tidak tidur dengan pacar, tunangan, apalagi suami orang. Kecuali… uh-oh… jangan-jangan Kafka adalah tipe laki-laki yang sudah menikah tapi tidak mau mengenakan cincin, atau mungkin cincinnya dikalungkan di leher bukannya melingkar di jarinya… atau,.. aku ini sudah paranoid. Kubuang jauh-jauh semua pikiran itu ketika kulihat suster tersebut melangkah pergi dengan wajah kecewa. “Sori ya, Nad,” ucap Kafka yang kini sedang menumpahkan perhatian penuhnya padaku. “It’s okay,” jawabku. “Tadi kamu mau ngomong apa sama aku?” “Ooohhh… nggak. Cuma…” kulirik mataku ke kiri dan ke kanan untuk memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa yang bisa mendengar percakapan ini. Aku lalu mendekatkan kepalaku kepada Kafka yang menunduk agar bisa mendengar bisikanku. “Kita tidur bareng nggak sih di Bali?” Nah… akhirnya keluar juga tuh pertanyaan. Ternyata nggak sesusah yang aku bayangkan. “Kalau iya memangnya kenapa?” Tanya Kafka dengan nada sedikit tersinggung. Bisa-bisanya dia merasa tersinggung. Laki-laki gila mana yang mau tidur sama perempuan yang tidak seratus persen sadar? Seharusnya aku yang berteriak “DATERAPE.” “Kalau gitu aku perlu Tanya beberapa pertanyaan ke kamu.”
Kafka tidak mengatakan apa-apa, sehingga aku melanjutkan, “Pertama, apa kita pakai kondom? Kedua, apa aku perlu cek untuk STD?” “Menurut kamu gimana?” Aggghhh… aku rasanya mau menampar Kafka saat itu juga. Kenapa dia membalas semua pertanyaanku dengan pertanyaan lagi? Apa belum puas dia menyiksaku selama ini? Kenapa setiap kali aku berhadapan dengan laki-laki satu ini aku selalu naik darah? Aku ini orang yang ramah, tapi Kafka memang tidak berhak mendapatkan keramahanku. “Aku nggak tahu, Kaf, itu sebabnya aku nanya kamu. Apa kamu pikir gampang buat aku untuk nanya pertanyaan-pertanyaan ini ke kamu?” Tanpa kusangka-sangka Kafka mencengkeram pergelangan tanganku dan menarikku dengan paksa ke salah satu kamar pasien yang kosong. Dia menutup pintu tepat dibelakangnya sebelum kemudian mengahadapku lagi. Aku harus mengedipkan mata berkali-kali untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan yang menyelimutiku. Hanya ada sedikit cahaya lampu yang masuk dari sela-sela di bawah pintu. Meskipun di luar masih terang, tetapi gorden beludru berwarna biru yang menutupi jendela, mampu mencegah sinar matahari untuk masuk. “Kamu betul-betul nggak ingat sama sekali?” kudengar Kafka bertanya. Suaranya terdengar berat. Perlahan-lahan aku bisa melihat bayangan tubuhnya. Setelah beberapa detik aku bisa melihat wajahnya dengan dahi yang berkerut. Sejujurnya dia kelihatan marah. Kugelengkan kepala sambil menggigit mulutku bagian dalam, senewen. Aku tidak tahu kenapa aku merasa bersalah, seperti aku sudah tertangkap mengambil mangga milik tetangga sebelah. “Mmmhhh… sayang. Aku baru tahu kamu ternyata kelihatan lebih menarik kalau nggak pakai baju.” Ucap Kafka sambil melangkah mendekatiku. Hanya dalam hitungan detik, nada Kafka sudah berubah. Kini, dia kelihatan seperti binatang buas yang sudah siap menerkam mangsa yang tidak berdaya, yaitu aku. Mataku langsung terbelalak, bukan hanya karena kata-katanya, tetapi juga tindakannya. Bagaimana bisa sih laki-laki ini gonta-ganti emosi lebih cepat daripada aku bisa menekan tombol ON dan OFF lampu? Aku mencoba memperkirakan jarak ke pintu, tetapi tahu bahwa aku akan kalah cepat dengannya kalau memutuskan untuk melarikan diri. Apalagi karena dia sudah semakin mendekat dan menutupi satu-satunya jalan bagiku untuk kabur. Akhirnya aku memutuskan mengambil langkah mundur setiap kali dia mengambil langkah maju. “Kamu belajar striptease dari mana? Lanjutnya dan mengambil satu langkah maju. “Striptease?” aku mengambil dua langkah mundur. Dia kelihatan agak terkejut melihat tindakanku, tapi kemudian ada senyum simpul yang muncul di sudut bibirnya. Senyum itu mengingatkanku akan film-film horor yang pernah kutonton, ketika karekater antagonis menikmati tatapan ketakutan pada wajah calon korbannya sebelum membunuhnya. “Aku nggak keberatan kalau bisa ngelihat kamu naked lagi.” Dia mengambil dua langkah, yang membuatku hampir tersandung kakiku sendiri saat mencoba mengambil beberapa langkah mundur tanpa melepaskan tatapanku pada matanya yang kini berbinar geli melihat keteledoranku. Suara tawa Kafka menyuntikkan dosis keberanian dalam diriku. “Aku nggak takut sama kamu, Kaf,” ucapku tegas. Meskipun kata-kata itu jadi tidak berarti karena aku sekali lagi melangkah mundur. “Oh ya?” Kafka terdengar sinis ketika mengucapkan dua kata ini. Aku menggeleng dan pinggangku bertabrakan dengan tempat tidur besi yang ada di kamar itu. Untuk
beberapa detik tatapanku beralih dari matanya, dalam usaha menyisiri satu sisi tempat tidur itu. “Jadi kenapa napas kamu kelihatan kayak orang ketakutan?” Aku berhasil mencapai kepala tempat tidur itu dan melangkah menuju sofa yang bersandar pada dinding dekat pintu masuk. Sekali lagi kucoba memperhitungkan jarak ke satu-satunya jalan keluarku dan kali ini aku yakin bahwa kalau aku lari, maka aku akan bisa keluar dari kamar ini sebelum Kafka bisa menghentikanku. Aku mencoba untuk menarik napas dalam-dalam dan mengambil ancang-ancang untuk aksi “Wonder Woman”-ku itu. Satu… dua…ti…
Ummpphh… semua udara di sekitarku tiba-tiba hilang dan kutemukan diriku terduduk di sofa dengan wajah Kafka berada kurang dari sepuluh sentimeter di hadapanlu. Aku bisa merasakan dan mencium napasnya yang beraroma seperti cengkeh. Terakhir kali aku diserang oleh laki-laki seperti ini dan justru merasa level libidoku semakin naik adalah… uhm… sebetulnya kayaknya hal itu tidak pernah terjadi padaku sebelum ini. Tubuhku jadi kaku dan saluran pernapasanku seperti tersumbat karena terlalu kaget ketika menyadari hal ini. Aku tidak bisa mengalihkan perhatianku dari wajah Kafka yang dengan sengaja menggunakan kedua tangannya untuk mengurung tubuhku. Aku masih takut pada Kafka, tapi selain itu aku juga merasa… merasa… ya ampuuu….nnn, aku tidak percaya bahwa aku menginginkan ini! Aku ingin menarik kepala Kafka dan menciumnya hingga kami sama-sama kehabisan napas. “Boleh aku cium kamu?” bisaik Kafka. IYA BOLEHHHH!! Teriakku dalam hati. Tetapi tubuhku tidak mengikuti pikiranku karena aku merasakan kepalaku menggeleng cepat. Kepala Kafka semakin mendekat dan aku bisa merasakan napasnya membelai bibirku. “Yakin?” tanyanya lagi dan bukannya mengangguk aku justru menggeleng. Dan detik selanjutnya berlalu dengan agak kabur. Kurasakan bibir Kafka menyerang bibirku dengan ganas. Satu tangannya sudah meremas kuncir kudaku dan memaksaku untuk mengangkat wajahku ke arahnya agar dia bisa punya akses lebih muda diletakkan pada lengan sofa untuk menopang tubuhnya agar bisa tetap membungkuk di hadapanku. Aku baru akan membuka mulutku untuk protes ketika Kafka menggunakan kesempatan ini untuk menyerang lebih ganas lagi. “Kaf,” ucapku ketika Kafka melepaskanku untuk satu detik. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa laki-laki yang sedang mengobrak-abrik bibirku saat ini adalah Kafka, mimpi burukku, yang telah aku coba hindari selama beberapa hari ini. Aku tidak menyadari bahwa aku telah mengucapkan namanya dengan nada seperti pertanyaan ketika kudengar Kafka menjawab, “Ehm?” di antara ciumannya. Pada saat itu juga bel peringatan berbunyi didalam kepalaku. Kuangkat kedua tanganku ke atas dadanya supaya bisa mendorongnya agar menjauhiku, tapi ketika telapak tanganku menyentuh dadanya yang oh… tegap sekali, aku justru menarik dasinya sehingga dia kehilangan keseimbangannya dan jatuh di atas pangkuanku. Stop! Apa aku sudah gila? Teriakku dalam hati. Aku seharusnya sudah menendang laki-laki ini pada area di antara kedua pahanya, bukan justru mencoba untuk memutar tubuhku tanpa melepaskan bibirnya dan merapatkan tubuhku pada tubuhnya. Puas dengan posisiku, aku menyerang Kafka dengan lebih antusias. “Ahhh…” desah Kafka yang memberikan reaksi positif atas tindakanku. Pada detik itu aku menyadari bahwa Adri pasti gila karena bisa tetap single. Apa dia tidak pernah merindukan sentuhan laki-laki pada tubuhnya? Tapi itu tidak adil. Mungkin Adri memang tidak pernah
merasakan sentuhan laki-laki seperti ini, itu sebabnya dia tidak pernah merindukannya. “Mmmhh…,” ucapku sambil menyisirkan jari-jariku pada rambutnya yang ternyata sehalus rambut bayi. Sepertinya Kafka memiliki gaya sendiri untuk men-style rambutnya. Lain dengan kebanyakan laki-laki zaman sekarang yang memakai gel rambut sampai sekilo banyaknya dan menyebabkan rambut mereka jadi sekeras batu, Kafka lebih memilih gaya natural. Alhasil, selain halus, rambut itu juga hanya berbau sampo khusus untuk laki-laki yang segar. Yang jelas Kafka aromanya lebih harum daripada bayi yang baru saja dimandikan. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghirup aroma kulitnya, embusan napasnya, dan parfumnya. Ketika aku melepaskan bibir Kafka untuk mengambil napas, kurasakan Kafka sedang mencoba untuk menarik legging-ku ke bawah tapi tidak berhasil karena terhalang sabuk di luar kemejaku. Dari tatapan matanya aku tahu bahwa hanya ada satu hal yang ada di dalam pikirannya itu. Aku tahu saat laki-laki sudah melewati batas kemampuan mereka untuk berhenti. Apa aku akan melakukannya dengan Kafka? Lagi? Di dalam kamar rumah sakit? Aku akui bahwa memang kamar itu tidak sedang digunakan dan gelap gulita sehingga tidak akan ada orang yang bisa melihat apa yang terjadi di dalamnya, tetapi tetap saja… seseorang bisa tiba-tiba masuk dan menemukan kami dalam posisi yang aku yakin bisa membuat Kafka dipecat. Belum lagi ini akan membuatku dan keluargaku malu setengah mati. Tapi sepertinya akal sehatku sedang mengambil cuti pada detik itu dan tanpa kusadari, dengan tangan yang sedikit gemetar aku mulai meraba dada Kafka. Tanpa menganggalkan dasinya kubuka kancing kemejanya satu persatu lalu kubiarkan tanganku menyentuh kaus putihnya. Kurasakan otot-ototnya bereaksi di bawah sentuhanku. Tidak ada satu bagian tubuhnya yang tertinggal dari sentuhanku. Bahu, dada, tulang rusuk, pinggang, dan berakhir di kepala sabuknya. Aku ragu sesaat. Mata Kafka menantangku untuk melakukan satu-satunya hal yang dia tahu akan kulakukan tetapi ragu melakukannya. Aku yakin bahwa aku sudah gila ketika aku mulai melonggarkan sabuk itu dari ikatannya. “Oh no,” desah Kafka yang membuatku menghentikan apa yang sedang aku lakukan. “Kamu nggak mau…” aku belum selesai mengatakan apa yang ingin aku kataka ketika Kafka menggenggam kepalaku di antara kedua tangannya dan menyerang bibirku lagi. Kafka membawa bibirnya pelan-pelan mencium cekungan pada dasar leherku. Dan akal sehatku hilang ketika kurasakan lidahnya bersentuhan dengan kulitku. Aku hanya bisa mendesah sambil menopang tubuhku pada bahu Kafka agar tidak meleleh saat itu juga. “Sweet. Just as I thought,” bisik Kafka. Kusembunyikan wajah di lehernya. Aku tidak mau dia melihat bahwa mataku sudah mulai berkaca-kaca karena ekstasi yang kurasakan. Kurasakan bibir Kafka mencium pelipisku, kemudian dia berbisik, “I want to take you right here right now.” Kutarik wajahku dari leher Kafka dan kucium bibirnya untuk mencegahnya berbicara lagi. Kehangatan menyambutku. Tidak rela bahwa hanya dia yang bisa menyiksaku, aku pun mulai mengeksplorasi lehernya. Ternyata kulit Kafka tidak hanya sewangi kulit bayi. Tapi juga sehalus kulit bayi. Kafka berhenti menciumku untuk beberapa detik untuk berkata, “God that feels good.” Pada detik itu aku menyadari kekuasaan yang dimiliki oleh seorang wanita untuk memuaskan laki-laki hanya dengan ciumannya. Aku memiliki dua pilihan, aku bisa berhenti menciumi lehernya atau…

Tanpa kusangka-sangka Kafka mencengkeram kedua bahuku dan menjauhkan bibirku dari kulitnya. Aku mencoba kembali melanjutkan aktivitasku, tetapi cengkeraman Kafka membuatku terhenti. Kutatap wajahnya yang kini sedang menatapku sambil mengernyitkan dahi. Seakan-akan dia tidak mengenaliku. Aku bingung sesaat ketika melihat kelakuannya, tapi kemudian dia mendekatkan wajahku pada bibirnya sebelum memberikan satu kecupan lembut di sudut bibirku. Kafka kemudian membawa kepalaku ke lekungan lehernya lalu memelukku dengan erat. Aku betul-betul bingung dengan kelakuan aneh bin ajaib Kafka, tetapi aku merasa terlalu nyaman untuk mempertanyakan ini semua. Perlahan-lahan aku mencoba mengatur napasku kembali. Leher Kafka terasa hangat di samping pipiku. Aku bisa merasakan detak jantungnya di depan dadaku. Dap dap… dap dap… dap dap… mungkin ini hanya perasaanku saja, tetapi sepertinya detak jantung itu lebih cepat daripada normal. “Kamu nggak apa-apa?” bisik Kafka. Pertanyaan Kafka membangunkanku yang hampir saja terlena di dalam pelukan Kafka. Aku mengangguk menjawab pertanyaanya. “Aku harus berhenti sebelum semuanya kelewatan, “ lanjutnya. Mungkin kata-kata ini tidak akan masuk akal kalau dikatakan dalam konteks lain, tapi pada saat itu, aku memahami apa yang dia katakana. Diam-diam aku tersenyum. Aku tidak menyangka bahwa Kafka bisa berkelakuan manis juga. Tanpa kusangka-sangka Kafka mencium keningku dan aku meleleh. “Sori, aku nggak maksud untuk maksa kamu,” ucapnya. Aku mengangguk. Kubiarkan diriku tenggelam di dalam pelukan Kafka. Kuhirup aromanya dalam-dalam dan berpikir. What the hell just happened? Dan apa yang akan kami lakukan setelah ini? “Nad?” “Ehm?” jawabku tanpa mengangkat kepala “Kamu ternyata jauh lebih liar daripada yang kupikir selama ini.” Ucapnya sambil tertawa dan membelai rambutku. Aku ikut tertawa dengannya. “Is that good or bad?” lanjutku setelah tawaku reda. “It’s fantastic. You’re fantastic,” bisik Kafka Aku tersenyum ketika mendengar komentarnya. Kami lalu berdiam diri lagi selama beberapa menit di dalam keheningan dan menikmati rasa damai yang tiba-tiba menyelimuti kami berdua. Kurapatkan tubuhku pada tubuhnya dan perlahan-lahan mengembuskan napas. Ketika merasa bahwa kakiku mulai akan kram, kuangkat kepalaku untuk menatap wajahnya. Kafka ternyata sedang menutup mata. Ketika dia membuka mata itu dan tersenyum, suatu lampu merah yang terlewatkan olehku selama satu jam terakhir ini muncul kembali. Senyum itu… senyum yang benar-benar Kafka. Senyum yang selalu diberikannya padaku sebelum kemudian dia melakukan sesuatu yang akan membuatku sangat marah padanya sampai aku tidak bisa berkata-kata. Dan dalam waktu kurang dari satu detik aku langsung melompat berdiri dari pangkuannya dan hampir saja jatuh kalau tidak buru-buru mendapatkan keseimbanganku kembali. 


Crash Into You - AliaZalea - Bab 7

No comments:

Post a Comment