Bab 14
You get me knocking at your door
And I’ll be coming back for more
“Mama nggak peduli, pokoknya Mama mau
lihat cucu-cucu Mama.”
Ben mencoba mengitari Mama, yang berdiri
sambil bertolak pinggang dan ngomong dengan
nada ngotot di depannya, agar bisa
mengenakan sandalnya. Semenjak beliau tahu tiga hari
yang lalu bahwa dia akan pergi berenang
dengan Erga dan Raka, beliau tidak henti-hentinya
memburunya agar diperbolehkan ikut.
“Cuma sebentar aja, Ben. Mama bahkan
nggak akan turun dari mobil,” desak Mama.
Ben melirik Papa yang meskipun tidak
mengatakan apa-apa, tapi wajahnya kelihatan seperti
anak anjing di tempat penampungan yang
minta diadopsi. Dia tidak akan mendapatkan
pertolongan dari pihak ini.
“Ma, kan aku udah bilang. Aku perlu
ngomong sama Jana dulu sebelum aku bisa bawa Erga
dan Raka ketemu keluarga kita,” Ben
mencoba menenangkan.
“Tapi kita ini mbahnya dua anak itu.
Kita udah nunggu tujuh tahun untuk ketemu mereka,
Ben.”
“I know. I know. Aku akan bicara dengan
Jana, oke?”
“Kapan kamu akan bicara sama dia?”
“Hari ini. Aku janji. Dah, please,
jangan ngomel-ngomel lagi. Aku udah telat nih.” Dan
dengan begitu Ben langsung mencium Mama
dan melambaikan tangannya kepada Papa
sebelum buru-buru menuju pintu depan.
“Kamu setidak-tidaknya bisa naik mobil
untuk ke kolam renang,” teriak Mama.
“Nggak pa-pa, Ma, aku udah telepon
taksi,” jawabnya dan menutup pintu.
***
“Raka, Erga, denger Bunda. Seperti yang
Bunda udah bilang, Oom Ben aka nada di kolam
renang sama kalian hari ini. Bunda nggak
akan ikutan berenang, tapi Bunda akan ada deket
situ, oke? Jangan bandel. Jangan main
tindih-tindihan sama Oom Ben di kolam renang.
Bunda nggak mau kalian kelelep.”
“Ya, Bunda,” jawab Erga dan Raka bersamaan.
“Apa Oom Ben bener-bener bakal ngajarin
kita berenang?” lanjut Raka dengan mata
berbinar-binar.
“Tentu saja, sayang. Kan dia udah
Janji.”
Jana masih tidak percaya Ben menjanjikan
ini kepada anak-anaknya. Dia tahu Ben jago
berenang, tapi dia tidak menyangka Ben
akan mau melakukan ini. Yang dia lebih tidak
percaya lagi adalah betapa antusias
anak-anaknya mendengar Ben akan ikut berenang
sehingga mereka nggak berhenti
membicarakannya selama tiga hari ini.
Dia belum bertemu dengan Ben lagi
semenjak di rumah Mami, tapi mereka banyak
berbicara di telepon untuk merencanakan
acara renang ini. Selain itu, mereka juga
membicarakan tentang berbagai cara untuk
mendekatkan Ben dengan Erga dan Raka. Ben
menawarkan untuk mengantar-jemput mereka
ke sekolahan dan menjaga mereka sampai
dia pulang kerja minggu ini, tapi Jana
belum merasa cukup comfortable untuk meninggalkan
anak-anaknya berjam-jam sendiri dengan
Ben. Ya, dia tahu dia terdengar seperti orangtua
super protektif terhadap anak-anaknya,
tapi mau dibilang apa lagi? Bukannya dia merasa
Ben nggak kompeten untuk menjaga Erga
dan Raka selama beberapa jam, sebaliknya, dia
takut Ben akan terlalu kompeten sehingga
anak-anaknya nggak pernah mau pulang lagi
dengannya. No, dia bukan orangtua super
protektif, dia orangtua yang memiliki ketakutan
nggak jelas tentang ayah anak-anaknya.
Melalui pembicaraan di telepon ini juga
Jana tahu Ben kini tinggal di rumah orangtuanya,
sesuatu yang katanya membuatnya sudah
mau gila. Jana mengerti perasaannya karena
sejujurnya, dia tidak bias membayangkan
kalau dia masih harus tinggal dengan Mami dan
Papi. Tadinya Ben langsung mau
mengirimkan surat pengunduran dirinya ke kantor dan
mencari tempat tinggal permanen di
Jakarta saat itu juga, tapi Jana berkata dia seharusnya
menggunakan waktu sebulan ini untuk
memikirkan masak-masak apakah menjadi ayah bagi
Erga dan Raka adalah sesuatu yang memang
ingin dan bisa dia lakukan. Setidak-tidaknya
h\itulah alasan yang dia ajukan kepada
Ben, tapi alasan sebenarnya adalah, dia sendiri juga
perlu waktu untuk mempertimbangkan
apakah dia bisa menerima Ben menjadi bagian
kehidupannya secara permanen.
Ketika memasuki pelataran parkir, dia
melihat Ben baru saja turun dari taksi. Dia kini tahu
Ben sama sekali nggak nyetir di Jakarta,
memilih naik taksi ke mana-mana. Dia bilang ini
lebih mudah karena, pertama, dia nggak
tahu jalan-jalan di Jakarta yang banyak berubah
selama sepuluh tahun belakangan ini;
kedua, dia nggak yakin bisa bersaing dengan
keagresifan para pemudi Jakarta.
“Bunda, itu Oom Ben. Ayo turunin kaca
jendela, aku mau panggil Oom Ben,” teriak Raka
yang kelihatan siap loncat dari
kursinya.
“Mana? Mana?” Tanya Erga tidak kalah
antusiasnya.
“Tunggu sebentar ya, sayang, Bunda lagi
parkir,” ucap Jana dan memundurkan mobilnya
pada tempat parkir yang ditunjukkan
satpam.
Setelah mobilnya terparkir dengan
sempurna, dia menekan tombol untuk menurunkan kaca
jendela dan harus menutup kupingnya
karena teriakan keras Erga dan Raka, yang dia yakin
bisa terdengar sampai ke Papua. Ben
sempat celingukan mencari asal suara itu dan langsung
melambaikan tangannya sambil tersenyum
lebar ketika melihat mereka. Hari ini dia
mengenakan celana pendek kargo dan kaus
polo warna biru langit. Lain dari biasanya, kali
ini kakinya hanya ditutupi sandal warna
hitam. Tangan kanannya menggenggam tas kecil,
yang dia tebak berisi peralatan renang.
Ketika Jana baru saja membuka pintu mobil, Ben
sudah melakukannya untuknya.
“Hey,” ucapnya.
“Hi,” balas Jana.
Kenapa dia kedengaran seperti orang
kehabisan napas begini? Damn it! Ben hanya
mengatakan “Hey” dan dia sudah lumer
seperti es krim di bawah matahari. Untungnya Ben,
yang sudah mengitari mobil untuk
membantu Erga dan Raka turun, tidak menyadari hal ini.
Untuk beberapa menit, Raka tidak
berhenti bicara sambil sekali-sekali diselingi oleh Erga,
sementara mereka mengeluarkan semua
peralatan renang dari mobil dan menuju pintu
masuk. Di antara semua kehebohan ini,
Ben tidak kelihatan bingung atau tidak sabar sama
sekali. Dia berhasil menjadi bagian
pembicaraan itu dengan memberikan komentar sanasini,
yang membuat Erga dan Raka tergelak.
Setelah Ben, yang menolototinya ketika Jana
mengeluarkan dompet, membayar tiket
masuk, mereka menuju kolam renang.
Ben membiarkan Erga dan Raka jalan
duluan sebelum berkata, “Hey, thanks ya karena
ngebolehin aku ngabisin hari ini dengan
mereka.”
Jana agak terkejut dengan kata-kata Ben
yang diucapkan dengan sangat tulus itu. Mau tidak
mau senyum simpul muncul pada sudut
bibirnya. “You’re welcome, Ben. Sejujurnya, aku
nggak tahu siapa yang lebih excited
untuk hari ini. Kamu atau mereka. Udah tiga hari
mereka nonstop ngomongin tentang kamu
dan acara renang ini.”
“Oh ya?”
Jana tertawa melihat keterkejutan,
keheranan, kemudian kegembiraan yang terpapar pada
wajah Ben. “They really like you. Aku
nggak pernah liat mereka sebegini excited-nya untuk
ketemu orang, terutama Erga. Seperti
yang kamu udah lihat, dia jauh lebih pendiam
daripada Raka. I think you made an
impression on them. Mereka nggak sabar untuk
wrestling lagi sama kamu.”
“Well, mereka boleh wrestling sama aku
kapan aja.”
“Selama itu nggak di kolam renang, aku
nggak ada masalah.”
“Whatever you say, Bunda,” ledek Ben,
sengaja menekankan kata “Bunda”.
Jana mendelik dan Ben tertawa
terkekeh-kekeh. Tawa itu membawa kehangatan tak
diundang pada hatinya.
“Apa Erga dan Raka perlu ke kamar ganti
untuk pake celana renang?” Tanya Ben.
“Nggak. Mereka udah pake di bawah celana
pendek mereka. Kamu sendiri?” balas Jana.
“Sama.”
“Oh, oke. Let’s go, then,” ucap Jana,
mempercepat langkahnya untuk menyusul Erga dan
Raka yang sudah menemukan tempat di
bawah paying.
“Kamu nggak perlu ganti?” Tanya Ben,
menyamai langkah cepatnya.
“Oh, aku nggak akan berenang hari ini.”
“Oh, kok gitu?”
“Lagi nggak kepengen aja.”
Jana mencoba menjawab dengan nada sesuai
mungkin. Andaikan Ben tahu bahwa alasan
dia nggak berenang hari ini adalah
karena memikirkan Ben melihat tubuhnya dengan hanya
ditutupi baju renang membuatnya
bergidik. Ya, Ben memang pernah melihatnya naked, tapi
itu delapan tahun lalu, waktu dia masih
gadis berumur 19 tahun, di mana tidak ada lemak
sama sekali pada tubuhnya. Membayangkan
Ben melihat tubuh ibu-ibu berumur 27 tahun
miliknya sekarang cukup untuk memberinya
mimpi buruk.
“Apa Erga dan Raka biasa masuk kolam
renang sendiri?” Tanya Ben, wajahnya kelihatan
sedikit bingung.
“Nggak pernah. Biasanya pasti ada aku
sama mereka.”
“Oke.. jadi kenapa kamu nggak berenang
sama mereka hari ini?”
Jana tidak tahu alasan apa yang bisa dia
berikan untuk membuat Ben berhenti
menginterogasinya. Untungnya Raka
berteriak memanggil Ben pada saat itu.
“Go ahead. Aku perlu ke toilet sebentar.
Aku akan nyusul sebentar lagi,” ucap Jana dan
dengan begitu dia langsung ngibrit
menuju toilet meskipun dia tidak berniat menggunakan
fasilitas itu sama sekali.
***
Ketika Jana keluar beberapa menit
kemudian, dia menemukan anak-anaknya sudah
melepaskan kaus mereka dan hanya
mengenakan celana renang. Ben yang kini mengenakan
celana renang selutut, meskipun masih
mengenakan kausnya, sedang mengaduk-aduk
tasnya mencari sesuatu.
“Um, kayaknya Oom lupa bawa Coppertone,”
Jana mendengar Ben berkata dan respons
Raka yang menanyakan Coppertone itu apa.
“Um.. itu sun-block yang kamu oles di
kulit supaya nggak terbakar matahari ,” jelas Ben.
“Oh, kayak Nivea ya, Oom?” Tanya Erga
“Oh iya, kamu pake Nivea ya di
Indonesia,” gumam Ben.
Jana melihat Erga mengeluarkan botol
Nivea dari dalam tas renangnya dan memberikannya
kepada Ben.
“Ayo, kalian jangan lupa pake Nivea
juga.” Ucap Jana.
Ben menoleh mendengar suaranya dan
tersenyum sebelum meletakkan botol itu di atas
meja dan mulai menanggalkan kausnya.
Ketika kaus itu melayang ke salah satu sandaran
kursi, dan untuk pertama kali Jana bisa
melihat tubuh laki-laki setengah telanjang dengan
mata kepalanya sendiri setelah
bertahun-tahun ini, dia hanya bisa menganga. Apa yang
dilakukan laki-laki ini selama delapan
tahun belakangan? Pergi ke gym setiap hari? Dia
kelihatan seperti model iklan
Abercrombie& fittch.
NGGAK ADIL! NGGAK ADIL!!! NGGAK
ADIII…LLL!!!
Dengan sekuat tenaga dia berusaha
mengalihkan tatapannya dari dada yang bidang dan
perut six, no wait, eight packs mulus
itu, tapi otot lehernya menolak bekerja sama.
Kerongkongannya mulai terasa kering, dan
dia sepertinya juga tidak bisa menyuruh otot
rahangnya untuk menutup mulutnya. Ben
yang sama sekali tidak sadar akan pesona
tubuhnya, kini sibuk mengoleskan Nivea
pada tubuh Erga. Jana berusaha tidak menggeram
ketika Ben memutar tubuhnya dan
mempertontonkan punggungnya yang nggak kalah
seksinya. Untuk beberapa menit Jana
terkesima melihat gerakan otot pada punggung Ben.
Dia ingin melarikan tangannya pada
punggung itu. Oh Hell, dia ingin melarikan tangan, lidah,
bibir, dan giginya pada punggung indah
laki-laki itu.
Ben mengenakan celana renangnya cukup
rendah sehingga dia bisa melihat dua lesung pada
dasar tulang punggungnya. Mau tidak mau matanya
mengambil inventori punggung Ben,
dari belakang leher, hingga ke dua
lesung yang oh dear God, I’m going to hell seksi banget
itu. Apa punggung Ben selalu seseksi
ini? Kalau ya, bagaimana mungkin dia tidak pernah
menyadarinya sebelumnya? Bagian tubuh
apa lagi yang dia tidak pernah sadari
keseksiannya? Oh, dia ingin membawa Ben
pulang, menelanjanginya, dan mengeksplorasi
tubuh itu dengan lebih teliti.
“Oke, dah kelar.”
Kata-kata Ben membuat Jana menutup
mulut. Ketika pikirannya sedang melayang bersama
libidonya, ternyata Ben sudah selesai
mengoleskan Nivea pada Raka juga dan kini dia sedang
mengolesi lengannya. Dear God, dia perlu
pergi dari sini sebelum tidak bisa menahan
nafsunya lagi dan melakukan tindakan
keganasan. Misalnya, menyerang Ben di kolam
renang umum seperti ini. Dia baru saja
akan lari terbirit-birit menuju tempat
persembunyiannya lagi, alias toilet
wanita, ketika Ben menyodorkan botol Nivea padanya.
“Bisa tolong kamu olesi punggung aku?
Tanganku nggak nyampe.”
CRAAAPPP!!!
***
Tidak ada kata yang bisa menggambarkan
betapa bahagianya Ben hari ini. Dia bisa
menghabiskan seharian penuh dengan
anak-anaknya. Karena mereka sampai di kolam
renang pagi, maka kolam renang masih
cukup sepi dan Ben menggunakan waktu ini untuk
mengajari Erga dan Raka cara berenang
yang benar. Mereka menghabiskan setengah jam
pertama untuk pemanasan tubuh. Setelah
yakin otot-otot mereka tidak akan kejang, Ben
meminta mereka masuk ke kolam renang.
Dia sengaja menggunakan sisi kolam renang yang
paling dangkal untuk memulai latihan
pernapasan dalam air. Melihat konsentrasi Raka dan
Erga mulai lari sekam kemudian, dia
mengusulkan adar mereka main tembak-tembakan
dengan pistol air yang mereka bawa.
Bosan dengan tembak-tembakan, mereka main ceburceburan
dan baru berhenti ketika Jana memanggil
mereka untuk makan siang.
“Oom, habis ini kita latihan napas dalam
air lagi, ya.” Ucap Raka dengan mulut penuh
hotdog.
Ben tidak bisa mengalihkan perhatiannya
dari Jana, yang sibuk mengurusi makan anak-anak
dan juga dirinya. Dia mengenakan topi
lebar dan dress katun berwarna putih longgar tanpa
lengan. Dress itu memang biasa-biasa
saja dan jauh dari kata seksi, tapi entah kenapa, Jana
bahkan kelihatan lebih seksi daripada
model-model iklan Victoria’s Secret. Ketika Jana
melewatinya, dia bisa mencium aromanya
yang bercampur dengan matahari, membuat
libidonya naik. Untung saja dia sedang
duduk, bisa berabe kalau anak-anaknya sampai
melihat kondisi tubuhnya sekarang.
Menyadari Raka menunggu jawabannya,
buru-buru Ben berkata, “Boleh aja. Nanti kalo
kamu udah bisa napas dalam air, Oom akan
ajarin caranya ngapung.”
“Aku tahu cara ngapung,” sambut Raka.
“Oh ya?” Ben mengambil hotdog yang
ditawarkan Jana padanya sambil memberikan
tatapan penuh terima kasih yang membuat
pipi Jana memerah.
“Iya, aku bisa ngapung lebih lama
daripada Erga.”
“Hebat dong,” puji Ben, mengigit
hotdognya.
“Iya, kalo menurut kamu salah satu kaki
masih nyentuh dasar kolam sebagai ngapung,”
celetuk Jana membuat Ben tersedak.
Jana buru-buru memberikan botol minum
yang dibawanya kepadanya lalu menepuk-nepuk
punggungnya. Ben langsung meminum
setengah isi botol itu untuk mendorong hotdog yang
nyangkut di kerongkongannya.
“Oom Ben nggak pa-pa?” Tanya Erga penuh
kekhawatiran.
“Iya… uhuk… uhuk… Oom nggak pa-pap.
Cuma… uhuk… uhuk… keselek hotdog aja.”
“You okay?” Tanya Jana pelan.
Ben mengangguk. Dia menyukai perhatian
yang diberikan Jana padanya. Betul-betul
menyukainya. Terutama ketika tangan Jana
yang tadinya menepuk-nepuk punggungnya
sudah naik ke bahunya dan mulai
memijatnya. Oh God! Sentuhan tangan Jana membuat
matanya hampir saja berputar ke belakang
kepalanya.
“Yeah. I’m good. Tapi aku nggak
keberatan untuk batuk-batuk lagi kalo kamu terus mijetin
aku kayak gini.”
Seperti baru menyentuh bara api, Jana
langsung menarik tangannya. Tapi kalah cepat
karena tangan Ben sudah melingkari
pergelangan tangan kirinya erat. “Hei, kamu mau
kemana?”
“Ben,” desis Jana dan berusaha memutar
pergelangan tangannya agar dilepaskan.
“Yes, babe?” jawab Ben dengan tawa pada
tatapannya.
“Not here. Ada anak-anak,” bisik Jana
sambil melirik Erga dan Raka yang sudah selesai
memakan hotdog mereka dan sibuk
mengoleskan Nivea ke tubuh masing-masing.
“Oh, mereka bisa survive tanpa kamu
untuk beberapa menit.”
“That’s not the point,” geram Jana dan
dengan tangan kanannya berusaha mengangkat
cengkeraman tangan Ben pada
pergelangannya.
Ketika Ben menolaj bekerja sama, Jana
mencakarnya, tidak sampai merobek kulitnya, tapi
cukup dalam sehingga meninggalkan
bekas-bekas bulan sabit pada kulitnya. Damn it, that
hurt. God , this woman in pissing him
off. Jana sudah menggodanya dengan pakaian, aroma,
senyuman, dan sentuhannya selama
beberapa jam ini. Perempuan ini sudah gila kalau
menyangka dia akan diam saja disiksa
seperti ini.
Perlahan-lahan Ben bangun dari kursinya
dan menarik Jana dengan paksa ke dalam
pelukannya dan berbisik, “Kalo kamu mau
main kasar, all you have to do is ask, honey.”
Dia mendengar Jana terkesiap sebelum
menggeramkan, “Lepasin aku, Ben! Kalo nggak aku
akan angkut Erga dan Raka pulang
sekarang juga.”
Ben melepaskan Jana yang segera
mengusap-usap pergelangan tangannya sambil
menatapnya penuh kemarahan. Seperti
biasa, Jana selalu membuatnya bingung dengan
tingkah lakunya yang sudah seperti lirik
lagu yang dia dengar di radio akhir-akhir ini. Satu
detik dia hot, detik selanjutnya dia
cold. Dan hari ini bukan pengecualian.
“Oom Ben, ayo kita belajar napas lagi,”
panggil Raka, membuyarkan pikirannya.
“Oke, kamu sama Erga masuk duluan. Nanti
Oom Ben nyusul,” jawab Ben sebelum duduk
kembali di kursinya.
Jana sibuk membereskan sisa makanan di
atas meja dan menolak menatapnya. Ben
membuka tutup botol Nivea dan
mengoleskan ke seluruh tubuhnya. “Mama dan Papaku
Tanya kapan mereka bisa ketemu Erga dan
Raka.”
Kata-katanya ini membuat Jana
menghentikan apa pun yang sedand dilakukannya dan
menatapnya. Dan Ben berpikir bahwa Jana
akan menolaknya ketika dia berkata, “Hari
minggu depan gimana?”
“Jam berapa?”
“Pagi. Mungkin jam Sembilan.”
“Oke. Di mana?”
“Kalo kamu kasih alamat rumah orangtua
kamu, aku bisa bawa mereka ke sana.”
Ben menaikkan alisnya, sedikit terkejut
dengan tawaran murah hati ini. “Apa yang akan
kamu bilang ke Erga dan Raka tentang
orangtuaku?”
Jana menarik napas dalam dan
mengembuskannya terlebih dahulu sebelum menjawab,
“Bahwa mereka orangtua kamu, dan bahwa mereka
pengin banget ketemu.”
Ben mendengus. Dia tahu kata-kata
“Pengin banget ketemu” terlalu jinak untuk
menggambarkan perasaan Mama dan Papa
tentang Erga dan Raka. “Dan kapan kamu akan
bilang ke Erga dan Raka aku ini ayah
mereka?”
Tanpa Ben sangka-sangka, Jana justru
kelihatan bersalah, dan ini membuatnya waswas.
“Kamu memang ada rencana untuk bilang ke
mereka, kan?”
“Iya, aku memang ada rencana. Cuma… um…
aku perlu waktu untuk bilang ke mereka. Perlu
cari kata-kata yang tepat.”
“Apa kamu udah coba, Raka, Erga, ini Oom
Ben, dan dia ayah kalian?” ucap Ben dengan
nada sarkastis.
“Um… situasinya lebih complicated
daripada itu.”
“Complicated gimana?”
Jana kelihatan semakin bersalah. “Aku
bilang… aku bilang… ayah mereka sudah… sudah ada
di surge.”
Membutuhkan beberapa detik bagi Ben
untuk mencerna kata-kata Jana, dan ketika dia
memahaminya, dia langsung berteriak,
“YOU TOLD THEM I’M DEAD???!!!”
Dirty Little Secret - Bab 15
No comments:
Post a Comment