Bab 15
Just see the signal when my heart
explodes.
Nervous adalah kata yang tepat untuk
menggambarkan perasaan Jana hari ini. Untuk
menembus kesalahannya yang sudah
memberikan informasi tidak benar kepada anakanaknya
tentang keberadaan Ben, Jana
memperbolehkan Ben menjemput anak-anak dari
sekolah sendiri dan membawa mereka ke
rumah orangtuanya, di mana dia akan menjemput
mereka setelah pulang kerja. Agar Erga
dan Raka nggak kaget atas perubahan ini dan juga
untuk mengenalkan Ben dengan rutinitas
ini, selama dua hari belakangan dia selalu
mengajak Ben kalau menjemput mereka.
Setiap beberapa menit matanya kembali melirik
jam tangannya. Ben berjanji untuk member
kabar begitu dia menjemput Erga dan Raka dan
dia tidak bisa tenang sampai menerima
kabar itu. Jana hampir meloncat dari kursinya ketika
mendengar suara Papi yang menggelegar
memanggil namanya.
“Ya, Pak?”
Untuk menjaga etika kerja professional,
dia tidak pernah memanggil Papi dengan “Papi”
kalau di depan umum. Dia selalu
menggunakan “TO” atau “Pak”.
“Kecuali ada hal yang lebih penting yang
harus kamu lakukan, saya sarankan kamu focus
pada meeting ini,” ucap Papi.
“Ya, Papi juga tidak pernah memanggil
dirinya ”Papi” di depan umum, selalu menggunakan
kata “saya”, meskipun dia sedang
berbicara dengan anaknya sendiri.
“Baik, Pak,” balas Jana.
Oh, God. Dia berharap Ben nggak
terlambat menjemput mereka. Kalau dia sampai terlambat
atau nggak nongol, Jana akan
membunuhnya. Tapi gimana dia bisa menelepon kalau
ponselnya ada di laci meja kerjanya
sementara dia sedang ada di ruang rapat? Shit!!! Papi
sedang memelototinya, dia sebaiknya
kembali focus pada meeting ini kalau nggak mau
ditegur lagi.
***
Ben menunggu hingga Erga dan Raka keluar
sekolah sambil berdiri di samping mobil Mama.
Oji, sopir Mama, duduk di belakang
setir, menunggu sambil tetap menyalakan mesin. Dia
melihat ada banyak sekali mobil yang
antre, berisi ibu-ibu dan sopir. Dua kali dia ikut Jana
menjemput, dia selalu duduk di dalam
mobil karena Jana datangnya mepet dan hanya akan
mengangkut anak-anak terus cabut. Oleh
karena itu, dia agak sedikit terkesima melihat
antrean ini.
Ada satu ibu-ibu dengan dandanan
superheboh yang sedari tadi memperhatikannya dengan
penuh keingintahuan, membuatnya sedikit
risi. Ada sesuatu tentang penampilan ibu-ibu itu
yang mengingatkannya pada karakter di
Desperate House Wives. Penekanan pada kata
“desperate”. Wanita itu menatapnya
seakan dia sepotong daging yang mau dilahapnya
mentah-mentah. Gggrrr… wanita seperti
ini selalu membuatnya bergidik. Dan dia cukup
berpengalaman untuk segera menghindar
kalau melihat mereka. Dia baru saja membuka
pintu mobil, ketika ada orang yang
menepuk bahunya. Ketika dia menoleh dan menemukan
wanita “Desperate” itu berdiri di
hadapannya sambil mengulurkan tangan, dia berusaha
untuk tidak menggeram.
“Hai, kenalin saya Asti Jayadiningrat,
mamanya Bowin.”
Meskipun enggan, Ben tidak ada pilihan
selain meraih uluran tangan itu kalau tidak mau
dicap tidak sopan. “Ben,” ucapnya
pendek.
“Mas ini ke sini mau jemput siapa, ya?
Rasa-rasanya kita tidak pernah ketemu sebelumnya.
Saya tahu semua orangtua dan sopir di
sini,” ucap si ibu menor sambil menebarkan
senyuman lebarnya.
“Oh, ya kita emang belum pernah ketemu.
Ini hari pertama saya jemput anak-anak.”
“Ooohhh… jadi Mas jemput lebih dari satu
anak? Istri Mas lagi ke luar kota ya, jadi Mas yang
ditugasin jemput?”
Duh! Nih perempuan rese banget sih! Apa
dia pikir dia akan mendapat jawaban atas
pertanyaan yang ditanyakan dengan nada
sok imut bak dia masih belasan tahun? Yang ada
juga malah bikin dia mau kabur. Dan
itulah yang akan dia lakukan sekarang.
“Oh nggak, istri saya ada di rumah.
Masih kecapekan setelah seks maraton kami tadi malam.
Selamat siang,” tandas Ben dan buru-buru
masuk ke mobil dengan senyum puas ketika
melihat kekagetan pada wajah wanita itu.
“Kabur, Mas?” celetuk Oji dengan aksen
jawa-nya yang sangat kental sehingga membuat
kata “Kabur” terdengar sebagai “Kabor”.
Ben mengerutkan dahi ketika melihat mata
Oji berbinar-binar meledeknya. “Iya, nakutin
banget sih tuh ibu-ibu.”
“Lha wong dari tadi saya liatin dia
ngeliatin Masss, aja,”
“Awas kalo kamu bilang-bilang ke Mama.”
“Ya nggak dong, Mas.”
Yakin Oji akan menepati janjinya, Ben
kembali memfokuskan perhatiannya pada gerbang
sekolah. Dia hanya harus menunggu
beberapa menit sebelum menemukan Erga dan Raka
berhamburan keluar bersama-sama dengan
anak-anak lain dan celingukan mencarinya. Dia
segera menurunkan kaca jendela dan
meneriakkan nama mereka, Erga dan Raka langsung
tersenyum lebar dan berlari secepat
mungkin menuju mobil. Dia kembali turun dari mobil
untuk memeluk dan mencium mereka sebelum
menaikkan mereka ke kursi belakang.
Setelah memastikan sabuk pengaman terpasang,
dia meminta Oji membawa mereka ke
rumah orangtuannya.
“Oom Ben, kata Bunda hari ini kita
bakalan ngabisin waktu seharian sama Oom.”
Karena tatapan Ben terpaku pada layar
ponselnya.mencoba mengirimkan SMS kepada Jana
untuk memberitahukan bahwa Raka dan Erga
sudah di tangan, dia tidak tahu siapa yang
bertanya. Tebakannya adalah Raka, oleh
karena itu, setelah dia menekan send, dia memutar
tubuhnya dan menatap Raka sebelum
menjawab, “Rencananya emang begitu, kamu excited
nggak?”
“Oom Ben, yang tadi nanya itu aku, bukan
Raka.”
Mendengar ini Ben langsung mengalihkan
perhatiannya ke Erga, yang sekarang sedang
menyeringai. “Wah, sori ya. Oom nggak
bisa bedain suara kalian.”
“Nggak pa-pa. bunda juga masih suka
salah,” balas Erga sambil sedikit cekikikan.
“Oom Ben.”
“Ya, Raka?” Ben mengalihkan perhatiannya
kembali kepada anaknya yang satu lagi.
“Esaited itu apa, Oom?”
“Esaited?” Tanya Ben bingung.
“Yang tadi Oom bilang,” ucap Raka
sedikit tidak sabar.
Ben memutar otaknya mencoba mengingat
kata-kata yang sudah diucapkannya. Ketika
mendapatkannya, dia langsung tertawa
terbahak-bahak.
“Kok Oom ngetawain Raka gitu sih?” Raka
terdengar betul-betul tersinggung karena sudah
ditertawakan.
Ben buru-buru berhenti tertawa dan
berkata, “Sori. Oom bilang excited, itu bahasa inggris
yang artinya..” dia ,emcoba
mengingat-ingat perwakilan kata yang tepat dalam bahasa
Indonesia. “Excited artinya seneng atau…
gembira.”
Dia mendengar Erga dan Raka mengatakan
“Ooo” pada saat bersamaan, membuatnya
tertawa lagi. Oh my God, dia nggak sabar
untuk memamerkan anak-anaknya pada Mama
dan Papa. Dia yakin, seperti juga
dirinya, mereka akan langsung jatuh cinta pada mereka.
Dia tahu Mama sudah menunggu dengan
tidak sabar di rumah. Itu terbukti dari frekuensi
beliau mengirimkan SMS untuk menanyakan
ETA alias Estimated Time of Arrival alias kapan
mereka sampai? Ben sampai-sampai harus
mensilent ponselnya. Untungnya Papa mesti
menghadiri rapat penting di kantor, jadi
beliau tidak aka nada dirumah sampai sore. Dia
mensyukuri ini, karena kalau dia harus
berurusan dengan dua orangtua emosional sekaligus,
dia akan menembak kepalanya.
Sebagai persiapan menyambut
cucu-cucunya, Mama sudah menstock rumah dengan jajanan
yang bisa membuat orang satu kampong
hyper atau bahkan koma karena overdosis gula.
Mulai dari kue, biscuit, permen, sirup,
susu cokelat, es krim, pokoknya apa pun yang
mungkin di inginkan oleh Erga dan Raka,
Mama sudah menyediakannya. Papa juga tidak
kalah parahnya, beliau pun menstok rumah
dengan mainan dan bacaan. Mulai dari sepeda,
skateboard dengan segala aksesoris
keamanannya, mobil-mobilan pakai remote, robotrobotan
Transformers, bukan saja para Autobots,
tapi Decepticons-nya juga, dan berbagai
jenis bola yang diciptakan di dunia ini.
Sejujurnya, kalau beliau bisa menggali kolam renang
di halaman belakangan dalam waktu dua
hari, beliau pasti sudah melakukannya.
Papa juga memaksanya naik ke loteng
untuk menurunkan koleksi buku bacaannya waktu
kecil. Dia bahkan tidak tahu orangtuanya
masih menyimpannya ketika dia melihat koleksi
Noddy, Detektif cilik, dan komik-komik
DC dan Marvel miliknya. Selain itu dia juga melihat
koleksi Lima Sekawan dan Pasukan Mau
Tahu-nya yang sayangnya sudah menguning di
makan waktu. Melihat semua buku ini, dia
sadar betapa kutu bukunya dia waktu kecil. Dia
hanya berharap bisa membagi semua ini
dengan anak-anaknya, toh mereka sudah membagi
hobi berenang mereka, mungkin mereka
bisa membagi hobi membaca juga. Apa mereka
sudah dikenalkan pada seri Harry Potter
oleh Jana? Hmm, dia harus menanyakan hal ini
kepada mereka.
***
Ben mengembuskan napas lega karena bisa
mendapatkan anak-anaknya kembali setelah
dua jam Mama memonopoli mereka dengan
tidak memperbolehkan mereka meninggalkan
sisinya. Mama juga tidak henti-hentinya
menyungguhkan semua jajanan yang dia miliki
sampai Erga dan Raka mendekatinya ketika
Mama sedang menerima telepon, dan berbisik,
“Oom Ben, kami laper.”
“Umm, oke. Kamu mau kue lagi?” Raka dan
Erga menggelengkan kepala mereka kuat-kuat.
“Es krim, kalo gitu?” sekali lagi mereka
menggeleng.
“Roti pake susu?” Tanya Ben dengan nada
sedikit ragu sambil memutar otak mencari
makanan apa lagi yang bisa dia tawarkan.
Lagi-lagi mereka menggeleng, “Oke,
kalian mau makan apa kalo gitu?”
“Nasi,” jawab Erga
“Pake sup terong,” sambung Raka.
“Nasi sama sup terong?” Tanya Ben tidak
percaya.
Sejak kapan anak-anak suka terong? Waktu
dia kecil, sayuran yang paling dia benci adalah
terong. Kalau dipikir-pikir lagi, waktu
kecil dia benci semua sayuran. Lalu dia ingat Jana suka
sekali makan terong, entah dibakar atau
digoreng dia tahu nasi akan selalu tersedia di
dapur, tapi dia nggak yakin tentang
terong dan segala tetek-bengek yang dibutuhkan untuk
membuat sup. Sejujurnya, dia sama sekali
nggak tahu bumbu-bumbu apa saja yang akan dia
perlukan. Selama ini kalau mau makan
sup, dia selalu membeli versi kalengan dari
supermarket, dan yang dia perlu lakukan
adalah mencampurnya dengan air dan
memasukkannya ke dalam microwave sampai
mendidih.
Dia melirik Mama yang masih di telepon.
Dan lain dengan kebanyakan orang, Mama nggak
punya pembantu rumah tangga yang bisa di
mintai tolong. “Oke, kalo gitu kita cek apa ada
terong di dapur,” ucapnya pasrah dan
berjalan menuju dapur, diikuti Erga dan Raka.
Dia membuka lemari es dan mengucapkan
syukur ketika menemukan terong ungu yang
masih baru dan segar. Dia juga
mengeluarkan kol, daun bawang, dan seledri dari dalam
lemari es. Dan sambil menunggu hingga
Mama selesai dengan teleponnya, dia menugaskan
Erga dan Raka mencuci semua sayuran itu.
Sesaat anak-anaknya kelihatan bingung
dan dia bertanya, “Ada masalah?”
“Gimana cara cucinya, Oom?”
“Oh, begini.” Dan Ben menunjukkan cara
mencuci sayuran sebaik yang dia tahu. Dia tahu
kalau Mama melihat caranya, beliau pasti
sudah mengomelinya. Diam-diam dia bersyukur
Mama tidak ada di dapur bersama mereka.
“Oom Ben.”
“Ya, Erga?”
“Mbah yang itu bundanya Oom Ben, ya?”
“Iya. Emangnya kenapa?”
“Nggak kenapa-napa. Dia baik sama aku
dan Raka. Aku suka sama dia.”
Mau nggak mau Ben tersenyum atas
kepolosan pernyataan ini. “Apa itu berarti kamu main
ke sini lagi besok-besok?”
Raka dan Erga mengangguk pada saat
bersamaan dengan senyum lebar. Ben mengeluarkan
baskom dari dalam lemari untuk menampung
sayuran yang sudah dicuci.
“Kalo ayah Oom Ben ada di mana?”
“Ayah Oom Ben masih di kantor.”
“Pulang nya jam berapa?”
Ben melirik jam tangannya sebelum
menjawab, “Sebentar lagi juga pulang. Apa kamu mau
ketemu ayah Oom Ben?”
“Apa ayah Oom Ben sebaik bunda Oom?”
Ben berpikir sejenak sebelum menjawab
pertanyaan ini. “Tergantung. Tapi biasanya sih
begitu,” ucapnya akhirnya.
“Oom Ben?”
“Ya, Raka?”
“Gimana sih rasanya punya ayah?”
Wow, Raka baru saja menghantamnya dengan
barbell seberat lima puluh kilo. Rasa bersalah
meremas hatinya. Dengan saksama dia
memperhatikan ekspresi wajah Raka, takut akan
melihat kesedihan pada wajah kecilnya.
Tapi yang dia temukan hanyalah keingintahuan. Ben
memformulasikan jawabannya sebaik
mungkin. Pertanyaan ini mungkin terdengar mudah,
tapi untuk memberikan jawaban yang bisa
dimengerti oleh anak berumur tujuh tahun,
bukanlah mudah.
“Um… kamu tahu gimana Optimus Prime
selalu bisa ngebuat kita ngerasa aman? Bahwa
kalo dia ada, kita tahu nggak akan ada
apa pun yang bisa nyakitin kita?”
Raka mengangguk.
“Ya itulah yang Oom rasa tentang ayah
Oom. Dia Optimus Prime-nya Oom Ben.”
Raka menunduk dan menggumamkan, “Kalo aku
punya ayah, aku juga mau kayak Optimus
Prime. Sayang ayah Raka dan Erga udah di
surge.”
Ugh!!! Dia betul-betul akan membunuh
Jana atas kebohongannya. Dia ingin berlutut di
hadapan anak-anaknya untuk mengatakan
bahwa dialah ayah mereka dan dia memang
Optimus Prime. Heck, dia adalah Omega
Prime yang tidak akan membiarkan apa pun terjadi
kepada mereka. Dia menyesali
keputusannya beberapa hari yang lalu untuk membiarkan
Jana menunda memberitahukan anak-anak
tentang identitasnya hingga waktu yang dinilai
tepat oleh nya. Karena lebih dari apa
pun juga, dia ingin mendengar Erga dan Raka
memanggilnya “Ayah”, bukan “Oom Ben”,
sekarang.
“Oom Ben istrinya mana?”
Ben hanya bisa berkedip mendengar
pergantian topik ini.
“Um… Oom nggak punya istri,” ucapnya
sambil menurunkan panic dari gantungannya di
atas kompor.
“Oom ada pacar?”
Ben berusaha untuk tidak tertawa ketika
menjawab, “Nggak. Nggak ada pacar juga.”
Raka kelihatan mengerutkan dahi lalu
berkata, “Bunda juga nggak punya pacar.”
“Atau suami,” tambah Erga.
Oke… Ben tidak tahu ke mana anak-anaknya
akan membawa percakapan ini sampai Raka
berkata, “Menurut Oom, bunda cantik
nggak?”
Dan kali ini Ben tertawa. Bless them,
mereka sedang mencoba menjodohkannya dengan
Jana.
“Menurut Oom, Bunda kalian cantik
sekali,” ucap Ben di antara tawanya.
Pujian ini membuat wajah Erga dan Raka
langsung berseri-seri. “Oom mau nggak jadi
pacarnya Bunda?”
Say what???!!! Dari mana datangnya
pertanyaan ini? Yang lebih penting lagi, bagaimana dia
menjawab pertanyaan ini? Suatu
pertanyaan yang penuh dengan ranjau. Kalau dia
menjawab mau memacari Jana, dan Raka dan
Erga melaporkannya kepada Jana, dia yakin
Jana akan lari sebelum dia bisa
berkedip. Sedangkan kalau dia mengatakan “Nggak”,
kemungkinan akan menyinggung hati Jana.
Sesuatu yang tidak mau dia lakukan sama sekali,
terutama karena kepalanya meneriakkan
agar dia mengatakan “Iya”.
“Errr… Oom sih mau-mau aja. Masalahnya
adalah, apa Bunda kalian mau pacaran sama
Oom?”
Raka kelihatan berpikir sejenak, sebelum
berkata dengan antusias, “Aku bakal Tanya
Bunda…”
“No, no, no! jangan Tanya Bunda,” potong
Ben cepat.
Erga dan Raka langsung menatapnya heran.
Ben menelan ludah dan berkata dengan lebih
tenang, “Maksud Oom… lebih baik kalo…
kalo kalian nggak bilang-bilang ke Bunda tentang
omongan kita hari ini, oke?”
“Emangnya kenapa, Oom?”
“Karena.. karena ini.. rahasia penting.
Rahasia penting yang Cuma boleh diketahui sama kita
bertiga… laki-laki. Perempuan nggak
boleh tahu, termasuk Bunda. Oke?”
Erga dan Raka menatapnya seolah-olah dia
setengah gila dan dia tidak menyalahkan
mereka. Dia memang kedengaran gila,
bahkan untuk telinganya sendiri. Untuk mengalihkan
perhatian mereka, Ben berkata, “Oke,
kayaknya sayurannya udah bersih. Ayo kita mulai
potong.”
Dan tanpa menunggu lagi, Ben langsung
mengambil talenan dari rak cuci piring dan
mengeluarkan pisau dari dalam laci, siap
memotong sayuran itu
***
Tepat pukul 17.00, Jana langsung kabur
dari kantornya, tidak menghiraukan teriakan Papi
yang memanggilnya. Dia harus menjemput
Erga dan Raka sekarang juga. Sesuai
permintaannya, Ben sudah memberikan
update tentang apa yang anak-anak lakukan setiap
jamnya, tapi itu tetap tidak membawa
ketenangan untuknya. Oh God, dia tidak percaya
bahwa dia sudah memperbolehkan Ben
menjaga anak-anak semenjak tadi siang. Parahnya
lagi, dia bahkan memperbolehkannya
mengenalkan mereka kepada orangtua Ben. Orangtua
yang dia bahkan tidak pernah temui
sebelumnya. Bagaimana kalau mereka ternyata jenis
orangtua yang senang memukul kalau
anak-anak bandel? Mengingat betapa bandelnya
anak-anaknya, Jana bergidik membayangkan
bokong merah yang Erga dan Raka akan miliki
setelah ini. Shit!!! Dia seharusnya
bertemu orangtua Ben lebih dulu sebelum hari ini untuk
memastikan mereka “Ramah anak”. Dia
memang merencanakannya di dalam kepalanya,
tapi keburu mundur sebelum bisa
melakukannya. Entah kenapa, prospek bertemu orangtua
Ben membuatnya panas-dingin. Dia takut
mereka tidak akan menyetujuinya. Takut mereka
akan menghakiminya sebagai perempuan
egois yang sudah menyembunyikan cucu-cucu
mereka hanya karena dia membenci Ben
bertahun-tahun yang lalu. Ketakutan ini hampir
membuatnya menelepon Ben untuk mengatur
lokasi penjemputan lain. Get a grip woman!!!
Jana mengomeli dirinya sendiri. Dia
nggak bisa menghindari bertemu orangtua Ben
selamanya. Cepat atau lambat dia akan
harus bertemu mereka. Jadi kenapa nggak hari ini?
Toh, Erga dan Raka akan ada di sana,
jadi kalau terjadi apa-apa, dia bisa menggunakan
mereka sebagai tameng. Oh, God, dia
rasanya mau muntah.
***
Senja baru turun ketika Jana
dipersilahkan masuk oleh seorang anak muda yang
membukakan gerbang rumah orangtua Ben.
Perlahan-lahan Jana turun dari mobil dan
dengan langkah sedikit tidak pasti dia
menuju pintu depan. Rumah orangtua Ben kelihatan
biasa-biasa saja, seperti layaknya rumah
yang dibangun era tahun 60-an. Berbeda dengan
rumah orangtuanya yang serbamodern dan
eksklusif, tapi terkesan dingin, rumah ini
kelihatan hangat dan mengundang. Jana
baru saja akan menekan bel ketika pintu rumah
terbuka dan seorang laki-laki tua yang
mirip sekali dengan Ben kalau dia berumur enam
puluh tahunan dan sedang mengisap pipa,
berdiri di hadapannya.
“Kamu pasti Jana,” ucap Oscar Barata
yang terkenal itu dengan suara serak-serak basah.
“Be-betul, Oom,” jawab Jana sedikit
tergagap.
Telapak tangannya sudah basah dan dia
merasakan tetesan keringat mengalir di
punggungnya padahal hari sudah menjelang
malam dan udara sudah mendingin. Pak Oscar
hanya menatapnya dari ujung rambut
hingga ujung kaki sambil terus mengisap pipanya,
tanpa menawarkan tangannya untuk di
salami, jadi Jana hanya bisa berdiri diam, tidak tahu
apa yang harus dia lakukan.
“Ya, jangan berdiri di situ aja. Ayo,
masuk. Ben ada di dalam sama anak-anak,” geram Pak
Oscar tidak sabaran.
Buru-buru Jana melangkah masuk, dan
melihat Erga dan Raka dengan wajah segar habis
mandi, duduk manis di meja makan. Ben
duduk diantara mereka di kepala meja. Mereka
terlalu focus mengerjakan apa pun yang
mereka kerjakan, sehingga tidak ada dari mereka
yang mendengarnya masuk. Baru setelah
beberapa menit Jana sadar bahwa anak-anaknya
sedang mengerjakan pe-er… di bawah
pengawasan Ben.
HOLY SHITTT!!!
Dirty Little Secret - Bab 16
No comments:
Post a Comment