SATU
INI
nikmat ataukah azab?
“harus
dengan dia, tak ada pilihan lain!”tegas ibu.
Beliau
memaksaku untuk menikah dengan gadis itu. gadis yang sama sekali tak kukenal.
Sedihya, aku tiada berdaya sama sekali untuk melawanya. Aku tak punya kekuatan
apa-apa untuk memberontaknya. Sebab setelah ayah tiada, bagiku ibu adalah
segalanya.
Dengan
panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada didalam kandungan aku telah
dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal itu. kok bisa-bisanya ibunya
berbuat begitu. Pikiran orang dulu terkadang memang aneh.
“Ibunya
Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di Mankuyudan Solo dulu,” kata
ibu.
“
kami pernah berjanji,jika dikaruniai anak berlainan jenis akan besanan untuk
memperteguh tali persaudaraan. Karena itu Anakku,ibu yang telah hadir jauh
sebelum kau lahir!” ucap beliau dengan nada mengiba.
“dan
percayalah pada ibu, Anakku. Ibu selalu memilihkan yang terbaik untukmu. Ibu
tahu persis garis keturunan Raihana. Ibu tahu persis kesalehan kedua orang
tuanya,” tambahanya untuk menyakinkan diriku.
“Mbak
Raihana itu orangnya baik kok, kak. Dia ramah halus budi, sarjana pendidikan,
penyabar, berjilbab dan hafal Al-Quran lagi. Pokoknya cocok deh buat kakak,”
komentar adikku,si Aida tentang calon istriku.
“Orangnya
cantik nggak?”selidikku.
“Lumayan,
delapan koma limalah,” jawab adikku enteng.
“Tapi
lebih tua dari kakak ya?” tanyaku mencari kepastian.
“Ala
Cuma dua tahun kak, lagian sekarang’ kan lagi nge-trend lho, laki-laki menikah
dengan wanita yang lebih tua. Nggak masalah itu kak. Apalagi Mbak Raihana itu
baby face, selalu tampak lebih muda enam tahun dari aslinya. Orang-orang banyak
yang mengira dia itu baru sweet seventeenth lho kak. Bener nih, serius!”
propaganda adikku berapi-api. Adikku satu-satunya ini memang pendukung setia
ibu. Duh pusing aku, pusing!
ΩΩΩ
Dalam
pergaulatan jiwa yang sulit berhari-hari,akhirnya aku pasrah. Aku menuruti
keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi
dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.
Ibu
Durhakalah
aku
Jika
dalam diriku,
Tak
kau temui inginmu
Ibu
Durhakalah
aku
Jika dalam diriku,
Tak
kau temui legamu
Dengan
hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya
dalam hatiku ada kecemasan-kecemasan yang mengintai. Kecemasan-kecemasan yang
datang begitu saja dan aku tidak tahu alasanya, yang jelas, sebenarnya aku
sudah punya criteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Namun aku tidak
bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai itu.
saat khitbah sekalis kutatap wajah Raihana, dan benar kata si Aida, ia memang
baby face dan lumayan anggun. Namun garis-garis kecantikan yang kuimpikan tak
kutemukan sama sekali. Adikku, ibuku, sanak saudaraku semuanya mengakui Raihana
cantik. Bahkan tante Lia, pemilik salon kosmetik terkemuka di Bandung yang
seleranya terkenal tinggi dalam masalah kecantikan mengacungkan jempol tatkala
menatap foto Raihana. “ cantiknya benar-benar alami. Bisa jadi iklan sabun Lux
lho, asli!” komentarnya tanya ragu.
Tapi
seleraku lain. Entah mengapa. Apakah mungkin karena aku telah begitu hanyut
citra gadis-gadis Mesir Titisan Cleopatra yang tinggi semampai? Yang berwajah
putih jelita dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas Arab, dan
bibir merah halus menawan. Dalam balutan jilbab sutra putih wajah gadis Mesir
itu bersinar-sinar, seperti permata Zabarjad yang bersih, indah berkilau
tertempa sinar purnama. Sejuk dan mempesona. Jika tersenyum, lesung
pipinya akan menyihir siapa saja yang melihatnya. Aura pesona kecantikan
gadis-gadis Mesir Titisan Cleopatra sedimikian kuat mengakar dalam otak,
perasaan dan hatiku, sedimikian kuat menjajahkan cita- cita dan mimpiku. Aku
heran, kenapa aku jadi begini? Dimanakah petuah-petuah suci kenabian itu
kusimpan? Apakah hati ini telah sepenuhnya diduduki oleh mata bening dan wajah
kemialu gadis Mesir? Dimanakah hidayah itu? apakah aku telah gila? Mana ada
kecantikan Cleopatra di jawa!?
Dihari-hari
menjelang akad nikah aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku pada istriku,
tetapi usahaku selalu saja sia-sia. Usahaku justru membuat diriku sangat
tersiksa. Bibit cinta yang kuharapkah malah menjelma menjadi pohon-pohon kaktus
berduri yang tumbuh yang menganjal didalam hatiku. Terkadang bibit cinta yang
kuharapkan itu malah menjelma menjadi tiang gantungan yang mencekam. Aku hidup
dalam hari-hari yang mengancam. Aku hidup dalam hari-hari yang mencekam. Aku
meratapi nasibku dalam derita yang tertahan. Ingin aku memberontak pada ibu.
Tapi teduh wajahnya selalu membuatku luluh.
Ibu,
durhakalah aku
Jika
dalam maumu tak ada mauku
Tapi
durhakakah aku, ibu ?
Jika
dalam diri raihana taka ada cintaku
Oh
tuhanku, haruskah aku menikah dalam keadaan tersiksa seperti ini? Haruskan aku
menikah dengan orang yang tidak aku cintai? Dan lagi-lagi aku hanya bisa
pas-pas. Sinar wajah ibu berkilat-kilat, hadir didepan mata duh gusti tabahkan
hatiku!
ΩΩΩ
Hari
pernikahan itu datang. Aku datang seumpama tawanan yang digiring ketiang
gantungan. Lalu duduk di pelaminan bagai mayat hidup, hati hampa, tanpa cinta.
Apa mau dikata, cinta adalah anugerah Tuhan yang tak bisa dipaksakan, pesta
meriah dengan bunyi empat grup rebana terasa konyol. Lantunan shalawat nabi
terasa menusuk-menusuk hati. Inna lillahi wa ilahi rajiun! Perasaan dan
nuraniku benar-benar mati.
Kulihat
Raihana tersenyum manis, tapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwku
meronta-ronta. Aku benar-benar merana. Satu-satunya, harapanku hanyalah berkah
dari Tuhan atas baktiku pada ibu yang amat kucintai. Rabbighfir li wa
liwalidayya !
Layaknya
pengantin baru, tujuh hari pertama kupaksakan hatiku untuk memuliakan Raihana
sebisanya. Kupaksakan untuk mesra, bukan karena cinta. Sungguh, bukan karena
aku mencintainya. Hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa
membaca ayat-ayat nya, oh, alangkah dahsyatnya sambutan cinta Raihana atas
kemesraan yang ku merintih menangisi kebohongan dan kepura-puraanku. Apakah aku
telah menjadi orang munafik karena memdustai diri sendiri dan banyak orang? Duhai
tuhan mohon ampunan. Aku yang terbiasa membaca ayat-ayat-Nya kenapa bisa itu
menebas leher kemanusiaanku. Dan aku pasrah tanpa daya.
Tepat
dua bulan setelah pernikahan,kubawa Raihana kerumah kontrakan dipinggir kota
Malang. Mulailah nyanyian hampa kehidupan mencekam. Aku tak menemukan adanya
gairah. Hari-hari indah pengantin baru, mana? Mana hari-hari indah itu? tak
pernah kurasakan! Yang kurasakan adalah siksaan-siksaan jiwa yang mendera-dera.
Oh,
bertapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Sudah dua bulan aku hidup bersama
seorang istri. Makan, minum, tidur dan shalat bersama mahluk yang bernama
Raihana, istriku. Tapi, masya allah, bibit-bibit cintaku tak juga tumbuh. Senym
manis Raihana tak juga menembus batinku. Suaranya yang lembut tetap saja terasa
hambar. Wajahnya yang teduh tetap saja terasa asing bagiku. Sukmaku merana.
“Duhai cintaa hadirlah, hadirlaaaah! Aku ingin merasakan seperti apa indahnya
mencintai seorang isteri!” jerit batinku menggedor–gedor jiwa. Cinta yang
kudamba bukannya mendekat, tapi malah lari semakin jauh dari dtik ke detik.
Pepatah Jawa kuno bilang, Wiwiting tresno jalaran soko kulino! Artinya,
hadirnya cinta sebab sering bersama. Tapi pepatah itu agaknya tidak berlaku
untukku. Aku setiap hari bersama Raihana. Berada dalam satu rumah. Makan satu
meja. Dan tidur satu kamar. Tapi cinta itu kenapa tak juga hadir-hadir juga?
Kenapa!? Yang hadir justru perasaan tidak suka yang menyiksa. Aku kuatir,
jangan-jangan aku bisa gila! Atau aku sebenarnya tlah gila? Tapi tidak!
Tidak ada yang menyebutku gila. Aku masih bisa mengajar di kampus dengan baik.
Masih bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mahasiswa dengan baik. Tapi, dalam
sejarah kehidupan manusia banyak orang gila yang kelihatannya normal-normal
saja. Banyak juga yang kelihatannya aneh tapi sebenarnya dia tidak gila. Cinta
yang salah kedaden memang sering menciptakan orang-orang gila. Begitu juga
cinta yang tidak kesampaian. Apakah aku akan tecatat dalam daftar orang-orang
gila karena salah kedaden dalam menghayati cinta? Embuh !
Memasuki
bulan keempat , rasa muak hidup bersama Raihan mulai kurasakan. Aku tak tahu
dasar munculnya perasaan ini. Ia muncul begitu saja. Melekat begitu saja dalam
dinding-dinding hati. Aku telah mencoba membuang jauh-jauh perasaan tidak baik
ini. Aku tidak mau membenci atau muak pada siapa pun juga, apalagi pada isteri
sendiri yang seharusnya kusayang dan kucinta. Tetapi entah kenapa, perasaan
tidak baik itu tetap saja bercokol di dalam hati. Sama sekali tidak bisa diusir
dan dienyahkan. Bahkan, dari detik ke detik rasa muak itu semakin menjadi-jadi,
menggurita dan menjajah diri. Perasaan itu mencengkeram seluruh raga dan sukma.
Aku tak berdaya apa-apa.
Sikapku
pada Raihana mulai terasa lain. Aku merasakanya tapi aku tiada bisa berbuat
apa-apa. Aku lebih banyak diam,acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih
banyak diruang kerja atau diruang tamu. Aku sendiri heran dengan keadaan
diriku. Aku yang biasanya suka romantis kenapa bisa begini sadis. Aku. Inginku.
Galuku. Resahku. Dukaku. Mengumpal jadi satu. Tak tahu aku, apa yang terjadi
pada diriku. Pikiran dan hatiku pernah duka yang tidak mengalaminya. Duka yang
bergejolak-gejolak tiada bias diredam dengan diam. Duka yang menganga
menebarkan perasaan sia-sia. Aku mengutuk keadaan dan mengutuk diriku sendiri
dalam diri:
Dukaku
dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
Resahku
resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
Raguku
ragukau raguguru ragutahu ragukalian
Mauku
maukau mautahu mausampai maukalian
Maukenal
maugapai
Sisaku
siasakau siasiasia siarisau siakalian
Sia-sia….!
Aku
merasa hidupku adalah sia-sia. Belajarku lima tahun diluar negeri sia-sia.
Pernikahanku sia-sia. Keberadaanku sia-sia. Dan usahaku untuk berbakti pada ibu
adalah sia-sia. Aku merasa hanya menemui kesia-siaan. Sebab aku telah berusaha
menemukan cahaya cinta itu namun tak kutemukan juga, yang datang justru rasa
muak dan hampa yang menggelayut dalam relung jiwa. Bacaan Alquran Raihana tak
menyentuh hati dan perasaan. Aku bingung sendiri pada diriku. Aku ini siapa?
Apa yang sedang aku alami sehingga aku merasa sedemikian balau. Sehingga diriku
tak ubahnya patung batu.
No comments:
Post a Comment