DUA
KELIHATANNYA
tidak
hanya aku yang tersiksa dengan keadaan tidak sehat ini. Raihana mungkin
merasakan hal yang sama. Tapi ia adalah perempuan Jawa sejati yang selalu
berusaha menahan segala badai dengan kesabaran. Perempuan Jawa yang selalu
mengalah dengan keadaan. Yang salalu menormorsatukan suami dan menomorduakan
dirinya sediri. Karena ia seorang yang berpendidikan, maka dengan nada
diberani-beranikan, ia mencoba bertanya ini-itu tentan perubahan sikapku. Ia
mencari-cari kejelasan apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Tetapi selalu
saja menjawab,”tidak ada apa-apa kok mbak, mungkin aku belum dewasa! Aku
mungkin masih harus belajar berumah tangga, mbak!”
Ada kekagetan yang
kutangkap dalam wajah Raihana saat kupangil “mbak” ? . panggilan akrab untuk
orang lain, tapi bukan untuk seorang istri.
“kenapa mas
memanggilku”mbak”? aku ‘kan istri mas. Apakah mas tidak mencintaiku?” tanyanya
dengan gurat sedih tampak diwajahnya,.
“Wallahu a’lam!” jawabku
sekenanya.
Dan dengan mata
berkaca-kaca. Raihana diam, menunduk tak lama kemudian ia menangis terisak-isak
sambil memeluk kedua kakiku.
“kalau mas tidak
mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah itu?
kalau dalam tingkahku melayani mas nikah ada yang tidak berkenan kenapa mas
tidak bilang dan menegurnya. Kenapa mas diam saja? Aku harus bersikap bagaimana
untuk membahagiakan mas? Aku sangat mencintaimu mas. Aku siap mengorbankan
nyawa untuk kebahagian mas? Jelas buat rumah ini penuh bunga-bunga indah yang
bermerahan? Apa yang harus aku lakukan agar mas tersenyum? katakanlah mas!
Katakanlah! Asal jangan satu hal. Kuminta asal jangan satu hal: yaitu
menceraikan aku! Itu adalah neraka bagiku. Lebih baik aku mati daripada mas
menceraikanku. Dalam hidup ini aku ingin berumah tangga Cuma sekali. Mas
kumohon bukalah hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi
menyempurnakan ibadahku didunia ini.”
Raihan mengiba penuh
pasrah. Namun, oh sungguh celaka! Aku tak merasakan apa-apa. Aku tak bisa iba
sama sekali padanya. Kata-katanya terasa bagaikan ocehan penjual jamu yang
tidak kusuka. Aku heran pada diriku sendiri, aku ini manusia ataukah patung
batu? Kalau pun aku menitikkan air mata itu bukan karena Raihana tapi karena
menangis ke-patung- batu- an diriku.
Hari terus berjalan dan
komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing yang tidak
saling kenal. Raihana tidak menganggapku asing dia masih setia menyiapkan
segala untukku. Tapi aku merasa dia seperti orang asing. Aku benar-benar
meminta kepada tuhan agar otak,perasaan, dihati dan jiwa diganti saja dengan
yang bisa mencintai Raihana.
Suatu
sore aku pulang dari mengajar dan kehujanan dijalan. Aku lupa tidak membawa jas
hujan. Sampai dirumah habis magrib. Bibirku biru, mukaku pucat. Perutku belum
kumasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, memang aku
berangkat terlalu pagi karena ada janji dengan seorang teman. Jadi aku
berangkat sebelum sarapan yang dibuat Raihana jadi. Raihana memandang diriku
dengan waajah kuatir.
“mas tidak apa-apa kan?”
tanyanya cemas sambil melepaskan jaketku yang basah kuyup.”mas mandi pakai air
hangat saja ya. Aku sedang menggodog air. Lima menit lagi mendidih.” Lanjutnya.
Aku melepaskan semua
pakaian yang basah dan memakai sarung. Diluar hujan sedang lebat-lebatnya. Aku
merasa perutku mulas sekali. Dan kepala agak pening. Aku yakin masuk angin.
“mas air hangatnya sudah
siap?” kata Raihana.
Aku tak bicara sepatah
kata pun. Aku langsung masuk kekamar mandi dan membersihkan badan dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Aku lupa tidak membawa handuk. Selesai mandi, raihana
telah berdiri didepan pintu kamar mandi dan memberikan handuk. Dikamar ia juga
telah menyiapkan pakaianku.
“Mas aku buatkan wedang
jahe panas. Biar segar.”
Aku diam saja.
“Tadi pagi mas belum
sarapan. Apa mas sudah makan tadi siang?” Aku merasa rasa mulas dan mual dalam
perutku tidak bisa kutahan. Dengan cepat aku berlari kekamar mandi. Dan aku
muntah disana. Raihana mengejar dan memijitnya pundak dan tengkukku seperti
yang dilakukan ibu.
“Mas masuk angin.
Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa mas, pakai balsam, minyak kayu
putih atau pakiai jamu?”tanya Raihana sambil menuntunku kekamar.
“Mas jangan diam saja
dong. Aku kan tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk membantu mas.”
“Baisanya dikerokin.”
Lirihku
“Kalau begitu kaos mas
dilepas ya. Biar hana kerokin.” Sahut Raihana sambil tangannya melepaskan
kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihan dengan sabar
mengerokin punggungku dengan sentuhan yang halus. Setelah selesai dikerokin,
Raihana membawa satu mengkok bubur kacang hijau panas.
“Biasanya dalam keadaan
meriang makan nasi itu tidak selera. Kebetulan hana buat bubur kacang hijau.
Makanlah mas untuk mengisi perut biar segara pulih.”
Aku menyantap bubur
kacang hijau itu dengan lahap. Lalu merebahkan diri ditempat ditidur, menelusup
dibawah hangatnya selimut. Kenyamanan mulai menjalar keseluruh tubuhku. Raihana
duduk dikursi tak jauh dariku. Ia khusuk mengulang hafalan alqurannya. Di luar
hujan deras. Suara guntur menggelegar dan petir menyambar-nyambar. Aku
memperhatikan wajah Raihana . aku jadi kembali sedih. Wajah yang cukup manis
tapi tidak semanis dan seindah gadis-gadis lembah sungai Nil. Tak lama kemudian
aku tertidur dengan sendirinya. Dalam tidur aku bertemu Ratu Cleopatra pada
suatu pagi yang cerah di pantai Cleopatra, Alexandria. Ia mengundangku makan
malam diistananya.” Aku punya keponakan cantik namanya mona zaki. Maukah kau
berkenalan dengan?” kata Ratu Cleopatra yang membuat hatiku berbunga-bunga luar
biasa.
“Mona zaki, aktris belia
yang sedang naik daun itu?”tanyaku.
“Ya. Datanglah nanti
malam pukul delapan tepat. Terlambat satu menit saja kau akan kehilangan
kesempatan untuk menyuntingnya?”
“Menyuntingnya?”
“Ya. Dia meminta padaku
untuk mencarikan pengeran yang cocok untukya. Aku melihatmu cocok. Tapi aku
ingin tahu komitmen dan tangggung jawabmu. Jika aku datang terlambat maka kau
bukan orang yang bisa bertanggung jawab. Apa kau tidak mau menyuntingnya?”
“Mau, tapi..”
“Tapi kenapa?”
“Dia tidak pakai jilbab.”
“Asal kau mau semua bisa
diatur.”
“Baiklah saya akan
datang.”
“Ingat jam delapan
tepat!”
“Jangan kuatir.”
Aku mempersiapkan
segalanya. Aku membeli stelan jas terbaik. Dan aku pergi ke salon. Pukul tujuh
malam aku sudah berada didalam mobil Limousin. Meluncur di atas jalan El Gaish
menuju istana Cleopatra dikawasan El Manshiya. Aku melewati jembatan Stenley.
Keindahan malam kota Alexandria menambah suasana bahagia dalam hati. Limousin
terus meluncur. Mercusuar pelabuhan Alexandria kelihatan. Benteng El Silsila
juga tampak tak jauh di depan. Tak lama lagi akan sampai di istana Ratu
Cleopatra. Wajah Mona Zaki terbayang di mata. Dia memang cantik tak kalah
dengan Ratu Cleopatra. Tepat pukul tujuh lima puluh menit aku sampai digerbang
istana Cleopatra yang megah. Pintu gerbang dibuka. Limousine masuk istana yang
indah itu. aku turun dari mobil. Seorang pengawal yang gagah membawaku menuju
bangsal utama. Hatiku bergetar luar biasa. Aku akan bertemu Mona Zaki dan
menyuntingnya.
“Dari sana Ratu Cleopatra
sudah menunggu bersama Mona Zaki dan kedua orangtuanya. Ratu juga telah
mengundang ma’dzun syar’i. beliau juga telah menyiapkan pesta yang mewah
setelah akad nikah. Anda sangat beruntung orang Indonesia. Anda beruntung
dipilih oleh Ratu Cleopatra untuk menjadi pendamping keponakannya. Dan anda
telah beruntung datang tepat pada waktunya. Selamat ya!” kata pengawal itu sambil
menuju bangsal utama. Dari kejauhan aku melihat Ratu Cleopatra duduk
disinggasananya. Disamping kananya ada seorang indah. Itukah Mona Zaki? Hatiku
bergetar hebat. Jika aku berada di Jawa, sangat tidak mungkin berkenalan dengan
puteri keraton Solo atau Yogyakarta apalagi menyunting mereka, ini aku, tinggal
menunggu hitungan menit saja akan menyunting puteri tercantik di Mesir.
Keponakan Ratu Cleopatra. Jika nanti aku bawa pulang ke Indonesia. Maka dengan
tiba-tiba aku akan menjadi orang paling sering nongol di televisi dan
Koran-koran. Siapa yang tidak kenal kecantikan Cleopatra? Dan Mona Zaki dalam
gaun pengantinya lebih cantik dari Ratu Cleopatra, bibirnya. Sampai dibangsal
aku mengucapkan salam. Mona Zaki tersenyum padaku. Ada satu kursi masih kosong,
tepat di samping kanan Mona Zaki!” sang ratu mempersilahkan aku menduduki kursi
yang berhias berlian itu. aku melangkah maju. Aku akan duduk disamping Mona
Zaki. Hidup ini begitu indahnya. Belum sempat duduk. Tiba-tiba………
“Mas, bangun mas. Sudah jam
setengah empat kau belum shalat isya!”
Raihana menguncangkan
tubuhku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa luar biasa. Tidak jadi menyunting
Mona Zaki, keponakan Cleopatra, aku menatap raihana dengan perasaan jengkel dan
tidak suka.
“Maafkan hana, kalau
membuat mas kurang suka. Tapi mas belum shalat isya.” Lirih hana yang belum
melepas mukenanya, dia mungkin baru saja shalat malam. Aku tidak berkata
apa-apa. Meskipun Cuma mimpi itu sangat indah seperti dalam alam nyata. Kenapa
raihana tidak menunggu sampai aku menikah dengan keponakan Ratu Cleopatra itu.
kenapa tidak menunggu sampai aku merasakan indahnya malam pertama bersamanya.
Meskipun Cuma dalam mimpi. Aku bangkit mangambil air wudhu dan shalat. Selesai
shalat aku merenungkan mimpi yang baru kualami. Sangat indah. Tapi sayang
terputus. Cleopatra dan Mona Zaki, aneh. Bagaimana mungkin Mona Zaki itu
keponakan Cleopatra. Bukankah Cleopatra hidup dizaman Romawi dan Mona Zaki
diabad ke-21. bagaimana bisa bertemu dalam ikatan darah bibi dan keponakan.
Mimpi memang sering aneh. Tak bisa dinalar. Tapi indah. Hanya saja sayang.
Diputus oleh Raihana. Aku jadi semakin tidak suka dengan dia. Dialah pemutus
harapan dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah? Bukankah dia justru
berbuat baik membangunkan aku untuk shalat? Jika sudah berkaitan dengan cinta
dan mimpi, yang salah atau benar seringkali tidak jelas batasanya. Hanya yang
diselamatkan oleh Allah yang masih berpijak pada kesadaran naluri dan berpijak
pada jalan yang benar. Dan aku?
Pudarnya Pesona Cleopatra - Bab 3
No comments:
Post a Comment