Wednesday, September 2, 2015

Pudarnya Pesona Cleopatra - Bab 2



DUA 

KELIHATANNYA tidak hanya aku yang tersiksa dengan keadaan tidak sehat ini. Raihana mungkin merasakan hal yang sama. Tapi ia adalah perempuan Jawa sejati yang selalu berusaha menahan segala badai dengan kesabaran. Perempuan Jawa yang selalu mengalah dengan keadaan. Yang salalu menormorsatukan suami dan menomorduakan dirinya sediri. Karena ia seorang yang berpendidikan, maka dengan nada diberani-beranikan, ia mencoba bertanya ini-itu tentan perubahan sikapku. Ia mencari-cari kejelasan apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Tetapi selalu saja menjawab,”tidak ada apa-apa kok mbak, mungkin aku belum dewasa! Aku mungkin masih harus belajar berumah tangga, mbak!”
Ada kekagetan yang kutangkap dalam wajah Raihana saat kupangil “mbak” ? . panggilan akrab untuk orang lain, tapi bukan untuk seorang istri.
“kenapa mas memanggilku”mbak”? aku ‘kan istri mas. Apakah mas tidak mencintaiku?” tanyanya dengan gurat sedih tampak diwajahnya,.
“Wallahu a’lam!” jawabku sekenanya.
Dan dengan mata berkaca-kaca. Raihana diam, menunduk tak lama kemudian ia menangis terisak-isak sambil memeluk kedua kakiku.
“kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah itu? kalau dalam tingkahku melayani mas nikah ada yang tidak berkenan kenapa mas tidak bilang dan menegurnya. Kenapa mas diam saja? Aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas? Aku sangat mencintaimu mas. Aku siap mengorbankan nyawa untuk kebahagian mas? Jelas buat rumah ini penuh bunga-bunga indah yang bermerahan? Apa yang harus aku lakukan agar mas tersenyum? katakanlah mas! Katakanlah! Asal jangan satu hal. Kuminta asal jangan satu hal: yaitu menceraikan aku! Itu adalah neraka bagiku. Lebih baik aku mati daripada mas menceraikanku. Dalam hidup ini aku ingin berumah tangga Cuma sekali. Mas kumohon bukalah hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini.”
Raihan mengiba penuh pasrah. Namun, oh sungguh celaka! Aku tak merasakan apa-apa. Aku tak bisa iba sama sekali padanya. Kata-katanya terasa bagaikan ocehan penjual jamu yang tidak kusuka. Aku heran pada diriku sendiri, aku ini manusia ataukah patung batu? Kalau pun aku menitikkan air mata itu bukan karena Raihana tapi karena menangis ke-patung- batu- an diriku.
Hari terus berjalan dan komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing yang tidak saling kenal. Raihana tidak menganggapku asing dia masih setia menyiapkan segala untukku. Tapi aku merasa dia seperti orang asing. Aku benar-benar meminta kepada tuhan agar otak,perasaan, dihati dan jiwa diganti saja dengan yang bisa mencintai Raihana.
Suatu sore aku pulang dari mengajar dan kehujanan dijalan. Aku lupa tidak membawa jas hujan. Sampai dirumah habis magrib. Bibirku biru, mukaku pucat. Perutku belum kumasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, memang aku berangkat terlalu pagi karena ada janji dengan seorang teman. Jadi aku berangkat sebelum sarapan yang dibuat Raihana jadi. Raihana memandang diriku dengan waajah kuatir.
“mas tidak apa-apa kan?” tanyanya cemas sambil melepaskan jaketku yang basah kuyup.”mas mandi pakai air hangat saja ya. Aku sedang menggodog air. Lima menit lagi mendidih.” Lanjutnya.
Aku melepaskan semua pakaian yang basah dan memakai sarung. Diluar hujan sedang lebat-lebatnya. Aku merasa perutku mulas sekali. Dan kepala agak pening. Aku yakin masuk angin.
“mas air hangatnya sudah siap?” kata Raihana.
Aku tak bicara sepatah kata pun. Aku langsung masuk kekamar mandi dan membersihkan badan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku lupa tidak membawa handuk. Selesai mandi, raihana telah berdiri didepan pintu kamar mandi dan memberikan handuk. Dikamar ia juga telah menyiapkan pakaianku.
“Mas aku buatkan wedang jahe panas. Biar segar.”
Aku diam saja.
“Tadi pagi mas belum sarapan. Apa mas sudah makan tadi siang?” Aku merasa rasa mulas dan mual dalam perutku tidak bisa kutahan. Dengan cepat aku berlari kekamar mandi. Dan aku muntah disana. Raihana mengejar dan memijitnya pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu.
“Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa mas, pakai balsam, minyak kayu putih atau pakiai jamu?”tanya Raihana sambil menuntunku kekamar.
“Mas jangan diam saja dong. Aku kan tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk membantu mas.”
“Baisanya dikerokin.” Lirihku
“Kalau begitu kaos mas dilepas ya. Biar hana kerokin.” Sahut Raihana sambil tangannya melepaskan kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihan dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawa satu mengkok bubur kacang hijau panas.
“Biasanya dalam keadaan meriang makan nasi itu tidak selera. Kebetulan hana buat bubur kacang hijau. Makanlah mas untuk mengisi perut biar segara pulih.”
Aku menyantap bubur kacang hijau itu dengan lahap. Lalu merebahkan diri ditempat ditidur, menelusup dibawah hangatnya selimut. Kenyamanan mulai menjalar keseluruh tubuhku. Raihana duduk dikursi tak jauh dariku. Ia khusuk mengulang hafalan alqurannya. Di luar hujan deras. Suara guntur menggelegar dan petir menyambar-nyambar. Aku memperhatikan wajah Raihana . aku jadi kembali sedih. Wajah yang cukup manis tapi tidak semanis dan seindah gadis-gadis lembah sungai Nil. Tak lama kemudian aku tertidur dengan sendirinya. Dalam tidur aku bertemu Ratu Cleopatra pada suatu pagi yang cerah di pantai Cleopatra, Alexandria. Ia mengundangku makan malam diistananya.” Aku punya keponakan cantik namanya mona zaki. Maukah kau berkenalan dengan?” kata Ratu Cleopatra yang membuat hatiku berbunga-bunga luar biasa.
“Mona zaki, aktris belia yang sedang naik daun itu?”tanyaku.
“Ya. Datanglah nanti malam pukul delapan tepat. Terlambat satu menit saja kau akan kehilangan kesempatan untuk menyuntingnya?”
“Menyuntingnya?”
“Ya. Dia meminta padaku untuk mencarikan pengeran yang cocok untukya. Aku melihatmu cocok. Tapi aku ingin tahu komitmen dan tangggung jawabmu. Jika aku datang terlambat maka kau bukan orang yang bisa bertanggung jawab. Apa kau tidak mau menyuntingnya?”
“Mau, tapi..”
“Tapi kenapa?”
“Dia tidak pakai jilbab.”
“Asal kau mau semua bisa diatur.”
“Baiklah saya akan datang.”
“Ingat jam delapan tepat!”
“Jangan kuatir.”
Aku mempersiapkan segalanya. Aku membeli stelan jas terbaik. Dan aku pergi ke salon. Pukul tujuh malam aku sudah berada didalam mobil Limousin. Meluncur di atas jalan El Gaish menuju istana Cleopatra dikawasan El Manshiya. Aku melewati jembatan Stenley. Keindahan malam kota Alexandria menambah suasana bahagia dalam hati. Limousin terus meluncur. Mercusuar pelabuhan Alexandria kelihatan. Benteng El Silsila juga tampak tak jauh di depan. Tak lama lagi akan sampai di istana Ratu Cleopatra. Wajah Mona Zaki terbayang di mata. Dia memang cantik tak kalah dengan Ratu Cleopatra. Tepat pukul tujuh lima puluh menit aku sampai digerbang istana Cleopatra yang megah. Pintu gerbang dibuka. Limousine masuk istana yang indah itu. aku turun dari mobil. Seorang pengawal yang gagah membawaku menuju bangsal utama. Hatiku bergetar luar biasa. Aku akan bertemu Mona Zaki dan menyuntingnya.
“Dari sana Ratu Cleopatra sudah menunggu bersama Mona Zaki dan kedua orangtuanya. Ratu juga telah mengundang ma’dzun syar’i. beliau juga telah menyiapkan pesta yang mewah setelah akad nikah. Anda sangat beruntung orang Indonesia. Anda beruntung dipilih oleh Ratu Cleopatra untuk menjadi pendamping keponakannya. Dan anda telah beruntung datang tepat pada waktunya. Selamat ya!” kata pengawal itu sambil menuju bangsal utama. Dari kejauhan aku melihat Ratu Cleopatra duduk disinggasananya. Disamping kananya ada seorang indah. Itukah Mona Zaki? Hatiku bergetar hebat. Jika aku berada di Jawa, sangat tidak mungkin berkenalan dengan puteri keraton Solo atau Yogyakarta apalagi menyunting mereka, ini aku, tinggal menunggu hitungan menit saja akan menyunting puteri tercantik di Mesir. Keponakan Ratu Cleopatra. Jika nanti aku bawa pulang ke Indonesia. Maka dengan tiba-tiba aku akan menjadi orang paling sering nongol di televisi dan Koran-koran. Siapa yang tidak kenal kecantikan Cleopatra? Dan Mona Zaki dalam gaun pengantinya lebih cantik dari Ratu Cleopatra, bibirnya. Sampai dibangsal aku mengucapkan salam. Mona Zaki tersenyum padaku. Ada satu kursi masih kosong, tepat di samping kanan Mona Zaki!” sang ratu mempersilahkan aku menduduki kursi yang berhias berlian itu. aku melangkah maju. Aku akan duduk disamping Mona Zaki. Hidup ini begitu indahnya. Belum sempat duduk. Tiba-tiba………
“Mas, bangun mas. Sudah jam setengah empat kau belum shalat isya!”
Raihana menguncangkan tubuhku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa luar biasa. Tidak jadi menyunting Mona Zaki, keponakan Cleopatra, aku menatap raihana dengan perasaan jengkel dan tidak suka.
“Maafkan hana, kalau membuat mas kurang suka. Tapi mas belum shalat isya.” Lirih hana yang belum melepas mukenanya, dia mungkin baru saja shalat malam. Aku tidak berkata apa-apa. Meskipun Cuma mimpi itu sangat indah seperti dalam alam nyata. Kenapa raihana tidak menunggu sampai aku menikah dengan keponakan Ratu Cleopatra itu. kenapa tidak menunggu sampai aku merasakan indahnya malam pertama bersamanya. Meskipun Cuma dalam mimpi. Aku bangkit mangambil air wudhu dan shalat. Selesai shalat aku merenungkan mimpi yang baru kualami. Sangat indah. Tapi sayang terputus. Cleopatra dan Mona Zaki, aneh. Bagaimana mungkin Mona Zaki itu keponakan Cleopatra. Bukankah Cleopatra hidup dizaman Romawi dan Mona Zaki diabad ke-21. bagaimana bisa bertemu dalam ikatan darah bibi dan keponakan. Mimpi memang sering aneh. Tak bisa dinalar. Tapi indah. Hanya saja sayang. Diputus oleh Raihana. Aku jadi semakin tidak suka dengan dia. Dialah pemutus harapan dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah? Bukankah dia justru berbuat baik membangunkan aku untuk shalat? Jika sudah berkaitan dengan cinta dan mimpi, yang salah atau benar seringkali tidak jelas batasanya. Hanya yang diselamatkan oleh Allah yang masih berpijak pada kesadaran naluri dan berpijak pada jalan yang benar. Dan aku?


Pudarnya Pesona Cleopatra - Bab 3

No comments:

Post a Comment