TIGA
SELANJUTNYA
aku
merasa sulit hidup bersama Raihana. Aku sendiri tidak tahu dari mana sulitnya.
Rasa tidak suka itu semakin menjadi-jadi. Aku tak mampu lagi meredamnya. Aku
dan Raihana hidup dalam dunia masing-masing. Aktivitas kami hanya sesekali
bertemu dimeja makan dan saat sesekali shalat malam. Aku sudah memasuki bulan
keenam menjadi suaminya. Dan satu bulan lebih aku tidak tidur sekamar lagi
dengannya. Aku lebih merasa nyaman tidur bersama buku-buku dan computerku di
ruang kerja.
Tangis raihana tak juga
mampu membuka jendela hatiku. Rayuan dan ratapanya yang mengharu-biru tak juga
meluruhkan perasaanku. Aku meratapi dukaku. Raihana menangisi dukanya. Dan duka
kami belum juga bertemu. Aku heran pada diriku sendiri. Orang-orang itu begitu
mudah jatuh cinta. Tapi kenapa aku tidak. Raihana yang kata tante lia memiliki
kecantikan selevel bintang iklan sabun Lux itu belum juga bisa menyentuh
hatiku. Kelembutannya yang seperti Dewi Sembodro tak juga membuatku jatuh
cinta. Kepada siapa aku harus melabuhkan duka. Seribu doa terpanjatkan agar
hatiku terbuka. Namun yang hadir tetap saja aura pesona gadis lembah sungai
Nil. Padahal banyak juga yang bilang, gadis Mesir banyak yang gembrot. Tapi
cinta adalah selera. Dan selera orang berbeda-beda. Dan aku selalu menolak jika
orang mengatakan gadis Mesir banyak yang gembrot. Aku justru melihat jika ada
delapan gadis Mesir maka yang cantik ada enam belas. Karena banyangannya juga
cantik. Aku mungkin terlalu memuja keelokan gadis Mesir. Itulah selera. Selera
adalah rasa suka yang muncul begitu saja dalam jiwa dan terkadang susah
dipahami. Seenak-enaknya durian kalau ada orang tidak suka ya tetap tidak suka.
Setidak sukanya orang, kalau ada orang yang makan jengkol ya tetap suka.
Secantik-cantiknya Lady Diana kalau orang tidak suka ya tidak suka. Itu juga
yang kualami. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh
cinta. Hanya entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.
Aku benar-benar
terpenjara dalam suasana konyol. Suasana yang sebenarya tidak boleh terjadi
pada orang mengerti seperti diriku. Tapi masalah cinta seringkali membuat orang
mengerti jadi tidak mengerti. Untuk menghibur diri suatu hari sepulang dari
mengajar. Kulihat kaset sinetron berseri Ibnu Hazm yang kubawa dari Mesir.
Sebenarnya pulang ketanah air kusempatkan membelinya di Attaba.
Dengan melihat sinetron
itu kehadiran kembali pesona kecantikan gadis-gadis titisan Cleopatra yang
jelita dalam film untuk menyeka kesedihankul. Keagungan Wafa Shadiq, aktris
muda Mesir saat memerankan Samar, wanita shalehan yang dicintai Imam Ibnu
Hazm,sungguh mempesona. Dalam jilbab sutera merah klasik model Andalusia abad
kejayaan islam, auranya begitu menyejukkan hati. Adegan pertemuan Samar dengan
Ibnu Hazm yang tidak disengaja disebuah taman diCordoba benar-benar romantis
dan menyihir segenap perasaan. Aku sebenarnya memang orang yang suka hal-hal
romantis. Pada saat Samar yang masih berstatus budak itu kembali jatuh ketangan
Ibnu Hazm yang pernah jadi tuannya aku tiada sanggup menahan tetes air mata
keharuan. Bagiamana tidak terharu , Ibnu Hazm putera seorang menteri itu telah
jatuh hati dejak kecil pada samara, gadis kecil budak ayahnya. Saat ayah Ibnu
Hazm jatuh miskin terpaksa samara dijual. Sang ayah tidak tahu yang ikatan
cinta putranya dengan budak belianya. Setelah keduanya dewasa. Ibnu Hazm jadi
pemuda berilmu yang ternama. Samara jadi budak seorang penguasa. Keduanya
bertemu tak sengaja. Gelora cinta yang membara tak bisa berbuat apa-apa. Namun
kerena sebuah karyanya yang agung Ibnu Hazm berhasil mendapatkan kembali
samara. Penguasa itu kagum pada karya Ibnu Hazm dan bersumpah akan memberi
hadiah apa saja yang diminta Ibnu Hazm. Dan Ibnu Hazm meminta samar. Dengan
sebuah karya ulama agung itu mendapatkan pujaan hatinya. Ah, andai aku jadi
Ibnu Hazm yang hidup bertenaga dengan cinta. Yang gelora cinta mampu
mendorongnya melahirkan karya-karya monumental. Menjadikan namanya terukir
indah sepanjang sejarah. Andai saja raihana mirip Wafa Shadiq atau Mona Zaki?
Oh, sungguh berdosa aku berpikir begitu. Ya rabbi la taukhizni !
Aku kembali larut dalam
perjalanan hidup Imam Ibnu Hazm bersama istrinyam samar. Mereka hidup penuh
cinta dan kasih sayang. Samar tidak bisa sedikitpun lalai memperhatikan
suaminya. Ibnu Hazm yang dulu adalah puteranya dari tuanya. Ibnu Hazm juga
sangat setiap pada isterinya yang bekas budak. Ia tidak pernah merasa malu atau
gengsi bertemu dengan para amir dan pembesar Andalusia. Dia tidak malu disindir
punya isteri bekas budak belian. Ibnu Hazm tetap bangga dengan cintanya. Ia
bahkan tidak goyang sedikitpun ketika seorang puteri cantik anak seorang
menteri Andalusia menyukainya, ia tak goyah sedikitpun. Seribu jalan ditemuh
puteri itu untuk meluluhkan hati Ibnu Hazm tapi Ibnu Hazm tidak goyah. Ibnu
Hazm tidak mau menikah lagi. Dia teguh hanya dengan seorang isteri. Padahal
Ibnu Hazm seorang pangeran dan ulama yang terkenal. Bukan suatu hal yang aneh
jika seorang pangeran memiliki isteri lebih dari satu. Tatkala Ibnu Hazm
dipenjara kerena pemikiran-pemikirannya. Samar sangat setia menjenguknya dan
menati Ibnu Hazm keluar dari penjara. Berbagai godaan yang datang tidak
menggoyahkan cintanya pada suaminya yang terhina dipenjara. Sebuah keteladanan
cinta yang luar biasa. Aku ingin mencintai isteriku seperti Ibnu Hazm mencintai
isterinya. Dan aku ingin dicintai isteriku seperti Ibnu Hazm dicintai
isterinya. “mas nanti sore ada acara
aqiqah-an dirumah yu imah semua keluarga akan datang, termasuk ibundamu, kita
diundang juga, yuk, kita datang bareng. Tidak enak kalau kita yang dielu-elukan
keluarga tidak datang” suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada
zaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi satu piring
onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe diatas meja. Tangannya yang halus
agak gemetar. Aku dingin-dingin saja.
“ma……maaf jika
mengganggu, mas. Maafkan hana,”lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak
meninggalkan aku di ruang kerja.
“mbak!eh maaf, maksudku
D….Di….Dinda hana!” panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan.
“ya mas!”sahut hana
langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku.
Ia berusaha bersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil “dinda” matanya sedikit
berbinar.
“Te….. terima kasih……
di….dinda, kita berangkat bareng kesana. Habis shalat dzuhur, insya allah!”
ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan. Raihana
menatapku dengan wajah sangat cerah,ada secercah senyum bersinar dibibirnya.
Perempuan berjilbab yang
satu ini memang luar biasa, ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku
dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernak melihatnya
memadang wajah masam atau tidak suka padaku . kalau wajah sedihnya ya. Tapi
wajah tidak sukanya sama sekali belum pernah. Bah. Lelaki macam apa aku ini!
Kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas dilap dinginku
selama ini, tapi setetes embuh cinta yang kuharapkan membashi hatiku tak juga
turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu! oh, bagaimana aku mengusuirnya?
Aku merasa menjadi orang yang palih membenci diriku sendiri didunia.
ΩΩΩ
Acara pengajian dan
aqiqah-an putra ketiga Yu Fatimah, kakak sulung Raihana, membawa sejarah baru
dalan lembaran pernikahan kami. Benar dugaan raihana, kami dielu-elukan
keluarga. Disambut hangat, penuh cinta. Dan penuh bangga.
“selamat datang pengantin
baru! selamat datang pasangan paling ideal dalam keluarga!” sambut yu imah
disambut tepuk bahagia mertua dan ibundaku sendiri serta kerabat yang lain wajah
raihana cerah. Matanya binar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hati aku
menangis disebut pasangan paling ideal. Apanya yang ideal? Apa kerena aku
lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik dikampusnya dan hafal alquran lantas
disbut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan isterinya. Saling
mekiliki rasa cinta yangsampai pada pengorbaana satu sama lain. Rasa cinta yang
dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia. Raihana mungkin telah mendapatkan
rasa cintanya. Selama ini ia begitu setia dan mengobankan apa saja untuk membuatku bisa
tersenyum. Ia tidak pernah mengeluh apa-apa, tak pernah mengungkapkan tidak
suka, tapi diriku? Yang celaka adalah diriku, aku tidak bisa mengimbangi apa
yang dirasakan oleh Raihana. Aku belum juga bisa mencintainya.
“Ah Yu Iman ini menggoda
terus, sudah satu tahun kok dibilang baru.” Sahut Rihana.
“Ya
masih baru tho nduk. Namanya, pengantin baru satu tahun! Hi….hi….hi….” celetuk
ibu nertua membanyol.
“Aku
juga baru lho. Pengantin baru sepuluh tahun!
He …… he……he….
“ tukas Yu Imah disambut gerr sanak kerabat.
Sambutan sanak saudara
pada kami benar-bebar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang
sedemikian kuat menjaga kewibawananku di mata keluarga. Pada ibuku dan pada
semuanya ia tidak pernah bercerita apa-apa kecuali menyanjung kebaikan sebagai
suami, orang yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi
isteriku. Aku jadi pusing sendiri memikirikan sikapku. Lebih pusing lagi saat
ibuku dan ibu mertuaku menyindir tentang keturunan. “ sudah satu tahun putra
sulungku berkeluarga, kok belum ada tanda-tanda aku mau menimang cucu. Doakan
lah kami. Bukankan begitu,mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku. Aku
tergagap, cepat-cepat keanggukkan kepalaku sekenanya.
ΩΩΩ
Setelah
peristiwa itu, aku mencoba bersikap lebih bersahabat pada Raihana. Aku
berpura-pura kembali mesra padanya. Berpura-pura menjadi suami betulan. Ya,
jujur dasar cinta dan kedendakku sendiri aku melakukannya. Dasarnya adalah aku
tak ingin mengecewakan ibuku, itu saja. Biarlah aku kecewa, biarlah aku
menderita, terbelenggu persaan konyol, asal ibuku tersenyum bahagia. Aku
berharap jadi anak yang baik, jadi orang baik namun aku tidak rahu, apakah aku
bisa jadi suami Raihana yang baik?
Allah Mahakuasa.
Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai isteri ternyata membuahkan hasil.
Raihana hamil. Ia semakin manis. Sanak saudara semua bergembira. Ibuku bersuka
cita. Ibu mertuaku bahagia. Namun hatiku…..oh, hatiku menangis meratapi cintaku
yang tak jua kunjung tiba. Hatiku hamba. Tersiksa. Merana. Tuhan kasihanilah
hamba. Hadirkan cinta itu segera. Aku takut bahwa aku nanti juga tidak bisa
mencintai bayi yang dilahirkan Raihana. Bayi yang tak lain adalah darah
dagingku sendiri. Adakah didunia ini petaka yang lebih besar dari orang tua
yang tidak bisa mencintai dan menyayangi anak kandungnya sendiri? Aku sangat
takut itu terjadi padaku.
Sejak itu aku semakin
sedih. Aku semakin sedih sehingga kau lalai untuk memperhatikan Raihana dan
kandunganya. Aku hanyut mertapi nestapa diriku. Setiap saat nuraniku bertanya,”
Mana tanggung jawabmu!” aku hanya diam dan mendesah sedih. “Entahlah, betapa
sulit menemukan cinta,”gumanku pada nuraniku sendiri.
Dan akhirnya datanglah
hari itu. saat usia kehamilan memasuki bulan keenam. Raihana minta ijin untuk
tinggal bersama kedua orangtuanya dengan alasan kesana. Rumah mertuanya sangat
jauh dari kampus tempat aku mengajar.jadi ibu mertua tidak banyak curiga ketika
aku harus tetap hinggal dirumah kontrakan yang lebih dekat dengan kampus.
Ketika aku pamitan Raihana berpesan, “Mas, untuk menambah biaya persiapan
kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku! ATM-nya ada di bawah
kasur. Nomor pinnya adalah tanggal dan bulan pernikahan kita!”
Pudarnya Pesona Cleopatra - Bab 4
No comments:
Post a Comment