“Tak
pernahkah kau mengerti? Hatiku ini sudah ada dalam genggamanmu,Lalu kau buang
begitu saja.Begitu saja....”
1
Bahagianya ketika jatuh cinta.
Nessa tersenyum sambil membaringkan
tubuhnya di kamar sepulang kuliahnya. Marcell baru saja mengantarnya pulang, tadi mereka menghabiskan waktu
bersama sepulang
kuliah, berburu buku-buku
lama, menonton dan menikmati es
krim sebagai penutupnya.
Oh astaga. Hari ini sangat menyenangkan
baginya. Meskipun Marcell tampak agak aneh dan murung
tadi, tetapi Marcell bilang dia hanya sedang tak
enak
badan dan
berjanji bahwa sepulangnya nanti dia akan
langsung beristirahat agar kondisinya pulih.
Nessa mencintai Marcell, sangat cinta. Mereka menjadi
dekat begitu saja seolah sudah ditakdirkan untuk
bersama. Dan Nessa tidak pernah menyangka
mereka bisa seserius ini. Dulu
dia menyangka Marcell sombong karena berasal dari keluarga kaya, tetapi ternyata tidak. Lelaki itu yang menyapanya duluan,
bahkan sangat baik dan ketika pertama kali ke rumah Nessa,
tidak ada sikap mencemooh atau pun menghina rumah mungil
itu.
Status Nessa yang berasal
dari
keluarga sederhana
tampaknya tidak masalah bagi Marcell.
Mereka sudah merajut
impian untuk masa depan. Menikah dan punya anak, lalu berbahagia untuk selamanya. Bahkan Marcell sudah menunjukkan
keseriusannya dengan mengajaknya ke rumahnya, bertemu dengan ibunya.
Meskipun sikap ibunya tidak bisa dikatakan
ramah... Nessa mengernyit, teringat betapa malunya dia ketika Ibu
Marcell menolak untuk
membalas jabatan
tangannya.
Setidaknya Marcell bilang bahwa ibunya memang galak kepada siapa saja, bukan hanya kepadanya.
Ponselnya berkedip-kedip.
Nessa segera mengangkatnya
begitu melihat
nama Marcell
di
layar ponselnya, “Iya Marcell?”
“Aku baru saja sampai rumah.”
Suara Marcell di
seberang
sana
nampak berbeda,
membuat Nessa bergumam
dengan cemas.
“Kau tampaknya
sakit... Syukurlah kau sudah sampai rumah... Istirahatlah ya, supaya besok kondisimu membaik.”
Hening... Seolah Marcell sedang mencari kata-kata.
“Nessa…?” Marcell bergumam ragu.
“Ya
Marcell?”
“Bisakah
besok kita bertemu
di taman yang biasa?
Besok aku tidak bisa datang
kuliah,
tetapi aku akan menunggumu
di sana di sore hari. Kau menyusul ke sana ya.”
Taman tempat mereka
biasa bertemu
itu terletak dekat dari kampusnya,
Nessa hanya perlu berjalan ke sana. Dia
tersenyum sambil membayangkan bahwa mungkin Marcell
punya rencana romantis untuknya, “Iya Marcell, aku akan datang besok.”
“Oke.” dan telepon pun ditutup di seberang
sana.
Membuat Nessa mengerutkan keningnya
atas penutup yang dingin
dari Marcell, biasanya mereka mengakhiri percakapan
dengan kata-kata cinta yang lembut. Tetapi kemudian
dia menghela napas, Marcell
kan sedang sakit, jadi wajar saja kalau sikapnya terasa berbeda...
♥♥♥
Nessa menangis, sungguh-sungguh menangis mendengarkan alunan lagu itu dari pemutar musik miliknya. Hujan turun dengan
derasnya di luar, tetapi sederas
apapun
hujan itu, tak akan bisa mengalahkan derasnya darah yang mengalir dari hatinya yang remuk redam, dihancurkan begitu saja oleh
kekasihnya, tanpa ampun.
Ingatannya
melayang pada kejadian tadi sore yang berhujan, saat itu hanya ada dia dan Marcell, kekasihnya.
"Kita sudah tidak boleh bertemu lagi."
Nessa mengernyit dan mendongak menatap
Marcell yang lebih tinggi darinya, "Apa maksudmu?"
dia
benar-benar
terkejut mendengar
kata-kata Marcell itu. Tadi dia datang
menemui Marcell
dengan senyum dan bahagia,
mengira bahwa
dia akan mendapatkan
kejutan romantis dari kekasihnya. Dia memang mendapatkan
kejutan. Tetapi ini bukan kejutan
romantis.
"Aku sudah tidak bisa menemuimu lagi Nessa, maaf." "Kenapa Marcell?"
Nessa mulai gemetaran, menyadari
bahwa semua ini benar-benar nyata.
"Kau tahu kenapa, aku sudah tidak kuat dengan desakan ibuku
dan sebagainya, dia tidak menyukaimu... Kau tahu dia
kolot, dia berdarah biru
dan dia ingin aku mendapatkan
pasangan yang sederajat...” Marcel menelan ludah, menatap
Nessa dengan menyesal, “Maafkan
aku Nessa, aku menerima
pertunangan dengan Susan. Selamat tinggal.”
Hanya seperti itu, tanpa penjelasan
apa-apa, tanpa pelukan perpisahan dan Marcell pergi meninggalkan
Nessa dengan hati hancur.
Dua Tahun Kemudian.
♥♥♥
Suara bel di taman kanak-kanak yang indah itu
berbunyi.
Nessa segera mengatur agar semua murid-muridnya duduk
dengan rapi dan berdoa. Sangat susah mengatur anak-anak TK yang begitu
aktif dan tak
bisa duduk diam itu, tetapi Nessa senang, karena mereka adalah sekumpulan
bocah tanpa dosa, yang penuh rasa ingin tahu dan kegembiraan
murni dalam memandang dunia.
Selesai berdoa, anak-anak
berjalan dengan rapi
menyalami
Nessa, lalu berhamburan menuju orang tua masing-
masing yang sudah
menunggu di luar. Nessa merapikan tas-nya ketika ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya.
"Selamat siang ibu guru, jemputan sudah datang."
Nessa tersenyum, menatap laki-laki yang berdiri di pintu
ruang kelasnya dengan
tatapan jahilnya, "Selamat siang juga, apa yang kau lakukan di sini siang-siang Ervan?"
sambil meraih
tasnya, Nessa menghampiri
sang
adik yang telah tumbuh dewasa menjadi lelaki yang begitu
tampan.
"Aku tidak sengaja lewat sini sepulang
mengantar teman kampus dan menyadari
bahwa aku lewat taman kanak- kanak tempat kakak mengajar, jadi kupikir ada baiknya aku menjemput kakak daripada kakak harus naik angkot."
"Naik angkot sebenarnya
juga
tidak apa-apa.” Nessa
berjalan menuju parkiran, diiringi oleh Ervan dan
menghampiri mobil
tua warna hitam, warisan dari almarhum
ayah mereka yang sekarang dipakai oleh Ervan ke kampusnya.
Mereka masuk dan Ervan menjalankan mobilnya
keluar dari halaman Taman kanak-kanak itu.
"Aku ingin minta bantuan
kakak."
Ervan mengernyitkan
keningnya sambil menatap ke arah jalanan yang ramai.
"Bantuan apa?" "Tentang Delina."
Nessa ingat
tentang
Delina.
Perempuan itu adalah teman
kuliah Ervan yang pernah diajak Ervan ke rumah beberapa hari yang lalu. Delina adalah perempuan cantik dan tentu saja anak dari orang kaya, pikir Nessa pahit, berusaha menahan
goncangan masa lalu yang
tiba-tiba menusuknya. Tentu
saja dia anak orang kaya, Delina
datang
ke
rumah mereka
dengan mengendarai
mobil sport keluaran terbaru yang harganya mungkin saja mencapai
sepuluh kali lipat harga jual rumah
mungil keluarga Nessa.
"Kenapa dengan Delina?" batin Nessa berteriak,
dia sebenarnya tidak ingin Ervan berdekatan dengan Delina. Orang kaya selalu memandang rendah orang miskin. Itu fakta, itu pula yang dilakukan keluarga Marcell kepadanya dulu. Nessa hanya tidak mau Ervan mengalami kekecewaan
seperti dirinya sesudahnya.
Tetapi semua larangannya tertahan, dia tak tega mengatakan semua itu kepada adiknya yang sekarang sedang berbinar-binar matanya, mabuk kepayang kepada perempuan impiannya.
"Delina dan
aku, kami saling mencintai dan berniat
menjalin hubungan serius."
Ervan mendesah,
"Tetapi ada
masalah dengan keluarganya.'
Nessa mengernyit. Pasti akan selalu ada masalah, ketika keluarga kaya menemukan anaknya berpacaran dengan keluarga miskin, pasti akan selalu ada masalah.
"Keluarganya mengundang kita dalam sebuah makan
malam mewah di rumah mereka, pesta itu diadakan
oleh kakak Delina, seorang pengusaha yang kaya raya... Kakaknya, ingin
bertemu
denganku
dan aku...
Aku agak ngeri
karena
desas
desus yang berkembang, kakaknya itu sangat kejam dan jahat."
Ervan menatap
Nessa dengan tatapan
memohonnya, yang selalu berhasil digunakannya
untuk meluluhkan hati kakaknya, "Kau mau menemaniku ke pesta itu kan ya?"
"Kenapa harus denganku?" Nessa merengut, mencoba
berkelit.
"Karena kakaknya
ingin bertemu dengan salah satu keluarga
kita, kau kakakku satu-satunya, aku kan tidak
mungkin mengajak ibu, penyakit rematiknya parah dan tidak
bisa keluar malam."
"Apa
yang ingin dilakukan kakak Delina?
Kenapa
dia
ingin bertemu
dengan salah satu keluarga
kita?" Nessa
menerka-nerka dan sebuah pikiran pahit berkecamuk di benaknya, jangan-jangan si
kakak
itu ingin mencemooh dan menghina mereka di pesta itu?
"Yah... Aku adalah pacar Delina,
kakaknya itu sangat
protektif kepada Delina,
mengingat sebelum-sebelumnya
banyak lelaki yang mendekati Delina demi mengincar harta keluarga mereka,
aku maklum kalau kakaknya ingin mengenal
kita dan memastikan aku baik untuk Delina."
Tentu saja Ervan baik untuk
Delina.
Nessa mengernyit,
dialah yang akan maju pertama
kali kalau ada yang meragukan
kebaikan
hati
Ervan. Mereka berdua adalah anak yang
dibesarkan dari seorang ibu yang berjuang seorang diri karena
suaminya telah meninggalkannya
dengan dua anak yang masih kecil. Ibunya berjualan kue basah dan menitipkannya ke
warung-warung. Nessa masih ingat ketika dia dan Ervan
sepulang dari sekolah dasar membantu sang ibu menarik wadah-wadah titipan dari warung-warung tersebut sambil
berjalan kaki.
Dan hidup dengan keprihatinan
dan
kesederhanaan
telah membuat Nessa dan Ervan tumbuh menjadi pribadi
yang bersahaja, mereka membantu sang ibu
dengan bekerja
sambilan untuk membiayai pendidikan. Akhirnya setelah Nessa lulus dan menjadi guru sebuah TK, Ervan mendapatkan beasiswa di sekolah teknik ternama di kotanya, dan
kepandaiannya membuatnya
mempunyai masa depan yang cukup cerah. Kepandaian
otaknya, ketampanan fisiknya dan
kebaikan
hati
Ervan membuat Nessa yakin bahwa adiknya
adalah pasangan paling sempurna bagi siapapun.
♥♥♥
"Selamat datang." Delina menyambut
Ervan dan Nessa dengan bahagia di pintu, pipinya bersemu merah dan matanya berbinar
ketika melihat Ervan. Nessa mengamatinya dan mau tak mau
tersenyum. Bagaimanapun juga, Delina
benar-benar tampak seperti perempuan yang baik dan sungguh-sungguh
mencintai Ervan.
"Terima kasih kak Nessa mau menemani Ervan
kemari,” dengan sopan dan ramah, Delina menyalami Nessa,
"Mari silahkan masuk, pestanya sudah dimulai."
Pesta itu benar-benar
pesta mewah yang elegan, yang
memang
diperuntukkan untuk kelas atas. Semuanya berpakaian
indah dan syukurlah meski tidak mahal gaun hitam
Nessa yang sederhana tampak begitu cantik dipakainya.
"Sendirian di sini?"
seorang lelaki tiba-tiba sudah ada
di sebelahnya dan menyapanya.
Nessa menoleh dan menemukan lelaki paling tampan
yang
pernah dilihatnya. Dengan rambut disisir rapi, dagu yang sudah dicukur
bersih, dan
pakaian
yang sepertinya
dijahit
khusus untuknya, lelaki muda itu tampak seperti pangeran dari negeri dongeng.
"Tidak...
Saya
bersama pasangan saya." tiba-tiba Nessa
merasa gugup. Penampilan
lelaki itu dan aura yang dibawanya entah kenapa membuatnya merasa
gugup
dan
tiba-tiba saja
ingin melarikan diri.
"Oh? Benarkah? Sepertinya aku tidak melihatnya." lelaki
itu menatap ke arah Nessa tajam meskipun bibirnya tersenyum, "Sungguh pasangan
anda orang yang sangat ceroboh
membiarkan perempuan cantik sendirian di sini."
Nessa mengernyitkan keningnya, "Maaf... Saya akan
mencari pasangan saya."
Dengan buru-buru Nessa
membalikkan badannya dan
mencoba pergi, aura lelaki membuatnya gelisah tidak
tertahankan
lagi, cara lelaki itu menatapnya bagaikan harimau mengincar mangsanya.
"Nessa?"
Nessa langsung tertegun
mendengar
suara itu, suara
yang
dikenalnya, suara
dari
masa lalunya yang sudah
bertahun-
tahun berusaha dilupakannya. Suara Marcell.
Dengan gugup didongakkannya kepalanya, dan tertegun, itu memang benar Marcell yang sama, hanya sekarang lebih tampan, lebih dewasa. Dan hati Nessa luar biasa sakitnya mengingat kenangan itu. Ketika Marcell meninggalkannya
begitu saja tanpa penjelasan
apa-apa, karena dorongan
keluarganya.
Nessa ingat sekali ketika itu ibu Marcell,
seorang
nyonya besar yang kaya raya tidak menyetujui hubungan Nessa dengan
Marcell, karena Nessa hanyalah perempuan biasa, dari keluarga
biasa, apalagi ibu Marcell sudah menyiapkan calon untuk
Marcell, anak dari temannya, keturunan ningrat yang saat itu
sedang menyelesaikan
magisternya di Australia, bernama Susan.
"Hai Marcell, apa kabar?"
suara Nessa terdengar lemah, terlalu terkejut.
Marcell tersenyum miris. "Kabar baik Nessa, kau sendiri? Bagaimana kabarmu?"
"Aku baik." tiba-tiba saja Nessa ingin menangis,
kenapa
dia harus bertemu Marcell di sini? Marcell adalah satu-satunya
lelaki yang tidak ingin ditemuinya di dunia ini, "Dimana Susan?" tanya Nessa mencoba tegar.
"Ah, Susan..."
Marcell tampak
salah tingkah,
"Dia ada di sana, sedang berbicara dengan temannya,
eh… Kami sudah bertunangan,
tanggal pernikahan kami ditentukan 2 bulan lagi, segera setelah Susan mengurus kepindahannya dari Australia,
aku harap kau mau datang."
Bagaimana mungkin Marcell tega mengucapkan
kalimat
menyakitkan itu tanpa
rasa bersalah sedikit
pun? Tidak ingatkah
dia
betapa dia telah
menyakiti hati
Nessa
dengan begitu kejam, meninggalkannya
tanpa perasaan? Membuat Nessa akhirnya tidak bisa mencintai lelaki lain...
"Aku... Aku tidak bisa berjanji... Aku..."
"Marcell, teman-temanku
ingin
berbicara denganmu,
dear." perempuan cantik itu tiba-tiba datang dan mengglayuti
lengan Marcell dengan manja, dia lalu menatap
Nessa dan mengangkat alisnya, "Eh... Siapa ini?"
Marcell tampak gugup
dan
menelan ludah. "Ini Nessa,
teman kuliahku
dulu, kami sudah lama tak bertemu dan
kebetulan bertemu di sini."
"Oh.” Susan menatap Nessa dari kepala sampai kaki
dengan pandangan meremehkan,
"Aku pernah dengar dari ibumu kalau kau dulu pernah punya kekasih bernama Nessa
yang kau tinggalkan, hmmmm...." Susan
tersenyum
mencemooh, "Pantas saja kalau begitu, dia tidak selevel dengan kita, bukan begitu
dear?"
Marcel tampak kehilangan kata-kata sedangkan
Nessa berdiri dengan
muka merah
padam atas penghinaan terang- terangan yang diucapkan dengan lantang tersebut.
Sebelum mereka dapat berkata-kata,
sosok pria tampan yang tadi menyapa Nessa tiba-tiba melangkah mendekat dan
mengamit lengan Nessa dengan mesra. "Kau tidak mengenalkan
mereka kepadaku, sayang?"
Nessa mendongak, mengernyitkan
alisnya sambil
menatap lelaki tak dikenal itu, apa katanya tadi?
Tetapi kemudian perhatiannya teralihkan
oleh wajah
Susan dan Marcell dan memucat, "Kau mengenal
Tuan
Kevin, Nessa?" tanya Marcell seolah tak percaya.
Pria bernama Kevin itu semakin mendekatkan tubuhnya
pada
tubuh Nessa, "Tentu saja, Nessa adalah kekasihku, dan
sepertinya kalian mengenalku ya?"
"Keluarga
kami menjalin hubungan bisnis
dengan anda Tuan Kevin." kali ini Susan yang menyahut sambil tersenyum manis, "Sungguh suatu kehormatan bisa bertemu dan bercakap-
cakap langsung dengan anda di sini."
Kevin ganti menatap
Susan dengan pandangan
mencemooh, "Hmmm... Kehormatan
bagimu juga mungkin bisa
berbicara dengan kekasihku
yang
luar biasa ini."
lalu Kevin
tersenyum pada Nessa, tidak mempedulikan
muka Susan yang memerah karena jawaban
kasarnya
itu, "Ayo sayang kita pergi,
masih banyak tamu-tamu penting yang harus kita temui."
Kemudian Kevin membalikkan
tubuh Nessa, membawanya dalam gandengan lengannya, meninggalkan
Marcell dan Susan yang berdiri dengan terhina di sana.
♥♥♥
"Kenapa kau membantuku?" Nessa berbisik
pelan setelah mereka menjauh dari pasangan Marcell dan Susan.
Kevin tergelak dan kemudian melepaskan
genggaman lengannya, "Aku melihat seorang perempuan yang hampir
dipermalukan oleh kekasih yang dengki, dan aku merasa harus turun tangan untuk membantu."
Kemudian lelaki itu
mengulurkan tangannya,
"Kita tidak sempat
berkenalan tadi
karena kau buru-buru kabur."
"Oh." pipi Nessa memerah,
"Te...terima kasih atas bantuannya, aku..."
"Kakak?"
kali ini suara Delina yang menyela. Kevin dan Nessa menoleh serentak, dan berhadapan dengan Delina yang
sedang bersama Ervan.
Delina tersenyum ceria ketika melihat Nessa, "Ah...
Kulihat kakak sudah berkenalan
dengan kak Nessa, kakaknya Ervan... Kak Nessa ini kakakku yang kuceritakan ingin berkenalan."
Sedikit terkejut atas informasi baru itu, Nessa melirik ke arah Kevin. Sekilas Nessa menyadari rona wajah Kevin yang
hangat berubah menjadi
dingin. Apakah
lelaki itu
menjadi dingin ketika mengetahui
bahwa Nessa adalah kakak Ervan?
Nessa masih ingat cerita Ervan bahwa
kakak Delina
ini sangat mencurigai orang miskin sebagai pengincar harta mereka.
Apakah kisahnya bersama Marcell akan terulang pada
Ervan?
Dicemooh dan diremehkan hanya karena mereka
berasal dari keluarga sederhana?
"Oh... Ini Ervan yang kau ceritakan
itu?" Kevin berucap lambat-lambat
dan
kemudian membalas uluran tangan Ervan, setelah selesai berjabat tangan, dia menoleh lagi kepada Nessa,
"Dan kau Nessa, kakaknya Ervan...
Senang berkenalan
denganmu." lelaki itu mengulurkan tangannya kepada Nessa,
dan
mau tak mau Nessa menerima uluran tangan itu.
Seketika Kevin menggenggam tangannya
yang mungil itu
dengan kuat dan dominan, seperti mengisyaratkan sesuatu.
"Well, sepertinya kita akan banyak bertemu nanti
Nessa," gumamnya penuh arti.
Nada suaranya ramah, tetapi entah kenapa Nessa merasa ngeri. Membuat Nessa bertanya-tanya apa yang ada di benak Kevin sebenarnya.
Mereka berdiri berempat sambil mengamati
pesta. Delina dan Ervan berpegangan
tangan dengan penuh cinta, sementara Nessa
berdiri dengan canggung di
sebelah Kevin. Tiba-tiba musik lembut dansa dimainkan dan beberapa
pasangan
tampak turun ke lantai dansa, menikmati dansa romantis di antara kelap-kelip cahaya temaram dan suasana
pesta yang elegan. Kevin menoleh ke arah Nessa dan memasang
senyumnya yang paling manis, “Mau berdansa?”
Nessa
tertegun,
lalu menggelengkan kepalanya,
“Tidak... Saya tidak bisa berdansa,” tolaknya cepat.
Tetapi Kevin
menatapnya dengan keras
kepala, “Oh ayolah, aku akan mengajarimu. Lagipula kau tidak kasihan kepadaku, aku
tidak punya
pasangan dansa.”
dan
sebelum Nessa
bisa
menolak,
lelaki itu
sudah
menariknya
ke lantai dansa.
Kevin bohong.
Dia bisa memilih
banyak pasangan dansa kalau mau,
dilihat dari
banyaknya mata
yang memandang
Nessa dengan iri. Nessa begitu gugup ketika Kevin dengan tenang melingkarkan
tangannya di pinggang Nessa dan meletakkan tangan Nessa di pundaknya. Lelaki itu membawa
Nessa melangkahkan kaki dengan lembut, mengikuti irama.
“Lihat, gampang
kan?” bisiknya sambil
tersenyum,
menatap Nessa dengan matanya yang tajam.
Nessa memalingkan muka dengan
wajah merah
padam,
tidak tahan ditatap seperti itu. Dia hanya menganggukkan
kepalanya dan kemudian memusatkan
perhatiannya kepada gerakan dansa mereka.
Ketika tanpa
sengaja Nessa
memutarkan
pandangannya
ke
sekeliling ruangan, matanya bertabrakan dengan mata Marcell, lelaki itu sedang berdansa
dengan Susan yang sekarang berada dalam posisi membelakangi Nessa, membuat Marcell leluasa menatap Nessa.
Ada sesuatu
di tatapan mata Marcell itu, sesuatu yang mirip dengan penyesalan dan kepedihan... Membuat dada Nessa terasa sesak.
Dia memalingkan kepala, dan
mencoba untuk tidak menoleh ke arah Marcell lagi.
♥♥♥
Seperti
biasa Nessa melangkah keluar
kelas
setelah
memastikan semua muridnya benar-benar pulang dalam
jemputan keluarga mereka.
Taman kanak-kanak itu tampak lengang dan sepi. Yah
biasanya yang membuat ramai adalah kehadiran murid-murid
kecilnya yang berceloteh riang kesana kemari. Sekarang tinggal
guru-guru yang sibuk merapikan barang-barang mereka di
ruang guru.
Nessa mendesah dan mengambil
tasnya lalu melangkah ke lorong TK itu, entah kenapa sejak pesta itu batinnya
kembali terasa sakit, sakit hati
yang
telah coba dilupakannya begitu lama. Sakit hati karena kepedihan
ketika Marcell
meninggalkannya dengan kejam, kini semua itu kembali lagi.
Mungkin
ini semua karena di pesta itu dia bertemu kembali secara langsung
dengan Marcell, melihat langsung bagaimana
Marcell sudah melupakannya
dan berbahagia dengan tunangannya.
Pernikahan mereka dua bulan lagi...
Tiba-tiba
saja
batin Nessa berdenyut
dan
terasa sakit. Kenapa hatinya sakit? Apakah dia masih menyimpan
cinta itu kepada Marcell? Bahkan
setelah dia dicampakkan dan
dikhianati sedemikian rupa?
"Hati-hati, nanti kau tersandung."
Suara maskulin
itu
tiba-tiba muncul,
tak disangka-
sangkanya. Begitu mengejutkan hingga Nessa mengeluarkan suara
pekikan kaget. Dia
mendongak ke arah
suara itu
dan menemukan Kevin, kakak Delina, sedang
bersandar di tiang lorong taman kanak-kanak itu, masih mengenakan
setelan jas kantornya yang elegan.
"Kenapa anda ada di sini?" tiba-tiba
Nessa merasa waspada.
Kevin tersenyum misterius. "Ada yang ingin kusampaikan kepadamu, kalau kau tidak sibuk."
"Darimana anda tahu tempat saya bekerja?"
kali ini
perasaan Nessa di dominasi oleh rasa curiga, jangan-jangan lelaki ini sudah membayar orang untuk menyelidiki Ervan dan keluarganya.
Kevin terkekeh melihat tatapan curiga Nessa,
"Jangan
menatapku seperti itu, aku tidak mengambil
informasi lewat jalan belakang." dengan elegan dia mengangkat bahunya, "Aku
mendapat informasi dari Delina bahwa kau bekerja di sini, dia sering bercerita tentang Ervan dan tentang kau."
"Oh." Nessa tercenung, "Apa yang ingin anda sampaikan kepada saya?"
Mendengar pertanyaan Nessa, tatapan Kevin berubah serius, "Mungkin kau bisa ikut aku ke suatu tempat
untuk
membicarakannya?'
Alarm peringatan langsung berbunyi di benak Nessa,
mengingatkannya. Entah kenapa, meskipun tersenyum ramah, aura Kevin tampak mendominasi dan menyimpan sesuatu yang misterius. Nessa tidak mau pergi kemanapun
dengan lelaki itu.
"Kalau memang bisa kenapa tidak kita bicarakan di sini saja?"
Kevin menatap tajam, kemudian sekilas tampak geli melihat ketakutan
Nessa yang berusaha disembunyikannya
dengan baik. "Oke
kalau
begitu, meskipun aku sebenarnya ingin membicarakannya di
tempat yang lebih pribadi.”
Tatapannya
berubah serius dan dalam sekejap auranya berubah
dingin, "Begini Nona
Nessa, aku ingin menawarkan
sejumlah uang kepada keluargamu supaya kalian semua
menjauhi Delina."
PERJANJIAN HATI - SANTHY AGATHA - BAB 2