Laki-Laki Zenit dan Nadir
Kini
lihatlah perbuatan Weh. Taikong Hamim, penggawa
masjid,
sampai mengacung-acungkan tombak mimbar
pada
khalayak yang silang sengketa.
"Tahu
apa kalian soal hukum agama!
"Jangan
mandikan mayatnya di masjid! Biar dia hangus
di
neraka berdaki-daki!"
Andrea
Hirata
Langit,
kemudi, dan layar, itulah samar ingatku tentang Weh.
Tapi
di sekolah lama Molten Bass Technisce School di Tanjong
Pandan,
aku pernah melihat fotonya. Tak bohong orang bilang
bahwa
dia bukan sembarang, karena Belanda hanya menerima
pribumi
yang paling cerdas di sekolah calon petinggi
teknik
kapal keruk timah itu. Foto kuno itu sudah buram.
Weh
seorang pemuda yang gagah. la bergaya, berdiri condong
menumpukan
tubuh kekarnya di atas pemukul kasti.
Namun,
sesuatu yang menyayat tersembunyi dalam matanya.
Seringainya
hambar, jauh, dan kesakitan. Weh mengawasi lekat
siapa
pun yang mendekati fotonya. Aku menatapnya, lama,
lalu
bisikan garau mendesis dari foto itu, "Engkau,
laki-laki
zenit dan nadir...." Bulu tengkukku meruap, seseorang seakan
berdiri
di belakangku, aku berbalik, sepi.
Mengapa
Weh kesakitan?
Semula
ia baik-baik saja, bahkan tempatnya terhormat
di
kelas. Sampai penyakit nista merampok hidupnya. Ia kena
burut.
Burut terkutuk yang meniup skrotum dan kelakilakiannya,
bengkak
seperti balon sampai jalannya pengkor.
2
Jampi
dan ramuan tak mempan. la atau sanak leluhurnya
pernah
melangkahi Qur'an, kualat, tuduh orang kampung
tanpa
perasaan. Hidup Weh disita malu. Semangat pemuda
penuh
harapan itu tumbang. la keluar dari Technisce
School, mengasingkan diri, meninggalkan tunangannya.
Weh
menjadi nelayan, tinggal di perahu.
EDENSOR
Aku
masih kecil dan Weh sudah tua ketika kami bertemu.
Weh
adalah sahabat masa kecil ayah ibuku. Puluhan tahun
ia
telah hidup di perahu. Perkenalan kami terjadi gara-gara
aku
disuruh ayahku mengantar beras dan knur untuknya.
Semula
aku ragu mendekati perahunya. Laki-laki itu keluar
dari
lubang palka, tubuhnya aneh. Ia tampak miris bertemu
manusia.
"Lemparkan!"
hardiknya melihat benda-benda di tanganku.
Aku
terkejut. Enak saja, tidak adil. Ayahku membawa
kebaikan
untuknya dan ia sama sekali tak punya basa-basi.
Dia
bisa menakuti siapa saja, bukan aku. Weh meradang,
aku
bergeming.
"Keras
kepala! Mirip sekali ibumu!"
Ia
menibar pokok terunjam, merapatkan perahunya
ke
pangkalan. Aku melompat dan berdiri tertegun di buritan.
Sampai
aku pulang kami tak berkata-kata.
Esoknya,
tak tahu apa yang menggerakkanku, aku
kembali
ke pangkalan. Weh juga pasti tak tahu mengapa ia
3
kembali
menibar pokok terunjam. la hilir mudik di depanku
lalu
menghunus sebilah terampang dari punggungnya
sambil
menunjuk gerinda di dekatku. Tanpa bicara, aku
meraih
terampang itu, memutar gerinda, dan mengasah
lekak-lekuknya.
Aku
masih tak tahu mengapa setiap hari aku mengunjungi
Weh.
Yang kutahu, ketika melihat matanya yang bening
dan
kesakitan, hatiku ngilu, ketika melihat jalannya
timpang
karena burut mengisap air dalam tubuhnya, mengumpul
di
selangkang, kubuang pandanganku karena hatiku
perih,
dan ketika melihatnya tidur, memasrahkan tubuhnya
yang
dikhianati nasib pada senyap sungai payau,
aku
gelisah sepanjang malam. Akhir bulan aku memecahkan
tabungan
pramukaku lalu bersepeda puluhan kilometer
ke
Manggar demi satu tujuan: membeli radio saku untuk
Weh.
"Irama
Semenanjung Pak Cik, programa RPM Malaysia.
Banyak
pantun dan lagu cinta, pasti Pak Cik senang."
Weh
menerima radio itu, meletakkannya di atas rak, dan
tak
menyentuhnya selama seminggu.
Dua
minggu berikutnya aku harus ke Tanjong Pandan
mengikuti
ujian sekolah. Tak tahu mengapa, setiap hari di
Tanjong
Pandan, aku merindukan Weh. Kembali dari Tanjong
Pandan
aku bergegas ke pangkalan. Dekat perahu
Weh
kudengar sayup lagu sendu. Aku menyelinap pelanpelan.
Weh
tidur meringkuk sambil memeluk radio pemberianku.
Tak
pernah kulihat wajahnya sedamai itu. Prog-
Andrea
Hirata 4
rama
RPM Malaysia mengalunkan "Kasih Tak Sampai",
kemerosok,
timbul tenggelam. Aku menggenggam kuatkuat
bungkusan
beras di tanganku, hatiku mengembang.
EDENSOR
Berminggu-minggu
berikutnya aku bersusah payah membujuk
ayahku
agar diizinkan berlayar bersama Weh.
"Tak
ada orang yang bernyali ke Mentawai hanya dengan
menaikkan
layar. Kautahu, Bujangku? Weh menyelami
teripang,
empat puluh meter di dasar Lingga yang pekat, dengan
tabung
udara dadanya saja. Hanya dia yang masih berani
ke
Pulau Lanun. la tak peduli lagi dengan nyawanya."
Ayah
memilih kata dengan teliti. la tak ingin aku terinspirasi
keberanian
Weh yang gelap. Namun, semakin keras
Ayah
melarangku, semakin kuat inginku. Ketika Ayah menyerah,
semalam
suntuk tak dapat kupejamkan mataku.
Akhir
pekan, pagi buta, kami bertolak ke tenggara.
Weh
mengambil jalur pintas penuh bahaya. Perahu ia layarkan
melintasi
lor-lor ganas Karimata. Di selat sempit itu,
Laut
Jawa dari utara dan Laut Cina Selatan beradu, terjebak
dalam
pusaran yang dahsyat. Aku melihat buih berlimpah-
limpah.
Perahu bergoyang halus tapi cepat serupa
denting
senar sitar, setiap benda gemeletar, paku-paku
yang
mengikat papan berderak bak gemelutuk gigi, seolah
akan
bingkas meledak. Perahu meluncur pelan dan waswas
dalam
intaian maut, laksana melintas titian serambut terbelah
tujuh
di atas neraka yang berkobar-kobar.
5
Terlepas
dari daya isap pusaran air, Weh tersenyum
melihatku
yang pucat karena telah memuntahkan seluruh
isi
lambungku. Perahu terlontar memasuki perairan Kalimantan
di
wilayah Tanjung Sambar. Tengah malam, Weh
menyalakan
obor, merapal sebaris mantra, aku merinding
melihat
gerakan-gerakan halus di bawah air. Ribuan kerisi
dan
cumi-cumi menyerbu perahu. Sampai habis tenagaku
meraupnya.
Mereka tersihir cahaya obor dan aku tertenung
kehebatan
Weh.
Hari
pertama bulan September, Weh mengajakku berburu
ikan
hiu gergaji. Kami menghadang kawanan besar,
memotong
jalur migrasi kafilahnya dari terumbu-terumbu
Belonna
yang dingin di Tasmania menuju Kuala Trenggano
yang
hangat. Semakin dekat, raksasa-raksasa kelabu itu ternyata
jauh
lebih besar dari yang selalu kubayangkan. Mereka
adalah
gajah di laut. Air bah bersimbah setiap kali mereka
mengempaskan
dadanya yang dilekati teritip. Aku gemetar
mengokang
tuas harpun dan membidik seekor hiu yang
lebih
panjang dari perahu kami. Kuinjak pegas tuas, tempuling
yang
ditambat seutas tali melesat dari larasnya, menikam
punggung
hiu dan penguasa laut itu menggelinjang
berguling-guling
seperti buaya mematahkan leher lembu.
Simpul
tempuling dalam genggamku tersentak, aku terlempar
ke
udara, melayang, lalu tertujam ke laut laksana peluru.
Weh
terjun menyelamatkanku. la meraih tali tempuling,
aku
menahannya. Aku tak rela melepaskan hiu besar itu. Ini
adalah
perburuanku yang pertama, pertaruhan harga diri-
Andrea
Hirata 6
ku.
Aku terombang-ambing diseret hiu yang kalap. Weh
mencabut
sundang di pinggangnya, dengan satu gerakan
tangkas,
meski tertahan tekanan air. la menampas tali tempuling.
Aku
terlonjak ke permukaan, kehabisan napas.
"Keras
kepala!
"Keras
kepala, seperti ibumu!
"Kau
bisa tewas tak berguna!"
Weh
menatapku tajam. Aku tahu ia membacaku. Kuangkat
wajahku,
tak kusembunyikan siapa diriku.
Perburuan
itu, pembuktian martabat itu, berakhir dengan
kesimpulan
bahwa aku pantas diajak Weh mengelana
samudra.
Ada gunanya tak kulepaskan hiu gergaji itu. Kami
beranjak
pulang.
Di
tengah perjalanan kembali, Weh menghampiriku.
"Ikal,
malam ini, engkaulah nakhoda," tantangnya.
Aku
terpana. Laut, hanya laut dan riak gelombang, delapan
penjuru
angin, sejauh pandang. Bagaimana aku akan
membawa
perahu kecil ini pulang?
"Kalau
salah arah, kita akan terdampar di Teluk Hauraki,
Selandia
Baru, mati kering seperti ikan asin."
Aku
mereka-reka arah, tanpa kompas, tak dapat kubuat
keputusan
apa pun. Weh bersungut-sungut, menikmati saat
berkuasa
karena ilmunya. Ia diam sampai aku menyerah.
Sejurus
kemudian, ia menunjuk ke arah yang jauh,
nun
di sana, empat kerlip bintang trapesium perlahan
menjelma
di horizon.
"Rasi
belantik....
7
EDENSOR
"Itulah
timur...."
Aku
kagum. Perlahan kuputar gagang kemudi. Sekarang
barat
daya jelas bagiku. Ke sanalah tujuanku. Sepanjang
malam
aku menatap belantik. Rasi itu bergerak pelan
seakan
meniti langit karena bumi berputar. Columbus telah
lama
tahu pengetahuan ini, maka ia berani bertaruh
bumi
ini bulat. Tengah malam, trapesium belantik terpancang
tepat
di atas kepalaku, kubelokkan perahu ke timur
laut.
Weh berkisah.
"Tahukah
engkau, Ikal...?
"Langit
adalah kitab yang terbentang...."
Perahu
menyusur gugusan pulau.
"Sejak
masa Azoikum, ketika kehidupan belum muncul,
langit
telah mencatat semua kejadian di muka bumi...."
Dedaunan
trembesi yang merunduk memagari tepian
delta,
pukat yang centang-perenang, tonggak-tonggak tambak
yang
diabaikan, laut sepi pasang malam, dan kecipuk
anak-anak
buaya muara, tepekur menyimaknya.
"Semburat
awan-awan tipis itu ...."
Weh
menuding langit utara. Berjuta serpih putih terapung-
apung
seperti telah dihalau tenaga dahsyat, punggung
gemawan
berkilau membias cahaya rembulan.
"Adalah
ekor puting beliung yang sepanjang hari ini
menyapu
Selat Gaspar...."
Dramatis.
"Awan-awan
sisik di tenggara sana mengabarkan sebentar
lagi
telur-telur ikan belanak akan menetas ...."
Andrea
Hirata 8
Aku
terpesona.
"Angin
ini, semilir angin ini! Ikal! Dapatkah kaurasakan?"
Weh
bersidekap, kedinginan.
"Ini
bukan Angin Selatan! Ini Angin Timur!
"Artinya,
kemarau akan panjang tahun ini."
Weh
bangkit.
"Tampakkah
olehmu lingkaran itu?"
Weh
menunjuk berjuta bintang, tak kasat olehku lingkaran
itu
karena tersembunyi di antara gemerlap miliaran
benda
langit. la menarik sebatang kayu bakar dan melukis
langit.
Bara kayu bakar melingkar
merah.
Aku mengikuti lukisannya.
Perlahan,
seperti menyimak
gambar
tiga dimensi,
sebentuk
lingkaran merekah.
la
membagi lingkaran
menjadi
dua belas iris. Ajaib!
Di
setiap puncak jejarinya
tampak
bintang yang lebih gemerlap
dari
sekitarnya. Dipatrinya
simbol-simbol
aneh dalam setiap iris lingkarannya, berulang-
ulang,
sehingga dapat kugambar dalam kepalaku.
Pada
setiap simbol Weh bersabda, "Keseimbangan,
perawan,
Leo sang singa, matahari pertama musim panas,
bintang
kastor, musim menyemai benih ...."
Mendebarkan!
Langit adalah kitab yang
terbentang, kata
Weh.
Laki-laki uzur ini memiliki indra keenam untuk
9
EDENSOR
membagi
lapisan langit menjadi halaman-halaman ilmu.
Aku
mengerti, itulah konstelasi zodiak!
Pada
iris kesepuluh ia berpaling padaku.
"Anak
Muda, dirimu, lelaki Oktober. Sambaran api
Mars
dan arus dingin Pluto akan menjebakmu ...."
Napasku
tercekat.
"Engkau,
laki-laki zenit dan
nadir...."
Aku
terkesiap. Malam
itu,
ingin kujadikan malam
puisi-puisi
Lucretius
tentang
jagat angkasa, galaksi
andromeda,
dan nebula-
nebula
triangulum.
Tak
'kan kukejar Weh dengan
pertanyaan-pertanyaan
praktis
untuk
menerjemahkan kalimatnya yang bersayap-sayap.
Malam
itu terlalu agung untuk memohon petunjuk pedoman
hidup
yang oportunistik kepada seorang pembaca
langit
yang adiluhung.
Angin
meniup layar, perahu menusuk kabut. Dini hari,
tampak
sayup setangkup wujud diselimuti halimun hanyut.
Apakah
pulau itu tujuanku?
Tiga
ekor elang gugok melesat diam-diam. Aku tahu,
predator
itu ingin menyerbu kawanan pipit yang baru bangun
di
sabana Genting Apit. Darah akan bersimbah di
bilah-bilah
ilalang. Aku yakin, daratan itulah tujuanku,
Andrea
Hirata 10
Belitong.
Aku berdiri di hidung haluan seperti Admiral
Hook.
Aku telah menjadi seorang navigator alam. Weh-lah
guru
yang mengajariku mengeja bintang. Sulit kugambarkan
perasaanku.
Aku pulang dari tengah samudra dengan
membaca
langit. Weh telah membuatku, untuk pertama
kalinya,
merasa menjadi seorang laki-laki.
11
EDENSOR
Berat
sekali ketika harus kembali kutinggalkan Weh dua
minggu
untuk ujian sekolah ke Tanjong Pandan. Menghadapi
kertas
ujian, pikiranku tak dapat kualihkan dari rencana
kami
berlayar ke Mentawai untuk melihat penduduknya
melukis
tubuh dengan tinta daun. Pulangnya, kami
akan
memburu gurita.
Turun
dari bus reyot, tak sempat aku pulang ke rumah,
aku
langsung ke pangkalan. Namun, kulihat perahu
Weh
limbung, layaknya bahtera tak bertuan. Penambatnya
terseret
lunglai. Lampu badai masih menyala. Layarnya bergulung.
Di
ujungnya terjuntai sepasang kaki yang pucat.
Hatiku
dingin. Aku melompat ke sungai, berenang menuju
perahu.
Tubuh Weh terbungkus lilitan layar, berayunayun.
Laki-laki
pembaca langit itu telah mati, mati meragan
menggantung
dirinya sendiri di tiang layar. Penyakit yang
tak
tertanggungkan telah merobohkan benteng terakhir semangatnya,
benteng
terakhir itu adalah aku.
Tubuhku
menggigil waktu membuka jalinan tali rami
yang
menjerat lehernya. Kupeluk tubuh Weh, wajahnya
yang
tua, keras, dan biru terkulai di lenganku. Di sakunya
masih
mendesis lagu-lagu cinta orang Melayu dari programa
radio
RPM Malaysia. Aku berteriak-teriak, tapi suaraku
surut
diisap sunyi semenanjung, serak ditingkah riak ombak,
lindap
ditelan angin, terhalau ke Laut Cina Selatan.
Usungan
digotong. Pemikulnya menggerutu. Seperti
hidup
mereka yang terbuang, kuburan para pembunuh diri
itu
pun dipisahkan, dikucilkan nun di sana, dekat rawa-rawa
nifah,
tempat gulma bergumpal-gumpal disarangi biawak.
Aku
diam terpancang seperti nisan-nisan kayu sekunyit yang
didesaki
ilalang. Orang Melayu bekerja keras sepanjang
hidup,
membanting tulang-belulang, berkeringat darah, berlumur
cobaan
berat, siapa yang menyerah tak dapat tempat
di
hati mereka. Hanya aku sendiri yang tersedan. Lututku
lemas
melihat Weh dicampakkan ke dalam lubang, diuruk
sekenanya,
ditancapi gagang pacul yang tadi patah waktu
menggali
liang lahatnya, lalu ditinggalkan begitu saja.
Pesan
terakhir Weh, zenit dan nadir, seperti akar ilalang
yang
menusuk-nusuk kakiku, menikam hatiku. Nanti, harus
kujelajah
separuh dunia, berkelana di atas tanah-tanah
asing
yang dijanjikan mimpi-mimpi, akan kutemui perempuan
yang
membuat hatiku kelu karena cinta, karena rindu
yang
menyiksa, untuk memahami kalimah misterius
itu.
Di kuburan usang, di antara nisan para pendusta agama
itu,
aku sadar aku telah belajar mencintai hidupku dari
orang
yang membenci hidupnya, dan Weh adalah orang
pertama
yang mengajariku mengenali diriku sendiri.
Andrea Hirata 12Endesor - Bab 2
Terima kasih sudah mengunggah buku ini. Bukan menyetujui ada copy paste isi buku, karena jauh jarak antara sidoarjo dan kazan, aku belum bisa membeli fisik buku ini. Jika ada waktu senggang mari berdiskusi di https://hab070790.wordpress.com/ sekali lagi terima kasih Bokumania.
ReplyDelete