10
PERTEMUAN
DI BALAI KAMPUNG
PAGI
BERIKUTNYA datang lagi.
Wak Burhan mengumandangkan adzan shubuh.
Meski sudah sepuh, suara Wak Burhan yang tanpa speaker dari surau terdengar
menggema di perkampungan bawah Lembah Lahambay. Dalimunte terkantuk-kantuk
menarik sarung adik-adiknya. Kerlip lampu canting semakin lemah, minyak
tanahnya hampir habis.
"Bangun
Ikanuri! Wibisana!"
Yang dibangunkan hanya menggeliat sebal. Menarik
bantal. Lantas menutupkannya ke kepala. Dalimunte menggosok-gosok mata, sedikit
terhuyung berdiri. Pagi ini penting baginya. Sebenarnya juga bagi seluruh
penduduk kampung. Seperti kesepakatan minggu lalu, bakal ada pertemuan rutin
tahunan di balai kampung. Membicarakan soal panen ladang-ladang mereka,
perbaikan jalan bebatuan selebar tiga meter itu, perselisihan antar tetangga
(jika ada), perambah hutan dari luar lembah yang semakin sering masuk, hal-hal
kecil. Dulu, waktu Babak masih ada, Babak-lah jadi wakil di pertemuan, mereka
bersama-sama datang ke balai kampung. Asyik menyimak pembicaraan.
Dalimunte menguap sekali lagi, melangkah mengambil
kopiah. Mamak sejak jam empat tadi sudah sibuk di dapur, masak air enau,
Ditemani Kak Laisa. Brr... dingin. Musim kemarau, dinginnya semakin terasa
menusuk tulang. Tapi Dalimunte semangat shalat di surau. Teringat ada hal
penting yang harus dikerjakannya hari ini. Itulah kenapa kemarin dia nekad
bolos, dia ingin melakukannya sendiri sebelum pertemuan kampung dilakukan.
Suara kokok ayam hutan
terdengar dari kejauhan. Juga lenguh pagi uwa. Beberapa tetangga membawa obor
bambu menuju surau. Jalanan kampung masih gelap. Obor itu
sekalian juga
penerangan di surau. Tidak banyak peserta shalat shubuh, paling berbilang
enam-tujuh orang. Dan satu-satunya peserta anak kecil, ya, Dalimunte.
Sekembali dari surau, Ikanuri dan
Wibisana masih tertidur, saling membelakangi punggung, dengan kaki-kaki
menyilang. Dalimunte nyengir melihat posisi aneh itu, malas membangunkan lagi;
menuju kertas-kertasnya yang ditumpuk di atas meja.
Siapapun di lembah itu tahu persis, di
sekolah Dalimunte dikenal sebagai anak yang paling pintar, meski sekolah ini
benar-benar seadanya. Dan satu bakat besar milik Dalimunte (meski untuk yang
ini tidak semua penduduk lembah tahu), dia suka sekali mengutak-atik sesuatu.
Diam-diam melakukannya di sela-sela membantu Mamak di ladang, Apa saja. Menciptakan
alat-alat yang aneh. Seperti keranjang aneh penangkap udang, alat panjang
penyadap damar, dan sebagainya.
Ahad pagi, hari ini sekolah libur.
Selepas Kak Laisa meneriaki Ikanuri dan Wibisana bangun agar shalat shubuh,
sesudah sarapan nasi goreng, benar-benar hanya nasi yang digoreng plus potongan
cabai dan bawang merah, mereka beramai-ramai berangkat ke balai kampung.
Pertemuan rutin warga kampung.
"Kakak
bawa apa, sih?"
Yashinta
bertanya, melihat kertas-kertas yang dipegang Dalimunte. "Biasa, penemu.
Paling juga bawa peta harta karun—"
Ikanuri dan
Wibisana nyengir. Tertawa menggoda. Mereka berdua selama ini juga suka jahil
merusak kertas-kertas atau apa saja yang dikerjakan Dalimunte.
Dalimunte tidak mempedulikan.
Balai kampung itu sudah ramai saat mereka tiba.
Pertemuan sengaja dilakukan sepagi mungkin, biar selepas acara, mereka masih
sempat bekerja di ladang. Kursi-kursi bambu berjejer rapi. Sudah disiapkan
sejak semalam oleh pemuda kampung.
Wak Burhan, sesepuh kampung berdehem, setelah
memastikan semua warga hadir, mengetukkan palu dari bonggol bambu, segera
memulai pertemuan. Warga kampung diam memperhatikan. Pertama, mereka
membicarakan soal kesepakatan lumbung kampung. Berapa kaleng yang harus
disetorkan setiap rumah untuk cadangan padi kampung. Per-kepala atau per-hasil
panen. Lima belas menit penuh seruan-seruan. Usul-usul. Kalimat-kalimat
keberatan. Usul-usul lagi. Satu dua kalimat tidak penting. Satu dua usul lagi.
Setuju. Beres.
Mamak
Lainuri menyeka dahi. Meski lima kaleng itu benar-benar akan mengurangi
penghasilan ladang mereka yang tidak luas, cadangan padi selalu penting. Dua
tahun silam saat ladang mereka terkena hama belalang, lumbung kampung
memastikan perut anak-anaknya tetap kenyang. Setidaknya panen kali ini semoga
masih ada sisa buat membeli seragam sekolah buat Yashinta.
Lebih banyak lagi waktu
dihabiskan untuk membahas soal perambah hutan dari daerah lain, Seruan-seruan
marah makin ramai. Memaki. Mengancam. Wak Burhan, yang masih terhitung saudara
Mamak Lainuri (dan juga warga kampung lainnya) menengahi. Sepakat melaporkan
soal itu ke polisi hutan kota kecamatan. Separuh dari hutan di Lembah Lahambay
itu adalah kawasan taman nasional. Daerah konservasi. Hanya lokasi-lokasi
tertentu yang dibolehkan diolah, meski penduduk setempat sendiri kadang juga
melanggarnya dengan menangkapi uwa, kukang, atau binatang dilindungi lainnya.
Tapi perlakuan perambah hutan itu memang mencemaskan, mereka tega membawa senso
(gergaji mesin) besar, dan tanpa ampun mulai menebangi pohon-pohon raksasa.
Perbaikan jalan
bebatuan tiga meter itu diputuskan hanya dalam hitungan menit. Keputusannya
adalah: Menunggu. Menunggu pemerintah kota berbaik hati sajalah. Mereka sudah
terlalu repot dengan kehidupan sehari-hari untuk ditambahi memperbaiki jalan
sepanjang duapuluh kilometer itu. Lagipula desa-desa sekitar mereka juga
menolak memperbaikinya, agar perambah hutan tidak semakin sembarangan masuk
membawa truk-truk yang akan mengangkuti kayu gelondongan hasil jarahan.
Membicarakan
perselisihan batas ladang, sepakat memberikan tanda baru untuk setiap batas
kebun. Jadwal pengajian mingguan. Gotong-royong perbaikan tangga kayu di cadas
setinggi lima meter sungai. Sumbangan rutin buat acara besar (Maulid, Isra
Mi'raj). Dan beberapa masalah kecil lainnya.
"Masih ada
yang ingin dibicarakan?"
Dua jam berlalu
sejak tadi pagi, Wak Burhan sekarang menatap seluruh balai kampung. Lengang
sejenak.
"Masih
ada?"
Wak Burhan
bertanya sekali lagi.
Sepertinya sudah selesai. Tidak ada lagi yang hendak
melaporkan sesuatu. Wak Burhan tersenyum, meraih pentungan dari bongkol bambu,
bersiap menutup pertemuan. Saat itulah, saat penduduk kampung menggeliat santai
karena pertemuan sudah selesai, saat mereka beranjak merapikan baju yang
terlipat, tiba-tiba Dalimunte mengangkat tangannya. Awalnya ragu-ragu, tapi
karena sudah kadung, sudah sejak seminggu lalu meniatkan diri, maka sambil menggigit
bibir, Dalimunte menaikkan tangannya lebih tinggi,
Muka-muka tertoleh.
Muka-muka bingung. Bukannya sudah
selesai?
Mamak
Lainuri mengernyitkan dahi. Kak Laisa yang merasa ganjil, menyikut bahu
Dalimunte yang duduk di sebelahnya. Ikanuri dan Wibisana yang sejak tadi hanya
jahil tertawa-tawa saling berbisik menganggu dan sibuk berkomentar terhenti
cengirannya. Hanya mata Yashinta yang membesar penuh rasa ingin tahu.
"Ya,
kau ingin menyampaikan sesuatu Dalimunte?"
Wak
Burhan meletakkan palu bonggol kayunya. Tersenyum tipis. Itu janggal sekali,
pertemuan tahunan itu meski diikuti oleh seluruh penduduk kampung, hanya pria
dewasalah yang bicara. Sisanya menonton.
"Ergh, eee,
iya Wak...."
Dalimunte
menelan ludah, amat gugup dengan tatapan penduduk lainnya. "Baik. Apa yang
ingin kau sampaikan, Dalimunte?"
Wak Burhan tersenyum lebih lebar,
mengeluarkan sirih dari mulut. Dia mengenal sekali anak Lainuri yang satu ini.
Rajin shalat berjamaah di surau. Masih anak-anak. Tapi siapa bilang dia masih
anak ingusan umur dua belas tahun. Sejak Babak mereka meninggal, anak-anak
Lainuri tumbuh berbeda dengan yang lain, tumbuh menjadi anak-anak yang bisa
diandalkan.
"Ergh,
sebentar—"
Dalimunte dengan tangan sedikit bergetar
membawa kertas-kertasnya ke depan. Saking gugupnya, beberapa kertas berjatuhan.
Dalimunte patah-patah mengumpulkannya.
Mamak Lainuri masih mengernyitkan dahi.
Kak Laisa menatap lebih bingung. Buat apa kertas-kertas itu? Penduduk lain
menunggu.
"Ee,
maaf kalau, maaf kalau—" Dalimunte mengusap dahinya.
"Kau tidak
perlu gugup begini, Dalimunte. Katakan sajalah. Kami akan mendengarkan!"
Wak Burhan mengangguk mantap padanya.
Dalimunte menelan
ludah. Menatap Kak Laisa, menatap Mamak Lainuri. Menatap Yashinta. Lantas
sedikit tersenyum tanggung demi melihat wajah adiknya. Lihatlah, adiknya dengan
bola mata membulat penuh rasa ingin tahu balas menatapnya. Ekspresi yang sama
seperti setiap kali Yashinta diajak melihat anggrek hutan raksasa. Atau melihat
pohon salak hutan. Atau melihat sigung berkejaran. Tidak. Yashinta sedikitpun
tidak merasa ganjil dengan Dalimunte yang tiba-tiba berdiri di tengah balai
kampung. Yashinta hanya ingin tahu. Baiklah, Dalimunte menekuk ibu jari kakinya,
ini semua mudah. Tersenyum penuh penghargaan sekali lagi ke arah Yashinta.
Maka meluncurlah
penjelasan itu—
Ikanuri
terdengar berteriak di seberang sana. Meningkahi berisiknya suara krsk
telepon genggam.
"Kau kemana
saja, Dalimunte? Aku sejak sejam lalu berusaha menelepon. Hallo? Hallo? Ya, kau
dengar? Aku sejak tadi menelepon kau. Tidak ada sinyal, Dali. Sama sekali tidak
ada. Akhirnya justru kau yang menghubungi sekarang. Bah, sejak kapan kau memattkan
HP urusan keluarga?"
"Tadi
di pesawat—"
"Apa?
Hallo? Oo, pesawat— Kau sudah di mana?"
Sinyal sambungan langsung internasional
itu payah, putus-putus. Dengan jeda waktu bicara lama pula. Jadi kalian bicara
sekarang, baru tiga detik kemudian terdengar di seberang sana. Juga sebaliknya.
"Kami
persis di pegunungan Alpen, Swiss. Ya ampun, ini benar-benar sialan semua
urusan ini—
Ada
longsor yang menimbun jalan kereta! SWISS. Kami di SWISS, bukan ITALIA,
PROFESOR. Hallo? Hallo? Tidak. Kami tidak berangkat dari Roma. Sepakbola sialan
ini membuat semua penerbangan dari kota-kota di Italia penuh hingga dua hari ke
depan. Terpaksa berangkat dari Paris. PARIS, bukan SWISS—"
Suara
gemuruh hujan terdengar dari latar suara Ikanuri.
"Tidak.
Tidak. Kami akan terbang dari Paris, Dalimunte. Dengan penerbangan besok pagi,
jika semua tanah sialan ini berhasil dibersihkan. Di sini sedang hujan deras.
Ada tebing yang longsor. Tanahnya memenuhi jalanan kereta. Apa? Sialan.
SUARANYA PUTUS-PUTUS, DALIMUNTE! APA? Oo-Juwita, Delima, dan Ummi mereka sudah
dalam perjalanan ke sana. Seharusnya dua-tiga jam lagi tiba di bandara. Kau
sudah dijemput di bandara?"
Ikanuri
entah untuk ke berapa kalinya memaki.
Sementara
di sini, sambil menelepon, Dalimunte melangkah cepat menuju lobi depan bandara.
Mobil jemputan perkebunan strawberry sudah menunggu sejak tiga jam lalu.
Perjalanan Jakarta menuju ibukota provinsi ini hanya butuh satu jam. Tujuh jam
berikutnya dihabiskan dengan perjalanan darat menuju Lembah Lahambay. Dulu itu
menjadi perjalanan yang menantang. Terpaksa tiga kali ganti kendaraan. Satu
kali menumpang bus ke kota kabupaten. Satu kali lagi menumpang angkutan
pedesaan terbuka menuju kota kecamatan. Terakhir naik starwagoon tua itu menuju
perkampungan. Sekarang tidak lagi, sejak perkebunan strawberry punya cabang
pabrik pengalengan di kota provinsi, akses ke sana jauh lebih mudah.
"Apa?
Hallo? YASHINTA? Aku tidak tahu, Dalimunte!" Ikanuri berteriak, suara
hujan semakin deras,
"Aku sudah hampir sepuluh kali
menghubungi telepon genggam satelit Yashinta. Tidak ada sinyal. APA? HALLO?
TIDAK TAHU! Aku tidak tahu! Tentu saja ia baik-baik saja, Dalimunte—"
Kedua kakak-beradik itu (satu di Italia,
satu di sini) mengernyit berbarengan. Dalimunte melipat dahinya lebih lebal,
terlihat amat cemas. Dia juga sudah tiga kali mengontak HP Yashinta tadi. Sama.
Sama sekali tidak ada sinyal.
"Mematikan HP? Tidak mungkin ia
sudah di pesawat, bukan? Apa? Oo Terakhir aku ditelepon Yashinta tadi malam. Ia
menginap di punggung lereng Semeru. Apa? Tentu tidak, Dalimunte. Kenapa pula
kau persis seperti Mamak, mencemaskan hal-hal kecil. Anak itu dua kali lebih
atletis dibandingkan Kak Laisa, apalagi dibandingkan kau! DIA AKAN BAIK-BAIK
SAJA, DALIMUNTE!"
Pembicaraan itu
terdiam sejenak. Kelu.
"Kau sudah
menelepon Mamak di kampung?"
Ikanuri setelah
ikut terdiam sebentar, bertanya. Dengan intonasi sedikit berbeda. Juga ikutan
merasa ganjil setelah menyebut nama Kak Laisa.
"Baik.
Baik. Jika kau tiba tujuh jam lagi bilang Mamak, aku dan Wibisana akan berusaha
segera tiba di sana, Dalimunte. Ya ampun, apa yang sering kubilang dulu? Kau
seharusnya sudah menemukan alat agar kami bisa pindah kemana saja dalam
sekejap, Profesor. Bukan hanya mengurus soal bulan yang terbelah, itu kan sudah
jelas pasti benar, Mamak dulu juga sudah bilang itu benar dalam
cerita-ceritanya lepas Shubuh, tak perlu kau buktikan—" Ikanuri mencoba
bergurau, sebelum menutup sambungan internasional.
Lengang.
Dalimunte mengusap wajahnya sekali lagi. Terdiam. Bukan karena gurauan Ikanuri
soal penelitiannya. Wibisana dan Ikanuri berdua memang sejak kecil kompak sudah
suka mengganggu 'penelitian-penelitiannya'. Menyembunyikan alat-alatnya.
Dalimunte terdiam karena memikirkan sesuatu. Cemas.
"Abi,
jadi naik nggak?"
Intan berseru
memanggil dari dalam mobil. Putrinya sudah duduk rapi memeluk si belang. Sopir
perkebunan strawberry juga sejak dari tadi menunggu.
Dalimunte menghela nafas. Ya Allah, bertambah satu
lagi hal mencemaskan. Yashinta! Kemana pula adik bungsunya itu? Ganjil sekali
HP satelitnya tidak ada sinyal. Apa dia harus cek GPS (global positioning
system) agar tahu posisi Yashinta? Tapi kalau HP satelitnya saja mati, apalagi
GPS-nya. Itu satu paket dengan gagdet canggih Yashinta. Dalimunte setelah
menghela nafas untuk kesekian kalinya, beranjak menghempaskan pantat di jok
mobil.
Mengangguk, memberikan kode jalan ke
sopir.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 11
No comments:
Post a Comment