37
KAU
ADIK TERSAYANG
"ABI,
Tante Yash ikut pulang, kan?" Intan yang duduk di ranjang besar menoleh,
bertanya pada Dalimunte.
Dalimunte yang sedang
berbicara dengan dokter tentang kondisi terakhir Kak Laisa mengangguk seadanya.
"Sudah sampai di mana, sih? Kok nggak ada
kabar-kabarnya seperti Oom Ikanuri dan Oom Wibisana?" Intan bertanya lagi.
Lebih serius, ingin tahu.
Dalimunte kali ini benar-benar menoleh ke putrinya.
Terdiam. Sudah sampai di mana? Menelan ludah. Malam tiba untuk ke sekian
kalinya di lembah itu. Hujan gerimis turun sejak maghrib. Mereka sudah shalat
berjamaah (kecuali Juwita dan Delima yang memaksa ikut shalat gaya duduk Wawak
Laisa). Sudah makan malam, meski makannya di kamar Wak Laisa. Menghampar
sembarang di lantai. Yang penting tetap bersama.
Kondisi Wak Laisa tidak memburuk, juga tidak
membaik. Ia sepanjang pagi bisa duduk bersandarkan bantal, tapi setelah siang,
karena lelah, kembali tiduran. Batuknya masih. Juga bercak darah yang ikut
keluar. Intan telaten membersihkan dengan tissue. Juwita dan Delima sih dari
tadi ingin ikut-ikutan, tapi Kak Intan melotot. Menyuruh mereka menyingkir.
Siang itu Bang Jogar menghentikan membaca yasin di surau dan beranda rumah.
Mereka masih berkumpul di bawah panggung, tapi satu dua menjelang malam kembali
ke rumah masing-masing. Semoga Laisa terus membaik.... Begitu masing-masing
berdoa dalam hati.
"Yeee, Abi kok
malah melamun?" Intan berseru, nyengir. Dalimunte mengusap wajahnya.
Menelan ludah sekali lagi. "Tante Yash masih di jalan, sayang —"
Kak
Laisa yang justru menjawab. Suaranya sedikit serak. Matanya yang tadi terpejam,
perlahan terbuka.
Tersengal.
Menatap Intan lamat-lamat.
Dalimunte yang masih berdiri di depan dokter
terdiam. Apa yang hendak dikatakan Kak Laisa? Apa maksud kalimat Kak Laisa baru
saja. Dia tahu persis, Kak Laisa sengaja menahan diri sejak kemarin untuk
bertanya di mana Yashinta sekarang. Setelah lebih sehari semalam, tanpa kabar
pasti di mana posisinya, orang yang paling ingin tahu di mana Yashinta sekarang
jelas adalah Kak Laisa.
"Emangnya Wak
Laisa tahu? Kan Wawak sejak tadi tidur;'" Intan menyeringai. Beringsut
mendekat.
Laisa berusaha
mengangguk. Tersenyum.
Tentu saja ia tahu.
Kedekatan adik-kakak itu sungguh menembus batas-batas akal sehat. Tentu saja
Laisa tahu.... Itulah kenapa dia tidak bertanya ke Dalimunte di mana Yashinta,
adik terkecilnya, berada sekarang.
Karena Laisa tahu persis di mana
Yashinta saat ini.
Bagaimana tidak? Lima belas jam ]alu, tepatnya saat
ia shalat shubuh sambil duduk tadi pagi, ia baru saja membangunkan adiknya.
Membelai lembut dahi Yashinta yang cemerlang. "Ia bukan kakak kita!"
Ikanuri berbisik kasar. Mukanya terlihat sekali sebal,
"Kenapa ia
harus sibuk melarang-larang. Bah!"
Wibisana yang berdiri
di sebelahnya hanya diam. Tidak cakap apapun. Hanya tertunduk. Malam itu
Ikanuri dan Wibisana dihukum tidur di bale bambu bawah rumah panggung. Malam
beberapa bulan setelah kejadian di Gunung Kendeng itu. Dua sigung nakal itu
lagi-lagi bolos sekolah, padahal Mamak, Kak Laisa, dan Dalimunte sibuk mengurus
kebun strawberry. Tidak hanya sibuk, tapi cemas apakah kali ini mereka akan
berhasil atau gagal total. Dua sigung bebal itu malah asyik bermain ke kota
kecamatan.
"Kenapa
sih ia harus sibuk lapor Mamak.... Sok ngatur. Lihat, dua tiga tahun lagi,
pastilah kita lebih tinggi dibanding tubuh pendeknya...."
Ikanuri
bergelung, terus ngomel. Gerimis membasuh lembah. Deru angin lembah membawa
rinai air. Membasahi tubuh mereka yang sejak tadi sore berusaha tidur.
"Pendek!
Hitam! Jelek!" Puas sekali Ikanuri mendesis.
Yashinta saat itu
sembunyi-sembunyi hendak mengantarkan selimut buat kakaknya, biar tidak
kedinginan di luar. Desisan yang membuat Yashinta membeku. Saat itu usia Yashinta
delapan tahun, sudah bisa mengerti banyak hal. Malam itu Yashinta akhirtiya
tahu satu fakta yang akan ia simpan seumur hidupnya. Gemetar Yashinta kembali
menaiki anak tangga, ke atas. Urung memberikan selimut. Nafasnya tersengal. Kak
Ikanuri jahat. Jahat sekali. Menghina Kak Laisa seperti itu. Ingin rasanya
Yashinta berteriak. Menimpuk Kak Ikanuri dengan bongkahan tanah. Tapi ada hal
lain yang membuatnya lebih sesak: Ia bukan kakak kita. Ia pendek. Hitam. jelek.
Yashinta berlari masuk ke dalam kamar.
Malam itu ingin sekali
Yashinta langsung bertanya pada Mamak, bertanya pada Kak Dalimunte, apa maksud
kata-kata Kak Ikanuri barusan. Apa benar Kak Laisa bukan kakak mereka. Tapi
mulutnya bungkam. Yashinta tidak pernah kuasa bertanya. Malam itu saat yang lain
sudah jatuh tertidur (termasuk dua sigung nakal di bawah rumah), Yashinta masih
terjaga. Ia merangkak mendekati Kak Laisa.
Lembut jemari Yashinta
mengusap wajah Kak Laisa. Rambut gimbalnya. Wajah dengan kulit hitam. Hidung
pesek. Mulut Kak Laisa yang sedikit terbuka, memperlihatkan gigi-gigi besar,
tidak proporsional. Yashinta menelan ludah, Membandingkan wajah itu dengan
wajahnya melalui cermin peraut pensil. Kak Laisa sungguh berbeda.... Tapi
bagaimann mungkin Kak Laisa bukan kakaknya?
Dan Yashinta entah oleh
kekuatan apa, tidak pernah kuasa menanyakan soal itu kepada yang lain. Tidak
pada Mamak. Tidak pada Kak Dalimunte. Tidak pada dua kakaknya yang nakal itu.
Pernah ia hampir terlepaskan bertanya pada Wak Burhan, tapi segera menutup
mulutnya. Bagaimanalah kalau itu semua benar? Bagaimanalah kalau Kak Laisa
memang bukan kakaknya? Yashinta, sejak sekecil itu sudah amat menghargai Kak
Laisa. Ketakutannya atas kemungkinan jawaban tersebut, membuatnya bungkam
selama puluhan tahun.Bahkan memutuskan untuk tidak akan pernah bertanya.Tidak
akan ada bedanya.
Apapun
jawabannya, Kak Laisa tetap menjadi kakaknya.
"Tapi Tante Yash sekarang sudah di mana, Wak?
Kok nggak nyampe-nyampe, sih?" Intan bertanya ingin rahu.
Yang ditanya tidak
menjawab. Mata Wak Laisa sudah kembali terpejam. Tertidur.
Di manakah Yashinta?
Seekor peregrin melenguh.
Melintas kabut yang
menutupi lereng terjal Semeru. Kepakan sayapnya terlihat elok. Bagai pesawat
tempur F-16. Menderu membelah senyap. Menerabas pucuk-pucuk pohon. Lantas bagai
ballerina sejati, berhenti tepat sebelum menghantam salah satu dahan, anggun
mendarat. Perfecto, Peregrin itu melenguh lagi. Kemudian loncat menuruni dahan
kayu satu demi satu. Hingga tiba di semak-semak. Satu meter dari tanah basah
lereng Semeru. Kepalanya bergoyang-goyaitg. Ekornya bergerak-gerak. Suaranya
mendesis, tapi sekarang terdengar seperti cicitan iba, menatap ke bawah.
Menatap ke tubuh yang terbanting, tidak sadarkan diri di atas belukar. Tubuh
yang tidak sadarkan diri selama dua puluh jam terakhir.
Di sekitar tubuh itu,
dua ekor bajing juga ikut mendekat. Kepala mereka naik turun. Mendesis. Berlari
kesana-kemari. Berhenti. Berlari lagi kesana-kemari.
Berhenti. Ikut menatap
tubuh yang tergolek lemah itu. Dan, ya Allah, siapa bilang tidak ada lagi
harimau jawa di Gunung Semeru? Penelitian itu, yang menyimpulkan spesies langka
itu sudah punah di rimba Semeru seperti sebuah kesia-siaan besar. Lihatlah,
seekor harimau jawa, yang lebih besar dibandingkan penguasa Gunung Kendeng,
berjalan memutari belukar itu. Berhenti sejenak. Mendengkur.
Tapi
itu bukan dengkuran bahaya. Itu dengkuran penuh rasa iba. Seperti induk melihat
anaknya terluka. Menatap tubuh yang tergolek lemah. Lantas berpulang lagi.
Seperti seekor penjaga. Begitu saja yang dilakukan harimau besar itu dua puluh
jam terakhir. Ya Allah, hanya Wak Burhan yang pernah tahu sejatinya apakah
penduduk Lembah Lahambay pernah memiliki kemampuan mengendalikan binatang liar.
Ilmu Pesirah itu.
Tubuh itu adalah Yashinta. Gadis manis, 34 tahun.
Yang dua puluh jam lalu bergegas menuruni lereng terjal Semeru demi mendengar
kabar Kak Laisa sakit keras.
Nahas, setetah rekor mendaki 27 gunung di seluruh
dunia dengan seluruh stamina fisik yang luar biasa, dua puluh jam lalu, kakinya
terperosok ke batuan ringkih. Batu itu merekah. Yashinta kehilangan
keseimbangan. Lantas tubuhnya mental. Bagai burung tanpa sayap, menghujam masuk
ke dalam lembah menganga. Sekali. Dua kali. Berkali-kali tubuhnya menghantam
dahan-dahan kayu. Terus jatuh berdebam Semakin dalam. Sangkut-menyangkut di
ranting pohon, Jatuh lagi. Sangkut di semak belukar. Jatuh lagi. Terjepit.
Lantas meluncur ke dasar lembah. Menghantam rerumputan dangkal.
Seketika tak sadarkan diri.
Telepon genggam satelit itu sudah sejak lima belas
detik lalu jatuh menghajar bebatuan. Pecah berhamburan. Dan gadis cantik itu
tergolek tak berdaya di atas rumput. Sempurna terputus dari hingar-bingar
dunia. Tidak ada yang tahu. Dua rekan penelitinya tertinggal dua ratus meter di
belakang. Tidak melihat saat Yashinta jatuh. Dua rekan penelitinya terus saja
turun sambil mengomel soal betapa cepatnya kaki Yashinta. Lupa memperhatikan
dahan kayu yang patah. Lupa memperhatikan jejak kaki Yashinta sudah tidak ada
lagi di jalan setapak.
Yashinta dengan muka
luka, kaki patah, tergolek tak berdaya. Dua puluh jam lamanya, hingga keajaiban
itu terjadi. Hingga kecintaan pada saudara karena Allah, rasa berserah diri
yang tinggi kepada kuasa langit, ritual ibadah yang penuh pemaknaan, kebaikan
dengan sesama, proses bersyukur yang indah, mampu membuat manusia menembus
batas-batas akal sehat itu.
Ya! Kak Laisa-lah yang
membangunkan Yashinta dari pingsannya. Yashinta kecil berangsur-angsur sembuh.
Pertolongan mahasiwa
kedokteran yang sedang KKN itu tepat waktu. Panasnya mereda. Batuknya
berkurang. Muka pucatnya kembali memerah. Satu minggu kemudian gadis kecil itu
malah sudah bisa kembali sekolah. Tetapi Kak Laisa belum. Mata kakinya yang
bergeser setelah menghajar tunggul kayu di lereng lembah, membuatnya tersiksa
hampir sebulan. Diurut berkali-kali oleh Wak Burhan. Benar-benar ngeri melihat
Kak Laisa diurut. Bagaimanalah? Persendian itu dipaksa kembali ke tempat
semula. Kak Laisa menggigit gumpalan baju. Matanya berair. Tubuhnya mengejang.
Tapi ia tidak berteriak.
Dua sigung kecil itu
saja yang selama ini tidak peduli dengan Kak Laisa ikut jerih melihatnya.
Dalimunte hanya diam. Yashinta menangis. Ia tahu kalau kaki Kak Laisa begitu
karena memaksakan diri malam-malam menjemput mahasiswa KKN di kampung atas.
Tapi Kak Laisa tidak mau membicarakan kejadian malam-malam di tengah hujan Itu
ia sudah kembali sibuk. Meski kakinya belum sembuh benar, Kak Laisa tetap
memaksakan diri bekerja di kebun. Makanya butuh waktu sebulan untuk sembuh
total, karena lagi-lagi persendian itu bergeser.
Pagi datang menjelang di Lembah
Lahambay.
Burung berkicau bagai
orkestra. Kabut putih mengambang. Ditembus sinar matahari. Berlarik-larik
seperti lukisan, elok melihatnya. Uwa di kejauhan sibuk berteriak. Meningkahi
desis jangkrik dan ribuan serangga lainnya.
"Kau benar kuat
mengangkat segitu, Yash?" "He-eh."
Yashinta mengangguk,
merengkuh dua belas batang umbut rotan (ujung rotan yang masih muda). Di potong
potong sepanjang enam jengkal. Bisa disayur. Bisa juga dijual ke kota
kecamatan. Harganya lumayan mahal.
Kak Laisa pagi ini mengajak Yashinta mencari umbut
rotan di pinggir hutan. Sekalian melihat lima anak berang-berang itu lagi.
Sebenarnya Yashinta tidak terlalu yakin apa ia cukup
kuat mengangkat dua belas potong umbut rotan itu. Kak Laisa kakinya kan masih
sakit, masih dibebat kain, jadi ia memutuskan mengangkut segitu. Biar beban Kak
Laisa banyak.
Terhuyung. Tubuh kedl
Yashinta terhuyung. "Kau benaran kuat, Yash?"
"He-eh."
Yashinta
mengangguk lagi. Berpegangan kokoh ke ranting semak belukar. Menggigit bibir.
Lantas mulai melangkah. Sebentar lagi ia juga terbiasa kok dengan berat ini.
Awalnya bergetar, tapi perlahan kakinya mulai mantap menyusuri jalan setapak.
Tuh kan, Yashinta kuat kok. Nyengir. Kak Laisa yang berjalan di belakangnya
tersenyum.
Suara burung semakin
ramai menjemput pagi. Saling sahut. Dua ekor bajing berlarian di dahan-dahan
tinggi. Kecipak suara air mengalir di sungai kecil terdengar menyenangkan,
Yashinta mulai ikut bersenandung. Tadi seru sekali melihat kembali
berang-berangnya.
"Kau minggu depan
mau ikut Kakak lagi ambil umbut rotan?" "He-eh."
Yashinta
langsung menjawab. Tertawa. Kak Laisa ikut tertawa.
Mereka tiba di anak sungai yang lebih lebar. Harus
meniti jembatan kayu kecil untuk menyeberanginya. Yashinta kembali bersenandung.
Semakin lama, dua belas potong umbut rotan di pundaknya semakin terasa ringan.
Sayang, seekor kodok
yang sedang mematung di jembatan kayu itu tiba-tiba loncat. Yashinta berseru
kaget. Kodok itu cueknya justru loncat ke perut Yashinta. Gadis kecil itu reflek
menghindar. Celaka! Kakinya kehilangan keseimbangan. Berdebum. Tubuhnya yang
melintir terjatuh dari atas jembatan.
"YASH!"
Kak Laisa berseru tertahan.
Tinggi jembatan itu hanya satu meter. Masalahnya air
sungai di bawah dangkal, hanya sejengkal. Dipenuhi bebatuan pula. Dan kesanalah
tubuh kecil itu terhujam. Dua belas potong umbut rotan itu berhamburan. Dan
dalam gerakan lambat yang mengerikan, kepala Yashinta menghantam bebatuan.
"YASH! YA
ALLAH!" Kak Laisa pias sudah.
Tersadarkan dari
pemandangan itu. Melempar bawaan di pundaknya. Gemetar menuruni jembatan.
Gemetar meraih tubuh adiknya yang basah.
"YASH....
YASH!"
Tubuh adiknya, ya Allah, pelipis adiknya berdarah.
Luka. Cairan merah itu menggenangi sungai. Membuat garis panjang. Kak Laisa
pias. Sungguh pias. Tangannya patah-patah merengkuh Yashinta. Menggendong ke
tepi sungai Tidak peduli persendian mata kakinya bergeser lagi. Tidak peduli
rasanya amat sakit. Kak Laisa benar-benar takut. Lihatlah. Adiknya seketika
pingsan.
"Yash....
Yash, bangun—"
Gemetar
Kak Laisa memeriksa seluruh tubuh Yashinta. Tidak ada yang luka, hanya pelipis.
Tapi lukanya besar. Robek.
Melepas
bebat kain di kepala. Mengelap darah. Percuma. Darah kembali mengucur deras.
Aduh, Kak Laisa semakin gugup.
"Yash....
Kakak mohon, bangunlah..." Kak Laisa menangis.
Ketakutan itu tiba-tiba mencengkeram
jantungnya. Ia sungguh lebih takut
dibandingkan
saat kejadian di Gunung Kendeng
lalu. Ini semua
salahnya. Tidak
sekalian melihat anak
berang-berang. Tidak seharusnya
ia membiarkan
|
Yashinta
|
menggendong
lebih banyak potongan umbut rotan.
|
|
Tubuh Yashinta
mulai dingin.
|
|
"Yash...." Kak Laisa
panik menciumi pipi
adiknya. Suaranya mencicit.
|
Ya Allah,
|
bagaimanalah
ini? Apa yang harus ia lakukan? Menggendong Yashinta pulang? Ya Allah, kenapa
jemari adiknya semakin dingin. Apa yang akan ia bilang ke Mamak? Lais jaga
adikmu. Mamak selalu berpesan begitu, bahkan meski untuk urusan sepele saat mengajak
Yashinta mandi di sungai cadas.
Tubuh Laisa ciut oleh
perasaan takut. Amat gentar. Darah semakin banyak keluar. Tubuh itu semakin
dingin.
"Yash.... Ya
Allah..."Kak Laisa tersungkur sudah, suaranya mendecit penuh permohonan,
"Lais mohon.... Ya Allah, jangan ambil adik Lais — "
Kak Laisa kalap
memeluk tubuh adiknya. Menciumi rambut basah adiknya.
"Lais
mohon, ya Allah... Jika Engkau menginginkannya, biarkan Lais saja, biarkan Lais
saja...."
Kalimat itu
begitu ihklas terucap. Oleh rasa sayang yang tak terhingga.
Harimau besar itu menghentikan
putarannya.
Ekornya berkibas pelan. RRR. Menggerung
pelan. Lantas terdiam.
Menatap tubuh Yashinta yang tergolek di atas
belukar. Semburat cahaya matahari pagi yang menerobos dedaunan menyinari tubuh
itu. Kabut mengambang. Tadi malam berjaganya harimau itu membuat seekor beruang
gunung mengurungkan niat mencabik-cabik tubuh tak berdaya Yashinta. Harimau itu
sekarang mematung, seperti bisa menatap siluet indah yang sedang mengungkung
tubuh Yashinta.
Dua bajing yang juga mengawasi tempat itu ikut
terdiam Naik turun, celingak-celinguk kepalanya terhenti, Menatap siluet indah
yang sedang mendekat. Mengambang turun.
Burung peregrin itu
melenguh lemah. Kemudian senyap. Cahaya indah itu menguar di atas tubuh
Yashinta.
Seperti
parade yang turun membelah kabut. Kemilau tiada tara. "Ya Allah, Lais
mohon, jangan ambil adik Lais...."
Siluet cahaya itu
membungkuk, mencium kening Yashinta lembut Senyap. Lereng Gunung Semeru hening.
"Bangunlah adikku,
Kakak menunggu di rumah...." Lantas sekejap kemudian sirna.
Menghilang.
Tubuh yang sudah dua puluh jam pingsan itu pelan
membuka mata. Mengerjap-ngerjap. Yashinta berseru terbata "Kak
Lais...?"
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 38
No comments:
Post a Comment