Saputangan
Aku
dan Arai menerima surat pengumuman tes
beasiswa
itu di Belitong. Dr. Michaella Woodward
yang
memberi komentar pada pengumuman itu membuat
kami
berbesar hati. Intinya, ia menganggap hasil riset kami
berpotensi
melahirkan teori baru dalam disiplin ilmu kami
masing-masing.
Karena itu Dr. Woodward meluluskan tes
beasiswa
kami. Aku gembira, berbulan-bulan kutekuni buku
tebal
yang runyam berjudul Financial Econometrics, sebelum
menyusun
proposal risetku, ternyata ada gunanya. Namun,
aku
tahu persis, kesuksesan proposalku bukan hanya
karena
aku dapat mengaplikasikan teori ketidakpastian—
termasuk
gerak Brown atau segala sebaran Gauss—untuk
memetakan
interkoneksi telekomunikasi, namun karena
Motivation
Letter-ku yang hebat luar biasa. Beginilah kutulis
motivasiku:
Akan saya sumbangkan seluruh
ilmu dan pengalaman riset
yang saya dapatkan di Sorbonne
demi kemajuan nusa dan
bangsa, demi tanah. tumpah darah
saya! Tak berlebihan
saya sampaikan bahwa secara
diam-diam, sebenarnya saya
telah lama bercita-cita ingin
mencurahkan seluruh kemampuan
yang saya miliki, tak digaji pun
tak apa-apa, demi
mengangkat harkat dan martabat
umat manusia yang masih
terbelakang di negeri saya,
negeri yang benar-benar saya
cintai dengan sepenuh jiwa ....
Aku
yakin, kata-kata yang kusadur dari sebuah buku
berjudul
Garis-Garis Besar Hainan Negara itu telah membuat
Dr.
Woodward terharu hatinya dan tak menemukan alasan
untuk
tidak memberiku beasiswa. Maka, bagi kawan
yang
sedang menulis buku Tiga Serampai Tata Cara
Memperoleh
Beasiswa Luar Negeri, kusarankan jangan lupa memasukkan
siasatku
itu.
Andrea
Hirata
Arai
berusaha menghubungi Zakiah Nurmala—cinta bertepuk
sebelah
tangannya itu—untuk pamitan. Zakiah pasti
menerima
surat Arai, tapi tak sudi membalas. Seperti dulu
sejak
SMA, perempuan itu tetap indifferent,
tak acuh.
Baru
kutahu ada orang yang ditampik hampir sepuluh
tahun
tapi tetap kukuh berjuang. Arai tak pernah tertarik
pada
perempuan lain. Zakiah adalah resolusi dan seluruh
definisinya
tentang cinta. la telah menulis puluhan puisi
untuk
belahan hatinya itu, telah menyanyikan lagu di
bawah
jendela kamarnya, berhujan-hujan mengejarnya,
46
dan
bersepeda puluhan kilometer hanya untuk menemuinya
lima
menit. Zakiah tetap tak acuh. Mungkin Arai telah
diserang
sakit gila nomor dua puluh enam: takbisa membedakan
diterima
dan ditolak.
Sementara
aku merindukan A Ling. Malam hari, aku
keluyuran,
menjumpai para sahabat lama: dermaga dan
toko
kelontong Sinar Harapan. Aku melamun di depan toko
yang
telah diabaikan itu. Pintu pagar berdecit-decit ditiup
angin.
Kuingat A Ling berdiri di balik pagar itu, tersenyum
padaku.
A Miauw telah meninggal. Keluarganya terpecah
belah.
Sejak meninggalkanku ke Jakarta waktu aku
SMP
dulu, tak ada yang tahu kabar A Ling. la pergi, aku
merasa
seakan semua makhluk di Belitong dinaikkan Nabi
Nuh
ke bahteranya, aku tak diajak, hanya aku sendiri tak
diajak.
Mengetahui
aku dan Arai akan pergi jauh, doa Ayah lebih
panjang
dari biasanya. la bersimpuh terpekur. Jika kami
cium
tangannya, ia menggenggam tangan kami kuat-kuat.
Kami
tahu, sebagian hatinya ingin kami tak pergi. Kukatakan
pada
Ayah, kami akan terbang enam belas jam dan transit
di
Frankfurt. Ayah bersedekap, tercenung. Tak sedikit
pun
kenyataan itu dipahaminya. Aerodinamika gelap baginya,
ia
bahkan tak paham arti kata transit.
Aku semakin
dekat
dengan ayahku. Setiap hari aku mengakurkan jam
weker
kenangan pensiun PN Timah untuk Ayah—setelah
47
EDENSOR
beliau
bekerja di perusahaan itu hampir empat puluh tahun.
Jam
serupa juga dihadiahkan PN Timah untuk kakekku
dan
ayah kakekku.
Ayah
baru pensiun. Mengherankan ia dapat bertahan
di
tambang selama puluhan tahun. Ayah adalah seorang
family man. Sejak muda ia mengencangkan ikat pinggang,
bekerja
membanting tulang. Seluruh hidupnya tercurah
hanya
untuk istri dan anak-anaknya. Setiap tindak lakunya
hanya
untuk memberikan yang terbaik pada keluarga.
Minggu
pagi, kami bertolak ke Bandara Soekarno
Hatta
naik Fokker 28 dari bandara perintis Buluh Turnbang
di
Tanjong Pandan. Pagi yang amat pilu. Kami berpamitan,
Ayah
menyerahkan bungkusan untuk kami.
"Buka
jika telah sampai di sana," katanya. Ayah mengatakan
ia
bangga aku mampu mencapai apa yang tak
pernah
dicapainya. Aku bangga ayahku mengatakan itu,
karena
itu berarti ia melihat dirinya dalam diriku.
Ayah
melepas kami seperti tak 'kan melihat kami lagi.
Bagi
beliau, Eropa tak terbayangkan jauhnya. Ayahku yang
pendiam,
tak pernah sekolah, puluhan tahun menjadi kuli
tambang.
Paru-parunya disesaki gas-gas beracun, napasnya
berat,
tubuhnya keras seperti kayu. Ia menatap kami seakan
kami
hartanya yang paling berharga, seakan Eropa
akan
merampas kami darinya. Air matanya mengalir pelan.
Aku
memeluk ayahku, ayah yang kucintai melebihi apa
pun,
tangannya yang kaku merengkuhku. Betapa aku menyayangi
ayahku.
Andrea
Hirata 48
Pesawat
kecil itu terangkat, dari jendela kulihat Ayah
melambai-lambai
dengan saputangan, saputangan yang
dulu
sering dipakainya untuk mengikat kakiku pada tuas
sepeda
Forever-nya, supaya kakiku tak terjerat jari-jari ban.
Setiap
sore aku dibonceng Ayah naik sepeda ke bendungan.
Dadaku
sesak. Aku tahu aku akan merindukan laki-laki
pendiam
itu. Kulihat lambaiannya sampai jauh, sampai tak
tampak
lagi. Aku tersedu sedan.
Endesor - Bab 9
No comments:
Post a Comment