13
KAU
BUKAN KAKAK KAMI
OMELAN MAMAK LAINURI malam itu hanya
mempan seminggu. Ikanuri dan Wibisana memang rajin sekolah, sok rajin belajar,
shalat di surau, lancar ngajinya, tidak banyak bertingkah, patuh dengan Kak
Laisa selama seminggu terakhir. Namun lepas satu pekan, tabiat lama mereka
kembali lagi. Lebih parah malah.
Ahad berikutnya,
seperti kesepakatan pekan lalu, penduduk kampung bergotong-royong membuat lima
kincir air di pinggir cadas sungai. Melaksanakan ide Dalimunte.
Lelaki dewasa, mulai dari orang tua hingga pemuda
tanggung, setengah hari menghabiskan waktu di hutan, menebang belasan batang
bambu besar-besar, setidaknya tak kurang satu jengkal diameternya. Setengah
hari lagi dihabiskan untuk memotong-motong, mengikatnya dengan tali rotan, memakunya
dengan pasak besi. Wak Burhan dua hari lalu juga memutuskan menggunakan uang
kas warga kampung, membelinya di kota kecamatan, beserta semen dan keperluan
pondasi lainnya.
Sementara ibu-ibu dan gadis tanggung membantu
meyiapkan kue-kue kecil macam serabi, putri salju, juga teh panas. Beserta pula
makan siang. Meski seadanya, hanya dengan sayur terong dan sambal terasi, tapi
setelah lelah bergotong-royong seperti ini, makan sepiring nasi yang masih
mengepul terasa nikmat nian walau tanpa lauk. Apalagi mereka mengerjakan kincir
air itu langsung di pinggir sungai bawah cadas. Asyik benar duduk di atas
bebatuan sambil menyantap makan siang.
Jika sudah sampai sejauh ini, maka tak
ada lagi yang sibuk bertanya apa semuanya akan berhasil. Apa salahnya mencoba (lagi).
Maka sesiang itu, Dalimunte sibuk membentangkan kertas-kertas miliknya, sibuk
menjelaskan bagan konstruksi yang telah dibuatnya. Sebenarnya ganjil sekali
melihatnya, lihatlah, tubuh kecil Dalimunte terselip di antara belasan lelaki
dewasa lainnya. Wajah-wajah yang mengangguk-angguk mendengarkan penjelasannya,
tidak banyak bicara.
Ahad ini seluruh penduduk kampung 30-40 atap rumah
itu berkumpul di pinggir sungai. Semua bekerja, membantu. Tak terkecuali
Yashinta, ia membantu mengangkut bebatuan dengan keranjang rotan, bakal pondasi
kincir. Anak-anak kecil lainnya juga sibuk mengumpulkan pasir. Yang sedikit
besaran, terampil melubangi ruas bambu. Membuat 'pipa-pipa'. Jika pun tidak
ikut bekerja, anak-anak kecil lainnya sibuk 'menonton' di pinggir sungai sambil
bermain-main. Membuat sekitar ramai oleh teriakan (juga tangisan setelah satu
sama lain bertengkar).
"Ee.. bukannya tadi ada di sana,
Mak?" Laisa menoleh, menyeka dahinya, melepas gagang pelepah nyiur, uap
mengepul dari dandang besar penanak nasi, menunjuk kelompok anak lelaki
tanggung yang asyik membuat pipa-pipa.
"Tidak ada,
Lais"
"Ee, tadi
ada di sana, Mak...."
"Benar-benar
sigung bebal! Kemana pula mereka pergi ketika semua sedang sibuk bekerja. Bikin
malu keluarga saja!"
Mamak Lainuri
mendesis sebal. Memperbaiki bebat kain di kepala.
Laisa menelan ludah. Mengangguk dalam hati. Kemana
pula Ikanuri dan Wibisana sekarang. Lihatlah, semua penduduk kampung berkumpul
di sini, bergotong-royong, dan mereka berdua entah kabur kemana. Menatap
sekitar. Berkeliling. Tidak ada. Di dekat cadas Yashinta sedang tertawa bersama
teman sepantarannya, ada satu yang terpeleset di air saat membawa keranjang
pasir, basah kuyup. Di sisi lain, Dalimunte masih sibuk menunjuk-nunjuk kincir
air yang mulai berbentuk. Tidak ada Ikanuri dan Wibisana. Juga tidak ada di
antara anak-anak lainnya.
"Apa
perlu Lais cari, Mak?" Mamak Lainuri berpikir cepat,
"Nanti.
Lepas dzuhur kalau tidak kelihatan juga ekornya, kau cari mereka. Dasar tak
tahu malu. Tidak pernah ada di keluarga kita yang berpangku tangan saat orang
lain sibuk bekerja—" Mamak mengomel tertahan.
"Jangan-jangan
mereka ikut starwagoon ke kota lagi, Mak!"
Muka Mamak mendadak
memerah. Sebal. Kemungkinan itu benar-benar membuat Mamak marah. Apa tidak
kapok juga keduanya setelah diomelin minggu lalu.
"Ee, atau
hanya pulang sebentar ke rumah disuruh Dali ambil sesuatu—"
Laisa menelan ludah. Menyesal
kemungkinan soal starwagoon itu. Mencoba membuat Mamak lebih nyaman. Percuma.
Kalimat itu keliru, kalau dengan Laisa saja mereka berdua enggan menurut,
apalagi dengan Dalimunte. Mana mau mereka disuruh-suruh begitu. Dan jelas Laisa
keliru kalau membayangkan urusan kali ini sesederhana itu.
Menjelang dzuhur, dua
kincir air selesai. Dengan pasak besi, bebatan batang rotan, kincir bambu itu
terlihat kokoh. Disandarkan di dinding cadas sungai. Dalimunte tersenyum
senang, juga yang lain. Sejauh ini rancangan Dalimunte hanya keliru satu hal,
jumlah potongan bambu yang dibutuhkan. Beberapa lelaki dewasa terpaksa masuk
lagi ke hutan, mengambil belasan bambu berikutnya.
"Mak,
Ikanuri dan Wibisana belum kelihatan juga—" Laisa berbisik ke Mamak.
Muka Mamak yang sedang membawa piring-piring plastik
kentara sekali jengkel. Sementara penduduk kampung berkumpul di pinggir sungai,
duduk membuat kelompok-kelompok di atas bebatuan. Wak Burhan menyuruh mereka
makan siang. Istirahat hingga satu jam ke depan. Beberapa selepas makan
beranjak ke surau. Shalat dzhuhur.
"Kau cari
sekarang, Lais. Bila perlu seret saja dua sigung bebal itu kemari—"
Mamak
menahan marah. Bagaimana pula ia tak marah, tadi salah satu tetangga sebelah
rumah sempat bertanya di mana Ikanuri dan Wibisana. Pertanyaan itu tidak
serius, hanya bertanya apa kedua anak itu sakit? Pulang? Tidak enak badan?
Mamak hanya tersenyum tipis, mengangguk. Bagi Mamak urusan ini sensitif sekali.
Laisa tidak perlu
diperintah dua kali, segera bergegas meletakkan ceret air yang digunakannya
untuk mengisi gelas-gelas. Melepas kain celemek butut. Lantas beranjak
menyeberangi sungai. Ia sama sekali tidak punya ide di mana Ikanuri dan
Wibisana berada. Meski begitu, tempat yang pertama kali harus diperiksa adalah rumah.
Siapa tahu mereka berdua sedang tidur mendengkur di bale bambu.
Tidak ada. Laisa tidak
menemukan Ikanuri dan Wibisana saat tiba di rumah sepuluh menit kemudian.
Mungkin mereka bermain-main di desa atas. Laisa menyeka keringat di leher. Matahari
siang, terik membakar lembah. Dari surau, Wak Burhan mengumandangkan adzan.
Baiklah. Mamak menyuruhnya mencari. Itu artinya cari sampai dapat. Tidak ada
kata kembali ke pinggir sungai itu tanpa Ikanuri dan Wibisana. Maka tubuh gemuk
dan gempal Laisa beranjak menuruni anak tangga rumah panggung.
Percuma. Satu jam berlalu. Ikanuri dan
Wibisana tidak ada di desa atas. Starwagoon tua itu juga terparkir rapi di
halaman rumah pemiliknya. Laisa menyeka keringat yang mengucur semakin deras,
satu kilo berjalan, sia-sia. Memutuskan untuk memeriksa tempat kedua anak itu
suka bermain-main. Tidak ada. Mereka tidak ada di Curug Cuak (air terjun). Tidak
ada juga di jembatan gantung desa satunya lagi. Tidak ada di tempat biasa
mereka mancing. Tidak ada.
Laisa menelan ludah. Matahari sudah
tergelincir dari puncaknya. Sudah pukul tiga. Laisa dan penduduk kampung
terlatih sekali membaca jam dari gerakan matahari dan bayangan pepohonan. Di
pinggir sungai, penduduk kampung sudah sejak tadi meneruskan pekerjaan.
Jangan-jangan dua sigung itu sudah kembali ke pinggir sungai? Laisa mendesis
jengkel. Baik, ia akan kembali ke sana sambil menyelusuri jalan yang berbeda
dari berangkatnya tadi. Melewari kebun-kebun penduduk. Siapa tahu dua anak itu
tiduran di pondok rumbia ladang padi mereka.
Angin lembah bertiup
lembut, Laisa menghela nafas sedikit lega, itu membantu banyak di tengah terik
matahari awal musim kemarau. Kebun penduduk terlihat menguning. Batang padi
merekah oleh bilur-bilur buahnya yang montok. Sebulan lagi mereka panen
bersama. Penduduk kampung lembah itu umumnya berladang. Jika sudah dua-tiga
kali mereka menanam padi, biasanya diganti dengan kopi atau lada. Atau diseling
dengan jagung dan sejenisnya. Apa saja yang hasilnya bisa dijual di kota
kecamatan.
Setengah jam lagi
berlalu. Ikanuri dan Wibisana tidak ada di pondok rumbia ladang mereka. Laisa
mendengus sebal. Meneruskan langkah kaki. Harapan satu-satunya, dua anak nakal
itu sudah kembali ke pinggir sungai setelah berpuas diri bermain. Saat itulah,
saat Laisa mulai putus asa, tanpa sengaja sudut matanya yang terlatih menangkap
gerakan dedaunan pohon mangga kebun Wak Burhan, di kejauhan lembah. Tidak lazim.
Angin tidak akan membuat cabangnya bergoyang sedemikian rupa. Dan tidak ada uwa
atau monyet yang sampai di sini, sungai dengan cadas lima meter itu bagai
"tembok besar" membuat kampung mereka seolah terpisah dari hutan
rimba.
Laisa mendekat. Menyelidik. Menatap tajam pohon
mangga yang sedang ranum-ranumnya berbuah. Daunnya yang rimbun seperti dipenuhi
benjol-benjol buah yang besar-besar. Dahan pohon itu bergoyang-goyang lagi.
Laisa melangkah semakin cepat. Tinggal sepelemparan batu, tinggal lima belas
meter, akhirnya ia bisa melihat bayangan yang membuat pohon itu bergerak.
"Cepat,
Ikanuri—" Berbisik tertahan. "Sebentar." Suara itu ikut
tertahan.
"Kak Laisa!
Ada Kak Laisa! Cepat turun..." "Sebentar, celanaku tersangkut—"
GEDEBUK!
Ikanuri yang bergegas turun dari pohon mangga malah
terjatuh, kehilangan keseimbang saat buru-buru, menimpa Wibisana yang sudah
turun duluan. Tidak tinggi benar, hanya satu meter, karena mereka sudah tiba di
dahan terendah. Tapi itu membuat pelarian mereka gagal total. Ikanuri yang
sibuk mengaduh selama lima detik, memberikan waktu yang cukup bagi Laisa untuk
mengenali siapa.
"IKANURI!
WIBISANA!"
Ikanuri dan Wibisana tersedak. Menatap
jerih Kak Laisa yang mendekat. Berusaha menyembunyikan bukti kejahatan
"APA YANG
KALIAN LAKUKAN DI SINI?"
"Ergh,
ee, kita sedang memeriksa pohon mangga Wak Burhan, benar begitu kan,
Wibi?—" Ikanuri menjawab cepat, khas Ikanuri, seadanya bin ngarang, dengan
wajah sama sekali merasa tidak berdosa. Wibisana tidak kalah begonya ikut
mengangguk,
"Ya, Kak.
Kita lagi menghitung jumlah buahnya. Ada berapa gitu—" "DIAM!!"
"Err, bener
Kak. Ada seratus sembilan puluh—"
"DIAM!!
Kalian benar-benar tak tahu malu! Semua orang bekerja di cadas sungai, kalian
justru di sini. MENCURI MANGGA!"
Kak
Laisa semakin galak, semakin dekat, tangannya cepat mematahkan salah satu ujung
dahan semak belukar.
Ikanuri dan Wibisana tahu persis apa yang akan
terjadi. Mereka beringsut mundur. Laisa semakin dekat. Tertahan, gerakan
Ikanuri dan Wibisana tertahan pohon mangga di belakangnya. Ujung dahan di
tangan Laisa sudah terarah sempurna ke dada mereka berdua.
"Katakan
apa ini? Apa yang kau lihat?"
Kak
Laisa menunjuk dua-tiga buah mangga hampir ranum yang tergeletak di ujung kaki
mereka. Terjatuh dari saku celana.
"Eee,
aku tidak melihat apa-apa, ya kan Wibi?"
"Ya, ya,
kami tidak melihat apa-apa. Memangnya ada apaan—" Kak Laisa benar-benar
jengkel.
"Berani
sekali kalian mencurinya. BERANI SEKALI Tidak ada di keluarga kita yang menjadi
pencuri meski hidup kita susah, TIDAK ADA."
Kak Laisa
berseru marah. Menusuk nusukkan ujung dahan itu ke dada Ikanuri.
Mereka berdua terdiam. Ikanuri meringis.
Tidak sakit, hanya berpura-pura saja. Dia sudah kebal dipukul Kak Laisa.
"Apa yang kalian lakukan sepanjang
siang? Main-main di Curug Cuak? Lantas pulang mencuri mangga Wak Burhan Tidak
tahu malu. Apa yang akan dibilang Wak Burhan kalau dia tahu! APA COBA!?"
Diam, Ikanuri dan Wibisana bungkam.
"Kalian
tidak pernah jera. Tidak pernah! Mau jadi apa kalian, hah? MAU JADI APA??"
Kak Laisa mendesis.
"Kalau
Mamak tahu kalian mencuri lagi, kalian pasti dihukum tidak boleh masuk rumah
malam ini. Kalau Mama tahu...."
Kak Laisa menelan ludah, berusaha
mengendalikan diri. Kalau Mamak tahu Ikanuri dan Wibisana ternyata justru
sedang mencuri saat orang lain sibuk bekerja? Itu benar-benar akan jadi marah
besar.
"Pulang.
Kalian ikut denganku ke pinggir sungai, sekarang—" Laisa melotot, menatap
galak. Memberikan perintah.
Ikanuri dan
Wibisana tetap bungkam seribu bahasa. "AYO, PULANG!"
Tusukan ujung
dahan itu semakin kencang, Ikanuri meringis, tapi dia tetap tidak beranjak
berdiri.
"PULANG
KATAKU! SEKARANG!!" "TIDAK MAU!"
Ikanuri entah
apa yang sedang ada di kepalanya, tiba-tiba berteriak tidak kalah kencangnya.
Melawan. Menepis kasar ujung dahan di dadanya.
Dua ekor burung pipit terbang rendah di
bawah pohon mangga itu. Mendesing menjauh mendengar keributan.
"Kami
tidak mau pulang. Tidak mau. Kau bukan Kakak kami, kenapa pula kami harus
menurut!"
Ikanuri mendesis
tak kalah galak. Wajah anak berumur sepuluh tahun itu mengeras.
Kalimat itu benar-benar
membungkam waktu. Selaksa senyap di bawah pohon mangga. Seekor elang melenguh
di atas sana, suaranya seperti dibatukan udara. Terdiam. Laisa sempurna
membeku.
"A-pa....
A-pa yang kau katakan?"
"Kau bukan
Kakak kami! Kenapa pula kami harus nurut"
Ikanuri
mengatakannya sekali lagi. Lebih lantang. Lebih kencang. Beranjak berdiri,
malah. Melawan semakin berani.
"LIHAT!
Kulit kau hitam. Tidak seperti kami, yang putih. Rambut kau gimbal, tidak
seperti kami, lurus. Kau tidak seperti kami, tidak seperti Dalimunte dan
Yashinta. KAU BUKAN KAKAK KAMI. Kau pendek! Pendek! Pendek!"
Kali ini kalimat Ikanuri
benar-benar bak roket yang ditembakkan tiga kali di lubang yang sama. Berdebum.
Membuat lubang besar itu menganga lebar-lebar, hitam pekat. Laisa terperangah.
Sesak. Nafasnya sesak seketika. Ya Allah, apa yang barusan dikatakan adiknya.
Apa ia sungguh tak salah dengar? Laisa gemetar. Tangannya yang mencengkeram
ranting bergetar, terlepas.
"Kenapa?
Kenapa kau diam? Kau marah kami mengatakan itu, hah?" Ikanuri tanpa rasa
iba bertanya bengis.
Laisa menelan ludah.Matanyat iba-tiba
berair. Ya Allah, aku mohon, jangan pernah, jangan pernah buat aku menangis di
depan adik-adikku. jangan pernah! Itu akan membuat mereka kehilangan teladan.
Laisa meremas pahanya kencang-kencang. Berusaha mengalihkan rasa sakit di hati
ke rasa sakit di tubuhnya.
"Kami tidak
akan lagi menurut... Kau bukan Kakak kami. Bukan! Bukan! BUKAN!" Ikanuri
berseru amat puas. Berkali-kali.
"Hentikan
Ikanuri. Hentikan...." Laisa berseru, terbata. "Kau bukan kakak
kami!"
"Hentikan
Ikanuri, atau kau kuadukan pada Mamak, dan kalian akan dihukum tidak boleh
masuk rumah selama seminggu,"
Laisa berkata
dengan suara bergetar. Menahan tangis. "Kau jelek! Jelek! JELEK!"
"Hentikan
Ikanuri—"
"Pendek!
Pendek!"
"Hentikan,
Ikanuri. Aku mohon — " "Jelek! Jelek! Pendek! Pendek!"
Ikanuri tertawa
lepas. Lantas beranjak melangkah dari bawah pohon mangga dengan seringai penuh
kemenangan, disusul oleh Wibisana (yang tertunduk dalam-dalam, sedikit merasa
ganjil dengan teriakan kasar Ikanuri).
Laisa sudah jatuh terduduk. Sempurna
jatuh terduduk. Menatap punggung adik-adiknya yang menghilang dari balik semak
belukar.
Seekor jangkrik di
batang pohon mangga berderik.
Pelan. Meningkahi isak
tertahan.Gadis tanggung berumur enam belas tahun itu mendekap wajahnya. Ia tak
kuasa lagi menahan sedih di hati. Bukan karena Ikanuri melawannya, karena toh
selama ini Ikanuri selalu berani melawan. Tapi karena itu benar! Ya Allah, apa
yang
dikatakan adiknya benar
sekali. Ia bukan siapa-siapa bagi mereka. Ia bukan Kakak mereka. Seluruh
penduduk lembah itu juga tahu. Ia bukan kakak mereka.
Senyap. Hanya tangis tertahan yang
terdengar.
Senyap. Juga hanya tangis tertahan yang
terdengar di sini.
Kereta ekspress
Eurostar melesat membelah perbatasan Swiss-Perancis. Kecepatan super tinggi.
Maximum speed. Masinisnya berusaha membayar dua jam waktu yang terbuang di
pegunungan Alpen. Setelah untuk ketiga kalinya tebing itu longsor lagi saat
dibersihkan, beberapa insinyur dari dewan terdekat akhirnya tiba di lokasi
dengan helikopter, mereka memberikan saran konstruksi darurat untuk menahan
laju longsoran berikutnya. Satu jam berlalu, sejak dinding seadanya dipasang,
kereta ekspress itu bisa kembali melesat menuju Paris. Menjejak batangan baja
relnya.
Hujan sejak lima belas menit lalu juga
sudah berhenti.
Jalan kereta yang meliuk melangkahi pegunungan sudah
lama digantikan oleh hamparan tanah luas. Perkebunan anggur. Hamparan padang
rumput. Pohon cemara tinggi-tinggi sudah tertinggal di belakang, Sepuluh menit
lagi Eurostar akan tiba di perbatasan tanah bekas kekuasaan Kaisar Louis,
Perancis. Wibisana memutuskan tidur. Lelah. Membiarkan Ikanuri yang sejak
kereta berjalan lagi tadi tetap terjaga. Pukul 03.30 dini hari di sini. Di luar
terlihat gelap. Hanya sesekali cahaya lampu yang berasal dari rumah pedesaan
kecil pedalaman Swiss terlihat. Seperti kerlip kunang-kunang dari kejauhan.
Indah.
Mengembalikan semua
kenangan.
Wibisana
menggeliat, merubah posisi tidurnya. Kabin itu luas. Lazimnya diisi berempat,
karena mereka hanya berdua, jadi nyaman tidur di kursi panjang berhadapannya.
Tapi Ikanuri tidak tidur, ia tidak bisa tidur sejak kereta jalan lagi, ia
justru sedang sibuk menyeka ujung-ujung matanya.
Ikanuri terisak pelan. Tertahan.
Menatap kosong
keluar melewati jendela kereta. Kunang-kunang—
Ya Allah, dia jahat
sekali. Jahat! Dua puluh lima tahun silam. Seperempat abad lalu. Kejadian itu
tidak akan pernah terlupakan. Tidak akan. Wajah Kak Laisa yang menangis saat
itu. Wajah Kak Laisa yang seperti tak percaya mendengar dia mengatakan
kalimat-kalimat menusuk itu. Ikanuri tersedan. Lihatlah, wajah Kak Laisa
sekarang seperti mengukir sempurna di bayangan jendela kereta. Wajahnya yang
tersenyum, wajahnya yang selalu melindungi mereka, adik-adiknya yang bebal.
Semua pengorbanan itu. Semua....
Ikanuri tersungkur.
Tergugu. Dia benar-benar tidak tahan lagi Menangis terisak. Ya Allah, jika ada
yang bertanya siapa yang paling penting dalam hidupnya.... Jika ada yang
bertanya: Siapa? Maka itu sungguh adalah Kak Laisa.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 14
No comments:
Post a Comment