33
AKU
AMAT MENCINTAINYA
KAK
LAISA terlihat gugup sepanjang pagi (bahkan sebenarnya sejak semalam). Meski ia
berusaha menyembunyikannya dengan menyibukkan diri, memastikan semua baik-baik
saja, wajahnya yang memerah tak bisa menyembunyikan perasaan
Dua minggu sejak kematian Wak Burhan. Selepas
pembicaraari penting shubuh itu, Dalimunte menyerahkan foto - f oto dan profile
rekan risetnya. Juga foto istri pertamanya. Menceritakan banyak hal. Menjawab banyak
pertanyaan. Lantas Laisa mengangguk, mempersilahkan mereka segera datang untuk
saling berkenalan.
Siang ini rombongan dari ibukota akan
tiba.
Yang lain juga pulang,
Hari ini penting bagi keluarga mereka. Ikanuri dan Wibisana lebih dulu pulang.
Mereka sekarang sudah memiliki bengkel besar di kota seberang pulau, bengkel
yang di kota provinsi diurus orang kepercayaan Mereka. Yashinta tetap tidak
bisa pulang, semakin sibuk dengan penelitian tahun terakhir S2-nya. Tapi ia
menyempatkan menelepon berkali-kali. Telepon pertama penuh dengan rajuk
keberatan. Bagaimanalah Kak Laisa akan menjadi istri kedua? Ya Allah, apakah
Kak Laisa harus melemparkan harga dirinya? Merendahkan martabatnya menjadi
istri kedua? Dalimunte bahkan sampai marah menjelaskan banyak alasan. Telepon
kedua, ketiga dan berikutnya lebih banyak diam (meski tetap merajuk). Dan
akhirnya menangis tersedu saat Kak Laisa sendiri yang menjelaskan keputusan
itu. "Kalau Yash tidak suka, Kakak akan membatalkannya, sayang. Sungguh,
kalau Yash tidak setuju — "
Yashinta yang menelepon
dari apartemennya di Belanda menyeka pipi. Ia tidak akan pernah membantah Kak
Lais, Dulu tidak, apalagi sekarang.
Menjelang dzhuhur, dua kijang kapsul jemputan
pengalengan buah strawberry itu tiba. Kak Laisa berkali-kali memperbaiki
kerudungnya. Berkali-kali merapikan pakaian. Ia amat gugup. Mamak hanya
tersenyum simpul. Mengenggam jemari Laisa. Menenangkan. Berbisik, semua akan
baik-baik saja, Lais.
Dan urusan sepanjang
siang itu berjaian lancar, tidak sesulit yang dicemaskan Laisa. Rekan riset
Dalimunte hanya datang seorang diri. Istrinya sakit, sudah dua hari mual dan
muntah. Terlalu lemah untuk melakukan perjalanan jauh. Rekan Dalimunte pandai
menempatkan diri dalam urusan tersebut. Melontarkan humor dan pujian yang baik.
"Aku akhirnya mengerti bagaimana Dalimunte bisa
menjadi ahli fisika yang hebat.... Tapi kau tidak lagi masih dipukul Laisa
dengan rotan, bukan?"
Tertawa.
Membuat suasana tegang mencair dengan cepat. Cie Hui juga membantu banyak Kak
Laisa. Pertemuan itu tidak semenakutkan yang dipikirkan Laisa. Justru berjalan
menyenangkan.
Mereka shalat dzhuhur sebelum melakukan pembicaraan.
Menghabiskan makan siang. Mengelilingi perkebunan strawberry. Dalimunte benar,
inilah kesempatan terbaik Kak Laisa. Rekan risetnya pilihan yang tepat. Dia
sama sekali tidak mempersalahkan tampilan wajah dan fisik Kak Laisa.
"Bagiku kau
secantik apa yang kau kerjakan untuk lembah ini, Lais!"
Menatap
penuh penghargaan. Ah, dalam banyak kasus, kesalehan seseorang memang tidak
bisa diukur dari tampilan mulut, tulisan dan apalagi pakaian. Dan kebersamaan
sepanjang siang (bersama-sama dengan yang lain) itu sudah menjadi proses
perkenalan yang baik. Memahami visi dan misi berkeluarga masing-masing.
Memahami cara berpikir masing-
Apa adanya.
Sekali dua, Kak Laisa memberanikan diri melirik
rekan kerja Dalimunte. Memerah mukanya. Bersitatap satu sama lain. Lebih
tersipu lagi. Ikanuri dan Wibisana, kabar baiknya sedang alim, mereka tidak
sibuk menggoda Kak Laisa yang tersipu. Dalimunte hanya tersenyum lega, Kak
Laisa akhirnya berkesempatan merasakan romantisme perasaan itu.
Selepas shalat isya, lepas menghabiskan makan malam
di depan, sambil memandang hamparan perkebunan strawberry yang remang oleh
cahaya lampu, rekan riset Dalimunte akhirnya menyampaikan maksud dan tujuannya
dengan serius. Menatap wajah Kak Laisa sambil tersenyum,
"Laisa
mungkin sudah mendengar beberapa hal tentang aku, sudah tahu beberapa tabiat,
perangai.... Hari ini aku datang memperkenalkan diri secara langsung, sekaligus
ingin mengenal secara langsung. Terus terang, aku merasa amat diterima di
keluarga ini.... Kalau saja istriku bisa datang, ia pasti akan lebih senang
dariku...."
Rekan kerja Dalimunte memberikan hadiah dari
istrinya untuk Laisa. Seperangkat kain bordiran. Kak Laisa tersenyum malu.
"Aku
amat mencintai istriku, tidak pernah sekalipun terlintas untuk menikah lagi,
tapi aku berjanji, jika urusan ini berjalan sesuai yang direncanakan, aku akan
belajar banyak bagaimana membagi cinta dengan adil.... Dan aku berharap Laisa
bisa memberikan kesempatan untuk melakukannya, menjalani prosesnya dengan indah
dan baik.... Aku sungguh ingin meneruskan proses ini...."
Malam itu sepertinya
urusan benar-benar akan berjalan sesuai yang direncanakan. Meski berusaha untuk
tetap terkendali seperti selama ini, muka tersipu dan memerah tidak bisa
menyembunyikan perasaan Kak Laisa. Mamak Lainuri juga tersenyum bahagia. Malam
itu sepertinya kabar baik itu benar-benar tiba.
Tetapi Allah ternyata memiliki rencana
lain.
Yang sungguh membuat
semua kebahagiaan sesaat itu lenyap tak berbekas. Malam itu, Kak Laisa untuk
pertama kalinya tidak menghabiskan penghujung malam dengan berdiri di hamparan perkebunan.
Ia tertidur lelap di kamarnya. Juga yang lain. Tapi kesunyian lembah mendadak
robek oleh telepon dini hari. Dari rumah sakit ibukota.
Istri rekan kerja
Dalimunte yang sudah dua hari terbaring lemah dilarikan ke rumah sakit dua jam
lalu. Kondisinyn memburuk. Tapi bukan soal sakitnya yang merusak rencana. Kata
dokter ia hanya lelah dan terlampau banyak pikiran. Anemia, penyakit kebanyakan
ibu-ibu lainnya. Hanya perlu istrirahat total selama sebulan. Yang membuat
semuanya mendadak berubah haluan seratus delapan puluh derajat adalah saat
dokter memeriksa secara menyeluruh, ternyata istri rekan riset Dalimunte sedang
hamil muda.
Gugup rekan kerja Dalimunte mendengar berita itu.
Rasa senang. Rasa cemas. Entahlah. Buncah jadi satu. Kabar bahagia yang mereka
tunggu selama lima belas tahun akhirnya tiba. Gugup membangunkan Dalimunte.
Memutuskan pulang segera ke ibukota. Gugup menjelaskan kabar bahagia tersebut
ke Mamak dan Kak Laisa. Awalnya tidak ada yang memikirkan kalau kabar bahagia
itu akan memiliki banyak implikasi penting. Tidak ada. Ikanuri dan Wibisana
menawarkan diri segera mengantar ke kota provinsi, agar bisa naik pesawat siang
ini yang menuju ibukota.
Tidak ada yang berpikir tidak-tidak.
Hanya Kak Laisa yang
berdiri di daun pintu, menatap kosong mobil yang dikemudikan Ikanuri membelah
lengangnya shubuh Lembah Lahambay. Cahaya lampunya menghilang di tikungan Sana,
seiring dengan menghilangnya cahaya mata Kak Laisa yang merekah bahagia dua
puluh empat jam terakhir.
Kabar baik itu, ternyata bagai pisau
bermata dua.
Kak Laisa menggenggam erat lengan Dalimunte,
menenangkan. Meski suara itu sebenarnya sedikit berbeda dari biasanya. Serak.
Bergetar.
Malam ini, satu bulan
sejak kunjungan rekan kerja Dalimunte ke perkebunan strawberry. Satu bulan yang
berjalan menyedihkan. Apa yang dibilang berkali-kali oleh rekan kerja
Dalimunte? Ia amat mencintai istrinya. Jika saja istrinya bisa mengandung
anak-anaknya, maka ia tidak akan menikah lagi. Ini semua bukan salahnya. Dan
jelas bukan maunya kenapa kabar baik tentang kehamilan tersebut justru tiba
persis saat dia di titik serius untuk menikah lagi (dengan Kak Laisa). Rekan
kerja Dalimunte amat menyesal. Meminta maaf sungguh-sungguh saat tadi siang
kembali berkunjung. Mencium jemari Mamak. Menatap Kak Laisa penuh rasa sesal.
Dengan hamilnya istrinya, dia tidak akan pernah tega untuk menikah lagi. Meski
isterinya mendesak untuk tetap meneruskan rencana tersebut, menenggang perasaan
Kak Laisa, tapi dia sungguh tidak bisa melakukannya.
"Apakah Kak Laisa
kecewa?" Dalimunte tertunduk. "Mungkin tidak," Laisa menjawab
pelan, menggeleng,
"Kakak sudah terbiasa, Dali.... Esok lusa,
kesibukan dan waktu akan membuatnya terlupakan. Mungkin yang kali ini butuh
waktu cukup lama. Membersihkan harapan-harapan yang terlanjur datang."
Dalimunte menggigit
bibir. Dia sama sekali tidak menyangka akan seperti ini jalan ceritanya.
Kesempatan baik itu? Dalimunte mengusap wajah kebasnya. Perjodohan yang urung
itu merubah banyak hal. Rekan kerjanya memutuskan berhenti dari lab. Mereka
juga pindah dari perumahan asri yang hanya sepelemparan batu dari rumah
Dalimunte
"Aku merasa amat bersalah, Dali. Jadi biarkan
aku pergi. Sekali lagi bilang Laisa, maafkan aku. Maafkan bila proses ini telah
menyakiti hatinya."
Itu kalimat
terakhir saat rekan kerjanya pulang tadi sore. Diantar sopir perkebunan,
Bulan sabit tergantung
elok di antara bintang-gemintang. Minggu-minggu ini panen besar strawberry.
Minggu-minggu ini harusnya menjadi saat yang menyenangkan bagi seluruh warga
kampung. Menjadi hari berpesta bagi Lembah Lahambay. Entahlah apa yang
persisnya ada di kepala Kak Laisa sekarang. Entahlah apa yang sedang berkecamuk
di kepalanya. Ternyata kesempatan terbaiknya itu juga berakhir menyedihkan.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 34
No comments:
Post a Comment