22
GADIS
TUA
TIGA TAHUN berlalu
sejak panen pertama kebun strawberry yang sukses besar. Luas kebun itu mekar
menjadi lima kali lipat. Mamak dan Kak Laisa dengan keleluasaan uang yang ada
mulai membeli lahan-lahan di dekat kebun mereka. Mulai memperkerjakan remaja
tanggung tetangga rumah untuk merawat batang-batang strwaberry. Wak Burhan dan
tetangga lainnya, satu dua juga mulai menanami kebun mereka dengan strawberry,
mencoba peruntungan, tapi mereka tidak setelaten Kak Laisa.
Tiga
tahun berlalu sejak panen pertama. Usia Kak Laisa dua puluh tiga tahun.
Dalimunte tujuh belas, menjelang ujian akhir di sekolah lanjutan pertamanya.
Beranjak melewati masa-masa remaja tanggung. Dan seperti halnya remaja
tanggung, Dalimunte mulai mengenal kata cinta dan romantisme. Serba tanggung.
Ikanuri dan Wibisana juga beranjak remaja, sudah sekolah di kota kecamatan.
Kelas satu. Umur mereka empat belas. Prospek sekolah di kota kecamatan
benar-benar membuat perangai Ikanuri dan Wibisana berubah banyak. Itu artinya
mereka bisa naik starwagoon setiap hari tanpa perlu diteriaki Mamak lagi. Dan
yang lebih penting, tidak perlu disuruh-suruh kerja di kebun karena mereka baru
pulang saat starwagoon itu kembali ke lembah menjelang senja.
Tubuhnya
bongsor, sekarang lebih tinggi dibandingkan Kak Laisa. Yashinta tumbuh menjadi
gadis kecil yang amat manis. Rambut panjangnya dikuncir rapi. Kulitnya kuning
langsat. Ia terlihat amat berbeda di rumah panggung yang mulai diperbaiki di
sana sini. Sementara Mamak rambutnya sudah mulai beruban. Kulit Mamak legam
seperti Kak Laisa, karena terpanggang matahari saat mengurus kebun strawberry.
Tiga tahun berlalu, hari itu Mamak, Kak
Laisa bersama-sama yang lain berangkat ke kota provinsi. Melihat Dalimunte
mengikuti lomba karya ilmiah. Gedung serba guna universitas kota provinsi itu
ramai oleh pengunjung. Dipadati oleh berbagai peralatan hasil rakitan. Ikanuri
dan Wibisana entah dari tadi pagi menghilang kemanalah. Yashinta menggandeng
Mamak, beserta Kak Laisa berjalan mengelilingi gedung. Melihat satu demi satu
stand yang dipenuhi peralatan peserta lomba.
Mereka
berdiri lama di depan rakitan Dalimunte. Kak Laisa mengerjap-ngerjap terpesona,
"Bisakah kau menjelaskan ini sebenarnya apa, Dali?"
Dalimunte tersenyum, Kak Laisa selalu peduli dengan
apa yang dikerjakannya. Selalu bertanya. Ingin tahu, meski kadang tidak terlalu
mengerti apa yang sebenarnya Dalimunte jelaskan. Yashinta dan Mamak berdiri
mendekat. Ikut mendengarkan. Tapi sebelum Dali sempat menjelaskannya, Ikanuri
dan Wibisana mendadak masuk ke dalam stand. Berseru sambil menarik kuncir
rambut Yashinta. Tangan Yashinta yang berusaha memukul tangan jahil Ikanuri
malah menghantam rakitan Dalimunte. Pyar! Rakitan alat fermentasi buah
strawberry itu roboh seketika. Berserakan.
"IKANURI,
WIBISANA, bisa nggak sih kalian sehari saja tidak nakal?" Kak Laisa
mendesis marah.
Wajah-wajah pengunjung lainnya tertoleh.
Ingin tahu keributan yang sedang terjadi. Dalimunte pias melihat rakitannya
roboh. Berusaha membenahi. Dibantu Yashinta setelah mengaduh kaget dan menimpuk
Ikanuri dan Wibisana dengan gumpalan tisu.
Seorang gadis remaja tanggung dari
kerumunan pengunjung ikut jongkok. Ikut membantu membenahi serakan logam dan
kayu. Seketika muka Dalimunte yang pias memerah. Amat merah.
"Cie Hui?
Kau... kau juga datang?" Berkata terbata.
Gadis
tanggung berbilang enam belas tahun itu tersenyum manis. Wajah keturunannya
juga merekah merah, tersipu, mengangguk. Dan Dalimunte sontak kehabisan kata.
Cie Hui teman sekelasnya di kota kecamatan. Lihatlah, Dalimunte seperti
anak-anak lain, tidak peduli sepintar apapun dia, tetap tumbuh menjadi remaja
tanggung dengan segala dunianya. Setahun terakhir, Dalimunte mulai merasakan
cinta monyet itu. Dengan segala perasaan-perasaan itu.
Kerusakan
akibat kenakalan Ikanuri dan Wibisana tidak berakibat fatal. Rakitan Dalimunte
toh sudah selesai dinilai. Ia kalah sebelas poin dari juara ketiga (yang
berasal dari sekolah lanjutan atas). Tapi sepanjang perjalanan pulang, Ikanuri
dan Wibisana yang jahil terus menggodanya soal Cie Hui. Dasar Dalimunte,
semakin digoda, semakin terbukalah semuanya. Mukanya merah padam. Berkali-kali
berusaha menghindar. Percuma. Bahkan Yashinta yang selama ini tidak pernah
jahil, ikut-ikutan nyeletuk,
"Emangnya
kakak sudah boleh pacaran, ya?" Membuat Mamak ikut tertawa.
"Apa kau
menyukainya?" Kak Laisa bertanya saat mereko berdua di kebun strawberry
beberapa hari kemudian.
Muka Dalimunte
langsung merah padam.
"Kakak hanya memastikan, kau tidak perlu
menjawabnya" Kak Laisa tersenyum simpul. Meneruskan memotong ranting-ranting
batang strawberry yang menguning.
Hari-hari itu Dalimunte menyadari
sesuatu. Dia memang menyukai Cie Hui sejak pertama kali mengenalnya. Cinta
pertamanya. Tapi kesadaran itu mendatangkan pemahaman yang lebih besar, lebih
penting: Kak Laisa.
Kesadaran itu mencungkil berbagai
potongan dialog yang dulu dianggap Dalimunte biasa-biasa saja. Berbagai
percakapan tetangga. Amat tidak lazim, Kak Laisa yang sekarang sudah berumur
dua puluh tiga tahun tapi belum menikah. Di lembah itu, rata-rata anak gadis
menikah di usia delapan belas. Mamak dulu juga menikah di umur segitu. Tetapi
Kak Laisa sudah dua puluh tiga, dan nampaknya belum ada tanda-tanda akan segara
menikah.
Gadis tua. Itu istilah yang disematkan
ke perempuan yang lepas dua puluh belum juga menikah di Lembah Lahambay.
Dalimunte menatap lamat-lamat punggung Kak Laisa. Hamparan kebun strawberry itu
lengang. Beberapa pekerja sibuk mengurus batang-batang strawberry Beberapa
menyusun polybag baru. Memasukkan pupuk kandang. Menyiapkan bibit. Gadis tua.
Itulah isi percakapan tetangga selama ini. Dalimunte menelan ludah. Apakah Kak
Laisa pernah jatuh cinta sepertinya? Apakah Kak Laisa tidak terganggu dengan
bisik-bisik itu?
Inilah sebenarnya urusan paling pelik
yang menyergap hubungan mengesankan kakak-adik di lembah indah itu. Gadis tua.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 23
No comments:
Post a Comment