John Wayne
Kereta
meluncur melintasi Utrecht dan Dordrecht,
terus
melaju keluar Belanda lewat Breda, langsung
ke
kota kecil di pinggir Belgia, yaitu Brugge. Di sanalah akomodasi
kami.
Dari penduduk Belgia yang separuh berbahasa
Belanda
separuh Prancis, Brugge lebih Belanda. Kami
tiba
di muka pagar besi sebuah rumah bertingkat yang berdesain
kaku
dan berwarna hitam.
"Oke,
sampai di sini, Kawan. Temui...." Famke membuka
sepucuk
kertas. "Simon Van Der Wall. la landlord5
tempat
ini. All set. Aku yakin kita akan berjumpa lagi."
Kami
bersalaman.
"Senang
sekali telah kenalan dengan kalian, take
care."
Berat
sekali berpisah dengan Famke. la telah menjadi
sahabat
yang sangat baik. Sayang sekali ia harus mengejar
kereta
terakhir kembali ke Amsterdam karena ada keperluan
mendesak.
5 Induk
semang/pemilik kost—Peny.
Andrea
Hirata
Aku
dan Arai memasuki halaman dan tertegun di
depan
pintu yang membingungkan. Diketuk berkali-kali,
tak
direspons; diputar-putar gagangnya, terkunci; didorong-
dorong,
macet. Dari kaca jendela, tampak beberapa
orang
ngobrol di dalam. Mereka melongok lalu kembali
ngobrol
karena tak kenal mereka merasa tak perlu membuka
pintu.
Kami mafhum, ini negeri mind
your own business!
Uruslah
urusanmu sendiri.
Tak
ada bel. Yang ada, di samping pintu, hanya deretan
kotak
kecil, nomor-nomor lantai gedung, tombol-tombol,
speaker, dan label nama. Aku memencet tombol berlabel
Van
Der Wall.
Ding
dong, bel melengking.
Drreeeeeetttt
... disambut kumandang seseorang di
speaker.
"Oik! Hhrrgghh hoegnog nog geehhnn nog
nog gog
ggghrhrhrh ..."
"Brghrrh... grrrrh ... oik! Oik!"
Secuil
pun tak kupahami, disambung lagi.
"Grrhhh nog ikhh grrhhstgen
grrrrrh ... oik!"
Pasti
bahasa Belanda, karena seluruhnya dibunyikan
dari
kerongkongan, berat seperti beruang menderam-deram.
Dreett itu meraung lagi, lalu sepi. Kupencet lagi, ding
dong... lembut bergema-gema.
Dreeeetttt!!
"Grrhhh nog!! Ikhh grrhhstgen grrrrrr!!!"
Pasti
dia jengkel. Diam. Sepi lagi, kupencet lagi.
58
"Ghhirrr...!!"
Senyap.
Kupencet lagi.
"Oiikkk!! Ghhhhrrrrrrrr!!"
"Mis
... Mister ... Mister Van Der Wall...?" Aku mendekatkan
mulut
ke speaker.
"Ghhhhrrrrrrrh!!"
"Mister...
Mister...."
"Ghhhrrrrr!!Ghhhhrrrrrr!!"
"Mister,
English please ..."
Diam
sebentar, dreeeeeeetttttttt... plus
jeritan histeris.
"PUSH
THE DOOR RIGHT AFTER THE BELL!"
Dreeeettttttttttttt....
Kami
cepat-cepat mendorong pintu, terbuka. Rupanya
suara
dreet yang tadi berulang kali melolong adalah
alarm
kunci pembuka pintu. Kami tertawa. Sederhana saja
tampaknya
perkara pintu ini, tapi inilah persentuhan pertama
kami
dengan individualisme. Sikap Van Der Wall,
orang-orang
yang ngobrol dan tak peduli meskipun tahu
kami
terjebak di muka pintu, teknologi pintu itu, gedung
apartemen
ini, sesungguhnya desain sosiologi orang Barat.
Di
lantai tiga kami melihat pintu ditempeli pelat: Simon
Van
Der Wall, MVgT, Building Manager. Kami mengetuk
dengan
sopan dan masuk ke dalam ruangan. Simon
tinggi
besar dan berewokan, santai tapi angker, duduk menekuri
meja
seperti burung pemakan bangkai menunggui
mangsa.
Seluruh wajahnya disita oleh hidung bongkoknya.
Gayanya
mengembuskan cerutu secara mencolok, sekali-
59
EDENSOR
gus
menggelikan, jelas mencitrakan dirinya John Wayne.
Bukan
baru sekali aku berjumpa dengan tipe seperti ini,
yaitu
mereka yang masa remajanya tercekoki film macho
konyol
John Wayne, lalu sepanjang hidupnya mati-matian
ingin
seperti John Wayne. John Wayne wannabe
istilahnya.
Semenit
bicara dengan Van Der Wall, aku langsung menyesal
mengapa
Famke buru-buru pergi.
"Saya
sudah berulang kali mengonfirmasi kedatangan
kalian
pada Jakarta, tak ada jawaban.
"Memang
ada kamar kosong, tapi sistem di sini tidak
bekerja
seperti ini.
"Impossible," tukasnya tanpa perasaan.
Kami
tak diberi kesempatan berdalih.
"Ini
hari Minggu, kebetulan saja saya ada di kantor.
Jika
tidak, bahkan kalian tak bisa melewati pagar itu!"
Sikap
Van Der Wall delapan derajat celcius, lebih dingin
satu
strip dari suhu di luar. Kulihat Arai ingin marah
dan
aku ingin mengatakan bahwa kami tak tahu harus ke
mana
jika tak boleh tinggal di apartemen itu. Tapi kami
tahu
sikap itu hanya akan membuat Van Der Wall memuntahkan
kata-kata
yang lebih menyakitkan, misalnya: Itu bukan
urusanku!
Silakan menggelandang di luar, itu urusan
kalian!
Nasib kalian sial karena ketololan kalian sendiri!
Atau,
begitulah cara kalian orang Indonesia bekerja! Tak
ada
sistem! Tak bisa antisipasi! Tak efisien sama sekali!
"Tunggu
sampai besok, hubungi Dr. Woodward. Kalau
administrasi
beres, baru kalian bisa tinggal di sini."
Andrea
Hirata 60
Dari
jendela, kulihat lajur-lajur putih sepanjang jalan,
berkilat
tepi-tepinya karena bentangan es. Butir-butir kecil
seperti
terigu melayang-layang dari langit. Perutku naik menyundul-
nyundul
ulu hatiku. Betapa kerasnya dunia setelah
ini.
Kami
keluar ruangan, sempat kulirik Van Der Wall. la
mengawasi
kami. Tubuhnya ia tumpukan pada tangan kanan
yang
menekan ambang pintu, sedikit nungging, seakan
sepucuk
pistol dan selempang peluru melilit pinggangnya.
Tangan
kirinya mengayun-ayunkan cerutu. Seringainya seperti
ia
baru saja menghalau cecunguk pelintas batas dari
Meksiko,
John Wayne palsu! Tengik bukan main.
EDENSOR
Kami
meninggalkan gedung yang tak bersahabat itu, terseok
memanggul
ransel dan menyeret koper butut yang berat,
tak
keruan tujuan, yang ada dalam pikiran hanya bagaimana
menyelamatkan
diri dari sengatan dingin. Dalam rumah-
rumah
persegi berjendela kaca, orang berkerumun di
ruang
tamu, mengelilingi pohon natal, temaram, bersenda
gurau,
tak mau jauh dari jangkauan pemanas. Di sini tak
bisa
sembarang mengetuk pintu rumah orang. Pengalaman
dengan
Van Der Wall sedikit banyak mengajari kami, dan
kami
belum melapor pada pihak berwenang. Mengetuk
pintu
dalam keadaan seperti itu sangat mungkin berurusan
dengan
hukum. Motel tak tampak. Brugge sama sekali
bukan
tujuan wisata.
61
Semua
bangunan tertutup, tak seorang pun keluar rumah
dan
tak ada kendaraan melintas. Kami tak tahu bahwa
semua
orang bersiap untuk situasi gawat yang akan terjadi
malam
nanti. Suhu akan drop secara ekstrem. Kami malah
mengobral
diri, berkeliaran di alam terbuka, mengumpankan
diri
pada taring iblis musim salju. Arai membeli lilin di
sebuah
kios kecil yang kemudian langsung tutup.
Kami
bergerak terus agar tak membeku. Pohon-pohon
menjadi
putih. Jalan raya menyempit dilamun bongkahan
es.
Atap-atap digelayuti timbunan salju.
Dari
buku Collins World Atlas aku melihat Brugge tepat
berada
di sisi North Sea (Laut Utara), laut terdingin yang
disarankan
untuk dihindari selama winter
(musim salju),
karena
dinginnya berbahaya. Laut Utara adalah mainstream
laut
es Artik di Kutub Utara. Jika winter
tiba, bahkan burung-
burung
red knox di Brugge melarikan diri ke pantaipantai
Italia.
Di
ujung Jalan Oudlaan kami menemukan bangku taman.
Kami
duduk di bawah naungan kanopi. Hujan salju
makin
lebat. Sunyi, mencekam. Desis angin berubah menjadi
seribu
mata lembing, menghujam tubuh kami yang
lapar
dan kedinginan. Seumur hidup dijerang suhu dalam
kisaran
tiga puluh empat derajat celcius, bahkan baru sehari
yang
lalu di Belitong kami bermandi panas tiga puluh
sembilan
derajat, kini kami menghadapi suhu yang bisa jatuh
sampai
minus.
Malam
merambat. Iblis es dari Kutub Utara gentayangan.
Mula-mula
menggigit daun telinga, berdenging, lalu men-
Andrea
Hirata 62
cakar-cakar
pipi, dan menyerap ke dalam tubuh, menusuknusuk
tulang,
membekukan sumsum. Kami terperangkap
suhu
dingin yang terus merosot sampai sulit bernapas.
Pukul
dua pagi, Arai mengeluarkan termometer, kami
terbelalak,
suhu telah terjun ke titik minus sembilan derajat
celcius.
Kami cemas karena sama sekali tak berpengalaman
dengan
suhu seekstrem ini. Tak seekor hewan pun
tampak,
semuanya berlindung di dalam liang, menyelamatkan
diri
dari gempuran salju yang buas.
Semakin
malam makin tak tertahankan. Embusan
uap
es dari Laut Utara menyapu Semenanjung Zeebruggae
di
perbatasan Belanda, melesat bebas bersiut-siut, yang
menghalanginya
hanya dua tubuh kurus anak Melayu yang
seumur
hidupnya tak pernah berjumpa dengan salju. Gelap
mengerucut
dililit dingin, suara alam lenyap terisap
angin,
bahkan angin sendiri membeku.
Kami
duduk berpelukan, lengket, mengerut, dan
menggigil
hebat. Gigi gemelutuk seperti perkusi tulang, jemari
kisut
dan perih. Tubuh gemetar tak terkendali seakan
diguncang-guncang.
Dingin menyengatku sekejam sengatan
lebah
yang paling berbisa, lalu kurasakan keganjilan dalam
diriku.
Pandanganku berputar dan aku tak merasakan
kepalaku.
Aku tak berkepala! Kemudian leherku tercekik.
Aku
meronta-ronta. Inikah serangan maut pulmonary
adema?
Arai
menundukkan kepalaku, darah tumpah dari
rongga
hidungku, merah menyala di atas salju yang putih.
Aku
menghirup sedikit oksigen lalu kembali tercekik. Arai
membuka
syalnya, melilitkannya di leherku.
63
EDENSOR
"Bertahanlah,
Tonto!" jeritnya panik.
la
membuka koper, mengeluarkan semua pakaian, dibalutkannya
berlapis-lapis
di tubuhku. Jemariku biru lebam,
aku
tersengal-sengal. Tiba-tiba Arai mengangkat tubuhku
lalu
pontang-panting, terhuyung-huyung melintasi
timbunan
salju setinggi lutut, menuju pokok pohon rowan.
Aku
ditidurkannya di tanah, di bawah rimbun dedaunan
rowan.
Mengapa Arai menidurkanku di tanah? Aku
makin
menderita karena tanah telah menjadi balok es.
Aneh
sekali kelakuan Arai. Apakah ia kalut dan menjadi
gila
karena tahu aku akan tewas? Tindakan Arai makin ganjil.
Ia
menimbuniku dengan daun-daun rowan.
"Apa
yang kaulakukan, Ranger?"
Ia
tak menjawab. Wajahnya cemas, mulutnya komat
kamit,
matanya sembap. Ia terus menimbuniku dengan daun.
Aku
tak dapat mencegahnya karena seluruh sendi tubuhku
lumpuh.
Arai
menghiba-hiba, "Bertahanlah, Tonto! Jangan
pergi!
Jangan takluk!"
Namun
tubuhku makin lemah, lorong putih berkelebatkelebat
dalam
pandanganku. Beginikah rasanya ajal? Kesadaranku
timbul
tenggelam. Aku berusaha menguatkan diri, aku
tak mau mati! Tak mau mati konyol seperti ini
di hari pertama petualanganku!
Aku masih ingin mengelana Eropa
sampai ke Afrika,
aku mau kuliah di Sorbonne, aku
belum menemukan A Ling!
Arai
memelukku kuat-kuat, air matanya meleleh. "Bangun!
Bangun!"
ratapnya putus asa.
Andrea
Hirata 64
Aku
tahu, sesuatu yang fatal akan menimpaku. Suhu
mungkin
telah jatuh sampai minus belasan derajat. Aku tak
'kan
tertolong. Detik demi detik merayap, lorong putih yang
berkelebat
itu padam, gelap, senyap. Kemudian pelan, pelan
sekali,
terjadi keajaiban. Hawa hangat yang halus berdesir di
punggungku.
Daun-daun busuk yang ditimbunkan Arai ke
sekujur
tubuhku seakan menguapiku. Arai melihat perubahan
itu,
ia kembali menimbuniku dengan daun rowan.
Kesadaranku
berangsur pulih, detak jantungku kembali normal,
sedikit
demi sedikit kukumpul-kumpulkan lagi nyawaku.
Aku
takjub menatap Arai, ia memekik girang.
"Humus!
Humus, Kawan. Humus Pyrus aucuparia menyimpan
panas!
Begitulah cara tentara Prusia bertahan di
musim
salju! Apa kau tak pernah membaca buku sejarah?"
Aria
kembali bersemangat menimbuniku dengan daun-
daun
rowan sambil tertawa terkekeh-kekeh. Untuk kesekian
kalinya,
sejak kecil dulu, aku kagum akan beragam
ilmu-ilmu
antik sang simpai keramat ini.
Arai
menyalakan lilin dan membuka bungkus plastik
ikan
teri sangon ibuku. Kami memanggang ikan mungil itu
dengan
cahaya lilin. Inilah gala dinner kami di Eropa. Bau
ikan
teri membangunkan keluarga tupai, kelinci, dan rakun
mapache. Suasana semarak karena makhluk-makhluk
itu
jinak. Mereka mencicit-cicit gembira, pipinya gembil,
sibuk
memamah biak ikan teri, rakus tapi lucu. Anak-anaknya
bermunculan
dari liang hibernasi, malas, manja, dan
gendut-gendut.
Beberapa ekor berdiri, seolah berkata, "Selamat
datang
di Eropa, Pangeran Salju."
65
EDENSOR
Pagi
sekali kami berjumpa orang-orang yang mengenakan
kaus
bertuliskan kampanye beraroma diskriminasi
Belgy for the Belgium.
Mereka tergopoh-gopoh, barangkali
ingin
berangkat unjuk rasa. The Belgium,
begitulah penduduk
asli
Belgia menyebut diri mereka. Mereka sibuk berdemo
untuk
mengusir imigran yang mereka anggap telah
merampok
lapangan kerja. Salah satu dari mereka menunjuki
kami
arah menuju Stasiun Brugge.
Hebat
sekali kantor Uni Eropa, meraja di jantung kota
Brussel,
kukuh berwibawa melambangkan supremasi
bangsa-bangsa
Eropa. Arsitektur dasarnya seperti kuburan
juragan
kaya Tionghoa, seperti tubuh yang ingin memeluk.
Maksud
desain itu bukan hanya soal estetika, namun lengan-
lengan
yang merengkuh taman berlantai granit itu
adalah
rancangan untuk berlindung dari guncangan bom.
Selain
sebagai lambang digdaya, gedung Uni Eropa juga
metafor
paranoia, penyakit kronis orang Barat.
Endesor - Bab 12
No comments:
Post a Comment