5
AKU
HARUS PULANG, SEKARANG!
"ADUH, Intan lagi
sibuk, Mi!" Gadis kecil itu menyeringai sebal. Merasa terganggu.
"Intan harus pulang, sayang...."
"Kan bisa
tunggu bentar, lagi tanggung, Bentar lagi juga bel!"
"Sekarang, Intan! Tadi Ummi sudah bicara sama
Headmaster Miss Elly! Intan boleh ijin selama diperlukan— "
"Yee, Ummi, Intan kan lagi ngurus Safe The
Planet! Mana lagi seru-serunya. Besok kan Intan mau keliling bawa-bawa gelang
karet ke Pasar Induk bareng teman-teman.... Mana boleh Intan ijin
sekolah...."
Gadis kecil yang gigi atasnya sedang tanggal satu
itu malas memberesi tas, penggaris, crayon, kertas gambar, buku-buku, pensil di
atas mejanya. Sengaja melakukannya pelan-pelan.
Teman-teman kelasnya sibuk menoleh,
menonton.
Dalimunte yang berdiri di belakang,
tersenyum mengangguk. Berusaha membuat nyaman teman-teman Intan, meski apa daya
ekspresi mukanya jadi terlihat aneh. Mereka baru saja tiba di sekolah alam itu.
Menjemput putri mereka persis di tengah pelajaran melukis—favorit Intan. Rusuh
sejenak bicara dengan kepala sekolah. Menjelaskan. Headmaster Miss Elly yang
apa daya nge-fans berat sama Profesor Dalimunte, jangankan soal
sepenting ini, soal Intan pilek sedikit saja langsung boleh ijin tiga hari,
mengangguk. Tidak masalah.
"Memangnya
kita mau kemana sih, Mi? Mendadak benar!"
Gadis kecil berumur sembilan tahun itu memasukkan
crayon biru terakhirnya ke dalam tas. Menoleh ke wajah Ummi yang seperti tidak
sabaran ikut membantu berberes-beres. Padahal sejak setahun terakhir mana
pernah coba Ummi bantu-bantu beres kamarnya, Intan kan sudah besar, bisa
sendiri.
"Perkebunan
strawberry!" Dalimunte yang menjawab, pendek. "EYANG LAINURI?"
Mata hitam gadis kecil itu membulat.
Dalimunte mengangguk, mengusap lehernya.
"HORE!!"
Intan mendadak malah semangat menyeret tas sekolahnya yang berat itu. Wajah
malasnya tadi langsung sirna. Ia malah tidak perlu ditunggu lagi, langsung maju
ke depan. Membawa kanvas lukisnya. Pamitan ke Miss Ani, guru kelas 5-nya (dua
tahun terakhir Intan loncat kelas dua kali). Lantas, tanpa diminta memimpin
berjalan di depan Dalimunte dan Ummi sambil melambaikan tangan ke
teman-temannya.
"Eh,
sebentar-"
"Apa
sayang?" Langkah Ummi ikut terhenti.
"Gelang karetnya
kelupaan! Intan kan mesti bawa gelang karet buat Eyang! Biar paman-paman yang
ngurus kebun bisa pake gelang, biar mereka pakai dua gelang setiap
tangannya!" Ia nyengir, tertawa kecil, senang atas idenya.
Berhenti sejenak.
Mendekati teman-temannya yang masih
sibuk menonton.
Dalimunte
untuk ke sekian kalinya melirik jam di pergelangan tangan. Mendesah. Semoga
belum terlambat.
"Come on,
why nan avete due posti per noi? Any flight, questo e molto importante!"
Wajah Ikanuri
terlihat memelas.
Dulu
Ikanuri jagonya soal menipu orang lain dengan wajah sok memelas. Kak Laisa yang
suka mengejar-ngejarnya dengan sapu lidi, berkali-kali tertipu soal ini. Sok
memelas sakit (malas sekolah). Sok memelas sakit (malas bantu Mamak Lainuri).
Sok memelas sakit (malas ngurus kebun). Sakitnya si bisa macam-macam. Sakit
kaki-lah. Sakit tangan. Bisul. Bahkan panu pun bisa jadi alasan Ikanuri.
"Mi
displace, tutti i voli dall'italia sono pieni da una settimana fa! Questa
settimana c'e la finale di Champions League!. Maaf,
penerbangan kemanapun dari Italia sudah penuh sejak seminggu lalu!
Minggu ini final Liga Champion, Senior! Seluruh jadwal penerbangan penuh dari
Roma!"
"Ayolah! Bagaimana
mungkin kalian tidak punya dua kursi untuk kami? Di kelas apapun. Penerbangan apapun.
Ini penting sekali! Dua tiket saja!"
"Senior
tidak mengeri. Ini final Liga Champion—"
"Solo due
biglietti?"
"Questa e
la finale di Calcio—"
"Sepak bola
sialan! Kenapa pula semua orang sibuk menonton 22 orang berebut satu bola!
Kenapa mereka tidak dikasih 22 bola juga saja!"
Ikanuri memotong
kalimat gadis itu, meremas rambutnya. Memaki. Teringat kaos bola titipan
putrinya.
Ini
juga gaya favorit Ikanuri waktu kecil dulu kalau menipu guru di kelas (ketahuan
bolos). Atau ketahuan mencuri uang di kelpeh plastik Mamak Lainuri. Sok bego
tidak mengerti. Ah, tapi sekarang ekspresi itu benar-benar jujur. Lagipula
sejak puluhan tahun silam, Ikanuri sudah insyaf. Kapok. Mengerti benar maksud
Kak Laisa yang suka berteriak, 'kerja keras!', 'kerja keras!', 'kerja keras!'
"Bisa
tolong cek jadwal penerbangan maskapai lainnya, please?"
Wibisana yang berdiri
agak dibelakang Ikanuri menyibak maju ke depan. Berusaha tersenyum ke gadis
penjaga loket biro perjalanan di Bandara Roma yang sejak tadi berkali-kali
tersenyum tanggung menghadapi seruan-seruan Ikanuri.
"Percuma, Senior, Benar-benar full. Anda
lihat rombongan di sana! Rombongan kedutaan negara Anda. Mereka hari ini juga
ingin ke Jakarta. Tidak ada lagi tiket tersisa. Tidak buat mereka. Juga tidak
buat, Senior. Maaf—" Gadis penjaga itu mencoba ikut bersimpati. Menunjuk
lima orang yang bergerombol diruang tunggu. Wibisana dan Ikanuri menelan ludah.
"Jadi apa yang
harus kami lakukan?" Ikanuri bertanya putus-asa. Gadis itu diam sejenak.
Mengetikkan sesuatu.
"Kalau Senior mau, saya bisa melakukan
reservasi penerbangan dari bandara lain...." Menekan-nekan keyboard
komputernya.
Wajah Ikanuri sedikit
cerah oleh kemungkinan baik tersebut. "Dari mana? Verona? Milan? Tidak
masalah. Asal hari ini juga—"
"Maaf, bukan dari
Italia, Senior. Tadi sudah saya bilang, malam ini digelar pertandingan final
Liga Champion di Roma, ditambah pula ini musim kunjungan ke Vatikan, Sakramen
Agung. Jadi seluruh penerbangan ke kota-kota di Italia penuh. Juga
negara-negara di sekitar. Vienna, Austria juga penuh. Hm.... Paling dekat....
Ergh, dari Paris, Perancis! Mau??"
Perancis?
Rona kabar baik
itu seketika padam.
No comments:
Post a Comment