Sunday, September 6, 2015

Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 5

5. HARAKIRI

PERTAMA-TAMA aku berpikir bahwa Ervin banyak menghabiskan waktu
denganku di Cincinnati karena memang tidak ada orang lain yang bisa diajaknya
ngobrol, tapi ternyata persahabatan kami berlanjut sehingga kami pulang ke Jakarta.
Harus kuakui bahwa aku telah menemukan teman di dalam diri Ervin, teman yang
sedikit berbahaya karena aku naksir abis padanya. Tetapi aku tidak bertindak
mengikuti perasaan itu karena setahuku Ervin sudah punya pacar.
Selama beberapa bulan pertama mengenalnya, aku tahu beberapa hal tentang
Ervin. Dia lulusan Texas A&M double major di Marketing dan Human Relations,
MBA-nya dari Rice University, orangtuanya tinggal di daerah Pondok Indah, dan
dia masih punya oma dari pihak ibunya yang tinggal di Lembang. Tapi satu hal
yang sangat nyata tentang Ervin adalah banyak perempuan yang mencintainya. Aku
tidak bisa menyalahkan Ervin sepenuhnya karena perempuan normal mana yang
bisa menolak wajah Dewa Yunani-nya itu? Apalagi dengan latar belakang
pendidikannya, keluarganya yang jelas-jelas tajir abisss, dan tingkah lakunya yang
selalu sopan dan perhatian terhadap setiap perempuan. Kecuali perempuan yang
sudah terlalu menjengkelkannya, Ervin akan meninggalkan dia secepat mungkin.
Entah berapa banyak korban yang sudah terkena “The Ervin Syndrome”, penyakit
yang menandakan bahwa mereka telah “disentuh” oleh Ervin tanpa ada paksaan
dari Ervin sendiri. Hal ini memberikan Ervin kebebasan untuk gonta-ganti pacar
seperti ganti underwear.
Selama itu pula aku tetap single dengan alasan bahwa aku masih mencoba
mencari keberanian untuk bisa menghubungi Baron. Tapi aku tahu alasan
sebenarnya, bahwa aku “chicken”, penakut. Aku masih tetap tidak berani mengambil
langkah menghubungi Baron. Akhirnya aku menghabiskan hari-hariku dengan
menjadi pengamat yang baik bagi hubungan seksual Ervin dengan Dita, Yama, Lala,
Sissy, dan banyak lagi perempuan lainnya yang aku tidak ingat. Ervin memang
tidak pernah menyembunyikan selera seksnya yang sehat, tapid ia tidak pernah
sekali pun mencoba untuk menawarkannya kepadaku. Aku masih mencoba
memutuskan apakah itu sesuatu yang baik atau buruk. Apa itu berarti bahwa Ervin
menghormatiku? Atau bahwa Ervin memang tidak menganggapku menarik sama
sekali?
Tapi akhirnya aku menyadari satu hal, bahwa apabila aku mau serius
memikirkan tentang Baron, aku harus menjauh dari Ervin. Selain untuk ketenangan
jiwaku, tapi juga untuk menyangkal gossip yang mengatakan bahwa aku dan Ervin
memiliki hubungan yang serius. Padahal peranku di dalam hidupnya mungkin
hanya sebagai ban serep kalau dia sedang kehabisan stok perempuan. Mungkin
untuk perempuan yang berumur di bawah 25 tahun dan memiliki IQ di bawah 100,
hal itu termasuk pujian, tapi tidak untuk perempuan yang sudah mendekati umur
tiga puluh tahun dengan IQ hampir jenius sepertiku.
I deserve better than that,” teriakku berkali-kali untuk meyakinkan diriku bahwa
aku memang berhak untuk menerima tidak kurang dari yang terbaik. Aku harus
mulai mengatur kehidupan sosialku agar hidupku tidak hanya dihiasi oleh
Indovision yang meskipun sangat menghibur tapi tidak bisa memberikan apa yang
kubutuhkan.
Tekadku semakin bulat setelah acara Good Life Ball, suatu pesta besar-besaran
yang diadakan oleh perusahaan setahun sekali sebagai employee appreciation day.
Acara itu diadakan hari Jumat malam di hotel J.W. Marriott. Rencana awalku adalah
menumpang mandi di rumah Wulan, resepsionis kantorku. Tapi ternyata aku baru
bisa menyelesaikan pekerjaanku selepas jam lima sore, sedangkan acara itu akan
dimulai jam delapan malam. Akhirnya aku memutuskan untuk mencuci muka dan
ganti baju saja. Ketika aku akan menuju WC wanita, aku berpapasan dengan Ervin.
“Lo ngapain, Dri?” tanyanya sambil memandangi gaun malamku yang masih
dibungkus plastik Laundrette.
“Oh, ini... mau ganti baju buat ke Ball, soalnya nggak sempet mandi, jadi mau
cuci muka saja,” jawabku.
“Lo mau mandi?” tanya Ervin lagi.
“Iya, tadinya mau numpang di rumah Wulan, tapi tadi kerjaan gue belum
kelar.” Aku baru akan melangkahkan kakiku lagi ketika Ervin berkata, “Lo mandi di
rumah gue saja, Dri. Gue juga mau siap-siap kok,” ucapnya polos. Tanpa menunggu
jawaban dariku Ervin langsung mengambil gaun malamku.
“Lho, lho... Vin, vin, baju gue.”
“Sudah sana, ambil barang-barang lo, gue tunggu di bawah.” Dan dengan
begitu Ervin langsung masuk ke lift dan menghilang dari pandanganku.
Mandi di rumahnya Ervin? Sudah gila. Ini sama saja dengan harakiri. Aku
melirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul setengah enam. Buru-buru
aku lari ke mejaku untuk mengambil semua keperluan pesta dan ngacir ke lobi.

Kalau tindakanku ini memang aksi bunuh diri, biarkanlah.



No comments:

Post a Comment