31
ISTRI
KEDUA
"HALLO PROFESSOR,
kami sudah di Singapore. Ya. Transit sebentar. Lima belas menit lagi langsung
ke Jakarta. Apa? Oh, ?sudah! Tiketnya sudah diurus staf pabrik.... Kami
berangkat ke Ibukota provinsi sore ini juga.... Jika tidak ada delay, bilang
Mamak kami akan tiba nanti malam, mungkin menjelang tengah malam. Apa?
Jemputan? Tidak usah, aku akan pakai mobil modifikasi bengkel di sana saja. Itu
lebih cepat. Ya? Lebih cepat, Professor—" Ikanuri tetap saja harus
berteriak-teriak, meski tidak ada lagi badai seperti di Pegunungan Alpen Swiss,
semalam. Ruang tunggu bandara internasional Singapore itu ramai. Bising
lalu-lalang penumpang sudah macam deru hujan deras saja, belum lagi
teng-tong-teng pengumuman.
Mereka
ahirnya tiba setelah penerbangan non-stop dua belas jam: Perancis-Singapore.
Sudah siang. Matahari tiba di garis tertingginya. Setelah hampir sehari semalam
tidak menyentuh makanan, Wibisana memaksakan diri mampir ke salah satu kedai
fast-food bandara. Sambil menunggu pesawat berikutnya. Wajah mereka kuyu,
kurang istirahat. bit lag pula. Bolak-balik melangkahi perbedaan waktu hampir
belasan jam membuat pusing kepala. Merusak bio-ritme. Rambut semrawut. Kemeja
berantakan. Malah salah satu kaki celana panjang Ikanuri tergulung sembarangan.
Habis shalat dhuzhur, lupa dirapikan. Meletakkan tas laptop dan barang bawaan
sembarang di sekitar meja makan.
"Tidak. Aku tidak
tahu.... BELUM! Apa? Aku sudah puluhan kali menelepon HP satelit Yashinta.
Dasar sialan. Kemana pula anak ini sekarang.... Jangan. Jangan bilang Kak Laisa
kalau HP Yashinta tidak bisa dihubungi. Ya Allah, itu akan membuatnya berpikiran
yang tidak-tidak. Kau tidak boleh bilang.... Tentu saja aku sekarang ikut
cemas, Profesor! Ikanuri mengusap dahi. Sedikit sebal dengan intonasi suara
Dalimunte.
Pelayan
mengantarkan kue donut besar-besar. Wibisana yang sedang menatap adiknya bicara
via telepon genggam dengan Dalimunte di perkebunan strawberry mengalihkan
tatapan. Aroma kue itu cukup mengundang, meski mereka tetap tidak berselera
makan. Menelan ludah. Kalau saja ada Juwita, Delima, dan Intan, ketiga
anak-anak nakal itu pasti bisa menghabiskan menu ini dalam sekejap, satu menit.
Itu bahkan sudah termasuk waktu yang dibutuhkan untuk bertengkar. Berebutan.
"Tadi aku sudah
menelepon Goughsky. Dia juga kebetulan sedang di sekitar Semeru. Biar dia yang
mencari kemana anak itu. Apa? Semoga tidak.... Semoga tidak, Dali. Yashinta
pasti
baik-baik saja. Kau
berlebihan. ANAK ITU SUDAH MENDAKI 27 GUNUNG DI SELURUH DUNIA .... SEMUA
BAIK-BAIK SAJA! Baiklah, bilang Mamak dan Kak Laisa kami paling telat akan tiba
malam ini...."
Ikanuri meletakkan telepon genggam di atas meja.
Meski wajahnya terlihat kusut dan cemas, sedetik kemudian dia akhimya bisa
tersenyum.
"Apa kata
Dali?" Wibisana bertanya.
"Kak Laisa sudah membaik. Pagi tadi sudah bisa
shalat Shubuh sambil duduk. Dokter bilang, ada sedikit kemajuan." Wibisana
ikut tersenyum, lega,
"Apa kubilang, Kak
Laisa akan baik-baik saja. la akan baik-baik saja—" "Tapi kata
dokter, kanker paru-parunya sudah stadium IV ,"
Ikanuri
menelan ludah. Senyumnya terhapus.Stadium IV? Itu berarti tak ada lagi
kemungkinan untuk operasi. Terdiam. Wibisana melepaskan kue donut yang
dipegangnya. Bagaimana mungkin mereka selama ini tidak tahu?
Umur Laisa hampir empat puluh (tepatnya
tiga puluh tujuh tahun) ketika akhirnya kesempatan baik itu datang. Kesempatan
baik?
" Kau
sungguh-sungguh?" Dalimunte bertanya sekali lagi.
"Tentu saja, Dali. Istriku juga sudah melihat
foto dan bio-data Laisa. Itu akan jadi pilihan yang baik dalam urusan
ini—" Tersenyum. Kolega riset Dalimunte di laboratorium itu tersenyum
tulus.
Istriku?
Nah inilah yang sedikit menjadi masalah. Kolega Dalimunte tersebut, calon jodoh
Kak Laisa kali ini, sudah beristri. Umurnya juga sudah empat puluh. Mereka
sudah menikah lima belas tahun, dan kabar buruknya hingga hari ini belum
mendapatkan anak juga. Istrinya, yang memiliki masalah dengan rahim dan
kesuburan, memberikan kesempatan kepada suaminya untuk menikah lagi.
Dalimunte
tahu persis kalau rekan kerjanya tersebut sedang mencari istri kedua. Tapi
butuh tiga bulan untuk meyakinkan, hingga akhimya menyebutkan nama Kak Laisa ke
rekan kerjanya tersebut. Kak Laisa menjadi istri kedua? Sungguh awalnya
Dalimunte tidak bisa membayangkan. Tetapi lihatlah, mungkin itu jalan keluar
yang baik semua urusan ini. Setelah berbicara banyak dengan Cie Hui, diam-diam
juga bicara dengan Wak Burhan dan Mamak saat jadwal rutin pulang dua bulan
sekali. Keputusan itu diambil.
"Sudah menjadi kodrat manusia hidup
berkeluarga, Dali. Menjadi istri kedua, ketiga atau keempat tidak selalu
pilihan yang buruk seperti yang dibayangkan banyak orang ini. Jika ada alasan
yang baik, penjelasan yang baik, itu bisa menjadi jalan keluar yang bijak, bukan?
Allah membolehkan seorang lelaki memiliki empat istri dalam waktu bersamaan
jika dia bisa berlaku adil, tentu karena ada alasan baiknya Allah menyimpan
banyak sekali rahasia dalam sebuah pernikahan...." Wak Burhan menghela
nafas.
"Kalau Kakakmu
tidak berkeberatan, Mamak hanya bisa bilang ya," Mamak memperbaiki tudung
kepala (setelah terdiam lama),
"Kau
bicarakan dulu baik-baik dengan Laisa. Sampaikan dengan baik-baik...."
Maka Dalimunte segera kembali ke
ibukota. Dia berfikir lebih baik berbicara dengan kolega risetnya lebih dulu.
Jika semuanya baik, memastikan kolega risetnya tidakberkeberatan dulu dengan
tampilan wajah dan fisik Kak Laisa, maka lebih mudah membicarakannya lebih
lanjut dengati Laisa. Dan kabar baik itu benar-benar tiba. Rekan kerjanya 100%
tidak keberatan meski telah melihat foto Kak Laisa. Istri pertamanya juga tidak
keberatan.
"Kau tahu,
justru istrikulah yang menyarankan aku menikah lagi."
Rekan kerja Dalimunte menatap lamat-lamat wajah
istrinya yang duduk di sebelahnya. Itu kunjungan ketiga Dalimunte ke rumah
mereka yang asri, sepelemparan batu dari rumah Dalimunte dan Cie Hui.
"Aku mencintai isteriku. Amat mencintainya.
Jika saja ia bisa melahirkan anak-anak kami....
Aku sungguh
tidak pernah bisa membayangkan harus menikah lagi—"
Pasangan itu saling menggenggam tangan.
Dalimunte tersenyum menatapnya. Ini mungkin jalan keluar yang baik.
Menyelesaikan masalah keluarga mereka, sekaligus menyelesaikan masalah Kak
Laisa. Wak Burhan benar, jika ada alasan yang baik, tidak selalu poligami itu
buruk.
"Aku akan
mencintai Laisa dengan baik, Dali. Akan menjadi suami yang adil. Meski amat
susah membayangkan harus membagi cintaku.... Semoga ia tidak keberatan menjadi
istri kedua.... Semoga ia memberi kesempatan padaku untuk belajar dalam proses
sulit ini. Ia sungguh pilihan yang baik. Isttriku menyetujuinya, dan aku sudah
berjanji kepada istriku, akan membuat pernikahan-pernikahan kami bahagia....
Bilang kepada Mamak dan Laisa, kami akan datang memperkenalkan diri minggu
depan. Kami akan melamar Laisa."
Maka Dalimunte, demi mendengar kalimat
hebat tersebut, segera kembali ke perkebunan strawberry. Sekarang menyelesaikan
bagian penting berikutnya. Menjelaskan kepada Kak Laisa tentang: posisi istri
kedua.
Hamster belang itu mengangkat-angkat
kepalanya. Berjinjit. Kedua kaki depannya memegang erat-erat buah strawberry
matang. Menggigit. Menjilat. Lucu sekali melihatnya sibuk menaklukkan buah merah
tersebut. Intan duduk di sebelah Wak Laisa, tertawa. Juga juwita dan Delima.
Ranjang besar itu besar, menyisakan ruang yang cukup buat berempat.
"Wawak
sudah mendingan?"
Sejenak Juwita menolehkan kepala, menatap Wak Laisa
yang ikut tersenyum. Menonton kelakuan Rio, hamster belang Intan.
Laisa mengangguk. Pagi ini ia merasa
lebih kuat (seperti dulu, meski fisiknya sakit, semangat yang tinggi selalu
memberikan kekuatan, kehadiran tiga sigung kecil ini juga membuat Kak Laisa
kembali merasa kuat, meski entah hingga kapan). Bosan jadi pusat perhatian, dan
sebal karena buah strawberry tidak mudah digigit, hamster itu melempar buah
strawberry sembarangan, lantas dengan cuek loncat turun dari tempat tidur,
"Wawak
haus? Intan ambilin minum buat Wawak, ya?"
Wak Laisa mengangguk. Gadis kecil
sembilan tahuti ini turun, melangkah keluar ruangan. Eyang Lainuri duduk di
kursi tengah ruangan, juga Dalimunte. Cie Hui, Wulan dan Jasmine ada di ruang
belakang, mengurus dapur dan sebagainya. Tetangga masih berkumpul. Cemas
menunggu kabar sakitnya Laisa. Mereka belum mengaji yasin lagi. Kabar
membaiknya Laisa membuat situasi rumah sedikit riang> Cie Hui memutuskan
membuat makan besar. Dibantu anak gadis tetangga lainnya. Tetangga sekitar yang
berkumpul sejak dua hari lalu pasti tidak sempat masak di rumah. Mereka bahkan
menghentikan aktivitas sehari-hari.
"Yee, Kak Intan ngapain pula bawa gelang-gelang
ini? Juwita dan Delima hampir berseru berbarengan saat Intan kembali sambil
membawa nampan air minum ( dengan beberapa gelang "Safe The
Planet"-nya).
"Nih, buat
kalian—" Intan melotot, menyerahkan dua gelang. "Mending
gratis."
Mulut Juwita
kumur-kumur protes. Orang dibayar lima ribu saja mereka tetap tidak mau pakai.
Lah, ini justru disuruh bayar lima ribu. Delima ikut-ikutan malas menerimanya.
Tapi daripada nanti Kak Intan marah-marah, terus nyubit perut. Mending ngalah.
Nanti kan sembunyi-sembunyi bisa dilepas.
Kak Laisa yang berbaring bersandarkan
bantal tertawa kecil. Juwita dan Delima benar-benar mirip kedua ayahnya. Dulu
meski bandel, melihat kelakuan Ikanuri dan Wibisana sungguh memberikan semangat
hidup baginya. Meski keras kepala, selalu membantah, kedua
sigung kecil itu
membuat masa kecil dan remajanya yang sulit dan penuh kerja keras, menjadi
berwarna dan berisik sepanjang hari.
Mereka sejak dulu, selalu menjadi
adik-adik yang baik. Hanya soal bagaimana mereka menunjukkannya saja yang
sedikit berbeda dengan anak-anak lain. Mereka hanya menuntut perhatian.
Sayangnya, Mamak setiap hari sibuk bekerja. Juga dirinya. Kebersamaan di rumah
hanya ada lepas maghrib, itupun dengan wajah-wajah lelah. Maka dua sigung kecil
itu juga sibuk mencari perhatian. Nakal.
Ikanuri dan Wibisana sejak dulu memang
beda, dan sekarang tabiat jahil mereka sempurna diwarisi oleh Juwita dan
Delima.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 32
No comments:
Post a Comment