7
ITU
BENAR-BENAR JAUH LEBIH PENTING
"RIO...
RIO...." Intan, gadis kecil berumur sembilan tahun itu berseru-seru.
Sibuk. Naik turun tangga. Melongok ke balik kursi, meja, ranjang, lemari, apa
saja. Lari keluar, mencari di halaman.
"Rio...
Rio.... Aduh, kemana, sih?" Intan balik lagi ke dalam rumah. Berlarian
menaiki tangga lagi. Kuncir rambutnya yang berpita biru bergoyang.
Dalimunte mengusap wajah. Melirik jam di pergelangan
tabgan untuk ke sekian kali. Satu jam lagi, pesawat yang sudah dipesan staf
lab-nya, take-off. Kalau mereka terlambat, maka baru besok ada penerbangan yang
sama. Tidak banyak jadwal penerbangan ke kota provinsi itu. Kota itu terhitung
terpencil jika dilihat dari sisi jumlah penumpang angkutan udara. Maskapai itu
saja harus disubsidi pemerintah daerah setempat agar bisa terus beroperasi.
Ummi,
juga sama seperti Intan, ikut sibuk membantu. Mencari hamster belang putrinya.
"Ditinggal saja ya, sayang—" Ummi membujuk.
"Yee,
mana boleh. Wak Laisa kan suka banget sama hamster belang Intan, nanti pasti
ditanya kalau nggak dibawa!"
Dalimunte menelan ludah mendengar nama Kak Laisa.
"Ditinggal saja ya, Wak Laisa tidak akan nanya, kok—"
"Nggak
bisa. Lagian kalau ditinggal yang kasih makan belang siapa, Mi? Rio.... Rio....
Sembunyi di
mana, sih?"
Intan
terus berseru-seru sambil menarik selimut tempat tidurnya. Biasanya si belang
suka tiduran di bawah ranjang.
Tidak ada.
Menyeringai.
Eh, bukankah tadi ia juga sudah periksa tempat ini. "Nanti Ummi titip
tetangga sebelah buat ngurus, ya?"
"Nggak
mau!"
Intan
melotot. Keras kepala. Demi melihat ekspresi itu, Ummi menghela nafas,
kehabisan kalimat berikutnya.
Beruntung sebelum seisi rumah
diobrak-abrik Intan, hamster belang itu dengan cueknya nongol di dapur.
Berlenggak-lenggok bak model. Sibuk menyeka-nyeka mulutnya. Tanpa ampun,
langsung disambar Intan. Gadis keril itu berlarian berteriak,
"UMMI, ABI,
HAMSTER-NYA SUDAH DAPAT!"
Mobil sport keluaran terbaru itu melesat
keluar dari gerbang rumah setelah Intan duduk manis di kursi belakang.
Dalimunte mencengkeram setirnya erat-erat. Sayang, baru tiba di tikungan depan
komplek perumahan, Ummi berseru tertahan,
"Tas Ummi!
Tas tangan Ummi tertinggal!" Dalimunte mendesis sebal.
"Ada kartu
ATM, credit card, kartu identitas, semuanya di sana! Harus diambil, Bi!"
Ummi setengah membujuk, setengah
memaksa. Mobil sport itu berbalik arah lagi. Rusuh sejenak mencari tas tangan
Ummi (yang sebenarnya tergeletak di meja ruang depan).
Lima belas menit, mobil sport itu
kembali meluncur keluar. Baru tiba di jalan besar, giliran Intan yang berseru
panik,
"Tas
sekolah Intan, tas sekolah Intan ketinggalan, Bi!" Dalimunte benar-benar
mendesis sebal.
"Harus
diambil, Bi! Kan di tas ada gelang karet 'Safe The Plane' Intan, please….please...."
Mobil sport itu berbalik arah lagi. Kali ini tidak sulit menemukannya, karena
kaki Intan tersangkut tas sekolahnya sendiri persis mau masuk rumah.
Sepuluh menit, mobil
sport itu kembali meluncur keluar. Dan kali ini Dalimunte benar - benar
mendesis mengkal. Saat tiba di gerbang tol, dia baru menyadari laptop miliknya
tertinggal. Seluruh hidupnya ada di situ, hasil penelitian, nomor kontak,
agenda, bahkan catatan kesehariannya. Dengan muka mengeras, dia terpaksa
memutar kembali setir. Maka
setengah jam kemudian saat mobil sport itu
benar-benar berada di atas jalan tol menuju bandara, yang tersisa hanya wajah
merah bin bete Dalimunte.
"Bi, janga
marah, ya! Kan yang terakhir tertinggal laptop Abi...."
Intan
nyengir sambil memeluk hamster belangnya. Menahan tawa. Ummi menyeringai kecil,
tersenyum tanggung melihat ekspresi wajah putrinya. Dalimunte hanya berdehem
tanggung. "Abi, sih, pakai terburu-buru berangkatnya.... Lihat, tuh,
sandal Abi malah ketukar-tukar." Intan mendekap mulut. Ummi yang justru
tidak kuasa menahan tawa melihat kaki suaminya yang menginjak pedal gas dan
kopling. Intan benar. Warna-warni (mana suaminya masih pake kaos kaki segala).
Dalimunte akhirnya ikutan nyengir.
Manyun. Tertawa kecil. Meski sekejap kemudian melirik lagi jam di pergelangan
tangannya.
Lima
belas menit lagi pesawat itu take-off.
"Si,
si.. What? NO! Assolutamente no! like i told you, siamo arivati a Roma half
hour fa, Albertino... saya mendengar suara Anda, Albertino... APA?
Tidak! Tentu saja tidak. Sesuai janji kami sudah tiba di Roma setengah
jam lalu, Albertino—"
"Teng-tong-teng-tong....I
passeggeri del treno Eurostar (diretto a Paris dslle ore 10.00) sono pregati
di recarsi velocemente al binario 9...."
Roma Termini (stasiun kereta api pusat)
itu meski terhitung sepi, karena orang-orang sibuk menonton pertandingan final
sepak bola, tapi tetap berisik oleh suara teng-tong-teng speaker pengumuman.
"Tidak.
Tidak bisa, Albertino. Tidak bisa. Kami harus segera kembali ke Jakarta.
Sekarang juga. Pagi ini juga. Ya! Ya! Pertemuan itu batal —Hallo? Kau
mendengarnya, Albertino? BATAL!" Belepotan Ikanuri menjelaskan lewat
telepon genggamnya. Satu karena dia bersama Wibisana sedang terburu-buru
membawa ranselnya mencari peron nomor 9. Dua karena bahasa Italianya jauh dari
lancar, campur-campur. Campur Inggris, malah kadang campur bahasa Indonesia.
"Albertino, Anda tidak mengerti.
Saya harus kembali sekarang juga ke Jakarta. Kau masih menunggu di bandara?
BANDARA? Tidak. Kami sekarang di stasiun kereta Roma! Apa? Bukan bandara, kami
sekarang ada di stasiun kereta! Roma Termini. Tidak. Ya Allah, tentu saja kami
tidak naik kereta dari Jakarta, Albertino. Bagaimana mungkin?—"
"Teng-tong-teng-tong....
Panggilan terakhir untuk penumpang Kereta Lokal Chievo3000. Harap segera menuju
peron nomor 7...."
"Kau dengar? Tidak usah ditunggu.
Kami harus pulang malam ini juga ke Jakarta, kau dengar? Ya? Ya? Albertino,
pertemuan besok batal! Batal! BATAL! Kau dengar? Apa? Ah, sialan—" Ikanuri
memaki.
Wibisana
yang berlari-lari kecil di sampingnya menoleh. "Sinyalnya terputus—"
Ikanuri menelan ludah.
"Tung-tong-teng-tong....
Kereta ekspres menuju Swiss Benin nomor 12 dibatalkan karena alasan cuaca
buruk. Badan metereologi meramalkan akan turun hujan lebat di selatan Swis.
Kemungkinan longsor. Penumpang bisa melapor ke loket penjualan tiket kami untuk
full-refund, atau meminta klaim kamar hotel jika memutuskan untuk
menunggu kereta besok pagi. Seluruh staf dan manajemen Trenitalia,
dengan rendah hati meminta maaf..."
"Ini
semua gara-gara sepak-bola sialan itu, bah!" Ikanuri bersungut-sungut.
Menyeret kopernya.
"Andaikata
Kak Laisa ada di sini, kau pasti sudah dipukulnya dengan sapu lidi
berkali-kali!" Wibisana menarik nafas pendek, memperlamban langkah kaki,
papan elektronik yang bertuliskan angka 9 (peron tujuan Paris, Perancis lewat
Pegunungan Alpen, Swiss) sudah di depan mereka. Mencoba untuk lebih rileks. Ada
gunanya juga setelah setengah jam terakhir terburu-buru, mereka tidak terlalu
terlambat, masih ada waktu lima menit lagi.
Tadi
keluar dari Bandara Roma amat terburu-buru. Meneriaki taksi terburu-buru.
Memaksa sopir taksi (yang keturunan India itu) untuk terburu-buru, ngebut
menuju stasiun kereta. Beruntung jalanan lengang. Persis setengah jam lagi
Final Piala Champion di Stadion Olimpico, penduduk kota Roma sudah dari tadi
duduk manis di stadion atau depan teve masing-masing. Sialnya, meski lengang,
di mana-mana ada konsentrasi massa yang bersiap nonton bareng lewat layar teve
raksasa. Mending nontonnya di lapangan, ini justru digelar persis di
tengah-tengah perempatan jalan.
Benarlah adigum itu,
bagi penduduk Roma, sepak bola sudah jadi agama. Jadi, terpaksa taksi
berputar-putar mencari jalan yang perempatannya tidak vorbodden. Itu
sama saja menyisir seperempat kota Roma dengan kecepatan tak kurang 70 mil
per-jam.
"Aca, aca,
ini lewat mana, hei?"
Sopir India itu
juga ikutan panik dengan teriakan-teriakan Ikanuri.
Setelah berpikir lima belas detik di depan gadis
penunggu counter biro perjalanan, Wibisana akhirnya memutuskan untuk segera ke
Paris. Itulah pilihan terbaik yang ada. Memutuskan ke Paris dengan menumpang
kereta ekspres lintas negara, Eurostar. Soal perjalanan menggunakan kereta api,
benua Eropa nomor satu. Di sini, untuk mengililingi Eropa, kalian cukup menumpang
kereta lintas negara. Kabin kereta yang nyaman, bisa sekalian jadi hotel tempat
beristirahat. Semuanya amat memadai. Tanpa perlu repot melewati pemeriksaan
paspor dan visa setiap kali melintasi perbatasan. Ke sanalah, Ikanuri dan
Wibisana terburu-buru. Mengejar kereta malam.
"Dipukul
Kak Laisa berkali-kali? Maksudmu?"
Ikanuri
balik bertanya, sedikit bingung dengan kalimat kakaknya barusan. Wajahnya masih
tegang sejak dari bandara tadi.
Wibisana tertawa kecil,
berusaha lebih santai,
"Kau
sudah tiga kali memaki setengah jam terakhir, bukan? Kalau sampai Kak Laisa
tahu, itu berarti sembilan kali pukulan sapu lidi —" Ikanuri nyengir.
Mengerti kalau Wibisana sedang bergurau soal masa kecil dulu. Terus melangkah.
Mereka akhirnya tiba di depan pintu gerbong kereta. Lampu peron
berpendar-pendar menawan.
"Tiketnya,
Senior—"
Wibisana
menyerahkan tiket ke penjaga. "Paspor dan Visanya, Senior—"
Ikanuri menarik travel-binder. Tidak
banyak cakap menyerahkan dokumen perjalanan, meski tadi sebenarnya di pintu
gerbang stasiun juga sudah diperlihatkan kepada petugas imigrasi.
"Indonesia,
Senior? Ah, saya tahu Pulau Bali. Cantik, bukan?" Wibisana dan Ikanuri
mengangguk. Malas bicara.
"Jika sempat suatu saat saya hendak
ke sana, berlibur, menghabiskan masa pensiun.... Wah, kalian jauh-jauh dari
Indonesia, tapi tidak untuk menyaksikan pertandingan final Liga Champion
Juventus-Manchester United, Senior?" Penjaga itu berbasa-basi.
Ikanuri kali ini
benar-benar menggeleng tidak peduli.
"Ah
saya mengerti, tim sepakbola negara Anda tidak terlalu bagus, tidak menarik
untuk ditonton, tapi di sini beda, senior...."
Ikanuri mendesis
sebal; buruan periksa tiketnya.
"Selamat
menikmati Eurostar, Senior. Semoga nyaman. Asal kalian tahu, gara-gara final
itu, malam ini kami hanya punya tujuh penumpang…. Kecuali jadwal kereta setelah
selesai pertandingan; nah yang itu baru full-booked!" Penjaga itu
tertawa lebar, mengembalikan tiket ke Wibisana.
Pintu
otomatis kereta berdesis terbuka nyaris tanpa suara.
Ikanuri dan Wibisana
tak terlalu mendengarkan tawa riang penjaga itu, sudah membawa koper masuk.
Melangkah di sepanjang lorong. Mencari nomor kabin mereka. Melihat interior
kereta, mereka segera menyadari, setidaknya kereta
ini lebih dari cukup untuk beristirahat setelah penerbangan belasan jam.
Menurut gadis penjaga counter tadi, butuh waktu setidaknya dua belas jam untuk
tiba di Paris, Perancis. Melewati setidaknya dua ibukota negara-negara eksotis
Eropa. Andai saja situasinya lebih baik, mungkin ini bisa jadi perjalanan
hebat, bisa menjadi trip perayaan atas suksesnya kesepakatan bisnis dengan
produsen mobil balap itu.
Ikanuri menghela nafas, teringat telepon yang
terputus barusan, pelan melemparkan kopernya ke kursi. Wibisana menutup pintu
kabin. Juga memikirkan hal yang sama. Tapi lupakan! Lupakan soal pertemuan di
Piaza de Palozzo besok pagi. Lupakan soal kesepakatan bisnis itu, meski mereka
butuh bertahun-tahun untuk mendapatkan kesempatan tersebut. Itu bisa diurus
nanti-nanti, jika masih sempat. Jika produsen itu belum keburu memilih partner
bisnis dari China. Pulang segera ke Lembah Lahambay jauh lebih penting.
Itu benar-benar
jauh lebih penting.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 8
No comments:
Post a Comment