27
SESEDERHANA
ITU
PUKUL
EMPAT dini hari. Laisa sendirian berdiri di lereng kebun strawberry.
Menatap gemerlap cahaya
bintang dan bulan separuh. Akhirnya setelah nyaris enam jam hujan deras itu
terhenti. Awan hitam menggumpalnya habis sudah menumpahkan air. Yang lain sudah
jatuh tertidur di kamar. Ikanuri dan Wibisana tidak bicara banyak selepas
pulang dari kota kecamatan. Kalau dua sigung nakal itu saja ikut tersentuh
secara emosional dalam urusan ini, apalagi yang lain, Yashinta, enam jam lalu
di ruang tengah rumah, malah berseru tertahan soal betapa keras kepalanya
Dalimunte. Betapa Dalimunte tega membuat Mamak dan Kak Laisa menangis. Lantas
lari masuk kamar. Membanting pintu keras-keras.
"Boleh aku
bergabung—"
Laisa
menoleh. Menatap datar Dalimunte yang mendekat. Sejenak diam. Lantas tersenyum.
Mengangguk.
Dua
kakak adik itu berdiri bersisian. Tubuh gempal Laisa hanya sedada tinggi
Dalimunte. Menatap hamparan pohon strowberry yang sedang berbuah. Merah ranum.
Minggu-minggu ini panen besar.
"Maafkan
Dali yang keras kepala—" Dalimunte berkata pelan.
Laisa menoleh. Mengangguk. Tidak. Ia
tidak ingin membicarakan keributan enam jam lalu. Ia tidak bisa memaksa
Dalimunte. Mereka bukan kanak-kanak lagi seperti dulu.
"Apakah Kak
Laisa marah?"
Laisa
menggeleng. Menggenggam erat lengan Dalimunte. "Aku tidak akan memukulmu
dengan rotan, Dali—" Tertawa kecil.
Senyap sejenak.
"Apa...
apa yang sebenarnya Kak Lais pikirkan setiap kali berdiri di sini menatap
langit dan lembah?" Dalimunte bertanya pelan.
Laisa tersenyum,
"Banyak hal—" "Banyak?"
"Ya, tentang masa lalu kita.
Tentang hari ini, Tentang masa depan kita. Kau tahu, kalian sejak kecil dulu
sudah amat membanggakan Mamak dan Kakak. Lihat, kincir air itu, Dali yang buat.
Tanpa itu, tidak akan ada perkebunan strowberry sekarang. Tidak akan ada
lampu-lampu.... kehidupan warga kampung yang lebih baik... Kakak juga mengenang
Ikanuri dan Wibisana yang suka bolos. Kabur naik starwagoon tua, Yashinta yang
selalu memaksa minta diantar melihat sesuatu di hutan. Ladang jagung kita.
Semua kejadian-kejadian itu. Tiga harimau itu. Masa lalu yang indah— Kakak juga
memikirkan tentang hari ini. Perkebunan strowberry Mamak. Penduduk lembah yang
semakin makmur. Fasilitas sekolah yang semakin baik. Pengalengan buah di kota
provinsi. Kau yang sudah jadi peneliti fisika hebat di Ibukota. Ikanuri dan
Wibisana yang ambisius sekali dengan bengkel mobilnya. Yashinta yang amat
mencintai lingkungandan konservasi entahlah. Dan Mamak yang terlihat bahagia
menghabiskan waktu di kebun kita. Mamak yang tidak pernah mrmbayangkan
kehidupan kita akan sebaik ini..... Kakak juga memikirkan tentang masa
depan.... Ah, kalau kau menikah, maka rumah panggung ini akan segera ramai,
Dali. Anak-anak yang pintar. Ayahnya pintar, pasti anaknya jauh lebih
pintar.... Kau tahu, aku tidak bisa membayangkan akan seperti apa anak-anak
Ikanuri dan Wibisana nanti.... Kalau Yashinta itu jelas sudah. Anak-anaknya
akan tampan dan cantik... Ia saja sekarang pasti telah membuat puluhan teman
mahasiswanyajatuh hati.... Kalau kalian satu persatu mulai berkeluarga,
perkebunan ini akan ramai oleh celoteh anak-anak—"
Hening lagi
sejenak.
"Apakah,
apakah Kak Lais tidak pernah memikirkan yentang itu saat berdiri sendirian di
sini?" Dalimunte menelan ludah.
"Memikirkan
apa?"
"Umur Kak
Lais? Pemikahan? Kesendirian? Pernahkah Kak Lais memikirkan diri
sendiri...." Laisa tertawa, melambaikan tangannya,
"Dali,
tentu saja sekali dua datang. Sebenarnya dulu lebih sering datang. Tapi buat
apa Kakak membuang-buang waktu memikirkan tersebut. Hidup Kakak sudah amat
indah tanpa perlu memikirkan hal-hal itu. Melihat kalian tumbuh dewasa. Dengan
segala kesempatan hebat. Itu sudah amat membahagiakan Kakak. Melihat anak-anak
lembah berkesempatan sekolah. Kehidupan mereka yang lebih baik dengan
perkebunan strawberry ini. Itu sudah lebih dari cukup.
"Kau
tahu, seperti yang Kakak bilang dulu, jodoh ada di tangan Allah. Mungkin dalam
urusan ini, Kakak tidak seberuntung dibandingkan dengan memiliki adik-adik yang
hebat seperti kalian.... Dulu memang mengganggu sekali mendengar pertanyaan
tetangga, tatapan mata itu, tetapi mereka melakukannya karena mereka peduli
dengan kita. Satu dua menyampaikan rasa peduli itu dengan cara yang tidak baik,
namun itu bukan masalah. Kakak tidak pernah merasa kesepian, Dali. Bagaimana
mungkin Kakak akan kesepian dengan kehidupan seindah ini.... Kau benar, aku
juga sering memikirkan umur. Sekarang usiaku tiga puluh empat tahun. Tapi apa
yang Kakak harus lakukan? Itu semua ada di tangan Allah. Yang lebih penting aku
pikirkan, dengan sisa waktu yang mungkin tidak sedikit lagi, apakah masih
berkesempatan melakukan banyak hal di lembah ini, berkesempatan melihat kalian
melakukan hal-hal hebat di luar sana. Berkesempatan membuat Mamak dengan
keseharian di perkebunan...,"
Kak Laisa
tersenyum tulus.
"Hanya itu?
Sesederhana itu?" Dalimunte menelan ludah.
"Apalagi
yang harus aku pikirkan, Dali? Bukankah kehidupan di lembah ini hanya
sesederhana itu?"
Dalimunte
terdiam. Mengusap wajahnya. Dia keliru. Sungguh keliru.
Bahkan Kak Laisa sedikitpun tidak pernah
memikirkan dirinya sendiri. Apalagi memikirkan tentang sebutan gadis tua yang
disandangnya, pernikahan. Ya Allah, Kak Laisa memang seringan itu menanggapi
segala keterbatasan hidupnya. Bagi Kak Laisa, adik-adiknya jauh lebih penting.
Pertanyaan itu, pertanyaan yang selalu dia ingin
sampaikan, ternyata sederhana sekali jawabannya. Kak Laisa tidak pernah
sekalipun berkeberatan dengan takdir kehidupannya.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 28
No comments:
Post a Comment